BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Permasalahan 1.1.1. Latar Belakang Masalah Arus modernisasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia. Seluruh dunia mengalami perubahan besar seperti industrialisasi, urbanisasi, individualisasi, sekularisasi dan globalisasi. Hal ini membawa dampak dalam pola pikir, pola hidup dan perilaku masyarakat. Seiring dengan hal itu, modernisasi yang menghasilkan sekularisasi juga membawa dampak dalam kehidupan gereja. Di Eropa misalnya, gereja makin ditinggalkan anggota jemaatnya dan dianggap tidak relevan lagi.1 Tampaknya gereja tidak siap memasuki era modernisasi dan industrialisasi sehingga tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan baru. Akibatnya masyarakat meninggalkan gereja. Banyak orang menganggap persekutuan (communio) gereja tidak penting. Ada pula orang Kristen yang telah meninggalkan iman Kristennya karena merasa iman Kristen tak mampu menjawab persoalan hidupnya. Dalam konteks seperti itulah teologi praktis berkembang. Teologi praktis menghubungkan iman Kristen dalam praksis masyarakat modern.2 Dalam teologi praktis dipahami bahwa Allah datang dan hadir di dunia ini. Kedatangan dan kehadiran Allah diaktualisasikan oleh manusia. Allah bertindak melalui tindakan manusia. Dalam hal ini manusia menyikapi krisis jaman modern dalam perspektif imannya. Tindakan itu misalnya dapat 1 2
J.A. van der Ven, Education For Reflective Ministry, Louvain, Peeters Press, 1998, hlm. 25-36. G. Heitink, Teologi Praktis – Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, Yogyakarta, Kanisius, 1999, hlm. 36.
dilihat dalam pembangunan jemaat yang merupakan teori teologis dari praksis gereja di tengah masyarakat modern. Apakah modernisasi juga membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia? Dalam proses pembangunan, masyarakat dan bangsa Indonesia juga berada dalam proses modernisasi dan industrialisasi. Modernisasi juga membawa perubahan pola pikir, pola hidup, dan perilaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Industrialisasi, urbanisasi, individualisasi, dan sekularisasi mewarnai kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat. Jika demikian, bagaimanakah kondisi gereja-gereja Indonesia dalam pembangunan jemaat di masa kini? Ada aneka ragam kondisi yang dapat diamati secara umum. Ada gereja yang mengalami pertambahan anggota secara pesat, namun ada pula gereja yang semakin ditinggalkan oleh anggota jemaatnya. Ada gereja yang terus mengupayakan perbaikan pelayanan secara internal gerejawi untuk menarik banyak anggota tapi ada pula gereja yang mengalami stagnasi, hanya menjalankan rutinitas aktifitas pelayanan bahkan ada yang terus mengalami kemerosotan baik secara kuantitas maupun kualitas. Ada gereja yang berupaya melayani masyarakat, ada pula gereja yang tak peduli dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bahkan ada gereja yang bertahan pada pola-pola pelayanan dan penginjilan yang eksklusif dan membuat gereja terasing dari seluruh perkembangan masyarakat. Pada kenyataannya banyak gereja tak siap dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat. Gereja belum menjalankan fungsi positif, kritis, kreatif dan realistis dalam proses perkembangan masyarakat.3
3
Eka Darmaputera, Pertumbuhan Gereja dan Konteks Kontemporer Indonesia, dalam Buku Makalah Seminar Pertumbuhan Gereja , Jakarta, Panitia SPG, 1989, hlm. 54.
