I. PENDAHULUAN Manusia yang merupakan makhluk yang berbudaya, karna memiliki banyak symbol atau dapat dikatakan memakai faham simbolisme, yaitu : faham yang mengikuti pola yang mendasarkan diri atas simbol-simbol.1sebagai Negara yang sangat strategis letaknya dan merupakan jalur dari beberapa perdagangan dunia, menjadikan Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tradisi yang cukup beragam. Tradisi ini mengiringi tahapan kehidupan manusia sejak manusia itu lahir hingga meninggal ataupun dalam setiap acara-acara penting, mereka ekspresikan dengan melaksanakan upacara-upacara adat yang mereka anggap itulah bentuk penghormatan dan sebuah kebiasan yang sudah mengakar pada masyarakat tersebut. Budaya merupakan hasil pemikiran dari nenek moyang dan warisan yang sudah seharusnya di lestarikan. Adat budaya yang diwariskan nenek moyang bernafaskan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang terdahulu, seperti agama hindu, budha, ataupun kepercayaan lain. Dikarenakan agama-agama tersebut lebih dahulu masuk dan berkembang di Indonesia. Namun, dewasa ini mayoritas masyarakat Indonesia sudah menganut agama Islam, dengan tetap mempertahankan budaya yang ada. Para ulama‟ yang membawa agama Islam masuk ke daerah-daerah lalu memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam setiap upacara adat tersebut. Seperti di daratan Jawa sendiri hidup berbagai macam suku, salah satunya suku Kalang. Suku ini merupakan suku asli dan tersebar di beberapa bagian di wilayah Jawa. keunikan yang dimiliki suku Kalang, menjadi daya tarik sendiri untuk kami teliti. Lebih khususnya dalam hal tradisi kematian, seperti masyarakat Jawa pada umumnya peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak pisan, mendak pindo hingga 1000 hari masih sama. Tapi yang menjadi ciri khas di suku ini masih mempertahankan adat nenek moyang seperti: bakaran dan nggemblong. Tidak ketinggalan, mereka juga mengakulturasikan budaya Kalang dengan ajaran-ajaran Islam. Penelitian mengenai tradisi kematian ini kami lakukan pada hari sabtu dan selasa (18/21 Mei 2013) yang bertempat di dukuh Lumbu desa Lumansari, Gemuh-Kendal. Dalam penelitian ini kami memperoleh informasi dari beberapa narasumber, yaitu bapak Kasnari (murdin), bapak sumanto (mantan lurah), ibu Wiwik (tokoh pembuat gemblong) serta dari 1
Budiono Herusantoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa,(Yogyakarta,Hanindita Graha Widya,2000),hlm.26.
Hasil Observasi Kelompok II 1
beberapa warga sekitar. Dalam penilitaian ini kelompok kami menggunakan metode wawancara dan partisipasi langsung dalam ritual adat tradisi suku Kalang.
II.
