BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kependudukan merupakan masalah yang cukup serius di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang cukup besar Indonesia tidak lantas memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai. Oleh karena itu sejak tahun 1970 pemerintah
mencanangkan
program
Keluarga
Berencana
(KB)
guna
melaksanakan kebijakan kependudukan. Program Keluarga Berencana Nasional merupakan program yang
pada awalnya bertujuan untuk menurunkan angka
kelahiran dan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Melalui program KB Nasional tersebut pemerintah mampu menurunkan angka pertumbuhan penduduk di Indonesia. Keberhasilan tersebut ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kelahiran atau Total Fertility Rate (TFR) yang cukup berarti yaitu turun dari 5,6 anak per Pasangan Usia Subur (PUS) pada tahun 1971 menjadi 2,6 anak per PUS pada SDKI tahun 2007 (Tukiran,dkk 2010 : 139). Penurunan TFR tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya angka penggunaan kontrasepsi atau Contraceptive Prevalensi Rate (CPR) yaitu 60,3 (SDKI 2002-2003) Menjadi 61,4 (SDKI 2007). Keberhasilan program KB tersebut tidak lepas dari peran dan partisipasi aktif perempuan atau istri yang dengan sukarela menggunakan alat kontrasepsi untuk tujuan mengatur jarak kelahiran atau menghentikan kelahiran. Dominasi
1
peran istri tersebut salah satunya disebabkan oleh terbatasnya jenis varian produk kontrasepsi bagi pria, kebijakan program yang dikembangkan masih sangat bias gender antara lain varian alat kontrasepsi yang tersedia serta sasaran program advokasi/KIE (Komunikasi, Informasi Edukasi) yang selama ini dilakukan lebih banyak diarahkan untuk perempuan. Berdasarkan hasil dari Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo pada tahun 1940, program KB mengalami perubahan paradigma yaitu dari pendekatan pengendalian populasi menjadi pendekatan kesehatan reproduksi dengan memperhatikan hak reproduksi dan juga kesetaraan gender.1 Sejalan dengan perubahan ini program KB di Indonesia juga mengalami perubahan yang diperkuat dan ditetapkannya Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Diamanatkan pada pasal 25 ayat 1 yaitu Suami dan/atau istri mempunyai kedudukan,hak, dan kewajiban yg sama dalammelaksanakan KB. Perubahan paradigma ini menuntut adanya perubahan program terutama dengan menjamin kualitas pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang lebih baik dan keadilan gender melalui pemberdayaan perempuan serta peningkatan partisipasi pria. Dengan meningkatnya partisipasi pria dalam ber-KB dan terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengendalian pertumbuhan penduduk dan penanganan masalah kesehatan reproduksi, serta meningkatkan status kesehatan perempuan dan akhirnya berdampak terhadap penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak. 1
Lihat Tukiran, Agus J. P, Prande M. K. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : PSKK UGM. hal 48. 2010
2
Walaupun secara umum program KB dinilai telah memperlihatkan keberhasilan, namun bila dilihat dari sudut mikro ternyata masih menyisakan berbagai persoalan dan fenomena yang harus dicermati dengan seksama. Persoalan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan program KB yang diperuntukan bagi kaum pria. Jenis KB pria ini ternyata masih dapat dikatakan kurang berhasil jika dibandingkan dengan jenis KB untuk wanita, hal ini ditunjukan dengan jumlah kesertaan pria yang relatif masih rendah. Angka partisipasi pria secara langsung dalam program KB masih rendah baik dalam tingkat nasional