BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada zaman modern ini, masyarakat melakukan banyak kesibukan sehariharinya, terutama masyarakat yang berdomisili di kota-kota besar. Mereka dituntut untuk mengerjakan segala hal secara efektif, efisien dan mengiringi waktu yang bergerak semakin cepat. Dengan banyaknya kesibukan yang dilakukan dapat berdampak pada tingkat stress yang akan dialami. Oleh sebab itu, untuk mengimbangi tekanan tersebut masyarakat di kota-kota besar membutuhkan berbagai macam sarana hiburan. Ada banyak pilihan yang bisa dijadikan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat di kota-kota besar misalnya wisata
alam,
mengunjungi
taman
rekreasi
maupun
bermain,
pusat
perbelanjaan, restoran, maupun kafe-kafe (Rama, 2008:1) Berdasarkan teori segitiga Abraham Maslow, manusia mempunyai berbagai
macam
jenis
kebutuhan
yang
harus
dipenuhi.
Maslow
menggambarkan kebutuhan manusia tersusun membentuk segitiga dan berjenjang. Hal ini mengartikan bahwa kebutuhan pada jenjang selanjutnya hanya dapat dipenuhi apabila jenjang sebelumnya telah terpenuhi atau terpuaskan. Ketika seseorang telah memenuhi jenjang kebutuhan yang pertama, orang tersebut akan menyadari atau termotivasi dengan jenjang kebuthan selanjutnya. Segitiga kebutuhan tersebut terdiri dari lima jenjang yaitu psychological needs, safety needs, social needs, love needs/belongingness, esteem needs, dan self-actualization needs.
1
Gambar 1.1 Segitiga Kebutuhan Maslow
Sumber: http://www.slideshare.net/habibgrindcore/ppt-teori-pend-tugas
Menurut pendapat peneliti, Salah satu sarana hiburan yang dapat memenuhi basic needs dari segitiga kebutuhan maslow adalah dengan menjadi konsumen suatu kafe. Dengan mengunjungi kafe masyarakat di kotakota besar dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu kebutuhan untuk makan, minum, dan istirahat. Setelah jenjang pertama terpenuhi, masyarakat akan menuntut kebutuhan mereka yang selanjutnya yaitu kebutuhan akan rasa aman. Dengan menjadi konsumen suatu kafe, masyarakat merasa aman dan terjamin bahwa makanan atau minuman yang mereka konsumsi terjaga kualitasnya. Apabila masyarakat mengunjungi kafe bersama dengan teman atau keluarga mereka, tanpa disadari mereka telah memenuhi jenjang ketiga dari segitiga kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan untuk bersosialisasi. Masyarakat selanjutnya akan termotivasi untuk memenuhi jenjang kebutuhan mereka yang selanjutnya yaitu kebutuhan untuk merasa dihargai dan diapresiasi. Masyarakat dengan tingkat sosial yang lebih baik akan memilih tempat dimana mereka akan makan. Kafe dianggap mampu untuk mencerminkan gaya hidup serta kelas sosial. Hal ini membuat kafe menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat modern di kotakota besar (Rama, 2008 : 3)
2
Kafe dianggap sebagai suatu tempat makan yang berkelas yang mampu menghadirkan suasana santai yang dibutuhkan. Kafe dimanfaatkan sebagai sarana bersantai bersama teman dan keluarga, bersosialisasi dengan rekan bisnis, ada juga yang datang untuk menemukan suasana kesendirian. Saat ini menikmati jamuan di kafe menjadi kebiasaan atau gaya hidup yang baru bagi kaum eksekutif untuk mengerjakan tugas, melanjutkan suatu bisnis, atau sekedar bersantai setelah beraktifitas seharian. Salah satu kota besar yang terkenal memiliki banyak kafe adalah kota Bandung dengan jumlah 209 kafe (tahun 2012). Kota Bandung dikenal sebagai kota wisata baik itu wisata alam maupun wisata kuliner dengan pengunjung yang datang dari luar dan dalam kota Bandung itu sendiri.
Tabel 1.1 Daerah yang Paling Banyak Dikunjungi Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Domestik 2011 No.
Daerah
No.
