JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG
Indonesia saat ini menghadapi sejumlah masalah pembangunan ekonomi yang kompleks. Sejumlah masalah yang dimaksud mencakup pendapatan rakyat rendah, tingkat kemiskinan relatif tinggi, pengangguran tinggi, ketimpangan ekonomi, pembangunan ekonomi daerah yang berjalan lambat, utang luar negeri relatif tinggi, kelangkaan energi, ketahanan pangan keropos, dan kemerosotan mutu lingkungan hidup. Masalah pembangunan ekonomi tersebut memerlukan pemecahan sesegera mungkin. Dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang juga menghadapi kesulitan pembiayaan pembangunan, untuk memecahkan masalah tersebut, kita perlu melakukan penajaman (focusing) strategi pembangunan ekonomi ke depan. 1.1.1
Sumberdaya Manusia
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya 8 persen (BPS, 1993). Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35 persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003). Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta belum memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah. Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge). Ketertinggalan petani dalam hal pendidikan di atasi dengan pendekatan penyetaraan pendidikan yang selanjutnya dikaitkan dengan pelatihan keterampilan berusahatani. Di samping itu, berbagai upaya penguatan kapasitas petani juga perlu dilakukan terutama dalam hal pengembangan sikap kewirausahaan, kemampuan dalam pemasaran dan manajemen usaha. Suatu kesalahan yang terjadi selama ini adalah: (1) tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya untuk memperbaiki kemampuan teknis produksi petani, padahal yang terpenting adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisnya; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari atau tidak para pejabat pertanian kita telah PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 1 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
membentuk opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; dan (4) para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha yang sudah professional dan memahami sistem agribisnis, padahal mereka belum tentu mampu memahami maupun melakukan konsep sistem agribisnis secara baik. 1.1.2
Produktivitas Lahan
Pada awalnya untuk menghasilkan lebih banyak pangan memerlukan luasan lahan budidaya, sehingga lahan merupakan sumberdaya pertanian yang utama. Dengan dimulainya revolusi hijau (intesifikasi pertanian), kepentingan nisbi lahan berkurang karena masukan pertanian ~ pupuk, mekanisasi, pestisida, irigasi, dan benih unggul ~ memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kenaikan produksi pangan. Sebagian kebutuhan lahan disulih oleh teknologi. Saat ini kebutuhan lahan kembali mencuat karena hasil panen yang semakin menurun sehubungan dengan penurunan produksi dan penyempitan lahan pertanian yang dialih-fungsikan, sedangkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pulau Jawa setidaknya kehilangan 20.000 ha lahan pertanian setiap tahun akibat pemekaran kota di mana luasan lahan tersebut mampu menyediakan beras untuk 378.000 orang tiap tahun. Akibatnya lahan menjadi sumberdaya pertanian yang nilainya terus meningkat. Penurunan produktivitas lahan pertanian disebabkan oleh terdegradasinya fungsi hayati lahan, yaitu kemampuan/kapasitasnya mengubah hara menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan tanaman. Dengan pengertian ini, konsep kesuburan tanah harus dapat lebih mengedepankan sifat-sifat hayati tanah daripada sifat fisik-kimia tanah. Karena menyangkut kehidupan hayati tanah (edafon), maka istilah kesuburan tanah dalam konsep ini lebih tepat digunakan istilah kesehatan tanah. Revolusi hijau gencar disosialisasikan melalui sistem Bimas atau LAKU dan semacamnya ~ BIMAS (sejak 1963/1964), sistem LAKU (1976) sistem INSUS (1979) dan sistem SUPRA INSUS (1986), melalui inovasi teknologi Sapta Usaha Pertanian secara lengkap (Abbas, 1995). Awalnya, revolusi hijau di Indonesia mampu meningkatkan produksi pangan (khususnya padi) secara spektakuler. Namun sukses tersebut harus dibayar mahal. Berbagai masalah serius sekarang bermunculan akibat revolusi hijau: kerusakan lingkungan (ekosistem), marjinalisasi petani gurem dan buruh tani, rendahnya tingkat pendapatan petani, ketidakmandirian petani, dan ketidaksehatan produk yang dikonsumsi masyarakat. Peningkatan produktivitas lahan yang dicapai belum bisa mengangkat taraf kehidupan petani ke tingkat yang lebih baik. Masalah tersebut menunjukkan kekeliruan penerapan kebijakan revolusi hijau. Selama dekade tahun 1970-an, diperkirakan Indonesia telah kehilangan produksi padi senilai lebih dari US$ 10 miliar akibat serangan hama wereng batang coklat (WBC), sedangkan pada tahun 1997, Indonesia telah kehilangan produksi padi sebesar 10 juta ton akibat serangan hama wereng batang coklat (Suara Pembaruan, 19 Juli 1998). Pada bulan Januari 1988, Departemen Pertanian Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture/USDA) telah mereformasi kebijakan pertaniannya. USDA
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 2 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
mengeluarkan kebijakan bersejarah, yaitu Low-Eksternal Input Sustainable Agriculture (LEISA). LEISA adalah suatu sistem pertanian terpadu yang merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metode bertani yang dipadukan dalam suatu rencana manajemen yang utuh. Kombinasi tersebut terdiri atas berbagai macam metode bertani, seperti: pengendalian hama terpadu, kontrol biologis, dan pergiliran tanaman yang berbasiskan tanaman kacang-kacangan (legume). 1.1.3
Kelembagaan
Kelembagaan petani sampai saat ini belum dapat mengangkat kesejahteraan petani, hanya di beberapa daerah saja yang sudah mapan dan mengakar pada masyarakat. Fungsi kelembagaan seperti koperasi masih kalah dengan rentenir/ijon dalam hal pembiayaan dan okupansi (pembelian) hasil panen, sehingga petani tidak memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power) atas harga hasil panennya. Permodalan merupakan masalah yang utama bagi petani, terutama petani penggarap yang tidak memiliki lahan pertanian (hanya tenaga saja). Petani penggarap biasanya mendapat porsi sedikit dalam pembagian hasilnya dan terkadang bahkan tidak mencukupi untuk kegiatan budidaya di musim tanam selanjutnya, sehingga mereka butuh pinjaman permodalan. Petani lebih senang untuk mendapatkan pinjaman permodalan tersebut dari rentenir/ijon atas dasar kemudahan prosesnya (cepat, tidak perlu agunan) walaupun dengan bunga yang tinggi dan terikat kontrak penjualan hasil panennya. Rentenir dapat dengan mudah untuk menekan harga hasil panen petani, dan petani terpaksa harus menjualnya karena khawatir tidak akan mendapatkan pinjaman lagi. Fenomena tersebut sudah umum berlaku di tingkat petani, dan walau bagaimana pun petani tetap terbantu dengan adanya pinjaman permodalan dari rentenir. Selain itu tingkat kepercayaan petani terhadap pengelola lembaga (koperasi, gapoktan, dsb) sangat rendah akibat kurangnya profesionalisme pengelola dan adanya penyelewengan anggaran dan dana oleh oknum pegelola. 1.2
TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan solusi kepada petani untuk mengatasi kelemahan revolusi hijau, setidaknya dapat: (1)
Meningkatkan kesejahteraan petani terutama kelompok masyarakat yang mata pencahariannya berkaitan langsung dengan sumberdaya pertanian.
(2)
Memanfaatkan kekosongan kegiatan pada waktu luang dan menguatkan cashflow usaha tani dengan melakukan diversivikasi horisontal pada usaha tani.
(3)
Menerapkan LEISA (Low External Inputs for Sustainable Agriculture) dan biocycle sehingga tercapai efisiensi biaya usaha tani yang akan menurunkan harga pokok produksi.
(4)
Menerapkan prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-RecyclingResponding).
(5)
Meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif produk pertanian baik produk primer maupun olahan, sehingga memiliki daya saing yang kuat.
(6)
Menjaga dan meningkatkan kualitas sumberdaya petani.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 3 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
melalui pengelolaan terpadu yang mencakup: (1)
Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), seperti cara tanam, pola tanam, perawatan tanaman, metode panen, dll. (2) Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, yaitu menyediakan hara yang sesuai dengan jumlah hara (neraca hara) yang dibutuhkan oleh setiap komoditas, sehingga tercipta kecukupan hara dalam jumlah yang tepat dan tanaman dapat berproduksi optimal. (3) Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) yang lebih efektif dan ramah lingkungan seperti penggunaan pestisida nabati, perangkap, predator alami, organisme antagonis, dan usaha-usaha penegahan serangan hama/penyakit. (4) Integrated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT) seperti peggunaan irigasi teknis atau teknologi yang lebih canggih lainnya dalam sistem vertigasi. (5) Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana ada hubungan timbal-balik antara pertanian dan peternakan. (6) Integrated Waste Management (IWM) atau Pengelolaan Limbah Terpadu Untuk peternakan dan/atau sistem/pola pertanian terpadu di mana siklus biologi (bio-cycle) dalam usaha budidaya yang tidak terputus dan pemanfaatan biomassa yang lebih efektif dan efisien (zero waste management). Arahan dari pelaksanaan usaha tani yang berwawasan lingkungan ini menuju pertanian organik sebagai persyaratan mutlak menuju era perdagangan bebas yang akan menghasilkan produk pertanian sehat dengan meminimisasi terjadinya penurunan produksi tahap awal karena pengurangan pupuk kimia berdasarkan perhitungan neraca hara. 1.3
SASARAN
Petani yang dapat melaksanakan konsep sistem pertanian terpadu ini adalah petani atau kelompok tani yang memiliki lahan sekurang-kurangnya 1 ha untuk mendapatkan kelayakan ekonomi yang cukup dalam kegiatan usaha tani. Diharapkan petani akan menjadi subyek dalam pelaksanaan kegiatan usaha tani tanpa tergantung dari pihak manapun dengan pembentukan permodalan dan pasar yang baik oleh lembaga atau instansi yang berkompeten.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 4 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab II KONSEP PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN 2.1
KESEIMBANGAN ALAM
Alam diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan keseimbangan ekosistem yang berjalan sesuai dengan ketentuannya. Populasi tumbuhan, hewan, dan dekomposer (mikrobial) dalam rantai makanan sudah dalam jumlah yang seimbang dalam suatu ekosistem untuk dapat lestari. Perubahan ekosistem oleh manusia akan merusak keseimbangannya sehingga daya dukung alam terhadap ekosistem yang baru tidak akan dapat memenuhi kelestariannya. Dua indikator penting kerusakan sistem pertanian adalah penurunan mutu tanah dan air. Pada gilirannya penurunan mutu tanah dan air menyebabkan penurunan produktivitas usaha tani. Penurunan mutu adalah akibat dari pengelolan sumberdaya tanah dan air yang salah. Semula degradasi tanah tidak menurunkan hasil panen karena takaran pupuk yang diberikan masih dapat mengimbangi (compensate) kehilangan hara karena erosi, pelindian, atau terangkut hasil panen. Makin meningkatnya degradasi tanah, pemupukan tidak lagi sanggup mengimbangi kehilangan hara. Selain itu pupuk kimia konvensional tidak dapat memasok bahan-bahan penyehat tanah seperti bahan organik, edafon, air, dan hara sekonder, padahal interaksi bahan-bahan tersebut menciptakan lingkungan pendukung yang diperlukan tanaman. 2.2
PERTANIAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (RAMAH LINGKUNGAN)
Dampak negatif penggunaan faktor input seperti benih unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah lama dirasakan oleh petani. Resurgensi dan resistensi hama dan penyakit tanaman, penurunan kesehatan lahan (minimnya mikrobial tanah dan kejenuhan tanah akibat residu pupuk dan pestisida) memaksa petani untuk menggunakan pupuk kimia dan pestisida dalam dosis yang lebih tinggi untuk keberhasilan usaha taninya. Pada revolusi hijau yang digencarkan pada negara berkembang semata-mata hanya strategi negara maju yang sudah terlebih dahulu menemukan varietas benih unggul dan pupuk & pestisida sintetis dalam meraup keuntungan. Benih unggul yang dilepas memerlukan dosis pupuk kimia dan pestisida yang tinggi karena sifatnya yang rakus hara dan daya tahan terhadap OPT rendah. Petani sangat sulit untuk kembali ke pola/sistem budidaya tradisional, karena mereka sudah ketergantungan dengan input produksi tersebut dan khawatir akan penurunan produktivitas usaha taninya apabila mereka tidak menggunakannya. Namun demikian, sudah saatnya bagi petani kita untuk dapat mengubah pola fikir dan sistem usaha taninya ke arah pertanian yang ramah lingkungan. Berbagai masalah serius sekarang bermunculan akibat revolusi hijau kerusakan lingkungan (ekosistem), marjinalisasi petani gurem dan buruh tani, rendahnya tingkat pendapatan petani, ketidakmandirian petani, ketidaksehatan produk yang dikonsumsi masyarakat, terlebih lagi mahalnya harga pupuk dan pestisida harus sudah ditemukan solusinya, yaitu kembali ke alam.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 5 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Petani bisa membuat suatu keseimbangan ekosistem pada lahan pertaniannya,baik lahan sawah padi maupun kebun melalui pola pertanian terpadu (integrated farming) dengan model yang beragam yang dapat disesuaikan dengan keragaan sumberdaya alam dan teknologi yang ada. Petani harus berani mengambil keputusan dan resiko tentunya untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tahap awal dimulai dengan menyehatkan tanah melalui input bahan organik dan inokulan mikrobial pada tanah dan pengurangan dosis pupuk kimia dan pestisida dengan perhitungan neraca hara yang tepat. Proses recovery tanah ini juga dapat dibantu melalui pola gilir tanam antara padi/palawija dengan legume (kacangkacangan) serta metode budidaya yang tepat.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 6 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab III PRINSIP 6-R Minimisasi limbah pertanian, merupakan cara pencegahan untuk mengatasi ragam dan jumlah limbah yang dihasilkan dari aktivitas usaha tani, mengingat jumlah limbah tidak mungkin berkurang. Pengelolaan limbah pertanian secara terintegrasi diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal bagi kegiatan minimisasi limbah. Prinsip 6-R (Rethinking-Reducing-Recovering-Reusing-Recycling-Res-ponding) nampaknya dapat membantu upaya minimisasi limbah pertanian, dan oleh karena itu perlu disosialisasikan secara luas. 3.1
PRINSIP R-1: RETHINKING (BERFIKIR-ULANG)
Yang dimaksud dengan Rethinking (berpikir-ulang) adalah mengubah pola pikir dan cara pandang masyarakat terhadap limbah atau sampah, yakni dari ’limbah atau sampah sebagai barang tak berguna dan tak memiliki nilai lingkungan maupun nilai ekonomi’ menjadi ’limbah atau sampah sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan-ulang untuk memperoleh nilai manfaat bagi lingkungan dan nilai ekonomi yang cukup menjanjikan.’ Rethinking, dengan demikian, adalah pergeseran paradigma dalam penanganan limbah atau sampah, yang tidak lagi sekedar membuang limbah atau sampah, melainkan memanfaatkan-ulang limbah atau sampah dengan berbagai cara yang sesuai dengan karakteristik masing-masing jenis limbah atau sampah tersebut. Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara memanfaatkan-ulang sampah atau limbah ini sehingga menghasilkan produk lain yang memiliki nilai lingkungan dan nilai ekonomis. Jawabannya dapat dicermati secara ringkas dalam 3-R dari Prinsip 6R sebagai berikut: (1)
Recovering (mendapatkan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang barang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah – terutama limbah industri – karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (outturn = nisbah antara volume produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Contohnya, sludge dari proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO (Crude Palm Oil) yang dibuang biasanya dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, yaitu dengan cara memisahkan sisa-sisa CPO yang ikut terbuang bersama substrat limbah cair dan padat, untuk diproses lebih lanjut secara tradisional menjadi olein (minyak goreng).
(2)
Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ’apa adanya’ sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang bermanfaat. Contohnya adalah memanfaatkan botol bekas kemasan ’strawberry jam’
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 7 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
atau ’peanut butter’ untuk wadah pemeliharaan ikan cupang (laga), wadah bumbu dapur; memanfaatkan karung bekas pupuk untuk tempat gabah, dsb. (3)
Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain yang lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya. Contohnya adalah pendaur-ulangan kertas-kertas bekas untuk menghasilkan kertas seni (artistic paper) atau kertas koran.