DESKRIPSI TRADISI Adat kalang merupakan tradisi asli suku Kalang, dan tersebar di beberapa daerah di dataran tanah Jawa. Salah satu daerah yang memiliki adat tersebut adalah dukuh Lumbu, desa Lumansari, kecamatan Gemuh, Kendal. Desa inilah yang menjadi objek penelitian kami. Dalam penelitian ini, kami lebih memfokuskan tentang adat kematian orang kalang dimana adat dari suku ini sendiri sedikit berbeda dan dipandang unik. Desa Lumansari yang ter dapat 3 bagian, yaitu : dk. Kamal, dk. Lumbu, dan dk. Ngablak. Suku Kalang sendiri berkembang didesa ini, lebih dominan di dk. Lumbu. Sejarah datangnya suku kalang sendiri ke dukuh Lumbu, desa Lumansari, menurut penuturan Bpk Kasnari sebagai perangkat desa ( lebe/modin) konon ceritanya ada seorang putri cantik berasal dari Solo yang kehilangan suratnya. Saat itu surat yang dibawanya itu jatuh kemudian hilang, sang putri kebingungan akhirnya ia memutuskan untuk mengadakan sayembara “barang siapa yang menemukan suratku, jika ia perempuan maka akan dijadikan saudaraku dan jika ia laki-laki maka akan dijadikan suamiku”. Tanpa disangka seekor anjing (jelmaan) yang menemukan surat tersebut. Janji yang telah dia ucapkan pun tidak mungkin di ingkari. Sedangkan ajaran Islam sendiri masuk dibawa oleh Sunan Gesang yang merupakan murid dari Sunan Kalijaga, beliau memasukkan unsur ajaran islam pada setiap ritual agar agama Islam mudah diterima dimasyarakat yang telah memegang kuat budaya Kalang. Singkat cerita yang dituturkan Bapak Kasnari di kediamannya (Sabtu,18 Mei 2013 pukul 09.30 WIB). Berbeda dari sumber yang pertama, sumber yang kedua yaitu Bpk. Sumanto (manten desa) menyebutkan, bahwa suku Kalang ini suku asli Jawa yang tumbuh pada masa kerajaan Hindu. Suku ini tidak memiliki kasta, sebagaimana pengkastaan pada masyarakat Hindu. Suku tersebut dikumpulkan dan di kalang (dijeruj) di sebuah daerah oleh kerajaan Hindu. Pemerintahan VOC pada masa penjajahan Belanda, suku Kalang diklasifikasikan oleh pemerintah VOC sesuai dengan keahlian masing-masing dan dipaksa untuk kerja rodi. Hasil Observasi Kelompok II 2
Mereka bekerja dan menyebar sesuai dengan bidang pekerjaannya. Inilah yang membuat suku kalang tersebut menyebar sesuai dengan dimana mereka bekerja dan menyebarkan tradisi aslinya. (Sabtu, 18 Mei 2013 di kediaman bapak Sumanto pukul 11.00 WIB). Penuturan diatas dijelaskan bahwa sumber yang pertama lebih condong kepada hal-hal yang berbau mistis sedangkan sumber yang kedua itu lebih condong kearah sejarah. Dalam upacara kematian, suku kalang mempunyai keunikan tersendiri dalam menghormati sang pendahulu. Penghormatan yang mereka berikan kepada sesepuh dan leluhurnya tidak hanya berupa panjatan do‟a-do‟a saja, tetapi juga berupa sesajen dan beberapa rangkaian upacara yang jelas berbeda. Dari 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak pisan, mendak pindo, mendak telu sampai 1000 hari,. Upacara-upacara ini biasa dilakukan di kalangan masyarakat, tetapi ada beberapa bagian dari peringatan tersebut yang berbeda dari rangkaian dan tata cara peringatan kematian seperti yang dilakukan masyarakat pada umumnya. Seperti pemberian sesajen, pembakaran barang-barang mayat dan lainnya. Tradisi Suku kalang sendiri berasal dari agama hindu, tetapi di dukuh Lumbu, desa Lumansari telah berakulturasi dengan agama Islam ketika Islam masuk ke daerah ini, Islam yang bersifat lunak dapat melebur dengan tradisi setempat. Hingga sampai sekarang tradisi tersebut masih dipertahankan dan diakulturasikan dengan ajaran-ajaran beralirkan agama Islam. Bentuk dari akulturasi budaya Kalang dan ajaran Islam seperti dalam upacara kematian bakaran. Selain dukun soteng, pak Ustadz atau pak Kyai juga berperan untuk mendoakan, dalam waktu 7 hari berturut-turut itu terdapat pembacaan surah yasin, tahlilan, dan surah al-ikhlas. Lebih rincinya saat sehari setelah si-mayit meninggal selain adanya yasinnan dan tahlilan juga terdapat tradisi “nyaur tanah”, yaitu dimana semua anggota keluarga yang bersangkutan diharuskan melunasi semua beban utang piutang dari si-mayit, kemudian pada 3 hari setelah kematiannya selain tahlilan disertai dengan bersedekah atau lebih dikenal dengan istilah “punjungan” berupa golong pitu atau sego lodeh, untuk para warga yang ikut tahlillan tersebut. Pada hari ke-7 diadakan tradisi mitung dino, Selain tahlillan dan punjungan yang lebih lengkap dengan lauk pauk yang bermacam-macam (berkatan) juga diadakan tradisi bakaran. Bakaran ini yang menjadi ciri khas dari rangkaian tradisi kematian suku Kalang. Dalam Hasil Observasi Kelompok II 3
