I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan salah satu sektor usaha
yang paling banyak diminati oleh para pelaku usaha dan cukup prospektif untuk dikembangkan. UMKM dalam perekonomian nasional memiliki peran yang penting dan strategis serta terbukti sebagai sektor usaha yang mampu bertahan terhadap krisis ekonomi global yang sedang melanda kalangan usaha di tingkat internasional maupun kalangan usaha di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah UMKM yang mengalami peningkatan sebesar 2,01 persen, yaitu dari 52.764.603unit pada tahun 2009 menjadi 53.823.732 unit pada tahun 2010. Perkembangan jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Jumlah Pelaku Usaha menurut Skala Usaha Tahun 20092010 Jumlah (Unit) No.
Skala Usaha
1
Usaha Mikro
2
Usaha Kecil (UK)
3
Usaha Menengah (UM)
4
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Usaha Besar (UB)
5
Jumlah
Perkembangan
Tahun 2009*)
Tahun 2010**)
(Unit)
52.176.795
53.207.500
1.030.705
1,98
546.675
573.601
26.926
4,93
41.133
42.631
1.498
3,64
52.764.603
53.823.732
1.059.129
2,01
4.677
4.838
161
3,43
52.769.280
53.828.569
1.059.289
2,01
(%)
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
Usaha Mikro merupakan skala usaha yang jumlahnya paling besar dibandingkan dengan skala usaha lainnya terhadap total usaha yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 98,88 persen pada tahun 2009 dan 98,85 persen pada tahun 2010. Sektor UMKM, terutama Usaha Mikro merupakan salah satu sektor yang berperan penting terhadap perekonomian nasional Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari kontribusi sektor Usaha Mikro yang cukup signifikan terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) di Indonesia. Pada tahun 2009,
1
kontribusi Usaha Mikro terhadap PDB nasional menurut harga konstan 2000 tercatat sebesar Rp 682.259,8 milyar atau 32,66 persen, sedangkan pada tahun 2010 kontribusi Usaha Mikro terhadap PDB nasional menurut harga konstan 2000 tercatat sebesar Rp 719.070,2 milyar atau 32,42 persen. Perkembangan nilai produk domestik bruto UMKM menurut skala usaha tahun 2009-2010 atas dasar harga konstan 2000 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) UMKM menurut Skala Usaha Tahun 2009-2010 Atas Dasar Harga Konstan 2000 Jumlah (Rp Milyar) No.
Skala Usaha
Tahun 2009*)
Tahun 2010**)
Perkembangan Jumlah
(%)
1
Usaha Mikro
682.259,8
719.070,2
36.810,4
5,40
2
Usaha Kecil (UK)
224.311,0
239.111,4
14.800,4
6,60
3
Usaha Menengah (UM)
306.028,5
324.390,2
18.361,7
6,00
1.212.599,3
1.282.571,8
69.972,5
5,77
4
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Usaha Besar (UB)
876.459,2
935.375,2
58.916,0
6,72
2.089.058,5
2.217.947,0
128.888,5
6,17
Jumlah
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
Pada tahun 2008 hingga 2009, sektor ekonomi Usaha Mikro yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia adalah (1) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang tercatat mengalami perkembangan sebesar 4,38 persen dan diikuti oleh (2) sektor perdagangan yang mengalami peningkatan sebesar 1,74 persen. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan tercatat memiliki proposi sebesar 37,8 persen dari PDB Indonesia pada tahun 2008 dan 37,9 persen pada tahun 2009, sedangkan pada sektor perdagangan memiliki proporsi sebesar 29,9 persen pada tahun 2008 dan 29,2persen pada tahun 2009. Selain memberikan kontribusi besar terhadap PDB nasional, UMKM juga merupakan usaha yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan karena sifatnya yang padat karya, berbeda dengan usaha besar yang bersifat padat modal. Pada tahun 2009, total tenaga kerja Indonesia yang terserap sebesar 96.211.332orang, sedangkan pada tahun 2010, total tenaga kerja yang terserap sebesar
2
99.401.775orang. UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 97,30 persen dari total tenaga kerja yang ada pada tahun 2009 dan 97,22 persen dari total penyerapan tenaga kerja yang ada pada tahun 2010. Perkembangan jumlah tenaga kerja menurut skala usaha tahun 2009-20010 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja menurut Skala Usaha Tahun 2009-2010 Jumlah (Orang) No.
