BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Proses pembangunan ekonomi di suatu negara secara alami telah menimbulkan kesempatan besar yang sama bagi setiap jenis kegiatan ekonomi pada semua skala usaha. Besarnya suatu usaha itu sendiri tergantung pada sejumlah faktor, dua diantaranya yang sangat penting adalah pasar dan teknologi. Apabila pasar yang dilayani kecil, yakni untuk jenis-jenis produk tertentu yang jumlah pembelinya memang terbatas atau sifatnya musiman, maka unit usaha yang sesuai adalah usaha kecil. Karena walaupun omsetnya kecil namun usaha tersebut tetap dapat menghasilkan margin keuntungan yang lumayan. Akan tetapi, perkembangan pasar maupun teknologi tersebut tidak tetap, melainkan berubah-ubah mengikuti waktu. Perubahan teknologi juga dengan sendirinya akan menyebabkan terjadinya perubahan pasar secara terus-menerus. Sementara banyak perusahaan-perusahaan besar mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan teknologi dan pasar, dalam kondisi seperti ini Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dapat lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri sehingga memiliki harapan lebih besar daripada usaha besar untuk dapat bertahan. (Panandiker :
16
1996)1. UMKM di Indonesia selain dapat menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan teknologi dan pasar, juga sangat penting terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. Argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa di satu pihak, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat melimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, dan di pihak lain, usaha besar tidak mampu menyerap semua masyarakat yang mencari pekerjaan. Ketidaksanggupan usaha besar dalam menciptakan lapangan kerja yang besar disebabkan karena memang pada umumnya kelompok usaha tersebut relatif lebih padat modal, sedangkan kelompok UMKM relatif lebih padat karya2. Berdasarkan UU N0. 9 Tahun 1995, UMKM didefinisikan sebagai usaha ekonomi yang memiliki omset maksimal 1 milyar per tahun dan memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah dan bangunan) maksimal adalah sebesar 200 juta. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan UMKM berdasarkan jumlah tenaga kerjanya, dimana yang dimaksud dengan usaha kecil adalah terdiri dari industri rumah tangga (cottage industry) yang memiliki tenaga kerja sebanyak 1-4 orang, dan industry kecil (small industry) yang memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 1-19 orang. Ciri utama UMKM adalah tidak adanya pemisahan antara pemilik modal dengan manajerialnya, mengandalkan tenaga kerja sendiri, dan mengandalkan modal sendiri
1 dalam Tambunan, Tulus T. H. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang : Kasus Indonesia. Kumpulan Bahan Kuliah Pembangunan Industri. Jurusan Administrasi Negara. FISIPOL. UGM. 2 Tambunan, Tulus T. H. op, cit.
17
(unbankable). Berikut ini merupakan tabel struktur modal UMKM3:
Tabel 1 Struktur Modal UMKM Uraian (dalam %)
Mikro
Kecil
Menengah
UMKM
Modal sendiri
73,8
73,2
57,8
71,3
Pinjaman dari bank
10,7
13,7
34,2
16,1
Pinjaman dari koperasi
0,2
1,6
-
1,2
Pinjaman dari LKBB
0,6
3,4
-
2,7
Pinjaman dari modal ventura
0,3
0,3
-
0,2
Pinjaman perorangan, keluarga /
12,6
3,7
1,5
4,3
1,8
4,1
6,5
4,2
100,0
100,0
100,0
family Pinjaman dari pihak lain Jumlah
100,0
Sumber : BPS dan Kementrian Koordinator bidang Kesejahteraan Masyarakat, 2004 Tabel tersebut menunjukkan bahwa modal yang berasal dari diri sendiri merupakan modal utama dari usaha mikro, kecil, dan menengah, yaitu sebesar 73,8% untuk usaha mikro, 73,2% untuk usaha kecil, dan 57,8% untuk usaha menengah. Data pada tabel tersebut juga menunjukkan bahwa secara berurutan, modal awal UMKM pada umumnya adalah berasal dari modal sendiri, baru kemudian diikuti dengan pinjaman bank, pinjaman kepada keluarga, dan kemudian pinjaman dari LKBB.
3 Kuncoro, Mudrajad. Masalah dan Strategi Lembaga Keuangan Daerah disampaikan dalam Seminar Nasional : Peningkatan Peran Lembaga Keuangan Daerah Sebagai Sumber Pembiayaan Sektor Usaha Informal. Yogyakarta, 3 September 2007.