2
Sementara itu di tengah kemiskinan yang melanda bangsa, beberapa gereja justru melakukan pembaharuan secara fisik, seperti merenovasi gereja menjadi lebih indah, membuat bangunan-bangunan baru seperti ruang serba guna, dan ruangruang lainnya. Banyak dana dipakai untuk memperbesar dan memperindah gedung gereja. Sebenarnya ada pula beberapa gereja yang melakukan perbaikan program-program kegiatan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kehidupannya, namun tampaknya hal itu tak membawa banyak perubahan. Kecenderungan untuk membangun gereja yang eksklusif masih mendominasi pembangunan jemaat. Seringkali gereja dipandang sebagai gereja yang hidup dan bertumbuh maju jika jumlah anggotanya semakin bertambah, jumlah kehadiran dan partisipasi anggota jemaat dalam kegiatan gereja makin besar, memiliki banyak kegiatan gerejawi, serta memiliki gedung gereja yang makin besar dan indah. Pada kenyataannya kemerosotan kehidupan internal gerejawi lebih merisaukan daripada kemerosotan fungsi gereja di tengah masyarakat, akibatnya fungsi gereja di tengah masyarakat semakin kurang dapat dirasakan. Perkembangan gereja masih diukur dari perkembangan organisasi dengan jumlah anggota yang besar dan gedung-gedung yang megah. Dalam konteks modernisasi, gereja memang perlu membangun diri agar tidak ditinggalkan anggota jemaatnya namun juga tidak boleh lupa akan tugas dan panggilannya untuk membangun masyarakat. Mengingat akan hal ini, maka teologi praktis perlu memberikan sumbangan pemikiran untuk mengarahkan gereja dalam perencanaan pembangunan jemaat yang kontekstual.4
4
Yang dimaksud adalah pembangunan jemaat yang didasarkan pada refleksi atas konteks (dialog kritis dan konstruktif dengan konteks ).
3
1.1.2. Rumusan Masalah Permasalahan pokok tesis ini terkait dengan kebutuhan akan adanya panduan yang mengarahkan perencanaan pembangunan jemaat yang kontekstual. Permasalahan pokok ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan: “Bagaimanakah arah pembangunan jemaat yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosiologis dan teologis?”
1.2. Landasan Teoritis Penelitian Untuk menjawab permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian yang berangkat dari teori-teori sebagai berikut : 1.2.1. Pembangunan Jemaat dan Praksis Gereja Pembangunan jemaat mengarahkan diri pada praksis gereja. Praksis gereja meliputi berbagai aktifitas individual dan kelompok yang dicirikan oleh orientasi transformatif.
5
Kata transformatif mengindikasikan perubahan gereja sebagai
hasil dua aktifitas yang saling mempengaruhi yaitu aktifitas berdialog dengan konteks masyarakat dan aktifitas melakukan reorientasi diri sendiri pada tujuan dan tugas-tugas gereja secara terus menerus. Yang pertama, gereja secara terus menerus berubah seiring dengan perubahan lingkungan sosialnya. Komunikasi iman di dalam gereja selalu berhubungan dengan konteks masyarakat. Pengalaman dan interpretasi sejarah di masa lalu yang menyatu dalam sebuah tradisi secara kritis dihubungkan dengan interpretasi dan pengalaman masa kini. Yang kedua, gereja secara aktif mengubah dirinya
5
C. Sterkens, Challenges for A Modern Church In Empirical Ecclesiology, in Hermans C.A.M, Moore M.E. (ed), Hermeneutics and Empirical Research in Practical Theology, Leiden: Brill, 2004, hlm. 272-273.