Skala Usaha
1
Usaha Mikro
2 3
Tahun 2010**)
Jumlah
(%)
90.012.694
93.014.759
3.002.065
3,34
Usaha Kecil (UK)
3.521.073
3.627.164
106.091
3,01
Usaha Menengah (UM)
2.677.565
2.759.852
82.287
3,07
96.211.332
99.401.775
3.190.443
3,32
2.674.671
2.839.711
165.040
6,17
98.886.003
102.241.486
3.355.483
3,39
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) 4
Tahun 2009*)
Perkembangan
Usaha Besar (UB)
Jumlah
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
Ternyata, Usaha Mikro juga memiliki kontribusi terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 91,03 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2009, begitu juga pada tahun 2010 sebesar 90,98 persen dari total tenaga kerja yang terserap berasal dari Usaha Mikro. Hal ini menunjukkan bahwa Usaha Mikro telah berperan besar dalam menciptakan lapangan pekerjaan sehingga dapat mengatasi masalah pengangguran. Proporsi terbesar sektor ekonomi Usaha Mikro yang mampu mengatasi masalah pengangguran adalah (1) sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, yaitu sebesar 47,5 persen menyerap tenaga kerja pada tahun 2008 dan 46,7 persen pada tahun 2009, kemudian diikuti oleh (2) sektor perdagangan yang menyerap tenaga kerja sebesar 22,11 persen pada tahun 2008 dan 22,8 persen pada tahun 2009. Perkembangan jumlah penyerapan tenaga kerja Usaha Mikro menurut sektor ekonomi tahun 2008-2009 dapat dilihat pada Tabel 4.
3
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Usaha Mikro menurut Sektor Ekonomi Tahun 2008-2009 Jumlah (Orang) No.
Lapangan Usaha
2
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
5
Bangunan
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Swasta
1
7 8 9
Jumlah
Tahun
Tahun
2008*)
2009**)
Perkembangan Jumlah
(%)
41.720.781
42.041.978
321.197
0,77
913.150
985.077
71.928
7,88
8.471.573
8.833.784
362.211
4,28
82.463
74.576
(7.887)
(9,56)
3.515.263
3.449.378
(65.885)
(1,87)
19.417.114
20.518.886
1.101.772
5,67
5.745.591
5.670.008
(75.583)
(1,32)
1.098.718
1.131.821
33.103
3,01
6.845.714
7.307.185
461.472
6,74
87.810.366
90.012.694
2.202.328
2,51
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
Sektor perdagangan, pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan bagian dari agribisnis. Selain itu, sektor perdagangan dan industri juga merupakan bagian dari agribisnis. Ketiga sektor tersebut merupakan sektor yang menyumbang PDB terbesar di Indonesia, hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu tabel perkembangan nilai produk domestik bruto Usaha Mikro menurut sektor ekonomi tahun 2008-2009 atas dasar harga konstan 2000.Namun, UMKM masih memiliki banyak permasalahan, diantaranya adalah rendahnya produktivitas, terbatasnya akses UMKM kepada sumberdaya produktif (permodalan, teknologi, informasi, dan pasar), masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi, serta kurang kondusifnya iklim usaha (Rafinaldy 2006). Agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi kegiatan. Kegiatan berhubungan yang dimaksud adalah kegiatan usaha yang menunjang
4
kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian (Davis and Golberg 1957; Downey and Erickson 1987; Saragih 1998, diacu dalam Antara 2004). Apabila mata rantai kegiatan agribisnis dipandang dalam suatu konsep sistem, maka mata rantai tersebut dapat dipilah-pilah menjadi empat subsistem yaitu subsistem produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem lembaga penunjang. Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis (Antara 2004). Tabel 5. Perkembangan Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Usaha Mikro menurut Sektor Ekonomi Tahun 2008-2009 Atas Dasar Harga Konstan 2000 No.