18
Sementara itu, usaha mikro kecil dan menengah yang dikelola oleh masyarakat Indonesia saat ini telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Hampir 98% penduduk Indonesia bekerja di sektor riil berskala kecil. Selain itu, sektor usaha mikro kecil dan menengah ini juga merupakan salah satu alat pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di daerah-daerah di Indonesia. Berdasarkan data statistik tahun 2006 tercatat bahwa di Indonesia telah ada sekitar 48 juta usaha mikro dan kecil dengan jumlah pelaku usaha yaitu sebanyak 85 juta orang. Menurut data PT Permodalan Nasional Madani (Persero), pada saat ini sebaran usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi mencapai 99,85 persen dari total unit usaha di Indonesia. Persebaran UMKM tersebut lebih terkonsentrasi di sekitar Pulau Jawa dan Bali, dan mayoritas diantaranya berada di daerah pedesaan. Usaha mikro, kecil, dan menengah mendominasi dari sisi unit usaha yaitu sebesar 99,1% dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 84,4%, dengan perbandingan 2 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha mikro dan 3 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha kecil. Sebaliknya industri besar dan menengah, yang jumlah unit usahanya hanya 0,9%, mampu menyerap 15,5% tenaga kerja dengan perbandingan 19 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha menengah, dan 108 tenaga kerja per unit usaha untuk usaha besar. UMKM juga memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 38,8 persen4, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut :
4 www.kr.co.id, KUR Kredit untuk Si Miskin, Akses tanggal 18 Mei 2008.
19
Tabel 2 Kontribusi Usaha Kecil, Menengah, dan Besar terhadap PDB Tahun 2003-2006 (dalam %) Rata-rata tahun 2003-2006 No
Lapangan Usaha
Usaha Kecil
Usaha
Usaha Besar
Jumlah
Menengah 1
Pertanian
87.3
8.7
4.1
100
2
Pertambangan dan Penggalian
8.2
3.3
88.6
100
3
Industri Pengolahan
13.1
11.9
75.0
100
4
Listrik, Gas, dan Air
0.5
7.7
91.7
100
5
Bangunan
44.3
21.8
33.9
100
6
Perdagangan, Hotel, Restoran
75.5
20.8
3.8
100
7
Pengangkutan dan Komunikasi
29.9
24.2
45.9
100
8
Keuangan, Sewa, dan Jasa
17.0
46.9
36.1
100
9
Jasa-jasa
39.7
7.9
52.4
100
PDB
38.8
15.9
45.3
100
PDB tanpa migas
43.1
17.6
39.3
100
Sumber : Badan Pusat Statistik, dan Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, 2007. Tabel tersebut menunjukkan bahwa UMKM memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap PDB rata-rata pada tahun 2003-2006, yaitu sebesar 38,8% untuk usaha kecil, dan 15,9% untuk usaha menengah. Selain menunjukkan kontribusinya terhadap PDB, tabel tersebut juga menunjukkan bahwa mayoritas usaha kecil di Indonesia bergerak di bidang pertanian, bangunan, perdagangan-hotel-restoran, pengangkutan dan
20
komunikasi, serta keuangan-sewa-dan jasa. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase kontribusi untuk usaha kecil yang paling besar adalah terletak pada sektor pertanian yaitu sebesar 87,3%, sementara kontribusi terbesar dari usaha menengah adalah pada sektor keuangan, sewa, dan jasa yaitu sebesar 46,9%. Sementara itu, di Kota Yogyakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Propinsi DIY, pada tahun 2004, jumlah unit usaha mikro, kecil dan menengah di Provinsi DIY berjumlah 114.961 unit usaha. Jumlah unit UMKM di DIY tersebut, didominasi oleh Industri Kecil Menengah (IKM) yang pada tahun 2004 berjumlah 78.609 unit usaha, atau 68,37% dari total UKM DIY. Industri pangan mendominasi jumlah unit industri kecil menengah diikuti dengan industri kerajinan, industri kimia dan bahan bangunan. Sedangkan indusri yang paling sedikit diusahakan adalah industri logam dan industri sandang dan kulit. Diluar sektor IKM, jenis usaha yang banyak diminati masyarakat adalah usaha perdagangan dan jenis aneka usaha/aneka jasa5. Berdasarkan lokasinya, unit usaha UMKM terutama berada di Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kulon Progo. Kota Yogyakarta relatif memiliki jumlah unit usaha UKM yang lebih sedikit dibanding wilayah lainnya. Meskipun demikian, Kota Yogyakarta merupakan wilayah di DIY yang memiliki nilai investasi paling tinggi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa nilai investasi UMKM di Provinsi DIY terpusat di dua wilayah yaitu Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sedangkan untuk 5 www.psekp.com, Penelitian Dasar Potensi Ekonomi (Baseline Economic Survey) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Akses tanggal 5 Juni 2009.