4
sendiri melalui reorientasi berkesinambungan dalam tujuan dan tugas-tugasnya. Dalam menghadapi tantangan baru gereja perlu merumuskan ulang tujuan dan tugas-tugasnya dalam terang Injil. Hubungan dialektis antara gereja yang diubah dan gereja yang mengubah dirinya sendiri adalah dasar orientasi transformatif dalam praksis gereja. Jadi dalam perencanaan pembangunan jemaat yang transformatif kita melakukan proses kontekstualisasi yaitu proses dialog kritis dan konstruktif dengan konteks guna mempersiapkan masa depan gereja dan gereja masa depan. 1.2.2. Gereja sebagai Organisme dan Organisasi Dalam pembangunan jemaat, gereja dihayati sebagai organisme dan organisasi.6 Sebagai organisme, gereja terus hidup, bertumbuh, dan berbuah. Dalam rangka pertumbuhannya sebagai organisme, gereja memerlukan peran serta manusia (beserta institusinya) untuk menyiram, memupuk, memelihara hingga mampu berbuah. Pertumbuhan gereja tidak terjadi dengan sendirinya tapi diupayakan dengan proses pertumbuhan terarah yang perlu dipikirkan dan diorganisir oleh manusia. Proses pertumbuhan itu berfungsi untuk mengembangkan potensi pertumbuhan secara maksimal. Dalam hal ini peran Roh Kudus dan manusia dihargai. Dengan kata lain, manusia dipakai Allah untuk mengupayakan pertumbuhan yang maksimal. Dengan menghayati diri sebagai organisme sekaligus organisasi maka gereja tidak menjadi barang mati yang statis tapi juga bukan sekedar bertumbuh secara alamiah.
6
Hasil diskusi dari teori Pertumbuhan Gereja Yang Alamiah ( C.A. Schwarz) dan Jemaat Yang Vital dan Menarik ( J. Hendriks ).
5
Menurut P.G. van Hooijdonk, gereja sebagai organisme juga merupakan kenyataan sosial yang memperlihatkan kehidupan dan pertumbuhan orang beriman sebagai group, sebagai communio.7 Anggota gereja merupakan satu tubuh, satu iman, satu baptisan dan satu Tuhan, satu Allah dan Bapa dari semua, yang berada di atas kita semua, oleh kita semua, dan di dalam kita semua. Anggota gereja saling dihubungkan dan diperkaya dalam satu persekutuan dengan Tuhan sambil berkomunikasi dan solider satu sama lain. Sebagai organisme dan organisasi, pertumbuhan atau perkembangan gereja ditempatkan dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Penghayatan hidup menggereja seperti ini memberi ruang bagi gereja untuk terus mengalami pertumbuhan kualitas dalam kehidupan internal gerejawi maupun dalam karya sosial yang transformatif. Gereja hidup dan berkembang bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk membangun kerajaan Allah yang mendatangkan damai sejahtera, keadilan dan kebenaran di bumi ini.
1.3. Asumsi Dasar Penelitian Berdasarkan teori tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan asumsi dasar: a. Arah pembangunan jemaat yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosiologis dan teologis adalah pembangunan jemaat transformatif yaitu pembangunan jemaat kontekstual yang lahir dari dialog kritis dan konstruktif dengan konteks sehingga menghasilkan praksis iman transformatif. b. Pembangunan jemaat transformatif diharapkan akan meningkatkan kualitas gereja baik dalam kehidupan internal gerejawi maupun dalam transformasi sosial. 7
P.G. van Hooijdonk, Batu-Batu Yang Hidup, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hlm. 119.
6
1.4. Lingkup Penelitian Penelitian dibatasi dalam lingkup Gereja Kristen Indonesia (GKI) Residen Sudirman Surabaya. Penulis memilih GKI Residen Sudirman Surabaya sebagai salah satu potret kehidupan gereja Indonesia yang berada dalam modernitas, sebab: a. Jemaat ini berada di kota metropolis Surabaya sehingga berhadapan langsung dengan kompleksitas masalah modernitas. b. Anggota jemaatnya sangat plural baik dari segi kesukuan, pandangan teologi, status sosial dan ekonomi, serta pendidikan. c. Jemaat ini memiliki anggota jemaat yang tersebar di desa, di pinggir kota dan di tengah kota. Konteks pluralitas dan modernitas yang ada dalam kehidupan jemaat ini bisa menjadi gambaran kecil konteks ke-Indonesia-an. d. Dalam sejarahnya, jemaat ini telah melalui proses perkembangan dari latar belakang gereja Tionghoa menjadi gereja Indonesia yang terbuka terhadap realitas pluralitas masyarakat Indonesia. e. Mengingat proses membangun jemaat secara kontekstual bukan hal yang mudah, maka dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu pelatihan dan pendampingan. Penulis melayani jemaat ini sehingga akan dapat mendampingi penerapan hasil penelitian. Harapannya penelitian ini tidak berhenti pada sebuah karya tesis tapi akan dapat diuji dalam pelaksanaannya sehingga menghasilkan tindak lanjut dalam penelitian-penelitian lain yang juga akan berguna dalam perkembangan teori pembangunan jemaat dan teologi praktis.