Efektivitas pelaksanaan minimisasi limbah hanya bisa dicapai apabila disertai dengan perubahan pola pikir masyarakat dalam memperlakukan limbah atau sampah. Peningkatan konsumsi masyarakat akan suatu produk barang – baik dalam ragam maupun jumlah – secara alamiah terjadi apabila taraf hidup masyarakat meningkat. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah pola konsumsi masyarakat yang selama bertahun-tahun telah terbentuk akibat pengaruh propagkita barang konsumsi melalui berbagai media massa. 3.2
PRINSIP R-2: REDUCING (MENGURANGI)
Reducing (mengurangi) adalah tindakan paling pokok dan paling efektif dalam pengelolaan limbah, yakni mengurangi potensi terjadinya limbah atau sampah di tempat lain (yakni selama transportasi, selama di pasaran, dan pada saat dikonsumsi) mulai dari tempat asal produk atau barang yang bersangkutan. Tindakan pengurangan potensi terjadinya sampah atau limbah ini berlaku bagi barang-barang yang berkaitan dengan rumah tangga, industri, dan perniagaan, baik yang bersifat awet (durable) maupun tidak awet (indurable). Tindakan pengurangan potensi terjadinya sampah atau limbah bagi suatu produk atau barang ini lazimnya dapat meningkatkan kualitas dan sanitasi produk atau barang yang bersangkutan. Beberapa contoh mengenai hal ini dapat disajikan sebagai berikut: (1)
Para tengkulak sayur di Cipanas, Pangalengan, dan Garut lazimnya mengangkut kol (cabbage), kembang kol (cauliflower), dan wortel (carrot) bersama-sama dengan lembar-lembar daun yang sebenarnya tidak akan dikonsumsi. Tujuannya adalah untuk menjaga agar bagian-bagian sayur yang dapat dikonsumsi tidak mudah rusak selama transportasi atau muat-bongkar di pasar. Di tempat pemasaran, bagian-bagian sayur yang tidak akan dikonsumsi tersebut dikupas dan dibuang, dan demikian timbullah sampah pasar yang sebagian besar terdiri atas sisa-sisa sesayuran. Lain halnya dengan yang dilakukan oleh pemasok sayuran ke supermarket. Mereka pada umumnya membersihkan sayuran di kebun atau di tempat pengumpulan sayur. Kemudian sayuran yang sudah bersih dan dapat dikonsumsi seluruhnya, dikemas rapih dan dimasukkan ke dalam wadah yang bersih. Kualitas dan sanitasi sayuran jauh lebih baik daripada sayuran yang dijelaskan di atas.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 8 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Sampai di tempat pemasaran, yakni di supermarket, sayuran ini tidak menghasilkan sampah sedikit pun, melainkan langsung dipajang di lemari berpendingin. Tindakan yang dilakukan oleh tengkulak sayur pertama belum menerapkan prinsip Reducing, sedangkan yang dilakukan oleh pemasok supermarket telah menerapkan prinsip Reducing. Tengkulak sayur pertama menyebabkan Pasar Induk Kramatjati kumuh dan harga sayurnya relatif murah, sedangkan pemasok supermarket membuat supermarket tetap bersih dan harga sayurnya pun lebih mahal. Sisa-sisa sayuran yang ditinggalkan di kebun atau di tempat pengumpulan dapat dimanfaatkan-ulang untuk pakan ternak atau pakan ikan gurame, atau didaur-ulang menjadi kompos yang dapat digunakan untuk memupuk tanaman sayuran pada musim tanam berikutnya. Sisa-sisa sayuran di Pasar Induk Kramatjati dan di pasar-pasar tradisional dibuang menjadi sampah, yang mem-buat lingkungan perkotaan menjadi kumuh. Akhirnya, sampah ini dibuang ke TPA, yang juga menimbulkan masalah sosial dan dampak ling-kungan. (2)
Pergeseran gaya hidup memang telah memperburuk cara pandang terhadap produk dan limbah. Kecenderungan untuk mendapatkan produk berkualitas lebih baik dan lebih praktis telah membuat ibu-ibu rumahtangga memilih produk-produk kemasan pabrik daripada produk-produk curah, misalnya gula, tepung terigu, minyak goreng, dsb. Padahal, plastik pembungkus gula dan tepung terigu serta botol plastik pengemas minyak goreng akhirnya menjadi limbah dan dibuang cuma-cuma. Sekitainya teknologi produksi dan pengemasan produk tidak ‘secanggih’ sekarang dan gaya hidup masyarakat masih tetap ‘sederhana,’ maka limbah rumahtangga berupa berbagai jenis kemasan tidak akan terjadi.
(3)
Ada perbedaan mencolok antara membeli makanan ‘jajan pasar’ yang dibungkus dengan daun pisang, membeli nasi di warteg yang dibungkus dengan ‘kertas berlaminasi plastik,’ dan membeli makan siang di outlet franchise semacam Kentucky Fried Chicken atau Hoka Hoka Bento yang dikemas dalam lunch-box mewah. Limbah dari ‘jajan pasar’ berupa limbah organik yang mudah terurai; buangan pembungkus nasi warteg pada prinsipnya juga tidak terlalu sulit terurai, walaupun tidak dapat dikatakan penghematan hutan untuk membuat kertas; sedangkan limbah berupa lunch-box dari outlet waralaba jelas-jelas merupakan pemborosan sumberdaya hutan (bahan baku pulp & kertas), biaya cetak, dan rata-rata akhirnya dibuang begitu saja.
3.3
PRINSIP R-3: RECOVERING (MENDAPATKAN-ULANG)
Seperti telah disinggung di muka, Recovering adalah tindakan memanfaatkan-ulang barang atau benda yang masih tersisa di dalam limbah karena proses produksi berlangsung kurang efisien, sehingga rendemen (out-turn = nisbah antara volume
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 9 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
produk jadi terhadap volume bahan baku) rendah. Tindakan recovery nampaknya lebih sesuai bagi industri penghasil barang daripada bagi kehidupan rumahtangga. Selain contoh dalam industri CPO di muka, berikut ini disajikan beberapa contoh mengenai penerapan prinsip Recovering, terutama yang berkaitan dengan ‘kesalahan’ kebijakan pembangunan industri nasional selama dasawarsa 1980-an, yakni ‘relokasi industri’ dari negara-negara yang industrinya telah lebih maju daripada Indonesia: (1)
Ketika pemerintah Indonesia melarang ekspor kayu bulat (log) dari hutan alam pada dasawarsa 1980-an dalam rangka memajukan industri pengolahan kayu dalam negeri, maka banyak industri kayu lapis (plywood) di Jepang, Taiwan, dan Korea yang membongkar instalasi mesin-mesinnya, kemudian menjualnya ke Indonesia. Ir. Hartarto (Menteri Perindustrian ketika itu) dan Ginandjar Kartasasmita (Ketua BKPM dan Menteri Negara Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri ketika itu) mencanangkan kebijakan ‘relokasi industri’ dan memberi izin puluhan industri pengolahan kayu untuk merelokasi mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea. Mesin-mesin plywood bekas dari Jepang, Taiwan, dan Korea tersebut, khususnya mesin pengupas veneer (rotary), masih belum mampu meminimkan sisa kayu bulat (center-log), dan hanya mampu menyisakan center-log berdiameter 27 cm. Sisa center-log ini sebenarnya masih dapat menghasilkan satu lembar plywood 120 cm x 240 cm setebal 0,3 s/d 0,5 cm. Dalam kondisi seperti ini, rendemen industri plywood rata-rata kurang dari 50% (berkisar 45,5% s/d 48,5%), dan hal seperti ini berlangsung terus hingga kini. Limbah industri plywood berupa veneer sobek dan center-log dimanfaatkan oleh penduduk sekitar pabrik. Veneer sobek dirangkai lagi dengan cara direkat menggunakan kertas-berperekat untuk mendapatkan veneer utuh, yang dijual ke pabrik plywood lain untuk diproses lebih lanjut menjadi plywood. Sisa veneer lainnya dimanfaatkan untuk membuat berbagai produk, termasuk komponen furniture, perlengkapan makan dari veneer, dsb. Center-log dirajang untuk dijadikan berbagai produk kayu yang bernilai tinggi, termasuk pinsil, tangkai sapu untuk diekspor, dan perlengkapan rumahtangga. Apa yang dilakukan oleh ‘pemulung’ limbah industri plywood termasuk tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi sekitainya pemerintah ketika itu tidak mengambil kebijakan ’relokasi industri’ dengan mengimpor ’teknologi aus.’
(2)
Sebuah pabrik pengolahan makanan di Cilegon – milik kelompok supermarket terbesar yang menguasai pangsa pasar makanan basah dalam kemasan di Indonesia – mengolah jagung menjadi berbagai produk makanan. Oleh karena efisiensi mesin untuk proses ekstraksi dan hidrolisis jagung sangat rendah, limbah dari proses produksi ini masih mengandung serat dan protein kasar cukup tinggi. Setiap bulan rata-rata dihasilkan tidak kurang dari 700 ton limbah berupa substrat padat. Limbah ini dijual dengan harga Rp 100 – Rp 150 per kg kepada para ‘pemulung’ untuk diolah lagi menjadi pakan ternak. Pakan ternak dijual ke
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 10 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
peternak penggemuk domba dan sapi, sedangkan limbah akhir (sisanya) diproses menjadi kompos. Apa yang dilakukan oleh ‘pemulung’ ini juga merupakan tindakan recovery, dan mungkin tidak akan terjadi sekitainya pabrik pengolahan makanan tersebut menggunakan mesin-mesin berteknologi lebih mutakhir. 3.4
PRINSIP R-4: REUSING (MENGGUNAKAN-ULANG)
Reusing (penggunaan-ulang) adalah tindakan memanfaatkan-ulang ‘apa adanya’ sebagian atau seluruh sampah atau limbah atau barang-barang bekas lainnya untuk menghasilkan produk/barang lain atau untuk kebutuhan lain yang bermanfaat. Cukup banyak contoh penerapan prinsip Reusing ini yang dapat dilakukan di lingkungan rumahtangga dan tempat kerja. Banyak produk kebutuhan rumahtangga yang dapat digunakan lebih dari satu kali. Produk-produk atau kemasan-kemasan produk yang dapat digunakan-ulang ini harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menghasilkan buangan limbah. Jika hal ini dapat dilakukan, maka kita secara langsung telah melakukan konservasi (penghematan) bahan dan sumberdaya. Beberapa di antaranya adalah: (1)
Sebagaimana telah disinggung di muka, botol bekas kemasan ‘strawberry jam’ dan ‘peanut butter’ dapat digunakan-ulang, sekurang-kurangnya untuk keperluan sebagaimana terlukis pada gambar berikut ini:
BERBAGAI ALTERNATIF PENGGUNAAN-ULANG BOTOL BEKAS KEMASAN ‘STRAWBERRY JAM’ (a) Dicuci dan disimpan, yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Jika sudah terlalu banyak, panggil pengumpul barang bekas, dan juallah kepadanya; atau jual ke peternak ikan hias agar dapat digunakan untuk memelihara ikan cupang (laga). (b) Untuk wadah mainan anak-anak, misalnya kelereng. (c) Untuk menyimpan sisa-sisa bahan, misalnya sisa minyak goreng (jelantah), dsb. (d) Untuk mencampur berbagai macam juice, pasta, dsb. (e) Dibawa ke warung untuk wadah barang-barang curah yang dibeli, misalnya minyak goreng, madu, dsb.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 11 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
(f)
Bagi yang mempunyai kegemaran memasak kue, cobalah botol bekas ini digunakan untuk mencetak kue kering dengan berbagai ukuran. (g) Bagi yang mempunyai kegemaran memancing, botol bekas juga dapat digunakan untuk wadah umpan. (h) Botol bekas juga dapat digunakan sebagai jambangan (vas) bunga untuk menghias meja. (i) Jika kita mengumpulkan cukup banyak botol bekas dari merek produk sejenis, maka kita da-pat menjualnya kepada pengumpul, untuk dijual ke pabrik jam yang bersangkutan. Catatan: Mengenai penggunaan-ulang bekas kemasan, baik botol gelas ataupun plastik, kaleng, kardus berlapiskan aluminium foil, dan sejenisnya, jangan sekali-kali menggunakan-ulang bekas kemasan oli, pestisida (penyemprot nyamuk, dsb.), cairan pengepel lantai, dan bahanbahan beracun lainnya untuk wadah makanan atau wadah apa pun. Lebih baik kita mengikuti petunjuk yang tertulis pada label kemasan; dan lebih baik kita menguburkannya atau membuangnya ke tempat yang benar-benar aman.
(2)
Di kantor ataupun d rumah, kita sering melakukan penggunaan-ulang cartridge tinta printer yang tintanya sudah habis dengan cara mengisi-ulang (refill) tintanya. Pengisian ulang ini sering dilakukan pada cartridge toner printer laser, toner fotokopi, dsb. Selain mengurangi buangan limbah berupa cartridge bekas, tindakan ini juga merupakan penghematan biaya operasional kantor atau urusan cetak-mencetak dengan printer di rumah.
(3)
Setelah kita mengenal komputer pribadi (personal computer) dan printer sejak awal dasawarsa 1980-an, yang paling boros adalah penggunaan kertas. Ketika kita masih menggunakan mesin tik – baik mesin tik manual ataupun mesin tik elektrik – setiap kesalahan ketik lazimnya kita hapus dengan cairan penghapus atau pita penghapus, lalu kata yang salah-ketik kita ketik-ulang. Hal ini tentu saja tidak dapat atau sangat sulit kita lakukan pada printer. Akhirnya, setiap terjadi salah-ketik satu huruf pun, kita akan mencetak-ulang lembar tadi setelah kesalahan kita perbaiki. Pengalaman menunjukkan, untuk membuat satu laporan pekerjaan setebal 100 halaman, kertas yang kita habiskan untuk cetak-mencetak bisa-bisa sampai satu rim lebih. Walau demikian, sebenarnya kita masih dapat memanfaatkan-ulang lembar-lembar kertas yang salah-cetak tadi, misalnya untuk mencetak draft untuk keperluan proef-reading sebelum dokumen kita cetakakhir. Atau, kita dapat memanfaatkannya untuk membuat kliping koran pada halaman yang tidak tercetak.
(4)
Selain di kantor dengan urusan komputer dan printer, pengisian-ulang dengan memanfaatkan-ulang kemasan aslinya juga dapat dilakukan pada berbagai jenis barang konsumsi rumahtangga, misalnya kopi instans, kremer, deterjen, pelembut & pewangi cucian, cairan pel lantai, minyak goreng, lem/perekat, dsb. Produk-produk ini, selain tersedia di pasaran dalam kemasan aslinya (botol plastik atau botol gelas), juga tersedia dalam kemasan isi-ulang yang lebih murah.