acara bakaran ini semua yang dipakai oleh si mayit semasa hidupnya dan alat-alat yang berhubungan dengan pekerjaannya dibakar. Biasanya persiapannya sejak malam dan ritual sotengnya pukul 08.00-11.00 WIB, dan ritiualnya mulai pada ba‟da dhuzur dari pukul 13.00-14.30 WIB. Dalam acara ini banyak sesaji yang disediakan seperti: nasi tumpeng, lauk pauk (gereh, kluban, cambah, ayam panggang, telur rebus,kendo/pelas), gemblong merah dan putih, pisang sepet dan raja setiap 1 orang 2 cengkeh disesuaikan dengan jumlah keluarga, buah-buahan yang diiris. Selain sesaji tersebut juga terdapat mantenan yang menyerupai si-mayit, tikar sebagai lambar atau alas, uang receh dari para sanak keluarga, beras, ketan, kendi, kelapa hijau, ceting atau dunak, kemenyan, baju si mayit, peralatan kerja si mayit, dikumpulkan menjadi satu dilengkapi dengan bunga setaman (mawar, melati, kenanga, kamboja, sepatu, cempaka, pandan, minyak wangi). Rangkaian upacara bakaran, yaitu sebagai berikut: 1. Semua sejaji dan manten si mayit dikumpulkan dalam satu ruangan, biasanya dikumpulkan di ruang tamu
keluarga mayit. Dari pagi hari pukul 08.00 WIB
mantenannya itu di sonteng (dido‟akan oleh dukun sonteng), lalu siang pukul 11.00 WIB semuanya harus sudah siap dan mantenannya disonteng lagi. 2. Ba‟da dhuzur sekitar pukul 13.30 WIB, uang yang terkumpul dari sanak keluarga dihitung jumlahnya, 3. Bara api yang di beri menyan dinyalakan, selanjutnya di doakan oleh dukun sonteng, setelah itu mantenan yang berada diatas tikar digulung, sesaji lainnya diangkat oleh anggota keluarga lalu berjalan mengelilingi tempat tersebut sambil didoakan oleh dukun sonteng. 4. Setelah itu, semua peralatan tadi dibawa keluar dimana daun blarak (daun kelapa) dan kasur diletakkan dipelataran sebagai alas. 5. Sebelum diletakkan diatas alas tadi, para anggota keluarga yang membawa sesaji tersebut kembali mengelilingi 7 kali putarana alas tersebut, dengan diiringi mantramantra oleh dukun sonteng. 6. Setelah didoakan kemudian diletakkan dengan urutan : manten, selimut, pakaian, lalu sesaji selebihnya. Selanjutnya kembali di doakan oleh dukun sonteng dengan 3 anggota Hasil Observasi Kelompok II 4
keluarga membawa sulutan api pada daun blarak lalu mengelilingi dukun sonteng yang berada di samping tempat pembakaran yang sedang di doakan. Setelah selesai didoakan baru bara api di masukkan ke tempat pembakaran. 7. Dalam proses pembakaran ini harus selalu diawasi agar semua sesaji terbakar habis, ketika semua sesaji telah terbakar habis barulah uang receh disebar ditempat perapian sambil disiram air, lalu para anggota keluarga dan masyarakat yang hadir ditempat itu berebut uang receh tersebut. 8. Ketika uang receh disebar, para sesepuh keluarga beserta dukun soteng dan pak Kyai atau pak Ustadz, berada didalam rumah guna tahlillan dan memanjatkan do‟a, dengan tumpeng, lauk pauknya beserta jajanan dan gemblong disajikan ditengah-tengah tempat do‟a. 9. Setelah dido‟akan, makanan itu dimakan keluarga, sebagian di simpan disuatu tempat yang tidak diketahui keberadaannya (masyarakat mempercayai makanan ini akan dimakan oleh si mayit), sebagian lagi ada yang diminta tetangga. 10. Sedangkan pisang di simpan disuatu tempat, selanjutnya kelapa di belah bersamaan saat uang receh disebar, ini menyimbolkan pembersihan dosa si mayit. 11. Ceting atau dunak untuk tempat sesaji, ini memberi simbol kesatuan persaudaraan dalam keluarga.