7
1.5. Tujuan Penulisan Tesis ini ditulis dengan tujuan: a. Memberikan sumbangan pemikiran teologi praktis dalam merancang model pembangunan jemaat transformatif yaitu pembangunan jemaat kontekstual yang lahir dari dialog kritis dan kostruktif dengan konteks sehingga menghasilkan praksis iman transformatif. b. Memberikan sumbangan pemikiran teologi praktis bagi perencanaan pembangunan jemaat dalam konteks GKI Residen Sudirman Surabaya.
1.6. Landasan Teoritis Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui metode penelitian yang didasarkan pada teori sebagai berikut: 1.6.1. Prinsip Teologi Praktis, Teologi praktis adalah teori teologis yang menghubungkan tradisi iman Kristen dalam praksis masyarakat modern. Teologi praktis berorientasi empiris.8 Heitink menawarkan model penelitian teologis praktis yang disebut lingkaran hermeneutis. Dalam lingkaran hermeneutis, perlu diperhatikan tiga perspektif yang saling berhubungan, yaitu: a. Perspektif empiris, yaitu deskripsi, penjelasan fakta-fakta dan korelasinya. b. Perspektif hermeneutis, yaitu perspektif untuk memahami latar belakang dan konteks. Fakta-fakta yang diamati secara empiris dipahami dari latar belakang sejarah, Alkitab, tradisi religius, konteks sosio kultural, sosial ekonomi, dan lain-lain.
8
G. Heitink, Teologi Praktis – Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, hlm. 26.
8
c. Perspektif strategis. Perspektif ini berbicara mengenai perubahan. Ada dua aspek dalam perspektif strategis yaitu aspek metodologis dan aspek normatif. Aspek metodologis memperhatikan cara-cara (metode) yang dipakai untuk menjalankan perubahan sedangkan aspek normatif mempertanyakan ke arah mana proses perubahan akan dilakukan.9 Aspek normatif erat kaitannya dengan perspektif hermeneutis. Perspektif ini juga terkait erat dengan perspektif empiris yang merupakan alat penting untuk memikirkan tindakan-tindakan inovatif dan transformatif.
Empiris
Hermeneutis
Strategis
1.6.2. Prinsip Gereja sebagai Sistem Terbuka. R.Weverbergh memakai model sistem terbuka untuk mengembangkan jemaat.10 Dalam model ini jemaat dipahami sebagai jaringan hubungan antar manusia. Dengan dibantu oleh keterbukaan terhadap tradisi jemaat, lingkungan hidupnya dan manusia sebagai pribadi dengan kekhasannya, jemaat memulai proses transformasi yang secara dinamis mencari jati dirinya dan menuju perubahan
9 10
Ibid. hlm. 153. R. Weverbergh, Model Sistem Terbuka, Yogyakarta, Pusat Pastoral, 1992, hlm. 14.
9
dalam rangka menghasilkan buah. Tradisi jemaat, lingkungan hidupnya (konteks masyarakat) dan para anggota dengan bakat pribadi merupakan faktor input dalam sistem. Proses transformasi merupakan dinamika yang terus menerus terjadi dalam jemaat. Proses transformasi ini akan menghasilkan output (buah/karya konkret gereja) dan selanjutnya output menjadi umpan balik yang akan mempengaruhi input dan proses transformasi berikutnya. Dalam tesis ini model sistem terbuka dipadukan dengan teori lima faktor J.Hendriks. Model sistem terbuka dapat digambarkan sebagai berikut:11
input
output
Konteks
output
output
TRANSFORMASI
Feedback (umpan balik)
1.7. Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian literatur dan penelitian lapangan yang menggunakan metode kuantitatif.12 1.7.1. Penelitian Literatur Penelitian literatur dilakukan untuk membangun landasan teoritis penelitian pembangunan jemaat. Dari landasan teoritis ini juga ditemukan indikator11
Model system terbuka hasil pengembangan teori Weverbergh dilakukan oleh R. van Kooij sebagai bahan kuliah pembangunan jemaat. 12 Sekalipun penelitian lapangan dilakukan dengan metode kuantitatif namun tidak dapat dilepaskan dari metode kualitatif baik dalam mempersiapkan kuesioner maupun analisisnya.