(5)
Bagi barang-barang yang tergolong awet (durable), misalnya lemari es, kipas listrik, seterika listrik, dsb., jangan segan-segan mereparasinya apabila suatu saat barang-barang tersebut rusak. Dengan cara ini, kita telah melakukan penghematan dan tidak membuang barang bekas. Namun, untuk barang-barang elek-
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 12 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
tronik, seperti printer, handphone, dsb., biaya mereparasi kadang-kadang lebih mahal daripada membeli barang sejenis yang baru, kecuali masih dalam jangka waktu berlakunya garansi. Namun, apa pun keputusan kita untuk mereparasi barang yang rusak atau membeli barang sejenis yang baru, kita harus tetap berpikir bahwa membuang barang bekas harus menjadi pilihan terakhir. Siapa tahu barang yang kita anggap ‘bekas’ itu ternyata masih bermanfaat bagi orang lain? 3.5
PRINSIP R-5: RECYCLING (MENDAUR-ULANG)
Recycling (mendaur-ulang) adalah tindakan mendaur-ulang sebagian atau seluruh sampah atau limbah untuk menghasilkan produk/barang lain, yang lazimnya berbeda bentuk dan sifatnya dari produk/barang aslinya. Barang-barang bekas yang lazim didaur-ulang dengan cara pemrosesan-ulang di industri untuk menghasilkan produk baru adalah limbah yang tergolong anorganik, yakni yang terbuat dari kertas, plastik dan bahan-bahan sejenisnya, karet dan bahanbahan sejenisnya, gelas/kaca, kaleng dan berbagai jenis logam lainnya. Barangbarang bekas lazimnya dikumpulkan oleh pemulung di tempat-tempat pengumpulan sampah, baik Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) maupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA); atau dikumpulkan langsung dari rumah ke rumah. Di TPA Bantargebang, misalnya, terdapat tidak kurang 64 jenis bahan yang dikumpulkan oleh para pemulung, mulai dari gelas, plastik, dan kaleng hingga obat-obat kedaluarsa dan bulu ayam…! Beberapa contoh pendaur-ulangan limbah anorganik dan permasalahan yang dihadapi dapat disajikan sebagai berikut: (1)
Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada awal 1990-an pernah melaksanakan proyek pendaur-ulangan kertas untuk memproduksi kertas tulis (HVS). Bahkan, pada dasawarsa 1980-an, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sempat menggunakan kertas surat resmi yang dibuat dari eceng gondok (Eichornia crassipes). Permasalahan yang dihadapi adalah harga jual kertas daur-ulang ini relatif lebih mahal daripada kertas sejenis yang asli, dan kualitasnya pun tidak lebih baik. Kasus yang sama juga dialami oleh pabrik kertas koran daur-ulang di Merak, Banten, yang kualitas hasil kertasnya tidak lebih baik daripada kualitas kertas koran asli, dan biaya produksi daur-ulang ternyata tidak lebih murah daripada biaya produksi kertas asli. Kertas koran daur-ulang tidak diterima oleh penerbit koran terkenal, melainkan hanya dipakai oleh penerbit koran, tabloid, dan majalah skala kecil dan murahan.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 13 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
(2)
Industri plastic-ware (barang-barang dari plastik) yang mendaur-ulang limbah plastik dan PVC (polyvinyl chloride) juga mengalami hal yang sama. Kualitas ember anti-pecah yang dibuat dari campuran limbah karet dan PVC ternyata tidak lebih baik daripada kualitas ember plastik asli. Demikian pula halnya dengan produk-produk daur-ulang plastik lainnya. Selain warnanya yang tidak homogen, kualitas-nya kurang baik, kekuatannya rendah, harga penjualannya tidak selalu mampu bersaing dengan hara penjualan produk plastik asli.
(3)
Hingga kini tidak ada produk branded yang dikemas dalam botol gelas yang menggunakan botol daur-ulang, baik produk farmasi, minuman, ataupun makanan. Corporate image menjadi lebih penting daripada penghematan bahan kemasan produknya. Yang banyak dilakukan hanya terbatas pada penggunaan-ulang botol kemasan, misalnya botol berbagai merek minuman ringan (soft drink) terkenal. Botol kemasan hasil daur-ulang lazimnya digunakan untuk mengemas produk-produk yang produsennya tidak terlalu mementingkan corporate image, misalnya produk minyak angin, essence, dsb.
Limbah yang tergolong organik, termasuk sisa-sisa sayuran, dedaunan, dsb., pada umumnya tidak dipulung, melainkan langsung dibuang ke TPA. Limbah padat organik ini dinilai sebagai ‘mudah terurai secara biologis’ (bio-degradable easily), sehingga retensinya di lingkungan relatif singkat. Namun, penanganan sampah padat organik di TPA yang menerapkan sistem bala press system masih menjadi perdebatan antar-pakar. Pernah ditemukan, bahwa sisa-sisa sayuran (kacang buncis, kol, lettuce, dan wortel) yang diperlakukan dalam bala press system (dikempa dan dibungkus dalam kemasan kedap-air dan kedap-udara, lalu ditimbun) ternyata masih belum rusak (belum terurai) setelah ’tertimbun’ selama 30 tahun. Bagi limbah padat organik, pendaur-ulangan yang di-nilai paling sesuai dan justeru dapat memberi nilai tambah ekonomis terhadap limbah tersebut adalah pengomposan (composting). Di samping itu, pengomposan juga mempunyai nilai tambah terhadap lingkungan, yakni sangat membantu pencegahan pencemaran lingkungan oleh dampak pembusukan bahan organik secara anaerobik dan tak terkendali. Disadari ataupun tidak, penanganan sampah padat organik di TPA dengan metode open dumping ataupun sanitary landfill yang tidak sempurna akan menyebabkan proses pembusukan bahan organik secara anaerobik, yang menghasilkan emisi gas methane (CH4). Gas methane adalah salah satu bahan cemaran udara yang tergolong sebagai ‘gas rumah kaca,’ yang secara akumulatif dan global dapat memberi kontribusi terhadap ‘pemanasan global’ (global warming).
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 14 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
3.6
PRINSIP R-6: RESPONDING (SIKAP TANGGAP)
Responding (sikap tanggap) adalah menyikapi dilema limbah atau sampah dengan mempertimbangkan-ulang penanganan kegiatan produksi dalam industri atau kegiatan rumahtangga dengan hasil limbah yang ada dan menggantikannya dengan proses produksi atau kegiatan yang menghasilkan lebih sedikit limbah (least waste). Bagi industri yang menghasilkan limbah, penerapan prinsip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan bahan pendukung, yakni meningkatkan rendemen (out-turn). Beberapa hal penting yang dapat dilakukan adalah: (1)
Bagi industri yang mesin-mesinnya sudah aus (teknologinya sudah ketinggalan zaman), peningkatan rendemen dalam upaya mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi produksi adalah dengan reinvestasi mesin-mesin baru yang lebih efisien dan menghasilkan limbah lebih sedikit (least-waste). Untuk itu, perlu perhitungan yang cermat mengenai perimbangan antara ‘biaya investasi untuk pengganti mesin’ dengan ‘nilai tambah produksi karena peningkatan efisiensi.’ Mengenai hal ini, ada kasus yang sangat menarik dalam industri pulp & kertas di Indonesia, yakni: (a)
Ada sebuah skenario global sehubungan dengan asset recovery pada sektor industri pengolahan kayu yang bermasalah. Dari sekitar Rp 12,4 trilion non-performance loans (kredit macet) sektor kehutanan, sekitar Rp 2,5 trilion di antaranya terjadi pada proyek industri pulp & kertas PT. Kiani Kertas (Group Bob Hasan) di Kalimantan Timur. Perlu diketahui bersama, bahwa sekitar tahun 1995, harga pulp di pasaran internasional sangat baik dan sangat merangsang investor lokal untuk menginvestasikan dananya dalam bisnis pulp & kertas. Harga pulp di pasaran dunia ketika itu dapat mencapai US$ 640 per ton. Penyebab utamanya bukan karena adanya peningkatan permintaan riil akan pulp oleh pasar dunia, melainkan lebih disebabkan oleh kelangkaan pasokan. Langkanya pasokan pulp di pasaran dunia selama kurun waktu tersebut disebabkan oleh adanya kebijakan restrukturisasi dan reinvestasi pada industri pulp dan kertas di kawasan Skandinavia dan Amerika Utara (Kanada dan Amerika Serikat bagian utara). Di kedua kawasan penghasil utama pulp dunia tersebut dilakukan penggantian besar-besaran teknologi pengolahan pulp dengan teknologi yang menghasilkan limbah cair minimum (least liquid waste), sedangkan mesin-mesin dengan teknologi usang direlokasi ke negara-negara sedang berkembang, terutama Indonesia – yang sangat berambisi untuk tampil sebagai produsen pulp terbesar dunia melalui scheme HTI (Hutan Tanaman Industri).
(b)
Syahdan, maraklah investasi di bidang industri pulp & kertas di Indonesia, terutama oleh empat raksasa pulp & kertas: Barito Pacific di Sumatera Selatan – milik Prayogo Pangestu, IKPP (Indah Kiat Pulp & Paper) di Riau – milik Eka Tjipta Widjaja dari Sinar Mas Group, RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) di Riau – milik Sukanto Tanoto dari Raja Garuda Mas Group,
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 15 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
dan Kiani Kertas di Kalimantan Timur milik Bob Hasan. Keempat raksasa pulp & kertas ini ternyata rontok bersama-sama dengan rontoknya bisnis perbankan dan industri manufaktur lainnya menjelang berakhirnya milenium kedua. (c)
Selama setahun, yang ternyata terjadi penurunan harga pulp di pasaran dunia, yakni menjadi US$ 420 per ton, US$ 380 per ton, dan terakhir kali – ketika akan dilakukan pelelangan asset Chandra Asri (‘saudara kandung’ Barito Pacific) dan Kiani Kertas tahun 2000, harga pulp anjlok menjadi Rp US$ 300 per ton, yakni sekitar US$ 60 di atas harga break even point pulp untuk skala industri pulp & kertas setara IKPP.
(d)
Ada dua kemungkinan mengenai anjloknya harga pulp di pasaran dunia tersebut, yakni:
(e)
Pertama: Mulai tengah-tahun 2000, beberapa pabrik pulp & kertas di daratan Amerika bagian utara dan di beberapa negara Skandinavia telah mulai beroperasi lagi dengan teknologi barunya, dan produknya pun telah kembali membanjiri pasaran dunia. Kajian lebih lanjut mengenai fenomena ini menyimpulkan, bahwa investor industri pulp & kertas Indonesia ternyata telah tertipu oleh ‘prospek bisnis semu’ yang ditawarkan oleh pemasok mesin-mesin berteknologi usang, yang ternyata hanya berlangsung sementara.
Ke-Dua: Mungkin saja raja-raja pulp & kertas dunia berminat untuk membeli asset industri pulp & kertas yang ketika itu ada dalam penanganan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Mengapa mereka sangat berminat? Sejak tahun 1993, tujuh Negara Bagian Amerika Serikat bagian utara telah melarang penebangan hutan yang ada di dalam teritorinya. Untuk memasok industri perkayuan yang ada di negara-negara bagian ini, khususnya industri pulp & kertas, akhirnya didatangkan bahan baku berupa kayu bulat dan chipwood dari daratan Amerika Latin, terutama Brazil dan Guyana. Indonesia dinilai masih terlalu banyak memiliki bahan baku industri pulp & kertas, dan buangan limbah cair berbahaya & beracun dinilai masih belum mendapat perhatian serius dari Rakyat dan Pemerintah dibandingkan yang terjadi di negeri-negeri mereka. Anjloknya harga pulp di pasaran dunia merupakan strategi mereka untuk memperkuat posisi tawarmenawar mengenai ‘harga jual’ industri pulp & kertas bermasalah tersebut, yang ketika itu dianggap sebagai ‘asset nganggur dan bermasalah.’ Apalagi bagi Kiani Kertas, yang dalam masa trial run saja sudah mendatangkan bahan baku berupa chipwood dari daratan Australia, karena hutan tanaman yang dibangunnya ternyata gagal total.
Dari analisis tersebut di atas, ternyata investor Indonesia di bidang industri pulp & kertas dan sekaligus BPPN dan Pemerintah Indonesia juga telah ‘dibohongi’ lagi oleh para investor asing. Kabarnya, Kiani Kertas tengah-
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 16 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
tahun 2005 ini telah diincar oleh JP. Morgan, dedengkot perbankan Yahudi dan salah satu ‘sponsor pendirian’ dan ’pemegang saham’ Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) pada tahun 1010. Padahal, pembangunan tiga dari empat pabrik pulp & kertas tersebut di muka dibiayai oleh ‘sindikasi bank/lembaga keuangan dari tujuh negara’ berupa ‘kredit ekspor,’ yang salah satunya adalah JP. Morgan. (2)
Belajar dari kasus industri pulp di muka, dan juga belajar dari pengalaman relokasi industri di masa lalu, perlu ditegaskan bahwa relokasi industri manufaktur dari negara-negara industri maju harus dicegah, walaupun biaya investasinya relatif lebih murah. Yang harus dibayar mahal pada akhirnya adalah ketidakmampuan industri kita untuk bersaing di pasar dunia, dan ‘harga pencemaran lingkungan yang harus dibayar mahal’ karena mesin-mesin industri relokasi pada umumnya menghasilkan banyak limbah.
(3)
Industri yang instalasi penghasil tenaganya (power generating plant) dinilai boros bahan bakar, perlu melakukan penggantian mesin atau bahkan penggantian jenis bahan bakar alternatif.
Bagi kegiatan rumahtangga yang selama ini menghasilkan limbah, pene-rapan prinsip Responding pada hakikatnya sama dengan upaya pergeseran cara pandang atau paradigma seluruh anggota keluarga mengenai konsumsi barang kebutuhan rumahtangga. Dalam hal ini, beberapa hal pokok yang dapat dilakukan adalah: (1)
Tanpa harus mengorbankan kepentingan untuk kemudahan & kepraktisan hidup, dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari, setiap keluarga seyogianya memprioritaskan produk-produk yang tidak akan terlalu banyak menimbulkan limbah – baik limbah organik maupun anorganik, baik yang berasal dari kemasan ataupun dari barang-barang konsumsi itu sendiri.
(2)
Menggunakan barang-barang kebutuhan rumahtangga secara lebih efisien, yakni tidak terlalu banyak meninggalkan sisa cair ataupun padat yang akhirnya terbuang sia-sia, antara lain limbah sayuran dan bebuahan, limbah buangan air cuci pakaian dan perlengkapan masak & makan, dan limbah kemasan.
(3)
Mulai memilah pembuangan limbah basah (bahan organik) dari limbah kering (bahan anorganik) dan khusus bagi limbah bahan anorganik yang terbuat dari gelas, plastik, dan kaleng perlu diupayakan agar dapat dimanfaatkan-ulang, baik untuk di-reuse ataupun di-recycle.
(4)
Setiap keluarga harus mengupayakan agar umur barang-barang rumahtangga yang awet dipertahankan cukup lama, sehingga tidak perlu sering mereparasi atau menggantinya dengan barang sejenis yang baru.
