B AB I PENDAHULUAN Konteks Kajian Budaya pada hakikatnya berkenaan dengan cara hidup manusia. Karena itu, budaya ini mencakup tiga wujud yang berkenaan dengan apa yang diperbuat oleh manusia, apa yang diketahui atau dipikirkannya, dan apa yang dibuat atau di gunakannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketiga wujud tersebut oleh Spradley (1985) disebutkan dengan istilah perilaku budaya, pengetahuan budaya, dan benda-benda budaya. Ia menjelaskan bahwa meskipun perilaku budaya dan benda-benda budaya dapat dilihat dengan mudah, kedua wujud tersebut hanya merefleksikan permukaannya. Sebenarnya, yang lebih mendasar dan lebih penting adalah yang tersembunyi sebagai pengetahuan budaya karena pengetahuan tersebut yang membentuk perilaku dan menginterpretasi pengalaman-pengalamannya. Di dalam kehidupan masyarakat, terdapat kelompokkelompok atau lapisan-lapisan sosial yang memiliki struktur, kekuatan, dan cita rasa kehidupan yang cenderung bervariasi. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya strategi adaptasi yang berbeda-beda yang dilakukan oleh setiap komunitas itu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberagaman pola dan strategi adaptasi yang dilakukan oleh beragam komunitas tercermin dan terpantul dalam berbagai perilaku budaya yang dihasilkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, anggota masyarakat selalu berinteraksi dengan lingkungannya dengan menggunakan sistem adat yang berlangsung secara kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama dalam kesatuan sosialnya (Koentjaraningrat, 1990). Mereka menghadapi tantangan dan rangsangan dari lingkungan, termasuk tantangan dan rangsangan dari sumberRepresentasi Budaya dalam Penyajian Tutur
1
sumber daya alam. Dalam menjawab tantangan dan rangsangan ini, mereka secara individual ataupun kolektif mengembangkan budaya dan memanfaatkannya sebagai pedoman beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu wujud pengembangan budaya tersebut adalah penciptaan lagu. Karena itu, penciptaan lagu-lagu daerah Banyuwangi1 dapat dipandang sebagai wujud pengembangan budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat Banyuwangi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Penciptaan tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi merupakan salah satu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat Using dalam memenuhi kebutuhan kreativitas seninya. Produk seni yang berupa tuturan lagu merupakan hasil kreasi dan inovasi masyarakat yang kehadirannya didorong dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Karena itu, tuturan lagu memiliki wujud yang khas sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan tuntutan zamannya. Tuturan yang terdapat dalam lagu dipandang sebagai wacana, yang disebut sebagai wacana budaya. Sebagai wacana budaya, tuturan lagu memperformansikan berbagai tindak tutur. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan oleh Searle (1983:21) bahwa tindak tutur merupakan unit dasar komunikasi. Hipotesis tersebut menyarankan bahwa terdapat serangkaian hubungan analitis antara makna tindak tutur dengan maksud penutur, maksud kalimat yang diujarkan, pemahaman mitra tutur, dan kaidah yang mengatur unsur-unsur bahasa.
1
Sebutan lagu-lagu daerah Banyuwangi menjadi terminologi yang selalu menunjuk pada lagu-lagu berbahasa Using. Sementara, lagu-lagu berbahasa Jawa dan lagu-lagu berbahasa Indonesia yang ada di Banyuwangi tidak pernah dikatakan sebagai lagu-lagu daerah Banyuwangi. Lagu berbahasa Indonesia, dalam konteks sosial budaya masyarakat Using dikenal dengan lagu pop, sedangkan lagu berbahasa Jawa disebut tembang-tembang Jawa.
2
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Tuturan merupakan produk budaya yang berfungsi sebagai wahana bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, tuturan lagu dapat dikatakan sebagai produk budaya. Chapman (1978) menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kehadiran lagu sangat fungsional. Secara individual, lagu berfungsi sebagai sarana untuk berekspresi atau bersublimasi, sedangkan secara sosial, lagu berfungsi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu, antara lain untuk masalah kepercayaan, agama, politik, pendidikan, dan ekonomi. Dengan menggunakan pandangan Duranti (1997), dapat dikatakan bahwa tuturan lagu sebagai sistem mediasi sekaligus merupakan wahana komunikasi. Dari paradigma tindak tutur, tuturan lagu merupakan bentuk tindak tutur. Dalam melakukan tindak tutur ini, penutur terikat oleh berbagai komponen tutur, yakni latar penciptaan atau penyampaian tuturan lagu, partisipan yang menjadi sasaran tuturan lagu, tujuan penyampaian tuturan, topik tuturan, ragam yang digunakan, dan norma-norma yang berlaku dan dijunjung tinggi oleh masyarakat (Hymes, 1974). Pemilihan bentuk penyajian tutur dan teknik penyajian tutur yang digunakan oleh seseorang ketika bertutur disesuaikan dengan karakteristik komponen tutur yang melingkupinya. Tuturan merupakan sarana mengekspresikan gagasan, perasaan, dan pengalaman penuturnya. Sebagai sarana bertutur, teknik pemaparan tuturan disesuaikan dengan konteks tutur yang melatari peristiwa tutur tersebut. Konteks tutur yang dimaksud dalam batasan ini meliputi penutur dan mitra tutur, topik tutur, tujuan tutur, dan latar budaya yang mendasari peristiwa tutur. Dalam konteks yang demikian ini, terjadinya perbedaan teknik pemaparan tuturan dalam lagu dapat dipahami. Gaya tutur dalam tuturan lagu dapat dilihat dari segi pola pengembangan bentuk retorika tuturannya. Melalui pola tuturan yang dipaparkannya itu, dapat dikaji pola pikir masyarakat dalam Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
3
memandang dunia yang ada di sekitarnya. Suatu tindakan atau objek tertentu akan tampak berbeda jika dilihat oleh masyarakat yang berbeda budayanya karena dalam melihat tindakan atau objek tersebut pola pikir masyarakat dilandasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang melekat padanya. Dengan mengutip pandangan Wahab (1998), dapat dikatakan bahwa pola tuturan berlandaskan pada logika yang muncul pada setiap budaya. Seperti halnya budaya, logika tersebut tidak selalu memiliki sifat semesta sehingga pola tuturan pun akan berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lainnya. Pola pengembangan tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi mencerminkan pola budaya masyarakat Using. Pola tuturan lagu tersebut dipengaruhi secara kuat oleh nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Using. Dengan mengadopsi pandangan Liliweri (2002), dapat dikatakan bahwa penggunaan dan penerimaan pola tuturan dalam lagu didasarkan pada ketetapan nilai budaya, yakni nilai yang menetapkan baik atau buruk, indah atau jelek, benar atau salah, tepat atau tidak tepat, dan bernilai atau tak berharga. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa kandungan budaya suatu masyarakat ada dalam bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh anggota masyarakat dalam berkomunikasi. Boas (dalam Duranti, 1997) mengungkapkan bahwa seseorang tidak dapat memahami secara nyata budaya lain tanpa memiliki akses langsung atas bahasanya. Pernyataan Boas ini mengimplikasikan bahwa di dalam bahasa terkandung dan tecermin budaya masyarakat penuturnya. Fokus Pembahasan Bahasa sebagai salah satu unsur budaya sekaligus juga merupakan sarana pengembangan budaya masyarakat penutur bahasa tersebut. Dalam bahasa, terekam wujud dan perilaku budaya masyarakat. Karena itu, melalui kajian bahasa dapat 4
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dipahami dan dikenali budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut. Sejalan dengan pernyataan di atas, paparan yang disajikan dalam beberapa bab buku ini membahas representasi budaya dalam penyajian tutur, khususnya dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi. Fokus pembahasan tersebut diarahkan pada upaya pemahaman kesantunan budaya masyarakat dalam bentuk dan gaya tutur yang terungkap dalam lagu. Karena tu, landasan teori yang digunakan sebagai dasar pembahhasan aalah teori tindak tutur dan teori kajian budaya. Dengan menggunakan teori-teori tersebut, fokus pembahasan dalam buku ini meliputi (1) representasi budaya dalam bentuk tutur, (2) representasi budaya dalam teknik bertutur, (3) representasi budaya dalam pola tutur, dan (4) representasi budaya dalam retorika tutur. Simpulan dari hasil pembahasan setiap butir tersebut dikembangkan sebagai temuan ilmiah. Berdasarkan temuan ilmiah ini, selanjutnya dikemukakan implikasi temuan untuk pengembangan disiplin ilmu (a) Kajian Budaya, (b) Kajian Analisis Wacana, (c) Kajian Tindak Tutur, (d) Kajian Sosiolinguistik, (e) Pemertahanan Budaya, dan (f) Pembelajaran Muatan Lokal. Metode Kajian Tuturan lagu-lagu daerah dipandang sebagai produk budaya yang mengekspresikan budaya etnik penuturnya. Tuturan tersebut berupa paparan bahasa sehingga melalui paparan dan penggunaan bahasa tersebut budaya suatu masyarakat di gambarkan atau diekspresikan. Sebagai fenomena penggunaan bahasa, tuturan lagu daerah Banyuwangi adalah tanda, yang dalam konteks budaya, yakni sebagai tanda budaya etnik Using. Tanda-tanda dalam tuturan lagu tersebut dapat dipahami oleh masyarakat Using karena tuturan itu menggunakan kode bahasa yang dapat dimengerti dan didasarkan pada konvensi. Namun, Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
5
bagi orang yang tidak berada dalam satu konvensi, untuk memahami makna tanda tersebut diperlukan penafsiran secara cermat terhadap tanda itu. Karena itu, dalam penafsiran makna tanda ini digunakan hermeneutika sebagai piranti analisisnya. Sesuai dengan wujudnya sebagai teks, untuk penafsiran makna ini digunakan prinsip-prinsip hermeneutika menurut pandangan Ricoeur. Pemilihan hermeneutika sebagai dasar pemahaman tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi didasarkan pada beberapa alasan berikut. a. Sebagai satu kesatuan sosial, etnik Using hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan berpegang pada kesamaan norma, nilai, simbol, dan kepercayaan sebagai pedoman dalam menjalankan praktik budaya. b. Dalam kehidupannya sehari-hari, masyarakat Using selalu berinteraksi dengan lingkungan alam dan lingkungan sosilnya. Dalam interaksi ini, muncul berbagai tantangan dan rangsangan yang mendorong kreativitas mereka untuk mengembangkan budaya. Dengan demikian, budaya adalah hasil kreativitas masyarakat yang lahir dari interaksi dan bersifat memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri. Mereka mengembangkan berbagai sistem budaya sesuai dengan kebutuhan hidup yang melingkupinya. Karena sifatnya sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan hidup di dalam masyarakatnya, budaya tersebut bersifat khas sesuai dengan kondisi lingkungan dan kondisi masyarakatnya. c. Setiap masyarakat memiliki budaya. Budaya yang dimiliki suatu masyarakat berbeda dengan budaya masyarakat lainnya. Tidak ada satu pun budaya universal yang dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan hidup semua orang. Bahkan, dalam satu kesatuan masyarakat pun terdapat sejumlah subsistem budaya yang dimiliki oleh komunitas yang berbeda-beda. Subsistem budaya yang dimiliki oleh 6
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
komunitas yang satu berbeda dengan subsistem budaya komunitas lainnya dalam satu budaya atau masyarakat yang melingkupinya. d. Budaya merupakan tatanan, nilai-nilai, dan norma-norma yang disepakati, dijunjung tinggi, dihormati, dan digunakan sebagai pedoman oleh setiap individu dalam berperilaku di masyarakat. Budaya suatu masyarakat berwujud pengetahuan, perilaku, dan benda-benda budaya yang merupakan produk budaya masyarakat. Ketiga wujud tersebut ada pada seluruh sistem dan subsistem budaya yang dikembangkan oleh masyarakat atau komunitas. e. Bahasa merupakan salah satu produk budaya dan unsur budaya masyarakat. Dalam hal ini, bahasa selain sebagai produk budaya juga berfungsi sebagai wahana untuk berbudaya. Dengan menggunakan bahasanya, masyarakat Using menjawab tantangan lingkungan dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya yang terwujud dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Melalui tuturan lagu itu, masyarakat Using mengekspresikan pengetahuan, pesepsi, sikap, nilai-nilai, kepercayaan, dan tradisi serta kondisi kehidupan yang melingkupinya. f. Sebagai ekspresi budaya, tuturan lagu daerah Banyuwangi mencerminkan corak budaya masyarakat Using sebagai penuturnya. Karena itu, tuturan lagu dapat dipandang sebagai sumber budaya atau sumber kajian budaya. Melalui pengajian terhadap tuturan lagu, dapat dipahami dan diperikan corak budaya masyarakat penuturnya. g. Tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dipandang sebagai produk dari aktivitas bertutur masyarakat Using. Sebagai produk aktivitas bertutur, tuturan lagu merupakan rekaman verbal peristiwa tutur yang di dalamnya terdapat beragam tindak tutur. Dalam hal ini, tuturan lagu tidak hanya merupakan bentuk verbal yang berwujud kata-kata, tetapi Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