10
indikator yang dapat dioperasionalisasikan dalam kuesioner penelitian lapangan. Penelitian literatur penting pula bagi perspektif hermeneutis yaitu dalam rangka mencari sumber-sumber yang dapat dipakai untuk memahami dan menganalisis perspektif empiris serta untuk mempersiapkan langkah-langkah strategis. 1.7.2. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dilakukan dengan kecenderungan menggunakan metode kuantitatif yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika.13 Penelitian kuantitatif dipakai sebagai penelitian untuk menguji dan mengeksplorasi asumsi dasar yang telah dirumuskan. Penelitian dilakukan dengan survei melalui kuesioner yang dibagikan kepada anggota jemaat GKI Residen Sudirman Surabaya. Responden yang terlibat dalam penelitian ini mewakili anggota jemaat yang aktif dalam kegiatan pelayanan gereja (para penatua, pengurus sektor, komisi, dan panitia bakal jemaat) dan anggota jemaat yang hanya hadir dalam kebaktian Minggu. Guna melengkapi metode kuantitatif dalam penelitian lapangan, dalam tesis ini dipakai pula metode kualitatif. Penelitian kualitatif dipakai dalam rangka mengeksplorasi permasalahan dan menggali data-data dari lapangan. Ini dilakukan untuk merumuskan asumsi dasar penelitian, indikator-indikator, variabel-variabel, konteks dan lain-lain. Penelitian kualitatif dipakai pula dalam rangka analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah serta mendalami dan memperjelas hasil dan kesimpulan penelitian kuantitatif. Metode-metode penelitian tersebut akan dipakai dalam lingkaran
13
Saifudin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 5.
11
hermeneutis sehingga menghasilkan perspektif strategis dalam perencananan pembangunan jemaat kontekstual di GKI Residen Sudirman Surabaya. 1.7.2.1. Proses Penelitian Lapangan Penelitian lapangan merupakan upaya untuk mendapatkan deskripsi empiris kehidupan jemaat GKI Residen Sudirman Surabaya. Proses penelitian lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Penyusunan Kuesioner14 Kuesioner merupakan instrumen yang akan dipakai dalam penelitian lapangan. Kuesioner penelitian pembangunan jemaat yang kontekstual disusun dari indikator-indikator15 hasil pengamatan terhadap kehidupan jemaat, hasil studi literatur beberapa teori pembangunan jemaat, dan literatur tentang konteks masyarakat. Selanjutnya indikator-indikator tersebut dijabarkan dalam variabel-variabel16 yang diterjemahkan dalam butir-butir pertanyaan kuesioner. Ada 2 jenis kuesioner dalam penelitian ini yaitu jenis kuesioner A, untuk anggota jemaat yang terlibat aktif dalam tugas pelayanan gereja (kelompok aktivis) dan jenis kuesioner B, untuk anggota jemaat yang hadir dalam kebaktian tapi tidak terlibat aktif dalam tugas pelayanan gereja (anggota jemaat biasa).17 Perbedaan kuesioner jenis A dan B terletak pada variabel-variabel yang ditanyakan dalam indikator 14
Kuesioner disusun dalam kerjasama dengan Tim Penelitian Pembangunan Jemaat Fakultas Theologia UKDW. Dalam tim ini, penulis bertugas sebagai asisten (salah satu peneliti). Kuesioner dapat dilihat dalam lampiran 1. 15 Yang dimaksud indikator adalah faktor-faktor yang diduga berperan penting dalam proses pembangunan jemaat. 16 Menurut Dr. Sugiyono dalam “ Stastistika untuk Penelitian “ Bandung, CV Alfabeta, 2002, hlm. 2: “ Variabel merupakan gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati ” 17 Istilah anggota jemaat biasa tidak dimaksudkan untuk merendahkan anggota jemaat yang tidak terlibat aktif dalam tugas pelayanan gereja. Istilah ini mungkin kurang tepat, tapi tetap digunakan dalam penelitian semata-mata hanya untuk mempermudah penyebutan kelompok kuesioner.