Sekitainya setiap orang anggota masyarakat secara sadar menerapkan Prinsip 6-R sebagaimana yang dibahas di muka, maka pengurangan volume buangan limbah domestik ke lingkungan adalah suatu keniscayaan. Disadari, bahwa sebagian dari ke-enam prinsip tersebut telah dilaksanakan oleh banyak pihak. Namun, nampaknya jauh lebih banyak pihak yang belum melaksanakannya, sehingga keniscayaan tersebut masih tinggal sebagai harapan. PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 17 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab IV MODEL PERTANIAN TERPADU Pertanian terpadu merupakan sistem yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan ilmu lain yang terkait dengan pertanian dalam satu lahan, sehingga diharapkan dapat sebagai salah satu solusi bagi peningkatan produktivitas lahan, program pembangunan dan konservasi lingkungan, serta pengembangan desa secara terpadu. Diharapkan kebutuhan jangka pendek, menengah, dan panjang petani berupa pangan, sandang dan papan akan tercukupi
MODEL PERTANIAN TERPADU dengan sistem pertanian ini. (Layout komplek disajikan pada Lampiran 1) Model pertanian terpadu akan lebih produktif melalui Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Integrated Nutrient Management (INM) atau Pengelolaan Hara Terpadu, Integrated Pest Management (IPM) atau Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), Inte-grated Soil Moisture Management (IMM) atau Pengelolan Air Terpadu (PAT), dan Integrated Livestock Management (ILM) atau Pengelolaan Ternak Terpadu. 4.1
PETERNAKAN SAPI
Sektor peternakan, di mana sumbangan protein hewani (daging, telur, dan susu) bagi kecerdasan anak bangsa merupakan program yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan adalah tingkat konsumsi protein hewani suatu bangsa. Kini posisi Indonesia di Asia, lebih baik dari Bangladesh pada posisi nomor dua dari bawah dengan tingkat konsumsi protein PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 18 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
hewani yang berasal dari ternak sekitar 4,7 gram/kapita/hari, masih di bawah norma gizi yang disarankan FAO 6 gram/kapita/hari. Artinya, ada korelasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan kesejahteraan bangsa di suatu negara. Jumlah penduduk di negeri ini sekitar 220 juta orang. Menurut Dirjen Binprod Peternakan ternyata setiap orang baru mampu mengonsumsi daging sapi sekitar 1,7 kg/orang/tahun, maka setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut telah dipotong sekitar 1,5 juta ekor sapi lokal untuk menghasilkan 350.000 ton daging sapi yang diproduksi di dalam negeri ditambah dengan mendatangkan sapi bakalan dari Australia tidak kurang dari 350.000 ekor dan impor daging sapi sekitar 30.000 ton. Jika saja terjadi peningkatan populasi penduduk 2% per tahun dan peningkatan populasi sapi di dalam negeri sekitar 14% per tahun dengan kemampuan konsumsi daging (sapi) masyarakat hanya naik 1 gram/kapita/hari, di mana kondisi ini pun masih di bawah norma gizi. Maka dibutuhkan daging sekitar 1.265,8 ton/hari identik dengan 10.548 ekor sapi yang harus dipotong per hari atau 3,85 juta ekor per tahun. Jika saja 50% penduduk Indonesia tidak mampu membeli daging sapi artinya sekitar 100 juta orang masih memerlukan dan mampu membeli daging (Rohadi Thawaf, UNPAD). Data ini menunjukkan kepada kita betapa negeri tercinta ini merupakan pasar yang sangat potensial, perlu dibina dan dikembangkan untuk meningkatkan produksi ternak di dalam negeri. Bukan sebaliknya malahan merupakan pasar yang dimanfaatkan oleh orang lain dan bahkan terjadi pengurasan populasi ternak di dalam negeri. Lihat saja, bagaimana Amerika Serikat, Cina, India, Thailand, Australia, New Zealand dan beberapa negara lainnya memanfaatkan negeri ini sebagai target pasar produk peternakan karena jumlah penduduk kita yang besar. Agar peternak di dalam negeri dapat menikmati potensi pasar dalam negeri yang besar maka harus terobosan dengan keberanian untuk menggeser suplai sapi lokal ke arah pemenuhan kebutuhan yang selama ini diisi oleh daging dan sapi impor, tanpa kebijakan pemerintah yang tegas potensi dalam negeri ini tidak pernah bisa dinikmati peternak kita. Berbagai upaya untuk menuju ke arah ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas sapi lokal antara lain sebagai berikut:
Peningkatan efisiensi sistem pemotongan melalui standardisasi. Ketidakseragaman inilah merupakan faktor penyebab persaingan yang tidak sehat dalam bisnis daging di tingkat pengecer, sehingga yang diuntungkan adalah konsumen bukannya produsen;
Intensifikasi sapi lokal dengan program IB (inseminasi buatan) untuk memperpendek siklus waktu beranak;
Pembinaan kelompok tani/ternak secara teratur guna peningkatan keterampilan SDM, introduksi teknologi pakan guna peningkatan produksi dan efisiensi harga
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 19 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
pakan, perbaikan tatalaksana dapat mempersingkat pemeliharaan dan mempercepat waktu jual. Kondisi tersebut akan berubah bila bioteknologi diintroduksi sehingga akan terjadi pergeseran fungsi produksi. Artinya suplai akan bertambah diikuti dengan harga yang lebih murah. Pada kondisi inilah terjadi keunggulan kompetitif antara produk sapi lokal dengan impor. Artinya, peternak di dalam negeri pun akan menikmati surplus ekonomi yang lebih baik ketimbang bila dilakukan impor sapi bakalan. Hal ini akan berakibat pula pada kegairahan usaha ternak sapi potong lokal yang mampu bersaing di era global. Sasaran program pemerintah terhadap kecukupan daging sapi, dengan asumsi peningkatan kelahiran dari 18,1% menjadi 20,99% (Dirjen Binprod Peternakan), rasanya sangat mungkin akan dapat dicapai kalau Roadmap pemerintah menuju swasembada daging. Banyak kendala yang banyak dialami oleh para peternak sapi lokal, di antaranya adalah rendahnya tingkat pertambahan bobot badan, tingkat pertumbuhan sapi, dan panjangnya jarak beranak sapi. Ketiga faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh efisiensi konversi pakan untuk tumbuh dan berkembang biak. Kendala tersebut sekarang dapat diatasi dengan menerapkan Biosuplemen Probiotik dan Nutrimars Ikan & Ternak (sebagai prebiotik) ke dalam pakan konsentrat dan air minum. Probiotik adalah mikroba hidup dalam media pembawa yang menguntungkan ternak karena menciptakan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan sehingga menciptakan kondisi yang optimum untuk pencernaan pakan dan meningkatkan efisiensi konversi pakan sehingga memudahkan dalam proses penyerapan zat nutrisi ternak, meningkatkan kesehatan ternak, mempercepat pertumbuhan, memperpendek jarak beranak, menurunkan kematian pedet, dan memproteksi dari penyakit patogen tertentu sehingga dapat meningkatkan produksi susu atau daging. Hasil kajian yang telah dilakukan pada ternak mampu menaikkan produksi daging 20 % dan produksi susu 15-20 %, sehingga menekan biaya produksi. Pengujian terhadap sapi potong di Jawa Barat dan Jawa Timur memberikan pertambahan kenaikan produksi daging mencapai 0,43 kg per ekor per hari pada sapi Brahman Cross. Sedangkan pada sapi perah memberikan kenaikan produksi susu mencapai 15 % dari produksi normal per ekor per hari pada sapi Holstein. (Laporan Penelitian MAI, 2008) Pengujian Nutrimars Ikan & Ternak terhadap sapi potong di Jawa Barat memberikan kenaikan calving rate 50 % yaitu dari rata-rata 1,5 menjadi 1 per ekor per tahun atau dari rata-rata 2 ekor anakan dalam 3 tahun menjadi 3 ekor anakan dalam 3 tahun pada sapi jenis Peranakan Ongole. Untuk memanfaatkan jerami dari hasil panen padi 2 kali setahun dan panen jagung sekali setahun maka limbah pertanian tersebut bisa untuk menggemukkan sapi sebanyak 6 ekor dengan masa pemeliharaanya selama 3 bulan. PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 20 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Keuntungan lain dari ternak sapi adalah tiap bulan dihasilkan kompos sebanyak 6 x 10 kg x 30 = 1,8 ton/bln atau 21 ton kompos per tahun mencukupi untuk budidaya padi sistem SRI untuk lahan seluas 1 ha dengan 3 kali pemupukan masing-masing 7 ton kompos. 4.2
KOTORAN TERNAK SEBAGAI PUPUK DAN SUMBER ENERGI
4.2.1 Pupuk Organik Dari Kotoran Sapi Kotoran sapi merupakan limbah ternak yang dapat diproses menjadi pupuk kandang. Bahan organik dalam kotoran sapi dapat didekomposisi oleh bakteri indigen menjadi senyawa anorganik yang dapat diserap langsung oleh tanaman. Pembuatan pupuk kandang matang dapat dilakukan dengan cara dekomposisi anaerob dan aerob dari kotoran sapi. Kedua proses dekomposisi tersebut menghasilkan pupuk yang berbeda kualitasnya. Pupuk kandang yang terdekomposisi anaerob lebih cepat matang daripada pupuk kandang hasil dekomposisi aerob, terlihat dari penurunan rasio C/N. Setelah terdekomposisi anaerob selama 10 minggu, kotoran sapi sudah menjadi pupuk kandang matang dengan rasio C/N sebesar 19,73, sedangkan pupuk kandang hasil dekomposisi aerob mempunyai rasio C/N = 25,79. Keuntungan dari proseses dekomposisi anaerob diperoleh hasil samping berupa gas methan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari juga kompos yang dihasilkan sebanyak 21 ton/tahun. 4.2.2 Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi Permasalahan kebutuhan energi perdesaan dapat diatasi dengan menggunakan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, murah, dan mudah diperoleh dari lingkungan sekitar dan bersifat dapat diperbaharui. Salah satu energi ramah lingkungan adalah gas bio yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik akibat aktivitas bakteri anaerob pada lingkungan tanpa oksigen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan (60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah lebih kecil. Secara prinsip pembuatan gas bio sangat sederhana, yaitu memasukkan substrat (kotoran sapi) ke dalam unit pencerna (digester) yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya untuk kompor gas. Sapi perah merupakan hewan yang umum dipelihara sebagai salah satu sumber mata pencaharian di perdesaan. Potensi kotoran sapi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan gas bio cukup besar, namun belum banyak dimanfaatkan. Bahkan
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 21 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
selama ini telah menimbulkan masalah pencemaran dan kesehatan lingkungan. Umumnya para peternak membuang kotoran sapi tersebut ke sungai. Penggunaan biodigester dapat membantu pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran hewan untuk memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping berupa pupuk organik dengan mutu yang baik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas metan (CH 4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari sektor pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan terdekomposisi secara terbuka melainkan difermentasi menjadi energi gas bio. Penduduk perdesaan hanya memiliki beberapa ekor sapi (3-5 ekor), sehingga diperlukan tipe digester alternatif yang lebih sederhana dan mudah pengoperasiannya. Biaya untuk membangun 1 unit biogas berkisar Rp 2 juta. Potensi Gas yang dihasilkan setara dengan 2-3 liter minyak tanah per hari. 4.3
BUDIDAYA PADI POLA SRI (SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION)
Pola tanam padi system SRI adalah pola budidaya baru dalam dunia pertanian. Pertama tama diperkenalkan oleh seorang Missionaris bernama Henri de Laulanie di Madagaskar. Pola tanam ini sama sekali baru dengan 4 ciri khas: Lahan sawah cukup lembab tapi tidak tergenang. Menghilangkan penggenangan air dan melakukan penyiangan yang intensif, dimaksudkan untuk memperbaiki pengoksigenan akar. Pengambilan oksigen dilakukan oleh akar untuk produksi energi dalam sel mitochondria dengan tahap-tahap metabolisme: katabolisme (memecah substrat, melepaskan energi ikatan), anabolisme (rebalancing pecahan, terutama H+), sintesa ATP (akumulasi energi yang dilepas). Pasok oksigen harus banyak untuk memacu proses dan pertumbuhan, sehingga akar menjadi lebih kuat, membangun jaringan multiskala, dan mengaktifkan asimilasi nutrisi. Kekurangan oksigen (asphyxia) untuk tanah menimbulkan peracunan dan gangguan siklus nitrogen, untuk tanaman menghambat pelepasan energi, menyebabkan produksi asam tinggi, dan H+ tidak direbalance, sehingga terjadi destruksi sel, akar jadi keropos karena membentuk aerenchyma, dan pertumbuhan struktur akar tidak lengkap, menghambat asimilasi karena menolak ion (+) nutrisi. Bibit padi dipindahkan ketika umur 7 hari dan ditanam satu per satu. Bila bibit terlambat ditanam (lebih dari 15 hari) maka anakan akan berkurang karena tunas awalnya terpotong sebelum ditanam, tertanam terlalu dalam, atau tergenang air. Padi ditanam jarang-jarang tapi akhirnya merapat karena anaknya sangat banyak bisa sampai 80 anak. PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 22 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Multistruktur ruang dalam tanah direkayasa menjadi pabrik nutrisi bagi tanaman. Dengan ditanam tunggal dan jarang tanaman menjadi tidak berebut cahaya dan ruang, karena ternyata tanaman tidak mengambil langsung nutrisi dari matriks tanah melainkan dari dapurnya masing-masing (konsep bioreaktor). Perbaikan struktur tanah (multiskala) terjadi melalui pemeliharaan siklus biomassa dengan menggunakan kompos, dan perbaikan siklus nutrisi melalui pengelolaan keanekaragaman organisme dalam tanah (multikomponen) dengan menggunakan mikroorganisme lokal. Ditunjang dengan cara penanaman padi yang seksama untuk menumbuhkan sistem perakaran yang maksimal, penggunaan kompos serta mikroorganisme lokal meningkatkan jumlah dan keanekaragaman organisme tanah membentuk tanah sebagai bioreaktor yang menjamin penyediaan nutrisi bagi tanaman secara berkesepadanan (prinsip production on demand). Revitalisasi biota tanah terjadi dengan meningkatnya aktivitas mikrobiologi tanah yang sangat berlebih dan beranekaragam, ditunjang oleh eksudasi dari sistem perakaran yang kompleks. Biological nitrogen fixation juga terjadi di akar dan ruang akar (rhizospere) dalam campuran tanah aerob dan anaerob, pelarutan unsur-unsur tanah naik karena pengaturan pembasahan dan pengeringan tanah secara berulang, simbiose dengan jamur mycorrhiza menaikkan akses nutrisi ke akar, rhizobia dalam ruang akar menaikkan kadar dan yield protein lewat katalitik biologis (auksin) bukan lewat biological nitrogen fixation saja, protozoa memangsa bakteri dan membiarkan eksudat N di atas akar karena hanya memerlukan rasio C/N lebih kecil dari bakteri. Eksudasi akar berlebih menaikkan rhizodeposition. Penggunaan kompos dalam cara SRI meningkatkan populasi mikroorganisme (Azospirillum, Azotobacter, Phosphobacteria, dll) dalam rhizosphere secara berlipat ganda dibandingkan dengan cara konvensional. Cara SRI tidak secara khusus memerlukan pemupukan tertentu. Cara SRI meningkatkan produktivitasnya pada berbagai tingkat kesuburan tanah, sebagaimana juga SRI meningkatkan produksi untuk berbagai jenis padi apapun. Teori tentang kesuburan tanah pada umumnya masih tetap berlaku. Namun keseksamaan cara SRI, khususnya pada skala yang lebih kecil, akan mampu mengidentifikasi keterkaitan yang paling erat dari siklus nutrisi yang terlibat. Tanah tidak dapat dilihat hanya sekedar media tanam saja sebagai satu skala, namun pada struktur multiskala dimana setiap skala yang ada mampu berfungsi produktif (sebagai reaktor), yaitu PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 23 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