7
juga mengandung maksud sesuai dengan fungsi tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya. Dengan tuturan lagu tersebut, penutur lagu melakukan tindakan yang diekspresikan melalui penyampaian pesan-pesan budaya kepada mitra tuturnya. h. Penuturan atau penyampaian tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dipandang sebagai penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Penutur lagu dengan menggunakan bahasanya mengomunikasikan pesan-pesan budaya kepada mitra tuturnya sesuai dengan konteks budaya masyarakat Using yang melatarinya. Karena itu, tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dikatakan sebagai wujud konkret wacana budaya. i. Sebagai wujud konkret wacana budaya, tuturan lagu daerah Banyuwangi berupa teks, yakni teks tuturan lagu. Teks tuturan lagu tersebut mengandung struktur dan fungsi. Sebagai ekspresi budaya masyarakat Using, struktur dan fungsi teks tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dikaji dari aspek (1) pesan budaya yang meliputi isi pesan dan maknanya; dan (2) sikap budaya yang meliputi sikap dalam (a) kehidupan berketuhanan, (b) kehidupan bermasyarakat, (c) kehidupan pribadi, dan (d) hubungannya dengan alam. j. Untuk menafsirkan makna bahwa kosakata, gaya tutur, pesan budaya, dan sikap budaya dalam tuturan itu sebagai cerminan budaya etnik Using, diperlukan (a) pemahaman tuturan lagu secara cermat, (b) penggambaran, penggayutan, dan perefleksian hasil pemahaman berdasarkan kenyataan dan tindakan konkret masyarakat Using, dan (c) pemaknaan hasil refleksi tersebut sesuai dengan eksistensi budaya masyarakat Using sebagai penuturnya. Dalam hal ini, pemahaman pada level semantik, refleksif, eksistensial dilakukan dalam penafsiran tuturan lagu. Karena itu, prinsip hermeneutika 8
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Ricoeur digunakan sebagai ancangan metodologis dalam penelitian ini. k. Dengan memanfaatkan ancangan teoretis dan metodologis tersebut, dapat diperikan temuan penelitian ekspresi budaya etnik Using dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
9
B AB II TINDAK TUTUR SEBAGAI
W ACANA
BUDAYA Kajian tindak tutur dapat dimanfaatkan sebagai unit kajian wacana budaya. Untuk mendapatkan pemahaman secara ontologis dan epistimologis tentang kajian tindak tutur, diperlukan pemahamn tentang (a) konsep dasar tindak tutur, (b) makna pesan dalam tindak tutur, (c) konteks dan strategi tindak tutur. Ketiga hal tersebut dibahas berikut ini. Konsep Dasar Tindak Tutur Teori tindak tutur pertama kali diperkenalkan oleh John Austin, yang ide-idenya lebih lanjut dikembangkan oleh John Searle (lihat Schiffrin, 1994 dan Coulthard, 1979). Austin adalah orang pertama yang menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang dapat dilakukan dengan kata-kata. Ia menyatakan bahwa suatu tuturan bukan sekedar pernyataan atau pertanyaan tentang informasi tertentu, tetapi tuturan tersebut merupakan suatu tindakan. Ketika seseorang menyampaikan tuturan, sebenarnya penutur tidak sekedar menuturkan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu. Dalam hal ini, penutur tidak hanya mengatakan sesuatu, tetapi penutur juga melakukan tindakan tertentu sesuai dengan yang diktakan itu (Austin,1978). Teori tindak tutur Austin tersebut lebih lanjut di kembangkan oleh Searle dan menempatkannya teori tersebut dalam teori linguistik. Searle juga mengenalkan ide-ide penting tentang tindak tutur yang dapat diterapkan pada wacana. Menurut Searle (1983:21), dalam komunikasi tutur terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekedar lambang 10
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
kata atau kalimat, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai produk dari lambang, kata, atau kalimat yang berwujud tindak tutur. Secara tegas, dapat dikatakan bahwa tindak tutur adalah produk dari suatu tuturan dalam konteks tertentu dan merupakan satuan dasar dari komunikasi bahasa (Schiffrin, 1994:54). Karena komunikasi bahasa dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah. Tindak tutur dalam tuturan menentukan makna tuturan tersebut. Namun, makna tuturan itu tidak semata-mata di tentukan oleh tindak tutur tersebut sebagaimana yang berlaku dalam tuturan yang sedang diujarkan itu, tetapi selalu dalam prinsip adanya kemungkinan untuk menyatakan secara tepat apa yang dimaksud oleh penuturnya. Karena itu, dalam setiap tindak tutur, penutur memiliki kemungkinan untuk menyampaikan tuturan-tuturan tertentu untuk menyesuaikannya dengan konteks tuturnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa teori tindak tutur adalah teori yang cenderung mengkaji makna tuturan, dan bukannya teori yang mengkaji struktur kalimat dari tuturan tersebut. Ketika seorang penutur ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, hal yang ingin disampaikannya itu adalah makna atau maksud. Untuk menyampaikan makna atau maksud tersebut, penutur menuangkannya ke dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur yang akan dipilihnya bergantung pada beberapa faktor, antara lain: dengan bahasa apa tuturan tersebut harus disampaikan, siapa mitra tutur yang akan menjadi penerima tuturannya itu, dalam konteks yang bagaimanakah tuturan tersebut disampaikan, dan kemungkinan struktur bahasa yang manakah akan digunakan untuk tuturan tersebut. Dengan demikian, untuk menyampaikan satu maksud perlu di pertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
11
situasi tutur, posisi penutur, struktur yang ada dalam bahasa yang digunakan untuk bertutur, dan mitra tutur. Dalam tindak tutur tersebut, menurut Austin (dalam Schiffrin, 1994; Coulthard, 1979; dan Levinson, 1986), suatu tuturan memperformansikan beberapa tindak secara simultan, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi mengaitkan suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu ungkapan, serupa dengan hubungan antara pokok dan predikat atau topik dan penjelasan dalam sintaksis. Karena itu, lokusi suatu tuturan terletak pada makna dasar dan referensi tuturan itu. Tindak lokusi ini oleh Searle (1983) disebut tindak proposisi, yang mengacu pada aktivitas menyampaikan tuturan tanpa disertai tanggung jawab penuturnya. Yang diutamakan dalam tindak lokusi ini adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Tindak ini merupakan dasar bagi tindak tutur lain, lebihlebih bagi tindak ilokusi (Austin, 1978). Tindak ilokusi merupakan pengucapan suatu pernyataan, tawaran, janji, pertanyaan, dan sebagainya yang berhubungan erat dengan bentuk-bentuk bahasa yang mewujudkan suatu ungkapan. Karena itu, lokusi suatu tindak bahasa atau tuturan terletak pada daya yang ditimbulkan oleh pemakaian bentuk bahasa atau tuturan sebagai suatu perintah, pujian, keluhan, ejekan, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan tindak ilokusi ini, Austin (1978:142) mengatakan bahwa tindak menuturkan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam menuturkan sesuatu (in saying). Tindak menuturkan sesuatu hanya bersifat mengungkapkan informasi tertentu, sedangkan tindak dalam menuturkan sesuatu mengandung tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan tindakan tertentu sehubungan dengan isi tuturan. Tindak menuturkan sesuatu ini oleh Austin disebut tindak lokusi, sedangkan tindak dalam menuturkan sesuatu disebut tindak ilokusi. Dalam tindak ilokusi ini, didapatkan daya yang mewajibkan penutur untuk melakukan suatu tindak tertentu 12
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
sebagaimana yang diujarkan. Tindak perlokusi merupakan hasil atau dampak tuturan yang dikemukakan oleh penutur kepada mitra tutur. Karena itu, perlokusi suatu tindak tutur terletak pada hasil dari apa yang dituturkan penutur kepada mitra tutur. Pesan Tindak Tutur Ketika bertutur, sebenarnya seseorang melakukan tindak tutur. Karena itu, makna pesan-pesan yang disampaikan melalui tuturan sejalan dengan pesan tindak tutur yang dilakukannya. Berkaitan dengan tindak tutur ini, Searle (dalam Schiffrin, 1994; Coulthard, 1979; dan Levinson 1983) mengemukakan lima macam tindak tutur, yakni (1) tindak direktif, (2) tindak komisif, (3) tindak representatif, (4) tindak ekspresif, dan (5) tindak deklaratif. Beragam tindak tutur tersebut terwujud dalam beragam tuturan yang menyampaikan pesan-pesan budaya. Tindak direktif merupakan tuturan yang berisi pesan untuk mendorong mitra tutur melakukan sesuatu. Tuturan ini menuntut penutur untuk meminta atau memerintah mitra tutur agar melakukan atau berhenti melakukan sesuatu. Makna pesan yang disampaikan melalui tindak direktif ini di antaranya meliputi penyampaian saran, permohonan, perintah, dan permintaan. Tindak komisif merupakan tindak tutur yang mendorong penutur melakukan sesuatu. Hal ini menuntut penutur merencanakan berbagai tindakan yang perlu dilaksanakan selanjutnya. Pesan yang disampaikan dalam tuturan berfungsi untuk menjanjikan atau menolak suatu tindakan. Termasuk dalam tindak komisif ini adalah berjanji, bersumpah, bernazar. Tindak representatif disebut juga tindak asertif, yakni tindak tutur yang dapat dinilai benar atau salahnya. Tindak representatif ini merupakan tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu sebagaimana adanya. Hal ini menuntut keteguhan dan tanggung jawab penutur atas kebenaran proposisi yang diekspresikannya. Fungsi pesan dalam tuturan tindak Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
13
representatif tersebut adalah untuk menyatakan, menunjuk, mengemukakan, menjelaskan, memaparkan, dan sebagainya. Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Tindak tutur tersebut berupa ungkapan kesenangan, kekecewaan, suka, tidak suka, dan sebagainya. Pesan yang disampaikan dalam tuturan tindak ekspresif ini berfungsi untuk menyampaikan permintaan maaf, penyesalan, ucapan terima kasih, dan pujian. Tindak deklaratif merupakan tindak tutur yang berfungsi memantapkan atau membenarkan suatu tindakan atau tuturan lain atau tuturan sebelumnya. Tindak tutur ini menghubungkan isi proposisi dengan realitas yang sebenarnya. Fungsi pesan dalam tindak tutur tersebut adalah menyatakan, membaptis, menghukum, memecat, memberi nama, menetapkan, dan sebagainya. Tindak tersebut, menurut Searle, dikatakan sebagai tindak ilokusi khusus. Tindak deklaratif ini hanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki kewenangan dalam melakukannya. Konteks dan Strategi Tindak Tutur Yang dimaksud dengan konteks tindak tutur adalah komponen-komponen tutur yang membangun peristiwa tutur dan menjadi penentu fungsi tindak tutur. Menurut Hymes (1974), tindak tutur memiliki beberapa komponen, yang meliputi latar, partisipan, fungsi interaksi, tujuan, kunci, topik, saluran, ragam, dan norma. Suatu ragam tindak tutur dapat terjadi karena tujuan tertentu dalam tempat tertentu dengan partisipan tertentu (Coulthard, 1979). Suatu peristiwa tutur terjadi pada latar tertentu, yakni pada ruang dan waktu tertentu. Latar tersebut dapat mempengaruhi pilihan ragam tutur. Dalam latar formal, terdapat kecenderungan digunakan ragam formal. Dalam latar informal, cenderung digunakan ragam santai. Pemilihan ragam tutur tersebut juga dipengaruhi oleh partisipan tutur. Penutur 14
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