12
kepemimpinan, struktur, tujuan dan tugas. Pembedaan ini dibuat untuk menggali data-data tentang kepemimpinan, struktur, tujuan dan tugas secara lebih mendalam. b. Pre–tes Kuesioner. Langkah kedua adalah melakukan pre-tes kuesioner untuk mengetahui apakah kuesioner dapat dipahami oleh responden. Ada 20 orang responden dari beberapa gereja di Jawa Timur & Yogyakarta yang terlibat dalam pretes kuesioner. Dari hasil pre-tes, kuesioner dievaluasi dalam rangka menyiapkan kuesioner yang siap digunakan untuk penelitian lapangan. c. Pelaksanaan Penelitian Lapangan di GKI Residen Sudirman Surabaya. Penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu Agustus – September 2005. Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 220 orang anggota jemaat GKI Residen Sudirman Surabaya yang terdiri dari 47% perempuan dan 53% laki-laki, 47% kelompok anggota jemaat biasa dan 53% kelompok aktivis gereja. 1.7.2.2. Pengolahan Data Data-data hasil penelitian diolah dengan ilmu statistik. Dalam hal ini dipakai teknik SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi 1218 dan bantuan program Excel komputer. 1.7.2.3. Analisis Data Data-data hasil penelitian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam proses analisis, penulis menggabungkan teori analisis SWOT (strengths/kekuatan, weak-
18
Singgih Santoso, Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 12, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2005, hlm.10.
13
nesses/kelemahan, opportunities/peluang, threats/ancaman)19 dengan teori J. Hendriks. Dalam rangka mengupayakan vitalisasi jemaat, Hendriks melakukan penelitian dengan metode survey guided development yang menghitung jarak/selisih kenyataan (kondisi faktual) dan harapan (kondisi ideal). Metode ini dipakai untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan sebuah organisasi.20 Untuk menyiapkan langkah aksi, Hendriks memperhitungkan faktor-faktor pendukung dan penghambat. Proses analisis dalam teori Hendriks ini mirip dengan proses analisis SWOT. Analisis SWOT juga berangkat dari kenyataan empiris untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan sebuah organisasi, diperlengkapi dengan memperhitungkan kondisi-kondisi yang merupakan peluang maupun ancaman untuk melakukan transformasi. Berdasarkan penggabungan dua teori tersebut dan dalam rangka mempersiapkan langkah strategis, penulis merumuskan pendapat responden dalam kriteria-kriteria kondisi yang disebut dengan lemah, netral dan kuat serta menghitung besar motivasi dan kebutuhan responden.21 Yang dimaksud kondisi lemah adalah kondisi faktual yang negatif. Dengan kata lain variabel yang merupakan kategori ini berada dalam kondisi tidak baik dan kurang baik. Kategori ini terdiri dari kondisi yang disebut : a. Lemah, menggambarkan kondisi faktual yang negatif. Dalam data kuantitatif, kondisi ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kondisi faktual dengan nilai kurang dari atau sama dengan1,25. b. Agak lemah, menggambarkan kondisi faktual yang netral ke arah negatif. 19
Freddy Rangkuty, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis- Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21, Jakarta, Gramedia Pustaka Umum, 1997, hlm. 19. 20 J. Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hlm. 218 -240. 21 Skala nilai yang dipakai dalam pilihan jawaban kuesioner adalah 0 s.d. 5.
