I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya
menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a). Argumennya adalah karena pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja masih relatif seimbang.
Pendapat itu
ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Namun perkembangan angka pengangguran pada tahun 1990-an dan tahun 2000-an menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Hal ini tercermin dari besarnya penambahan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan penambahan lapangan kerja. Tabel 1 memperlihatkan bahwa permasalahan ketenagakerjaan Indonesia sepertinya masih akan sulit diatasi karena adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja. Ketidakseimbangan ini dapat berakibat pada penyerapan angkatan kerja yang relatif terbatas dan tidak proporsional sehingga angka penganguran diperkirakan dapat terus bertambah. Jika perkiraan pertumbuhan ekonomi pada 2007 dan 2008 sebesar 5.91 persen dan 6.50 persen, maka angka pengangguran terbuka tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 9.12 juta orang atau 8.00 persen dari angkatan kerja. Di balik fakta permasalahan semakin meningkatnya angka pengangguran di Indonesia, selanjutnya sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wewenang
2 Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia Jumlah Periode* Angkatan Kerja (juta)
Pertumbuhan Kerja Baru Ekonomi (juta) (%) Angkatan
Jumlah Orang yang Bekerja (juta)
Pertambahan Tambahan Lapangan Kerja per Lapangan 1 % Pertumbuhan Kerja (juta) Ekonomi (ribu)
Pengangguran Terbuka (juta)
(%)
1997
91.32
3.13
4.70
87.05
3.15
670.21
4.28
4.69
1998
92.73
1.41
-13.13
87.67
0.62
-47.22
5.06
5.46
1999
94.85
2.11
0.79
88.82
1.44
143.03
6.03
6.36
2000
95.65
0.94
4.92
89.84
1.00
208.25
5.81
6.07
2001
98.81
3.16
3.44
90.81
0.97
281.98
8.00
8.10
2002
100.78
1.97
3.66
91.65
0.84
229.51
9.13
9.06
2003
102.63
1.85
4.10
92.81
1.16
282.93
9.82
9.50
2004
103.97
1.34
5.05
93.72
0.91
180.20
10.25
9.86
2005
105.80
1.83
5.60
94.95
1.23
219.64
10.85
10.26
2006
106.28
0.48
6.11
95.18
0.23
37.64
11.11
10.44
2007
112.23
2.17
5.91
101.94
1.96
331.64
10.29
9.19
2008
114.37
2.14
6.50
105.25
3.31
509.23
9.12
7.97
*Keterangan:
Untuk Untuk Untuk Untuk
tahun tahun tahun tahun
1997-2004 menggunakan angka Sakernas-BPS. 2000 tanpa Provinsi Maluku. 2001-2006 menggunakan defenisi pengangguran terbuka yang disempurnakan dan termasuk Provinsi Maluku. 2007-2008 menggunakan angka proyeksi Bappenas.
Sumber:
Depnakertrans, 2007.
3 kepada daerah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya melalui UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Otonomi daerah (otda)merupakan era dimana pemerintah diharuskan melakukan pembangunan daerah dengan fokus utama pada pelimpahan wewenang pemerintahan, perimbangan keuangan, dan pengayaan politik dan sosial budaya penduduk daerah setempat (Oentarto, 2004). Namun, diantara tiga aspek tersebut implikasi otonomi daerah bagi penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian. Fokus utama bidang ketenagakerjaan adalah penting karena salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk. Perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan analisis situasi, merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada ketenagakerjaan. Dalam kaitan ini, semacam informasi ketenagakerjaan dan perekonomian akan sangat membantu sebagai dasar perumusan alternatif kebijakan. Potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis ekonomi secara makro dalam era otda. Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan kajian dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar tenaga kerja dan beberapa indikator ekonomi makro Indonesia (Safrida, 1999; Adriani, 2000; Zulkifli, 2002; Hadi, 2002; Suryahadi, 2003). Namun dalam studi sebelumnya belum dikaji secara eksplisit bagaimana pengaruh perubahan di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan
terhadap
tingkat
pengangguran
perekonomian Indonesia di era otonomi daerah.
dan
transmisinya
pada
4
1.2.