21
ketiga wilayah lainnya (Bantul, Gunungkidul, dan Kulon Progo) masih lebih sedikit nilai investasinya meskipun jumlah UMKM-nya lebih banyak dibanding Kota Yogyakarta dan Sleman6. Dilihat dari jumlah unit UMKM yang sangat banyak di semua sektor ekonomi dan kontribusinya yang besar terhadap penciptaan kesempatan kerja dan sumber pendapatan, khususnya di daerah pedesaan dan bagi rumah tangga berpendapatan rendah, maka tidak dapat diingkari lagi betapa pentingnya keberadaan UMKM di Indonesia. Namun dibalik besarnya populasi dan potensinya, UMKM di Indonesia juga memiliki masalah yang cukup beragam. Demikian pula dengan UMKM yang berada di Kota Yogyakarta, meskipun memiliki nilai investasi yang tinggi namun kondisi UMKM di Kota Yogyakarta juga tidak berbeda jauh dengan kondisi UMKM secara umum di Indonesia. Masalah-masalah yang dihadapi UMKM baik di Yogyakarta maupun nasional antara lain adalah sebagai berikut 7 : 1. Masih banyaknya usaha mikro kecil yang kekurangan modal untuk menggerakkan usahanya. Kekurangan modal yang dihadapi oleh pengusaha UMKM disebabkan oleh keterbatasan fasilitas-fasilitas perkreditan khusus untuk usaha mikro kecil dan menengah disatupihak, dan keterbatasan UMKM terhadap fasilitas keuangan yang disediakan oleh lemabaga keuangan formal (bank) maupun 6 www.psekp.com, Penelitian Dasar Potensi Ekonomi (Baseline Economic Survey) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Akses tanggal 5 Juni 2009. 7 Tambunan, Tulus T. H. op. cit.
22
nonbank (BUMN, LSM, dan lainnya). Karena keterbatasan-keterbatasan tersebut, sebagian besar atau bahkan seluruh dana yang diperlukan untuk membiayai investasi (perluasan usaha atau peningkatan volume produksi) dan modal kerja UMKM barasal dari sumber informal. Sumber pembiayaan tersebut sangat bervariasi seperti dari tabungan pribadi, pinjaman atau bantuan keuangan dari keluarga atau kenalan, pinjaman dari pemasok bahan baku dalam bentuk pembayaran belakangan, uang dalam bentuk pembayaran di muka (sebagian atau seluruhnya) dari pemebeli, pinjaman dari pedagang, tuan tanah, informal money lenders, sampai dengan bagian keuntungan yang diinvestasikan. 2. Masih kurangnya bahan baku yang tersedia untuk diolah menjadi barang jadi oleh usaha mikro dan kecil. Masalah dalam pengadaan bahan baku bervariasi, mulai dari tempat penjualan yang jauh dari lokasi usaha (berakibat pada biaya transport yang tinggi dan terlalu banyak memakan waktu), harga mahal (terutama bahanbahan baku yang masih harus diimpor), persediaan yang seringkali terbatas pada saat dibutuhkan (khususnya komoditas-komoditas pertanisan yang sangat tergantung pada cuaca), dan kualitas bahan baku yang rendah 3. Tidak tersedianya pasar yang cukup untuk menjual produk dari usaha mikro dan kecil. Dalam hal pemasaran, kesulitan yang dihadapi adalah terutama
23
keterbatasan informasi mengenai perubahan dan peluang pasar yang ada, dana untuk membiayai pemasaran/promosi, pengetahuan mengenai bisnis, dan strategi pemasaran (khususnya pada tingkat regional dan internasional), dan komunikasi yang sangat rendah serta akses ke fasilitas-fasilitas untuk berkomunikasi sangat terbatas. Keterbatasan-keterbatsan tersebut membuat banyak UMKM khususnya di daerah pedesaan menjadi sangat tergantung pada pedagang keliling dan pemilik grosir di kota-kota, khususnya bagi yang ingin menjual ke pasar-pasar di luar daerah. Sebagian dari masalah pemasaran ada hubungannya dengan masalah persaingan. Industry kecil dan rumah tangga di Indonesia harus menghadapi persaingan yang sangat ketat baik dari industry besar di dalam negeri maupun barang-barang impor. Bentuk persaingan sangat bervariasi, tetapi yang sering banyak muncul adalah persaingan dalam harga dan kualitas. Selain itu, persaingan juga sudah mulai ketat dalam bentuk pelayanan setelah penjualan (service after sale), dan desain atau penampilan produk. Dengan keterbatasanketerbatasan yang ada, mulai dari keterbatasan dana, teknologi, dan keahlian, hingga kesulitan mendapatkan bahan-bahan baku dengan kualitas yang baik, membuat pengusaha-pengusaha kecil dan rumah tangga kesulitan untuk meningkatkan kualitas produknya dan mengubah desainnya agar dapat bersaing di pasar domestik dan ekspor. 4. Belum tersedianya sumber daya manusia yang profesional untuk mengelola