Selanjutnya yaitu 40 hari, 100 hari dilaksanakan seperti biasa. Barulah pada upacara mendak pisan acaranya berbeda, yaitu sama seperti peringatan 7 hari dengan di tambah dengan penyembelihan kerbau bagi yang mampu. Sedangkan peralatan kerja si mayit itu dibelikan yang baru dan biasanya para anak, ponakan, dan keluarga lainnya ikut menyumbang untuk acara pembakaran mendak pisan, dikarenakan peninggalan mayit sendiri sudah dipakai saat acara bakaran yang pertama. Dari penuturan Ibu Wiwik (seorang pembuat gemblong) daging kerbau yang disembelih, sebagian di masak untuk upacara dan walimahan, yang sebagian lagi untuk sesaji dan dibawa ke makam,disertai juga kembang ayu berupa : kenanga, melati, cempaka,mawar, pandan diiris-iris. Pada acara ini lebih besar perayaannya lebih besar dari pada bakaran yang pertama pada hari ke-7. (Sabtu, 18 Mei 2013, 14.30 WIB disawah daerah pucangrejo)
Hasil Observasi Kelompok II 5
Dilanjutkan dengan upacara mendak pindho, menyembelih kambing bagi yang mampu, sedangkan yang kurang mampu diganti dengan ayam. Jalannya upacara sendiri sama seperti pada umumnya yaitu tahlilan dan pembacaan surah Al-Ikhlas. Begitu halnya dengan mendak telu sama dengan umumnya. Setelah semua rangkaian adat itu terlaksana masih ada ritual tahunan berupa nggemblong 4 kali dalam setahun. Tiap 5 bulan 2 kali dan 7 bulan selanjutnya 2 kali, biasanya dilaksanakan pada selasa wage dan jum‟at wage. Berupa gemblong abang putih, kendo pepesan, kluban, tumpeng, cambah, gedang sepet.
III.
ALAT YANG DIBUTUHKAN DAN PEMAKNAANNYA Dalam upacara-upacara yang dalam adat kalang sendiri mempunyai beberapa syarat atas alat-alat dan perlengkapan dalam melaksanakan ritual tersebut, alat-alat yang dibutuhkan dari awal ritual ini berlangsung : 1) Pakaian si mayit, meliputi semua pakain dari atas hingga bawah yang dikenakan si mayit saat masih hidup, dibakar dalam pandangan secara logika, sepeninggalan si mayit tidak ada yang mau memakai peninggalannya karna takut dengan alasan faktor kesehatan, jika si mayit meninggal karna sakit maka orang-orang takut jika penyakitnya itu menular. Selain itu juga untuk membersihkan semua tentang si mayit agar keluarga tidak trauma dengan si mayit. 2) Alat pekerjaan si mayit, menunjukkan siapa dan apa yang dilakukan si mayit selama hidup. 3) Kasur dengan pemaknaan tempat peristirahan semasa hidup. 4) Tumpeng beserta lauk pauknya, sebagai simbol kesejahteraan bagi si mayit, agar si mayit tenang dialamnya dan bertujuan untuk memberi makanan untuk si mayit. 5) Potongan buah-buahan, kenapa dipotong karna menurut kepercayaan masyarakat suku kalang agar si mayit mudah untuk memakannya. 6) Kembang setaman atau kembang ayu, belum diketahui maknanya dikarenakan itu yang disyaratkan oleh si dukun sonteng. 7) Gemblong abang putih, yang
berwarna abang (merah) bermakna keselamatan,
kewarasan (kesehatan), pekerjaan. Sedangkan yang putih bermakna kesucian bagi si Hasil Observasi Kelompok II 6
mayit agar mendapat ketenangan. Dan keluarga dijauhkan dari bahaya atau lebih dikenal dengan istilah ponco boyo. 8) Pisang sepet (anak muda), bermakna rejeki agar dekat karna pisang sepet itu pliket, sedangkan pisang raja (untuk orang tua) itu bermakna agar kita ada yang membimbing atau merajai agar mudah. 9) Uang koin, dalam pemaknaan terdahulu sebagai bentuk pengiman untuk si mayit, lalu di masuki ajaran islam diartikan untuk shadaqoh kepada sanak keluarga dan para tetangga. 10) Bara api yang di beri kemenyan, menjadi simbol penghubung dengan roh si mayit disana. 11) Mantenan si mayit , sebagai simbol itulah diri si mayit, mantenan ini terbuat dari kepala yang terbuat dari dunak yang berisi beras lalu mata dari si mayit sendiri itu dari uang koin. 12) Kelapa hijau, bermakna kesuburan atas peninggalan si mayit, yang diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan. 13) Kerbau, merupakan tradisi dari agama pembawa tradisi kalang yaitu Hindu. Dimana kerbau ini sebagai ganti dari sapi yang disucikan dalam agama Hindu. 14) Ceting atau dunak, tanda persatuan persaudaraan.