Perumusan Masalah Keberhasilan program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dapat
diukur dari pencapaian sejumlah indikator ekonomi makro. Indikator-indikator tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat secara bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5.1 persen dan menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Namun, data menunjukkan bahwa sasaran kuantitatif tersebut tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2004 masih sekitar 5.13 persen. Sementara angka pengangguran menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004 masih sekitar 9.86 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103.97 juta jiwa. Sampai saat ini pasar tenaga kerja Indonesia masih dicirikan oleh adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Hasil kajian Depnakertrans menyimpulkan bahwa pada tahun 1990-an Indonesia dikategorikan sebagai Labour Surplus Economy yaitu negara yang mempunyai masalah dengan jumlah angkatan kerja yang berlebih (Depnakertrans dan BPPS ,1999). Ekses angkatan kerja ini berlangsung sampai saat memasuki era otda sehingga angka pengangguran dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Berdasarkan data statistik, karakteristik pengangguran Indonesia didominasi oleh TK berpendidikan rendah seperti pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda Tahun
Jumlah Pengangguran Berdasarkan Pendidikan (Ribu Orang)
Rendah
Menengah
Tinggi
2001
4 531.31
2 933.49
540.23
2002
5 368.13
3 244.13
519.84
2003
5 688.61
3 397.01
445.47
2004
5 970.49
3 695.51
585.36
Rata-rata
5 389.64
3 317.54
522.73
Sumber : BPS, 2007.
Menurut Depnakertrans, distribusi tenaga kerja menurut status pekerjaan, tingkat pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi dan pembangunan. Ada dua alasan mengapa terjadi pergeseran struktur tenaga kerja yaitu : (i) terjadinya penurunan peran tenaga kerja pada sektor yang mempunyai produktivitas rendah yaitu sektor pertanian dan (ii) perkembangan yang cepat dari buruh penerima upah yang terkonsentrasi di sektor industri. Perubahan distribusi tenaga kerja tersebut searah dengan dinamika pembangunan ekonomi yang awalnya bertumpu pada sektor pertanian kemudian beralih ke sektor industri. Pada periode tahun 1970-an sumbangan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 45 persen dan pada tahun 2000-an telah turun menjadi kurang dari 16 persen. Selain karena bertambahnya angkatan kerja baru, pertambahan jumlah penganggur Indonesia juga disebabkan oleh peningkatan kasus Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK seperti pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK di Era Otda Tahun
Jumlah PHK (orang)
Jumlah Pengangguran Terbuka (000 orang)
2001
85 537.00
8 005.03
2002
116 176.00
9 132.10
2003
85 020.00
9 531.09
2004
66 009.00
10 251.35
Rata-rata
88 186.00
9299.89
Sumber: Depnakertrans, 2007. Tabel 3 memperlihatkan selama tahun 2002 jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang.
Jumlah ini telah mendekati
jumlah pekerja yang terkena PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat sebanyak 127.735 orang. Secara umum rata-rata jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan pada era otda lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelum memasuki era otda. Menekan angka pengangguran hingga mencapai tingkat sebagaimana ditargetkan Propenas tentunya memerlukan upaya keras dan sistematis. Angka pengangguran sampai tahun 2008 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 9.12 juta jiwa atau 7.97 persen dari total angkatan kerja. Seperti yang telah ditargetkan Propenas untuk menurunkan angka pengangguran, target Propenas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena pada tahun 2007-2008 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan hanya sekitar 6 persen. Sejalan dengan permasalahan diatas, di sisi lain, pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan
yang
berkaitan
dengan
ketenagakerjaan.
Kebijakan
7 ketenagakerjaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan kerja.