ataupun daerah. Rendahnya angka partisipasi pria dalam ber-KB ini disebabkan oleh berbagai faktor. Dari beberapa studi yang dilakukan ternyata penyebab rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB anatara lain: (1) pilihan/jenis kontrasepsi pria terbatas, (2) sasaran KIE dan konseling lebih kepada perempuan, (3) belum optimalnya provider untuk memberikan pelayanan kontrasepsi pria, (4) faktor sosial budaya serta dukungan politis dan operasional yang masih terbatas yang menganggap KB dan kesehatan reproduksi serta kesehatan ibu dan anak adalah urusan perempuan, (5) pengetahuan dan kesadaran pria dalam pemakaian kontrasepsi masih rendah (BKKBN : 2001). Disamping itu persoalan keyakinan atau agama juga menambah deretan faktor berpengaruh lainnya. Pada tahun 1979 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan tidak bisa menerima vasektomi sebagai alat kontrasepsi dan dilanjutkan pada tahun 2009 dengan mengeluarkan fatwa haram untuk vasektomi. Alasannya adalah vasektomi yang dilakukan dengan memotong saluran sperma ini dianggap sebagai pemandulan permanen
3
dan sangat bertolakbelakang dengan hukum agama islam. Akan tetapi pada Juli 2012 MUI kemudian mengeluarkan fatwa baru untuk vasektomi yaitu diperbolehkan (mubah). Perubahan fatwa ini didasari oleh pembuktian bahwa vasektomi bukanlah pemandulan permanen karena bagi yang masih ingin menginginkan
anak
dapat
ditempuh
upaya
medis
rekanalisasi
yaitu
penyambungan kembali saluran sperma untuk memulihkan fungsi (Suara Merdeka, 21 Juni 2012). Di tingkat nasional pada Desember 2012 jumlah partisipasi baru KB pria sebesar 8.45% terdiri dari metode kontrasepsi menggunakan kondom sebesar 8,16% dan vasektomi sebesar 0,29%.Sedangkanuntuk tingkat provinsi di DIY sebesar 9,06% terdiri dari pengguna kondom 8,5% dan MOP sebesar 0,56%. 2 Meskipun tingkat partisipasi pria di DIY lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional, akan tetapi jelas terlihat bahwa prosentase kesertaan pria sangat kecil dibandingkan dengan peserta KB secara keseluruhan. Selanjutnya penulis memilih lokus penelitian di Kota Yogyakarta dengan alasan bahwa masih tingginya angka ketimpangan partisipasi pria dan wanita dalam program KB di kota ini. Ditingkat kabupaten/kota pada tahun 2012, Kota Yogyakarta menduduki peringkat terendah untuk pencapaian kesertaan baru KB pria. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
2
Lihat http://aplikasi.bkkbn.go.id/sr/Klinik/Laporan/Bulanan/Tabel29A.aspx ( Tabel 29A. Hasil Pelayanan
Peserta KB Baru Menurut Metode Kontrasepsi Tahun 2012)
4
Tabel 1.1 Jumlah Peserta Baru KB Pria di provinsi DIY s/d Desember 2012 Kabupaten Kota Bantul
/
Jumlah Peserta 17.017
Peserta MOP 106
Peserta Kondom 1.575
Jumlah Peserta Baru KB Pria 1.681
Sleman
16.348
136
1.502
1.638
Gunung Kidul
13.987
38
1.001
1.039
Kulon Progo
7.572
36
963
999
Yogyakarta
6.489
29
181
210
Sumber: Hasil Laporan dan Pencatatan BKKBN
Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2012 hingga bulan Desember tercatat jumlah peserta baru KB pria di Kota Yogyakarta menduduki peringkat terendah yaitu sebesar 3,24% atau sebanyak 210 peserta. Untuk jenis kontrasepsi MOP atau vasektomi, menduduki peringkat terbawah dengan jumlah peserta 29 orang atau sebesar 0,45% dan untuk jenis kontrasepsi kondom sebanyak 181 peserta atau sebesar 2,79% dari total jumlah peserta KB baru di Kota Yogyakarta. Pada beberapa penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya partisipasi pria adalah dikarenakan terbatasnya akses dan informasi yang ada. Dengan pertimbangan hal itu penulis sengaja memilik lokus perkotaan dibandingkan pedesaan dengan asumsi bahwa masyarakat kota lebih mudah dalam mengakses informasi dibandingkan dengan masyarakat di pedesaan. Selain itu, menurut Purwoko 2000 (dalam Ekarini 2008) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi akan lebih dapat berfikir rasional terhadap perubahan pembaharuan keluarga berencana dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan sehingga penulis berasumsi