kemungkinan akan memilih ragam tutur yang lebih akrab jika bertutur pada teman-temannya yang sebaya, tetapi ia akan memilih ragam yang lebih formal jika ia berbicara dengan mitra tutur yang lebih tua atau mitra tutur yang dihormati. Semua peristiwa tutur dan tindak tutur memiliki fungsi interaksi, yang kadang-kadang hanya sebagai basa-basi. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan dan memelihara hubungan sosial antaranggota masyarakat tutur tersebut. Sebagai contoh, sapaan Ring banyu, Yuk? ‘Mau ke sungai, Mbak?’ dan hanya dijawab dengan senyuman oleh mitra tuturnya sebenarnya hanya merupakan tuturan basa-basi. Dalam hal ini, penanya sekedar menjalankan fungsi basa-basi, ia tidak ingin mengetahui urusan yang sebenarnya dari mitra tuturnya. Kunci komunikasi dalam komponen tindak tutur, menurut Hymes (1974), menyelaraskan nada tutur seirama dengan sikap penuturnya. Kunci tersebut tampak dari sikap penutur terhadap mitra tuturnya, pilihan ragam tutur, dan penataan nosi dan fungsi sesuai dengan norma budaya penuturnya. Suatu tindak tutur yang sama, dengan latar dan partisipan tutur yang sama akan berbeda bila ada kunci yang berbeda, yaitu sungguh-sungguh atau mainmain. Karena itu, Hymes mengatakan bahwa tuturan yang dituturkan dengan nada kasar, boleh jadi, akan memiliki makna yang berlawanan. Saluran komunikasi dalam bertutur membedakan tuturan tulis dan tuturan lisan. Ragam tuturan tulis berbeda dengan ragam tuturan lisan (Coulthard, 1979). Ragam tutur tidak hanya ditentukan oleh saluran yang digunakan dalam bertutur, tetapi juga dipengaruhi oleh isi pesan atau topik yang dituturkannya (Hymes, 1974). Ketika penutur menuturkan masalah sehari-hari, ia kemungkinan lebih mantap menggunakan bahasa daerahnya, tetapi ketika menuturkan masalah-masalah formal akademis, ia lebih lancar jika menggunakan bahasa Indonesia. Berkaitan dengan topik tersebut, Coulthard (1979) menjelaskan bahwa ada Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
15
beberapa topik yang dapat dituturkan dengan siapa saja, dan sebaliknya, ada topik yang dapat dituturkan dan relevan dengan keadaan tertentu saja kepada orang tertentu, dan atau pada waktu tertentu. Dalam berkomunikasi, semua anggota masyarakat tutur memiliki seperangkat aturan nonlinguistik yang yang mendasarinya, yang mengarahkan mereka kapan dan bagaimana tindak tutur tersebut dilakukan (Coulthard, 1979). Aturan-aturan tersebut tidak tertulis, tetapi telah disepakati oleh anggota masyarakat tutur. Bila ada yang melanggar, akan terjadi konflik, kejutan, timbul kesan negatif, dan sebagainya. Aturan tersebut juga mengatur dalam hal gilir tutur. Dalam suatu percakapan, partisipan tutur memiliki peran yang berubah-ubah. Ketika partisipan tutur mendapat gilir tutur, sebagai penutur, ia harus dapat mengontrol tuturannya, menentukan topik tuturannya, dan memberikan gilir tutur mitra tuturnya. Dalam komunikasi sehari-hari, maksud tuturan tidak selalu disampaikan dalam wujud tuturan yang lugas, tetapi maksud tersebut disampaikan secara tersembunyi di balik tuturan itu. Untuk menyampaikan tindak tutur berjanji, verba performatif berjanji tidak selalu secara eksplisit diujarkan. Demikian juga, tindak tutur meminta atau memerintah tidak selalu diwujudkan dalam tuturan yang berupa kalimat imperatif, kemungkinan dapat diwujudkan dalam tuturan yang berupa kalimat tanya. Sejalan dengan pembahasan di atas, Coulthard (1979:25— 26) membedakan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang perwujudannya disampaikan dalam tuturan secara lugas, yakni kalimat tanya difungsikan untuk melakukan tindak bertanya, kalimat perintah difungsikan untuk melakukan tindak memerintah, meminta, atau pun mengajak, dan kalimat berita difungsikan untuk mengatakan atau memberitakan sesuatu. 16
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Sebaliknya, tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang disampaikan dalam wujud tutur yang tidak secara langsung menunjukkan pernyataan, perintah, atau pertanyaan, misalnya untuk meminta tolong dapat dilakukan dengan menggunakan wujud tutur yang berupa pertanyaan.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
17
B AB III NILAI BUDAYA DAN KELAS SOSIAL Pada bagian ini, diuraikan kajian teori tentang nilai-nilai budaya dan kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Kedua hal tersebut dipaparkan berikut ini. Nilai-nilai Budaya Sistem nilai budaya merupakan nilai inti dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi, dihormati, dan ditaati untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem nilai ini merupakan aturan yang mengarahkan perilaku anggota masyarakat dalam menjalankan aktivitas sosial budaya. Koentjaraningrat (2003) menyebutkan bahwa sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai tersebut telah melekat pada diri setiap anggota masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam jangka waktu yang singkat karena menyangkut masalah-masalah utama bagi kehidupan manusia (Sukidin, Basrowi, dan Wiyaka, 2003:10—11). Selain nilai-nilai budaya, dalam kehidupan di masyarakat terdapat norma-norma budaya. Nilai dan norma ini pada hakikatnya merupakan kaidah-kaidah kemasyarakatan yang mengendalikan dan mengatur aktivitas sosial budaya suatu masyarakat. Nilai dan norma budaya ini menjadi pedoman dan pegangan hidup yang dijunjung tinggi dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut bersifat abstrak dan berisi gagasan-gagasan yang dianggap baik, benar, dan dikehendaki bersama oleh anggota masyarakat. Karena nilai budaya bersifat abstrak dan umum, dimungkinkan terjadinya 18
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
berbagai perilaku sosial yang berbeda-beda antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Selama keberagaman perilaku tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut, konflik antaranggota masyarakat dalam satu etnik yang sama tidak akan terjadi. Sementara, norma budaya merupakan pedoman perilaku budaya yang lebih khusus. Dalam hal ini, norma mengatur dan mengarahkan cara berperilaku, berpikir, bertutur individu anggota masyarakat dalam situasi tertentu (Conklin, 1984). Nilai-nilai dan norma budaya suatu masyarakat selalu mengatur dan mengarahkan cara individu anggota masyarakat dalam bersikap dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakatnya. Nilai-nilai dan norma-norma budaya ini terpantul dalam cara pandang dan sikap budaya anggota masyarakat dalam menjalankan praktik budaya. Cara pandang dan sikap budaya anggota masyarakat dapat dilihat dari 5 masalah pokok bagi kehidupan manusia. Kelima masalah pokok tersebut meliputi (a) hakikat hidup manusia, (b) hakikat karya bagi manusia, (c) hakikat waktu bagi manusia, (d) hakikat alam bagi manusia, dan (e) hakikat hubungan antarindividu. Berdasarkan kelima masalah pokok itu, Thompson, dkk. (1990) menyebutkan ada 5 cara pandang dan sikap masyarakat terhadap kehidupan sosial budaya, yakni hirarkhi, egalitarian, fatalistik, individualistik, dan otonomi. Kelima cara pandang tersebut membentuk dan menentukan corak kehidupan sosial budaya masyarakat. Dalam kaitannya dengan masalah pokok dalam kehidupan manusia, Sukidin, Basrowi, dan Wiyaka (2003) menjelaskan sikap hidup manusia dalam kaitannya dengan hakikat hidup dan hakikat karya. Menurut mereka, ada 3 pandangan dasar yang mengungkapkan makna hidup bagi manusia, yakni (a) hidup untuk bekerja, (b) hidup untuk beramal dan berbakti, dan (c) hidup untuk bersenang-senang. Sementara, makna karya bagi manusia adalah (a) untuk mencari nafkah, (b) untuk mempertahankan hidup, (c) untuk kehormatan, (d) untuk kepuasan dan keRepresentasi Budaya dalam Penyajian Tutur
19
senangan, dan (e) untuk amal ibadah. Sikap terhadap hakikat hidup dan hakikat karya ini dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Kelas Sosial dan Budaya Kelompok etnik didefinisikan sebagai suatu kesatuan sosial yang memiliki sejarah, tradisi budaya, dan bahasa (Singh, 1999). Setiap kelompok etnik merupakan kelompok masyarakat yang dibatasi oleh identitas budaya tertentu dan membentuk kelompok masyarakat yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Secara sosial, kelompok etnik tersebut diciritandai oleh bahasa, keyakinan, nenek moyang, gaya hidup, tradisi budaya, nasionalisme, dan kadang-kadang oleh ciri fisik (Conklin, 1984:197). Etnisitas atau rasa kemasyarakatan kelompok etnik diturunkan dari generasi ke generasi melalui proses sosial. Sejak dini, anak berada dalam lingkungan kelompok etniknya dan belajar tentang gaya hidup, bahasa, dan tradisi budaya yang berlaku di lingkungan tersebut. Gaya hidup, bahasa, dan tradisi budaya yang dimiliki oleh kelompok etnik menciptakan batas antarkelompok sosial. Bahkan, anggota-anggota kelompok etnik saling berbagi pengalaman dan mengembangkan pola-pola interaksi yang hanya terjadi dan berlaku di kalangan etnik tersebut. Pola interaksi suatu etnik dapat dikaji melalui pilihan dan ragam bahasa yang digunakannya dalam interaksi tersebut (Holmes, 2001:175). Ada dua konsep tentang kelompok etnik, yakni mayoritas etnik dan minoritas etnik (Singh, 1999). Mayoritas etnik mengacu kepada kelompok etnik yang memegang kekuatan sosial dan politik pada suatu bangsa, sedangkan minoritas etnik mengacu pada kelompok yang kurang memiliki atau bahkan tidak memiliki
20
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
kekuatan sosial dan politik.2 Mayoritas etnik membangun kelompok budaya yang dominan dalam membentuk infrastruktur bangsa, sebagai contoh, sistem pemerintahan dan sistem pendidikan. Afiliasi budaya mayoritas etnik (contoh: keyakinan agama dan penggunaan bahasa) menjadi utama karena kelompok tersebut memiliki kekuatan untuk menekan mereka melalui institusi yang mapan.3 Akhirnya, masyarakat mengikuti hal-hal yang telah dibentuk oleh keyakinan mayoritas etnik sebagai norma. Dalam praktik budaya, identitas kelompok mayoritas tidak selalu ditampakkan dalam suatu tuturan, sedangkan identitas kelompok minoritas selalu disampaikan secara eksplisit. Stereotipe negatif dari kelompok minoritas etnik sering diabadikan. Sebagai contoh, kulit hitam sering digunakan sebagai katakata negatif untuk mengungkapkan kebencian, pertengkaran, keributan, dan sebagainya. Berkaitan dengan stereotipe negatif tersebut, Dijk (1987) menunjukkan bahwa topik-topik negatif ‘kriminal’ sering dilakukan dengan penyebutan kelompok etnik tertentu, tetapi jika topik tersebut positif jarang difokuskan pada masalah etnik. Untuk menetapkan label sebagai pemarkah positif untuk identitas etnis tidak mudah. Namun, untuk membuat label
2
Pada umumnya, mayoritas etnik dibentuk oleh sebagian besar populasi suatu bangsa, sedangkan minoritas etnik diikuti oleh sebagian kecil dari populasi tersebut. Namun, populasi yang besar dari segi jumlah tidak selalu memiliki kekuatan sosial politik. Dalam kenyataan, dapat dilihat bahwa ada kelompok minoritas yang mampu memimpin kelompok mayoritas secara sosial atau pun politik. 3 Meskipun faktanya bahwa perilaku budaya kelompok minoritas dipengaruhi dan ditetapkan oleh kelompok mayoritas, anggota kelompok minoritas dapat memilih dan tetap memelihara perbedaannya dengan kelompok mayoritas. Anggota kelompok minoritas tetap berpartisipasi dalam budaya, agama, praktik berbahasa yang membedakan mereka dari norma kelompok mayoritas. Dalam hal penggunaan bahasa, kelompok minoritas tetap mempertahankan bahasa ibunya yang berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh kelompok mayoritas. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
21
negatif tidak sulit karena label tersebut terus digunakan sebagai istilah makian terhadap etnik. Sebagai suatu kesatuan sosial yang memiliki sejarah, tradisi budaya, dan bahasa yang sama, kelompok etnik dapat dikategorisasikan berdasarkan kelas-kelas sosialnya. Perbedaan kelas sosial ini berpengaruh terhadap perilaku budaya yang tercermin dalam penggunaan bahasanya. Namun, untuk mendefinisikan kelas sosial secara pasti tidak mudah. Sebagai acuan dalam pembatasan kelas sosial tersebut, Jones (1999) mengelompokkan kelas sosial anggota masyarakat berdasarkan keturunan, pendidikan, jabatan, dan ekonomi. Penggunaan bahasa suatu kelompok sosial sering ditandai oleh penggunaan aksen dan dialek. Aksen mengacu pada pelafalan, yakni cara penuturan kata-kata yang dikaitkan dengan area geografis tertentu, sedangkan dialek mengacu pada tatabahasa dan kosakata (leksis). Dalam bahasa lisan, suatu dialek sering dikaitkan dengan aksen tertentu. Penutur yang menggunakan dialek regional juga akan menggunakan aksen regional tersebut. Namun, tidak semua dialek dan aksen tersebut merupakan variasi regional. Ragam bahasa regional dan ragam bahasa sosial tidak dipisahkan secara tegas. Dialek regional biasanya juga dialek sosial. Penutur dari berbagai daerah tertentu cenderung juga dikaitkan dengan kedudukannya dalam skala sosial. Maka dari itu, dua orang yang berasal dari daerah yang sama akan memiliki cara bertutur yang berbeda bergantung pada posisi sosialnya. Dari penjelasan ini, dapat dikemukakan bahwa ciri tuturan memiliki keterkaitan dengan kelompok sosial tertentu. Anggota kelompok sosial akan menggunakan bahasa yang sesuai dengan kelompok sosialnya. Untuk memperoleh informasi sosial, dapat dilakukan dengan memanfaatkan aksen. Kedududukan sosial seseorang sering ditunjukkan oleh tipe aksen dan dialek yang digunakannya (Jones, 1999). 22