mampu mengubah pasokan air, mineral, udara, dan bahan organik menjadi nutrisi bagi tanaman secara spesifik, dengan pekerja utamanya adalah mikroorganisme dan biota tanah lainnya (sebagai bioreaktor). Inilah peluang pergeseran fungsi produksi dari skala besar ke skala yang lebih kecil yang merupakan prinsip intensifikasi proses. Dalam hal ini cara SRI bukan saja mampu menunjukkan dirinya sebagai metoda namun juga menunjukkan adanya struktur fisik pada skala yang lebih kecil yang mampu berproduksi pada tingkat yang lebih efisien dan efektif. Kalau bakteri sudah melekat di dinding akar dan memproduksi nutrisi yang diperlukan tanaman maka tidak ada prioritas bagi mikroba itu untuk menaikkan terlebih dahulu konsentrasi nutrisi dalam media tanah. Dengan terbentuknya bioreaktor multiskala yang memfasilitasi keanekaragaman biota tanah yang berkesesuaian ini memungkinkan terjadinya produksi nutrisi multikomponen sesuai dengan kebutuhan tanaman yang berkaitan (production on demand). Peningkatan produksi tentunya memerlukan peningkatan pasokan nutrisi, sehingga perlu mengambil dari tanah yang merupakan media di sekelilingnya. Pada keadaan stabil tanpa pemupukan ternyata tanaman tetap berproduksi pada tingkat yang lebih tinggi dari pada sebelumnya karena tanaman sudah memiliki vitalitas, kekuatan, dan keterkaitan ekosistem yang lebih tinggi dari pada sebelumnya dengan bioreaktor yang memfasilitasinya. Paling tidak ada tiga faktor dimana tanaman dapat mengambil nutrisi dengan lebih baik bahkan dari pasokan yang lebih kecil sekalipun, yaitu sistem perakaran yang makin berkembang, asimilasi aktif yang dapat berfungsi sebagai pompa enzimatik, dan absorpsi pasif sebagaimana biasanya dengan gradient elektrokimia. Pada semiloka SRI yang diikuti oleh 19 kelompok tani dari beberapa kecamatan di Kab. Ciamis, terungkap bahwa dengan pola SRI, rata-rata telah menghasilkan gabah kering untuk setiap panen 10 hingga 12 ton/ha. Padahal sebelumnya dengan menggunakan pupuk kimia, produksi hanya 4,5 ton/ha. Petani dengan sendirinya mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Bila biaya produksi Rp 5 juta/ha dan panen 12 ton dengan harga gabah Rp 2.470 maka keutungan bisa mencapai Rp 24,64 juta/ha apalagi kalau berasnya berlabel padi organik dengan harga gabah Rp 3.000 maka keuntungan petani bisa mencapai Rp 31 juta/ha yang sangat jauh bila dibandingkan pertanian tradisional. Pola tanam padi model SRI adalah cara bertanam padi kembali ke alam. Sistem yang baru ini, petani tidak lagi tergantung ke pupuk kimia, karena seratus persen akan menggunakan pupuk alami (organik) secara bertahap untuk menghindari penurunan produktivitas pada tahap awal, lalu hemat benih, ramah lingkungan dan harga gabahnya dibeli lebih tinggi.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 24 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Jika sebelumnya benih dibutuhkan 30 kg/ha, dengan pola SRI cukup 7 kg/ha. Setelah itu, ditanam di sawah dengan biji tunggal (satu biji benih) saat usia benih tujuh hari dengan jarak 30 cm x 30 cm. Tidak banyak diberi air, lalu penyiangan dilakukan empat kali, pemberian pupuk alami hingga enam kali, pengendalian hama terpadu, dan masa panen saat usia 100 hari atau lebih cepat 15 hari dengan pola biasa. Menurut Kepala Dinas Pertanian Ciamis, Ir. Lukman, saat ini sudah 73 ha lahan yang memakai pola SRI. Rata-rata setiap panen mencapai 10 ton/ha dengan pola biasa hasil panen rata-rata hanya 4.5 ton/ha. Sungguh kenaikan yang cukup signifikan terjadi lonjakan produksi padi dengan pola SRI hingga 100%. Ini artinya, ada peluang besar dalam meningkatkan produksi pertanian padi dan juga ramah lingkungan. Secara keseluruhan SRI memberikan hasil lebih baik, dalam arti lebih produktif (tanaman lebih tinggi, anakan lebih banyak, malai lebih panjang, dan bulir lebih berat), lebih sehat (tanaman lebih tahan hama dan penyakit), lebih kuat (tanaman lebih tegar, lebih tahan kekeringan, dan tekanan abiotik), lebih menguntungkan (biaya produksi lebih rendah), dan memberikan risiko ekonomi yang lebih rendah. 4.4
PADI-ITIK
4.4.1 Pertanian Terpadu Padi Dan Itik Bukan Hanya Teknik Penyiangan Melepaskan unggas air ke sawah padi merupakan pekerjaan yang sangat sederhana. Akan tetapi keberhasilan kegiatan ini sangat bervariasi tergantung kepada orang, negara dan waktu. Yang sangat menarik, masih banyak orang yang beranggapan bahwa itik hanya digunakan untuk penyiangan saja. Menurut teknik pertanian terpadu padi dan itik ini, sawah padi ditutup dengan pagar jaring dan sebagainya, bertujuan untuk menciptakan lingkungan dimana itik Aigamo dan padi dapat menjalin simbiose yang saling menguntungkan. Pertanian padi dan itik telah terpadu dalam sawah padi secara organis. Itik (1) (2) (3) (4)
mempunyai 6 manfaat untuk budidaya padi: Manfaat untuk penyiangan; Manfaat pengendalian hama penyakit; Manfaat pemupukan; Manfaat pembajakan dan penggemburan tanah sepanjang waktu; (5) Manfaat mengendalikan keong emas; (6) Manfaat stimulasi pertumbuhan padi.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 25 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Di sisi lain sawah padi mempunyai manfaat untuk pemeliharaan itik seperti berikut: (1) Penggunaan sumber alami sebagai makanan seperti gulma, serangga, tanaman air; (2) Penggunaan ruang yang tersisa di sawah padi sebagai habitat itik; (3) Penggunaan air yang berlimpah; (4) Sebagai tempat itik bersembunyi dibawah daun padi. Sistem ini dpat bertambah variasi dan kreasinya dengan adanya penambahan ikan (mina-padi) dan azolla (peningkatan-nitrogen). 4.4.2 Gulma, Keong Mas, Dan Serangga Ada Untuk Tanaman Padi Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tidak mempunyai manfaatnya. Semua akan berjalan sesuai dengan aturan yang telah diciptakan dalam ekosistem di planet bumi ini. Memang benar di sawah padi terdapatnya gulma dan hama penyakit. Akan tetapi, dalam pertanian modern, pendapat manusia tentang bercocok tanam padi telah didengungkan secara berlebihan bahwa gulma dan hama penyakit dijustifikasi hanya sebagai makhluk hidup yang selalu berbahaya dan mengganggu yang harus diberantas. Banyak orang telah mengendalikan dan memberantasnya dengan herbisida dan pestisida. Akan tetapi situasi akan berubah sama sekali apabila itik dilepas di sawah padi. Opini yang telah dibangun tersebut di atas segera terbukti sebaliknya. Menarik sekali serangga dan gulma yang kita anggap sebagai “makhluk jelek” menjadi makanan yang sangat berguna untuk itik, dan dapat diubah menjadi daging, sedangkan kotoran itik menjadi pupuk tanaman padi, dan diubah menjadi beras. Akhirnya terhidanglah makanan berupa daging dan nasi yang menjadi santapan lezat kita. Empat atau lima minggu setelah melepas itik ke sawah padi, jumlah gulma dan serangga menurun secara tajam sebagai hasil dari “efek itik”. Ini adalah dampak alami yang ditimbulkannya dan yang kita inginkan. Akan tetapi keadaan ini juga bisa menimbulkan penurunan persediaan alami makanan itik di sawah padi. Maka dari itu penggunaan azolla sebagai “tanaman pakan” di sawah padi untuk makanan itik sangat tepat. Dengan kata lain, kita dapat aktif menumbuhkan gulma di sawah padi. Kita dapat menyebutnya sebagai suatu pelurusan pemikiran yang terbalik. 4.4.3 Perbandingan Dengan Pertanian Padi Modern Pertanian terpadu padi dan itik sama sekali bukan teknik pertanian baru. Teknik ini merupakan penemuan kembali dan pembangunan kembali teknik lama. Akan menjadi jelas ketika kita membandingkannya dengan pertanian modern. Pertanian padi modern menggunakan metoda tunggal untuk menangani masalah, yaitu dengan mengaplikasikan herbisida untuk memberantas gulma, dan menggunakan pestisida dan bahan kimia lain untuk memberantas hama dan penyakit tumbuhan, dan menggunakan pupuk kimia untuk menyediakan unsur hara tanah. Cara ini meru-
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 26 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
pakan pendekatan “plester penutup luka”, mengobati satu demi satu gejala yang tampak. Akan tetapi itik dapat melakukan sendiri semua peran tersebut. Hal ini merupakan kunci menuju teknik yang sempurna, “Itik satu - berkat berlimpah”. 4.4.4 Itik Sebagai Binatang Pekerja Yang Bahagia Pertanian model lama, begitu mudahnya menggunakan pestida, herbisida, dan pupuk kimia, tetapi mereka perlu input dari luar lainnya yaitu perlu tenaga untuk menyemprotkannya pada hamparan sawah padi, dan kalau menggunakan mesin spray, diperlukan orang lagi untuk menjalankan mesin tersebut. Akan tetapi, pada pertanian terpadu padi dan itik, itik di sawah padi dapat melakukan semua aktifitas baik penyiangan gulma, pembasmian hama, maupun pemupukan. Tidak diperlukan manajemen yang sulit atau input tenaga tambahan yang banyak. Maka dari itu itik disebut “tenaga kerja binatang”. Tenaga kerja itik sama sekali berbeda dengan tenaga kerja binatang lain seperti kuda untuk menarik muatan barang yang berat atau sapi yang digunakan untuk membajak sawah. Kuda dan sapi dipekerjakan di lapangan mengeluarkan energi banyak, sedangkan itik melaksanakan kerjanya sambil makan, bermain, buang kotoran dan tidur, kegiatan yang menyenangkan. Sebagai hasil itik dan padi tumbuh secara alami. Sebenarnya itik tersebut tidak bekerja dengan perintah tertentu, tetapi itik dapat bergerak bebas dan senang. Kita dapat mengatakan disini bahwa itik merupakan “binatang pekerja yang bahagia” Itik dapat bermain dan bergerak lebih bebas di sawah padi, dibanding broiler yang berada dalam kandang ayam yang padat dan sedikit angin. 4.4.5 Potensi Ketahanan Siklus Ekosistem Dalam rangka mengurangi timbulnya gulma, hama, dan penyakit, pada pertanian organik tradisional, dalam penanaman sayur-sayuran, biasa dilakukan pergantian komoditi tanaman, pergantian lahan, dan tumpangsari tanaman dengan menggunakan berbagai varietas sayur-sayuran. Akan tetapi pada pertanian padi modern, hanya difokuskan pada produksi jangka pendek dengan menggunakan sedikit pekerja. Pada kasus pertanian padi organik, juga hanya satu jenis komoditi yang ditanam. Dengan melepas itik dalam satu tanaman monokultur padi saja, kita dapat meningkatkan keanekaragaman tumbuhan sambil mengendalikan pertumbuhan (seperti diversifikasi) gulma dan hama penyakit. Kita dapat membuat ekosistem yang baru dan beranekaragam di mana padi, itik dan tanaman air tumbuh bersama. Ini yang diinginkan dalam pertanian terpadu padi dan itik. Yang menarik dalam pertanian terpadu padi itik adalah bagaimana meningkatan keaneragaman secara kreatif yang dapat me-ningkatkan produktivitas. PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 27 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Gulma, keong mas, dan serangga dimakan oleh itik, sedangkan itik memberikan dampak peningkatan pertumbuhan tanaman padi. Pertanian terpadu padi dan itik lebih kekal dan mempunyai siklus lebih baik dari pada metoda lain. Pertanian terpadu padi, itik dan azolla merupakan jalan kreatif untuk menciptakan siklus ekosistem produktif yang kekal. Teknik umum pertanian padi dan itik yang adalah sebagai berikut: (1)
Sawah padi ditutup dengan pagar bambu, jaring, dan bahan-bahan lainnya. Penutupan sawah ini bertujuan untuk menjaga itik dari terkaman predator (pemangsa itik) dan mencegah itik lepas keluar sawah.
(2)
Satu sampai dua minggu setelah penanaman bibit padi, anak itik yang berumur 1-2 minggu dilepas di sawah dengan jumlah yang proporsional yaitu 20-30 ekor per 10 are (1.000 m2).
(3)
Anak itik dipelihara dengan cara melepaskannya di sawah baik siang maupun malam sampai dengan saatnya bulir padi terbentuk. Pada umumnya itik hanya dilepas di sawah pada siang hari saja kemudian digiring masuk kandang pada sore hari dengan alasan untuk mencegah itik tersebut dicuri orang. Anak itik akan berenang keseluruh penjuru sawah padi, dengan rakus memakan rumput liar (gulma), serangga, katak, berudu dan lumpur di sawah padi. Anak itik ini akan tumbuh dengan cepat. Tanaman padinya akan terbajak dengan baik, keluar cabang dengan baik, dan tumbuh dengan pesat.
4.5
BUDIDAYA KELINCI
Ternak kelinci merupakan ternak alternatif yang mempunyai potensi cukup tinggi sebagai penghasil daging dan kulit serta mempunyai beberapa keistimewaan ditinjau dari potensi reproduksi dan produksinya. Kelinci dapat memanfaatkan limbah pertanian yang efisien, dan pupuk yang dihasilkan serta urinenya dapat memberikan nilai tambah bagi penghasilan keluarga, demikian juga daging yang dihasilkan merupakan daging sehat yang rendah kolesterol, berserat halus dan rasanya hampir sama dengan daging ayam. Aspek lain yang menarik dari kelinci dengan berbagai potensinya yaitu dikenal dengan istilah 4 F + L, yaitu Food (daging), Fur (kulit bulu), Fancy (Kelinci Hias), Fertilizer (pupuk) dan Laboratory animal ( hewan laboratorium). Potensi tersebut dapat diperlihatkan dari kemampuan produksi yang tinggi, mampu memanfaatkan hijauan dan produk limbah secara efisien, prolifik, dagingnya mengandung protein yang tinggi (20,8 %) dengan kadar lemak rendah (10,2 %) dan kolesterol yang rendah (1,39 mg/100
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 28 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
gram daging) sehingga sangat baik untuk di konsumsi bagi masyarakat yang mempunyai masalah dengan kesehatan. Di Amerika dikenal adanya industri peternakan kelinci dengan istilah Rabbittry, yang menghasilkan 23 - 27 ribu ton daging per tahun, demikian pula di Perancis dan Spanyol menghasilkan daging 11 ribu ton per tahun. Ada beberapa jenis kelinci yang diternakan khusus sebagai penghasil daging (Carolina, Simonoire, Giant Chinchila), kulit bulu (Rex, Satin), kulit bulu dan daging (New Zealand White, Flemish Giant, Californian, English Spot), wol (Angora), fancy (Lop Dwarf, Dutch,Netherland Dwarf). Kulit Rex yang dihasilkan oleh Balitnak mendapat tanggapan positif dari pengusaha dan pengrajin kulit dengan jumlah permintaan 1.000 lembar, dan dinyatakan pula bahwa pemasaran kulit bulu tidak mempunyai masalah (Raharjo, 2003), untuk pasar Hongkong, nilai jual kulit bulu kelinci Rex yang bermutu prima US$ 11.00 per lembar mentah (Pelt) atau untuk luas kulit 42 x 36 cm2 nilainya bisa mencapai US$ 14.00 (Sino Leather, 2001). Pasar utama kulit bulu mentah adalah Hongkong, Cina, Taiwan dan Korea, sedangkan pasar produk akhirnya adalah Jepang, Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Sedangkan pasar utama daging kelinci adalah Italia, Perancis dan Spanyol, dan sebagai pemasok utama adalah Cina, dan pada tahun 1992 pasar Eropa mengalami defisit daging kelinci sebesar 12 ribu ton. Untuk permintaan pasar lokal kelinci di lingkar Kebun Raya Bogor per minggu mencapai 2.000 ekor yang 70% disuplay dari Sukabumi dan Bandung. Kelinci tersebut dijadikan sebagai oleh-oleh para pengunjung Kebun Raya Bogor yang setiap minggunya mencapai 25.000 orang. Permintaan urine kelinci sebagai bahan baku Pupuk Organik Cair (POC) pun sangat tinggi, salah satu produser POC di daerah Sukabumi membutuhkan setidaknya 5.000 liter urine kelinci per bulan dengan harga Rp 1.500 per liter. Melihat berbagai potensi yang dimiliki ternak kelinci serta perkembangan pemasaran yang semakin terbuka, maka saat yang baik untuk dapat mengembangkan ternak kelici di Indonesia, mengingat negara kita adalah agraris, peternakan kelinci tidak membutuhkan lahan yang luas, pemeliharaan yang relatif mudah. 4.6
BUDIDAYA LEBAH
Di Indonesia sentra perlebahan masih ada di sekitar Jawa meliputi daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dengan jumlah produksi sekitar 2.000– 2.500 ton per tahun untuk lebah budidaya. Kali-mantan, Sumatera, dan Sumbawa meru-pakan sentra untuk madu dari perburuan lebah di hutan (madu alam). Sedang untuk sentra perlebahan dunia ada di CIS (Negara Pecahan Soviet), Jerman, Australia, Jepang dan Italia. Madu merupakan sumber komoditi yang banyak diperlukan bagi industri farmasi, kosmetik, dan makanan, di samping konsumsi sehari-hari. Madu menurut hasil riset diketahui mengandung 24 macam zat gula, di samping mengandung zat ferment, vitamin mineral, asam, asam-asam amino, hormon, zat bakterisidal dan bahan-bahan PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 29 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
