I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang sampai saat ini belum dapat teratasi secara optimal di Indonesia adalah degradasi/kerusakan lahan di daerah aliran sungai (DAS). Menurut Oldeman (1994) degradasi lahan merupakan proses berkurangnya atau hilangnya kegunaan suatu lahan atau kemampuan lahan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan manusia. Kerusakan lahan menurut Lal (1994) disebabkan oleh kemerosotan sifat fisik (akibat pemadatan dan erosi tanah) dan sifat kimia tanah (penurunan tingkat kesuburan, keracunan dan pemasaman tanah). Dampak negatif alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan adalah kerusakan lahan yang mana tanah menjadi lebih terbuka, sehingga pukulan air hujan (energi kinetik hujan) yang jatuh di atas permukaan tanah menyebabkan terbentuknya surface sealing (penutupan pori-pori tanah oleh partikel liat) dan soil crusting (pemadatan tanah). Terbentuknya surface sealing dan soil crusting berdampak terhadap menurunnya kapasitas infiltrasi dan meningkatnya volume aliran permukaan (Thierfelder, et al., 2002; Mamedov, et al., 2000; Zhang dan Miller, 1996). Menurut Black (1996) tanah sebagai salah satu faktor fisik DAS yang sangat penting dalam siklus hidrologi, yang mana faktor tanah berperan dalam menyerap, menyimpan, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh di atasnya. Menurut Oldeman (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan lahan adalah pembukaan lahan dan penebangan kayu secara berlebihan, penggunaan lahan untuk kawasan peternakan secara berlebihan (over grazing), dan aktivitas pertanian dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara
1
berlebihan. Barrow (1991) juga menyatakan bahwa kerusakan lahan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1) bahaya alami, 2) meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan dan intensitas penggunaan lahan, 3) kemiskinan, 4) masalah kepemilikan lahan, 5) kestabilan politik dan kesalahan administratif, 6) aspek sosial dan ekonomi, 7) penerapan teknologi yang tidak tepat, dan 8) pertambangan. Dampak lanjutan dari kerusakan lahan dan DAS adalah banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Selama sepuluh tahun terakhir ini, bencana banjir di wilayah Indonesia terjadi secara beruntun dengan intensitas, frekuensi, dan distribusi atau wilayah yang terkena bencana semakin meningkat dan meluas. Indikatornya adalah kejadian banjir di Jakarta (tahun 1996, 2002, 2004, 2005, dan 2007), Semarang (tahun 1990, 1994, 2000, 2002, 2005, dan 2006), Bondowoso, Jawa Timur (tahun 2002), Mojokerto, Jawa Timur (tahun 2002 dan 2003), Medan (tahun 2002 dan 2003), Samarinda (tahun 1998, 2003, 2004, 2005, dan 2006), dan lainnya. Demikian juga masalah kekeringan yang sering muncul setiap tahun dari wilayah yang secara ruang dan waktu memiliki curah hujan yang sangat tinggi, seperti : daerah Subang, Indramayu, Cirebon dan sekitarnya (Irianto, 2003). Menurut DITJEN Penataan Ruang (2005) dan DITJEN RRL
(2001)
kerusakan lahan dan DAS di Indonesia makin lama makin meningkat. Tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas lahan terdegradasi 9,69 juta hektar dan kemudian meningkat pada tahun 1994 menjadi 39 DAS kritis dengan luas lahan terdegradasi 12,52 juta hektar, dan tahun 2000 meningkat lagi menjadi 42 DAS kritis dengan luas lahan terdegradasi 23,71 juta hektar, dan selanjutnya pada tahun 2004 kerusakan DAS di Indonesia semakin bertambah, yakni menjadi 65 DAS dari total seluruh DAS (470) yang tersebar di pulau Sumatra (13), Jawa (26), Kalimantan (10), Sulawesi (10) Bali dan Nusa Tenggara
2
(4), dan Maluku dan Papua (4) dengan luas lahan terdegradasi 45,43 juta hektar. Salah satu dari 65 DAS yang rusak tersebut adalah DAS Mahakam di propinsi Kalimantan Timur, sedangkan DAS Separi merupakan salah satu Sub DAS Mahakam. Dampak negatif alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan di DAS Separi adalah terjadi peningkatan intensitas banjir di daerah hilir dari DAS Separi yakni daerah Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara pada pertengahan tahun 1998 (27 Juni 1998) dan kemudian berulang kembali kejadian banjir tersebut pada tahun 2002 (9 Januari 2002), tahun 2003 (15 Oktober 2003), tahun 2004 (14 Maret 2004), tahun 2005 (24 Oktober dan 20 Desember 2005), dan tahun 2006 (3 Mei 2006) dengan jumlah curah hujan 7 hari di atas 100 mm. Hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan (1995) di Sub DAS Citarik, Jawa Barat bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi lahan industri dan perumahan selama periode tahun 1983 – 1994 (± 11 tahun) menyebabkan terjadinya lima kali banjir di daerah hilir. Hal ini juga didukung dari hasil penelitian Kurnia et al. (2001) di DAS Kaligarang, Semarang, Jawa Tengah bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan tegalan, dan lahan sawah menjadi lahan industri, perumahan maupun tegalan dari tahun 1981 – 2000 menyebabkan kejadian banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, serta menurunnya luas areal produksi pertanian di bagian hilir dari DAS tersebut. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir di daerah Separi tersebut adalah menurunnya pasokan bahan pangan (beras dan sayuran) ke kota Samarinda dan Balikpapan akibat kegagalan panen. Hal ini dikarenakan daerah Separi tersebut merupakan salah satu sentra produksi pertanian di propinsi Kalimantan Timur.