5
bahwa seharusnya Kota Yogyakarta memiliki tingkat partisipasi pria yang lebih tinggi karena pengetahuan reproduksi secara umum diajarkan pada pendidikan formal di sekolah. Selain itu masyarakat kota juga diasumsikan lebih sadar dan peduli terhadap kesetaraan gender dan pembagian peran antara suami dan istri. Akan tetapi data yang ada menunjukan adanya keterbalikan, perkotaan ternyata tingkat partisipasinya lebih rendah dibanding dengan kabupaten di wilayah pedesaan. Kesetaraan hak reproduksi ini apakah kemudian sudah dipahami dan diterapkan dalam pemberian pelayanan KB di Kota Yogyakarta. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian di Kota Yogyakarta dengan cara melihat kualitas pelayanan vasektomi. Berikut ini perkembangan kesertaan pria dalam menggunakan kontrasepsi di Kota Yogyakarta selama 4 tahun terakhir (2009-2012): Tabel 1.2 Jumlah Peserta KB Aktif di Kota Yogyakarta Pria
Jumlah Peserta KB Aktif
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
2009
34.665
161
0,46%
5.624
16,22%
28.880
83,32%
2010
35.380
179
0,51%
5.912
16,71%
29.289
82,78%
2011
33.697
209
0,62%
6.345
18,83%
27.143
80,55%
2012
34.737
223
0,64%
6.240
17,96%
28.274
81,39%
Tahun
MOP
Kondom
Wanita
Sumber : Hasil Laporan dan Pencatatan BKKBN
Dalam empat tahun terakhir ini, angka peserta aktif pria dalam mengikuti program KB di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan. Akan tetapi jumlah pengguna kontrasepsi vasektomi atau MOP (Metode Operasi Pria) masih sangat
6
rendah yaitu kurang dari 1%. Peningkatan yang terjadi masih dapat dibilang cukup lambat dan apabila dilihat dari jumlah peserta wanita masih terlihat sangat timpang. Tabel 1.3 Jumlah Peserta KB Barudi Kota Yogyakarta Pria
Jumlah Tahun
MOP
Peserta
Kondom
Wanita
KB Baru
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
2009
7.226
194
2,68%
433
5,99%
6.599
91,31%
2010
6.515
154
3,43%
132
1,48%
6.229
95,08%
2011
6.157
110
1,79%
146
2,37%
5.901
95,85%
2012
6.489
29
0,45%
181
2,79%
6.279
96,76%
Sumber : Hasil Laporan dan Pencatatan BKKBN
Kemudian untuk peserta baru di Kota Yogyakarta khususnya apabila dilihat dari partisipasi pria jumlahnya dalam empat tahun terakhir ini mengalami penurunan. Baik untuk kontrasepsi MOP ataupun dalam penggunaan kondom. Untuk tiga tahun terakhir ini memang jumlah peserta KB mengalami penurunan akan tetapi apabila dilihat dari segi presentase jumlah peserta KB wanita mengalami kenaikan. Hal ini dapat diartikan bahwa peserta KB baru lebih banyak wanita daripada pria. Pelaksanaan KB pria cukup sulit dilakukan, khususnya vasektomi. Apalagi pasca otonomi daerah dimana banyak pejabat daerah yang tidak lagi mempunyai komitmen kuat untuk menyukseskan program KB karena dianggap sebagai program yang tidak potensial menghasilkan PAD. Menurut BKKBN upaya implementasi program KB pria terkendalaoleh beberapa ketentuan peraturan
7