24
usaha mikro dan kecil dengan baik. Dalam hal SDM, sangat jelas bahwa kemampuan dalam segala bidang mulai dari buruh, staf, hingga manajer/pengusaha sangat menentukan keberhasilan suatu usaha. Sayangnya, berbeda dengan negara-negara lain yang industri kecilnya sangat kuat (seperti Taiwan, Korea Selatan, Jepang, AS, dan negara-negara di Eropa Barat), tingkat pendidikan dari sebagian pengusaha kecil di Indonesia masih sangat rendah. Dalam satu hal, masih dominannya pekerja dengan pendidikan rendah yang digaji murah berarti industri kecil dan industri rumah tangga di Indonesia masih dapat mempertahankan salah satu faktor keunggulan komparatif tradisionalnya. Akan tetapi, dalam era perdagangan bebas nanti yang akan lebih menonjol adalah faktor-faktor keunggulan kompetitif, termasuk kualitas SDM, mulai dari pekerja/buruh di pabrik maupun manajer, akuntan, orang yang khusus menangani pemasaran, perancang/desainer dan ahli program yang mengatur jalannya mesin di pabrik. Sementara itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia Yogyakarta8, profil dan permasalahan yang dihadapi oleh UMKM di Yogyakarta diantaranya adalah sebagai berikut : a. Kondisi umum Mayoritas setiap usahanya menyerap tenaga kerja sekitar 5-19 orang dan bergerak di sector informal. Dalam masalah tenaga kerja, UMKM 8 dalam Moesa, Ameriza M. Upaya Pengembangan UMKM : Strategi Go-International dan Peran Perbankan di DIY. Disampaikan dalam Lokakarya “Pemanfaatan Skema Kerjasama UKM ASEAN Bagi Peningkatan Ekspor Indonesia”. 15 Maret 2007.
25
menghadapi masalah tidak terampilnya tenaga kerja, diikuti dengan mahalnya biaya tenaga kerja. b. Kemampuan manajerial Pengambilan keputusan masih terpusat pada pemilik usaha c. Kewirausahaan Jiwa entrepreneurship pengusaha masuk dalam kategori sedang atau rata-rata. d. Pertumbuhan dan potensi usaha 1. Aspek pemasaran dan bahan baku Pasar utama produk lebih didominasi pasar dalam negeri dibanding ekspor. Hal ini dintaranya disebabkan karena produsen produk ekspor menghadapi permasalahan terbatasnya ketersediaan bahan baku, harga bahan baku yang masih relative mahal, dan jarak dengan sumber bahan baku yang relatif jauh. 2. Aspek operasional Sebagian besar belum memiliki kelengkpan administrasi secara tertib untuk mendukung kelancaran proses usahanya, tidak/belum berbadan hukum, dan tidak/belum memiliki struktur organisasi. 3. Aspek keuangan Struktur modal yang digunakan mayoritas modal sendiri dibanding pinjaman dari bank/non bank e. Aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan Bagi UMKM, kendala utama dalam mengakses kredit, dengan tanpa
26
memperhatikan skala usaha, adalah faktor agunan, tingginya tingkat bunga kredit, lamanya proses kredit, dan keterbatasan petugas bank. Disamping itu, ada faktor lain-lain meliputi sikap dan persepsi pengusaha misalnya tidak ingin terlibat hutang, merasa modal sendiri sudah cukup, syarat kredit belum lengkap, perlu koneksi dengan bank untuk mendapatkan kredit serta kapsitas produksi yang belum optimal. Di sisi perbankan, hambatan dalam pembiayaan kredit untuk UMKM yang paling dominan adalah kendala agunan, legalitas usaha, administrasi usaha tidak lengkap, kemudin disusul oleh hambatan berupa kebijakan formal dari bank, sikap pengusaha, keterbatasan kuantitas maupun kemampuan SDM Bank, dan informasi yang kurang akurat. Senada dengan penjelasan tersebut, berdasarkan survey yang dilakukan oleh SMEDC-UGM (dalam Kuncoro)9, kendala yang dialami UMKM untuk mengakses kredit bank dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