Daerah
1
Bali
6
Jawa Barat
2
Sumatra Barat
7
Tanah Toraja
3
Pulau Komodo
8
Danau Toba
4
D.I Yogyakarta
9
Kep. Riau
5
Jakarta
10
Lombok
Sumber: Statistics Indonesia 2012
Tabel 1.1 menunjukan bahwa 10 daerah diatas merupakan daerah utama yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik di Indonesia. Dari ke-10 peringkat tersebut Jawa Barat menempati peringkat ke-6. Atas dasar hal tersebut, pemerintah kota Bandung memiliki upaya dalam meningkatkan kunjungan wisatawan. Adapun upaya yang dilakukan adalah mengembangkan fasilitas dan sarana pendukung akomodasi bagi para
3
wisatawan yang berkunjung seperti hotel, restoran, kafe, factory outlet dan pusat perbelanjaan. Berdasarkan pengamatan peneliti seiring dengan berkembangnya pariwisata di kota Bandung, industri kuliner pun ikut berkembang terutama pada sector restoran dan kafe. Pertumbuhan tersebut dapat dilihat dari restoran dan kafe-kafe baru yang bermunculan. Berdasarkan data yang dimiliki oleh badan pusat statistik kota Bandung menunjukan terdapat peningkatan pada industri restoran di kota Bandung seperti pada data di tabel berikut. Tabel 1.2 Data Jumlah Restoran/Kafe, Rumah Makan, dan Bar di Kota Bandung tahun 2009 – 2013 No
Jenis Usaha
Tahun 2009
2010
2011
2012
2013
1
Restoran/ Kafe
168
170
181
209
288
2
Rumah Makan
266
262
268
303
345
3
Bar
11
11
12
12
12
445
443
461
524
645
Total
sumber: www.bandungkota.bps.go.id
Dari data tersebut dapat dilihat pertumbuhan restoran/kafe yang terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini menandakan bahwa peminat kafe di Bandung yang juga meningkat. Kafe saat ini bisa ditemukan diberbagai tempat seperti di mall, di daerah perumahan, dan dipinggir-pinggir jalan di kota Bandung sehingga persaingannya pun semakin ketat. Dengan adanya persaingan tersebut para pengelola kafe di Bandung berlomba-lomba untuk menarik minat konsumennya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan pemilihan nama merek suatu kafe dengan menggunakan Bahasa asing. Dengan pengaruh globalisasi yang berkembang cukup pesat di Indonesia, penggunaan bahasa asingpun menjadi cukup lumrah untuk digunakan dalam
4
kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai aspek, termasuk sebagai nama suatu merek. merek (branding) suatu kafe merupakan salah satu strategi pemasaran. Dalam bidang pemasaran ada sembilan inti elemen pemasaran yang dikelompokan menjadi tiga bagian utama yaitu strategy (segmenting, targeting, positioning), tactic (differentiation, marketing-mix, dan selling), serta value (brand, service, dan process). (Kartajaya, 2010) Merek sendiri berperan sebagai value indicator bagi seluruh stakeholder perusahaan. Pelanggan cenderung akan memilih produk dengan merek yang lebih terkenal dan lebih menarik. Karyawan juga cenderung lebih senang bekerja di perusahaan yang memiliki merek/reputasi yang baik. Demikian pula investor pun akan mempertimbangkan merek perusahaan dalam melakukan investasi. Merek meliputi nama, istilah, simbol, dan desain. Komponen-komponen Merek tersebut merupakan kombinasi hal-hal yang dikemukakan yang mengidentifikasi produk dan yang membedakan produk tersebut dari produk pesaing. (Winardi, 1989). Penggunaan bahasa asing pada merek kemungkinan didasari oleh kebutuhan konsumen untuk mendapatkan pengakuan status sosial mereka. Penggunaan bahasa asing pada merek suatu kafe tampaknya dapat menentukan tingkat kehidupan sosial konsumennya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa asing, kafe juga bisa memperjelas segmentasi konsumen serta positioning merek mereka apabila konsumen mereka adalah masyarakat modern yang mementingkan gaya hidup. Di sisi lain, Undang-Undang Republik Indonesia no. 24 tahun 2009 Bab III bagian kedua yang menjelaskan pemakaian bahasa Indonesia pada pasal 36 ayat 3 dan 4 menjelaskan sebagai berikut: (3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau pemukiman , perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga Indonesia atau badan hokum Indonesia.