daerah yang belum mengakomodirjenis kontrasepsi pria, seperti halnya aspek biaya. Dilain pihak biaya bantuan yangtersedia dari BKKBN jumlahnya terbatas dan tidak mampu menutupi biayayang ditetapkan daerah. Untuk Kota Yogyakarta sendiri dana yang dialokasikan untuk program KB ini sebesar Rp 1,3 milliar pada tahun 2011. Dengan dana sekian, pengadaan alat kontrasepsi bagi pria dan wanita masih belum seimbang. Hal ini tidak terlepas dari terbatasnya alternatif pilihan alat kontrasepsi bagi pria. Di era desentralisasi ini pemerintah daerah diberikan kewenangan dan tanggungjawab lebih untuk melaksanakan program yang ada tanpa harus bergantung dengan kebijakan pemerintah pusat, termasuk dalam hal pembiayaan. Komitmen pemerintah daerah dalam hal ini diuji keseriusannya untuk menjadikan vasektomi sebagai salah satu program yang diprioritaskan atau hanya sekedar menjalankan apa adanya program yang diperintahkan oleh pusat. Tentu saja pemimpin di masing-masing daerah memiliki pemikiran yang berbeda terhadap pelaksanaan program vasektomi di lingkup wilayahnya masing-masing. Untuk Kota Yogyakarta sendiri, setidaknya ada dua pihak pemerintah yang ikut berperan, yaitu pemerintah pusat diwakili BKKBN propinsi dan pemerintah daerah diwakili Kantor KB Kota. Agar kebijakan masing-masing pihak pemerintah antara pusat dan pemda tersebut tidak bertentangan maka diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik. Oleh karena itu berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan tentu sangat menarik untuk mengetahui bagaimana sebenarnya pemerintah daerah selama ini berperan sebagai provider vasektomi di Kota Yogyakarta.Dilihat dari 8
sisi kualitas pelayanan yang diberikan apakah sudah ada kesesuaian program yang dilaksanakan dengan ukuran-ukuran standar kualitas yang ada serta hambatan yang terjadi dalam program yang dilaksanakan. Penilaian dari sisi penyedia pelayanan ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pemerintah memahami vasektomi sebagai bagian dari program KB, dan menempatkan vasektomi dalam program serta kebijakan yang ada, serta melihat kesesuaian pelaksanaannya. Berbicara mengenai kualitas pelayanan, ukurannya bukan hanya ditentukan oleh pihak yang melayani saja (provider) tetapi banyak ditentukan oleh pihak-pihak yang dilayani (akseptor) karena merekalah yang menikmati layanan sehingga dapat mengukur kualitas pelayanan berdasarkan harapan-harapan mereka dalam memenuhi kepuasannya (Bharata 2004). Akses terhadap pelayanan KB yang berkualitas merupakan suatu unsur penting dalam upaya mencapai pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana tercantum dalam ICPD. Hal ini termasuk hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan akses terhadap berbagai metode kontrasepsi yang terjangkau. Informasi mengenai berbagai macam alat atau metode kontrasepsi yang memadai akan membantu seseorang untuk menentukan pilihan pemakaian alat kontrasepsi secara lebih tepat. Akan tetapi hingga saat ini informasi yang utuh merupakan bagian yang paling lemah dari beberapa komponen kualitas pelayanan, sehingga seringkali menyebabkan kurangnya pemanfaatan pelayanan yang tersedia. Selain itu di era desentralisasi ini pemerintah daerah mengahadapi tantangan dalam pelaksanaan program yaitu antara lain menurunnya kuantitas dan kualitas pengelola program KB dan mekanisme operasional seringkali tidak berjalan
9
seperti yang diharapkan. Keterbatasan sumber daya manusia menjadi salah satu hambatan pemerintah dalam merealisasikan berbagai program secara optimal. Sumber daya manusia yang berkualitas tentu saja menjadi salah satu unsur penting pelaksana program-program yang telah dibuat. Namun, permasalahan ini tidak lantas dapat dijadikan pembenaran untuk tidak memberikan pelayanan yang berkualitas. Oleh karena itu kualitas pelayanan menjadi fokus utama dalam penelitian ini karena memang baik buruknya pelayanan akan sangat berpengaruh terhadap respon pelanggan untuk tidak atau menggunakan pelayanan tersebut. Sama halnya pada pelayanan vasektomi, mutu pelayanan juga sangat berpengaruh terhadap pelanggan dalam hal ini adalah akseptor pria untuk mau menggunakan pelayanan tersebut atau tidak. Terlebih lagi dari beberapa data di lapangan menunjukkan masih terdapat beberapa aspek yang belum dapat terlaksana dengan baik dalam pelaksanaannya. Sehingga peneliti tertarik untuk lebih lanjut mengetahui sejauh mana Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai provider dalam memberikan pelayanan KB pria vasektomi. Pentingnya penelitian tentang kualitas pelayanan dalam KB pria vasektomi ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ekarini tahun 2008 yang menjelaskan bahwa kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pria dalam berKB. Lebih lanjut dijelaskan pula oleh hasil studi kualitatif BKKBN di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun2001(dalam Budisantoso 2008)yang menunjukkan kualitas pelayanan menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi pria dalam KB. Melalui pengukuran kualitas pelayanan maka dapat dilakukan
10
proses penilaian yang objektif dalam perbaikan manajemen pelayanan. Dengan peningkatan kualitas pelayanan KB khususnya pada jenis KB pria diharapkan bisa memperbaiki perilaku melalui peningkatan pemakaian ataupun juga untuk memperbaiki minat serta pemaknaan masyarakat terhadap jenis kontrasepsi pria. 1.2Rumusan Masalah Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program KB berdasarkan perubahan paradigma yang disepakati dalam ICPD 1994. Perubahan paradigma ini menuntut adanya perubahan program terutama dengan menjamin kualitas pelayanan keluarga berencana serta memberikan kesempatan yang sama bagi suami dan istri untuk berpartisipasi secara langsung dalam program KB.Kualitas pelayanan menjadi isu penting dalam mendukung keberhasilan program tersebut. Dengan peningkatan kualitas pelayanan KB khususnya pada jenis vasektomi diharapkan bisa memperbaiki perilaku melalui peningkatan pemakaian ataupun juga untuk memperbaiki minat serta pemaknaan masyarakat terhadap jenis kontrasepsi pria.Peneliti tertarik untuk lebih memahami permasalahan tersebut dengan melakukan penelitian pada kualitas pelayanan dalam penyelenggaraan pelayanan vasektomi. Berdasarkan latarbelakang tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu: 1. Bagaimanakah kualitas pelayanan vasektomi di Kota Yogyakarta? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap kualitas pelayananvasektomi di Kota Yogyakarta?
11
1.3 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan laporan hasil penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kualitas pelayananvasektomi di Kota Yogyakarta dengan menggunakan dimensi dalam pengukuran kualitas pelayanan KB pria vasektomi. 2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pelayanan vasektomi di Kota Yogyakarta. 1.4 Manfaat Manfaat dari penelitian mengenai kualitas pelayanan vasektomi di Kota Yogyakarta antara lain : 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan-kebijakan upaya peningkatan kualitas pelayanan KB priavasektomi. 2. Sebagai bahan masukan bagi BKKBN Yogyakarta dalam memberikan pelayanan. Mempertahankan aspek pelayanan yang sudah baik dan memperbaiki serta meningkatkan aspek-aspek pelayanan yang masih kurang baik dalam rangka memberikan pelayananvasektomi yang lebih berkualitas. 3. Menambah atau melengkapi hasil penelitian sebelumnya dengan teknik analisis yang berbeda serta sebagai bahan masukan bagi penilitian serupa di masa datang.
12