9 Kuncoro, Mudrajad. op, cit.
27
Gambar 1
GRAFIK KENDALA KREDIT UMKM Keterbatasan petugas bank 11%
Lain-lain 17%
Prosedur kredit 8% Bunga tinggi 22% Agunan 25%
Proses kredit lama 17%
Sumber : SMEDC-UGM, 2002 Pada gambar tersebut terlihat bahwa kendala terbesar UMKM dalam mengakses kredit adalah faktor agunan dan tingginya tingkat bunga yang ditetapkan oleh pihak bank. Selain itu proses pencairan kredit yang lama, keterbatasan petugas bank, dan prosedur kredit yang tidak mudah juga menjadi kendala bagi UMKM untuk mengakses kredit bank. Namun di sisi lain, pihak bank juga memiliki kendala dalam menyalurkan kredit kepada UMKM seperti yang dapat dilihat pada gambar berikut :
28
Gambar 2
GRAFIK KENDALA BANK DALAM PEMBIAYAAN KREDIT Informasi yang UMKM akurat Sikap pengusaha 2% 11% Kebijakan formal 11%
Legalitas usaha 23%
SDM Bank 2%
Agunan 26%
Pembiayaan 2%
Administratif 23%
Sumber : SMEDC-UGM, 2002 Gambar tersebut menunjukkan bahwa kendala yang dialami perbankan dalam memberikan pembiyaan kredit kepada UMKM yang paling dominan adalah kendala agunan, legalitas usaha, administrasi usaha tidak lengkap, kemudian disusul oleh hambatan berupa kebijakan formal dari bank, sikap pengusaha, keterbatasan kuantitas maupun kemampuan SDM bank, serta informasi yang kurng akurat. Selain berbagai permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya, para pelaku UMKM juga menanggung masalah harus dapat bersaing untuk mendapatkan modal usaha dari perbankan karena terbatasnya akses, serta masalah kompetisi kualitas produk dengan industri-industri besar khususnya barang impor. Persaingan yang dihadapi oleh para pelaku UMKM juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang sifatnya eksternal, misalnya selera masyarakat yang lebih menyukai produk-produk impor atau barang baik.. Dalam hal permodalan, selama ini sektor UMKM sangat sulit untuk mengakses
29
dana bank (pembiayaan perbankan). Hanya sekitar 39,06% atau 19,1 juta dari total UMKM di Indonesia yang telah memperoleh kredit. Sehingga sisanya, sejumlah 29,7 juta sama sekali belum pernah tersentuh perbankan. Biasanya para pelaku UMKM tersebut kesulitan untuk memenuhi persyaratan yang ditawarkan oleh pihak bank, sehingga jika dikaji dari berbagai perspektif khususnya yang menyangkut eksistensi UMKM di Indonesia sangatlah besar jumlahnya namun akses kreditnya sangat kecil10. Persoalan permodalan tampaknya merupakan salah satu kendala klasik UMKM. Kelompok UMKM ini sulit mengakses dana ke bank, padahal aksesibilitas kredit dari bank sangat diperlukan UMKM untuk mengembangkan usahanya. Di sisi lain, perbankan juga masih mengalami kesulitan untuk dapat memberikan kredit kepada UMKM, karena pada umumnya walaupun UMKM telah feasible tetapi masih belum bankable. Oleh karena itu, dengan melihat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sektor UMKM, terutama dalam hal permodalan, pemerintah berusaha untuk melakukan pengembangan UMKM melalui penyediaan keuangan mikro. Pemerintah kemudian mengeluarkan program Kredit Usaha Rakyat yang secara resmi diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 5 November tahun 2007 lalu. Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara menggerakkan sektor usaha kecil dan menengah. KUR merupakan kredit bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi dengan pola penjaminan yaitu berupa kredit modal kerja dan atau investasi dengan plafon kredit 10 dalam Retnadi, Djoko. Economic Review. Kredit Usaha Rakyat (KUR) : Hambatan dan Tantangan. Juni 2008.
30
sampai dengan Rp 500 juta yang diberikan kepada usaha mikro kecil, menengah, dan koperasi yang memiliki usaha produktif yang selanjutnya akan dimintakan penjaminan dari Perusahaan Penjamin yang telah ditunjuk oleh pemerintah yaitu PT (Persero) Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan/atau Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU). Kredit dengan jaminan pemerintah ini akan difokuskan pada lima sektor usaha yakni : kelautan, pertanian, kehutanan, perindustrian dan perdagangan. Tujuan KUR adalah untuk memberikan kemudahan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk memperoleh fasilitas kredit dari Bank. KUR hanya diberikan kepada usaha mikro, kecil dan koperasi yang mempunyai usaha produktif yang layak, namun belum bankable. Usaha produktif yang layak maksudnya adalah bahwa usaha mikro kecil dan koperasi tersebut mempunyai kemampuan dan kemauan untuk membayar kembali kreditnya kepada bank melalui analisis arus kas (cash flow), karakter (character), kapasitas (capacity), modal (capital) dan kondisi ekonomi (condition). Selanjutnya usaha belum bankable merupakan usaha mikro, kecil dan koperasi yang belum memiliki perizinan yang lengkap yaitu KTP setempat, SIUP, TDP, NPWP maupun Akta Notaris, dan juga usaha mikro, kecil dan koperasi tersebut tidak mempunyai agunan tambahan seperti tanah, bangunan, kendaraan ataupun deposito. Namun wajib memberikan agunan pokok, yaitu bahwa berdasarkan usaha/proyek yang dibiayai tersebut telah diperoleh keyakinan atas kemampuan dan kemauan debitur/ jaminan untuk mengembalikan utangnya11.