14
Dalam data kuantitatif, kondisi ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kondisi faktual lebih dari 1,25 kurang dari 2,5. Kondisi netral menggambarkan kondisi faktual yang tidak negatif dan tidak positif. Dalam data kuantitatif, kondisi ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kondisi faktual = 2,5. Yang dimaksud kondisi kuat adalah kondisi yang berada dalam kondisi cukup baik dan sangat baik. Kategori ini terdiri dari kategori yang disebut: a. Agak kuat, menggambarkan kondisi faktual netral ke arah positif. Dalam data kuantitatif, kondisi ini dapat dilihat dari nilai rata-rata kondisi faktual dengan nilai lebih dari 2,5, kurang dari atau sama dengan 3,75. b. Kuat Dalam data kuantitatif, kondisi ini dapat dilihat dari kondisi faktual dengan nilai lebih dari atau sama dengan 3,75. Yang dimaksud motivasi dan kebutuhan adalah harapan besar dari responden untuk meningkatkan kondisi faktual ke arah lebih positif (lebih baik). Motivasi atau kebutuhan merupakan sinyal yang penting untuk diperhatikan dalam transformasi kehidupan jemaat. Dalam data kuantitatif, motivasi dan kebutuhan dihitung dengan dengan rumus: 22 M/K = ≥ N + (25% x N ) M/K = motivasi /kebutuhan. N
= rata-rata selisih kondisi ideal dan faktual.
Yang dimaksud dengan masalah adalah kondisi faktual yang lemah namun motivasi atau kebutuhan tinggi. Identifikasi data dalam kategori-kategori di atas
22
Hasil diskusi dengan tim pembangunan jemaat fakultas Theologia UKDW.
15
akan berguna dalam penentuan prioritas penanganan masalah dan menyiapkan langkah-langkah strategis. 1.7.2.4. Diskusi dengan Responden Pada tanggal 15 Januari 2006 telah dilakukan pertemuan dengan responden untuk menyajikan laporan hasil penelitian lapangan dan mendiskusikannya. Pertemuan dan diskusi ini dilakukan dalam rangka menempatkan responden sebagai subyek penelitian. Dalam diskusi, responden memberikan komentar atas data-data hasil penelitian dan memberikan masukan-masukan untuk proses analisis selanjutnya serta usulan langkah-langkah yang perlu disiapkan untuk membangun GKI Residen Sudirman Surabaya.23 1.8. Judul Tesis “BERUBAH UNTUK BERBUAH” SEBUAH RANCANG BANGUN MODEL PEMBANGUNAN JEMAAT TRANSFORMATIF (Sumbangan Teologi Praktis Dalam Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual Di Gereja Kristen Indonesia Residen Sudirman Surabaya) Kalimat “berubah untuk berbuah” mewakili kerinduan gereja untuk terus-menerus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan jaman, seperti semboyan gereja reformasi Ecclesia Reformata Semper Reformanda. Tentunya setiap perkembangan gereja diikuti perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan itu positif jika diarahkan untuk menghasilkan buah-buah kehidupan yang membawa kesejahteraan bagi banyak orang. Setiap gereja dipanggil untuk senantiasa 23
Catatan diskusi dengan responden dapat dilihat dalam lampiran 2.