Sisi normatif merupakan kebijakan perlindungan
norma-norma sosial ketenagakerjaan yang diatur oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyediaan lapangan kerja lebih banyak diatur secara bersamasama pada masing-masing sektor. Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia meliputi: (1) kebijakan tentang pengupahan, (2) hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha serta pengaturan tentang penyelesaian perselisihan termasuk didalamnya pemogokan kerja dan pengaturan tentang permutusan hubungan kerja termasuk di dalamnya uang pesangon dan pengaturan jam kerja, dan (3) pengaturan organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan lain-lain. Berkaitan dengan kebijakan normatif ketenagakerjaan, ada dua pihak yang seharusnya mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah dalam memikirkan dan merealisasikan kebijakan sehingga tidak merugikan para pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh dari sisi pengupahan, pemerintah membuat peraturan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang setiap tahunnya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Di pihak pekerja, kebijakan ini bertujuan agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Tetapi dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) periode 2001-2004 penetapan nilai upah minimum hanya mampu memenuhi rata-rata 89.63 persen dari KHM (BPS, 2006). Artinya kesejahteraan buruh yang menjadi target kebijakan upah minimum masih rendah. Sementara pihak pengusaha merasa diberatkan, seharusnya kebijakan tersebut tetap
8 memperhatikan kelangsungan perusahaan dan juga bagi perekonomian makro. Peningkatan upah minimum dapat berdampak pada rendahnya penanaman modal luar negeri dan memperburuk inflasi (karena upah yang meningkat akan dibebankan pada harga output). Selanjutnya pemerintah membuat keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 dan Undang-undang no 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Selanjutnya tentang adanya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep – 226/ Men/ 2000 bahwa upah minimum untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota ditinjau ulang satu tahun sekali. Dalam pelaksanaan keputusan ini memunculkan masalah yang menimbulkan pro kontra diantara pihak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun kelompok masyarakat lainnya (Simanjuntak, 2005). Ada banyak kontroversi seputar kebijakan ketenagakerjaan di atas. Menurut pihak pengusaha, kebijakan ketenagakerjaan ternyata membuat beban pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran berat (Wirahyoso, 2002). Disamping itu adanya UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 Pasal 76 tentang aturan mempekerjakan perempuan yang relatif dapat meningkatkan hiaya operasional perusahaan dapat menjadi pemicu tingginya tingkat pengangguran tenaga kerja perempuan. Demikian pula tentang kontroversi
9 keputusan upah yang terus berkepanjangan.
Kebijakan normatif memang
dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja.
Namun di sisi lain,
kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat mengurangi daya serap pasar kerja. Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja dan perekonomian makro yang dapat tercermin pada tingginya tingkat pengangguran. Diperlukan suatu kajian secara ilmiah agar kebijakan ketenagakerjaan secara makro dapat memenuhi harapan pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk perekonomian Indonesia di era otda yang akan datang. Berkenaan dengan semakin meningkatnya permasalahan perburuhan, tingkat pengangguran dan adanya berbagai kebijakan ketenagakerjaan oleh pemerintah sebagai alat pemulihan perekonomian dan juga oleh pemerintah daerah sebagai alat kebijakan sosial, maka secara umum pertanyaan yang muncul adalah "Bagaimanakah dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah ?". Secara lebih spesifik, studi ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimanakah perilaku pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah dengan adanya faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan? 2. Bagaimanakah kemungkinan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah di masa lalu dan di masa yang akan datang?
10 1.3.
Tujuan Penelitian Fokus penelitian diarahkan pada era otonomi daerah (otda). Secara khusus
tujuan penelitian yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja didasarkan pada disagregasi tingkat pendidikan dan sektor ekonomi. 1. Mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda. 2. Menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia. 3. Mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2001-2004. 4. Meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2007-2010.
1.4.
Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan pertimbangan perencanaan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih tepat dalam rangka menjaga kestabilan tingkat pengangguran dan indikator ekonomi makro lainnya pada era otonomi daerah di Indonesia, dan 2. Sebagai
referensi
pembanding
dan
stimulan
bagi
penelitian
ketenagakerjaan selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1. Dampak kebijakan yang dianalisis merupakan suatu analisis simulasi;
11 2. Kebijakan
ketenagakerjaan
yang
dianalisis
adalah
kebijakan
ketenagakerjaan dari sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan kerja; 3. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada tingkat pengangguran berdasarkan disagregasi tingkat pendidikan; 4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional; 5. Data penelitian dari tahun 1980 sampai tahun 2004; 6. Kebijakan ketenagakerjaan yang dianalisis adalah kebijakan upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan industrial; 7. Cakupan sektoral dibatasi pada sektor pertanian, industri, dan jasa kemasyarakatan; 8. Data penawaran TK menggunakan data jumlah angkatan kerja; 9. Disagregasi penawaran TK dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan rendah, menengah, dan tinggi; dan 10. Memburuknya perselisihan hubungan industrial diproksi dengan data jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa.