I. PENDAHULUAN Gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) baik hama maupun penyakit relatif tinggi setiap tahun. Gangguan tersebut belum dapat dikendalikan secara optimal sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik berupa kehilangan hasil, menurunkan mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta penurunan pendapatan petani. Di masa depan diperkirakan gangguan OPT akan semakin kompleks, yang antara lain akibat perubahan fenomena iklim global yang berpengaruh terhadap pola musim/cuaca lokal yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan OPT. Disamping itu permasalahan OPT akan terus muncul karena masalah-masalah lain seperti dampak dari pemilikan lahan yang sempit, penggarap yang bukan pemilik, terbatasnya modal, tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan petani, permasalahan irigasi, pasar dan harga produksi. Undang-undang No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman mengamanatkan bahwa pengendalian OPT dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). Konsepsi PHT bukan berarti pengendalian “hama” ansig (dalam arti kata yang sebenarnya), tetapi hama yang dimaksud yaitu OPT adalah suatu cara pendekatan komprehensif dalam pengelolaan ekosistem terpadu yang mencakup pengelolaan OPT pada inangnya (tanaman) secara terpadu di suatu ekosistem dalam ruang dan waktu, untuk suatu proses produksi yang optimal, secara ekonomi lebih menguntungkan, secara ekologis aman, dan secara sosial budaya dapat diterima, yang tidak terpisahkan dari sistem dan usaha agribisnis. Penerapan PHT secara operasional mencakup upaya secara preemtif dan responsif.
Upaya preemtif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada
informasi dan pengalaman status OPT waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, jarak tanam, penyiangan, penggunaan antagonis dan budidaya lainnya untuk menciptakan budidaya tanaman sehat. Sedangkan upaya responsif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status OPT dan faktor yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya manfaat dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini antara
1
lain seperti penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, atraktan dan pestisida kimia Untuk melaksanakan tindakan operasional tersebut di atas diperlukan informasi ekologis, terutama tentang perkembangan populasi/serangan OPT dan musuh alaminya, perkembangan tanaman inang, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan OPT (faktor iklim, irigasi, kondisi lahan). Informasi tersebut artimya merupakan pemahaman terhadap agroekosistem yang akan dikelola dengan melakukan analisis terhadap data historis ekologis atau analisis ekosistem.
Hasil analisis ekosistem tersebut dapat disusun dalam suatu model
prediksi kejadian serangan OPT atau model peramalan OPT, yang selanjutnya hasil aplikasi model peramalan berupa informasi peramalan OPT pada suatu daerah atau lokasi dapat dijadikan input dalam merencanakan agroekosistem atau merencanakan usahatani.
Pada lingkup kelompok tani, perencanaan kegiatan tersebut dapat
dituangkan melalui penyusunan RDK dan RDKK . Dalam ilmu manajemen, peramalan termasuk dalam unsur perencanaan, dan perencanaan merupakan bagian yang terpenting dalam manajemen.
Karena itu
peramalan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan untuk suatu tindakan. II. PENGERTIAN, SASARAN DAN TUJUAN PERAMALAN 1. Pengertian Peramalan OPT adalah kegiatan yang diarahkan untuk mendeteksi dan memprediksi populasi/serangan OPT serta kemungkinan penyebaran dan akibat yang ditimbulkan dalam ruang dan waktu tertentu. Peramalan OPT merupakan bagian penting dalam program dan kegiatan penerapan PHT dalam kegiatan perencanaan ekosistem yang tahan terhadap gangguan OPT (budidaya tanaman sehat). 2. Sasaran Sasarannya adalah untuk (1) menduga kemungkinan timbulnya OPT, (2) mendeteksi
dan
memprediksi
populasi/serangan
dan
kerusakan
yang
ditimbulkan OPT berdasarkan hasil pengamatan terhadap komponen-komponen
2
yang berpengaruh di lapang, dan (3) menduga kerugian atau kehilangan hasil akibat gangguan OPT. 3. Tujuan Memberikan informasi tentang populasi, intensitas serangan, luas serangan, penyebaran OPT pada ruang dan waktu yang akan datang. Informasi tersebut sebagai dasar untuk menyusun perencanaan, saran tindak pengelolaan atau penanggulangan OPT sesuai dengan prinsip, strategi dan teknik PHT. Dengan demikian diharapkan dapat memperkecil resiko berusaha tani, populasi/serangan OPT dapat ditekan, tingkat produktivitas tanaman pada taraf tinggi, menguntungkan dan aman terhadap lingkungan. III. METODE PERAMALAN 1. Jenis Secara umum peramalan terdiri atas dua jenis, yakni peramalan kualitatif dan kuantitatif. Peramalan kualitatif tidak menuntut data seperti yang diperlukan pada peramalan kuantitatif. Peramalan kualitatif digunakan apabila informasi data kuantitatif sangat sedikit atau tidak tersedia. Peramalan kuantitatif terbagi dalam peramalan non formal dan formal. Peramalan
non
formal
yaitu
mencakup
intuisi,
pengalaman
maupun
“professional judgement” yang didasarkan atas pengalaman empiris dengan penggunaan prinsip-prinsip ekstrapolasi dan penetapan nilai namun tidak menggunakan aturan yang baku. Sedangkan peramalan formal menggunakan ekstrapolasi secara sistematik, bersifat baku berdasarkan kaidah statistik. Peramalan kuantitatif dapat diterapkan apabila terdapat tiga syarat kondisi, sebagai berikut: 1). Tersedia informasi tentang kejadian masa lalu (data historis), 2). Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik. Apabila tersedia Informasi kualitatif maka harus dapat dibuat kuantitatif dengan membuat katagori/klasifikasi numerik dari informasi kualitatif tersebut, 3). Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa datang.
3
Secara statistik metode yang disusun dalam peramalan kuantitatif bertumpu pada metode kausal (sebab-akibat) dan metode runtun waktu. Secara skematis jenis peramalan dapat dilihat pada Gambar 1, sebagai berikut:
Gambar 1. Skema jenis peramalan (Maman, A.D., 1986) 2. Prinsip Model peramalan OPT yang dikembangkan secara statistik tersebut menganut prinsip parsimony (hemat), yakni model tersebut harus manageable dan memiliki high quality, yaitu model harus sesedikit mungkin melibatkan parameter namun dapat menyatakan data secara akurat. Artinya model yang dikembangkan
sesederhana
mugkin
sehingga
dapat
diaplikasikan
atau
dilaksanakan dengan pertimbangan sumberdaya manusia, dana dan sarana yang tersedia. 3. Sistem peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan adalah organisme atau jasad yang dapat menyerang tanaman tanpa halangan batas unit-unit wilayah ataupun satuan-satuan
wilayah administrasi, maka dalam pengembangan sistem
peramalan seharusnya dilakukan oleh institusi baik daerah maupun pusat secara terpadu. Institusi yang terlibat dalam sistem peramalan tercantum dalam skema Gambar 2.
4
Gambar 2. Skema sistem peramalan OPT 4. Ruang dan waktu a. Ruang a.1. Peramalan tingkat petak Model peramalan yang dibangun dan diimplemantasikan di tingkat petani adalah peramalan pada areal yang sempit atau tingkat petak. Ekosistem di petak petani terdiri atas komponen-komponen yang relatif homogen baik komoditi, varietas, stadia dan keadaan lingkungan fisik, kecuali komponen populasi/serangan OPT dan musuh alaminya yang mengalami perkembangan atau perubahan dari waktu ke waktu.
Oleh
karena itu pelaksanaan peramalan dan pengambilan keputusan seharusnya menjadi tanggungjawab dan dilakukan oleh seorang petani, berdasarkan
5
hasil pengamatan faktor kunci cukup satu strata variabel yaitu populasi/intensitas serangan hama/penyakit dengan musuh alaminya pada musim tanam yang sedang berlangsung, untuk meramal populasi/ serangan saat fase kritis. a.2. Peramalan tingkat hamparan Ruang hamparan adalah cukup luas, karena itu model peramalan tingkat hamparan dibangun dan diimplemetasikan pada areal yang cukup luas (hamparan pertanaman).
Kondisi ekosistem hamparan relatife
heterogen ditinjau dari komoditi, varietas, stadia, budidaya dan keadaan lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan peramalan dan pengambilan keputusan dilakukan oleh kelompok tani berdasarkan hasil pengamatan dengan faktor kunci dua strata variabel yaitu (1) populasi/intensitas serangan hama/penyakit dengan musuh alaminya dan (2) komposisi komoditi, varietas, stadia dan keadaan lingkungan, pada musim tanam yang sedang berlangsung, serta mempertimbangkan keadaan variabel tersebut pada musim tanam sebelumnya. a.3. Peramalan tingkat wilayah Ruang wilayah adalah diartikan meliputi batas-batas administrasi tertentu, dapat meliputi desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional, regional ataupun internasional. Model peramalan tingkat wilayah dibangun dan diimplementasikan pada tingkat wilayah yang mempunyai kondisi ekosistem yang sangat heterogen dengan tingkatan sesuai luasnya dan keadaan lingkungan wilayahnya.
Disamping budidaya tanaman yang
sangat heterogen juga adanya perbedaan ditinjau dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Pelaksanaan peramalan dan pengambilan keputusan dilakukan oleh petugas/institusi yang bekerjasama dengan petugas/institusi yang terkait sampai dengan petugas lapang dan kelompok tani. Peramalan wilayah tidak hanya berdasarkan dua strata variable pada musim tanam yang sedang berlangsung dan keadaan musim tanam sebelumnya (peramalan hamparan) tetapi seharusnya juga mempertimbangkan strata yang ketiga yaitu tingkat ekonomi, sosial dan budaya masyarakat petani.
6
b. Waktu Adanya perbedaan waktu pada saat pengambilan keputusan dengan kejadian suatu peristiwa (waktu sesungguhnya yang diramal) adalah merupakan jarak atau selang waktu (lag) peramalan. peramalan
OPT
dalam
rangka
Ditinjau dari segi operasional
menyusun
perencanaan
dan
strategi
pengendalian untuk menciptakan kondisi agroekosistem yang tahan terhadap gangguan OPT maka lag peramalan yang lebih panjang adalah merupakan yang terbaik. Namun secara statistik semakin jauh waktu meramal dengan kejadian suatu peristiwa maka kesalahan ramalan akan semakin tinggi. Penentuan lag peramalan sangat berhubungan dengan karakteristik masing-masing OPT dan ekosistem spesifik lokasi. Dari segi waktu maka peramalan dapat dilakukan untuk tahunan, musiman, bulanan, mingguan dan bahkan harian. 5. Variabel peramalan Untuk penentuan variabel-variabel tersebut dilakukan melalui serangkaian proses kegiatan yang terdiri atas kegiatan kajian lapang yang intensif dan ekstensif, pengumpulan data secara historis (runtun-waktu), laporan PHP, surveillance dan monitoring serta informasi lainnya. Selanjutnya dari kegiatan– kegiatan tersebut akan dapat dipelajari tentang karakteristik OPT yang menjadi variabel (faktor kunci) peramalan seperti tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Variabel yang digunakan dalam model peramalan OPT Variabel yang menjelaskan (independent) Populasi OPT, populasi musuh alami, intensitas serangan OPT, komposisi varietas, komposisi vegetasi, komposisi stadia tanaman, luas tanam, luas serangan, tindakan pengendalian, cara budidaya tanaman, dan iklim
Variabel yang dijelaskan (dependent) Populasi OPT, intensitas serangan, luas serangan, dan kehilangan hasil
6. Cara mendapatkan variabel a. Pengamatan keliling Pengamatan keliling atau patroli bertujuan untuk mendapatkan variabel yaitu mengetahui kepadatan populasi, tanaman terserang dan terancam, luas pengendalian, bencana alam, serta mendapatkan informasi tentang penggunaan
7
dan peredaran pestisida. Variabel yang diamati dan digunakan dalam peramalan dianalisis untuk metode peramalan formal khususnya terhadap kemungkinan penyebaran serangan, antara lain: • Hubungan antara pola tanam dengan kejadian serangan OPT, • Hubungan antara komposisi varietas dengan kejadian serangan OPT, • Hubungan antara kebiasaan/perilaku petani (dalam budidaya tanaman, tindakan pengendalian, dll) dengan kejadian serangan OPT.
b. Pengamatan tetap Pengamatan tetap dilakukan secara berkala pada petak contoh tetap atau peralatan tertentu (alat perangkap, penakar hujan, data SMPK).
b.1. Pengamatan petak tetap Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan populasi OPT dan musuh alaminya serta intensitas serangan.
Variabel yang diamati digunakan dalam model peramalan
dengan analisis berdasarkan metode peramalan formal antara lain: • Hubungan antara populasi musuh alami dengan populasi dan laju pertumbuhan OPT, • Hubungan antara populasi dengan intensitas serangan OPT, • Hubungan antara intensitas serangan OPT dengan kehilangan hasil, • Hubungan antara varietas dengan OPT yang ada, • Hubungan antara stadia tanaman dengan keberadaan OPT.
b.2. Pengamatan perangkap Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif dan mempunyai perilaku tertarik cahaya atau jenis atraktan/feromon diamati pada satu atau lebih perangkap yang mewakili wilayah pengamatan. Data hasil tangkapan dianalisis berdasarkan metode peramalan formal, antara lain:
8
•
Hubungan antara kepadatan populasi yang terperangkap dengan populasi pada pertanaman,
• Hubungan antara kepadatan populasi yang terperangkap dengan serangan yang ditimbulkan.
b.3. Pengamatan faktor iklim Pengamatan faktor iklim meliputi unsur cuaca yaitu curah hujan, suhu udara, kelembaban nisbi, radiasi matahari, penguapan dan arah angin. Faktor iklim digunakan sebagai variabel dalam model peramalan berdasarkan analisis peramalan formal, antara lain: Hubungan antara faktor iklim dengan kejadian serangan OPT, Hubungan antara penyimpangan iklim dengan kejadian serangan OPT, Hubungan antara faktor iklim dengan pola tanam.
c. Surveillance Variabel (faktor kunci) yang tidak diamati melalui pengamatan tetap dan keliling, dapat diamati dengan melakukan surveillance. Misalnya pengamatan populasi larva penggerek batang padi putih pada tunggul padi, pemantauan populasi bakteriofag dll.
d. Studi, kajian, dan penelitian Studi, kajian maupun penelitian adalah untuk mempelajari ekosistem suatu OPT sehingga diharapkan dapat mengetahui karakteristik serta stadia kritis tanaman maupun OPT sebagai faktor kunci peramalan.
Studi, kajian dan
penelitian dapat dilakukan dalam petak percobaan, maupun skala luas di daerah endemis serangan OPT seperti studi ekologi dan epidemiologi OPT, kajian reaksi varietas terhadap OPT (Rice Garden), uji biotipe wereng batang coklat, uji kemampuan memangsa dari musuh alami, kajian pengaruh jumlah dan efektivitas musuh alami, penelitian kemampuan vektor dalam penyebaran virus yang ditularkan.
9
7. Analisis model peramalan Peramalan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari pengkajian masalah untuk pengambilan keputusan. Hal tersebut yang menuntun untuk mengetahui kapan suatu peristiwa akan terjadi sehingga tindakan yang tepat segera diambil untuk mengurangi resiko yang mungkin terjadi. ramalan
tidak
sepenuhnya
dapat
menghilangkan
resiko,
maka
Karena faktor
ketidakpastian harus diperhitungkan secara eksplisit dalam proses pengambilan keputusan.
Hubungan antara keputusan, ramalan, dan galat (error) ramalan
dapat dirusmuskan sebagai berikut:
Gambar 3. Persamaan pengambilan keputusan untuk peramalan Dalam merumuskan masalah peramalan kita perlu menentukan: • Apa yang akan diramal (variabel yang dilibatkan), • Bentuk peramalan, • Bagaimana keakuratan yang diinginkan. Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan peramalan adalah: • Ketersediaan data, • Pola data, • Komputasi. Penentuan faktor-faktor dalam pengembangan model peramalan selalu berpegang pada prinsip hemat, yakni model harus dapat diaplikasikan dan mempunyai ketepatan cukup tinggi. Tahapan
kegiatan
dalam
proses
analisis
pengembangan
model
peramalan sebagaimana tertera pada Lampiran 1.
10
a.
Model Peramalam a.1. Metode Kausal Metode ini menganggap bahwa variabel tak bebas atau variabel yang dijelaskan atau variabel yang diramal (Y) memiliki hubungan kausal (sebabakibat) dengan satu atau beberapa variabel bebas atau variable yang menjelaskan (X).
Analisis model peramalan dengan metode kausal adalah
suatu proses yang bertujuan menyelidiki bentuk hubungan antara variabelvariabel bebas (independent = yang menjelaskan = explanatory = preditor = regressor = stimulus = variabel kontrol), dan variabel tak bebas (dependent = yang dijelaskan = explaned = predictand = regressand = response). Menurut kaidah statistik proses analisis yang menyelidiki bentuk hubungan satu faktor dengan faktor lainnya dilakukan melalui pendekatan model regresi. Apabila variabel dependen/tak bebas (Y) hanya dipengaruhi satu variabel independen/bebas (X), maka hubungan tersebut dinamakan analisis regresi linier sederhana atau regresi dua variabel. Sedangkan apabila variabel independen (X) lebih dari satu, maka regresi tersebut dinamakan regresi berganda.
Apabila
regresi
berganda
yang
mempergunakan
variabel
independen (X) dalam pangkat lebih dari satu atau dalam bentuk perkalian dua variabel X, maka model tersebut dinamakan model regresi polinomial. Selanjutnya bentuk hubungan itulah yang digunakan dalam model peramalan. Bentuk-bentuk umum model persamaan regresi sebagai berikut : a. Linear sederhana
:
Y
= b0 + b 1 X
b. Linear berganda
:
Y
= b0 + b1 X1 + b2 X2 + …..+ bn Xn
c. Logaritmik/Semilog :
Y
= bo + b1 log (X)
d. Doublelog
:
log (Y) = bo + b1 log (X)
e. Invers
:
Y
= bo + (b1 / X)
f. Kuadratik
:
Y
= b0 + b1 X + b2 X2
g. Kuadratik 2 variabel :
Y
= b0 + b1X1+ b2X2+ b3X12 + b4 X22 + b5 X1X2
h. Kubik
Y
= b0 + b1 X + b2 X2 + b3 X3
:
11
i. Campuran
:
Y
= b0 (b1)X
ln (Y) = ln (bo) + {ln (b1) X} j. Power
:
Y
= b0 Xb1
ln (Y) = ln (bo) + b1 ln (X) k. Sigmoid
:
Y
= e (bo + b1 / X)
ln (Y) = bo + b1 / X l. Pertumbuhan
:
Y
= e (bo + b1 X)
ln (Y) = bo + b1 X m. Eksponensial
:
Y
= bo (e b1 X)
ln (Y) = ln (bo) + b1 X n. Logistik
:
Y
= 1/ (1/u + bo (b1X)
ln (1/Y – 1/u) = ln (bo) + {ln (b1)} X Dalam pengembangan model peramalan OPT selalu melibatkan data historis ekologis yang sangat komplek yang saling berhubungan sebab-akibat antara satu atau beberapa faktor baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menyelidiki bentuk hubungan langsung maupun tidak langsung perlu dilandasi oleh pengetahuan dalam bidang ekologi yang lebih mendekati suau proses analisis ekosistem. Dalam
kaidah
statistik
proses
penyelidikan
hubungan
tersebut
digunakan Metode Analisis Path yang ditunjukan dengan skema sebab-akibat dan nilai koefisien korelasi antara masing-masing faktor yang diperoleh dari Analisis Korelasi Silang, sebagaimana contoh pada Gambar 4. Bentuk-bentuk persamaan tersebut di atas dibedakan menurut transformasi terhadap variabel independen dan atau variabel dependen berdasarkan pola sebaran data yang dapat dilihat dan dipelajari dari diagram pencar. Namun secara umum berdasarkan kaidah statistik semua persamaan regresi diatas bertumpu pada bentuk persamaan regresi linear sederhana, regresi linear berganda dan regresi polinomial. Proses analisis untuk ketiga persamaan regresi secara umum diuraikan berikut ini.
12
Gambar 4. Contoh Skema Analisis Path Hubungan Sebab-Akibat Pada Hama Penggerek Batang Padi.
13
Regresi Sederhana Model Persamaan Regresi Sederhana : Y
=
bo + b1 X + e
Y
=
Dependen variabel/Variabel yang dijelaskan
bo
=
Konstanta/Intersep
b1
=
Slope/Koefisien kemiringan
X1
=
Independen variabel/Variabel yang menjelaskan
E
=
Galat ramalan
Perhitungan Model Regresi Sederhana Persamaan Regresi : y =
b0 + b1 x
b0 = adalah intersep atau konstanta, nilai terendah apabila nilai X = 0 b0 =
y - b1 x
x : adalah rerata dari nilai X :
n
x = Σ X1 / n I =1
y : adalah rerata dari nilai Y :
n
y = Σ Y1 / n I=1
b1 = Slope/koefisien kemiringan atau penambahan/pengurangan dari setiap satuan nilai X.
n
n
n
i=1
i=1
i=1
n ∑ Xi Yi – (∑ Xi )( ∑ Yi ) b1 = ----------------------------------n
n
i=1
i=1
n ∑ Xi 2 – ( ∑ Xi )2
Perhitungan Korelasi dan Koefisien Determinasi Pada setiap kejadian, suatu hubungan dapat dinyatakan dengan perhitungan korelasi antara dua variabel. Koefisien korelasi ( r ) adalah suatu ukuran asosiasi (linear) relatif antara dua variabel. Koefisien korelasi dapat barvariasi dari -1 hingga 1.
Jika
0 < r < 1 maka dua variabel dikatakan 14
berkorelasi positif dan jika –1 < r < 0 dikatakan berkorelasi negatif. Nilai 0 menunjukkan tidak adanya hubungan dan nilai -1 atau 1 menunjukan adanya hubungan sempurna. Rumus matematis perhitungan korelasi dan koefisien determinasi adalah : Koefisien korelasi atau r = n
n
n
i=1
i =1
i =1
n ∑ Xi Yi – (∑ Xi) (∑ Yi ) r = ---------------------------------------------------------------------n
n
n
n
i=1
i=1
i=1
i=1
{ n ∑ Xi 2 – ( ∑ Xi )2 }{ n ∑ Yi 2 – ( ∑ Yi )2 }
Koefisien Determinasi atau r2 = JKR JK – JKS JKS r2 = ---------- = ------------------- = 1 - --------JK JK JK
Perhitungan JK, JKS, JKR dapat dilihat pada uji signifikasi persamaan regresi di bawah. Koefisien determinasi adalah nilai hubungan relatif antara dua variabel yang langsung dapat diinterpretasikan pada tingkat persentase hubungan tersebut.
Sebagai contoh r2 = 0,75, maka dapat diinterpretasikan bahwa
variabel bebas (X) mempunyai hubungan atau besarnya pengaruh terhadap perubahan variabel tak bebas (Y) adalah 75%.
Signifikasi Persamaan Regresi Ada 2 (dua) uji signifikasi yang akan dikemukakan di bawah ini, yaitu : uji-F untuk signifikasi menyeluruh, dan uji-t untuk signifikasi koefisien korelasi (r) serta untuk mengetahui sebaran data yang dibenarkan pada interval konfidensi tertentu.
15
1) Uji–F untuk Signifikasi menyeluruh. Uji-F memberikan kesempatan kepada kita untuk menguji signifikasi model regresi atau untuk menjawab pertanyaan secara statistik: Apakah ada hubungan yang signifikan antara X dan Y atau adanya suatu hubungan linear (Uji Linearitas). Uji–F dapat ditunjukan dengan Tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2. ANAVA Uji Signifikasi/Linearitas Model Regresi Sumber Variansi
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Rerata Kuadrat
Nilai F- hitung
Regresi
p-1
JKR
RKR
RKR/RKS
Sesatan
n-p
JKS
RKS
Total
n-1
JK
Nilai F-tabel Lihat Tabel F.
Jumlah Kuadrat (JK) = n
(Σ Yi )2 i=1
n
JK = Σ Yi i=1
2
- ------------n
Jumlah kuadrat regresi (JKR) = n
n
n
i=1
i=1
i=1
{ ∑ Xi Yi – (∑ Xi ∑ Yi ) / n }2 JKR = -------------------------------------------n
n
i=1
i=1
{ ∑ Xi 2 – ( ∑ Xi )2 / n}
JKS
=
JK - JKR
RKR
=
JKR/ (p-1); p = banyaknya variabel = 2
RKS
=
JKS / (n-p); n = banyaknya obsevasi data
Apabila F– hitung lebih besar dari F– tabel maka H0 di tolak atau terdapat suatu hubungan linear yang sangat signifikan (pada α = 0,01) atau signifikan ( pada α = 0,05) antara X dengan Y. Nilai F-tabel dapat dilihat pada tabel F (α , 1, n – 2) dengan Hipotesis H0 : β1 = 0 dan H1 : β1 ≠ 0.
16
2) Uji –t untuk signifikasi r. Untuk mengetahui stabilitas dari nilai r dan membuktikan bahwa terdapatnya suatu hubungan atau nilai pengaruh dari X ke Y, maka perlu dianalisis uji-t dengan rumus sebagai berikut:
t0 =
r (n–2) ------------------ = r ( 1 – r2 )
(n–2) ------------( 1 – r2 )
Apabila t0 ( t-hitung) lebih besar dari t-tabel pada t
( α, n-2)
maka H0
ditolak atau nilai r signifikan pada tingkatan α tertentu yang berarti bahwa X mempunyai pengaruh untuk meramalkan Y.
3) Interval Konfidensi. Untuk mengetahui interval kondifensi dari model persamaan regresi sederhana yang telah kita dapatkan, maka dapat dianalisis interval konfidensi untuk garis regresi menggunakan metode Scheffe sabagai berikut: Untuk X = Xh, batas-batas konfidensinya (lihat Gambar 5) dengan analisis sebagai berikut : Yh - S s (Yh) ≤ β0 + β1 Xh ≤ Yh + S s (Yh)
Dengan:
Yh = b0 + b1 Xh
S
=
{2 F (α,2,n-2)}
2
S (Yh) =
{ RKS
1 ( Xh - X ) ( ------ + ---------------------) } n n __ 2 ∑ ( Xi - X ) i=1
17
Y
Yh + S s (Yh)
Yh - S s (Yh)
X
Gambar 5. Batas konfidensi untuk garis regresi.
Beberapa Peringatan dalam Regresi Sederhana Apabila suatu model regresi dipilih untuk suatu aplikasi peramalan, maka biasanya model tersebut tidak begitu saja dianggap sesuai atau tepat. Oleh karena itu perlu diperiksa dulu ketepatan model untuk data. Metode Uji-F untuk signifikasi menyeluruh dan uji-t untuk signifikan r serta interval konfikasi diatas adalah sebagian cara untuk meguji ketepatan model. Sebagai bahan pertimbangan bagi para peramal ada beberapa peringatan yang perlu diperhatikan dalam analisis regresi sederhana sebagai berikut : 1) Peringatan untuk analisis koefisien korelasi. Koefisien korelasi digunakan secara luas dalam analisis statistik dan merupakan suatu statistik yang sangat berguna. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu : •
Korelasi adalah suatu ukuran sosial linear antara dua ukuran. Juga ukuran berhubungan dengan cara non-linear, koefisien korelasi tidak mampu lagi untuk menyatakan kekuatan hubungan antara dua ukuran tersebut.
•
Jika ukuran contoh kecil, berarti hanya terdapat sedikit pasangan data untuk menghitung korelasi yang berakibat nilai r contoh tidak stabil. Sebagai pesan bagi para peramal adalah bahwa jika korelasi didasarkan pada ukuran sampel yang kecil maka harus disadari bahwa korelasi mempunyai kesalahan standar yang besar (dalam hal ini berarti tidak stabil)
18
dan hanya jika ukuran sampel mendekati n = 50 maka mereka menjadi stabil. •
Nilai r dapat sangat dipengaruhi oleh satu nilai ekstrim/pencilan (data outlier). Untuk mempelajari ada tidaknya nilai ekstrim perlu terlebih dahulu dibuat plot data dengan diagram pencar.
2) Penyimpangan Model Regresi Linear dengan Sesatan Normal Terdapat 6 (enam) tipe penyimpangan terhadap model regresi linear dengan sesatan normal (e) yang perlu diperhatikan oleh para peramal, yaitu: •
Fungsi regresi non-linear.
•
Suku-suku sesatan tidak mempunyai variansi konstan.
•
Suku-suku sesatan tidak berdsitribusi normal.
•
Model sesuai, kecuali untuk satu atau beberapa observasi luar atau nilai ekstrim/pencilan (data outlier).
•
Suku-suku sesatan tidak indipenden.
•
Satu atau beberapa variabel independen tidak dimasukkan. Disamping secara grafis pengujian nilai residu
ei
dapat dilakukan
dengan menggunakan uji Darbin-Watson (D-W test). Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya oto-korelasi antara suku sesatan dalam model regresi sehingga dapat ditentukan apakah parameter oto-korelasi ρ sama dengan nol, sehingga suku sesatan εt adalah independen. Uji ini sangat penting khususnya apabila melakukan analisis regresi terhadap data runtun waktu. Statistik penguji D-W digunakan rumus :
Nilai e diperoleh dari rumus :
n ∑ ( et - e t-1 )2 i =2 D-W = -------------------n ∑ et2 i =1
ei = Yi - Ŷi
Dengan Hipotesis : H0 : ρ = 0
dan H1 : ρ ≠ 0 ; maka hasil D-W
dapat dibandingkan dengan nilai teoritik Tabel D-W pada derajat bebas (df); nk-1 pada Tabel D-W tercantum nilai df terendah adalah 15, maka apabila 19
banyaknya data (n) kurang dari 18 (n<18) untuk regresi linier sederhana maka digunakan df = 15. Interprestasi hasil perbandingan tersebut adalah sebagai berikut : •
Untuk ρ > 0 (Untuk menentukan adanya oto-korelasi positif) - DW > dU, maka H0 diterima. Jadi ρ = 0 berarti tidak ada oto-korelasi positif - DW < dL, maka H0 ditolak. Jadi ρ ≠ 0 berarti ada oto-korelasi positif - dL < DW < dU , tidak dapat disimpulkan
•
Untuk ρ < 0 (Untuk menentukan adanya oto-korelasi negatif) - (4-DW) ≥ dU, maka H0 diterima. Jadi ρ = 0 berarti tidak ada oto-korelasi negatif - (4-DW) ≥ dL, maka H0 tolak. Jadi ρ ≠ 0 berarti ada oto-korelasi negatif - dL < (4-DW) < dU , tidak dapat disimpulkan Nilai D-W berkisar antara > 0 sampai <4. Dengan cara sederhana
dalam menginterpretasikan
nilai D-W yang baik adalah apabila nilai D-W
mendekati 2. Apabila model regresi linear tidak sesuai untuk data yang sedang dianalisa dengan mempertimbangan uji nilai sesatan (residu), maka untuk selanjutnya dapat dilakukan : • Mencari model yang lebih sesuai (mungkin; regresi polinomial) atau • Menggunakan tranformasi, terhadap data, sehingga model linear dapat digunakan untuk data yang telah ditranformasikan Beberapa fungsi non-linear yang dapat disajikan dalam linear dengan transformasi data tercantum dalam Tabel 3 dan Gambar 6.
20
Tabel 3. Transformasi fungsi non-linear Gambar a. b.
Fungsi non-linear yang dapat dilinearkan Y = ß0’ X ß2
Y’ = log Y
ß0’ = 10 ß0
X’ = log X
ß0 ’ Y = -------------X ß1
Y’ = log Y
Bentuk linear Y’ = ß0 + ß1 X’ Y’ = ß0 - ß1 X’
X’ = log X
ß
ß0’ = 10
0
Y = ß0’ e ß1
c.
Transformasi
X
Y’ = ln Y
Y’ = ln Y
ß0’ = e ß0 d.
ß0’ Y = ---------------ß x ℮ 1 ß0’ = ℮
Y’ = ln Y
Y’ = ß0 + ß1 X
ß
0
e, f.
Y = ß0 ± ß1 log X
X’ = log X
Y = ß0 ± ß1 X’
g, h.
X Y = --------------ß0 X ± ß1
1 Y’ = ------------Y
Y’ = ß0 ± ß1 X’
1 X’ = ------------X
Gambar 6. Grafik dari fungsi non-linear yang dapat dijadikan linear
21
a.2. Metode Runtun Waktu Metode peramalan ini didasarkan pada data masa lalu dengan menggunakan satu variabel. Tujuannya untuk menyelidiki pola dalam deret data historis (data masa lalu) dan mengekstrapolasikannya ke masa depan. Langkah penting dalam memilih metode peramalan dengan model runtun waktu adalah mengkaji pola data. Beberapa jenis pola data yang khas adalah pola stasioner (horizontal), pola musiman, pola siklik (periodik), dan pola kecenderungan (trend): Pola data historis 1) Pola stasioner (horizontal) Yakni bila data berfluktuasi sekitar mean yang konstan secara horizontal (stasioner dalam mean) (Gambar 7.a). 2) Pola musiman Data dipengaruhi oleh faktor musim ini dapat berupa waktu ½ tahun, ¼ tahun, mingguan atau mungkin harian (Gambar 7.b). Contoh: Jumlah curah hujan di satu daerah, ditentukan oleh pergerakan matahari. Dengan demikian polanya dapat memiliki pola musiman dimana dalam setahun ada dua musim. 3) Pola data siklik (periodik) Pola ini hampir sama dengan pola musiman, pada pola musiman panjang interval dari suatu musim adalah konstan dan pergantian pola data berjalan secara berulang. Sedangkan pada pola siklik, pengulangan pada data tidak konstan baik dalam panjang intervalnya maupun dalam harganya/nilainya (Gambar 7.c). 4) Pola Trend Variansi
data
dari
suatu
waktu
ke
waktu
lainnya
memiliki
kecenderungan (trend) naik atau turun dengan tidak mengikuti panjang interval waktu tertentu. Banyak data runtun waktu yang mencakup kombinasi dari polapola di atas. Metode peramalan yang dapat membedakan setiap pola harus dipakai bila diinginkan adanya pemisahan komponen pola tersebut (Gambar 7.d).
22
Analisis peramalan dengan pemodelan runtun waktu didasarkan atas nilai rata-rata, kondisinya adalah data harus stasioner, data berada dalam keseimbangan sekitar nilai konstan dan variannya tetap konstan pada waktu tertentu. Beberapa metode yang digunakan dalam analisis runtun waktu adalah sebagai berikut: γ
a
b
c
d
Waktu
Waktu
Gambar 7. Bentuk-bentuk pola data historis : (a) pola data stasioner horizontal, (b) pola data musiman horizontal, (c) pola data siklis dan (d) pola data trend. Peramalan Naif Tujuan
ditetapkannya
peramalan
naif
adalah
sebagai
dasar
perbandingan yang baik untuk tingkat ketepatan yang dibuat dengan menerapkan suatu metode peramalan tertentu. Metode peramalan yang paling sederhana adalah metode peramalan naif (Naif Forecasting = NF).
Terdapat dua jenis peramalan naif yang
ditetapkan yaitu Peramalan Naif -1 (NF-1) dan Peramalan Naif -2 (NF-2). 1) Peramalan Naif-1 Peramalan Naif-1 (NF-1) yaitu peramalan yang menggunakan informasi terakhir mengenai nilai aktual yang tersedia sebagai nilai ramalan. Jadi jika
23
ramalan dipersiapkan untuk suatu horison waktu satu periode, maka nilai aktual terakhir dapat digunakan sebagai ramalan untuk periode berikutnya. 2) Peramalan Naif-2 Peramalan Naif-2 (NF-2) lebih unggul dari NF-1 dalam hal bahwa NF-2 memperhitungkan kemungkinan adanya unsur musiman dalam deret. Karena musiman sering menyebabkan persentase fluktuasi yang besar dalam suatu deret, metode ini sering kali dapat lebih baik daripada NF-1 dan sekalipun demikian masih merupakan pendekatan sangat sederhana yang mudah dimengerti.
Prosedurnya adalah menghilangkan unsur musiman dari data
semula agar diperoleh data yang disesuaikan dengan musim.
Bila unsur
musiman telah dihilangkan NF-2 dapat dibandingkan dengan NF-1 dalam hal bahwa NF-2 menggunakan nilai terakhir yang disesuaikan dengan musiman sebagi ramalan untuk nilai berikutnya yang disesuaikan dengan musim. Metode Perataan (Average) 1) Rerata (Mean) Metode rerata sederhana dalah metode peramalan yang menggunakan rerata dari semua data dalam kelompok inisialisasi sebagai ramalan untuk periode (T+1). X = X1, X2
T
Σ Xi / T = F T+1 i=1
…
XT adalah kelompok inisialisasi dan
X T + 1 …. XN adalah kelompok pengujian Kemudian bilamana data periode (T+1) tersedia, maka dimungkinkan untuk menhitung nilai galat ramalan. e T+1 = X T+1 - F T+1 Metode yang sangat sederhana ini cocok digunakan apabila proses yang mendasari nilai pengamatan X :
24
•
Tidak menunjukkan adanya trend, dan
•
Tidak menunjukkan adanya unsur musiman.
2) Rerata Bergerak Tunggal (Single Moving Average) Salah satu cara untuk mengubah pengaruh data masa lalu terhadap nilai tengah sebagai ramalan adalah dengan menentukan sejak awal berapa jumlah nilai tengah.
Metode ini disebut rerata bergerak (moving average)
karena setiap muncul nilai observasi baru, nilai rerata baru dapat dihitung dengan membuang nilai observasi yang paling tua dan memasukkan nilai observasi yang terbaru. Apabila kita akan membuat ramalan dengan rerata bergerak setiap T periode maka disebut rerata bergerak berorde T atau MA (T), maka penyelesaiannya dapat dilihat pada Tabel 4. Dibandingkan dengan rerata sederhana sederhana, rerata bergerak berorde T mempunyai karakteristik sebagai berikut: • Hanya menyangkut T periode terakhir dari data yang diketahui. • Jumlah titik data dalam setiap rerata tidak berubah dengan berjalannya waktu. Tabel 4. Perhitungan Rerata Bergerak Tunggal Rerata bergerak T
X1 + X2 + … XT
_
X
=
---------------------------
T T+1
_ X
X2 + X3 + … XT +1 =
---------------------------
T T+2
_ X
X3 + X4 + … XT+2 =
T
Ramalan FT+1 =
__ T X = ∑
FT+2 =
__ T+1 X = ∑ X1 / T
FT+3 =
__ T+2 X = ∑
i=1
X1 / T
i=2
i=3
X1/T
Dst.
25
Tetapi metode ini juga mempunyai kelemahan sebagai berikut: • Metode ini memerlukan penyimpanan data yang lebih banyak karena semua T observasi terakhir harus disimpan, tidak hanya nilai tengahnya, • Metode ini tidak dapat menanggulangi dengan baik adanya trend atau musiman, walaupun metode ini lebih baik dibangdingkan rerata total. Karena seorang peramal harus memilih jumlah periode T dalam rerata bergerak, beberapa aspek dari pemilihan ini dapat dikemukakan: • MA (1) – yaitu rerata bergerak dengan orde-1 data terakhir yang diketahui (XT) digunakan sebagai ramalan untuk periode berikutnya (FT+1 = XT). Metode ini dinamakan Ramalan Naif orde-1 (NF-1). • MA (4) – untuk data kuartalan, rerata bergerak empat periode secara efektif mengeluarkan pengaruh musiman (terutama jika pengaruh musiman ini bersipat aditif), namun jika digunakan sebagai ramalan untuk periode mendatang tidak akan menyesuaikan unsur trend atau musiman itu sendiri. • MA (12) – untuk data bulanan, metode ini menghilangkan pengaruh musiman dari deret data dan bermanfaat dalam mendekomposisi deret menjadi komponen trend atau musiman, tetapi metode ini tidak efektif jika digunakan sebagai alat peramalan untuk data yang menunjukkan kecenderungan atau musiman. • MA (besar) – secara umum, makin besar orde dari rerata bergerak, maka pengaruh penghalusan data akan semakin besar.
Jika digunakan untuk
peramalan, MA (besar) tidak memperhatikan fluktuasi dalam deret data. 3) Rerata Bergerak Ganda (Double Moving Average) Rerata bergerak ganda ini merupakan rerata bergerak dari rerata bergerak, dan menurut simbol dituliskan sebagai MA (M x N) dimana artinya adalah MA orde M-periode dari MA orde N-periode. Pada umumnya metode rerata
bergerak
ganda
ini
apabila
digunakan
untuk
data
yang
berkecenderungan (trend) akan terjadi kesalahan yang sistematik, maka untuk mengurangi kesalahan tersebut dikembangkan metode rerata bergerak linear (linear moving average).
Untuk mempermudah pengertian tentang rerata
bergerak ganda dan rerata bergerak linear dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Prosedur peramalan rerata bergerak linear meliputi tiga aspek, yaitu:
26
• Penggunaan rerata bergerak tunggal pada waktu t (ditulis S’t), • Penyesuaian, yang merupakan perbedaan antara rerata bergerak tunggal dan ganda pada waktu t (ditulis S’t - S”t), dan • Penyesuaian untuk kecenderungan dari periode t ke periode t+1 (atau ke periode t+m jika ingin meramalkan m periode kemuka). Prosedur rerata bergerak linier secara umum dapat diterangkan melalui persamaan berikut:
Xt + X t-1 + X t-2 + … + X t-N+1 S’ t = -------------------------------------N S’t + S’ t-1 + S’ t-2 + … + S’ t-N+1 S” t = ---------------------------------------N a t = S’t + (S’ t – S” t ) = 2 S’ t – S” t
2 b t = --------N-1 Tabel 5.
(S’ t – S” t )
Peramalan suatu deret yang mempunyai trend dengan menggunakan rerata bergerak ganda dan linear.
Periode
Nilai Aktual
(3) Rata-rata Bergerak Tunggal (N = 3)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
4 6 8 10 12 14 16 18
(1)
F t+m = at + bt m
(2)
(4) Perbedaan Kesalahan (2) – (3)
2 2 2 2 2 2 2 2
(5) Rata-rata Bergerak Ganda (N = 3)
6 8 10 12 14 16
(6)
(7)
Perbedaan Kesalahan (3) – (5)
Ramalan (3) + (6) + Trend
2 2 2 2 2 2
12 14 16 18 20 22
(8) Perbedaan Kesalahan (2) – (7)
0 0 0 0 0
27
Tabel 6. Aplikasi Rerata bergerak linier (1) Periode
P E R I O D E P E N G U J I A
N
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Produksi 140,00 159,00 136,00 157,00 173,00 131,00 177,00 188,00 154,00 179,00 180,00 160,00 182,00 192,00 224,00 188,00 198,00 206,00 203,00 238,00 228,00 231,00 221,00 259,00 273,00
(2) Rata-rata Bergerak Empat Bulanan dari (1)
(3)
(4)
(5)
(6)
Rata-rata Bergerak Empat Bulanan dari (2)
Nilai a
Nilai b
Nilai a+b(m) Bila m = 1
148,00 156,25 149,25 159,50 167,25 162,50 174,50 175,25 168,25 175,25 178,50 189,50 196,50 200,50 204,00 198,75 211,25 218,75 225,00 229,50 234,75 246,00
153,25 158,06 159,62 165,93 169,87 170,12 173,31 174,31 177,87 184,93 191,25 197,62 199,93 203,62 208,18 213,43 221,12 227,00 233,81
165,75 178,43 165,37 183,06 180,62 166,27 177,18 162,68 201,12 208,06 209,75 210,37 197,56 218,87 229,31 236,56 237,87 242,50 253,8
4,166 6,125 1,916 5,708 3,583 1,250 1,291 2,791 7,750 7,708 6,166 4,250 0,791 5,083 7,041 7,708 5,583 5,166 8,125
169,91 182,56 167,29 188,77 184,20 165,12 178,47 185,47 208,87 215,77 215,91 214,62 196,77 223,95 236,35 244,27 243, 45 247,66 266,31
MAPE untuk periode 10 sampai 25 = 8,61 MSE untuk periode 10 sampai 25 = 431.6 Catatan: MAPE untuk periode 10 sampai 25 = 7,46 bila menggunakan MA tunggal berorde 4.
4) Rerata Bergerak Terpusat (Centered Moving Average) Metode ini sama dengan metode rerata bergerak tunggal yang terdahulu, hanya menempatkan hasil reratanya di tengah-tengah, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang lebih teliti.
Pada periode data
yang ganjil, meletakkan nilai rerata ditengah tidak menjadi masalah karena akan diletakkan pada (N+1)/2. Sedangkan untuk rerata bergerak pada orde genap biasanya diletakkan pada (N+1)/2+0,5. Untuk mempermudah pengertian dapat dilihat pada Tabel 7.
28
Rerata bergerak terpusat sering juga digunakan untuk data musiman, para analis biasanya mengabungkan dengan anlisis indeks musiman untuk pemulusan data musiman. Penyelesaian tabel di atas adalah sebagai berikut : Kolom (3)
Gunakan rumus pada Tabel 3, hasilnya tempatkan pada posisi n = (N+1)/2+0,5.
Kolom (4)
Adalah rasio data Asli (kolom 3) dibagi Rerata Bergerak (kolom 4).
Kolom (5) Perhitungan Indeks Musiman Gunakan Rumus yang terdapat pada Metode Pemulusan Eksponensial Tripel untuk data Kecenderungan dan Musiman dari Winter. Kolom (6)
Pemulusan data Musiman adalah data asli (kolom 2) dibagi Indeks Musiman (kolom 5).
Tabel 7. Rerata Bergerak Terpusat dan Pemulusan Faktor Musiman dengan MA (4 x 2) (1) Periode
(2) Data Asli
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
25 28 24 28 26 25 31 30 26 28 23 28
(3) Rerata Bergerak Terpusat MA(4x2)
(4) Rasio MA (2) / (3)
(5) Indeks Musiman
(6) Pemulusan
0.910 1.072 0.977 0.901 1.107 1.057 0.937 1.057
0.957 0.979 1.009 1.065 0.957 0.979 1.009 1.065 0.957 0.979 1.009 1.065
26.13 28.61 23.80 26.30 27.18 25.54 30.74 28.18 27.18 28.61 22.81 26.30
26.38 26.13 26.63 27.75 28.00 28.38 27.75 26.50
Metode Pemulusan (Smoothing) Eksponensial 1) Pemulusan Eksponensial Tunggal Dalam kasus rerata bergerak, bobot yang dikenakan pada nilai observasi merupakan hasil sampingan dari sistem MA tertentu yang diambil. Tetapi dalam pemulusan eksponensial, terdapat satu atau lebih parameter
29
pemulusan yang ditentukan secara eksplisit, dan hasil pilihan ini menentukan bobot yang dikenakan pada nilai observasi. Bentuk persamaan umum yang digunakan dalam menghitung ramalan dengan metode pemulusan eksponensial adalah: F t+1 = (1 / N) X t + {1 – (1 / N) } Ft apabila 1 / N kita notasikan dengan α maka persamaan tersebut menjadi : F t +1 = α Xt + (1 – α) Ft dengan 0 < α < 1 Pemilihan nilai α mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam aplikasi pemulusan eksponensial. Untuk menetukan nilai α yang optimal untuk meminimumkan nilai kesalahan ramalan (error = MSE, MAPE) atau yang lainnya maka para analis biasanya melalui cara coba dan salah (Trial and Error). Aplikasi peramalan dengan pemulusan eksponensial dapat dilihat pada Tabel 8. Untuk Ramalan yang pertama (inisialisasi) digunakan Ramalan Naif–1 (NF-1). Tabel 8. Peramalan dengan menggunakan pemulusan eksponensial Bulan 1 Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sep Okt Nov Des
Periode Waktu 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai Pengamatan 3 200,0 135,0 195,0 197,5 310,0 175,0 155,0 130,0 220,0 277,5 235,0 -
Nilai Pemulusan Eksponensial α = 0,1
α = 0,5
α = 0,9
4 200,0 193,5 193,7 194,0 205,6 202,6 197,8 191,0 193,9 202,3 205,6
5 290,0 167,5 181,3 189,4 249,7 212,3 183,7 156,8 188,4 233,0 234,0
6 200,0 141,5 189,7 196,7 298,7 187,4 158,2 132,8 211,3 270,9 238,6
30
Tabel 8. (Lanjutan) 1
2
3 4 Periode Pengujian Analisis Kesalahan α = 0,1 Nilai Tengah Kesalahan 5,56 Nilai Tengah Kesalahan Absolut 47,76 Nilai Tengah Kesalahan Persentase 24,58 Absolut (MAPE) Deviasi Standar Kesalahan (Tak 61,53 Berbias) Nilai Tengah Kesalahan Kuadrat 3438,33 (MSE) Statistik Durbin-Watson 1,57 Statistik U dari Theil 0,81 Rata-rata Batting dari Mc Laughlin 319,12
5
6
α = 0,5 6,80 56,94 29,20
α = 0,9 4,29 61,32 30,81
69,13
74,69
4347,24
5039,37
1,84 0,92 307,84
2,30 0,98 301,79
2) Pemulusan Eksponensial Ganda (Untuk Data Linear dari Brown) Dengan cara analogi yang dipakai pada waktu berangkat dari rerata bergerak tunggal ke pemulusan eksponensial tunggal, maka kita dapat juga berangkat dari rerata bergerak ganda ke pemulusan eksponensial ganda. Persamaan yang dipakai dalam implementasi pemulusan eksponensial ganda ditunjukkan di bawah ini dan aplikasinya dapat dilihat pada Tabel 9. S’ t
=
α Xt + (1 – α) S’ t-1
S” t
=
α S’t + (1 – α) S” t –1 (eksponensial ganda)
at
=
S’ t + (S’t – S” t ) = 2 S’ t - S”t
bt
=
α / (1 – α ) (S’ t - S” t )
Ft
=
a t + b t (m), m adalah jumlah
(eksponensial tunggal)
eriod eke muka.
Untuk inisialisasi analisis pemulusan Eksponensial Linear dari Brown ini dapat digunakan rumus : S”1
=
S’ 1
a1
=
X1
b1
=
(X2 - X1) + (X4 - X3) -----------------------------2
= X1
31
Tabel 9. Aplikasi Peramalan dengan Metode Pemulusan Eksponensial Ganda (1) Produk Periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
143,00 152,00 161,00 139,00 137,00 174,00 142,00 141,00 162,00 180,00 164,00 171,00 206,00 193,00 207,00 218,00 229,00 225,00 204,00 227,00 223,00 242,00 239,00 266,00
(2) Pemulusan Eksponensial Tunggal 143,00 144,80 148,04 146,23 144,39 150,31 148,65 147,12 150,09 156,08 157,66 160,33 169,46 174,17 180,74 188,19 196,35 202,08 202,46 207,37 210,50 216,80 221,24 230,19
(3)a Pemulusan Eksponensial Ganda 143,00 143,36 144,30 144,68 144,62 145,76 146,34 146,49 147,21 148,99 150,72 152,64 156,01 159,64 163,86 168,72 174,25 179,82 184,35 188,95 193,26 197,97 202,62 208,14
(4) Nilai a t
(5) Nilai b t
146,240 151,754 147,781 144,148 154,856 150,956 147,741 152,974 163,164 164,599 168,014 182,919 188,701 197,614 207,653 218,452 224,346 220,584 225,793 227,735 235,629 239,855 252,246
0,300 0,936 0,387 -0,060 1,137 0,577 0,156 0,720 1,772 1,735 1,921 3,364 3,633 4,219 4,866 5,525 5,566 4,530 4,605 4,309 4,708 4,654 5,514
(6) Nilai Ramalan a+b (m) {(4)+(5)} 146,00 152,72 148,17 144,09 155,99 151,53 147,90 153,69 164,94 166,33 169,94 186,28 192,33 201,83 212,52 223,98 229,91 225,11 230,40 232,04 240,34 244,51 257,76 263,27 268,78 274,30 279,81 285,33
(m = 1) (m = 2) (m = 3) (m = 4) (m = 5) (m = 6)
Analsis Kesalahan dari Periode 10 ke Periode 24 Nilai Tengah Kesalahan 273,47 = Nilai tengah kesalahan Kuadrat (MSE) 12,73 = Nilai Tengah Kesalahan Absolut 1,33 = Statistik Durbin-Watson 6,04 = Nilai Tengah Kesalahan Persentase 0,98 = Statistik U dari Theil Absolut (MAPE) 14,59 = Deviasi Standar Kesalahan (Tak Berbias) 302,48 = Rata-rata Batting dari McLaughlin a Nilai α ditetapkan pada 0,2 7,99 =
b.
Evaluasi Ketepatan Model Peramalan Untuk mengetahui seberapa jauh metode peramalan itu mampu memprdiksi data yang telah diketahui, maka perlu dilakukan evaluasi kesesuaian metode peramalan terhadap suatu kumpulan data yang diberikan. Dalam pemodelan eksplanatoris (kausal), ukuran ketepatan cukup menonjol. Dalam pemodelan runtun waktu, sebagian data yang diketahui dapat digunakan 32
untuk meramalkan sisa data berikutnya sehingga memungkinkan orang untuk mempelajari ketepatan ramalan secara langsung.
Untuk mengevaluasi
ketepatan ramalan dapat digunakan beberapa cara yaitu; Ukjuran Statistik standar, ukuran-ukuran Relatif dan statistik –U dari Theil. b.1. Statistik Standar ei = Xi – Fi = Kesalahan ramalan periode i. Xi = Data aktual periode i. Fi = Data hasil ramalan periode i. Jika terdapat nilai pengamatan dan ramalan untuk n periode waktu, maka dapat dihitung: Nilai Tengah Kesalahan (ME=Mean Error):
n ME = Σ ei / n i=1
Nilai Tengah Kesalahan Absolut (MAE=Mean Absolute Error) :
Jumlah Kuadrat Kesalahan (SSE= Sum of Squared Error) :
Nilai Tengah Kesalahan Kuadrat (MSE=Mean Sguared Error) :
n ME = Σ | ei | / n i=1
n SSE = Σ ei i=1
2
n MSE = Σ ei 2 / n i=1
Deviasi Standar Kesalahan (SDE=standard Deviation of Error) : SDE =
n Σ ei 2 / (n-1) i=1
33
b.2. Ukuran-ukuran Relatif Kesalahan persentase (PE=Percentage Error) :
X t – Ft PEt = (--------------) x 100% Xt
Nilai Tengan Kesalahan persentase (MPE= Mean Percentage Error) :
n MPE = ∑ PEt / n i=1
Nilai Tengah kesalahan Persentase Absolut (MAPE=Mean Absolute Percentage Error) :
MAPE untuk Peramalan Naif 1 :
n
∑
i=1
MAPE-NF1 =
MAPE untuk Peramalan Naif 2 :
n MAPE = ∑ | PEt | / n i=1
Xi – X i-1 -------------Xi
------------------------------- x 100% n-1
X’i – X’ i-1 -------------i=1 X’i MAPE-NF2 = ------------------------------ x 100% n-1 n
∑
di mana X’i adalah nilai Xi yang disesuaikan dengan musiman. b.3.Statistik – U dari Theil Statistik–U dari Theil ini adalah suatu metode evaluasi ketepatan ramalan yang membandingkan antara metode peramalan formal dengan pendekatan naif dan juga mengkuadratkan kesalahan yang terjadi sehingga kesalahan yang besar diberikan lebih banyak bobot daripada kesalahan yang kecil. Karakteristik positif yang ditimbulkan dalam menggunakan statistik –u dari Theil sebagai ukuran ketepatan adalah mengenai interpretasi yang intuitif. Rumus matematis:
34
F i+1 – X i+1 ∑ ( -----------------------) 2 i=1 Xi -----------------------------------Xi+1 – Xi+1 n-1 ∑ ( ----------------------) 2 i=1 Xi n-1
U=
Statistik–U dari Theil dapat lebih dimengerti dengan memeriksa interpretasinya, yaitu: U = 1 : Metode Naif sama baiknya dengan teknik peramalan formal yang dievaluasi. U < 1 : Teknik peramalan formal yang digunakan adalah lebih baik daripada metode Naif.
Makin kecil nilai statistik–U, makin baik teknik
peramalan formal dibanding metode naif secara relatif. U > 1 : Tidak ada gunanya menggunakan metode naif akan menghasilkan ramalan yang lebih baik.
IV. OPERASIONAL MODEL PERAMALAN Model peramalan yang telah dikembangkan oleh Balai Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan Jatisari berdasarkan hasil penelitian, studi, kajian dan mempelajari data-data historis. Penelitian, studi, kajian dan data-data historis yang digunakan dalam pengembangan model peramalan dikumpulkan dari beberapa lokasi yang dianggap sebagai daerah endemis suatu OPT di Indonesia. Tentunya karena ada perbedaan karakteristik dan agroekosistem maka model peramalan OPT kemungkinan akan ada perbedaan bobot masing-masing variabel atau bahkan ada perbedaan variabel spesifik lokasi ekosistem. Oleh karena itu masih perlu dilakukan evaluasi model untuk penyesuaian terhadap spesifik lokasi. Model-model peramalan yang telah dikembangkan dibagi kedalam 4 (empat) kelompok komoditi yaitu komoditi padi, palawija, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) dan komplek sebagaimana tercantum berikut ini.
35
1. KOMODITI PADI
a. Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens) Model 1.1 : Peramalan Populasi WBC pada musim hujan a. Log G-2 = 2,403 + 0,61 Log G-0 ; (R2 = 0,80) b. Log G-2 = 1,273 + 0,566 Log G-1 ; (R2 = 0,89) Contoh Model 1.1.a : Padat populasi WBC pada G-0 adalah 0,2 ekor, maka pada populasi pada G-2 adalah: Log G-2 = 2,403 + 0,61 Log G-0 = 2,403 + 0,61 Log(0,2) = 2,403 + 0,61 (-0,699) = 2,403 – 0,426 = 1,977. Jadi padat populasi G-2 adalah 10 1,977 = 94,8 ekor per rumpun. Contoh Model 1.1. b: Padat populasi WBC pada G-1 adalah 20 ekor, maka pada populasi pada G-2 adalah: Log G-2 = 1,273 + 0,566 Log G-1 = 1,273 + 0,566 Log(20) = 1,273 + 0,566 (1,301) = 1,273 + 0,736 = 2,009. Jadi padat populasi G-2 adalah 10 2,009 = 102,09 ekor per rumpun. Model 1.2 : Peramalan Populasi WBC pada musim kemarau Log G-2 = Log (G-1) - 0.98 Log (S-1) + 1.29 ; (R2 = 0,82) Keterangan Model 2, 3 : G-2 = Populasi generasi puncak G-0 = Populasi generasi pendatang G-1 = Populasi generasi penetap S-1 = padat populasi laba- laba pada G-1 Contoh Model 1.2 : Diketahui padat populasi G-0 sebanyak 0,2 ekor per rumpun, G-1 sebanyak 20 ekor per rumpun dan pada populasi laba-laba S-1 sebanyak 10 ekor epr rumpun. Maka dapat diduga pada populasi generasi puncak G-2, yaitu: Log G-2 = Log (G-1) - 0.98 Log (S-1) + 1.29 = Log (20) – 0,98 Log (10) + 1,29 = 1,301 – 0,98 (1) + 1,29 = 1,611. Jadi padat populasi G-2 adalah 10 1,611 = 40,8 ekor per rumpun.
36
Model 1.3 : Peramalan serangan WBC tingkat wilayah pengamatan Y = 1.17 X1 + 0.35 X2 + 0.61 X3 - 3.74 ; (R2 = 0,81) Keterangan : Y
= Luas serangan WBC pada akhir musim tanam (KLTS) dengan klasifikasi sebagai berikut : 1 = tidak ada serangan, 2 = serangan < 50 ha, 3 = serangan 51 - 100 ha, 4 = serangan 101 - 500 ha dan 5 = serangan > 500 ha
X1 = Kepadatan populasi generasi awal pada puncak tanam dengan klasifikasi sebagai berikut : 1 = populasi < 0.2 ekor per-rumpun 2 = populasi 0.2 - 0.4 ekor per-rumpun 3 = populasi > 0.4 ekor per-rumpun X2 = Persentase luas tanam varietas peka pada puncak tanam dengan klasifikasi sebagai berikut : 1 = kurang dari 10 %, 2 = 10 - 30 %, 3 = 30 - 60 %, 4 = 60 - 80 % dan 5 = lebih dari 80 % X3 = Persentase luas tanam tanaman muda pada puncak tanam dengan klasifikasi sebagai berikut : 1 = kurang dari 10 %, 2 = 10 - 30 %, 3 = 30 - 60 %, 4 = 60 - 80 % dan 5 = lebih dari 80 %
37
Contoh Model 1.3 : Berdasarkan surveillance pada awal musim hujan (waktu puncak tanam) di Kecamatan A ditemukan populasi WBC dengan kepadatan 0,3 ekor/rumpun, varietas peka yang ditanam di kecamatan tersebut seluas 1500 ha dari luas areal tanam keseluruhan 7500 ha. Pada saat yang sama luas tanaman muda yang berumur <60 hari setelah tanam (HST) seluas 5000 ha. Maka pada akhir musim hujan sekarang dapat diramalkan kumulatif luas tambah serangan (KLTS) di Kecamatan A sebagai berikut: Padat populasi WBC 0,3 ek/rmp atau X1 = 2. Persentase varietas peka = 1500 / 7500 * 100 = 20% atau X2 = 2. Persentase tanaman muda = 5000 / 7500 * 100 = 66,7% atau X3 = 4. Jadi KLTS pada akhir musim (Y) adalah sebesar: Y = 1,17 (2) + 0,35 (2) + 0,61 (4) – 3,74 = 2,34 + 0,7 + 2,44 – 3,74 = 1,74 atau dibulatkan 2 jadi diduga KLTS musim hujan adalah seluas <50ha. Model 1.4 :
Peramalan serangan WBC pada musim kemarau a. Log Y = 0,249 + 0,731 Log (X1) ± 0,12 ; (R2 = 0,44) b. Log Y = 0,161 + 0,570 Log (X1) + 0,278 Log (X2) ± 0,12 ; (R2 = 0,48; CL = 0,12)
Model 1.5 : Peramalan serangan WBC pada musim hujan a. Log Y = 0,673 + 0,596 Log (X1) ± 0,11 ; (R2 = 0,37) b. Log Y = 0,503 + 0,365 Log (X1) + 0,380 Log (X2) ± 0,12 ; (R2 = 0,46) Keterangan Model 1.4 dan 1.5 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 1.4 yang diterapkan pada model 1.4.b : Ramalan KLTS WBC pada padi Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,161 + 0,570 Log (X1) + 0,278 Log (X2) ± 0,12 38
Log YMK = 0,161 + 0,570 Log (10) + 0,278 Log (100) Log YMK = 0, 161 + 0, 570 (1) + 0, 278 (2) Log YMK = 0, 161 + 0, 570 + 0, 556 = 1,696 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,696 = 49,66 ha, Minimum = 10 (1,696-0,12) = 10 1,576 = 37,67 ha, dan Maksimum = 10 (1,696+0,12) = 10 1,816 = 65.46 ha. Contoh Model 1.5 yang diterapkan pada model 1.5.b : Ramalan KLTS WBC pada padi Musim Hujan 2003/2004. Dilaporkan KLTS MK 2003 seluas 10 ha dan KLTS MH 2002/2003 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMH = 0,503 + 0,365 Log (X1) + 0,380 Log (X2) ± 0,12 Log YMH = 0,503 + 0,365 Log (10) + 0,380 Log (100) Log YMH = 0,503 + 0,365 (1) + 0,380 (2) Log YMH = 0,503 + 0,365 + 0,76 = 1,628 Jadi Ramalan KLTS MH 2003/2004 = 10 1,628 = 42,5 ha, Minimum = 10 (1,628-0,12) = 10 1,16 = 14,5ha, dan Maksimum = 10 (1,628+0,12) = 10 1,748 = 56,0 ha.
b. Tikus Sawah (Ratus ratus argentiventer) Model 2.1:
Kehilangan hasil akibat gangguan pada stadia pembentukan anakan: Y = 0,90 X – 7,68 ; (R2 = 0,91)
Model 2.2 :
Kehilangan
hasil
akibat
gangguan
pada
stadia
anakan
maksimum: Y = 0,89 X – 2,39 ; (R2 = 0,94) Model 2.3 :
Kehilangan hasil akibat gangguan pada stadia primordia: Y = 1,07 X – 1,97 ; (R2 = 0,98)
Model 2.4 :
Kehilangan hasil akibat gangguan pada stadia pembentukan malai:
39
Y = 1,07 X – 0,43 ; (R2 = 0,98) Keterangan Model 2.1, 2.2, 2.3 dan 2.4 : Y = Kehilangan hasil (%) X = Intensitas kerusakan akibat serangan tikus (%) Contoh Model 2.1, 2.2, 2.3 dan 2.4 yang diterapkan pada model 2.4: Berdasarkan hasil pengamatan pada saat stadia pembentukan malai diketahui intensitas serangan tikus sebesar 50%, maka diduga kehilangan hasil yang diakibatkannya adalah: Y = 1,07 X – 0,43 = 1,07 (50) – 0,43 = 53.5 - 0,43 = 53.07% Model 2.5 :
Peramalan serangan Tikus pada musim kemarau a. Log Y = 0,7658 + 0,7333 Log (X1) ± 0,07 ; (R2 = 0,61) b. Log Y = 0,3817 + 0,3085 Log (X1) +0,5638 Log (X2) ± 0,06 ; (R2 = 0,72)
Model 2.6 :
Peramalan serangan Tikus pada musim hujan a. Log Y = 0,2887 + 0,8914 Log (X1) ± 0,07 ; (R2 = 0,67) b. Log Y = 0,160 + 0,4516 Log (X1) + 0,5073 Log (X2) ± 0,06 ; (R2 = 0,76)
Keterangan Model 2.5 dan 2.6 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 2.5 yang diterapkan pada model 2.5.b: Ramalan KLTS Tikus pada tanaman padi Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMK = 0,3817 + 0,3085 Log (X1) +0,5638 Log (X2) ± 0,06 Log YMK = 0,3817 + 0,3085 Log (10) +0,5638 Log (100) Log YMK = 0,3817 + 0,3085 (1) +0,5638 (2) Log YMK = 0,3817 + 0,3085 + 1,1276 = 1.8178
40
Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,8178 = 65,7 ha, Minimum = 10 (1,8178-0,06) = 10 1.7578 = 57,2 ha, dan Maksimum = 10 (1,8178+0,06) = 10 1.8778 = 75,5 ha. Contoh Model 2.6 yang diterapkan pada model 2.6.b: Ramalan KLTS Tikus pada tanaman padi Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMH = 0,160 + 0,4516 Log (X1) + 0,5073 Log (X2) ± 0,06 Log YMH = 0,160 + 0,4516 Log (10) + 0,5073 Log (100) Log YMH = 0,160 + 0,4516 (1) + 0,5073 (2) Log YMH = 0,160 + 0,4516 + 1,0146 = 1.6262 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,6262 = 42,3 ha, Minimum = 10 (1,6262-0,06) = 10 1,5662 = 36,8 ha, dan Maksimum = 10 (1,6262+0,06) = 10 2.2262 = 168,3 ha.
c. Penggerek Batang Padi Kompleks(S. innotata, S. incertulas, Sesamia inferens dan Chilo supresalis) Model 3.1 : Peramalan serangan PBP pada musim kemarau a.
Log Y = 0,5533 + 0,76 Log (X1) ± 0,07 ; (R2 = 0,51)
b.
Log Y = 0,2275 + 0,3567 Log (X1) + 0,5533 Log (X2) ± 0,06 ; (R2 = 0,64)
Model 3.2 : Peramalan serangan PBP pada musim hujan a.
Log Y = 0,833 + 0,7184 Log (X1) ± 0,06 ; (R2 = 0,56)
b.
Log Y = 0,3358 + 0,3116 Log (X1) + 0,5857 Log (X2) ± 0,05 ; (R2 = 0,71)
Keterangan Model 3.1 dan 3.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
41
Contoh Model 3.1 yang diterapkan pada model 3.1.b: Ramalan KLTS PBP pada tanaman padi Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMK = 0,2275 + 0,3567 Log (X1) + 0,5533 Log (X2) ± 0,06 Log YMK = 0,2275 + 0,3567 Log (10) + 0,5533 Log (100) Log YMK = 0,2275 + 0,3567 (1) + 0,5533 (2) Log YMK = 0,2275 + 0,3567 + 1,1066 = 1.6908 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,6908 = 49,1 ha, Minimum = 10 (1,6908-0,06) = 10 1.6308 = 42,7 ha, dan Maksimum = 10 (1,6908+0,06) = 10 1.7508 = 56,3 ha. Contoh Model 3.2 yang diterapkan pada model 3.2.b: Ramalan KLTS PBP pada tanaman padi Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMH = 0,3358 + 0,3116 Log (X1) + 0,5857 Log (X2) ± 0,05 Log YMH = 0,3358 + 0,3116 Log (10) + 0,5857 Log (100) Log YMH = 0,3358 + 0,3116 (1) + 0,5857 (2) Log YMH = 0,3358 + 0,3116 + 1.1714 = 1.8188 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,8181 = 65,8 ha, Minimum = 10 (1,8181-0,05) = 10 1,7681 = 58,6 ha, dan Maksimum = 10 (1,8181+0,05) = 10 1.8681 = 73,8 ha.
c. Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga incertulas) Model 4.1 :
Peramalan luas serangan beluk. a. Log (Y+1) = 1,0034 Log (X+1) – 0,20 ; (R2 = 0,72)
Keterangan : Y = Luas puncak serangan beluk dalam bentuk transformasi Log (Y+1) X = Populasi ngengat penerbangan pendatang (G-0) b. Log Y = 1,585 Log X + 1,825 ; (R2 = 0,894) Keterangan : Y = Luas serangan penggerek batang pada fase generatif (ha) X = Populasi kelompok telur penggerek batang pada pesemaian (ekor/m2) 42
Contoh Model 4.1.a : Diketahui populasi ngengat penerbangan pendatang (G-0) pada lampu perangkap sebanyak 100 ekor.
Maka dapat diduga luas puncak serangan
beluk adalah sebagai berikut: Log (Y+1) = 1,0034 Log (X+1) – 0,20 Log (Y+1) = 1,0034 Log (100+1) – 0,20 = 1,0034 (2.004) – 0,20 Log (Y+1) = 1,8111 Y
= 10 1,8111 – 1 = 63,7 ha
Contoh Model 4.1.b : Diketahui populasi kelompok telur pada pesemaian sebanyak 2 kelompok per meter persegi. Maka dapat diduga luas serangan pada fase generatif (beluk) adalah sebagai berikut: Log Y = 1,585 Log X + 1,825 Log Y = 1,585 Log (2) + 1,825 = 1,585 (0,301) + 1,825 Log Y = 2,5813 Y = 10 2,5813 = 381,3 ha Model 4.2 : Peramalan intensitas serangan beluk Kemunculan intensitas serangan PBPK pada fase generatif (beluk) dapat diramalkan dengan populasi kelompok telurnya pada fase pesemaian dan serangan pada fase vegetatif (sundep) dengan model sebagai berikut : a. Log Y = 1,262 Log X1 + 1,122 ; (R2 = 0,796) b. Log Y = 1,265 Log X1 + 1,354 Log X2 + 1,125 ; (R2 = 0,896) Keterangan : Y = Intensitas serangan penggerek batang pada fase generatif / beluk (%) X1 = Populasi kelompok telur penggerek batang pada pesemaian (ekor/m2), dengan kisaran 0 < X1 ≤ 0,5 ekor/m2. X2 = Intensitas serangan penggerek batang pada fase vegetatif / sundep (%) dengan kisaran 0 < X2 ≤ 6 %. Contoh Model 4.2 : Pengamatan pada saat fase pesemaian ditemukan rata-rata 0,2 kelompok telur PBPK dan pada pengamatan periode berikutnya dipertanaman fase vegetatif 43
diketahui intenasitas serangan sundep sebesar 10%.
Maka dengan
menggunakan model 4.2 dapat diduga intensitas serangan PBPK pada fase generatif / beluk adalah sebagai berikut: a. Log Y = 1,262 Log (0,2) + 1,122 Log Y = 1,262 (-0,699) + 1,122 = 0,2399 Y = 10 0,2399 = 1,74% b. Log Y = 1,265 Log X1 + 1,354 Log X2 + 1,125 Log Y = 1,265 Log (0,2) + 1,354 Log (10) + 1,125 Log Y = 1,265 (-0,699) + 1,354 (1) + 1,125 = 1,5948 Y = 10 1,5948 = 39.3%
e. Penggerek Batang Padi Putih (Scirpophaga innotata) Model peramalan untuk musim hujan pada tingkat wilayah kecamatan dengan memanfaatkan beberapa faktor yang aktual dari lapangan, seperti : luas puncak serangan beluk pada akhir musim kemarau,
populasi larva
diapause pada tunggul dan penerbangan ngengat generasi awal (G-0) yang dipantau dari lampu perangkap. Model 5.1 : (untuk digunakan pada akhir musim kemarau) Y = 0,7843673 + 0,52551 X1 ; (R2 = 0,56) Model 5.2 : (untuk digunakan pada saat bera/setelah survei tunggul) Y = 0,4466202 + 0,4427815 X1 + 0,29687 X2 ; (R2 = 0,60) Model 5.3 : (untuk digunakan pada saat pesemaian) Y = 0,453077 + 0,428118 X1 + 0,29426 X2 + 0,0148885 X3;
(R2 = 0,61) Keterangan : Y = Luas puncak serangan yang akan terjadi pada musim hujan X1 =
Luas puncak serangan yang terjadi pada musim kemarau Luas puncak serangan (Y dan X1) menggunakan klasifikasi sebagai berikut :
44
1= 2= 3= 4= 5= X2 =
0 1 – 50 51 – 100 101 – 500 >500
Ha Ha Ha Ha Ha
Populasi larva diapause pada tunggul padi bekas panen dengan klasifikasi sebagai berikut : 1= 2= 3= 4= 5=
X3 =
0 1 – 10 11 – 50 51 – 100 > 100
Populasi
Ha Ha Ha Ha Ha
ngengat
G-0
tangkapan
lampu
perangkap
dengan
menggunakan klasifikasi sebagai berikut : 1= 2= 3= 4= 5=
0 1 – 100 101 – 500 501 – 1000 > 1000
Ha Ha Ha Ha Ha
Contoh Model 5.1, 5.2. dan 5.4 : Berdasarkan laporan diketahui luas puncak serangan PBPP pada MK 2003 seluas 500 ha. Hasil pengamatan pada fase bera ditemukan populasi larva diapause pada tunggul padi rata-rata sebanyak 65 ekor per tunggul. Pada fase vegetatif (periode puncak tanam) dari pengamatan lampu perangkap diperoleh data tangkapan ngengat G-0 rata-rata sebanyak 200 ekor per malam. Maka dapat diduga luas puncak serangan PBPP pada MH 2003/2004 adalah sebagai berikut: Model 5.1:
Y = 0,7843673 + 0,52551 X1
Pada klasifikasi luas serangan seluas 500 ha termasuk pada kelas 4, jadi dapat disubtitusikan sebagai berikut: Y = 0,7843673 + 0,52551 (4) = 2.9 atau dibulatkan menjadi 3. Maka luas puncak serangan yang akan terjadi pada MH 2003/2004 termasuk kelas 3 atau diramalkan berkisar antara 51 – 100 Ha. Model 5.2:
Y = 0,4466202 + 0,4427815 X1 + 0,29687 X2 45
Pada klasifikasi luas serangan seluas 500 ha termasuk pada kelas 4 dan populasi larva diapause 65 ekor termasuk pada kelas 4, jadi dapat disubtitusikan sebagai berikut: Y = 0,4466202 + 0,4427815 (4) + 0,29687 (4) Y = 0,4466202 + 1.771126 + 1.18748 = 3.4 atau dibulatkan menjadi 3. Maka luas puncak serangan yang akan terjadi pada MH 2003/2004 termasuk kelas 3 atau diramalkan berkisar antara 51 – 100 Ha. Y = 0,453077 + 0,428118 X1 + 0,29426 X2 + 0,0148885 X3
Model 5.3:
Pada klasifikasi luas serangan seluas 500 ha termasuk pada kelas 4, populasi larva diapause 65 ekor termasuk pada kelas 4 dan populasi ngengat G-0 200 ekor termasuk kelas 3, jadi dapat disubtitusikan sebagai berikut: Y = 0,453077 + 0,428118 (4) + 0,29426 (4) + 0,0148885 (3) Y = 0,453077 + 1.712472 + 1.17704 + 0.0446655 = 3.4 atau dibulatkan menjadi 3. Maka luas puncak serangan yang akan terjadi pada MH 2003/2004 termasuk kelas 3 atau diramalkan berkisar antara 51 – 100 Ha.
f.
Ganjur (Orseolia oryzae Wood-Masson) Model ini bersifat spesipik lokasi yang diperoleh di Kabupaten Cirebon
yang merupakan salah satu daerah endemis hama ganjur di Jawa Barat. Model peramalan yang diperoleh adalah : Model 6.1 : Log (YMH) = 0,54640 + 0,44569 Log (XMK) ; (R2 = 0,15) Keterangan : YMH =
Ramalan kumulatif luas serangan (ha) pada musim hujan
XMK =
Total tangkapan hama ganjur (ekor) dengan lampu perangkap pada musim kemarau
Contoh Model 6.1 : Berdasarkan data hasil pengamatan populasi hama ganjur dengan lampu perangkap selama MK 2003 didapat total sebanyak 1.000 ekor. Maka
46
dapat diramalkan kumulatif luas serangan pada MH 2003/2004 adalah sebagai berikut: Log (YMH) = 0,54640 + 0,44569 Log (XMK) Log (YMH) = 0,54640 + 0,44569 Log (1000) = 0,54640 + 0,44569 (3) = 1,88347 (YMH) = 10 1,88347 = 76,5 Ha.
g. Penyakit Tungro Model 7.1: Peramalan luas serangan pada pola tanam serempak Y = 0,25 (X1+0,5)2 + 0,08 √ (X2+0,5) – 0,19 ; (R2 = 0,75) Keterangan : Y = Proporsi gejala tungro pada hamparan, (hasil bagi antara luas petak yang bergejala tungro dengan luas keseluruhan hamparan) X1 = Proporsi tanaman muda (2-6 MST) pada hamparan tersebut. X2 = Populasi wereng hijau (Nephotetix virescens) per 25 ayunan tunggal dengan jaring (sweeping). Contoh Model 7.1 : Pada suatu hamparan padi dengan pola tanam serempak diketahui luas pertanaman 100 ha, sebagian tanaman masih berumur muda (2-6 MST) dengan luas 10 ha. Berdasarkan pengamatan dengan jaring sebanyak 25 kali ayunan tunggal diperoleh rata-rata populasi wereng hijau 36 ekor. Maka dapat diramalkan proporsi luas serangan tungro yang akan terjadi pada hamparan tersebut, sebagai berikut: Proporsi tanaman muda diketahui sebesar 10/100 ha = 0,1 dengan menggunakan transformasi (X+0,5)2 maka diperoleh nilai X1 = 0,36. Populasi wereng hijau sebanyak 36 ekor, dengan tranformasi √ (X+0,5) diperoleh nilai X2 = 6,04. Apabila disubtitusikan pada model maka akan diperoleh hasil ramalan: Y = 0,25 (0,1+0,5)2 + 0,08 √ (36+0,5) – 0,19 Y = 0,25 (0,36) + 0,08 (6,04) – 0,19 = 0,09 + 0,4832 – 0,19 = 0.3832 Jadi apabila luas pertanaman pada hamparan tersebut adalah 100 ha maka dapat diduga luas pertanaman yang akan terserang oleh tungro adalah : 0,3832 x 100 ha = 38,32 Ha. 47
Model 7.2:
Peramalan luas serangan pada pola tanam tidak serempak Y=
√ (0,43 X1 + 0,00014 Log (X2+0,01) – 0,214 Log (X3+0,01) – 0,133 Log (X4+0,01) - 0,19) ; (R2 = 0,87)
Keterangan : Y = Proporsi gejala tungro pada hamparan, (hasil bagi antara luas petak yang bergejala tungro dengan luas keseluruhan hamparan), X1 = Proporsi tanaman muda (2-6 MST) pada hamparan tersebut. X2 = Proporsi singgang pada hamparan tersebut, X3 = Proporsi luas panen pada hamparan tersebut, X4 = Proporsi penggunaan tanah lain (olah tanah, pesemaian, baru tanam) pada hamparan tersebut. Contoh Model 7.2 : Pada suatu hamparan padi dengan pola tanam tidak serempak diketahui luas pertanaman 100 ha yang terdiri dari tanaman muda (2-6 MST) seluas 10 ha, singgang seluas 25 ha, panen 50 ha dan kondisi lainnya (bera/pesemaian/ olah tanah/baru tanam) seluas 15 ha.
Maka dapat
diramalkan proporsi luas serangan tungro yang akan terjadi pada hamparan tersebut, sebagai berikut: Proporsi tanaman muda (X1) diketahui sebesar 10/100 ha = 0,1. Proporsi singgang 25/100 ha = 0,25 dengan tranformasi log (X+0,01) maka diperoleh nilai X2 = -0,585.
Proporsi luas
panen 50/100 ha = 0,5 dengan
tranformasi log (X+0,01) maka diperoleh nilai X3 = -0,2924.
Proporsi areal
lainnya 15/100 ha = 0,15 dengan tranformasi log (X+0,01) maka diperoleh nilai X4 = -0,79588. Apabila disubtitusikan pada model maka akan diperoleh hasil ramalan: Y=
√ (0,43(0,1) + 0,00014 Log (0,25+0,01) – 0,214 Log (0,5+0,01) – 0,133 Log (0,15+0,01) - 0,19)
Y=
√(0,43(0,1) + 0,00014(-0,585) – 0,214(-0,2924) – 0,133(-0,79588) - 0,19)
Y=
√ ( 0,043 – 0,0000819 + 0,0625736 + 0,10585204 - 0,19) = 0.357
48
Jadi apabila luas pertanaman pada hamparan tersebut adalah 100 ha maka dapat diduga luas pertanaman yang akan terserang oleh tungro adalah : 0,357 x 100 ha = 35,7 Ha Model 7.3: Peramalan intensitas serangan pada pola tanam serempak Log (Y+1,02) = 0,19 √ X1 + 0,44 (X2+0,1)2 – 1,97 ; (R2 = 0,79) Keterangan : Y = Ramalan intensitas serangan tungro pada dekade berikutnya. X1 = Curah hujan pada satu dekade terakhir (mm) pada awal musim, dengan kisaran 0 < X1 ≤ 100 mm. X2 = Populasi wereng hijau (Nephotetix virescens) per 25 ayunan tunggal dengan jaring (sweeping) pada awal musim, dengan kisaran 0 ≤ X2 ≤ 2 ekor. Contoh Model 7.3 : Berdasarkan pengamatan curah hujan pada suatu hamparan padi dengan pola tanam serempak pada awal musim dalam periode satu dekade terakhir tercatat sebanyak 50 mm. Pada saat yang sama hasil pengamatan dengan jaring sebanyak 25 kali ayunan tunggal diperoleh rata-rata populasi wereng hijau 2 ekor. Maka dapat diramalkan intensitas serangan tungro yang akan terjadi pada dekade berikutnya adalah sebagai berikut: Log (Y+0,01) = 0,19 √ X1 + 0,44 (X2+0,1)2 – 1,97 Log (Y+0,01) = 0,19 √ 50 + 0,44 (2+0,1)2 – 1,97 Log (Y+0,01) = 0,19 (7,071) + 0,44 (4.41) – 1,97 Log (Y+0,01) = 1,34349 + 1,9404 – 1,97 = 1,31389 Y Model 7.4:
= 10 1,31389 – 0,01 = 20,6% Peramalan serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,3122 + 0,7385 Log (X1) ± 0,1 ; (R2 = 0,55) b. Log Y = 0,1929 + 0,375 Log (X1) +0,4972 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,65)
49
Model 7.5:
Peramalan serangan pada musim hujan (ramalan antar musim) a. Log Y = 0,3394 + 0,8173 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,60) b. Log Y = 0,2712 + 0,718 Log (X1) +0,1324 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,62)
Keterangan Model 7.4 dan 7.5 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 7.4 yang diterapkan pada model 7.4.b: Ramalan KLTS Tungro pada tanaman padi Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMK = 0,1929 + 0,375 Log (X1) + 0,4972 Log (X2) ± 0,09 Log YMK = 0,1929 + 0,375 Log (10) + 0,4972 Log (100) Log YMK = 0,1929 + 0,375 (1) + 0,4972 (2) Log YMK = 0,1929 + 0,375 + 0,9944 = 1,5623 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,5623 = 36,5 ha, Minimum = 10 (1,5623-0,09) = 10 1,4723 = 29,7 ha, dan Maksimum = 10 (1,5623+0,09) = 10 1,65 = 44,9 ha. Contoh Model 7.5 yang diterapkan pada model 7.5.b: Ramalan KLTS Tungro pada tanaman padi Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log YMH = 0,2712 + 0,718 Log (X1) +0,1324 Log (X2) ± 0,09 Log YMH = 0,2712 + 0,718 Log (10) +0,1324 Log (100) Log YMH = 0,2712 + 0,718 (1) + 0,1324 (2) Log YMH = 0,2712 + 0,718 + 0,2648 = 1,254 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,254 = 17,9 ha, Minimum = 10 (1,254-0,09) = 10 1,164 = 14,6 ha, dan Maksimum = 10 (1,254+0,09) = 10 1,6523 = 21,6ha.
50
h. Penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB, Xanthomonas campestris pv. Oryzae) Model 8.1:
Peramalan rasio petak terinfeksi penyakit HDB pada stadia anakan maksimum. Y = 8,99 Log (X1+0,05) + 0,36 X2 + 62,44 ; (R2 = 0,68)
Keterangan : Y = Proporsi petak terinfeksi hawar daun bakteri pada stadia keluar malai. X1 =
Populasi bakteriophage pada umur tanaman 14 HST.
X2 = Jumlah hari hujan yang terjadi pada periode 1 – 42 HST. Contoh Model 8.1: Pengamatan pada tanaman padi umur 14 HST dengan luas hamparan 100 ha ditemukan bakteriophage 40, sedangkan hari hujan pada periode umur tanaman 1 – 42 HST sebanyak 30 hari. Maka dapat diramalkan luas serangan penyakit HDB pada stadia anakan maksimum sebagai berikut: Y = 8,99 Log (X1+0,05) + 0,36 X2 + 62,44 Y = 8,99 Log (40+0,05) + 0,36 (30) + 62,44 Y = 8,99 (1,6026) + 0,36 (30) + 62,44 = 14,407 + 10,8 + 62,44 Y = 87,647 Jadi kalau luas hamparan 100 ha maka 87,647% (87,647 Ha) akan terserang oleh penyakit HDB. Model 8.2:
Peramalan luas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian.
√ (Y+0,01) = 2,06 √ (X1+0,01) + 0,05 Log (X2) + 0,01 ; (R2 = 0,87) Keterangan : Y = Proporsi luas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian. X1 = Proporsi luas serangan penyakit HDB pada stadia
pembungaan.
X2 = Curah hujan harian selama stadia anakan maksimum.
51
Contoh Model 8.2 : Pengamatan pada tanaman padi stadia pembungaan dengan luas hamparan 100 ha terserang oleh penyakit HDB seluas 25 ha, sedangkan rata-rata curah hujan harian selama stadia anakan maksimum sebanyak 10 mm. Maka dapat diramalkan luas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian sebagai berikut: Proporsi luas serangan penyakit HDB pada stadia pembungaan (X1) adalah 25/100 = 0,25, jadi dapat disubtitusikan kedalam model dibawah ini: √ (Y+0,01) = 2,06 √ (X1+0,01) + 0,05 Log (X2) + 0,01 √ (Y+0,01) = 2,06 √ (0,25+0,01) + 0,05 Log (10) + 0,01 √ (Y+0,01) = 2,06 (0,5099) + 0,05 (1) + 0,01 √ (Y+0,01) = 1,050394 + 0,05 + 0,01 = 1,110394 Y = 1,110394 2 – 0,01 = 1,23 Jadi apabila luas hamparan 100 ha, maka diduga akan terjadi serangan penyakit HDB seluas 1,23% (1,23 ha). Model 8.3:
Peramalan proporsi luas serangan penyakit HDB pada stadia pemasakan.
√ Y = 1,06 √ (X1+0,01) + 0,06 √ (X2) – 0,20 ;
(R2 = 0,75)
Keterangan : Y = Proporsi luas serangan HDB pada stadia pemasakan. X1 = Proporsi luas serangan pada stadia pengisian malai X2 = Curah hujan harian antara stadia pengisian malai sampai awal pemasakan. Contoh Model 8.3 : Pengamatan pada tanaman padi stadia pengisian malai dengan luas hamparan 100 ha terserang oleh penyakit HDB seluas 50 ha, sedangkan rata-rata curah hujan harian selama stadia antara pengisian malai sampai awal pemasakan sebanyak 10 mm. Maka dapat diramalkan luas serangan penyakit HDB pada stadia pemasakan sebagai berikut: Proporsi luas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian (X1) adalah 50/100 = 0,5, jadi dapat disubtitusikan kedalam model dibawah ini:
52
√ Y = 1,06 √ (X1+0,01) + 0,06 √ (X2) – 0,20 √ Y = 1,06 √ (0,5+0,01) + 0,06 √ (10) – 0,20 √ Y = 1,06 (0,714) + 0,06 (3,162) – 0,20 √ Y = 0,75684 + 0,18974 – 0,20 = 0,74658 Y = 0,74658 2 = 0,557 Jadi apabila luas hamparan 100 ha, maka diduga akan terjadi serangan penyakit HDB seluas 0,557% (0,557 ha). Model 8.4:
Peramalan intensitas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian malai Y 2 = 3,31 Log (X1+5) + 0,69 √ (X2) + 1,09 ; (R2 = 0,89)
Keterangan : Y = Intensitas penyakit HDB pada stadia pengisian malai. X1 = Intensitas penyakit HDB pada stadia pembungaan. X2 = Curah hujan harian pada stadia pembungan. Contoh Model 8.4 : Pengamatan pada tanaman padi stadia pembungaan ditemukan intensitas serangan penyakit HDB sebanyak 10% dan pada saat yang sama curah hujan rata-rata harian diketahui sebanyak 10 mm. Berdasarkan data tersebut dapat diramalkan intensitas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian malai sebagai berikut: Y 2 = 3,31 Log (X1+5) + 0,69 √ (X2) + 1,09 Y 2 = 3,31 Log (10+5) + 0,69 √ (10) + 1,09 Y 2 = 3,31 (1,17609) + 0,69 (3,1623) + 1,09 Y 2 = 3,8928579 + 2,182 + 1,09 = 7,1648579 Y = √ (8,4328579) = 2,9%
53
Model 8.5:
Peramalan intensitas serangan penyakit HDB pada stadia pemasakan Y 2 = 6,84 √ (X1) - 0,05 √ (X2) - 1,41 ; (R2 = 0,86)
Keterangan : Y = Intensitas penyakit hawar daun bakteri pada stadia pemasakan. X1 = Intensitas penyakit pada stadia pengisian malai. X2 = Curah hujan harian pada stadia pengisian malai. Contoh Model 8.5 : Pengamatan pada tanaman padi stadia pengisian malai ditemukan intensitas serangan penyakit HDB sebanyak 20% dan pada saat yang sama curah hujan rata-rata harian diketahui sebanyak 10 mm. Berdasarkan data tersebut dapat diramalkan intensitas serangan penyakit HDB pada stadia pengisian malai sebagai berikut: Y 2 = 6,84 √ (X1) - 0,05 √ (X2) - 1,41 Y 2 = 6,84 √ (20) - 0,05 √ (10) - 1,41 Y 2 = 6,84 (4,472) - 0,05 (3,16228) - 1,41 Y 2 = 30,58848 – 0,1581+ 1,41 = 31,84038 Y = √ (31,84038) = 5,64% Model 8.6 : Peramalan intensitas serangan HDB pada stadia kritis Y = 0,10 X1 + 0,11 X2 + 1,06 X3 – 0,91 ; (R2 = 0,44) Keterangan : Y = Intensitas penyakit HDB pada stadia kritis. X1 =
Kondisi air di persawahan sampai dengan stadia anakan maksimum.
X2 =
Rata rata curah hujan harian sampai dengan stadia anakan maksimum
X3 = Rata rata populasi bakteriophage di saluran sampai stadia anakan maksimum
54
i.
Penyakit Blas (Pyricularia oryzae Cav.)
Model 9.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,4040 + 0,5781 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,42) b. Log Y = 0,2685 + 0,3916 Log (X1) + 0,3402 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,48)
Model 9.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,7180 + 0,7522 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,44) b. Log Y = 0,3289 + 0,3516 Log (X1) + 0,5433 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,57)
Keterangan Model 9.1, 9.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 9.1 yang diterapkan pada model 9.1.b: Ramalan KLTS Blas pada tanaman padi Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,2685 + 0,3916 Log (X1) + 0,3402 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,2685 + 0,3916 Log (10) + 0,3402 Log (100) Log Y = 0,2685 + 0,3916 (1) + 0,3402 (2) Log Y = 0,2685 + 0,3916 + 0,6804 = 1,3405 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,3405 = 21,9 ha, Minimum = 10 (1,3405-0,08) = 10 1,2605 = 18,2 ha, dan Maksimum = 10 (1,3405+0,08) = 10 1,4205 = 26,3 ha. Contoh Model 7.5 yang diterapkan pada model 7.5.b: Ramalan KLTS Blas pada tanaman padi Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan:
55
Log Y = 0,3289 + 0,3516 Log (X1) + 0,5433 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,3289 + 0,3516 Log (10) + 0,5433 Log (100) Log Y = 0,3289 + 0,3516 (1) + 0,5433 (2) Log Y = 0,3289 + 0,3516 + 1,0866 = 1,7671 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,7671 = 58,5 ha, Minimum = 10 (1,7671-0,09) = 10 1,6771 = 47,5 ha, dan Maksimum = 10 (1,7671+0,09) = 10 1,8571 = 72,0 ha. 2.
KOMODITI PALAWIJA
a.
OPT Kedelai
a.1.
Kutu kebul Kedelai (Bemisia tabaci) Pengamatan populasi kutu kebul dilakukan dengan menghitung
populasi yang tertangkap oleh perangkap lem pada papan yang ditempatkan di lokasi pertanaman. Model 10.1:
Peramalan populasi kutu kebul (G-1) di daerah tanam kedelai terus menerus. Log G-1 = 1,002 Log G-0 – 0,17 ; (R2 = 0,65)
Keterangan : G-1 = Populasi kutu kebul generasi 1 (G-1) (ekor/perangkap) G-0 = Populasi kutu kebul generasi pendatang (G-0) (ekor/perangkap) Contoh Model 10.1: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 2 MST (periode G-0) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diramalkan populasi pada periode G-1 (umur 4-5 MST) adalah sebagai berikut: Log G-1 = 1,002 Log G-0 – 0,17 Log G-1 = 1,002 Log (50) – 0,17 Log G-1 = 1,002 (1.69897) – 0,17 Log G-1 = 1,7023679 – 0,17 = 1,5324 G-1 = 10 1,5324 = 34,1 ekor per perangkap.
56
Model 10.2:
Peramalan populasi kutu kebul (G-2) di daerah tanam kedelai terus menerus. Log G-2 = 0,73 Log G-1 – 0,66 ; (R2 = 0,74)
Keterangan : G-2 = Populasi puncak kutu kebul generasi 2 (G-2) (ekor/perangkap) G-1 = Populasi kutu kebul generasi 1 (G-1) (ekor/perangkap) Contoh Model 10.2: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 4-5 MST (periode G-1) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diramalkan populasi pada periode G-2 (umur 6-7 MST) adalah sebagai berikut: Log G-2 = 0,73 Log G-1 – 0,66 Log G-2 = 0,73 Log (50) – 0,66 Log G-2 = 0,73 (1,69897) – 0,66 Log G-2 = 1,2402481 – 0,66 = 0,58025 G-1 = 10 0,58025 = 3,8 ekor per perangkap. Model 10.3:
Peramalan populasi kutu kebul (G-1) di daerah tanam kedelai pada pola tanam padi-padi-palawija. Log G-1 = 0,81 Log G-0 + 0,21 ; (R2 = 0,93)
Keterangan : G-1 = Populasi kutu kebul generasi 1 (G-1) (ekor/perangkap) G-0 = Populasi kutu kebul generasi pendatang (G-0) (ekor/perangkap) Contoh Model 10.3: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 2 MST (periode G-0) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diramalkan populasi pada periode G-1 (umur 4-5 MST) adalah sebagai berikut: Log G-1 = 0,81 Log G-0 + 0,21 Log G-1 = 0,81 Log (50) + 0,21 Log G-1 = 0,81 (1,69897) + 0,21
57
Log G-1 = 1,3762 + 0,21 = 2,7524 G-1 = 10 2,7524 = 565,5 ekor per perangkap. Model 10.4:
Peramalan populasi kutu kebul (G-2) di daerah tanam kedelai pada pola tanam padi-padi-palawija. Log G-2 = 0,77 Log G-1 – 0,22 ; (R2 = 0,67)
Keterangan : G-2 = Populasi puncak kutu kebul generasi 2 (G-2) (ekor/perangkap) G-1 = Populasi kutu kebul generasi 1 (G-1) (ekor/perangkap) Contoh Model 10.4: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 4-5 MST (periode G-1) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diramalkan populasi pada periode G-2 (umur 6-7 MST) adalah sebagai berikut: Log G-2 = 0,77 Log G-1 – 0,22 Log G-2 = 0,77 Log (50) – 0,22 Log G-2 = 0,77 (1,69897) – 0,22 Log G-2 = 1,3082 – 0,22 = 1,0882 G-1 = 10 1,0882 = 12,3 ekor per perangkap. Model 10.5:
Peramalan intensitas serangan kutu kebul (G-0) di daerah tanam kedelai terus menerus. Log I-0 = 0,65 Log G-0 – 0,01 ; (R2 = 0,83)
Keterangan: I-0
= Intensitas serangan pada periode G-0 (%)
G-0 = Populasi kutu kebul generasi pendatang (G-0) (ekor/perangkap) Contoh Model 10.5: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 2-3 MST (periode G-0) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 25 ekor per perangkap, maka dapat diduga intensitas serangan yang terjadi pada pada periode yang sama (I-0) adalah sebagai berikut:
58
Log I-0 = 0,65 Log G-0 – 0,01 Log I-0 = 0,65 Log (25) – 0,01 Log I-0 = 0,65 (1,39794) – 0,01 = 0,90866 – 0,01 = 0,89866 I-0 = 10 0,89866 = 7,9% Model 10.6:
Peramalan intensitas serangan kutu kebul (G-1) di daerah tanam kedelai terus menerus. Log I-1 = 0,80 Log G-1 – 0,30 ; (R2 = 0,80)
Keterangan: I-1
= Intensitas serangan pada periode G-1
G-1 = Populasi kutu kebul generasi pendatang (G-1) (ekor/perangkap) Contoh Model 10.6: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 4-5 MST (periode G-1) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diduga intensitas serangan yang terjadi pada pada periode yang sama (I-1) adalah sebagai berikut: Log I-1 = 0,80 Log G-1 – 0,30 Log I-1 = 0,80 Log (50) – 0,30 Log I-1 = 0,80 (1,69897) – 0,30 = 1,359176 – 0,30 = 1,059176 I-1 = 10 1,059176 = 11,5% Model 10.7:
Peramalan intensitas serangan kutu kebul (G-2) di daerah tanam kedelai terus menerus. Log I-2 = 0,56 Log G-2 + 0,32 ; (R2 = 0,73)
Keterangan: I-2
= Intensitas serangan pada periode G-2
G-2 = Populasi kutu kebul generasi 2 (G-2) ( ekor/perangkap). Contoh Model 10.7: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 6-7 MST (periode G-2) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat
59
diduga intensitas serangan yang terjadi pada pada periode yang sama (I-2) adalah sebagai berikut: Log I-2 = 0,56 Log G-2 + 0,32 Log I-2 = 0,56 Log (50) + 0,32 Log I-2 = 0,56 (1,69897) + 0,32 = 0,9514232 + 0,32 = 1,2714 I-2 = 10 1,2714 = 18,7% Model 10.8:
Peramalan intensitas serangan kutu kebul (G-1) di daerah tanam kedelai dengan pola tanam padi-padi-palawija. Log I-1 = 0,96 Log G-1 + 0,28 ; (R2 = 0,70)
Keterangan: I-1
= Intensitas serangan pada periode G-1
G-1 = Populasi kutu kebul generasi pendatang (G-1) Contoh Model 10.8: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 4-5 MST (periode G-1) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diduga intensitas serangan yang terjadi pada pada periode yang sama (I-1) adalah sebagai berikut: Log I-1 = 0,96 Log G-1 + 0,28 Log I-1 = 0,96 Log (50) + 0,28 Log I-1 = 0,96 (1,69897) + 0,28 = 1,631 +0,28 = 1,911 I-1 = 10 1,911 = 81,5% Model 10.9:
Peramalan intensitas serangan kutu kebul (G-2) di daerah tanam kedelai pada pola tanam padi-padi-palawija. Log I-2 = 1,74 Log G-2 – 1,37 ; (R2 = 0,66)
Keterangan: I-2
=
G-2 =
Intensitas serangan pada periode G-2 Populasi kutu kebul generasi 2 (G-2) dengan kisaran 0
60
Contoh Model 10.9: Pengamatan pada tanaman kedelai yang berumur 6-7 MST (periode G-2) dengan menggunakan perangkap papan lem berwarna kuning (yellow-sticky trap) diketahui rata-rata populasi kutu kebul 50 ekor per perangkap, maka dapat diduga intensitas serangan yang terjadi pada pada periode yang sama (I-2) adalah sebagai berikut: Log I-2 = 1,74 Log G-2 – 1,37 Log I-2 = 1,74 Log (50) – 1,37 Log I-2 = 1,74 (1,69897) – 1,37 = 2,9562 – 1,37 = 1,5862 I-2 = 10 1,5862 = 38,6%
a.2. Penggerek polong kedelai (Etiella spp.) Model 11.1:
Peramalan intensitas polong terserang berdasarkan populasi telur Y = 4,45 + 1,08 X ; (R2 = 0,56)
Keterangan: Y = Intensitas polong terserang (%) X = Rata-rata populasi telur per 3 rumpun Contoh Model 11.1: Berdasarkan pengamatan diketahui rata-rata populasi telur penggerek polong
kedelai 2 butir per 3 rumpun, maka dapat diduga intensitas polong yang akan terserang adalah sebagai berikut: Y = 4,45 + 1,08 X Y = 4,45 + 1,08 (2) Y = 4,45 + 2,16 Y = 6,61% Model 11.2:
Peramalan intensitas polong terserang berdasarkan populasi larva Y = 1,83 + 3,49 X ; (R2 = 0,72)
61
Keterangan: Y = Intensitas polong terserang X = Rata-rata populasi larva per 3 rumpun Contoh Model 11.2: Berdasarkan pengamatan diketahui rata-rata populasi larva penggerek polong
kedelai 5 ekor per 3 rumpun, maka dapat diduga intensitas polong yang akan terserang adalah sebagai berikut: Y = 1,83 + 3,49 X Y = 1,83 + 3,49 (5) Y = 1,83 + 17,45 Y = 19,28% Model 11.3:
Peramalan penurunan produksi oleh serangan penggerek polong Y = 138,0 – 4,38 X ; (R2 = 0,74)
Keterangan : Y = Produksi per 20 tanaman sampel (gram) X = Intensitas polong terserang Etiella spp. dengan kisaran 0<X<30%. Contoh Model 11.3: Berdasarkan pengamatan diketahui intensitas polong terserang penggerek polong adalah 25%, maka dapat diduga sisa produksi dari 20 tanaman sample yang akan terjadi adalah sebagai berikut: Y = 138,0 – 4,38 X Y = 138,0 – 4,38 (25) Y = 138,0 – 109,5 Y = 28,5 gram Model 11.4:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,5421 + 0,5758 Log (X1) ± 0,14 ; (R2 = 0,35) b. Log Y = 0,3021 + 0,2213 Log (X1) + 0,5090 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,49) 62
Model 11.5 :
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,1527 + 0,7244 Log (X1) ± 0,08 ; (R2 = 0,53) b. Log Y = 0,0333 + 0,3608 Log (X1) + 0,5237 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,61)
Keterangan Model 11.4, dan 11.5 : Y
=
Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang.
X1 =
Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu.
X2 =
Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
Contoh Model 11.4 yang diterapkan pada model 11.4.b: Ramalan KLTS penggerek polong pada tanaman kedelai Musim Kemarau 2003.
Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002
seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,3021 + 0,2213 Log (X1) + 0,5090 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,3021 + 0,2213 Log (10) + 0,5090 Log (100) Log Y = 0,3021 + 0,2213 (1) + 0,5090 (2) Log Y = 0,3021 + 0,2213 + 1,018 = 1,5414 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,5414 = 34,8 ha, Minimum = 10 (1,5414-0,09) = 10 1,454 = 28,4ha, dan Maksimum = 10 (1,5414+0,09) = 10 1,6314 = 42,8 ha. Contoh Model 11.5 yang diterapkan pada model 11.5.b: Ramalan KLTS penggerek polong pada tanaman kedelai Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,0333 + 0,3608 Log (X1) + 0,5237 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,0333 + 0,3608 Log (10) + 0,5237 Log (100) Log Y = 0,0333 + 0,3608 (1) + 0,5237 (2) Log Y = 0,0333 + 0,3608 + 1,0474 = 1,4415 63
Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,4415 = 27,6 ha, Minimum = 10 (1,4415-0,09) = 10 1,3515 = 22,5 ha, dan Maksimum = 10 (1,44151+0,09) = 10 1,5315 = 34,0 ha.
a.3. Ulat Grayak Kedelai (Spodoptera litura) Model 12.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,6898 + 0,5455 Log (X1) ± 0,13 ; (R2 = 0,31) b. Log Y = 0,2988 + 0,5174 Log (X1) + 0,2609 Log (X2) ± 0,11; (R2 = 0,49)
Model 12.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,3571 + 0,5918 Log (X1) ± 0,11; (R2 = 0,34) b. Log Y = 0,2022 + 0,2533 Log (X1) +0,4745 Log (X2) ± 0,12; (R2 = 0,41)
Keterangan Model 12. dan 12.2 : Y
=
Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang.
X1 =
Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu.
X2 =
Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
Contoh Model 12.1 yang diterapkan pada model 12.1.b: Ramalan KLTS ulat grayak pada tanaman kedelai Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,2988 + 0,5174 Log (X1) + 0,2609 Log (X2) ± 0,11 Log Y = 0,2988 + 0,5174 Log (10) + 0,2609 Log (100) Log Y = 0,2988 + 0,5174 (1) + 0,2609 (2) Log Y = 0,2988 + 0,5174 + 0,5218 = 1,338 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,338 = 21,8 ha, Minimum = 10 (1,338-0,11) = 10 1,228 = 16,9 ha, dan 64
Maksimum = 10 (1,338+0,11) = 10 1,448 = 28,0 ha. Contoh Model 12.2 yang diterapkan pada model 12.2.b: Ramalan KLTS ulat grayak pada tanaman kedelai Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,2022 + 0,2533 Log (X1) +0,4745 Log (X2) ± 0,12 Log Y = 0,2022 + 0,2533 Log (10) +0,4745 Log (100) Log Y = 0,2022 + 0,2533 (1) +0,4745 (2) Log Y = 0,2022 + 0,2533 + 0,949 = 1,4045 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,4045 = 25,4 ha, Minimum = 10 (1,4045-0,12) = 10 1,2845 = 19,2 ha, dan Maksimum = 10 (1,40451+0,12) = 10 1,5245 = 33,5 ha.
a.4. Penggulung Daun Kedelai Model 13.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,6028 + 0,6648 Log (X1) ± 0,10; (R2 = 0,39) b. Log Y = 0,2089 + 0,1957 Log (X1) +0,6491 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,62)
Model 13.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,2555 + 0,6345 Log (X1) ± 0,08; (R2 = 0,45) b. Log Y = 0,2249 + 0,6489 Log (X1) +0,1772 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,60)
Keterangan Model 13.1 dan 13.2 : Y =
Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang.
X1 =
Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu.
X2 =
Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
65
Contoh Model 13.1 yang diterapkan pada model 13.1.b: Ramalan KLTS penggulung daun pada tanaman kedelai Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,2089 + 0,1957 Log (X1) +0,6491 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,2089 + 0,1957 Log (10) +0,6491 Log (100) Log Y = 0,2089 + 0,1957 (1) +0,6491 (2) Log Y = 0,2089 + 0,1957 + 1,2982 = 1,7028 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,7028 = 50,4 ha, Minimum = 10 (1,7028-0,08) = 10 1,6228 = 42,0 ha, dan Maksimum = 10 (1,7028+0,08) = 10 1,7828 = 60,6 ha. Contoh Model 13.2 yang diterapkan pada model 13.2.b: Ramalan KLTS penggulung daun pada tanaman kedelai Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,2249 + 0,6489 Log (X1) +0,1772 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,2249 + 0,6489 Log (10) +0,1772 Log (100) Log Y = 0,2249 + 0,6489 (1) +0,1772 (2) Log Y = 0,2249 + 0,6489 + 0,3544 = 1,2282 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,2282 = 16,9 ha, Minimum = 10 (1,2282-0,09) = 10 1,1382 = 13,7 ha dan Maksimum = 10 (1,22821+0,09) = 10 1,3182 = 20,8 ha.
a.5. Ulat Jengkal Kedelai Model 14.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,3429 + 0,5122 Log (X1) ± 0,10; (R2 = 0,32) b. Log Y = 0,130 + 0,2850 Log (X1) + 0,4683 Log (X2) ± 0,05; (R2 = 0,48)
66
Model 14.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,3110 + 0,6005 Log (X1) ± 0,10 ; (R2 = 0,31) b. Log Y = 0,1704 + 0,2826 Log (X1) + 0,5482 Log (X2) ± 0,18; (R2 = 0,51)
Keterangan Model 14.1 dan 14.2 : Y
= Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang.
X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 14.1 yang diterapkan pada model 14.1.b: Ramalan KLTS ulat jengkal pada tanaman kedelai Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,130 + 0,2850 Log (X1) + 0,4683 Log (X2) ± 0,05 Log Y = 0,130 + 0,2850 Log (10) + 0,4683 Log (100) Log Y = 0,130 + 0,2850 (1) + 0,4683 (2) Log Y = 0,130 + 0,2850 + 0,9366 = 1,3516 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,3516 = 22,5 ha, Minimum = 10 (1,3516-0,05) = 10 1,3016 = 20,0 ha, dan Maksimum = 10 (1,3516+0,05) = 10 1,4016 = 25,2 ha. Contoh Model 14.2 yang diterapkan pada model 14.2.b: Ramalan KLTS ulat jengkal pada tanaman kedelai Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,1704 + 0,2826 Log (X1) + 0,5482 Log (X2) ± 0,18 Log Y = 0,1704 + 0,2826 Log (10) + 0,5482 Log (100) Log Y = 0,1704 + 0,2826 (1) + 0,5482 (2) Log Y = 0,1704 + 0,2826 + 0,7088 = 1,1618 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,1618 = 14,5 ha, 67
Minimum = 10 (1,1618-0,18) = 10 0,9818 = 9,6 ha dan Maksimum = 10 (1,16181+0,18) = 10 1,3418 = 22,0 ha. a.6. Lalat Kacang Kedelai Model 15.1: Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,4449 + 0,6596 Log (X1) ± 0,09 ; (R2 = 0,44) b. Log Y = 0,2021 + 0,2579 Log (X1) + 0,5388 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,58) Model 15.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,1238 + 0,6973 Log (X1) ± 0,08; (R2 = 0,51) b. Log Y = 0,0448 + 0,6694 Log (X1) +0,1098 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,59)
Keterangan Model 1, 2 : Y
=
Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang.
X1
=
Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu.
X2
=
Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
Contoh Model 15.1 yang diterapkan pada model 15.1.b: Ramalan KLTS lalat kacang pada tanaman kedelai Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,2021 + 0,2579 Log (X1) + 0,5388 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,2021 + 0,2579 Log (10) + 0,5388 Log (100) Log Y = 0,2021 + 0,2579 (1) + 0,5388 (2) Log Y = 0,2021 + 0,2579 + 1,0776 = 1,5376 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,5376 = 34,5 ha, Minimum = 10 (1,5376-0,08) = 10 1,4576 = 28,7 ha, dan Maksimum = 10 (1,5376+0,08) = 10 1,6176 = 41,5 ha.
68
Contoh Model 15.2 yang diterapkan pada model 15.2.b: Ramalan KLTS lalat kacang pada tanaman kedelai Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,0448 + 0,6694 Log (X1) +0,1098 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,0448 + 0,6694 Log (10) +0,1098 Log (100) Log Y = 0,0448 + 0,6694 (1) +0,1098 (2) Log Y = 0,0448 + 0,6694 + 0,2196 = 0,9338 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 0,9338 = 8,6 ha, Minimum = 10 (0,9338-0,09) = 10 0,8438 = 7,0 ha dan Maksimum = 10 (0,9338+0,09) = 10 1,0238 = 10,6 ha.
a.7. Tikus Kedelai Model 16.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,3749 + 0,6038 Log (X1) ± 0,10;(R2 = 0,33) b. Log Y = 0,1740 + 0,2604 Log (X1) + 0,5031 Log (X2) ± 0,15; (R2 = 0,50)
Model 16.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,1164 + 0,5731 Log (X1) ± 0,04; (R2 = 0,37) b. Log Y = 0,0565 + 0,2858 Log (X1) +0,3940 Log (X2) ± 0,15; (R2 = 0,60)
Keterangan Model 16.1 dan 16.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
69
Contoh Model 16.1 yang diterapkan pada model 16.1.b: Ramalan KLTS tikus pada tanaman kedelai Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,1740 + 0,2604 Log (X1) +0,5031 Log (X2) ± 0,15 Log Y = 0,1740 + 0,2604 Log (10) +0,5031 Log (100) Log Y = 0,1740 + 0,2604 (1) +0,5031 (2) Log Y = 0,1740 + 0,2604 + 1,0062 = 1,4406 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,4406 = 27,6 ha, Minimum = 10 (1,4406-0,15) = 10 1,2906 = 19,5 ha, dan Maksimum = 10 (1,4406+0,15) = 10 1,5906 = 39,0 ha. Contoh Model 16.2 yang diterapkan pada model 16.2.b: Ramalan KLTS tikus pada tanaman kedelai Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,1640 + 0,2504 Log (X1) +0,4031 Log (X2) ± 0,15 Log Y = 0,1640 + 0,2504 Log (10) + 0,4031 Log (100) Log Y = 0,1640 + 0,2504 (1) + 0,4031 (2) Log Y = 0,1640 + 0,2504 + 0,8062 = 1,2206 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,2206 = 16,6 ha, Minimum = 10 (1,2206-0,15) = 10 1,0706 = 11,8 ha, dan Maksimum = 10 (1,2206+0,15) = 10 1,3706 = 23,5 ha. b.
OPT Jagung b.1. Penggerek Batang Jagung Model 17.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,458 + 0,467 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,27)
70
b. Log Y = 0,263 + 0,202 Log (X1) + 0,511 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,45) Model 17.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,450 + 0,646 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,33) b. Log Y = 0,177 + 0,354 Log (X1) +0,514 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,53)
Keterangan Model 17.1 dan 17.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 17.1 yang diterapkan pada model 17.1.b: Ramalan KLTS penggerek batang pada tanaman jagung Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,263 + 0,202 Log (X1) + 0,511 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,263 + 0,202 Log (10) + 0,511 Log (100) Log Y = 0,263 + 0,202 (1) + 0,511 (2) Log Y = 0,263 + 0,202 + 1,022 = 1,487 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,487 = 30,7 ha, Minimum = 10 (1,487-0,08) = 10 1,407 = 25,5 ha, dan Maksimum = 10 (1,487+0,08) = 10 1,567 = 36,9 ha. Contoh Model 17.2 yang diterapkan pada model 17.2.b: Ramalan KLTS penggerek batang pada tanaman jagung Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,177 + 0,354 Log (X1) +0,514 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,177 + 0,354 Log (10) +0,514 Log (100)
71
Log Y = 0,177 + 0,354 (1) +0,514 (2) Log Y = 0,177 + 0,354 + 1,028 = 1,559 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,559 = 36,2 ha, Minimum = 10 (1,559-0,08) = 10 1,479 = 30,1 ha, dan Maksimum = 10 (1,559+0,08) = 10 1,639 = 43,6 ha.
b.2. Ulat Grayak Jagung Model 18.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,339 + 0,206 Log (X1) ± 0,08; (R2 = 0,08) b. Log Y = 0,28 + 0,143 Log (X1) + 0,194 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,11)
Model 18.2 :
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,451 + 0,577 Log (X1) ± 0,14; (R2 = 0,19) b. Log Y = 0,351 + 0,407 Log (X1) + 0,294 Log (X2) ± 0,11; (R2 = 0,24)
Keterangan Model 18.1 dan 18.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 18.1 yang diterapkan pada model 18.1.b: Ramalan KLTS ulat grayak pada tanaman jagung Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,28 + 0,143 Log (X1) + 0,194 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,28 + 0,143 Log (10) + 0,194 Log (100) Log Y = 0,28 + 0,143 (1) + 0,194 (2) Log Y = 0,28 + 0,143 + 0,388 = 0,811 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 0,811 = 6,5 ha,
72
Minimum = 10 (0,811-0,08) = 10 0,011 = 1,0 ha, dan Maksimum = 10 (0,811+0,08) = 10 0,171 = 1,5 ha. Contoh Model 18.2 yang diterapkan pada model 18.2.b: Ramalan KLTS ulat grayak pada tanaman jagung Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,351 + 0,407 Log (X1) + 0,294 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,351 + 0,407 Log (10) + 0,294 Log (100) Log Y = 0,351 + 0,407 (1) + 0,294 (2) Log Y = 0,351 + 0,407 + 0,588 = 1,346 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,346 = 22,2 ha, Minimum = 10 (1,346-0,11) = 10 1,236 = 17,2 ha, dan Maksimum = 10 (1,346+0,11) = 10 1,456 = 28,6 ha.
b.3. Lalat Bibit Jagung Model 19. 1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,181 + 0,523 Log (X1) ± 0,08; (R2 = 0,35) b. Log Y = 0,0895 + 0,281 Log (X1) + 0,489 Log (X2) ± 0,07 ; (R2 = 0,52)
Model 19.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,381 + 0,628 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,31) b. Log Y = 0,351 + 0,407 Log (X1) +0,294 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,38)
Keterangan Model 19.1 dan 19.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
73
Contoh Model 19.1 yang diterapkan pada model 19.1.b: Ramalan KLTS lalat bibit pada tanaman jagung Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,0895 + 0,281 Log (X1) + 0,489 Log (X2) ± 0,07 Log Y = 0,0895 + 0,281 Log (10) + 0,489 Log (100) Log Y = 0,0895 + 0,281 (1) + 0,489 (2) Log Y = 0,0895 + 0,281 + 0,978 = 1,3485 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,3485 = 22,3 ha, Minimum = 10 (0,3485-0,07) = 10 1,2785 = 19,0 ha, dan Maksimum = 10 (0,3485+0,07) = 10 1,4185 = 26,2 ha. Contoh Model 19.2 yang diterapkan pada model 19.2.b: Ramalan KLTS lalat bibit pada tanaman jagung Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,351 + 0,407 Log (X1) +0,294 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,351 + 0,407 Log (10) +0,294 Log (100) Log Y = 0,351 + 0,407 (1) +0,294 (2) Log Y = 0,351 + 0,407 + 1,176 = 1,934 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,934 = 85,9 ha, Minimum = 10 (1,934-0,09) = 10 1,844 = 69,8 ha, dan Maksimum = 10 (1,934+0,09) = 10 2,024 = 105,7 ha.
b.4. Tikus Jagung Model 20.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,414 + 0,467 Log (X1) ± 0,11; (R2 = 0,20) b. Log Y = 0,215 + 0,153 Log (X1) +0,611 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,48)
74
Model 20.2: Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,457 + 0,50 Log (X1) ± 0,10; (R2 = 0,24) b. Log Y = 0,261 + 0,377 Log (X1) + 0,366 Log (X2) ± 0,10; (R2 = 0,35) Keterangan Model 1, 2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu. Contoh Model 20.1 yang diterapkan pada model 20.1.b: Ramalan KLTS tikus pada tanaman jagung Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,215 + 0,153 Log (X1) +0,611 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,215 + 0,153 Log (X1) +0,611 Log (100) Log Y = 0,215 + 0,153 (1) +0,611 (2) Log Y = 0,215 + 0,153 + 1,956 = 2,324 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 2,324 = 210,9 ha, Minimum = 10 (2,324-0,09) = 10 2,234 = 171,4 ha, dan Maksimum = 10 (2,324+0,09) = 10 2,414 = 259,4 ha. Contoh Model 20.2 yang diterapkan pada model 20.2.b: Ramalan KLTS tikus pada tanaman jagung Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,261 + 0,377 Log (X1) + 0,366 Log (X2) ± 0,10 Log Y = 0,261 + 0,377 Log (10) + 0,366 Log (100) Log Y = 0,261 + 0,377 (1) + 0,366 (2) Log Y = 0,261 + 0,377 + 0,732 = 1,37
75
Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,37 = 23,4 ha, Minimum = 10 (1,37-0,09) = 10 1,27 = 18,6 ha, dan Maksimum = 10 (1,37+0,09) = 10 1,47 = 29,5 ha.
b.5. Penyakit Bulai Jagung Model 21.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,385 + 0,365 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,19) b. Log Y = 0,172 + 0,174 Log (X1) + 0,539 Log (X2) ± 0,08; (R2 = 0,42)
Model 21.2:
Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,640 + 0,546 Log (X1) ± 0,11; (R2 = 0,19) b. Log Y = 0,452 + 0,313 Log (X1) +0,358 Log (X2) ± 0,11; (R2 = 0,26)
Keterangan Model 21.1 dan 21.2 : Y
=
Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang.
X1 =
Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu.
X2 =
Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
Contoh Model 21.1 yang diterapkan pada model 21.1.b: Ramalan KLTS penyakit bulai pada tanaman jagung Musim Kemarau 2003. Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,172 + 0,174 Log (X1) + 0,539 Log (X2) ± 0,08 Log Y = 0,172 + 0,174 Log (10) + 0,539 Log (100) Log Y = 0,172 + 0,174 (1) + 0,539 (2) Log Y = 0,172 + 0,174 + 1,078 = 1,424 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,424 = 26,5 ha, Minimum = 10 (1,424-0,08) = 10 1,344 = 22,1 ha, dan Maksimum = 10 (1,424+0,08) = 10 1,504 = 31,9 ha. 76
Contoh Model 21.2 yang diterapkan pada model 21.2.b: Ramalan KLTS penyakit bulai pada tanaman jagung Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,452 + 0,313 Log (X1) +0,358 Log (X2) ± 0,11 Log Y = 0,452 + 0,313 Log (10) +0,358 Log (100) Log Y = 0,452 + 0,313 (1) +0,358 (2) Log Y = 0,452 + 0,313 + 0,716 = 1,481 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,481 = 30,3 ha, Minimum = 10 (1,481-0,11) = 10 1,371 = 23,5 ha, dan Maksimum = 10 (1,481+0,11) = 10 1,591 = 39,0 ha. b.6. Penggerek Tongkol Jagung Model 22.1:
Peramalan luas serangan pada musim kemarau a. Log Y = 0,255 + 0,474 Log (X1) ± 0,09; (R2 = 0,29) b. Log Y = 0,194 + 0,309 Log (X1) + 0,441 Log (X2) ± 0,07; (R2 = 0,52)
Model 22.2: Peramalan luas serangan pada musim hujan a. Log Y = 0,576 + 0,634 Log (X1) ± 0,10; (R2 = 0,30) b. Log Y = 0,329 + 0,247 Log (X1) + 0,518 Log (X2) ± 0,09; (R2 = 0,46) Keterangan Model 22.1 dan 22.2 : Y = Ramalan luas serangan yang akan terjadi pada musim yang akan datang. X1 = Luas serangan yang terjadi pada 1 musim yang lalu. X2 = Luas serangan yang terjadi pada 2 musim yang lalu.
77
Contoh Model 22.1 yang diterapkan pada model 22.1.b: Ramalan KLTS penggerek tongkol pada tanaman jagung Musim Kemarau 2003.
Dilaporkan KLTS MH 2002/2003 seluas 10 ha dan KLTS MK 2002
seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,194 + 0,309 Log (X1) + 0,441 Log (X2) ± 0,07 Log Y = 0,194 + 0,309 Log (10) + 0,441 Log (100) Log Y = 0,194 + 0,309 (1) + 0,441 (2) Log Y = 0,194 + 0,309 + 0,882 = 1,385 Jadi Ramalan KLTS MK 2003 = 10 1,385 = 24,3 ha, Minimum = 10 (1,385-0,07) = 10 1,315 = 20,6 ha, dan Maksimum = 10 (1,385+0,07) = 10 1,455 = 28,5 ha. Contoh Model 22.2 yang diterapkan pada model 22.2.b: Ramalan KLTS penggerek tongkol pada tanaman jagung Musim Hujan 2002/2003. Dilaporkan KLTS MK 2002 seluas 10 ha dan KLTS MH 2001/2002 seluas 100 ha. Maka dapat diramalkan: Log Y = 0,329 + 0,247 Log (X1) + 0,518 Log (X2) ± 0,09 Log Y = 0,329 + 0,247 Log (10) + 0,518 Log (100) Log Y = 0,329 + 0,247 (1) + 0,518 (2) Log Y = 0,329 + 0,247 + 1,036 = 1,612 Jadi Ramalan KLTS MH 2002/2003 = 10 1,612 = 40,9 ha, Minimum = 10 (1,612-0,09) = 10 1,522 = 33,3 ha, dan Maksimum = 10 (1,612+0,09) = 10 1,702= 50,4 ha.
78
3.
KOMODITI HORTIKULTURA
a.
OPT Buah-buahan a.1. Lalat buah (Bactrocera dorsalis) pada tanaman buah-buahan
(Mangga, Belimbing, Jambu Air dan Jambu Biji) Pengamatan populasi lalat buah dilakukan dengan menghitung populasi betina yang tertangkap oleh perangkap antraktan Methil Eugenol (ME). Model 23.1:
Peramalan puncak populasi lalat buah Log Xt+1 = 0,90 + 0,49 Log Xt + 0,35 log Xt-2 ; (R2 = 0,67)
Keterangan: Xt+1 = Puncak populasi lalat buah (Nopember – Desember). Xt
= Populasi lalat buah 1 bulan sebelum puncak populasi (Oktober).
Xt-2 = Populasi lalat buah 3 bulan sebelum puncak populasi (Agustus). Contoh model 23.1: Pengamatan populasi lalat buah betina dengan menggunakan ME yang dipasang pada tanaman buah-buahan dari sejak bulan Agustus sampai Oktober menunjukan hasil, pada bulan Agustus tertangkap 200 ekor, September 150 ekor dan Oktober 350 ekor. Berdasarkan data tersebut dapat diramal rata-rata puncak populasi yang biasanya terjadi pada bulan Nopember sampai Desember (sebagai berikut: Log Xt+1; Nopember = 0,90 + 0,49 Log (Xt; Oktober) + 0,35 Log (Xt-2; Agustus) Log Xt+1; Nopember = 0,90 + 0,49 Log (350) + 0,35 Log (200) Log Xt+1; Nopember = 0,90 + 0,49 (2,544) + 0,35 (2,301) Log Xt+1; Nopember = 0,90 + 1,24659 + 0,80536 = 2,95195 Xt+1; Nopember = 10 2,95195 = 895,3 ekor b.
OPT Sayuran b.1. Lalat buah (Bactrocera spp ) pada Cabe Merah. Model 24.1:
Peramalan intensitas serangan lalat buah pada Cabe Merah. Y t + 5 = 3,6828 + 0,4560 Xt ; (R2 = 0,87)
79
Keterangan: Yt + 5 = Intensitas serangan pada saat 5 minggu yang akan datang Xt
= Populasi lalat buah yang ditemukan pada saat ini dengan kisaran populasi 0< Xt<200 ekor.
Contoh model 24.1: Pengamatan dengan menggunakan perangkap antraktan ME pada minggu pertama bulan Januari diperoleh hasil rata-rata populasi betina yang tertangkap sebanyak 50 ekor. Maka berdasarkan model C.2.1 dapat diramalkan intensitas serangan lalat buah pada Cabe Merah 5 minggu yang akan datang (minggu pertama bulan Pebruari) adalah sebagai berikut: Y t + 5 = 3,6828 + 0,4560 Xt Y t + 5;Pebruari-1 = 3,6828 + 0,4560 Xt ;Januari-1 Y t + 5;Pebruari-1 = 3,6828 + 0,4560 (50) Y t + 5;Pebruari-1 = 26,5%
b.2. Kutu Daun Persik (Myzus persicae Sulz) Pada Cabe Merah. Model 25.1:
Peramalan intensitas serangan kutu daun persik pada Cabe Merah Log (Yt+2) = 0,0665 + 0,5269 Log (Xt) ; (R2 = 0,86)
Keterangan: Y( t + 2 ) = Intensitas serangan pada saat 2 minggu yang akan datang Xt
= Populasi kutu daun persik yang ditemukan pada saat ini.
Contoh model 25.1: Pengamatan populasi kutu daun persik pada minggu pertama bulan Januari diperoleh hasil rata-rata populasi sebanyak 50 ekor per pohon.
Maka
berdasarkan model C.3.1 dapat diramalkan intensitas serangan pada Cabe Merah 2 minggu yang akan datang (minggu ketiga bulan Januari) adalah sebagai berikut: Log (Yt+2) = 0,0665 + 0,5269 Log (Xt) Log (Yt+2;Januari-3) = 0,0665 + 0,5269 Log (Xt;Janurai-1) 80
Log (Yt+2;Januari-3) = 0,0665 + 0,5269 Log (50) Log (Yt+2;Januari-3) = 0,0665 + 0,5269 (1,69897) Log (Yt+2;Januari-3) = 0,0665 + 0,8952 = 0,962 Yt+2;Januari-3 = 10 0,962 = 9,2% b.3. Ulat Daun Kubis (Plutella sp) Pada Kubis Model 26.1:
Peramalan luas serangan musiman. YMK = 2,15 YMH – 0,75 ; (R2 = 0,60)
Keterangan: YMK = Kumulatif luas tambah serangan musim kemarau (MK) YMH = Kumulatif luas tambah serangan musim hujan (MH) Contoh model 26.1: Berdasarkan laporan diketahui kumulatif luas tambah serangan (KLTS) ulat daun kubis di kecamatan A pada MH 2002/2003 adalah 100 ha. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada MK 2003 adalah sebagai berikut: YMK = 2,15 YMH – 0,75 YMK = 2,15 (100) – 0,75 YMK = 215 – 0,75 = 215,75 ha. Model 26.2:
Peramalan luas serangan bulanan (1) a. Yt+1 = 1,12 Yt + 1,79 ; (R2 = 0,64) b. Yt+2 = 0,90 Yt + 3,78 ; (R2 = 0,59)
Keterangan: Yt +1 = Kumulatif luas tambah serangan pada 1 bulan yang akan datang. Yt +2 = Kumulatif luas tambah serangan pada 2 bulan yang akan datang. Yt
= Kumulatif luas tambah serangan pada bulan saat itu.
Contoh model 26.2: Berdasarkan laporan diketahui kumulatif luas tambah serangan (KLTS) ulat daun kubis di kecamatan A pada bulan Juni adalah 100 ha. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada bulan depan (Juli) dan 2 (dua) bulan yang akan datang (Agustus) adalah sebagai berikut:
81
Ramalan KLTS bulan depan (Juli); Yt+1; Juli = 1,12 (Yt; Juni) + 1,79 Yt+1; Juli = 1,12 (100) + 1,79 Yt+1; Juli = 112 + 1,79 = 113,79 ha. Ramalan KLTS 2 (dua) bulan yang akan datang (Agustus); Yt+2; Agustus = 0,90 (Yt; Juni) + 3,78 Yt+2; Agustus = 0,90 (100) + 3,78 Yt+2; Agustus = 90 + 3,78 = 93,78 ha. Model 26.3:
Peramalan luas serangan bulanan dengan metode rerata bergerak orde-3 Ft +1 = (Xt + X t -1 + X t -2 ) / 3 ; MAPE (28.3 %),
Keterangan: Ft +1 = Ramalan pada satu bulan ke depan Xt
= Luas serangan pada bulan yang bersangkutan (t terakhir)
t
= Waktu (bulan)
Contoh model 26.3: Meramalkan serangan Plutella xylostella L. di Kabupaten Bandung pada bulan Juli 2001 ( Ft +1 ) berdasarkan: • data luas serangan bulan Juni = Xt = 20 ha • data luas serangan bulan Mei = Xt-1 = 46 ha, dan • data luas serangan bulan April = Xt-2 = 22 ha. Maka ; Ft+1 = (Xt + X t-1 + X t-2 ) / 3 = (20 + 46 + 22 )/3 = 88 / 3 = 29,33 ha Model 26.4:
Peramalan
luas
serangan
bulanan
dengan
metode
pemulusan eksponensial tunggal dengan tingkat respon adaptif,
ARRSES
Model
peramalan
serangan
Plutella
xylostella L. di Kabupaten Garut
82
et
= Xt - Ft
Et
= βet + (1 - β) Et-1
Mt = β | et | + (1 - β) Mt-1 αt+1 = Et / Mt Ft+1 = αt+1 Xt + (1 - αt ) Ft MAPE (56,8 %) Keterangan : Xt
= Luas serangan pada bulan yang bersangkutan (t terakhir)
Ft+1
= Ramalan pada satu bulan ke depan
et
= Kesalahan ramalan.
||
= Nilai absolut
Et
= Kesalahan pemulusan
Mt
= Kesalahan absolut pemulusan
β
= konstanta pemulusan = 0,7
αt+1
= Konstanta ramalan
t
= Waktu (bulan)
Contoh model 26.4: Meramalkan serangan Plutella xylostella L di Kabupaten Garut pada bulan Juni 2001 ( Ft+1 ) berdasarkan data : •
Data luas serangan pada bulan Mei ( Xt )= 31 ha.
•
Ramalan serangan pada bulan Mei ( Ft )= 7,45 ha.
•
Kesalahan pemulusan pada bulan April (Et-1) = (-13,536)
•
Kesalahan absolut pemulusan pada bulan April (Mt-1 )= 14,25 ha
•
Nilai konstanta ramalan untuk bulan Juni (αt ) = 0,950
Maka ; 1. et
= Xt - Ft = 31 – 7,45 = 23,55
2. Et
= βet + (1 - β)Et-1 = 0,7(23,55) + (1-0.7) (-13,54) =16,485 + (0,3) (-13,54) =16,485 + (-4,062) = 12,422
83
3. Mt
= β | et | + (1 - β)Mt-1 = 0,7 (23,55) + (1-0,7) 14,25 =16,485 + (0,3) 14,25 =16,485 + 4,275 = 20,76
4. αt+1 = Et / Mt = 12,422 / 20,76 = 0,598 5. Ft+1 = αtXt + (1 - αt )Ft = 0,950 (31) + (1-0,95) 7,45 =29.45 + (0.05) 7,45 =29,45+0.373 =29,82 ha
4.
KOMODITI KOMPLEKS a.
Peramalan Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis) di Lampung.
Model 27.1:
Peramalan kualitatif penentuan pusat sumber serangan.
Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan SIG dengan melibatkan peta dijital penggunaan tanah, sistem tanah, ketinggian tanah, curah hujan, dan tingkat kerawanan serangan belalang kembara di Lampung menghasilkan bahwa pusat sumber serangan belalang kembara di Lampung terdapat
di
daerah
perbatasan
kabupaten
Lampung
Utara
dengan
Tulangbawang sebelah utara yang berbatasan langsung dengan propinsi Sumatera Selatan.
84
Gambar 8. Pusat sumber serangan (tanda panah), daerah penyebaran primer dan skunder serangan belalang kembara di Propinsi Lampung. Model 27.2:
Peramalan
kualitatif,
peluang
terjadinya
serangan
berdasarkan pola anomali curah hujan. Apabila rata-rata curah hujan bulanan di propinsi Lampung berada di bawah curah hujan normal (rata-rata 30 tahun) yang terjadi pada bulan kering (curah hujan <100 mm) maka ada peluang terjadinya serangan belalang. Semakin panjang kondisi seperti diatas maka peluang terjadinya serangan semakin tinggi. Model 27.3:
Peramalan luas serangan belalang bulanan (lag 1 bulan) untuk tingkat kecamatan.. X t+1 = 1,722126 (Xt) 0,811875 ; (R2 = 0,82)
Keterangan : X t+1 = Luas serangan yang akan terjadi 1 bulan yang akan datang. Xt
= Luas serangan bulan ini.
Contoh model 27.3: Diketahui pada bulan Agustus 2002 kumulatif luas tambah serangan (KLTS) belalang kembara di Lampung 200 ha. Maka dapat diramalkan KLTS bulan September 2002 sebagai berikut:
85
X t+1; September = 1,722126 (Xt; Agustus) 0,811875 X t+1; September = 1,722126 (200) 0,811875 X t+1; September = 1,722126 (73,815697) X t+1; September = 127,1 ha. Model 27.4:
Peramalan luas serangan belalang berdasarkan curah hujan (lag 1-3 bulan) untuk tingkat propinsi. 1,016672 (1,037488)X Y t+1 = ----------------------------------; (R2 = 0,76) 1,0000496 2X
Keterangan : Y t+1 = Luas serangan yang akan terjadi 1 bulan yang akan datang. X
= Rata-rata curah hujan dari 3 bulan pada bulan t sampai t-2.
Contoh model 27.4: Diketahui curah hujan pada bulan Juli, Agustus dan September 2002 berturutturut 50 mm, 10 mm dan 60 mm. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada satu bulan yang akan datang (Oktober 2002) sebagai berikut: 1,016672 (1,037488) X Y t+1 = --------------------------------1,0000496 2X Rata-rata curah hujan 3 (tiga) bulan terakhir (Juli, Agustus dan September) adalah (50+10+60)/3 = 40 mm, maka dapat disubtitusikan kedalam rumus sebagai berikut: 1,016672 (1,037488) 40 Y t+1 = --------------------------------1,0000496 2(40) 1,016672 (4,3584) Y t+1 = --------------------------------1,0000496 80 4,431 Y t+1 = --------------------- = 4,4 ha. 1,00398
86
Model 27.5:
Peramalan luas serangan belalang berdasarkan curah hujan (lag 7-9 bulan) untuk tingkat propinsi. 791,281478 Y t+7 = ------------------------; (R2 = 0,72) 1,016738 X
Keterangan: Yt+7 = Luas serangan yang akan terjadi 7 bulan yang akan datang. X
= Rata-rata curah hujan dari 3 bulan pada bulan t sampai t-2.
Contoh model 27.5: Diketahui curah hujan pada bulan Juli, Agustus dan September 2002 berturutturut 50 mm, 10 mm dan 60 mm. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada 7 (tujuh) bulan yang akan datang (April 2003) sebagai berikut: 791,281478 Y t+7 = -----------------------1,016738 X Rata-rata curah hujan 3 (tiga) bulan terakhir (Juli, Agustus dan September) adalah (50+10+60)/3 = 40 mm, maka dapat disubtitusikan kedalam rumus sebagai berikut: 791,281478 Y t+7 = -----------------------1,016738 40 791,281478 Y t+7 = ------------------------ = 407,3 ha. 1,9425 Model 27.6:
Peramalan luas serangan belalang berdasarkan luas serangan (lag 1 bulan) dan curah hujan (lag 1-3 bulan) untuk tingkat propinsi. 1,730055 (Yt) 0,81307 Y t+1 = --------------------------- (1,00000227) 2X ; (R2 = 0,76) 1,000503 X
Keterangan : Y t+1 = Luas serangan yang akan terjadi 1 bulan yang akan datang. Yt
= Luas serangan pada bulan ini.
X
= Rata-rata curah hujan dari 3 bulan pada bulan t sampai t-2. 87
Contoh model 27.6: Diketahui curah hujan pada bulan Juli, Agustus dan September 2002 berturutturut 50 mm, 10 mm dan 60 mm. Pada bulan September 2002 juga diketahui kumulatif luas tambah serangan (KLTS) belalang kembara di Lampung 100 ha. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada satu bulan yang akan datang (Oktober 2002) sebagai berikut: 1,730055 (Yt) 0,81307 Y t+1 = ------------------------------- (1,00000227) 2X 1,000503 X Rata-rata curah hujan 3 (tiga) bulan terakhir (Juli, Agustus dan September) adalah (50+10+60)/3 = 40 mm dan KLTS September seluas 100 ha, maka dapat disubtitusikan kedalam rumus sebagai berikut: 1,730055 (100) 0,81307 Y t+1 = ------------------------------- (1,00000227) 2(40) 1,000503 40 1,730055 (42,28) Y t+1 = ------------------------------- 1,000182 1,02032 73,1467254 Y t+1 = ------------------------------- 1,000182 1,02032 Y t+1 = 71,7 ha. Model 27.7:
Peramalan
luas
serangan
belalang
berdasarkan
luas
serangan (lag 1 bulan) dan jumlah koloni untuk tingkat propinsi. Log (Yt+1+1) = 0,002342 + 0,219787 Log (Yt+1) + 0,715199 Log (Xt+1) (R2 = 0,72) Keterangan: Yt+1 = Kumulatif luas tambah serangan bulan depan. Yt
= Kumulatif luas tambah serangan bulan ini.
Xt
= Jumlah koloni belalang kembara bulan ini.
88
Contoh model 27.7: Pada bulan September 2002 diketahui kumulatif luas tambah serangan (KLTS) belalang kembara di Lampung 100 ha dan jumlah koloni sebanyak 20. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada satu bulan yang akan datang (Oktober 2002) sebagai berikut: Log Yt+1 = 0,002342 + 0,219787 Log (Yt+1) + 0,715199 Log (Xt+1) Log Yt+1 = 0,002342 + 0,219787 Log (100+1) + 0,715199 Log (20+1) Log Yt+1 = 0,002342 + 0,219787 (2,004) + 0,715199 (1,3222) Log Yt+1 = 0,002342 + 0,440453148 + 0,945588 = 1,388383148 Yt+1 = 10 1,388383148 = 24,5 ha Model 27.8:
Peramalan
luas
serangan
belalang
berdasarkan
luas
serangan (lag 1 bulan), jumlah koloni dan curah hujan (lag 1-3 bulan) untuk tingkat propinsi. Log Yt+1 = 4,976 + 0,212111 Log Yt + 0,509336 Log Xt – 2,05375 Log Zt; (R2 = 0,87) Keterangan: Yt+1 = Kumulatif luas tambah serangan bulan depan. Yt
= Kumulatif luas tambah serangan bulan ini.
Xt
= Jumlah koloni belalang kembara bulan ini.
Zt
= Rata-rata curah hujan bulan ini sampai 2 bulan sebelumnya (lag 1-3 bulan)
Contoh model 27.8: Diketahui curah hujan pada bulan Juli, Agustus dan September 2002 berturutturut 50 mm, 10 mm dan 60 mm.
Pada bulan September 2002 diketahui
kumulatif luas tambah serangan (KLTS) belalang kembara di Lampung 100 ha dan jumlah koloni sebanyak 20. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada satu bulan yang akan datang (Oktober 2002) sebagai berikut: Log Yt+1 = 4,976 + 0,212111 Log Yt + 0,509336 Log Xt – 2,05375 Log Zt Rata-rata curah hujan 3 (tiga) bulan terakhir (Juli, Agustus dan September) adalah (50+10+60)/3 = 40 mm, KLTS September seluas 100 ha dan jumlah koloni 20, maka dapat disubtitusikan kedalam rumus sebagai berikut: 89
Log Yt+1 = 4,976 + 0,212111 Log(100) + 0,509336 Log(20) – 2,05375 Log(40) Log Yt+1 = 4,976 + 0,212111 (2) + 0,509336 (1,301) – 2,05375 (1,602) Log Yt+1 = 4,976 + 0.424222 + 0,662646136 – 3,2901075 = 2,772760636 Yt+1 = 10 2,772760636 = 592,6 ha. b.
Peramalan Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis) di Pulau Sumba, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Model 28.1:
Peramalan kualitatif penentuan pusat sumber serangan.
Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan SIG dengan melibatkan peta dijital penggunaan tanah, sistem tanah, ketinggian tanah, curah hujan,
dan tingkat kerawanan serangan belalang kembara di Pulau
Sumba, Propinsi NTT menghasilkan bahwa pusat sumber serangan belalang kembara adalah terdapat di 3 (tiga) tempat, yaitu: • Pinggir pantai utara sekitar muara Sungai L. Kadaha dan L. Kapunduk, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, • pinggir pantai selatan sekitar muara Sungai L. Sendi dan L. Praikajelu, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Barat, dan • sedikit berada di sekitar Sungai L. Rita, L. Watupanggada dan L. Limatake, Kecamatan Wawea Barat, Kabupaten Sumba Barat. Model 28.2:
Peramalan
kualitatif,
peluang
terjadinya
serangan
berdasarkan pola anomali curah hujan. Apabila rata-rata curah hujan bulanan di kabupaten Sumba Timur, propinsi NTT berada di atas curah hujan normal (rata-rata 30 tahun) maka ada peluang terjadi peningkatan serangan belalang kembara.
Peningkatan
serangan tersebut juga dipicu oleh kejadian curah hujan dibawah normal yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya, khususnya pada musim kemarau. Model 28.3:
Peramalan luas serangan belalang bulanan (lag 1 bulan). Log Yt = 0,127225 + 0,870733 Log(Yt-1); (R2 = 0,75)
Keterangan : Yt
= Luas serangan yang akan terjadi 1 bulan yang akan datang.
Yt-1
= Luas serangan bulan ini.
90
Gambar 9. Pusat sumber serangan (tanda panah), daerah penyebaran primer dan skunder serangan belalang kembaran di Pulau Sumba, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Contoh model 28.3: Diketahui pada bulan Agustus 2002 kumulatif luas tambah serangan (KLTS) belalang kembara di Kabupaten Sumba Timur adalah 200 ha. Maka dapat diramalkan KLTS bulan September 2002 sebagai berikut: Log Yt = 0,127225 + 0,870733 Log(Yt-1) Log Yt = 0,127225 + 0,870733 Log(200) Log Yt = 0,127225 + 0,870733 (2,301) Log Yt = 0,127225 + 2,003583 = 2,1308 Yt = 10 2,1308 = 135,1 ha. Model 28.4:
Peramalan luas serangan belalang berdasarkan curah hujan.
Yt +1 = 197,071 + 2,044 X t – 2,759 X t-5 + 1,870 X t-7; (R2 = 0,83) Keterangan : Y t+1 = Luas serangan yang akan terjadi 1 bulan yang akan datang. X
= Rata-rata Curah hujan (mm) bulanan.
91
Contoh model 28.4: Apabila kita ingin meramalkan luas serangan belalang kembara di Kabupaten Sumba Timur yang akan terjadi pada bulan Maret 2004 maka diperlukan data hujan pada bulan Pebruari 2004, Oktober 2003 dan Agustus 2003. Contoh diketahui curah hujan pada bulan-bulan tersebut berturut-turut 150 mm, 100 mm dan 10 mm. Maka dapat diduga luas serangan yang akan terjadi pada satu bulan yang akan datang (Maret 2004) sebagai berikut: Yt +1 = 197,071 + 2,044 X t – 2,759 X t-5 + 1,870 X t-7 Yt +1 = 197,071 + 306,6 – 275,9 + 18,7 = 246,5 ha
IV. PENUTUP Model peramalan yang telah dikembangkan tentunya masih belum sempurna karena masih banyak komponen sebagai faktor kunci yang belum diketahui. Oleh karena itu agar model peramalan mempunyai akurasi yang tinggi maka masih diperlukan evaluasi lapang serta penyesuai dengan spesifik lokasi.
92