11 www.kr.co.id, KUR Kredit untuk Si Miskin, Akses tanggal 18 Mei 2008.
31
Melalui skema penjaminan pada program KUR, kedua BUMN yang ditunjuk pemerintah yaitu PT. Askrindo dan Perum SPU menjamin kredit sebesar 70% dan sisanya yaitu sebesar 30% ditanggung oleh perbankan, sedangkan premi asuransi/imbalan jasa sebesar 1,5 persen akan ditanggung oleh pemerintah. Dengan adanya penjaminan kredit, maka pengusaha UMKM tidak perlu menyerahkan agunan tambahan, seperti sertifikat tanah atau properti. Suku bunga KUR sangat kecil yaitu sebesar 16% jika dibandingkan dengan suku bunga kredit yang dibebankan kepada pengusaha UMKM sebelum KUR dilincurkan, yaitu sebesar 24-30%. Sejak resmi diluncurkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2007, penyaluran KUR hingga 31 Maret 2008 menunjukkan peningkatan yang pesat. Realisasi penyaluran program KUR sampai akhir 2007 adalah sebesar Rp 485 miliar, pada akhir Januari 2008 mencapai Rp 851,5 miliar dan sebulan kemudian mencapai Rp1,782 triliun, serta data per 31 Maret realisasinya adalah sebesar Rp 3,276 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 187.860 pengusaha mikro dan kecil. Pencapaian ini menunjukkan potensi KUR sangat besar sehingga harus terus ditingkatkan penyalurannya demi tercapainya peningkatan jumlah plafond kredit yang tersalurkan dan jumlah nasabah yang menerima secara optimal. Keberadaan kredit usaha rakyat (KUR) ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan usaha masyarakat secara lebih produktif. Hal ini dimungkinkan karena KUR dapat menjangkau pengusaha mikro yang sulit dijangkau bank. Kemudahan memperoleh kredit ditambah tanpa prasyarat agunan membuat program KUR sangat prospektif bagi kalangan dunia usaha yang mengalami
32
kesulitan dalam mengembangkan usahanya akibat keterbatasan modal12. Sementara itu, penyaluran program KUR sendiri dilakukan melalui enam bank yang telah bekerja sama dengan pemerintah, yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Bukopin, Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Syariah Mandiri. Dari total KUR yang telah tersalurkan hingga akhir maret 2008, yaitu sebesar Rp 3,276 triliun, jumlah tersebut terbagi atas13 : Tabel 3 Realisasi Penyaluran KUR per 31 Maret 2008 Bank
Plafond Kredit
Jumlah Nasabah
BRI
Rp 1,598 triliun
173.454
Bank Mandiri
Rp 688 miliar
16.337
BNI
Rp 558 miliar
5.632
Bank Bukopin
Rp 251 miliar
709
Bank Syariah
Rp 45 miliar
1.090
Rp 36 miliar
224
Mandiri BTN
Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, 2008. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tiga bank peringkat teratas yang telah
12 www.menkokesra.go.id, Realisasi Program KUR Mencapai 3,276 Trliun, Akses tanggal 15 April 2008. 13 www.kr.co.id, KUR Kredit Untuk Si Miskin, Akses tanggal 18 Mei 2008.