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Beberapa ahli sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan kelas sosial. Labov (1972) meneliti variasi bahasa dalam kaitannya dengan kelas sosial, yang pengelompokan kelas sosial tersebut didasarkan pada kriteria pendidikan, jabatan, dan hasil yang diperoleh. Berdasarkan pengelompokan tersebut, diperoleh kategorisasi kelas bawah, kelas pekerja, kelas menengah bawah, dan kelas menengah atas. Trudgill (1983) mengelompokkan informan penelitiannya berdasarkan pada penghasilan, pendidikan, pemilikan rumah, lokalitas, dan jabatan orang tuanya. Berkaitan dengan kajian yang dilakukan oleh Labov dan Trudgill tersebut, Jones (1999) menjelaskan bahwa ada hal penting yang perlu diperhatikan, yakni sampai saat ini kajian klasik tentang ragam bahasa didasarkan pada pandangan yang merupakan konsensus dari kelas sosial. Pandangan ini berkeyakinan bahwa masyarakat pada umumnya sependapat dengan norma perilaku yang bergengsi, dan biasanya mereka mengarah pada norma bergengsi tersebut. Sementara itu, ahli bahasa yang lain memusatkan perhatian pada faktor lain, yakni memahami ragam bahasa yang didasarkan pada jaringan sosial dan pandangan konflik dari divisi sosial. Dalam hal ini, pemertahanan bentuk-bentuk yang menyimpang dari norma baku dipandang sebagai pemarkah positif anggota kelompok dan dianggap sebagai penolakan terhadap norma kelompok sosial bergengsi. Uraian di atas menggambarkan bahwa dalam kelompok etnik terdapat sejumlah kelompok sosial. Setiap kelompok sosial tersebut memiliki budaya yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri bahasa yang dituturkannya. Terdapatnya ciri bahasa pada tuturan kelompok sosial tersebut, menurut Farb (2005), disebabkan oleh lingkungan yang membentuk dan mewariskannya. Pada dasarnya, menurutnya, manusia tidak lahir bebas. Ia mewarisi suatu bahasa yang penuh dengan ungkapan-ungkapan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
23
pelik, kata-kata kuno, dan cara-cara mapan tertentu yang membelenggu pikirannya. Pada dasarnya manusia memiliki sikap, watak, dan kondisi psikologis yang berbeda-beda. Perbedaan ini membawa pengaruh pada cara penyampaian pesan yang terwujud dalam penggunaan bahasanya. Dalam kaitannya dengan perbedaan cara penyampaian pesan tersebut, Littlejohn (1992) menyampaikan tiga macam penjelasan secara psikologis, yakni (1) penjelasan sifat (trait explanations), (2) penjelasan keadaan (state explanations), dan (3) penjelasan proses (process explanations). Penjelasan sifat memfokuskan pada karakteristik individu yang relatif tetap. Penjelasan tersebut juga berusaha menerangkan cara-cara individu menghubungkan sifat yang dimilikinya dengan sifat-sifat dan variabel-variabel lain. Teori ini mengaitkan antara tipe kepribadian tertentu dengan jenis pesan tertentu. Pada hakikatnya teori ini mengajarkan bahwa jika seseorang memiliki sifat kepribadian tertentu, ia cenderung akan berkomunikasi dengan cara-cara tertentu. Sebagai contoh, orang yang suka membantah, ia cenderung memaksakan kehendaknya dan menolak pendapat orang lain. Penjelasaan keadaan memfokuskan pada kondisi pikiran yang dialami seseorang selama periode tertentu. Keadaan atau kondisi individu secara relatif tidak tetap atau berubah. Teori tersebut menerangkan bagaimana suatu keadaan mempengaruhi jenis pesan yang disampaikan dan cara pesan tersebut dipahami. Teori ini juga menyampaikan bahwa ketika individu terlibat penuh dalam suatu topik karena topik tersebut penting dalam kehidupannya, ia cenderung tidak merasakan pesan tertentu tentang topik itu.4 4
Penjelasan sifat dan penjelasan keadaan dapat digunakan bersama-sama satu dengan lainnya. Teori ini mengakui bahwa manusia memiliki banyak karakter yang relatif stabil. Pada waktu yang bersamaan, teori ini menunjukkan bahwa perilaku kita tidak seluruhnya ditentukan oleh sifat kita. Para peneliti
24
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Penjelasan proses menerangkan cara-cara komunikasi terjadi. Ada beberapa sifat individu yang mempengaruhi cara mereka berkomunikasi. Sifat tersebut adalah (a) rasa takut untuk berkomunikasi yang disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri, (b) perhatian pada diri sendiri, sikap pada orang lain, dan sikap pada situasi, (c) dominatif, dramatik, suka mendebat, animasif, impresif, rileks, terbuka, ramah, dan sebagainya, dan (d) asertif, argumentatif, permusuhan, dan keagresifan verbal. Sifat asertif dan argumentatif termasuk sifat positif, sedangkan sifat permusuhan dan keagresifan verbal termasuk sifat negatif.
membedakan mana perilaku yang merupakan sifat seseorang dan mana perilaku yang merupakan suatu kedaan. Untuk mengukur sifat, peneliti berusaha menemukan kecenderung perilaku seseorang dalam berbagai peristiwa. Sementara, untuk mengukur keadaan pikiran seseorang, peneliti mengukur watak seseorang pada saat komunikasi tersebut. Suatu keadaan tertentu merupakan hasil interaksi antara sifat seseorang dan situasi komunikasi. Dengan kata lain, cara seseorang berkomunikasi merupakan kombinasi dari sifat komunikator dengan situasi tempat komunikator bertutur (Littlejohn, 1992). Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
25
BAB IV REPERSENTASI BUDAYA DALAM BENTUK TUTURAN Dalam aktivitas komunikasi, bentuk tutur yang digunakan oleh seseorang dapat berupa tuturan langsung ataupun tidak langsung. Hal ini berlaku pula dalam aktivitas komunikasi melalui tuturan lagu. Bentuk penyajian tuturan lagu dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk penyajian tuturan dalam paparan langsung dan bentuk penyajian tuturan dalam paparan tidak langsung. Tuturan yang berbentuk paparan langsung merupakan tuturan yang berada pada tingkatan denotasi, sedangkan tuturan yang berbentuk paparan tidak langsung merupakan tuturan pada tingkatan konotasi (Barthes, 1972). Tingkat denotasi menjelaskan hubungan antara tuturan sebagai penanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Tingkat konotasi menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya berlaku makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Kedua macam bentuk tersebut disajikan dalam uraian berikut ini. Bentuk Paparan Langsung Penggunaan bentuk paparan langsung tecermin dalam penggunaan kata-kata lugas yang mengacu secara langsung pada makna tuturan yang disampaikan. Setiap kata dalam tuturan mengacu pada suatu hal atau objek yang dituturkannya. Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, bentuk penyajian paparan langsung digunakan dalam tuturan lagu-lagu lama dan lagu-lagu baru. Dalam lagu-lagu lama, bentuk paparan langsung terbatas penggunaannya pada pengungkapan topik-topik tentang kegiatan, permainan, legenda, ataupun perjuangan. Tuturan lagu lama tidak 26
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
menyajikan topik-topik perihal perasaan, teguran, dan kritik dalam paparan langsung. Namun, dalam lagu-lagu baru, hampir seluruh topik lagu disampaikan dalam bentuk paparan langsung. Dalam lagu-lagu lama, penggunaan bentuk paparan langsung yang mengungkapkan topik kegiatan dapat diperiksa dalam tuturan lagu berjudul Mancing seperti dikutip dalam contoh tuturan berikut. /Kadhung dino preian jare paman/ Tangi subuh terus nang pasar, nawani empan/ Empan urang kari larang yara diterjang/Mancing nang Ketapang paman, kanggo kesenengan/Ampen diuntring-untring diuncalaken/ Karepe ati keliwat sangking, empan saupan/... Ditinjau dari bentuk paparannya, setiap kata yang di gunakan dalam tuturan lagu tersebut secara lugas dan langsung mengacu pada benda atau hal yang dirujuknya. Semua kata yang ada dalam paparan tersebut adalah kata-kata yang bermakna denotatif. Karena itu, tanpa harus menafisirkan makna katakatanya, setiap orang yang menerima tuturan itu dapat memahami isi dan maksudnya. Setiap orang yang mengenal bahasa Using dapat memahami informasi yang dikemukakan dalam tuturan lagu itu. Penutur dalam kutipan lagu itu menceritakan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam mengisi hari liburnya. Ia bangun pagi-pagi kemudian pergi ke pasar untuk membeli umpan yang berupa udang. Umpan yang harganya mahal pun dibelinya karena keinginannya untuk mendapatkan hiburan. Sampai di tempat pemancingan, yakni di daerah Ketapang, ia mulai melakukan aktivitasnya dengan penuh harapan untuk mendapatkan ikan. Namun, sampai sore tidak satu pun ikan diperolehnya. Akhirnya, ia pulang dan sampai di rumah dimarahi oleh istrinya.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
27
Penggunaan bentuk paparan langsung dalam tuturan lagu yang mengungkapkan topik permainan dapat dicontohkan dalam tuturan lagu berjudul Sewo-sewo Kucing yang dikutip berikut ini. Kawitane memengan gantar, ngelumpuk nang ngarepe latar/Kesel memengan podho gesah, ono ring ngarepe umah/Kumpul sak kanca memengan, sewo bebarengan/ Ambi munyik cekikikan lan sundhung-sundhung/Sara sing suwe hang cilik gaur-gaur/Endhas buncur kegentus bentur/ Karepe yara mung apen-apenan/Tibane tukaran temenan/... Melalui tuturan lagu pada kutipan tersebut, penutur lagu secara lugas dan langsung memaparkan cerita tentang aktivitas anak-anak dalam melakukan permainan rakyat yang dikenal dengan petak umpet. Pada mulanya, anak-anak bermain-main petak umpet di halaman rumah. Setelah merasa lelah dari bermain-main, mereka berkumpul bersama-sama di depan rumah sambil bergurau. Mereka tertawa terkekeh-kekeh sambil dorongmendorong antarteman. Namun, akibat dari gurauan yang berlebihan menjadikan pertengkaran antarteman karena ada temannya yang terluka. Dalam tuturan lagu lama, bentuk paparan langsung di gunakan pula untuk mengungkapkan topik legenda ataupun kepahlawanan. Hal ini dapat diperiksa pada contoh tuturan lagu berjudul Sumber Wangi yang dikutip berikut ini. /Sumber Wangi asale nama/ Raden Banterang–surati kang ngarengga/Gedigu ujare cerita, wong kuno kang maeka/Mas Alit bupati kawitane/Bagus Puri aran bapake/Sedayu papan kubure/Rasamala aran mertuane/ Ilange Belambangan Banyuwangi gantine/Bangsa Landa dadi sebabe/
28
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Tuturan tersebut berisi informasi tentang asal-usul nama Banyuwangi. Informasi tersebut disampaikan dalam tuturan secara lugas dan langsung sehingga mudah dipahami oleh pendengarnya. Dalam tuturan lagu itu, penutur lagu menceritakan bahwa nama Sumber Wangi pada awalnya berasal dari suatu kisah yang dialami oleh orang yang bernama Raden Benterang dan istrinya yang bernama Surati. Dalam legenda tersebut di ungkapkan bahwa Dewi Ayu Surati difitnah oleh kakaknya dengan tuduhan bahwa ia berselingkuh dengan lelaki lain yang membuat Raden Banterang marah-marah. Namun, Surati menolak tuduhan itu dan berani bersumpah dan berani mati. Untuk membuktikan sumpahnya itu, ia mengobankan dirinya dengan menceburkan ke sungai. Sebelumnya ia berpesan bahwa kalau air sungai itu berbau harum, itu menunjukkan bahwa ia tidak bersalah. Ternyata benar bahwa air sungai itu berbau harum dan kejadian menjadi sumber wangi. Selain kisah tersebut, penutur lagu juga menyebutkan bahwa nama Banyuwangi semula adalah Belambangan. Bupati Banyuwangi yang pertama adalah Mas Alit. Ia adalah putra Bagus Puri dan menjadi menantu Rasamala. Dalam lagu baru, bentuk paparan langsung yang mengungkapkan perasaan cinta dapat dicontohkan dalam lagu Yo Mung Riko. Dalam lagu tersebut, penutur lagu mengungkapkan tuturan yang berbunyi /Yo mung riko dhemenan isun/Yo mung riko nang pikiran isun/Yo mung riko nang urip isun/Saiki lan sak lawase. Secara lugas, dalam tuturan tersebut, dikatakan bahwa ‘hanya kamu kekasihku, hanya kamu yang ada dalam pikiranku, hanya kamu dalam hidupku, saat ini dan selamanya’. Hal yang sama dikemukakan pula dalam tuturan lagu berjudul Nungsep. Dalam lagu tersebut, penutur lagu menyampaikan tuturan yang berbunyi Riko wong wadon hang paling sempurna/Hang paling ayu riko ring alam donya/ Isun dhemen riko sing apus-apusan/Tapi isun dhemen riko temenanan/. Tuturan itu berisi pujian dan pernyataan cinta yang disampaikan secara lugas, yakni Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
29