3
Untuk mengatasi bencana banjir dan kekeringan di DAS Separi secara cepat dan tepat, maka perlu disusun dan dikembangkan suatu model pendugaan banjir dan kekeringan berbasis karakteristik penggunaan lahan dan geomorfologi DAS. Fokus penelitian ini adalah mengembangkan model pendugaan banjir dan kekeringan, serta penentuan komposisi luas penggunaan lahan yang optimal di DAS Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur dalam rangka pengendalian bencana banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi secara berkelanjutan. 1.2. Tujuan 1.
Merakit model pendugaan banjir dan kekeringan berdasarkan karakteristik tekstur tanah dan geomorfologi DAS di DAS Separi, kabupaten Kutai Kartanegara, propinsi Kalimantan Timur.
2.
Menentukan komposisi luas penggunaan lahan secara optimal dalam rangka penanggulangan banjir dan kekeringan, serta pengelolaan DAS Separi,
1.3. Keluaran 1.
Model pendugaan banjir dan kekeringan sebagai alat bantu pengambil kebijakan (Decision Support System) dalam pengelolaan DAS dan mitigasi bencana banjir dan kekeringan,
2.
Rekomendasi komposisi luas penggunaan lahan, serta kebijakan lainnya dalam
pengelolaan
DAS
dengan
mempertimbangkan
kondisi
iklim,
karakteristik tanah, dan penutupan lahan. 1.4. Kerangka Pemikiran Pemanfaatan sumberdaya lahan yang melebihi dari daya dukungnya, seperti : alih fungsi penggunaan lahan dari hutan menjadi semak belukar maupun
4
tegalan, serta perubahan dari lahan sawah menjadi pemukiman di DAS Separi berdampak terhadap kerusakan tanah sehingga terjadi penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan terjadi peningkatan volume aliran permukaan. Dampak lanjutan akibat kerusakan tanah dan lahan pada DAS Separi adalah terjadi peningkatan intensitas banjir di daerah hilir dari DAS Separi yakni daerah Separi, kecamatan Tenggarong Seberang, kabupaten Kutai Kartanegara (Gambar 1). Dampak yang ditimbulkan dari bencana banjir di bagian hilir dari DAS Separi sangat besar sekali yakni menurunnya pasokan bahan pangan (beras dan sayuran) ke kota Samarinda dan Balikpapan akibat kegagalan panen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diperlukan penelitian tentang pengaruh karakteristik lahan (faktor tutupan lahan dan tanah) dan geomorfologi DAS terhadap karakteristik unit hidrograf, dan penyusunan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi. Hal ini dikarenakan kajian maupun penelitian yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air, serta pengelolaan DAS di DAS Separi, Kutai Kartanegara relatif masih sedikit, sehingga penelitian ini sangat diperlukan. Sebenarnya perkembangan teknik komputasi untuk menduga besaran debit puncak dan waktu menuju debit puncak (unit hidrograf) sudah banyak dilakukan, seperti : model Nash (1957), TOPMODEL (Beven dan Kirkby, 1979), AGNPS (Young, et al., 1990), ANSWERS (Beasley, 1991), HEC HMS (USACE, 2000), SWAT (Neitsch et al., 2001), dan lainnya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa model-model tersebut dapat digunakan dengan baik atau mempunyai tingkat akurasi yang cukup tinggi dalam menduga besaran debit puncak dan waktu menuju debit puncak. Namun demikian model-model tersebut membutuhkan kelengkapan seri data yang tinggi, baik data iklim, tanah, topografi maupun jenis penggunaan lahan, dan masalah kelengkapan data inilah yang sering menjadi kendala dalam penggunaan model-model tersebut untuk DAS di
5
Indonesia. Untuk itu diperlukan penyusunan model pendugaan banjir dan
60 50
Banjir
Banjir
Banjir
160,00 140,00 120,00 100,00 80,00
40
60,00
30
3-May-06
20-Dec-05
22-Oct-05
7-Jan-05
26-Dec-04
24-Nov-04
14-Mar-04
23-Jan-04
15-Oct-03
15-May-03
0,00 30-Mar-03
0 7-Jan-03
20,00 22-Nov-02
10 17-Jun-02
40,00
9-Jan-02
20
Curah Hujan (m m )
70
180,00
Banjir
80
27-Jun-98