33
menyalurkan KUR adalah BRI, Mandiri, dan BNI. BRI merupakan penyalur KUR terbanyak jika dibandingkan dengan bank-bank penyalur KUR lainnya dengan total realisasinya 1,6 triliun dan jumlah debitornya mencapai hingga 173.454 debitor14. Berdasarkan data tersebut, untuk memudahkan penelitian dan agar penelitian menjadi lebih fokus, maka dalam penelitian ini akan dipilih satu dari enam bank yang melaksanakan program KUR, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI). Hal ini dikarenakan BRI merupakan penyalur program KUR terbanyak jika dibandingkan dengan bank-bank penyalur program KUR lainnya. Selain itu, sejak pendirian BRI yang didasarkan pelayanan pada masyarakat kecil sampai sekarang tetap konsisten, yaitu dengan fokus pemberian fasilitas kredit kepada golongan pengusaha kecil seperti yang tercantum dalam salah satu misinya, yaitu melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai salah satu pemain terkemuka di dunia untuk bidang micro-finance, dengan usaha yang terus berkembang di bidang usaha mikro, ritel/kecil & menengah, Bank BRI merupakan bank ke 4 terbesar di Indonesia dengan lebih dari 4.600 jaringan distribusi, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 3.954 berbentuk unit baik di desa maupun daerah perkotaan. Berbagai jenis pinjaman kepada nasabah diberikan dalam kategori; mikro 30%, ritel/kecil 52%, menengah 3% dan korporasi 15%. Khusus untuk segmen mikro yang menjadi andalan, BRI menangani lebih kurang 30 juta rekening di
14 www.kompas.com, Menciptakan Sekaligus Melestarikan, Akses tanggal 18 Mei 2008.
34
desa dan perkotaan. Sedangkan seluruhnya kurang lebih 37 juta rekening. Selama lebih dari satu abad, BRI telah melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan memprioritaskan pelayanan kepada usaha mikro maupun menengah. Untuk itu bank ini memiliki jaringan mencapai tingkat kecamatan dan menjangkau masyarakat di pelosok pedesaan, sehingga mampu menunjang perekonomian masyarakat. Hal ini pula yang kemudian juga dijadikan sebagai alasan pemilihan BRI sebagai obyek penelitian, karena menunjukkan perhatian BRI yang cukup besar terhadap usaha mikro,kecil,dan menengah. Sementara itu, di Kota Yogyakarta sendiri penyaluran KUR melalui Bank Rakyat Indonesia juga mendapat sambutan positif dari masyarakat, ini terlihat dari banyaknya pengusaha mikro, kecil dan menengah yang terus datang ke kantor Cabang BRI pada awal pelaksanaan program KUR di Kota Yoyakarta untuk sekedar mendapatkan informasi tentang program tersebut. Selain itu, realisasi penyaluran KUR di Kota Yogyakarta juga terus mengalami peningkatan. Hingga akhir November 2008, tercatat jumlah total realisasi KUR dari dua kantor cabang BRI yang ada di Yogyakarta telah mencapai sekitar Rp12 milyar dengan debitur sejumlah 128 15. Namun demikian, meskipun jumlah nasabah dan total kredit yang disalurkan terus meningkat, tetapi masih ada keluhan-keluhan terkait dengan realisasi penyaluran KUR, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut ini : “Saya mengalami sendiri, kesulitan mendapatkan KUR di BRI. 15 Wawancara dengan Account Officer BRI Cabang Cik Di Tiro, tanggal 15 Desember 2008.
35
Saya meminjam Rp 90 juta dari BRI dengan bunga 16 persen, dengan agunan surat tanah atau rumah, namun tetap tidak bisa mendapatkan rekomendasi dari lembaga penjaminan. Begitu pula ketika mendapat soft loan atau pinjaman lunak dari salah satu BUMN, tetap juga harus dengan agunan. Jadi, selama ini, pernyataan pemerintah soal KUR dan agunan, sekadar lips service belaka. Kenyataannya, KUR tetap sulit diakses.”16
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih merasa kesulitan dalam mengakses KUR yang terlihat dari keluhan yang disampaikan mengenai adanya agunan yang masih dibebankan. Padahal dalam program ini sudah ada penjaminan kredit dari pemerintah, sehingga seharusnya UMKM yang akan memanfaatkan program tidak perlu lagi menyerahkan agunan tambahan. Kutipan tesebut menunjukkan fenomena pelaksanaan program KUR yang tidak sesuai dengan tujuan awalnya yaitu memberikan kemudahan akses kredit kepada UMKM. Hal ini dapat mengkibatkan banyak UMKM yang sebenarnya bankable akhirnya tidak dapat mengakses program tersebut karena persoalan agunan. Pernyataan senada juga dapat kita lihat dalam pernyataan berikut ini : “Kita sebagai warga yang punya usaha kecil-kecilan merasa disulitkan oleh prosedur KUR (kredit usaha rakyat) dalam hal diwajibkannya anggunan dari warga berupa, BPKB, AKTA tanah atau yang lainnya yang memiliki nilai harga, juga proses lamanya pengkelaran ajuan permohonanpun kadang ada yang satu bulan lebih dan ada juga yang prosesnya hanya memakan waktu satu hari saja.”17
Pernyataan tersebut juga menunjukkan fenomena pelaksanaan program KUR
16 www.kr.co.id, Soal Agunan Pemerintah Cuma ‘Lip Service’ ; Bunga Tinggi, UMKM Sulit Mengakses KUR. Akses tanggal 6 Januari 2009. 17 www.niasisland.com, Prosedur KUR Menyulitkan Masyarakat. Akses tanggal 13 Januari 2009.