aromatik. Demikian juga telah berhasil diketahui komposisi propolis, royal jelly, pollen bee dan sebagainya (Mashudi dkk, Lebah Madu, Madu Lebah di Indonesia tahun 2000. Pusat Apiari Pramuka). Madu diyakini secara rasional merupakan sumber daya energi bagi tubuh (100 gr madu = 328 kalori). Konsumsi madu di negara industri dan super industri, seperti Jerman, Jepang, Perancis, Inggris dan lain-lain rata-rata mencapai jumlah 1.000 - 1.600 gr/kapita/tahun. Di negara-negara berkembang konsumsi madu diperkirakan sekitar 70 gr/kapita/tahun. Karenanya perkembangan berbagai produk industri makanan, terutama yang berguna untuk menjaga kesehatan, semakin meluas dan meningkat. Menurut asal-usulnya lebah dibagi 4 jenis berdasar penyebarannya: (1) Apis cerana, diduga berasal dari daratan Asia menyebar sampai Afghanistan, Cina maupun Jepang. (2) Apis mellifera, banyak dijumpai di daratan Eropa, misalnya Prancis, Yunani dan Italia serta di daerah sekitar Mediterania (3) Apis Dorsata, memiliki ukuran tubuh paling besar dengan daerah penyebaran sub tropis dan tropis Asia seperti Indonesia, Philipina dan sekitarnya. Penyebarannya di Indonesia merata mulai dari Sumatera sampai Irian (4) Apis Florea merupakan spesies terkecil tersebar mulai dari Timur Tengah, India sampai Indonesia. Di Indonesia orang menyebutnya dengan tawon klanceng Manfaat yang dapat diperoleh dari lebah: (1) Madu sebagai produk utama berasal dari nektar bunga merupakan makanan yang sangat berguna bagi pemeliharaan kesehatan, kosmetika dan farmasi. (2) Royal jelly dimanfaatkan untuk stamina dan penyembuhan penyakit, sebagai bahan campuran kosmetika, bahan campuran obat-obatan (3) Pollen (tepung sari) dimanfaatkan untuk campuran bahan obat-obatan/kepentingan farmasi. (4) Lilin lebah (malam) dimanfaatkan untuk industri farmasi dan kosmetika sebagai pelengkap bahan campuran. (5) Propolis (perekat lebah) untuk penyembuhan luka, penyakit kulit dan membunuh virus influensa. (6) Keuntungan lain dari beternak lebah madu adalah membantu dalam proses penyerbukan bunga tanaman sehingga didapat hasil yang lebih maksimal 4.7
BUDIDAYA JAMUR MERANG
Indonesia termasuk salah satu negara yang dikenal sebagai gudang jamur terkemuka di dunia. Jamur-jamur yang telah dibudidayakan dan telah populer atau memasyarakat sebagai makanan dan sayuran serta banyak diperdagangkan di pasar adalah jamur merang (Volvariella volvacea), jamur champignon (Agaricus PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 30 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
bitorquis), jamur kayu seperti jamur kuping (Auricularia, Sp.), Jamur Shiitake/payung (Lentinus edodes) dan jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Jamur mengubah selulosa menjadi polisakarida yang bebas kolestrerol sehingga orang yang mengkonsumsinya terhindar dari resiko terkena serangan stroke. Jamur merang merupakan jenis jamur yang pertama kali dapat dibudidayakan secara komersial. Di Cina jamur merang mulai dibudidayakan sejak pertengahan abad 17, dan di Indonesia tanaman ini diperkirakan mulai dibudidayakan sekitar tahun 1950. Budidaya jamur merang dapat dikelola sebagai usaha sampingan ataupun ekonomis, skala kecil, menengah, dan besar (industri). Seiring dengan popularitas dan memasyarakatnya jamur merang sebagai bahan makanan lezat dan bergizi, maka permintaan konsumen dan pasar jamur merang di berbagai daerah meningkat. Kebutuhan konsumsi jamur merang meningkat sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Rata-rata konsumsi jamur per kapita penduduk Eropa melebihi 1,5 kg/kapita/tahun, sedangkan penduduk Inggris 1,0 kg/kapita/tahun dan Amerika Serikat 0,5 kg/kapita/tahun. Budidaya jamur merang memanfaatkan limbah jerami padi yang dikomposkan terlebih dahulu. Panen pertama dapat dilakukan 15 hari setelah penanaman bibit, dan seterusnya dapat dipanen setiap hari sampai habis (± 2-3 bulan). Limbah dari budidaya jamur merang ini dapat dipakai langsung sebagai bahan organik untuk tanaman sayur. 4.8
BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK
Produk sayur-sayuran Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan ekspor, namun di negara pengimpor (misalnya Singa-pura) hasil komoditi sayuran Indonesia dinilai masih berkelas tiga dibawah Australia (yang sampai saat ini masih dianggap no. 1), dan China, Taiwan dan Malaysia (kelas 2). Hal ini disebabkan karena sayursayuran dari Indonesia masih belum dapat memberikan jaminan kesinambungan atas mutu produknya, jumlah pasokan minimumnya, dan ketepatan waktu penyampaiannya. Bahkan sejauh ini guna memenuhi permintaan terhadap sayur-sayuran yang bermutu dan bernilai teru-tama untuk penyajian makanan yang sesuai dengan selera konsumen luar negeri di banyak hotel berbintang di Indonesia, Indonesia juga masih harus didatangkan dari luar negeri untuk beberapa jenis tertentu. PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 31 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Permintaan dari dalam negeri terhadap sayur-sayuran bernilai tinggi pada umumnya sebagian besar datang dari hotel-hotel berbintang, pasar-pasar swalayan, cafe dan restoran, serta perusahaan catering yang melayani penerbangan-penerbangan internasional. Ada juga yang datang dari pasar-pasar tradisional tetapi besarnya permintaan di pasar ini relatif kecil bilamana dibandingkan dengan pasar-pasar yang disebut sebelumnya. Jenis sayuran yang ditanam terdiri atas 2 macam, yaitu sayuran berumur pendek (fast growing) seperti bayam, kangkung, baby kol, baby phakcoy, dan berumur sedang seperti tomat, cabai, terung, kacang panjang, buncis, asparagus. Limbah sayuran ini dapat digunakan sebagai pakan hijauan. 4.9
ECENG GONDOK SEBAGAI BIO-FILTER Orang lebih banyak mengenal eceng gondok (Eichornia crassipes) ini sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) diperairan karena pertumbuhannya yang sangat cepat. Awalnya didatangkan keIndonesia pada tahun 1894 dari Brazil untuk koleksi Kebun Raya Bogor. Ternyata dengan cepat menyebar ke beberapa perairan di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, tanaman keluarga Pontederiaceae ini justru mendatangkan manfaat lain, yaitu sebagai biofilter cemaran logam berat, sebagai bahan kerajinan, dan campuran pakan ternak.
Eceng gondok dapat hidup mengapung bebas di atas permukaan air dan berakar di dasar kolam atau rawa jika airnya dangkal. Kemampuan tanaman inilah yang banyak di gunakan untuk mengolah air buangan, karena dengan aktivitas tanaman ini mampu mengolah air buangan domestic dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Eceng gondok dapat menurunkan kadar BOD, partikel suspensi secara biokimiawi (berlangsung agak lambat) dan mampu menyerap logam-logam berat seperti Cr, Pb, Hg, Cd, Cu, Fe, Mn, Zn dengan baik, kemampuan menyerap logam persatuan berat kering eceng gondok lebih tinggi pada umur muda dari pada umur tua (Widianto dan Suselo, 1977). Sel-sel akar tanaman umumnya mengandung ion dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada medium sekitarnya yang biasanya bermuatan negatif. Penyerapan ini melibatkan energi, sebagai konsekuensi dan keberadaannya, kation memperlihatkan adanya kemampuan masuk ke dalam sel secara pasif ke dalam gradient elektrokimia, sedangkan anion harus diangkut secara aktif ke dalam sel akar tanaman sesuai dengan keadaan gradient konsentrasi melawan gradient elektrokimia. (Foth, 1991) Di dalam akar, tanaman biasa melakukan perubahan pH kemudian membentuk suatu zat khelat yang disebut fitosiderofor. Zat inilah yang kemudian mengikat logam kemudian dibawa ke dalam sel akar. Agar penyerapan logam meningkat, maka tumbuhan ini membentuk molekul rediktase di membran akar.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 32 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Sedangkan model tranportasi di dalam tubuh tumbuhan adalah logam yang dibawa masuk ke sel akar kemudian ke jaringan pengangkut yaitu xylem dan floem, ke bagian tumbuhan lain. Sedangkan lokalisasi logam pada jaringan bertujuan untuk mencegah keracunan logam terhadap sel, maka tanaman akan melakukan detoksifikasi, misalnya menimbun logam ke dalam organ tertentu seperti akar dan gutasi. Menurut Fitter dan Hay (1991), terdapat dua cara penyerapan ion ke dalam akar tanaman: (1) Aliran massa, ion dalam air bergerak menuju akar gradient potensial yang disebabkan oleh transpirasi. (2) Difusi, gradient konsentrasi dihasilkan oleh pengambilan ion pada permukaan akar. Menurut Foth (1991) ada dua hal penting dalam pengambilan hara, yaitu: (1) Energi metabolik yang diperlukan dalam penyerapan unsur hara sehingga apabila respirasi akan dibatasi maka pengambilan unsur hara sebenarnya sedikit. (2) Proses pengambilan bersifat selektif, tanaman mempunyai kemampuan menyeleksi penyerapan ion tertentu pada kondisi lingkungan yang luas.
Dalam pengelolaan limbah cair pertanian, eceng gondok dipelihara pada bak instalasi pengolahan limbah pertama dengan tujuan untuk menyaring dan mengendapkan kotoran dan logam berat yang terlarut dalam air. Populasi eceng gondong dapat sangat berkembang pesat di kolam ini, karena banyak terlarut unsur hara organik dan mineral yang sangat bermanfaat bagi tanaman. Dibutuhkan proses nitrifikasi
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 33 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
lanjutan untuk mengubah senyawa amonium (NH4) menjadi nitrit (NO2) oleh bakteri Nitrosomonas, dan kemudian menjadi nitrat (NO3) oleh bakteri Nitrobacter. Selanjutnya, eceng gondok dapat digunakan sebagai pakan hijauan ternak dan bahan baku handycraft. Seratnya yang sudah dikeringkan cukup kuat untuk dibuat anyaman tali untuk kemudian dibuat produk handycraft yang memiliki nilai jual cukup tinggi. Eceng gondok dipanen per 2 minggu. 4.10
AZOLLA SEBAGAI PENAMBAT NITROGEN
Azolla merupakan satu-satunya genus dari paku air mengapung suku Azollaceae. Terdapat tujuh spesies yang termasuk dalam genus ini. Suku Azollaceae sekarang dianjurkan untuk digabungkan ke dalam suku Salviniaceae, berdasarkan kajian morfologi dan molekular dari Smith et al. (2006) Azolla dikenal mampu bersimbiosis dengan bakteri biru-hijau Anabaena azollae dan menambat nitrogen langsung dari udara. Potensi ini membuat Azolla digunakan sebagai pupuk hijau baik di lahan sawah maupun lahan kering dan sebagai pakan hijauan. Pada kondisi optimal Azolla akan tumbuh baik dengan laju pertumbuhan 35% tiap hari. Nilai nutrisi Azolla mengandung kadar protein tinggi antara 24-30%. Kandungan asam amino essensialnya, terutama lisin 0,42% lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat jagung, dedak, dan beras pecah (Arifin, 1996). Azolla memang sudah tidak diragukan lagi konstribusinya dalam mempengaruhi peningkatan tanaman padi. Hal ini telah dibuktikan dibeberpa tempat dan beberapa negara. Konstribusi terbesar azolla adalah dengan menjaga hasil panen tetap tinggi. Meskipun penggunaannya sebagai pupuk hijau pada tanaman padi masih dilakukan di China dan Vietnam, dengan adanya peningkatan biaya tenaga kerja, membuatnya kurang diminati. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan pupuk hijau, penggunaan azolla ini kini lebih banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Dengan adanya penggabungan mina padi de-ngan azolla, selain menjadikannya sebagai pakan perikanan juga konstribusi dapat digunakan untuk peningkatan produksi padi. Pada kolam instalasi pengolahan limbah, azolla dibudidayakan pada kolam ke-dua setelah kolam eceng gondok. Setiap harinya dapat dipanen 20-30% dari luas permukaan kolam yang dapat digunakan sebagai pakan hijauan sapi/kambing, pakan konsentrat (bila ditepungkan), pakan bebek, dan pakan ikan. Di kolam ini dapat dipelihara udang galah dan ikan platis (ikan hias) sebagai plankton feeder untuk mengendalikan populasi plankton dan jentik nyamuk.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 34 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Terdapat tujuh jenis Azolla yang berasal dari Asia (Azolla japonica Franch. & Sav. dari Jepang, Azolla filiculoides Lam., dan Azolla pinnata R. Br. dari Asia Tenggara), Afrika (Azolla nilotica Dcne. ex Mett.), dan Amerika (Azolla caroliniana Willd., dari Amerika Utara, Azolla mexicana Presl., dari Meksiko, dan Azolla microphylla Kaulf.) 4.11
HYDRILLA TANAMAN AIR HIAS Hydrilla merupakan salah satu komoditas tanaman air yang digunakan sebagai tanaman hias dalam aquarium (aquascape) yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik. Pasar ekspor hydrilla adalah negara pengimpor ikan hias seperti Jepang, Korea, Singapura, Amerika, Jerman, dan Perancis.
Pada kolam instalasi pengolahan limbah, azolla dibudidayakan pada kolam ke-tiga setelah kolam eceng dan azolla. Air pada kolam ini sudah jernih dengan kadar oksigen yang terlarut yang tinggi, sehinga air dapat digunakan untuk memelihara komoditas perikanan yang lebih bernilai jual tinggi. Di kolam ini juga dapat dipelihara udang galah dan ikan molly (ikan hias) sebagai plankton feeder untuk mengendalikan populasi plankton dan jentik nyamuk. Panen dapat dilakukan setiap minggu 30-50% dari populasi. Pengemasan dilakukan dengan merangkaikan 5 batang hydrilla dalam pot keramik mini kemudian disusun dalam kotak styrofoam. 4.12
BUDIDAYA IKAN HIAS
Ikan Hias (Ornamental Fishes), baik ikan hias air tawar maupun ikan hias air laut, telah lama menjadi salah satu komiditas perdagangan (commercial commodity) dari subsektor perikanan dalam volume dan nilai bisnis yang cukup tinggi. Walaupun tidak terdapat catatan data statistik yang baik mengenai bisnis ikan hias ini, namun ikan hias telah memberikan sumbangan kepada pendapatan devisa negara melalui ekspor berbagai jenis ikan hias ke pasar internasional, khususnya Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Besarnya pasar internasional komoditas ikan hias ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya website tentang ikan hias di jaringan Internet (ada sekitar 22.000 websites), yang banyak di antaranya menyajikan forum "Offer-to-Sell" dan "Offer-toBuy". Namun, belum ada satu pun pengusaha hias Indonesia yang memanfaatkan media promosi online ini untuk menawarkan produk ikan hias ke pasar internasional, karena tak ada satu pun website pengusaha ikan hias yang memanfaatkan forum online "Offer-to-Sell." Yang ada hanyalah informasi mengenai "Company Profile" dan "List of Ornamental Fish Exporters." Menurut catatan Dinas Perikanan DKI Jakarta, terdapat 266 jenis ikan hias air tawar komoditas ekspor yang terbagi dalam kelompok Characoides (43 jenis), Carps (22 jenis), Livebearears & Killifishes (35 jenis), Anabantids (19 jenis), Rainbow (42 jenis), Loach & Ancient fish (17 jenis), Catfish (16 jenis), Chiclids (59 jenis), dan Goldfish PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 35 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
(24 jenis). Kesembilan kelompok ikan hias ekspor ini berukuran M (2-2,5 cm), ML (2,6-3 cm), L (3,1-4 cm) dan XL (4 cm ke atas). Saat ini di DKI Jakarta, terdapat paling tidak 65 eksportir ikan hias tawar dan laut yang membutuhkan pasokan ikan hias dalam jumlah banyak. Berdasarkan catatan yang berhasil dihimpun "MB" dari para pihak terkait, para eksportir yang tergabung dalam APIH (Asosiasi Pengusaha Ikan Hias) dan KPIH (Koperasi Pedagang Ikan Hias) setiap minggunya membutuhkan tak kurang dari 20.000 ekor. Di Kawasan Asia Tenggara, ada tiga negara pesaing potensial bagi Indonesia dalam bisnis ikan hias ini, khususnya ikan hias air tawar, yaitu Singapura, Thailand, dan Malaysia. Kekalahan Indonesia dalam percaturan bisnis ikan hias air tawar ini terletak pada tiga hal, yaitu: (1)
Mutu: Setiap jenis ikan hias air tawar memiliki standar mutu yang khas - selain kesehatannya, yaitu kekhasan & keunikan warna dan keseragaman ukuran. Hampir seluruh ikan hias air tawar asal Indonesia mempunyai permasalahan dalam hal kekhasan & keunikan warna dan keseragaman ukuran, yang diakibatkan dari teknik pemijahan dan teknik budidaya. Pemijahan ikan hias secara massal dan tak terkendali (uncontrolled mass breeding) menghasilkan ikan hias dengan ragam warna, ukuran, dan tampilan fenotipik lainnya yang tidak karu-karuan. Peyebab utama dari permasalahan ini adalah bahwa hampir seluruh ikan hias air tawar tersebut (kecuali jenis Oscar ,Arwana, Manfish dan Discus) dipijahkan dan dibudidayakan oleh petani, tanpa pengendalian mutu yang baik.