5
(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai
sejarah,
budaya,
adat
istiadat,
dan/atau
keagamaan.
(www.badanbahasa.kemdikbud.go.id) Undang-undang tersebut secara jelas menjelaskan bahwa merek dagang wajib untuk menggunakan bahasa Indonesia kecuali merek dagang tersebut mempunyai nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Namun, pada kenyataannya masih banyak merek dagang yang menggunakan bahasa asing termasuk merek dagang untuk kafe-kafe yang ada di kota Bandung. Berdasarkan observasi dan wawancara awal dengan beberapa pengunjung, merek kafe yang menggunakan bahasa asing lebih dapat menarik minat konsumen untuk menjadi pelanggan kafe tersebut dibandingkan kafe dengan nama bahasa Indonesia. Salah satu kafe yang menggunakan bahasa asing sebagai nama merek nya adalah kafe Rocca & Company (Rocca & Co). Rocca & Company adalah sebuah café & resto di Bandung yang menawarkan aneka sajian menu ala eropa seperti pizza, steak, meatloaf, pot pie, dan pasta. Interior kafe ini sendiri juga diadaptasi dari rumah rumah di eropa dengan menggunakan bata sehingga menciptakan suasana yang cozy. (www.bandungtraveler.com). Walaupun begitu tetap terdapat kafe yang mengusung tema Indonesia seperti misalnya Kafe Kopi Progo. Kafe yang didirikan pada tahun 2009 ini bertujuan untuk mempopulerkan kopi nusantara dengan menggunakan konsep tempat ngopi yang mengedepankan kopi Indonesia. Kafe Kopi Progo selain menyediakan kopi juga menyediakan sajian makanan ringan dan makanan berat (www.kopiprogo.com). Perbedaan konsep tersebut nampaknya dipengaruhi oleh segmenting dan targeting konsumen yang juga berbeda. Merek yang dibangun haruslah sesuai dengan segmenting, targeting dan positioning yang telah ditetapkan. Menurut Kartajaya (2010:2), segmenting, targeting, positioning (STP) dan merek terkait antara satu dengan yang lainnya. Segmenting dan targeting yang telah ditentukan akan menjadi dasar dalam membangun Positioning yang tepat.
6
Strategi yang telah dirumuskan selanjutnya harus dirumuskan dalam taktik atau program pemasaran praktis.Melalui strategi dan taktik pemasaran terintegrasi, selanjutnya akan dihasilkan marketing value (brand, service, dan proses) yang kuat. .Apabila merek sudah selaras dengan segmenting, targeting, dan Positioning nantinya menimbulkan persepsi dan sikap tersendiri di pihak konsumen. Persepsi dan sikap inilah yang akan mempengaruhi keputusan pembelian dan penggunaan merek tersebut nantinya. Perilaku konsumen menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan-keputusan pembelian dan bagaimana mereka menggunakan dan mengatur pembelian barang dan jasa (McDaniel, 2001). Usaha untuk mepengaruhi perilaku konsumen dianggap penting karena merupakan sasaran akhir dari semua aktivitas pemasaran. Setiap pihak yang bersaingan di pasar mengharapkan untuk dapat mempengaruhi sebanyak mungkin pembeli agar produknya dipilih daripada produk-produk alternative apabila mereka berkesempatan untuk melakukan pembelian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model perilaku konsumen Howard & Seth. Model ini menunjukan proses pembuatan keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen serta variabel-variabel yang mempengaruhinya. Asumsi dasar dari teori ini adalah pemilihan merek yang dilakukan konsumen bukanlah suatu proses yang acak melainkan suatu proses yang sistematis. Untuk menguraikan asumsi dari teori tersebut, teori pembelian diasumsikan rasional dalam arti perilakunya rasional dan berada dalam batas kognitif dan pengetahuan konsumen serta dari informasi yang didapat. Selain itu, apabila perilaku pembelian di asumsikan sistematis, maka hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa rangsangan (stimuli) baik di pembeli maupun di lingkungan pembeli. Stimulus adalah masukan ke system dan perilaku pembelian adalah output. Seperti yang digambarkan pada bagan berikut ini:
7
Gambar 1.2 Model Perilaku Konsumen Howard and Seth