Debit Puncak (m 3 /detik)
90
Banjir
Banjir
100
Banjir
kekeringan yang sederhana dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Waktu
Debit Puncak
Curah Hujan 7 Hari Sebelumnya
Gambar 1. Hubungan antara jumlah curah hujan 7 hari sebelum kejadian dan debit puncak banjir di DAS Separi Pengembangan model pendugaan banjir dan kekeringan berbasis karakteristik lahan (jenis tutupan lahan dan tanah) dan geomorfologi DAS sangat diperlukan dalam pengelolaan DAS Separi secara berkelanjutan. Penyusunan dan pengembangan model pendugaan banjir (debit puncak dan waktu menuju debit puncak) didasarkan pada dua model, yaitu : 1) pemodelan fungsi produksi yaitu perubahan dari curah hujan bruto menjadi curah hujan netto (curah hujan sisa) dan 2) pemodelan fungsi transfer yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi debit aliran permukaan langsung. Kedua model tersebut didasarkan pada hubungan antara faktor masukan (curah hujan) dan faktor sistem DAS (jenis tutupan lahan, karakteristik tanah, jaringan drainase, dan topografi) menurut ruang dan waktu terhadap terjadinya perubahan keluaran (unit hidrograf). Model ini bekerja dengan mengintegrasikan hubungan, yaitu : 1)
6
masukan (curah hujan) yang meliputi : intensitas hujan, lamanya waktu hujan, dan distribusi hujan, 2) sistem DAS yang meliputi : parameter tutupan atau penggunaan lahan (intersepsi), karakteristik tanah (struktur tanah, tekstur tanah, pori drainase, kadar air tanah, kedalaman efektif tanah, kandungan bahan organik, dan kapasitas infiltrasi tanah), dan karakteristik kerapatan jaringan drainase atau daya tampung DAS, dan 3) keluaran yakni debit aliran permukaan (debit puncak dan waktu menuju debit puncak). Dengan demikian setiap terjadinya perubahan masukan (intensitas hujan, lamanya waktu hujan, dan distribusi hujan) maupun sistem DAS seperti perubahan tutupan/penggunaan lahan (jenis tanaman, pola tanam, dan pengolahan tanah), maka model dapat mengintegrasikannya dalam simulasi unit hidrograf (debit puncak dan waktu menuju debit puncak). Diagram alir model pendugaan banjir dan kekeringan dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk
pengembangan
model
pendugaan
kekeringan
(Gambar
2)
didasarkan pada dua metode, yaitu : 1) kebutuhan air tanaman (neraca air lahan) metode Thornthwaite dan Mather (1957), dan 2) teknologi penginderaan jauh. Pendugaan kekeringan menurut analisis neraca air lahan metode Thornthwaite dan Mather (1957) didasarkan dari kekurangan atau defisit air tanaman yang terjadi pada saat stok air tanah (water storage) dibawah kadar air tanah kondisi titik layu permanen dan hal tersebut disebabkan curah hujan yang lebih rendah dibandingkan evapotranspirasi potensial (ETP). Pendugaan kekeringan dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh berdasarkan kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan (wetness index) dengan tingkat kehijauan tanaman (NDVI). Menurut Shofiyati dan Dwi Kuncoro (2007), bahwa kombinasi antara tingkat kelembaban permukaan lahan dengan tingkat kehijauan tanaman dari citra Landsat dapat digunakan secara efektif untuk memetakan tingkat kekeringan.
7
MASUKAN Iklim : Curah hujan, Suhu, Kelembaban, Kecepatan Angin, dan Radiasi Matahari
SISTEM DAS • Tutupan/Penggunaan Lahan • Karakteristik Tanah • Topografi (Panjang dan Kemiringan Lereng) • Kerapatan Jaringan Drainase
KELUARAN Unit Hidrograf : • Debit Puncak • Waktu Menuju Debit Puncak • Produksi Air
LUAR SISTEM DAS (HILIR) • Tutupan/Penggunaan Lahan • Karakteristik Tanah • Topografi (Panjang dan Kemiringan Lereng)
Potensi Sumberdaya Air • Kebutuhan Air Tanaman • Pola Tanam
Pendugaan Banjir dan Kekeringan
Gambar 2. Diagram alir sistem aplikasi hubungan masukan – sistem – keluaran dalam model pendugaan banjir dan kekeringan
8