Lapangan Usaha
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan
2
Jumlah (Rp. Milyar)
Perkembangan
Tahun 2008*)
Jumlah
Tahun 2009**)
(%)
247.922,6
258.787,5
10.864,9
4,38
Pertambangan dan Penggalian
16.888,9
18.099,9
1.211,0
7,17
3
Industri Pengolahan
61.302,7
64.822,4
3.519,7
5,74
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
33,9
34,4
0,5
1,50
5
Bangunan
13.628,8
14.696,1
1.067,4
7,83
196.077,7
199.497,3
3.419,6
1,74
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
7
Pengangkutan dan Komunikasi
32.199,7
34.414,7
2.215,0
6,88
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
20.963,7
21.807,2
843,5
4,02
66.685,9
70.302,8
3.616,9
5,42
Produk Domestik Bruto
655.703,8
682.462,4
26.758,6
4,08
Produk Domestik Bruto Tanpa Migas
655.700,8
682.459,4
26.758,6
4,08
9
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Sangat Sementara
Seluruh kegiatan usaha agribisnis pasti membutuhkan modal untuk membiayai usahanya, baik untuk modal investasi maupun modal kerja. Namun, pelaku usaha ini masih kesulitan dalam memperoleh fasilitas kredit perbankan.
5
Menurut Ratnawati diacu dalam Ashari (2009) pada tahun 2002-2006 pangsa kredit perbankan untuk sektor pertanian rata-rata hanya 5,72 persen, padahal perbankan memiliki potensi yang cukup besar dalam pembiayaan pertanian. Perbankan kurang antusias dalam menyalurkan kredit untuk pertanian karena sifat komoditas pertanian yang musiman sehingga pendapatan yang diperoleh petani tergantung dari hasil panen musiman, sedangkan pembayaran kredit dilakukan secara bulanan. Risiko pada bidang pertanian juga relatif tinggi, cuaca yang tidak menentu dan hama tanamanan sering mengakibatkan tanaman rusak sehingga petani mengalami gagal panen. Selain itu, tidak adanya jaminan sebagai syarat pengajuan kredit serta kurangnya pemahaman petani terhadap administrasi perbankan menyebabkan petani kesulitan dalam mengakses kredit perbankan. Pemerintah sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan petani, telah meluncurkan beberapa kredit program atau bantuan modal bagi petani dan pelaku usaha pertanian melalui beberapa skim pembiayaan pertanian seperti KUT, KKP-E dan KUR. Perkembangan skim-skim kredit yang dijalankan oleh pemerintah ada kecenderungan mengarah kepada kegiatan kredit yang memiliki link dengan perbankan dan sifatnya eksekuting. Beberapa contoh skim kredit yang mengarah kepada model tersebut di antaranya KKP-E dan KUR yang diinisiasi dari model SP3 (Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian) Deptan (Departemen Pertanian 2009)1. Kredit Usaha Rakyat merupakan skim kredit pertanian baru yang diluncurkan oleh pemerintah pada tanggal 5 November 2007. Program kredit ini bertujuan untuk membantu aksesibilitas kredit bagi para petani yang dikembangkan melalui kerjasama dengan beberapa bank komersil yang ditunjuk oleh pemerintah dengan plafon kredit sampai dengan 500 juta rupiah serta suku bunga maksimal sebesar 14 persen untuk KUR Ritel dan 22 persen untuk KUR Mikro. KUR diberikan kepada usaha mikro, kecil dan menengah yang merupakan usaha produktif dan layak (feasible), namun belum bankable. Agunan pokok KUR adalah proyek yang dibiayai, sedangkan agunan tambahan sebagian di-cover oleh program penjaminan (PT. Askrindo dan Perum Jamkrindo)sebesar 80 persenuntuk 1
Departemen Pertanian. 2007. Kredit Usaha Rakyat (KUR). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=563&Itemid=1 55 [10 Oktober 2010]