pernyataan yang mengatakan bahwa ‘kamu perempuan yang paling sempurna dan yang paling cantik di dunia ini’ dan ‘Saya mencintai kamu dengan sungguh-sungguh’. Contoh tuturan dalam kedua lagu tersebut membuktikan bahwa dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi kategori lagu baru digunakan strategi pemaparan langsung untuk mengungkapkan perasaan cinta dan pujian. Bentuk paparan langsung dalam lagu baru juga digunakan oleh penutur lagu untuk mengungkapkan perasaan benci. Hal ini dapat diperiksa dalam kutipan tuturan lagu berjudul Wis Sing Seneng berikut ini. Buru-buru bain riko seneng/Riko janji janji urip bareng/ Isun dieman disayang-sayang/Koyo-koyo sing ono wong lian/Saikine riko yo wis bedo/Janji-janjine gampang suloyo/Bengen nang isun yo weruh paran/Kari gampang lali nang kawitan/... Tuturan lagu pada kutipan tersebut merupakan tuturan yang disampaikan secara lugas dalam mengungkapkan perasaan benci kepada seseorang. Kebencian tersebut disebabkan oleh perubahan sikap seseorang yang dikasihinya. Pada awalnya, dia sangat sayang, tetapi lama-kelamaan rasa sayangnya itu hilang karena kekasihnya itu sering mengingkari janji. Dalam tuturan tersebut, penutur lagu mengatakan janji-janjine gampang suloyo ‘janjinya mudah diingkari’ dan kari gampang lali nang kawitan ‘begitu mudah melupakan awalnya’. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan perasaan benci yang secara langsung dan lugas disampaikan kepada orang yang dituju. Dalam menyampaikan teguran atau kritik, penutur lagulagu baru juga menggunakan paparan langsung. Paparan langsung yang berisi teguran pada seseorang diungkapkan dalam tuturan lagu berjudul Ojo Jawil-Jawil berikut ini. 30
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Ojo jawil-jawil kang, ojo cethut – cethut/Kadhung arep kanalan riko yo kang sopan/Jajale delengen kang ring kiwo lan tengen/Akeh wong kang ndeleng mosok to sing sungkan/Ojo riko anggep kang isun wong murahan/Ojo semberono lan sing duwe dugo/ Bentuk paparan langsung yang digunakan dalam tuturan lagu Ojo Jowal-Jawil pada kutipan di atas dimaksudkan untuk menyampaikan teguran kepada seseorang. Teguran dalam tuturan tersebut ditujukan kepada seseorang yang tidak tahu aturan. Ia suka mencolek-colek perempuan dan tidak peduli serta tidak punya perasaan segan pada orang di sekitarnya. Pernyataan teguran tersebut disampaikan dalam tuturan yang lugas dan langsung karena pernyataan tersebut diungkapkan dalam kondisi perasaan benci dan marah, dan biasanya pernyataan tersebut diungkapkan secara spontan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi terdapat sejumlah lagu yang menggunakan bentuk paparan langsung, baik dalam tuturan lagu lama maupun dalam tuturan lagu baru. Dalam lagu-lagu lama, bentuk paparan langsung hanya digunakan untuk menyampaikan pengalaman, informasi faktual, dan ajakan untuk berkarya. Halhal yang berkenaan dengan ungkapan emosi dituturkan dengan menggunakan bentuk paparan tidak langsung. Sementara, lagulagu baru umumnya menggunakan bentuk paparan langsung untuk menyampaikan hal-hal yang faktual atau pun hal yang berkaitan dengan ungkapan emosi. Karena itu, kata-kata yang digunakan dalam tuturan lagu baru menurut Ali (1993) sering terkesan kasar atau vulgar. Perbedaan lagu lama dengan lagu baru dalam penggunaan bentuk paparan langsung ini menggambarkan perbedaan gaya tutur dan emosi tutur antara generasi tua dengan generasi muda. Perbedaan gaya dan emosi tutur ini merupakan wujud perubahan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
31
yang menjadi kebutuhan komunikasi masyarakat Using sesuai dengan tuntutan lingkungan sosial budayanya. Perbedaan gaya tutur lagu lama dengan gaya tutur lagu baru dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi dipengaruhi secara kuat oleh perubahan pola budaya sebagai dampak dari perubahan struktur sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Using Banyuwangi. Masyarakat Using yang semula hidup dalam kesederhanaan, karena tuntutan lingkungan, mereka harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lagu-lagu daerah Banyuwangi yang semula hanya sebagai ajang kreativitas dan ajang beraktivitas sosial budaya dengan adanya tuntutan kebutuhan berubah menjadi ajang komersial. Budianto (2004) mengungkapkan bahwa media budaya, dalam hal ini lagu, yang hadir di tengah-tengah kehidupan manusia dapat dipahami dari dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Dari sisi internal, media budaya muncul karena gagasan, ide-ide, atau pemikiran-pemikiran seseorang atau masyarakat yang karena peduli akan kebutuhan lingkungan sehingga terdorong untuk berkreativitas mengeluarkan gagasannya. Dari aspek eksternal, media budaya diciptakan oleh individu atau masyarakat untuk membuat model-model atau bentuk-bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perubahan gaya tutur dari lagu-lagu lama ke lagu-lagu baru merupakan perubahan simbol budaya yang menjadi identitas masyarakat penuturnya. Simbol itu dibentuk dari budaya masyarakat dan digunakan untuk masyarakat itu sendiri (Sumardjo, 2005). Lagu-lagu daerah Banyuwangi yang termasuk kategori lagu lama berasal dari masyarakat Using generasi lama yang masih kuat sistem kepercayaan sukunya (religi suku). Konteks sosiobudaya lagu lama adalah budaya masyarakat Using generasi lama. Sementara, lagu-lagu daerah Banyuwangi kategori lagu baru berasal dari generasi muda Using yang sudah dipengaruhi oleh budaya pembangunan dan teknologi informasi. 32
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Konteks sosiobudaya lagu baru adalah budaya masyarakat Using generasi baru atau generasi muda Using. Perkembangan lingkungan sosial budaya masyarakat Using menjadikan generasi muda Using lebih bersikap rasional dan pragmatis dalam berkomunikasi. Mereka cenderung bertutur secara terus terang dan langsung pada pokok persoalan. Hal ini tampak pada tuturan mereka yang disampaikan secara langsung dan terbebas dari ikatan topik yang harus tersiratkan dalam penuturannya. Bertolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa bentuk paparan langsung cenderung digunakan dalam tuturan lagu-lagu baru. Lagu-lagu lama memanfaatkan bentuk paparan langsung hanya untuk menyampaikan topik-topik tuturan yang terbebas dari ikatan emosi dan etika sosial. Untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan ungkapan emosi dan etika sosial, lagu-lagu lama menggunakan bentuk paparan tidak langsung. Bentuk Paparan Tidak Langsung Dalam komunikasi sehari-hari, maksud tuturan tidak selalu disampaikan dalam wujud tuturan yang lugas, tetapi sering disampaikan secara tersembunyi di balik tuturan itu. Untuk menyampaikan pujian, teguran, ungkapan emosi, dan kritikan, tidak selalu secara eksplisit dituturkan dalam bentuk ujaran yang berupa pujian, teguran, ungkapan emosi, dan kritikan, tetapi maksud tuturan tersebut disampaikan dalam ujaran yang maknanya perlu ditafsirkan berdasarkan konteks tuturnya. Demikian juga, tuturan permintaan atau perintah tidak selalu diwujudkan dalam tuturan yang berupa kalimat imperatif, kemungkinan dapat diwujudkan dalam tuturan yang berupa kalimat tanya. Coulthard (1979:25—26) menyebutkan tuturan yang demikian ini sebagai tindak tutur tidak langsung. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
33
Dalam lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan lagu yang disampaikan dengan menggunakan bentuk paparan tidak langsung. Bentuk paparan tidak langsung dalam tuturan lagu tersebut diekspresikan melalui penggunaan kata-kata yang bermakna konotatif atau kata-kata yang bermakna ganda., yakni makna denotasi dengan arti tambahan sebagai asosiasi dari kata denotasi tersebut. Karena itu, tuturan lagu yang menggunakan paparan tidak langsung tidak dapat dipahami maknanya secara langsung oleh penikmat lagu, tetapi perlu dicari rujukan di luar arti kata yang dirujuknya. Panggunaan kata bermakna konotasi dalam tuturan lagu, tidak hanya sebagai sarana penghalus tuturan, tetapi juga dimaksudkan untuk memberikan makna dan kesan yang utuh terhadap gagasan yang disampaikan. Kata-kata tersebut dapat membangkitkan imajinasi penikmat untuk mereka-reka maksud yang terkandung dalam kata konotasi itu. Karena itu, pemahaman makna konotasi dilakukan melalui proses penghayatan atau pembacaan berulang-ulang, pengaitan bagian-bagian lagu dengan keseluruhan isi lagu dan sebaliknya, baru penyimpulan makna konotasi pada kata yang dimaksud. Dalam penyimpulan makna kata itu, tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat penuturnya. Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, penggunaan paparan tidak langsung tecermin dalam lagu Tenong-tenonga. Kata-kata bermakna konotasi pada tuturan lagu tersebut terlihat pada kata tunjeg srengenge ‘matahari ada di atas’. Penggunaan kata tunjeg srengenge dalam tuturan itu tidak dimaksudkan untuk mengacu pada waktu siang hari ketika matahari tepat di atas kepala, tetapi dimaksudkan untuk mengacu pada kondisi kehidupan seseorang yang sedang berada pada posisi puncak. Dengan kata lain, orang tersebut sedang berjaya dalam hidupnya. Pemahaman terhadap makna ungkapan tunjeg srengenge dapat diperoleh dengan cara mengaitkan ungkapan tersebut 34
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dengan konteks tuturan selanjutnya. Konteks selanjutnya dalam tuturan lagu itu menyebutkan ungkapan yang berbunyi koyo kacang ninggal kulite ‘seperti kacang meninggalkan kulitnya’5 dan pernyataan ya ojo nyawang saiki nyawango bengene ‘jangan melihat sekarang, lihatlah waktu dulu’. Dengan konteks tersebut, dapat dikemukakan bahwa secara keseluruhan tuturan lagu tersebut mengisahkan seseorang yang mengalami keberhasilan hidup, tetapi lupa pada orang yang pernah menolongnya. Dalam tuturan lagu Ulan Andhung-andhung, penutur lagu menggunakan kata mendem gadhung, padhang, dan mendhung. Kata-kata tersebut termasuk kata-kata yang bermakna konotasi. Kata mendem gadhung dalam konteks lagu ini memiliki arti selalu bingung karena gagal dalam bertunangan. Kata padhang mengacu pada kehidupan yang menyenangkan dan kata mendhung mengacu pada kehidupan yang menyedihkan. Jadi, kata padhang ‘terang’ dan mendhung ‘gelap’ untuk bulan purnama tidak dimaksudkan untuk mengacu pada terang dan gelap-nya sinar bulan, tetapi dimaksudkan untuk menggambarkan kondisi kehidupan yang menyenangkan dan menyedihkan. Dalam tuturan lagu Gerigis, penutur lagu menyebutkan kata udan gerigis ‘hujan gerimis’ dan geludhuge jepret-jepretan ‘petir yang menyambar-nyambar’. Kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menceritakan peristiwa alam yang sebenarnya, tetapi menyampaikan kritik terhadap fenomena sosial yang ada di masyarakat. Tuturan lagu tersebut berisi informasi yang menggambarkan luputnya janji seorang pejabat, yakni besarnya janji tidak sesuai dengan kenyataan yang diberikan. Penggunaan kata udan gerigis ‘hujan gerimis’ dimaksudkan untuk mengacu pada sebagian kecil dari janji-janji yang dipenuhi, sedangkan 5
Ungkapan tersebut dalam bahasa Indonesia disebutkan dalam peribahasa lupa kacang akan kulitnya, yang artinya orang yang melupakan asalnya atau orang yang lupa kepada orang yang pernah menolongnya (Puposaputro, 1987:157). Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
35
geludhuge jepret-jepret dimaksudkan untuk mengacu pada janjijanji besar.6 Dalam lagu Gerigis, kata-kata yang bermakna konotasi terangkai dalam keseluruhan tuturan. Untuk memahami kata-kata konotasi dalam tuturan yang demikian ini tidak cukup hanya didasarkan pada konteks tuturan yang tersurat, tetapi diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatari penciptaan lagu tersebut. Dengan demikian, pemaduan antara konteks tuturan dan latar sosial diperlukan dalam penafsiran makna lagu. Dalam lagu Mak Ucuk, diungkapkan tuturan yang berbunyi pikirana ya ring pawon dandange miring ‘pikirkanlah di dapur dandangnya miring’. Kata dandange miring dalam tuturan tersebut termasuk kata yang bermakna konotasi. Dandang adalah alat yang terbuat dari tembaga dan digunakan untuk memasak nasi, sedangkan miring berarti posisi yang tidak tegak. Kata dandang miring tidak dimaksudkan untuk membicarakan letak dandang yang sebenarnya, tetapi untuk menyatakan ketidak sanggupan seseorang untuk menggunakan alat tersebut sebagaimana mestinya, yakni menanak nasi, karena tidak mempunyai beras untuk dimasaknya. Pemahaman ini dapat diperoleh berdasarkan pemahaman fungsi benda tersebut dan pemahaman konteks tuturan lagu sebelumnya, yakni tuturan yang menceritakan seorang anak yang menangis karena meminta dibelikan anting-anting. Tuturan lagu Conge-conge Atang berisi nasihat, doa, dan harapan orang tua yang diucapkan ketika memandikan bayinya. Dalam tuturan tersebut terdapat beberapa kata yang bermakna konotatif, yakni mengisor tulihen ‘pandanglah ke bawah’, menduwur pandengen ‘tataplah ke atas’, sarane dalan ‘sulitnya
6
Dalam bahasa Indonesia, diungkapkan dalam peribahasa kebanyakan halilintar kurang hujan, ‘terlalu banyak bicara, tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya’ (Pusposaputro, 1987:135).