36
yang tidak sesuai dengan tujuannya, dimana calon nasabah KUR merasa kesulitan untuk memenuhi persyaratan kredit dari pihak bank. Selain masalah agunan, dalam pernyataan tersebut juga terlihat bahwa proses penyelesaian pengajuan kredit memerlukan waktu yang berbeda-beda antara calon nasabah yang satu dengan yang lainnya, ada yang prosesnya hanya sebentar namun ada juga yang memakan waktu cukup lama hingga satu bulan. Bahkan tidak hanya masalah agunan dan proses pengajuan kredit yang lama, di beberapa daerah masyarakat yang memperoleh dana KUR dikabarkan mendapat potongan 20 persen dari orang-orang yang mengurus kelancaran pencairan dana 18. Tidak hanya itu, berdasarkan hasil pra survey yang telah dilakukan, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang program KUR. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan seorang pedagang kaki lima di kawasan malioboro berikut ini : “ nggak…nggak tau mba, belum pernah denger saya program itu”19
Kutipan wwancara tersebut menunjukkan fenomena sosialisasi program yang kurang baik kepada masyarakat, terbukti dengan masih adanya UMKM yang tidak mengetahui tentang program KUR. Hal senada yang menunjukkan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat juga diungkapkan oleh ibu Suratini sebagai berikut : “saya belum pernah denger mba, ga tau malahan. Tapi saya itu benernya ya takut e mba kalo pinjem-pinjem kredit gitu, belum pernah ngutang saya itu. Kayanya ko lebih aman nek pake modal sendiri, lebih tenang. Apalagi orang jualan itu kan ga tentu, 18 www.kedaulatanrakyat.com, Analisis : Agenda Populis UMKM. Akses tanggal 9 Februari 2009. 19 Wawancara dengan ibu Sarinem, tanggal 27 Maret 2009.
37
kadang rame kadang ya sepi. Ya bagus sih programnya, kan artinya perhatian sama kita. Tapi kok kayaknya sosialisasinya kurang ya mba, saya aja belum pernah denger.”20
Program KUR sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan UMKM untuk mendapatkan akses kredit di bank. Namun masih ada pernyataan yang merasa bahwa KUR masih sulit untuk diakses. Selain itu, masih banyak juga masyarakat yang kurang memahami tentang program KUR tersebut, sehingga tidak jarang terjadi salah pengertian dan tidak dapat membedakan antara paket KUR dengan program kredit lainnya21. Berbagai keluhan tentang program KUR seperti yang telah dikemukakan sebelumnya juga mengindikasikan adanya permasalahan yang dapat mengakibatkan program menjadi tidak efektif. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian tentang efektivitas program menjadi penting untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari program dapat tercapai. Karena hal tersebut merupakan ukuran yang tepat untuk melihat manfaat atau nilai dari program itu sendiri. Kurangnya informasi mengenai program KUR kepada masyarakat, serta prosedur pelayanannya yang rumit akan dapat membuat program menjadi tidak efektif. Minimnya komunikasi kepada masyarakat saat pelaksanaan suatu program justru akan menyulitkan masyarakat dalam mengakses suatu pelayanan, oleh karenanya dapat bertolak belakang dari tujuan awal diadakannya program KUR, yaitu agar dapat mempermudah masyarakat, dalam hal ini yaitu UMKM untuk mendapatkan 20 Wawancara dengan ibu Suratini, tanggal 27 Maret 2009. 21 www.kr.co.id, KUR Belum Sepenuhnya Dipahami Masyarakat. Akses tanggal 6 Januari 2009.
38
akses kredit di bank. Sehingga untuk mengidentifikasi apakah program tersebut efektif penerapannya di kota Yogyakarta, maka perlu dilakukan identifikasi terhadap pencapaian tujuan program KUR terhadap UMKM yang mengakses program tersebut. Penelitian ini akan diarahkan untuk menggambarkan efektivitas program KUR di Kota Yogyakarta. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara maupun pemanfaat program yang tentunya akan berpegaruh terhadap efektivitas program. Sehingga berdasarkan informasiinformasi yang akan didapatkan di lapangan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan terkait dengan efektivitas program KUR di Kota Yogyakarta.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah efektivitas program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilaksanakan oleh Bank Rakyat Indonesia di Kota Yogyakarta, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektivitas program tersebut?”
1.3.
Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dilaksanakan oleh Bank Rakyat Indonesia di kota Yogyakarta, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas program tersebut.
39