6
sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan dan industri, dan untuk KUR Tenaga Kerja Indonesia serta 70 persen untuk sektor lainnya2. Hal ini dikarenakan UMKM pada umumnya jarang memiliki agunan tambahan. Tabel 6. Realisasi Penyaluran Kredit Usaha Rakyat per 31 Mei 2011 Realisasi Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BNI
4.223.634
2.403.964
36.324
Rata-Rata Kredit (RpJuta/Dbtr) 116,3
BRI KUR Ritel BRI KUR Mikro Mandiri
7.827.460
3.984.990
55.683
140,6
21.924.334
8.422.456
4.351.296
5,0
4.606.626
2.884.894
84.605
54,4
BTN
1.185.918
639.471
6.716
176,6
Bukopin
1.010.675
452.494
7.058
143,2
BSM
1.123.764
737.331
9.781
114,9
Bank Nagari
194.286
170.092
5.280
36,8
Bank DKI
107.761
87.663
993
108,5
1.169.766
936.433
12.189
96,0
482.201
390.067
8.131
59,3
32.951
28.980
345
95,5
Bank Jatim
1.456.653
1.282.640
12.945
112,5
Bank NTB
36.814
30.291
467
78,8
Bank Kalbar
93.893
66.284
861
109,1
Bank Kalteng
50.866
42.218
1.148
44,3
Bank Kalsel
72.381
62.998
1.100
65,8
Bank Sulut
38.829
33.606
1.520
25,5
Bank Maluku
23.983
19.381
830
28,9
Bank Papua
58.016
46.621
821
70,7
Bank Jabar Bank Jateng BPD DIY
Plafon (Rp Juta)
Outstanding (Rp Juta)
Debitur
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011)
Data yang diperoleh dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hingga bulan Mei 2011 BRI merupakan bank penyalur KUR dengan jumlah debitur terbesar, yaitu 4.406.979 debitur. Jumlah debitur BRI 2
Kementerian Keuangan. 2010. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189. http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2010/189~PMK.05~2010Per.HTM. [22 Desember 2011]
7
didominasi oleh nasabah KUR Mikro yang jumlahnya mencapai 4.351.296 dan merupakan jumlah terbesar dibandingkan dengan bank-bank penyalur KUR lainnya. Besarnya penyaluran KUR yang dilakukan oleh BRI tidak terlepas dari usaha BRI menjaring debitur hingga pelosok kecamatan serta pengetahuan pengelola terhadap sektor pertanian yang cukup baik.Realisasi penyaluran KUR dan jumlah debiturnya dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah realisasi KUR Mikro BRI pada Tabel 7 menurut sektor ekonomi menunjukkan bahwa proporsi sektor yang paling banyak menyerap KUR adalah (1) Sektor perdagangan, restoran dan hotelsebesar 78,59 persen, (2) Sektor pertanian sebesar 11,94 persen, (3) Sektor lain-lain sebesar 4,95 persen, (4) Sektor jasa-jasa dunia usaha sebesar 1,63 persen, dan (5) Sektor industri pengolahan sebesar 1,03 persen. Jumlah realisasi pada KUR mikro lebih besar dibandingkan pada KUR ritel karena usaha mikro merupakan skala usaha yang memiliki jumlah terbesar dalam UMKM. Tabel 7. Jumlah Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro BRI Menurut Sektor Ekonomi di Indonesia per 31 Mei 2011 No.
Sektor Ekonomi
1.
Pertanian
2.
Pertambangan
3.
Plafon Kredit Rp Juta
Jumlah Debitur
(%)
Debitur
(%)
2.618.926
11,94
529.269
12,16
1.448
0,01
311
0,01
Industri Pengolahan
266.231
1,03
56.660
1,3
4.
Listrik Gas dan Air
667
0,003
83
0,002
5.
Konstruksi
3.453
0,02
683
0,02
6.
17.230.617
78,59
3.443.111
79,13
31.122
0,14
5.467
0,13
8.
Perdagangan, Restoran dan Hotel Pengangkutan,Pergudangan, Komunikasi Jasa-jasa Dunia Usaha
356.997
1,63
61.536
1,41
9.
Jasa-jasa Sosial/ Masyarakat
328.885
1,51
64.132
1,47
10.
Lain-lain
1.085.988
4,95
190.044
4,37
21.924.334
100,000
4.351.296
100,000
7.
Total
Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2011)
8
1.2.