(2)
Harga: Di instalasi penampungan sementara milik eksporter, ikan hias pasokan dari pemasok/pengumpul kepada eksporter tersebut disortasi menurut kualitasnya. Survei di beberapa instalasi penampungan sementara milik eksporter ikan hias di daerah Sawangan membuktikan, bahwa hanya sekitar 10% - 15 % sajalah ikan hias air tawar yang memenuhi kriteria kualitas ekspor. Artinya, harga satuan kulakan ekspoter dari pemasok/pengumpul meningkat 7 hingga 10 kali lipat. Pada tingkat harga kulakan ini, maka para eksporter Indonesia tidak akan mampu bersaing melawan para eksporter ikan dari Singapura, Malaysia, dan Thailand.
(3)
Kesinambungan Pasokan: Importer ikan hias di luar negeri - baik ikan hias air tawar maupun ikan hias air laut - selalu menuntut kesinambungan pasokan, baik dalam jenis ikannya maupun volume pasokan per satuan waktu (misalnya bulanan). Hingga saat ini belum ada satu eksporter pun yang mampu memenuhi persyaratan ini. Khusus bagi ikan hias air tawar, penyebab utama permasalahan kesinambungan pasokan ini adalah ketidaktentuan pasokan dari para pemasok/pengumpul, yang akhirnya bermuara pada ketidaktentuan produksi ikan hias air tawar di tingkat petani.
Ketiga permasalahan incompetitiveness ikan hias Indonesia di pasaran internasional tersebut di atas, yaitu dalam aspek mutu, harga, dan kesinambungan pasokan, merupakan peluang usaha Fisheroindistry ikan hias bagi kita, khususnya ikan hias air tawar. Kalau dikaji secara jujur, ujung ketiga permasalahan tersebut berawal dari Petani. Dengan demikian, peluang usaha harus dicermati dari tingkat petani. Adapun peluang usaha ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Perbaikan Mutu Genetik (Genetic Improvement) (2) Perbaikan Teknik dan Manajemen Budidaya
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 36 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
(3)
Pencermatan Pasar
Bagi berbagai jenis ikan hias air tawar unggulan yang sifat-sifat genetiknya (genotypic & phenotypic characteristics) sudah tidak karu-karuan perlu dilakukan perbaikan mutu genetik. Perbaikan mutu genetik ini diarahkan untuk menemukan kembali galur-galur murni (pure line) melalui proses pemijahan (breeding processes) dengan penerapan kaidah-kaidah ilmiah secara sistematis. Proses pemijahan untuk perbaikan mutu genetik ikan hias tersebut dilakukan dengan mengikuti prosedur runut, yang mencakup: (1)
Penentuan jenis ikan hias yang akan diperbaiki mutu genetiknya, yang tersedia di kolam-kolam pemijahan milik petani, dan diketahui asal-usulnya.
(2)
Kalau memungkinan, dilakukan pula analisis heritabilitas luas (broad-sense heritability analysis) terhadap karakter-karakter khusus, dengan sasaran untuk mengetahui derajat keperwarisan (degree of inheritance) sifat-sifat fenotipik kasat-mata tertentu (visible phenotypic characteristics) - khususnya yang diminati oleh pasar.
(3)
Seleksi massa dari populasi alam (mass selection in natural population), yaitu pada kolam-kolam milik petani.
(4)
Seleksi individu (individual selection) dari populasi alam. Individu-individu hasil seleksi ini harus dipelihara sebaik-baiknya untuk keperluan pemijahan sistematis dan terkendali (systematic & controlled breeding) di masa mendatang, dalam konteks pelestarian diversitas sumberdaya genetik (conservation of genetic diversity).
(5)
Pemijahan sistematik dan terkendali (systematic and controled breeding) dan seleksi indukan sementara (interim parental selection) yang dilakukan dalam beberapa tingkat keturunan, misalnya hingga 7-10 kali keturunan.
(6)
Seleksi indukan galur murni (pure line parental selection), yaitu memilih indukan-indukan unggul dengan tampilan kharakter fenotipik sesuai dengan yang diharapkan, khususnya sifat-sifat fenotipik yang mempunyai heritabilitas tinggi (misalnya 0.75 ke atas) dan diminati olah pasar. Pemijahan antar-indukan terpilih (selected parents) ini akan menghasilkan keturunan (offsprings) dengan ragam fenotipik kasat-mata (visible phenotypic variation) sekecil-kecilnya. Artinya, sebagian besar keturunan tersebut akan memiliki sifat-sifat fenotipik kasat-mata seperti sifat-sifat indukannya.
Upaya perbaikan mutu genetik ini seyogianya dilakukan oleh lembaga-lembaga ilmiah di bidang perikanan, termasuk Balai Penelitian Perikanan Air Tawar dan Perguruan Tinggi (Fakultas Perikanan dan Fakultas Biologi). Namun sayangnya, lembaga-lembaga tersebut lebih tertarik pada penelitian ikan konsumsi. Penerapan biotek di bidang pertanian, khususnya kultur jaringan (tissue culture) pada tanaman, sering kali terlalu jauh melangkah. Artinya, kerja kultur jaringan sudah menghasilkan plantlets, namun karakteristik genetik indukannya belum atau bahkan tidak pernah diketahui, karena sebelum pembiakan di tabung reaksi tidak pernah dilakukan genetic assessment terhadap indukannya. Bahkan, seleksi indukan juga dilakukan asal-asalan. Akibatnya, banyak investasi di bidang agribisnis yang menggunakan produk kultur jaringan menjadi mubazir, karena produk dari agribisnis tersebut (misalnya buah anggur di Jawa Timur atau kelapa sawit di Medan) tidak sesuai
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 37 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
dengan apa yang diharapkan. Inilah yang namanya "instant technological hazards" (bencana teknologi serba-cepat). Upaya perbaikan mutu genetik ini merupakan kerja ilmiah dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi di bidang genetika muri dan terapan, yang memakan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya sangat banyak. Mungkin karena faktor-faktor inilah yang menyebabkan para pakar dan mahasiswa kurang tertarik di kerja penelitian bidang ini. Bagi para peneliti, kerja penelitian yang lama dan lintas-tahun membuat mereka merasa kurang aman, karena anggaran penelitian tergantung pada anggaran proyek tahunan. Bagi para mahasiswa yang sedang mempersiapkan tesis ataupun disertasi, kerja penelitian renik berjangka panjang ini dinilai (dapat meliput waktu 2 - 3 tahun) dapat menghambat kelulusannya dan kariernya lebih lanjut. Nampaknya, penelitipeneliti amatir dan hobbyst-lah yang dapat diharapkan untuk kerja penelitian semacam ini. Namun, dalam banyak hal, karya-karya besar mereka kurang mendapatkan pengakuan ilmiah dari masyarakat ilmiah formal, dan bahkan karya tulis mereka pun dinilai tidak layak digunakan sebagai bahan acuan (reference). Masyarakat ilmiah formal berarahan produk serba cepat (instant product oriented scientific society) yang tercipta selama rezim Orde Baru memang telah menyebabkan kemunduran dan pembodohan di banyak bidang, termasuk bidang penelitian ilmiah aspek genetik ikan hias. Jenis ikan hias yang dipelihara dalam kolam ke-empat ini adalah guppy (Lebistes reticulatus) yang merupakan jenis ikan Livebearears (beranak) yang pemeliharaannya sangat mudah dan variasi harga Rp 500 - Rp 5.000 per ekor (hanya ikan jantan yang dijual). Warna guppy bervariasi dengan beragam strain yang menarik. Strain yang dibudidayakan hanya satu untuk menghindari simpangan genetik yang akan menurunkan harga jual.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 38 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
4.13
BUDIDAYA IKAN KONSUMSI
Ikan konsumsi yang paling mudah dibudidayakan adalah nila (tilapia niloticus). Beberapa varietas nila unggul yang sudah dilepas adalah: (1) GET (Genetically Enhanched Tilapia) dari Filipina; (2) GIFT (Genetic Improvement for Farmed Tilapia) dari Filipina (1997); (3) Nirwana; merupakan persilangan famili nila GET (Genetically Enhanched Tilapia) dan GIFT (Genetic Improvement for Farmed Tilapia); (4) Gesit; merupakan jenis nila hitam hasil kerjasama penelitian BBPBAT Sukabumi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Institut Pertanian Bogor (IPB); (5) Larasati; (nila merah strain janti); (6) Umbulan, dari Jawa Timur (2008); (7) Best (Bogor Enhanced Strain Tilapia); jenis nila hitam ini berasal dari generasi ke-6 nila Gift hasil evaluasi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Cijeruk Bogor selama kurun waktu 2004-2008. nila jenis ini memiliki kekuatan 140% lebih tahan terhadap serangan penyakit Streptococcus dibanding varietas lainnya (2009). Nila Best adalah varietas nila terbaru yang permintaan bibitnya sangat tinggi di daerah Bandung, Purwakarta, dan Cianjur untuk dibudidayakan di jaring apung Waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur. Permintaan bibit ikan nila Best mencapai 30 juta ekor per bulan. Satu induk betina dapat bertelur hingga 3.000 butir. Pendederan selama 45 hari menghasilkan bibit ukuran 5-8 cm yang harganya Rp 200 per ekor. Apabila kita ambil nilai ekstrim (sangat minimum) hanya 1.500 ekor anakan dari satu induk betina akan menghasilkan pendapatan Rp 300.000 per ekor per sekali pijah. Satu tahun induk betina dapat bertelur hingga 6 kali, artinya pendapatan yang diperoleh dari satu induk betina dalam satu tahun adalah Rp 1.800.000. 4.14
TANAMAN PAGAR
Tanaman pagar yang ditanam adalah tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species), yaitu tanaman serba guna baik kayu, buah, daun, maupun kulit kayunya. Tanaman pagar dibuat dua lapis dengan lapisan terluar adalah tanaman salak yang berfungsi sebagai pengaman dan penghasil buah, lapisan ke-dua adalah tanaman jati, mahoni, mindi, kayumanis, sirsak, patah tulang, gamal, lamtoro, salam, dan king grass. Tanaman pagar ini selain berfungsi sebagai pelindung juga penghasil kayu, buah, rempah, bahan baku pestisida organik, penghalau OPT, dan sebagai hijauan pakan ternak.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 39 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
LAYOUT 1 HEKTAR INTEGRATED BIO-CYCLE FARMING
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 40 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab V INTEGRATED BIO CYCLE FARMING Model pertanian terpadu dalam satu siklus biologi (Integrated Bio Cycle Farming) yang tidak ada limbah, semua bermanfaat. Limbah pertanian untuk pakan ternak dan limbah peternakan diolah jadi biogas dan kompos sehingga impian membentuk masyarakat tani yang makmur dan mandiri terkonsep dengan jelas. Konsep terapan pertanian terpadu akan menghasilkan F4 yang sebenarnya adalah langkah pengamanan terhadap ketahanan dan ketersediaan pangan dan energi secara regional maupun nasional, terutama pada kawasan kawasan remote area dari jajaran kepulauan Indonesia.
(1)
F1 FOOD; Pangan manusia (beras, jagung, kedelai, kacang-kacangan, jamur, sayuran, dll.), produk peternakan (daging, susu, telor, dll.), produk budidaya ikan air tawar (lele, mujair, nila, gurame, dll.) dan hasil perkebunan (salak, kayumanis, sirsak, dll.)
(2)
F2 FEED; Pakan ternak termasuk di dalamnya ternak ruminansia (sapi, kambing, kerbau), rodensia (kelinci), ternak unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dll.), pakan ikan budidaya air tawar (ikan hias dan ikan konsumsi). Dari budidaya tanaman padi akan dihasilkan produk utama beras dan produk sampingan bekatul, sekam padi, jerami dan kawul, semua produk sampingan apabila diproses lanjut masih mempunyai kegunaan dan nilai ekonomis yang layak kelola. Jerami dan malai kosong (kawul) dapat disimpan sebagai hay (bahan pakan kering) untuk ternak ruminansia atau dibuat silage (makanan hijau terfermentasi), sedangkan bekatul sudah tidak asing lagi sebagai bahan pencampur pakan ternak (ruminansia, unggas dan ikan). Pakan ternak ini berupa pakan hijauan dari tanaman pagar, azolla, dan eceng gondok.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 41 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
(3)
F3 FUEL; Akan dihasilkan energi dalam berbagai bentuk mulai energi panas (bio gas) untuk kebutuhan domestik/masak memasak, energi panas untuk industri makanan di kawasan pedesaan juga untuk industri kecil. Hasil akhir dari bio gas adalah bio fertilizer berupa pupuk organik cair dan kompos. Pemakaian tenaga langsung lembu untuk penarik pedati, kerbau untuk mengolah lahan pertanian sebenarnya adalah produk berbentuk fuel/energi. Sekam padi dapat dikonversi menjadi energi (pembakaran langsung maupun gasifikasi) dan masih akan menghasilkan abu maupun arang sekam yang dapat diimplementasikan sebagai pupuk organik, sementara apabila energi sekam padi digunakan untuk gas diesel engine akan didapatkan lagi hasil sampingan berupa asap cair (cuka kayu) yang dapat digunakan untuk pengewet makanan atau campuran pestisida organik.
(4)
F4 FERTILIZER; Sisa produk pertanian melalui proses decomposer maupun pirolisis akan menghasilkan organic fertilizer dengan berbagai kandungan unsur hara dan C-organik yang relative tinggi. Bio/organic fertilizer bukan hanya sebagai penyubur tetapi juga sebagai perawat tanah (soil conditioner), yang dari sisi keekonomisan maupun karakter hasil produknya tidak kalah dengan pupuk buatan (anorganik fertilizer) bahkan pada kondisi tertentu akan dihasilkan bio pestisida (dari asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis gasifikasi) yang dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (bio preservative).
Dari F4 diatas tersimpulkan betapa besar kasih sayang Sang Maha Pencipta terhadap makhluk-Nya khalifah di bumi – tidak satupun ciptaan-Nya yang sia-sia.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 42 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab VI POTENSI KEUNTUNGAN INTEGRATED BIO CYCLE FARMING Bila pertanian terpadu yang diuraikan tersebut benar diwujudkan maka potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari tanaman semusim dan ternak per tahun adalah Rp 747.440.000 dengan uraian sebagai berikut:
Potensi Keuntungan Budidaya Pertanian: Padi; luas lahan 5.000 m2, biaya usaha tani Rp 6.500.000, penerimaan panen 2.250 kg beras organik (50% x 4.500 kg) @ Rp 12.000 = Rp 27.000.000, keuntungan Rp 20.500.000 x 2 MT....................................
41.000.000
Jagung; luas lahan 1.250 m2, biaya usaha tani Rp 2.000.000, penerimaan panen 1.000 kg jagung pipil organik @ Rp 5.000 = Rp 5.000.000, keuntungan Rp 3.000.000 x 2 MT .......................................
6.000.000
Kedelai; luas lahan 5.000 m2, biaya usaha tani Rp 3.000.000, penerimaan panen 1.000 kg kedelai pipil organik @ Rp 8.000 = Rp 8.000.000, keuntungan Rp 5.000.000 x 1 MT .......................................
5.000.000
Kacang panjang; luas lahan 1.250 m2, biaya usaha tani Rp 2.500.000, penerimaan panen 1.500 kg kacang panjang organik @ Rp 6.000 = Rp 9.000.000, keuntungan Rp 6.500.000 x 1 MT .......................................
6.500.000
Cabai; luas lahan 500 m2, biaya usaha tani Rp 3.500.000, penerimaan panen 1.000 kg cabai organik @ Rp 15.000 = Rp 15.000.000, keuntungan Rp 11.500.000 x 1 MT ....................................................................