36
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
jalan’, dan sorote lintang ‘sinar bintang’. Kata mengisor tulihen yang diperjelas dengan kata sarane dalan memiliki arti bahwa menjadi orang jangan smbong, tapi perhatikan juga kehidupan orang-orang miskin yang selalu kesulitan dan penderitaan. Sementara, kata mendhuwur pandengen dan dilanjutkan dengan kata sorote lintang memiliki arti tataplah masa depan untuk meraih harapan kehidupan yang lebih baik. Penggunaan kata-kata yang bermakna konotasi dalam tuturan lagu dapat memperjelas makna tuturan. Kata-kata tersebut mampu menciptakan gambaran secara rinci dan lengkap untuk hal yang dikonotasikan. Sebagaimana dicontohkan dalam tuturan lagu Rondho Kembang, untuk mengungkapkan kegagalan seseorang dalam mencapai keinginannya, penutur lagu menggunakan kata-kata konotatif kesandhung ring dalan. Kata kesandhung secara denotatif digunakan untuk menyebut peristiwa terantuknya kaki pada benda kecil, seperti batu atau benda lainnya, ketika seseorang sedang berjalan. Namun, secara konotatif kata kesandung ‘terantuk’ memberikan kesan atau makna yang lebih utuh, yakni terhalang, terasa sakit, terjatuh, dan merasakan ada penderitaan. Dalam tuturan lagu yang berjudul Kembang Pethetan, penutur lagu menggunakan kata kembang pethetan untuk mengacu pada makna wanita yang menjadi pujaan hati. Kata kembang memiliki konotasi untuk menyebut wanita yang dicintai, sedangkan pethetan merupakan ungkapan cinta pada wanita pujaan. Karena itu, tuturan pethetan ya kembang pethetan tidak dimaksudkan untuk merujuk pada tanaman bunga sebagai hiasan rumah, tetapi merupakan ungkapan perasaan cinta pada wanita yang menjadi pujaan hatinya. Penggunaan kata kembang pethetan memberikan kesan yang lengkap yang dapat dirinci berdasarkan sifat dan fungsinya, yakni cantik, indah, dapat mempercantik dan memperindah rumah, dan dapat membe-rikan suasana yang menyenangkan. Kesan cinta yang mendalam pada wanita pujaan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
37
terungkap secara jelas ketika sampai pada tuturan terakhir lagu tersebut, yakni tapi hang ilang kembange kembang ‘tapi yang hilang bunganya bunga’. Dalam tuturan lagu Rujak Singgul, penutur lagu menggunakan kata metani ‘mencari kutu’. Namun, kata metani dalam tuturan tersebut memiliki arti mencari-cari kesalahan atau kejelekan orang lain. Makna kata metani ini menjadi semakin jelas jika dikaitkan dengan kata sebelumnya sanja, yakni bertandang ke rumah tetangga untuk membicarakan kejelekan atau kekurangan orang lain. Dari tuturan tersebut, dapat diperoleh kesan yang lebih jelas bahwa kata metani tidak sekadar bermakna mencari dan menemukan, tetapi juga mencari-cari dan mengada-ada untuk menjelekkan atau menjatuhkan nama baik orang lain. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penggunaan kata-kata bermakna konotasi dalam tuturan lagu dapat memperjelas gagasan yang disampaikan. Penggunaan kata-kata tersebut lebih efektif dan efisien karena pengungkapan gagasan yang memerlukan rangkaian kata yang panjang dapat di =sampaikan dalam tuturan yang lebih singkat. Bahkan, dengan kata-kata yang bermakna konotasi tersebut, penutur lagu dapat mengungkapkan gagasan secara lebih utuh dan lebih lengkap dalam tuturannya. Penggunaan bentuk paparan tidak langsung yang memanfaatkan kata bermakna konotasi dapat memperhalus tuturan yang dipandang tabu atau dianggap terlalu kasar jika disampaikan apa adanya. Kata-kata yang tidak layak diucapkan karena menyinggung perasaan mitra tutur menjadi lazim dituturkan ketika disampaikan dalam kata-kata yang bermakna konotasi. Sebagai contoh tuturan gedigi sing kuwat, ngalor bain riko ‘begini saja tidak kuat, membujur ke utara saja kamu’. Kata ngalor dalam pernyataan tersebut bermakna mati. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penggunaan bentuk paparan langsung dan bentuk paparan tidak 38
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
langsung merupakan strategi pemilihan bentuk tutur dalam lagulagu daerah Banyuwangi. Pemilihan bentuk dalam tuturan lagu didasarkan pada topik-topik yang dituturkannya. Dalam lagu-lagu lama, bentuk paparan langsung hanya digunakan untuk menyampaikan topik-topik faktual yang nonemosional, sedangkan topik-topik yang bersifat emosional dan moral dituturkan dalam paparan tidak langsung. Sementara, dalam lagu-lagu baru, semua topik tuturan disampaikan dalam bentuk paparan langsung. Simpulan Dalam pandangan Harris dan Moran (2005), keberagaman gaya tutur dapat dikatakan sebagai gambaran keberagaman penampilan berkomunikasi yang dapat digunakan sebagai wahana untuk menelaah corak budaya masyarakat penuturnya. Karena itu, keberagaman gaya tutur yang ada dalam tuturan lagu merupakan gambaran keberagaman gaya dan budaya suatu komunitas dalam kehidupan masyarakat Using. Tuturan lagu tidak hanya berupa kata-kata yang maknanya terlepas dari konteks, tetapi berupa paparan kata-kata yang terangkai sehingga menimbulkan makna sebagai pesan budaya. Kata-kata dalam tuturan itu merupakan tanda. Suatu tuturan bermakna karena adanya pengombinasian antara tanda yang satu dengan tanda yang lain berdasarkan aturan yang memungkinkan dihasilkannya makna. Hubungan antara penanda dan petanda bukanlah suatu kebetulan, melainkan hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi (Piliang, 2004). Konvensi yang dimaksud adalah aturan yang disepakti dan digunakan bersama oleh anggota masyarakat dalam budaya bertutur. Dalam penyajian tuturannya, lagu-lagu daerah Banyuwangi menggunakan dua bentuk paparan, yakni bentuk paparan langsung dan bentuk paparan tidak langsung. Penggunaan bentuk paparan langsung banyak digunakan oleh lagulagu baru, sedangkan bentuk penggunaan paparan tidak langsung Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
39
didominasi oleh lagu-lagu lama. Semua topik tuturan dalam lagulagu baru disajikan dalam bentuk paparan langsung, sedangkan lagu-lagu lama memanfaatkan bentuk paparan langsung hanya untuk menyampaikan topik-topik yang berkaitan dengan pekerjaan, tradisi, permainan, legenda, dan sejarah. Dalam lagu-lagu lama, topik-topik yang berkaitan dengan ungkapan emosi dan moral disajikan dengan menggunakan bentuk paparan tidak langsung. Kenyataan itu dipandang sebagai cerminan budaya komunikasi masyarakat Using. Dalam komunikasi sehari-hari, mereka tidak selalu menyampaikan maksud tuturan dalam wujud tuturan yang lugas, tetapi menyembunyikan maksud tersebut di balik tuturan itu. Kenyataan ini dapat dikaitkan dengan pandangan Coulthard (1979:25—26) yang membedakan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Ia menjelaskan bahwa tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang perwujudannya disampaikan dalam tuturan secara lugas, sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang disampaikan dalam wujud tutur yang tidak secara langsung menyebut pada maksud yang dikehendaki. Penyajian bentuk paparan tidak langsung dalam tuturan lagu-lagu lama dilakukan dengan cara memanfaatkan kata-kata bermakna konotasi. Penggunaan kata-kata bermakna konotasi tersebut dimaksudkan untuk menghaluskan dan menghindari kesan vulgar dalam tuturan lagu. Selain itu, penggunaan kata-kata bermakna konotasi itu digunakan untuk memberikan gambaran kesan yang lebih lengkap dan utuh dalam tuturan lagu. Berkaitan dengan upaya penghalusan tuturan, Wardhaugh (1998) menjelaskan bahwa suatu bahasa secara kultural digunakan untuk menyampaikan makna, tetapi kadang-kadang juga digunakan untuk menghindari penyebutan pengungkapan suatu hal yang memiliki makna tertentu. Hal-hal tertentu yang jika diungkapkan dapat mengganggu orang lain dapat dirujuk dengan kata-kata lain yang dapat memperhalus maknanya. 40
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
BAB V REPRESENTASI BUDAYA DALAM TEKNIK BERTUTUR Tuturan dalam suatu wacana budaya, khususnya dalam tuturan lagu. merupakan bentuk tuturan bergaya sehingga cara penyajian tuturannya sering memanfaatkan bentuk-bentuk tuturan kiasan. Pemanfaatan tuturan kiasan ini tidak hanya dimaksudkan untuk menggayakan tuturan lagu, tetapi juga di perlukan untuk menyajikan gagasan secara lebih utuh dan jelas. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan gagasan atau pengalaman yang akan diungkapkan dengan hal atau objek yang memiliki ciri yang sama dengan gagasan atau pengalaman yang akan diungkapkannya itu. Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, pemaparan gagasan dikembangkan dengan menggunakan 6 macam teknik, yakni (a) perbandingan secara eksplisit, (b) perbandingan secara langsung, (c) perbandingan secara terurai, (d) pengisahan atau pelukisan, (e) penginsanan suatu objek, dan (f) pertautan hal - atribut. Keenam teknik tersebut diuraikan dalam pembahasan berikut. Perbandingan Secara Eksplisit Perbandingan secara eksplisit merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam pemaparan tuturan lagu daerah Banyuwangi. Kedua objek yang diperbandingkan atau di persamakan disebutkan secara eksplisit dalam tuturan lagu yang ditandai oleh penggunaan kata koyo, yang bermakna seperti dan laksana. Dalam tuturan lagu, hanya ditemukan satu kata koyo sebagai penanda perbandingan dan ini tampaknya merupakan ciri bahasa Using yang tidak memiliki kata-kata yang lain sebagai Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
41
penanda bentuk perbandingan. Bentuk perbandingan yang menggunakan kata koyo yang bermakna ‘seperti’ dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni (a) perbandingan yang pembandingnya berupa ungkapan, (b) perbandingan yang pembandingnya berupa sifat objek/benda, dan (c) perbandingan yang pembanding-nya sebagai contoh. Sementara, perbandingan yang menggunakan kata koyo yang bermakna ‘laksana’ terdapat dalam perbandingan yang pembandingnya sosok yang diidealkan. a. Perbandingan Eksplisit yang Pembandingnya Berupa Ungkapan Bentuk perbandingan yang pembandingnya berupa ungkapan dapat dicontohkan dalam tuturan lagu Tenong-tenonga. Dalam lagu tersebut, dituturkan/serta tunjeg srengenge, alak emas/koyo kacang ninggal kulite/. Tuturan koyo kacang ninggal kulite merupakan bentuk ungkapan tradisional. Melalui tuturan tersebut, penutur lagu membandingkan sifat orang dengan sifat kacang. Kacang tanah kalau sudah tua dan sudah kering kalau dibelah akan terlepas dari kulitnya. Orang yang sudah berhasil dalam usahanya dan sudah kaya raya kemudian melupakan teman-temannya dapat dikatakan memiliki sifat yang sama dengan sifat kacang yang meninggalkan kulitnya. Orang yang demikian, ketika pada masa sulit, akan selalu bermuka manis dan berlaku baik pada teman-temannya, tetapi setelah berhasil, ia melupakan teman-temannya. Dalam lagu Rengginang, dituturkan bahwa seseorang yang cintanya tidak sungguh-sungguh akan mudah berjanji dan akan mudah pula mengingkari janjinya itu. Perkataan orang yang mudah berjanji dan mudah pula mengingkarinya dalam tuturan lagu disampaikan dalam ungkapan koyo embun dipanasi ‘seperti embun yang dipanasi’. Embun di pagi hari akan cepat hilang tanpa bekas ketika panas matahari mulai menyinarinya. Jadi, janji yang 42