IV.
ANALISIS TRADISI Berbagai alat-alat yang telah disebutkan pada poin “alat yang dibutuhkan dan pemaknaan” harus ada pada saat ritual upacara ini berlangsung, karena ini merupakan syarat yang harus dipenuhi. Keturunan suku Kalang sendiri masih memegang kuat tradisinya. Mereka tidak berani meninggalkan adat istiadat yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Bagi keturunan Kalang yang tidak melaksanakan ritual ini, dipercaya akan mendapatkan balak yang biasanya berupa penyakit. Penyakit tersebut tidak dapat diketahui penyebab dan bagaimana cara mengobatinya. Bahkan dokter pun tidak dapat mendeteksi apa penyakitnya. Balak tersebut hanya bisa hilang jika si penderita kembali melakukan ritual-ritual adat Kalang seperti biasanya. Hasil Observasi Kelompok II 7
Dewasa ini muncul berbagai kejadian, sebagai mana yang telah dipaparkan oleh Ibu Wiwik “enten kejadian tiang sing mboten nglampahi ritual niki, tiange niku sakit sing dokter mboten saget ngobati. Lajeng di betho ten mbah dukun, mbah dukune piyambek matur „niki kenang penyakit niki lan niku‟ terus mbah dukun nyaranke ken nglampahi ritual maleh, sak sampune nglampahi maleh lajeng penyakite mantun utawi ical ngonten”. Berikut pemaparan dari salah satu contoh dampak meninggalkan ritual adat Kalang, dimana seseorang yang masih memiliki darah suku Kalang, maka harus tetap melaksanakan ritualnya. Penyakit tersebut tidak langsung menyerang pada orang yang tidak melaksanakan ritual tersebut, “ balak iku orak nyerang nang awak dewene, tapi nyerang nak sedulur utowo ponakane” berikut penuturan dari Ibu Wiwik. Dengan artian bahwa balak yang muncul itu menimpa sanak saudara lainnya bukan pada orang yang tidak melaksanakan adat ritual suku Kalang. Sedangkan bagi yang tidak melaksanakan adat slametan gemblong 4 kali dalam setahun, dampaknya akan menimpa diri sendiri. Dalam pengobatannya sama dengan yang terpapar diatas. Sedangkan cara menghilangkan garis keturunan suku Kalang itu dengan menikahi orang yang bukan dari suku Kalang. Dengan demikian garis keturunannya akan mengikuti orang tua yang bukan dari suku Kalang. Berdasarkan sumber-sumber yang telah terlampir diatas, dapat dianalisiskan bahwa : 1) Berdasarkan historis masuknya suku Kalang ke desa Lumansari, Gemuh, Kendal itu mengandung unsur sejarah yang harus di pegang kuat oleh masyarakat sekitar. Dikarenakan sejarah tersebut juga berhubungan dengan berdirinya Kendal sebagai sebuah kota kabupaten. 2) Masyarakat dalam melaksanakan ritual ini bukan hanya sebagai sebuah adat kebudayaan saja, tetapi sebagai suatu pekerjaan yang sudah menjadi keharusan dan mendarah daging pada diri masyarakat suku Kalang. 3) Pada awal masuknya suku tersebut masih membawa aliran dan ajaran dari agama Hindu, tetapi saat para Ulama‟ datang ke daerah tersebut, maka dalam setiap ritual diakulturasikan dengan ajaran Islam dan dalam pemaknaan setiap unsur-unsurnya dikaitkan dengan ajaran islam. 4) Ajaran Islam juga terasa sangat kental saat ritual tahlillan dari hari pertama meninggal sampai dengan urutan-urutan ritual paling akhir.