11.500.000
Sayuran organik; luas lahan 250 m2, biaya usaha tani Rp 1.500.000, penerimaan panen 500 kg sayuran organik @ Rp 5.000 = Rp 2.500.000, keuntungan Rp 1.000.000 x 3 MT ......................................................
3.000.000
Jamur merang; luas lahan 150 m2, biaya usaha tani Rp 4.500.000, penerimaan panen 6.000 kg jamur merang @ Rp 9.000 = Rp 54.000.000, keuntungan Rp 49.500.000 x 1 tahun .................................................
49.500.000
Salak; populasi 400 pohon, biaya usaha tani Rp 2.000.000, penerimaan buah salak 4.000 kg @ Rp 5.000 = Rp 20.000.000, keuntungan Rp 18.000.000 x 1 tahun ......................................................................
18.000.000
Hijauan pakan ternak; biaya usaha tani Rp 4.000.000, penerimaan
hijauan 65.000 kg @ Rp 200 = Rp 13.000.000, keuntungan Rp 9.000.000 x 1 tahun ........................................................................................
9.000.000
Total Potensi Keuntungan Budidaya Pertanian ..............................
149.500.000
Potensi Keuntungan Peternakan Sapi perah; populasi 6 ekor, biaya usaha tani Rp 32.850.000 (Rp 15.000 x 6 ekor x 365 hari), penerimaan susu 43.800 liter (20 liter x 6 ekor x 365 hari) @ Rp 3.000 = Rp 131.400.000, keuntungan Rp 98.550.000 x 1 tahun
98.550.000
Itik pedaging; populasi 150 ekor, biaya usaha tani Rp 750.000, penerimaan daging bebek organik 300 kg (2 kg x 150 ekor) @ Rp 22.000 = Rp 6.600.000, keuntungan Rp 5.850.000 x 2 MT ..................................
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
11.700.000
Hal. 43 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Kelinci; populasi 100 ekor betina, biaya usaha tani Rp 11.000.000, penerimaan kelinci remaja 3.000 ekor (100 induk x 5 anak x 6 daur) @ Rp 12.000 = Rp 36.000.000, keuntungan Rp 25.000.000 x 1 tahun................
25.000.000
Lebah; populasi 50 kotak, biaya usaha tani Rp 200.000, penerimaan
madu 200 liter (50 kotak x 2 liter x 2 daur) @ Rp 30.000 = Rp 6.000.000, keuntungan Rp 5.800.000 x 1 tahun ..................................................
5.800.000
Total Potensi Keuntungan Peternakan ...........................................
141.050.000
Potensi Keuntungan Perikanan & Tanaman Air Eceng Gondok; biaya usaha tani Rp 200.000, penerimaan pakan hijauan 2.500 kg (25 x 100 kg) @ Rp 500 = Rp 1.250.000, keuntungan Rp 1.050.000 x 1 tahun .......................................................................
1.050.000
Azolla; biaya usaha tani Rp 500.000, penerimaan pakan hijauan 18.250 kg (50 kg x 365 hari) @ Rp 500 = Rp 9.125.000, keuntungan Rp 8.625.000 x 1 tahun .....................................................................................
8.625.000
Hydrilla; biaya usaha tani Rp 500 per pot, penerimaan 50.000 pot (1.000 pot x 50 minggu) @ Rp 1.000 = Rp 50.000.000, keuntungan Rp 25.000.000 x 1 tahun ......................................................................
25.000.000
Udang galah; biaya usaha tani Rp 500.000, penerimaan udang galah 50 kg @ Rp 45.000 = Rp 2.250.000, keuntungan Rp 1.750.000 x 1 tahun.......
1.750.000
Ikan platis; biaya usaha tani Rp 200.000, penerimaan ikan platis 15.000 ekor @ Rp 250 = Rp 3.750.000, keuntungan Rp 3.550.000 x 1 tahun ........
3.550.000
Ikan molly; biaya usaha tani Rp 200.000, penerimaan ikan molly 15.000 ekor @ Rp 250 = Rp 3.750.000, keuntungan Rp 3.550.000 x 1 tahun ........
3.550.000
Ikan guppy; biaya usaha tani Rp 300.000, penerimaan ikan guppy 25.000 ekor @ Rp 500 = Rp 12.500.000, keuntungan Rp 12.200.000 x 1 tahun ..........................................................................................
12.200.000
Ikan nila; biaya usaha tani Rp 25.000.000 per tahun.
Bibit ikan nila 1.800.000 ekor (200 ekor induk betina x 1.500 anakan x 6 daur) @ Rp 200 = Rp 360.000.000, keuntungan Rp 335.000.000 x 1 tahun .....................................................................................
335.000.000
Induk ikan nila 3.000 ekor @ Rp 15.000 = Rp 45.000.000, keuntungan Rp 45.000.000 x 1 tahun ............................................................
45.000.000
Total Potensi Keuntungan Perikanan & Tanaman Air .....................
435.725.000
Potensi Keuntungan Lain Kompos; biaya usaha tani Rp 3.000.000.
Kompos dari digester 17.520 kg (6 ekor sapi x 40 kg x 365 hari x 20%) @ Rp 500 = Rp 8.760.000, keuntungan Rp 5.760.000 x 1 tahun .........
5.760.000
Kompos dari jamur 9.000 kg (9.000 kg x 3 daur x 30% kadar air) @ Rp 500 = Rp 4.500.000, keuntungan Rp 4.500.000 x 1 tahun ..................
4.500.000
Silase; biaya usaha tani Rp 2.000.000, penerimaan silase 26.400 kg (15.000 kg jerami padi + 10.000 kg batang bawah jagung + 8.000 kg pohon kedelai x 80%) @ Rp 500 = Rp 13.200.000, keuntungan Rp 12.200.000 x 1 tahun ........................................................................................
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
11.200.000 Hal. 44 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bio gas; biaya usaha tani Rp 500.000, penerimaan bio gas setara dengan 1.460 liter minyak tanah (4 liter x 365 hari) @ Rp 8.000 = Rp 11.680.000, keuntungan Rp 11.180.000 x 1 tahun.................................
11.180.000
POC; biaya usaha tani Rp 100.000, penerimaan POC 350 liter (25 x 100 kg) @ Rp 1.500 = Rp 525.000, keuntungan Rp 425.000 x 1 tahun ............
425.000
Pestisida organik; biaya usaha tani Rp 200.000, penerimaan pestisida organik 1.000 liter @ Rp 2.500 = Rp 2.500.000, keuntungan Rp 2.300.000 x 1 tahun .....................................................................................
2.300.000
Rempah; dari daun salam dan kayu manis, biaya usaha tani Rp 200.000, penerimaan rempah Rp 1.000.000, keuntungan Rp 800.000 x 1 tahun.......
800.000
Handycraft; biaya usaha tani Rp 5.000.000, penerimaan handycraft Rp 15.000.000, keuntungan Rp 10.000.000 x 1 tahun.................................
10.000.000
Total Potensi Keuntungan Lain ......................................................
46.165.000
Total Potensi Keuntungan Per Tahun ..............................................
772.440.000
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 45 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Bab VII PENUTUP 7.1
KESIMPULAN
Manfaat pertanian terpadu dalam satu siklus biologi (integrated bio cycle farming) antara lain: (1) Diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi; (2) Mengurangi resiko terjadinya kegagalan produksi; (3) Efisiensi penggunaan tenaga kerja; (4) Efisiensi penggunaan komponen produksi; (5) Mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi bilogi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar; (6) Sistem ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi, sehingga melindungi lingkungan hidup; (7) Meningkatkan out put dan pendapatan, serta mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil. Beberapa pertimbangan dalam menentukan jenis tanaman untuk di integrasikan dengan tanaman lain adalah: (1) karakter morfologi; (2) siklus hidup; (3) adanya alelopati; (4) toleransi naungan dan cahaya dari masing-masing jenis tanaman (karakater fisiologi); (5) Kebutuhan hara masing-masing jenis tanaman; (6) efisiensi ruang perakaran tanaman; (7) proses-proses suksesi dan pemencaran tanaman. Pertimbangan-pertimbangan tersebut bertujuan untuk memenuhi kompatibilitas ekosistem yang saling menguntungkan antara satu jenis dalam jenis tanaman lainnya. Di samping itu proses penghindaran dari proses penekanan organisme lain seperti hama, penyakit dan gulma dapat teratasi. Pertanian terpadu dalam satu siklus biologi (integrated bio cycle farming) akan memberikan beberapa keuntungan pada setiap unit usaha tani karena beberapa aspek pembiayaan usahatani dapat ditekan: (1)
Prinsip daur ulang hara, dapat menghindari efek pencemaran lingkungan tanah pada petak usahatani, karena input luar dalam bentuk pupuk anorganik dapat di tekan. Pada unit pembiayaan pupuk dapat mengurangi nilai pembelian.
(2)
Prinsip konservasi air dapat mengurangi unit pembiayaan untuk sistem pengelolaan air pada petak usahatani. Pengunaan instalasi air irigasi dengan tujuan menghemat penggunaan air dapat ditiadakan. Di samping itu efeisiensi penggunaan air oleh tanaman meningkat.
(3)
Prinsip pola tanam ganda dengan mempertimbangkan interaksi antar tanaman yang saling menguntungkan dapat mengurangi penggunaan input luar dalam
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 46 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
bentuk pestisida maupun herbisida serta meningkatkan nilai setara lahan pada hasil panen dan produksi biomassa. Unit pembiayaan untuk obat-obatan dapat ditekan. Dalam satu komplek pertanian terpadu dapat menghasilkan keuntungan yang melimpah apabila dikelola dengan baik. 7.2
SARAN
Potensi jerami kurang lebih 1,4 kali dari hasil panen. Rata-rata produktivitas padi nasional adalah 48,95 ku/ha, sehingga jumlah jerami yang dihasilkan kurang lebih 68,53 ku/ha. Produksi padi nasional tahun 2008 sebesar 57,157 juta ton (Deptan, 2009), dengan demikian produksi jerami nasional diperkirakan mencapai 80,02 juta ton. Potensi jerami yang sangat besar ini sebagian besar masih disia-siakan oleh petani. Sebagian besar jerami hanya dibakar menjadi abu, sebagian kecil dimanfaatkan untuk pakan ternak dan media jamur merang. Pemanfaatan jerami dalam kaitannya untuk menyediakan hara dan bahan organik tanah adalah merombaknya menjadi kompos. Rendemen kompos yang dibuat dari jerami kurang lebih 60% dari bobot awal jerami, sehingga kompos jerami yang bisa dihasilkan dalam satu ha lahan sawah adalah sebesar 4,11 ton/ha. Andaikan semua jerami dibuat kompos akan dihasilkan kompos sebanyak 48,01 juta ton secara nasional. Dari data analisa di atas, kompos jerami memiliki kandungan hara setara dengan 41,3 kg Urea, 5,8 kg SP36, dan 89,17 kg KCl per ton kompos atau total 136,27 kg NPK per ton kompos kering. Jumlah hara ini kurang lebih dapat memenuhi lebih dari setengah kebutuhan pupuk kimia petani. Di tingkat nasional, potensi nilai hara dari kompos jerami adalah setara dengan 1,09 juta ton Urea, 0,15 juta ton SP36, dan 2,35 juta ton KCl atau total 3,6 juta ton NPK. Jumlah ini kurang lebih 45% dari konsumsi pupuk nasional yang mencapai 7,9 juta ton tahun 2007 (APPI, 2009). Jika kandungan hara ini dinilai dengan harga pupuk kimia, maka kompos jerami secara nasional bernilai Rp 5,42 Trilyun. Kompos jerami memiliki potensi hara dan nilai ekonomi yang sangat besar. Pemanfaatan kompos jerami ini oleh petani dapat menghemat pengeluaran negara untuk subsidi pupuk dan mengurangi konsumsi pupuk kimia nasional. Apabila ditemukan kesulitan dalam mengintegrasikan pertanian dalam satu siklus biologi (bio cycle farming) karena keterbatasan lahan, maka dapat dibentuk clustercluster usaha tani dalam kelompok tani yang saling menunjang faktor inputnya sehingga terjadi keseimbangan siklus biologi secara berkesinambungan.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 47 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talao’ohu, A. Dariah, B.R. Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wigkita. 1999. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat Tim Penendali Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Departemen Kehutanan. Anon. 1991. Toward Sustainability. Soil and Water Research Proirities for Developing Countries. National Academy Press. Washington, D.C. Arief, Sritua., 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung. Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan Terhadap Sektor Pertanian: Suatu Telaah Ekonomi Politik. Dalam: Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI, Jakarta 2004. Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Sawah Irigasi. 2007. Baharsjah, S., 1996. Kemitraan Dalam Pembangunan Nasional Memasuki Abad 21: Peningkatan Ekonomi Pertanian. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Cendekiawan Indonesia Ke III. Jakarta, 27-28 Agustus 1996. Budhiyono, Wahyu S. 1998. Fisherobisnis Ikan Hias Air Tawar. Program Studi D3 Manajemen Bisnis Perikanan Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan Dan Kelautan. Fakultas Perikanan Dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Budhiyono, Bambang Eko & Budhiyono, Wahyu S. 2005. Industri Terpadu Pengolahan Sampah Padat Perkotaan (Mengolah Sampah Padat Tanpa Menyisakan Limbah). Position Proposal. PT. Bangkit Eko Bersama, Bogor. Choliq, Achsin U., Hamdani, Moh. Pertanian Terpadu Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Dan Kesejahteraan Petani. Balai Inkubator Teknologi - BPPT. 2008. David, F.R., 2006, Strategic Management, Penerbit Salemba Empat, Jakarta Effendi Hefni, 2003, Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta Feenstra G, 2000. What is Sustainable Agriculture ? Concept Themes, Farming and Natural Resources, Plant Production Practices, Animal Production Practices, teh Economic, Sosial and Political Context. Sustainable Agriculture Research And Education Program, University Of California. 1-8 p. Gardner, G. 1996. Preserving Agricultural Resources. dalam: State of The World. W.W Norton & Company. New York. hal. 78 - 94. Gumbira-Sa’id,E. & Intan,A.H., 2004, Manajemen Agribisnis, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. Hendro dan Candra, 2006, Be a Smart and Good Enterpreneur. CLA Publishing, Bekasi.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 48 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
Kodoatie, dan Sjarief, 2005, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi Offset, Yogyakarta Mahida, U.N, 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah industri. Rajawali, Jakarta Pankhurst, C.E., and J.M. Lynch. 1993. The Role Of Soil Biota In Sustainable Agriculture. p 3-9. dalam C.E. Pankhurst, B.M. Doube, V.V.S.R. Gupta, and P.R. Grace (Eds.) Soil Biota: Management in Sustainable Farming Systems. CSIRO Press, Melbourne, Australia. Reijntjes C, Haverkort, Bayer W, 1999. Pertanian Masa Depan : Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Kanisius, Yogyakarta. 270 hal. Rodríguez LJ, Preston TR, and Lai NV. 1998. Integrated farming systems for efficient use of local resources. Proceedings of the Internet Conference on Integrated Bio-Systems. (Eng LF & Senta TD eds) http://www.ias.unu.edu/. akses 10 Oktober 2007 Saragih, B., 2000. Karakteristik Agribisnis dan Implikasinya Bagi Manajemen Agribisnis (Agribusiness Characteristics and its Implication to Agribusiness Management). Jurnal Agribisnis Volume IV Nomor 1. Januari - Juni 2000. JUBC, Pusat Bisnis Universitas Jember. Slamet, J,S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sumoprastowo, RM, Suprapto Agus, R,. 1993, Beternak Lebah Madu Modern, Bhratara, Jakarta. Sutanto R, 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius Yogyakarta. Hal. 19-31. Sudirman, Undang Kurnia, dan H. Kusnadi. 2004. Teknologi Rehabilitasi Dan Reklamasi Lahan. Hlm. 147-182 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Tjokrokusumo, 1995, Pengantar Konsep Teknologi Bersih Khusus Pengolahan dan Pengolahan Air. STTL, Yogyakarta
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 49 dari 50
JURUSAN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS NUSA BANGSA
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN WAHYU SYLVITRIA B. (NPM: 41205420109013)
Hal. 50 dari 50