Sumber: Howard, John. A and Seth, Jagdisth N., “The Theory of Buyer Behaviour”, 1969. Berdasarkan bagan diatas, model perilaku konsumen Howard dan Seth menjelaskan ada empat unsur penting dalam perilaku konsumen yakni stimulus, perceptual constructs, learning constructs, dan output. Menurut Howard dan Seth input dari perilaku konsumen berupa stimulus yaitu variabel-variabel pendorong yang datangnya dari lingkungan konsumen. Bentuk dari stimulus ini bisa berupa simbolik (berkaitan dengan harga, kualitas, pelayanan, kekhususan, dan ketersediaan), dan juga bisa berupa social yang merupakan komunikasi interpersonal di keluarga atau lingkungan social konsumen lainnya dan dorongan dari kegiatan pemasaran. Yang menjadi variabel input pada penelitian ini adalah atribut yang melekat kafe seperti misalnya harga, kualitas pelayanan, kualitas makanan, dan suasana kafe. Dari stimuli yang ada akan menimbulkan perceptual constructs atau proses
pembangunan
persepsi
dengan
memilih,
mengatur
dan
mengintertpretasikan suatu rangsangan ke dalam gambar yang memberi makna. Konsumen akan melakukan pencarian informasi mengenai stimulus 8
dalam hal ini berupa atribut kafe (overt search) lalu nantinya aka nada stimulus ambiguity dan perceptual bias yakni suatu distorsi informasi dan konsumen tidak mendapatkan makna dari informasi yang diterima. Konsumen memilih informasi yang mempunyai makna bagi konsumen dan sesuai dengan kebutuhannya (attention). Lalu setelah informasi di dapatkan maka konsumen mulai mengkonsep informasi yang telah ia dapat (learning construct). Proses belajar ini terdiri dari motifasi yaitu dorongan dalam diri konsumen untuk mencapai tujuan pembelian. Setelah itu konsumen akan membentuk kriteria tertentu sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan informasi tentang merek yang telah dimiliki konsumen maka timbul sikap dari konsumen apakah mereka menyukai merek tersebut atau tidak. Apabila konsumen telah menyukai suatu merek maka ia secara otomatis akan memiliki keyakinan tersendiri terhadap merek tersebut yang pada akhirnya menuju ke intention yaitu prediksi kapan, dimana, dan bagaimana konsumen akan melakukan suatu tindakan terhadap merek (action). Hasil dari model Howard dan Seth adalah tanggapan konsumen berupa keputusan pembelian. Setelah melakukan pembelian akan terlihat bagaimana sikap konsumen terhadap merek tersebut dan tingkat kepuasan konsumen yang akan memntukan terjadinya pembelian ulang. Diantara berbagai variabel diatas yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sikap dan persepsi. Persepsi didefinisikan sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti (Kotler, 2005). Factor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi pelanggan adalah harga, citra, tahap pelayanan dan momen pelayanan. Persepsi pelanggan terhadap produk atau jasa berpengaruh terhadap tingkat kepentingan pelanggan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan (Rangkuti, 2006). Berdasarkan definisi diatas, persepsi konsumen melihat suatu produk yaitu kafe dengan merek lokal dan kafe dengan merek asing di Kota Bandung dalam hal psikologis berdasarkan atribut merek kafe tersebut dan informasi
9
yang diterima untuk memahami alasan konsumen membuat keputusan pembelian sehingga dapat mempengaruhi perilaku konsumen. Sikap adalah ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak dan sikap juga bisa menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut dan manfaat dari objek tersebut (Sumarwan, 2003). Sikap merupakan suatu konsep yang paling penting digunakan pemasaran untuk memhami konsumen dan factor pernting yang akan mempengaruhi konsumen. Berdasarkan definisi diatas, sikap konsumen yang akan dilihat dalam penelitian ini yaitu sikap konsumen terhadap kafe dengan merek asing dan kafe dengan merek lokal sehingga dapat menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut lebel/merek. Pengetahuan mengenai sikap dan persepsi konsumen terhadap kafe dengan merek asing dan merek lokal dapat membantu kafe-kafe dalam menerapkan strategi pemasaran yang lebih baik. Selain itu dengan mengetahui sikap dan perilaku konsumen para pemiliki kafe di Bandung dapat membentuk konsep kafe yang sesuai dengan segmentasi pelanggan yang dituju. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis memilih objek kajian dalam penelitian yaitu sikap dan persepsi konsumen terhadap kafe merek asing dan kafe merek lokal di kota Bandung. Studi deskriptif kuantitatif pada Kafe Kopi Progo dan Kafe Rocca & Co. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana sikap dan persepsi konsumen terhadap atribut kafe merek lokal dan kafe merek asing” Sedangkan identfikasi masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana sikap dan persepsi konsumen terhadap suasana kafe Kopi Progo dan kafe Rocca & Co di Bandung?