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dianalogikan dengan embun yang dipanasi adalah janji yang mudah dilupakan. Melalui tuturan lagu Kembang Peciring, penutur lagu mengungkapkan keteguhan cinta dua orang muda-mudi yang tidak mungkin akan dipisahkan. Mereka telah saling berjanji untuk menjalani cintanya sampai mati. Cinta yang tidak dapat dipisahkan itu dianalogikan dengan air yang tidak bisa dibelah dengan pisau. Hal tersebut dalam lagu disampaikan dalam ungkapan koyo banyu diirisa balik maning ‘seperti air walaupun dikerat akan kembali lagi’. Sementara, melalui tuturan lagu Rehana, penutur lagu menganalogikan kecantikan dan keelokan gadis yang bernama Rehana ketika berjalan dengan nyala lampu minyak yang sedang ditiup angin. Hal tersebut dituturkan dalam ungkapan kadhung melaku ring dalanan yo koyo damar kangingan ‘Kalau ia sedang berjalan seperti nyala lampu minyak yang ditiup angin’. b. Perbandingan Eksplisit yang Pembandingnya Berupa Sifat Objek/Benda Dalam tuturan lagu yang berjudul Lambe, penutur lagu menggunakan model perbandingan secara eksplisit yang memanfaatkan sifat objek sebagai pembandingnya. Dalam tuturan lagu tersebut, diungkapkan koyo banyu lan geni nguripi mateni ‘seperti air dan api menghidupi dan mematikan’. Air dan api jika dimanfaatkan dengan baik akan menjadi sumber kehidupan bagi manusia, tetapi jika disalahgunakan akan dapat menjadi sumber malapetaka yang mengancam kehidupan manusia. Demikian juga yang terjadi dengan mulut seseorang, jika digunakan untuk menyampaikan tuturan yang benar, tuturan tersebut akan dapat menyelesaikan masalah dan akan menjadi sumber informasi yang diperlukan manusia. Namun, jika mulut tersebut digunakan untuk menyampaikan tuturan yang tidak benar, tuturan tersebut dapat menimbulkan masalah dan sumber fitnah. Jadi, dalam tuturan lagu Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
43
tersebut, lambe ‘bibir/mulut’ dengan berbagai fungsinya di bandingkan secara eksplisit dengan objek, yakni banyu ‘api’ dan geni ‘api’. Bentuk perbandingan secara eksplisit yang memanfaatkan objek berupa air terekam pula dalam tuturan lagu yang berjudul Kali Putih. Dalam tuturan lagu tersebut, penutur lagu mengungkapkan koyo beninge banyu putih kali ‘seperti jernihnya air putih kali’. Air yang mengalir di Kali Putih sangat jernih dan bersih sehingga dasar sungai tampak dari permukaan. Kejernihan air tersebut dimanfaatkan untuk menggambarkan kejernihan hati, yakni hati yang suci yang bersih dari niatan jahat. Dalam tuturan lagu tersebut, ati kang suci podho ngucapne janji ‘hati yang suci saling mengucap janji’ dibandingkan dengan objek yang berupa beninge banyu putih kali ‘jernihnya air putih kali’. c. Perbandingan Eksplisit yang Pembandingnya sebagai Contoh Bentuk perbandingan yang pembandingnya sebagai contoh terdapat dalam tuturan lagu yang berjudul Damar Telempik. Dalam bahasa Indonesia, damar telempik disebut dengan nama lampu tempel. Lampu ini menggunakan bahan bakar minyak kelentik (minyak kelapa). Jika dinyalakan, api lampu itu menyala kecil, tetapi mampu menerangi tempat di sekitarnya. Hal ini dapat dijadikan contoh dalam kehidupan, yakni orang hidup itu tidak perlu menunjukkan atau memamerkan kedudukan, kekayaan, atau kelebihannya. Yang lebih penting adalah apakah dia mampu memberikan manfaat bagi lingkungannya atau tidak. Model perbandingan ini dalam tuturan lagu disampaikan dalam pernyataan mulo jebeng mulo thulik, uripa koyo telempik ‘maka dari itu, anak wanita dan pria, hiduplah seperti lampu tempel’.
44
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
d. Perbandingan Eksplisit yang Pembandingnya Berupa Sosok Ideal Dengan tuturan lagu Kemisinen, penutur lagu mengibaratkan seorang gadis dengan bidadari di kayangan. Hal ini tecermin dalam tuturan koyo widodari ring kayangan ‘laksana bidadari di kayangan’. Bidadari dipandang sebagai sosok yang ideal, baik dilihat dari segi kecantikan maupun dari segi perilakunya. Seseorang yang memiliki kekaguman pada wanita atau gadis cantik dan menarik sering mengibaratkannya laksana bidadari. Dalam lagu Kemisinen, kekaguman seseorang kepada gadis idamannya terungkap dalam kata-kata anaknya cantik menggemaskan, senyumnya manis membuat hati berdebar-debar, dan bajunya kuning menyenangkan. Untuk melukiskan kecantikan gadis itu, sosok bidadari di kayangan merupakan sosok yang tepat sebagai pembanding. Bentuk perbandingan secara eksplisit terhadap sosok yang diidealkan terdapat pula pada tuturan lagu Kali Elo. Penutur lagu melalui tuturan lagu tersebut mengisahkan perjalanan air sungai yang lambat, mengalir meliuk-liuk, tetapi aliran tersebut tetap lancar. Jalannya air yang indah dan memesona itu di ibaratkan dengan jalannya seorang putri, yakni lembut, memesona, dan menggoda hati yang melihatnya. Hal tersebut tecermin dalam tuturan koyo putri lakunira ‘bagaikan putri jalanmu’. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, penutur lagu menggunakan beragam bentuk perbandingan secara ekplisit yang menggunakan kata koyo sebagai penanda perbandingan. Kata koyo ini memiliki arti seperti atau laksana bergantung pada ragam perbandingannya. Beragam perbandingan yang terdapat dalam tuturan lagu tersebut adalah perbandingan dalam wujud ungkapan, perbandingan sifat atau ciri objek dengan objek lain, Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
45
perbandingan dengan hal atau objek contoh, dan perbandingan dengan sosok yang diidealkan. Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi untuk mengungkapkan beragam model perbandingan, penutur lagu hanya menggunakan kata koyo karena dalam bahasa Using tidak terdapat bentuk kata padanannya. Temuan ini membuktikan bahwa bahasa Using tidak memiliki ragam kosakata yang lain sebagai penanda model perbandingan atau bentuk persamaan selain kata koyo. Terbatasnya kosakata bahasa Using akan penanda perbandingan tidak berarti bahwa penutur Using miskin akan bentuk tuturan perbandingan. Tuturan perbandingan dalam bahasa Using dapat diwujudkan dalam model perbandingan secara langsung, seperti disajikan dalam uraian berikut ini. Perbandingan Secara Langsung Penutur lagu-lagu daerah Banyuwangi menggunakan bentuk perbandingan secara langsung dalam memaparkan tuturan lagunya. Dalam tuturan tersebut, penutur tidak menyebutkan secara eksplisit objek yang diperbandingkan, tetapi mengungkapkannya secara langsung dalam kata-kata yang bersifat metaforis. Karena kehadiran metafor terkait erat dengan persepsi masyarakat terhadap gejala alam dan gejala sosial yang ada di lingkungannya, kata-kata metaforis yang digunakan dalam tuturan lagu dipengaruhi oleh ciri lingkungan masyarakat Using. Metafor ada yang bersifat universal ada pula yang terikat oleh budaya (Wahab, 1998). Metafor universal adalah metafor yang memiliki medan makna yang sama bagi sebagian besar budaya di dunia, sedangkan metafor yang terikat budaya adalah metafor yang hanya dapat dipahami berdasarkan budaya pemilik metafor itu. Sejalan dengan pernyataan tersebut, pengembangan paparan tuturan lagu daerah Banyuwangi yang berupa perbandingan langsung dapat dibedakan menjadi dua macam bentuk perbandingan, yakni (a) perbandingan langsung yang berupa 46
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
metafor universal, dan (b) perbandingan langsung yang berupa metafor terikat budaya. Kedua bentuk perbandingan tersebut diuraikan berikut ini. a. Perbandingan Langsung yang Berupa Metafor Universal Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang menggunakan kata-kata metaforis yang bersifat universal. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan umum yang sudah dikenal dan sering digunakan oleh masyarakat Indonesia. Tuturan lagu yang menggunakan kata-kata metaforis ini adalah lagu-lagu yang bertema perjuangan. Dalam tuturan lagu Kembang Kirim, terdapat tuturan yang berbunyi/ambi mesem matinira, lila ngembangi negara/. Kata ngembangi negara ‘menjadi bunga negara’ termasuk tuturan metaforis. Tuturan tersebut termasuk dalam metafora universal, yang dalam bahasa Indonesia artinya sama dengan menjadi bunga bangsa. Arti kata ngembangi negara adalah orang yang meninggal dengan predikat kebaikan, atau telah berjasa kepada negara. Nama baiknya dikiaskan sebagai bunga yang berbau harum, sedangkan negara adalah sesuatu yang dibela dengan mempertaruhkan jiwa raga. Ungkapan bunga negara atau bunga bangsa ini sudah dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia. Tanpa harus memahami budaya etnik tertentu, ungkapan tersebut dapat dimengerti maknanya. Tuturan metaforis yang juga memiliki jangkauan pemakaian yang sama luasnya dengan ungkapan bunga negara adalah ungkapan ibu pertiwi yang terdapat dalam tuturan lagu Dalu-dalu. Hal ini seperti terungkap dalam tuturan yang berbunyi /raina bengi krentege ati kanggo ibu pertiwi/. Kata ibu pertiwi yang terbentuk dari kata ibu dan kata pertiwi menggambarkan keeratan hubungan antara ibu dan anaknya. Keeratan hubungan ini memiliki kemiripan sifat dengan hubungan antara tanah air dan rakyatnya sehingga keeratan hubungan tersebut dinyatakan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
47
sebagai ibu pertiwi. Ungkapan ini merupakan metafora universal yang sudah populer di kalangan masyarakat Indonesia. Karena populernya, kata ibu pertiwi tidak lagi dirasakan sebagai ungkapan metaforis oleh sebagian orang Indonesia. b. Perbandingan Langsung yang Berupa Metafor Terikat Budaya Selain tuturan lagu yang berupa metafor universal, dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi terdapat tuturan metaforis yang terikat oleh budaya etnik Using. Tuturan metaforis yang terikat budaya ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni (a) tuturan metaforis yang bermotif benda budaya, (b) tuturan metaforis yang bermotif binatang, dan (c) tuturan metaforis yang bermotif tumbuh-tumbuhan. Ketiga hal tersebut diuraikan berikut ini. 1) Tuturan Metaforis yang Bermotif Benda Budaya Tuturan metaforis yang bermotif benda budaya terdapat dalam tuturan lagu Conge-conge Atang. Dalam tuturan lagu tersebut, penutur lagu menggunakan kata-kata metaforis jejege dandang seperti terungkap dalam tuturan yang berbunyi/ memburi sawangen jejege dandang/. Kata-kata itu termasuk kata metafor yang terikat budaya karena hanya dapat dipahami oleh masyarakat yang mengenal dan memanfaatkan dandang ‘periuk’ untuk menanak nasi. Kata dandang mengacu pada benda budaya yang difungsikan sebagai alat untuk menanak nasi, sedangkan kata jejeg ‘tegak’ menunjuk pada posisi atau letak dandang. Posisi dandang akan tegak ketika sedang dimanfaatkan untuk menanak nasi, sedangkan apabila tidak digunakan dandang tersebut ditaruh dalam posisi miring. Karena itu, ungkapan jejege dandang dalam tuturan memburi sawangen jejege dandang mengacu pada kondisi kehidupan yang memprihatinkan. Dalam tuturan lagu Ulan Andhung-andhung, terdapat kata candra dewi. Kata tersebut merupakan kata metaforis yang berarti 48