Perumusan Masalah Kredit Usaha Rakyat merupakan pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil,
Menengah, Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. KUR diperuntukkan bagi usaha produktif yang feasible namun belum bankable. Tujuan dari program KUR adalah untuk mempercepat pengembangan sektor-sektor primer dan pemberdayaan usaha skala kecil, untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap kredit dan lembaga-lembaga keuangan, mengurangi tingkat kemiskinan, dan memperluas kesempatan kerja (Departemen Pertanian 2009)3. Program penjaminan KUR sebesar 80 persen untuk sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan dan industri serta 70 persen untuk sektor lainnya yang dilakukan oleh pemerintah membuat masyarakat tidak berusaha untuk mengembalikan pinjaman karena menganggap bahwa pemerintah telah bertanggung jawab atas hutangnya tersebut, padahal banyak di antara mereka yang sebenarnya mampu mengembalikan hutang. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya kredit macet pada bank. Selain itu, kredit macet juga dapat terjadi karena ketidakmampuan nasabah dalam mengembalikan kredit. Ketidakmampuan nasabah membayar angsuran pokok pinjaman dan bunga yang dibebankan sesuai yang diperjanjikan dapat menyebabkan nilai tunggakan riil atau NPL (Non Performing Loan) pada suatu bank menjadi tinggi. Batas NPL KUR Mikro di BRI tidak boleh lebih dari 3 persen, jika lebih dari itu maka BRI tersebut kemungkinan besar tidak diperbolehkan untuk menyalurkan KUR Mikro. Di BRI Unit Lalabata Rilau, tingkat NPL KUR Mikro cukup rendah yaitu sebesar 0,03 persen per Mei 2011. Tingkat NPL tersebut lebih rendah dari bulan Desember 2010 yang besarnya 0,60 persen atau hampir mendekati 1 persen dan menurun pada bulan Januari 2011 menjadi 0,29 persen, kemudian tingkat NPL stabil hingga Mei 2011. Berbeda dengan NPL KUR Mikro di BRI Unit Cibungbulang sebesar 35,61 persen pada tahun 2009 (Lubis 2009) dan BRI Unit Pajalesang pada bulan Mei 2011 sebesar 5,95 persen. Permasalahan NPL berkaitan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembalian 2
Departemen Pertanian. 2007. Kredit Usaha Rakyat (KUR). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=563&Itemid=1 55 [10 Oktober 2010]
9
kredit. Faktor-faktor ini diturunkan dari prinsip 5C yang digunakan untuk menganalisis layak atau tidaknya nasabah menerima kredit, yaitu Character, Capacity, Collateral, dan Capital Condition of Economy. Nilai tunggakan riil atau NPL (Non Performing Loan) KUR Mikro BRI Unit Lalabata Rilau per Mei 2011 dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Tunggakan Riil atau NPL (Non Performing Loan) KUR Mikro BRI Unit Lalabata Rilau per Mei 2011 Tahun 2010 2011
Bulan Desember Januari Februari Maret April Mei
Kurang Lancar+Diragukan+Macet (Rp) 17.373.970 9.456.262 2.581.112 680.300 4.612.900 832.792
NPL (%) 0,60 0,29 0,07 0,02 0,10 0,03
Sumber : BRI Unit Lalabata Rilau (2011)
Pengembalian KUR Mikro di BRI Unit Lalabata Rilau terbilang baik dibandingkan beberapa BRI Unit lainnya. Hal ini dapat menjadi contoh bagi BRI Unit lainnya untuk memilih nasabah agar pengembaliannya lebih lancar. Oleh karena itu, hasil analisis faktor-faktor yang diturunkan melalui prinsip 5C tersebut diharapkan dapat menjadi saran atau gambaran kepada pihak BRI Unit Lalabata Rilau maupun BRI unit lainnya untuk memilih nasabah yang dapat mengembalikan kredit dengan lancar. Dengan kata lain, BRI dapat menghindari nasabah yang kemungkinan besar akan menunggak kredit. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian KUR Mikro di BRI Unit Lalabata Rilau. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian KUR Mikro di BRI Unit Lalabata Rilau.
10
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat, informasi serta
masukan bagi berbagai pihak yang berkepentingan yaitu : 1. Bagi BRI, diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan evaluasi dan strategi untuk menentukan kebijakan khususnya terkait dengan rencana penyaluran kredit sehingga dapat mencegah adanya kasus penunggakan pengembalian kredit (kredit bermasalah). 2. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi bahan pustaka dan referensi untuk melakukan penelitian terkait. 3. Bagi penulis, diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang telah diperoleh pada saat perkuliahan serta dapat mengaplikasikan teori-teori dan ilmu yang telah diperoleh sebagai bekal yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian
ini
difokuskan
kepada
analisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat pengembalian Kredit Usaha Rakyat (KUR) Mikro, khususnya oleh debitur yang bergerak dalam bidang agribisnis. Dalam hal ini, debitur di bidang agribisnis adalah debitur yang memiliki usaha pertanian on farm, perdagangan produk pertanian, dan industri pengolahan produk pertanian.
11