10
2. Bagaimana sikap dan persepsi konsumen terhadap fasilitas Kafe Kopi Progo dan kafe Rocca & Co di Bandung? 3. Bagaimana sikap dan persepsi konsumen terhadap pelayanan Kafe Kopi Progo dan kafe Rocca & Co di Bandung? 4. Bagaimana sikap dan persepsi konsumen terhadap menu yang ada di Kafe Kopi Progo dan kafe Rocca & Co di Bandung? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dijabarkan, maka tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah: 1. Menganalisis sikap dan persepsi konsumen terhadap atribut kafe merek asing dan kafe merek lokal di Bandung. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek Akademis 1. Secara akademis penelitian ini memiliki kajian tentang sikap dan persepsi konsumen terhadap kafe bermerek lokal dan kafe bermerek asing di Kota Bandung. Untuk itu diharapkan penelitian ini dapat mengurai teori-teori komunikasi untuk memperluas wawasan mengenai sikap dan persepsi konsumen terhadap kafe bermerek lokal dan kafe bermerek asing. 2. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam menganalisis sikap dan persepsi konsumen terhadap kafe bermerek lokal dan kafe bermerek asing di Kota Bandung. 3. Penelitian ini juga dapat menjadi studi banding bagi mahasiswa yang ingin mengadakan penelitian yang sama di masa yang akan mendatang 1.4.2 Aspek Praktis Manfaat praktis dari penelitian adalah: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pelaku bisnis kafe di kota bandung untuk membuat strategi labeling/branding yang sesuai dengan segmen konsumen yang dituju
11
2. Memberikan bukti empiris tentang sikap dan persepsi konsumen terhadap café bermerek lokal dan kafe bermerek asing. 3. Menjadi sebuah sarana bagi peneliti untuk menerapkan teori-teori yang telah dipelajari sebelumnya selama kegiatan belajar-mengajar di kampus Universitas Telkom. 4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau referensi untuk penelitian/studi lanjut di masa yang akan datang. 1.5 Tahapan Penelitian Tahapan-tahapan penelitian memberi arah bagi peneliti agar penelitian dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah serta memberi panduan tentang metode berpikir yang harus dimiliki oleh peneliti pada saat melakukan penelitian. (Ary, 2007). Gambar 1.3 menunjukan bagaimana tahapan penelitian ini
12
Gambar 1.3 Tahapan Penelitian Pernyataan Masalah
Identifikasi Informasi
Pengembangan Instrumen Pengumpulan Data Rancangan Prosedur Pengumpulan Data Penentuan Prosedur Pengumpulan Data Identifikasi Populasi Sasaran
Pengumpulan Data Analisis Data Pembuatan Laporan Sumber: Ary, 2007 1.6 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bandung dengan cara menyebarkan link kuisioner pada pengunjung kafe Kopi Progo dan pengunjung kafe Rocca & Co yang merupakan objek penelitian. Periode pelaksanaan penelitian ini yaitu pada bulan Agustus – Oktober 2015.
13
Tabel 1.4 Waktu Penelitian No
Tahapan Kegiatan
Tahun 2015 Agustus
1.
September
Oktober
Mencari topic penelitian, pengamatan terhadap objek penelitian yang akan diambil, mencari referensi dan menentukan kasus penelitian.
2.
Penyusunan proposal skripsi (bab 1-3)
3.
Pencarian data awal penelitian, observasi awal dengan objek penelitian, serta penyusunan tinjauan pustaka
4.
Pengumpulan data melalui angket kepada responden yang merupakan pengunjung kafe Kopi Progo dan kafe Rocca & Co.
5.
Proses analisis dan pengumpulan data
6.
Penyusunan hasil penelitian berupa kesimpulan dan saran
Sumber: Penulis
14