16
memperbaharui diri agar dapat menghasilkan buah-buah yang menjadi berkat bagi masyarakat. Pengertian model dalam judul tersebut adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan.24 Dipilih kata model karena yang dimaksud bukan prinsip yang dapat diterapkan untuk semua gereja dalam segala konteks, tapi hanya merupakan salah satu contoh pola pembangunan jemaat kontekstual di Indonesia. Model tersebut didasari dan diarahkan oleh landasan teologis yang mendasar, bukan sekedar alasan praktis. Pembangunan jemaat berasal dari pengertian oikodomik artinya membangun rumah, menurut gambaran biblis tentang jemaat sebagai “rumah rohani” di mana para anggotanya dianggap sebagai batu-batu yang hidup ( I Petrus 2:5). Jadi pembangunan jemaat didefinisikan sebagai: “Teori teologis tentang menggerakkan dan mendampingi proses-proses yang diarahkan pada berfungsinya jemaat dalam situasi tertentu dengan segala kemungkinankemungkinannya dan menurut panggilannya. Teori teologis ini juga menggerakkan dan mendampingi proses-proses yang diarahkan kepada pembentukan struktur-struktur yang memadai bagi berfungsinya jemaat tersebut”.25
Pembangunan jemaat merupakan paham inti dalam teologi praktis yang memiliki aspek empiris dan normatif. Pembangunan jemaat menolong jemaat beriman lokal (setempat) agar dengan penuh tanggungjawab berkembang menuju persekutuan iman yang mengantarai keadilan dan kasih Allah, dan yang terbuka terhadap masalah manusia di masa kini. Judul tesis ini memakai istilah pembangunan jemaat (bukan pembangunan gereja) karena kata gereja sering diartikan secara umum atau universal. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah intervensi sistematis dan metodis dalam tindak-tanduk
24 25
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hlm. 751. G. Heitink, Teologi Praktis, 1999, hlm. 213.
17
jemaat beriman setempat.26 Dalam istilah jemaat mengandung sifat kelembagaan gereja setempat (gereja lokal) Kata kontekstual berarti berhubungan dengan konteks. Hal ini terkait erat dengan pengertian kata konteks dan kontekstualisasi. Konteks adalah ruang lingkup hidup manusia yang bukan hanya berarti fisik dan geografis tetapi mencakup latar pengalaman hidup sehari-hari.27 Hal ini terkait dengan falsafah, sistem berpikir terhadap realita, agama, budaya, dan problem-problem masyarakat yang aktual. Sedangkan kontekstualisasi adalah dialog kritis dan konstruktif dengan konteks sehingga memperhatikan praksis iman yang transformatif. Dalam proses kontekstualisasi kita melakukan interpretasi dan mendialogkan konteks Alkitab, konteks tradisi gereja dan konteks lokal dalam proses hermeneutis.28
1.9. Sistematika Penulisan Bab 1 : Pendahuluan 1.1. Permasalahan 1.2. Landasan Teoritis Penelitian 1.3. Asumsi Dasar Penelitian 1.4. Lingkup Penelitian 1.5. Tujuan Penulisan 1.6. Landasan Teoritis Metode Penelitian 1.7. Metode Penelitian 1.8. Judul Tesis 1.9. Sistematika Penulisan 26
P.G. van Hooijdonk, Batu-Batu Yang Hidup, 1996, hlm. 32. A. Riyanto (ed), Membangun Gereja dari Konteks, Malang, Dioma, 2004, hlm 1-5. 28 E.G. Singgih, Dari Israel ke Asia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1982, hlm. 59. 27
18
Bab 2: Landasan Teoritis Pembangunan Jemaat Transformatif Dalam bab ini dipaparkan landasan teoritis pembangunan jemaat transformatif. Bab 3: Mengamati Pembangunan Jemaat GKI Residen Sudirman Surabaya. Bab ini berisi tentang data dan fakta empiris sebagai laporan hasil penelitian lapangan di GKI Residen Sudirman Surabaya. Bab 4: Analisis Masalah Pembangunan Jemaat GKI Residen Sudirman Surabaya. Bab ini berisi tentang analisis terhadap masalah-masalah pembangunan jemaat GKI Residen Sudirman Surabaya, sebagai bagian dari proses hermeneutis. Bab 5: Refleksi Teologis sebagai Landasan Normatif Pembangunan Jemaat Transformatif Bab ini berisi tentang refleksi teologis sebagai dasar normatif menuju perencanaan strategis. Bab 6: Mewujudkan Pembangunan Jemaat Transformatif Bab ini berisi tentang perencanaan strategis dalam pembangunan jemaat transformatif. Bab 7: Penutup.
19