Hasil Observasi Kelompok II 8
5) Masyarakat suku Kalang sangat mempercayai adanya dampak dari pelanggaran ritual akan timbul kejadian-kejadian yang sejalan dengan mindset mereka. Karna kuatnya kepercayaan yang mengakar pada masyarakat suku Kalang. 6) Rasa persaudaran dan persatuan terlihat begitu jelas pada setiap tahapan dalam ritualritualnya. Seperti saat akan melakukan ritual, maka panak sanak keluarga dan tetanggan sekitar memberi bantuAn berupa sembako atau uang walaupun tidak seberapa besarnya.
V.
KESIMPULAN Adat kalang yang merupakan tradisi asli di pulau jawa, dan tersebar di beberapa daerah di daratan tanah jawa, salah satunya ditempat dimana kelompok kami melakukan penelitian yaitu tempatnya di desa Lumansari, kecamatan Gemuh, kabupaten Kendal. Suku ini memiliki keunikan dalam rangkaian ritual kematian, seperti : Bakaran dan Gemblongan 4 kali dalam setahun. Dalam setiap ritual pasti terdapat sesaji yang berupa : tumpeng beserta lauk pauknya, kembang setaman, gemblong abang putih, dll. Sedangkan ajaran Islam sendiri dibawa oleh Sunan Gesang yang merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Dalam setiap unsur dari ritual tersebut mempunyai simbol dan makna tersendiri.
VI.
PENUTUP Demikian pemaparan hasil dari penelitian kelompok kami atas tradisi kematian suku Kalang yang hidup dan berkembang di desa Lumansari, Gemuh, Kendal. Tradisi yang merupakan warisan dari agama Hindu dan dewasa ini disesuaikan dengan ajaran yang berkembang dimasyarakat setempat yaitu ajaran yang bernafaskan ajaran Islam. Semoga hasil penelitian kami dapat menambah pengetahuan kita semua tentang berbagai ragam kebudataan adat istiadat Indonesia, dimana setiap adat istiadat memiliki keunikan sendirisendiri. Kami pun menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan laporan ini. Maka dari itu, kritik dan saran dari teman-teman sekalian sangatlah berguna. Sekian pemaparan dari kami dan terima kasih.
Hasil Observasi Kelompok II 9
DAFTAR PUSTAKA
Herusantoto, Budiono.,Simbolisasi dalam Budaya Jawa, PT. Handika Graha Widya, Yogyakarta;2000. Wawancara dengan Bpk. Kasnari sebagai perangkat desa, Sabtu 18 Mei 2013 pukul 09.30 WIB. Di kediaman Bpk. Kasnari dk. Lumbu, Lumansari, Gemuh, Kendal. Wawancara dengan Bpk. Soemanto sebagai manten desa, Sabtu 18 Mei 2013 pukul 11.00 WIB. Dikediaman Bpk. Soemanto dk. Kamal, Lumansari, Gemuh, Kendal. Wawancara dengan Ibu Wiwik seorang pembuat gemblong, Sabtu 18 Mei 2013 pukul 14.30 WIB. Di sawah desa Pucangrejo, Gemuh, Kendal.
Hasil Observasi Kelompok II 10