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
rembulan yang tampak cantik dan elok. Kata candra dalam konteks tuturan lagu tersebut berarti rembulan, sedangkan dewi adalah panggilan untuk seorang putri yang cantik. Rembulan yang bersinar cerah dan tampak indah wujudnya disebut candra dewi. Keindahan rembulan itu disamakan dengan kecantikan seorang putri. Dalam tuturan lagu Cengkir Gadhing, terdapat kata metaforis galengan sutra. Kata galengan ‘pematang’ secara denotatif mengacu pada gundukan tanah memanjang yang berfungsi sebagai pembatas atau pemisah lahan sawah sekaligus sebagai penghalang untuk memudahkan pengaturan pengairan lahan. Konsep pematang ini hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan bidang pertanian. Kata sutra mengacu pada jenis kain yang halus dan lembut. Penutur lagu menggunakan ungkapan galengan sutra dalam tuturan lagu Cengkir Gadhing itu untuk mengacu pada adanya penghalang rintangan yang halus dan tidak kelihatan. Dengan memperhatikan konteks tuturan sebelumnya, yakni gage sendhalono cicira tumiblak ‘segera tarik, jatuh berceceran’, ungkapan galengan sutra memiliki makna lakukanlah pekerjaan dengan segera, tapi harus hati-hati jangan sampai gagal karena rintangan ada di mana-mana dan datangnya tidak disangka-sangka. Dalam tuturan lagu Perawan Sunthi, terdapat dua ungkapan yang merupakan kata-kata metaforis terikat budaya, yakni kata perawan sunthi dan cindhe sutra. Kata perawan sunthi makna denotatifnya adalah gadis kecil yang masih belum datang bulan (haid). Dalam tuturan lagu Perawan Suthi, kata perawan digunakan untuk menggambarkan keluguan dan kepolosan seseorang, sedangkan sunthi dimaksudkan untuk mengacu status seseorang dalam masyarakat. Secara metaforis, kata perawan sunthi mengacu pada makna keluguan dan kepolosan rakyat kecil. Sementara, kata cindhe sutra ‘selendang yang terbuat dari kain Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
49
sutra’ merupakan ungkapan penghargaan terhadap kejujuran, keluguan, dan kepolosan seseorang. 2) Tuturan Metaforis yang Bermotif Binatang Tuturan metaforis yang menggunakan nama binatang terdapat dalam lagu Mata Walangen dan Mata-mata Kidang, yakni kata mata walangen dan mata-mata kidang. Kata mata walangen maksudnya adalah seperti mata belalang, yakni menggambarkan orang yang matanya melihat sesuatu di depannya, tetapi pandangannya kosong. Secara metaforis kata mata walangen digunakan untuk menyebutkan kondisi orang yang sedang melamun. Sementara, kata mata kidang berarti mata yang jeli melihat sesuatu. Kidang ‘kijang’ adalah jenis binatang yang hidup di hutan dan memiliki mata jeli dalam melihat musuh dan mangsanya. Karena itu, orang yang memiliki mata jeli dalam melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain disebut orang yang bermata kijang. Dalam konteks budaya Indonesia secara umum, digunakan ungkapan mata elang memiliki makna yang sama dengan ungkapan mata kidang. 3) Tuturan Metaforis yang Bermotif Tumbuh-tumbuhan Dalam tuturan lagu Mata Walangen, terdapat kata metaforis bermotif tumbuhan, yakni kembang ronce dan kembang ati. Kata kembang ronce artinya adalah rangkaian bunga yang biasanya digunakan untuk orang yang meninggal. Dalam konteks lagu tersebut, kembang ronce berarti mendekati pada kematian. Tuturan tambanono kembang ronce ‘obatilah dengan rangkaian bunga’ maksudnya sampai akhir hidup ia akan tetap cinta. Maksud tuturan tersebut didukung oleh tuturan berikutnya nora dangang nora mari ‘tidak jadi tidak akan sembuh’ yang artinya adalah sakitnya tidak akan sembuh jika cintanya tidak diterima. Ia akan sembuh dari sakitnya jika dapat memetik kembange ati ‘bunga hati’, yakni gadis yang diidamkannya. 50
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Ungkapan yang menggunakan motif bunga juga terdapat dalam lagu Rondho Kembang, yakni kata rondho kembang. Kata rondho dalam bahasa Indonesia adalah janda, sedangkan kembang adalah bunga. Kata rondho kembang adalah janda yang masih seperti bunga. Ungkapan rondho kembang dalam konteks tuturan lagu tersebut berarti janda yang masih muda dan masih cantik karena belum lama menikah kemudian bercerai. Karena kecantikan dan usianya yang masih muda, ia masih memancarkan keindahan dan keharuman yang disamakan dengan keindahan dan keharuman bunga. Dalam tuturan lagu Kembang Terong, terdapat ungkapan kembang terong. Ungkapan tersebut merupakan metafora mati karena orang-orang di Banyuwangi sebagai pemakai bahasa Using tidak menyadari bahwa ungkapan tersebut sebagai metafora. Dalam komunikasi sehari-hari, masyarakat Using sering menggunakan ungkapan kembang terong untuk menyebutkan orang yang kikir dan tamak, yakni mau mengambil kekayaan orang lain, tetapi tidak mau memberikan sesuatu kepada orang lain. Ungkapan ini berasal dari sebutan untuk nama bunga terung, yakni cethil. Kata cethil adalah bahasa Jawa yang berarti kikir. Namun, dalam tuturan bahasa Using, ungkapan kembang terong itu tidak hanya bermakna kikir, tetapi juga tamak dan egois. Bertolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa tuturan lagu daerah Banyuwangi menggunakan beragam motif perbandingan secara langsung untuk mengungkapkan gagasan, perasaan, dan pengalaman budayanya. Motif perbandingan tersebut ada yang diwujudkan dalam kata-kata metaforis universal, ada juga yang disampaikan dalam wujud kata-kata metaforis yang terikat budaya. Beberapa kata metaforis yang terikat budaya meliputi kata metaforis yang menggunakan motif objek atau benda budaya, motif fauna, dan motif flora. Kata-kata metaforis tersebut terutama digunakan untuk mengekspresikan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
51
tema-tema lagu yang berkaitan dengan masalah hubungan percintaan. Kata-kata metaforis dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi digunakan oleh masyarakat Using sebagai tanda atau simbol untuk menggambarkan hal lain yang tidak secara langsung diacu oleh tanda tersebut. Karena itu, untuk memahami bentuk tanda dalam ungkapan metaforis yang terikat budaya, diperlukan pemahaman terhadap motif tanda yang digunakan sebagai unsur ungkapan dalam konteks budaya masyarakat Using sebagai penuturnya. Sumardjo (2005) menjelaskan bahwa semua karya seni yang baik selalu merupakan simbol. Simbol itu dibentuk dari budaya masyarakat dan digunakan untuk masyarakat itu sendiri. Simbol-simbol budaya banyak ditemukan dalam seni tradisi yang berasal dari masyarakat lama yang masih kuat sistem kepercayaan sukunya (religi suku). Karena itu, untuk memahami simbol-simbol atau tanda-tanda diperlukan konteks sosiol budaya masyarakat dari seni tradisi yang melatarinya. Perbandingan Secara Terurai Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang pemaparannya dikembangkan dengan teknik perbandingan secara terurai. Hal yang diperbandingkan dijelaskan berdasarkan uraian rinci dari kondisi, ciri, sifat, atau fungsi pembandingnya. Bentuk perbandingan semacam ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan keberadaan dan pentingnya hal yang di bandingkan. Contoh tuturan yang menggunakan model perbandingan secara terurai dapat diperiksa pada tuturan lagu Sepur Lempung berikut ini. Mlaku dheyat-dheyot ngukluk watuke/Ambekane kongoskongos keringete ceceran/Momotane sarat diseret sak katege/Raino bengi paman nana putuse/ Sepur kluthuk wis kadhung sun welasi/... 52
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Penutur lagu melalui tuturan lagu pada kutipan tersebut menggambarkan kondisi dan aktivitas kereta tua yang dibandingkan dengan kondisi orang yang sudah berusia lanjut. Kondisi kereta tua yang disebut dengan nama sepur kluthuk digambarkan sebagai orang yang sudah sangat tua, yakni jalannya terseok-seok dan batuknya terpingkal-pingkal, napasnya terengah-engah dan keringatnya bercucuran. Dengan dibebani oleh muatan yang penuh, kereta tersebut berjalan sekuatnya dan tidak pernah istirahat. Dengan menguraikan kondisi kereta seperti kondisi orang yang sudah tua, dapat dicitrakan gambaran kereta yang sudah tidak layak digunakan sebagai alat transportasi. Namun, karena tidak ada alat transportasi lain yang meng-gantikannya, kereta yang sudah tua pun tetap digunakan. Perbandingan secara terurai digunakan juga oleh penutur lagu untuk menggambarkan kondisi kehidupan seseorang yang sangat menderita. Hal ini dapat diperiksa pada contoh tuturan lagu Selendhang Sutra yang dikutip berikut ini. Keronto-ronto wis sanggane kembang kecubung/ Kekurung kedhung lewang-lewung ngindhit lan nyuwun/ Sing weruh wayah lali mangan lan turu sing karuan/... Dalam tuturan lagu Selendhang Sutra, terdapat berbagai simbol yang digunakan untuk menggambarkan kondisi orang yang sedang dalam kebingungan karena mengharapkan datangnya orang yang dicintai. Untuk menggambarkan kebingungan seseorang, penutur lagu menggunakan lambang bunga kecubung, yakni bunga yang dapat memabukkan. Hal ini melambangkan bahwa orang yang selalu menghadapi kebingungan sama dengan orang yang sedang mabuk, yakni tidak dapat berpikir jernih. Ia seperti kekurung kedhung lewang lewung ngindhit lan nyuwun, artinya orang yang bingung itu seperti berada dalam lubuk air yang dalam, sambil membawa beban berat, dan hanya berputarputar di tempat itu karena tidak tahu jalan keluarnya. Uraian Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
53
dalam tuturan selanjutnya menegaskan bahwa orang yang bingung menjadi lupa akan waktu, lupa akan makan, dan tidur pun tidak teratur. Dalam contoh tuturan lagu Damar Telempik yang dikutip berikut ini, penutur lagu menggunakan bentuk perbandingan secara terurai untuk memberikan gambaran tentang contohcontoh perilaku yang baik. .../Telempik damar telempik, kesilir angina mobat-mabit Sorot kiyep sayan mendelik, ngembari lintang ring langit/ Tuturan tersebut merupakan nasihat tentang sifat-sifat baik yang perlu dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat. Sifat-sifat baik itu dilambangkan dalam kata-kata kias damar telempik ‘lampu tempel’. Dalam tuturan lagu tersebut diuraikan bahwa lampu tempel memiliki nyala api kecil, jika kena angin mobat-mabit ‘bergerak-gerak tapi tidak mati’, setelah tiupan angin tersebut nyala apinya bertambah besar. Kata sorot kiyep ‘nyala api yang kecil’ melambangkan bahwa sekecil apa pun perbuatan baik seseorang akan memberikan manfaat bagi lingkungannya. Tuturan kesilir angin mobat-mabit ‘tertiup angin mobat-mabit’ melambangkan ketegaran seseorang dalam menghadapi godaan. Sementara, ungkapan sayan mendelik ‘nyala apinya semakin besar’ melambangkan bertambahnya semangat seseorang yang kuat menghadapi cobaan. Semangat yang tinggi akan ngembari lintang ring langit ‘mengembari bintang di langit’, artinya akan dapat mencapai cita-citanya. Contoh perilaku baik dalam tuturan lagu berjudul Sapu Kereg berikut ini disampaikan pula oleh penutur lagu dalam bentuk tuturan perbandingan secara terurai. .../Sapu kereg-sapu kereg perlambange Bersatu ojo dhewek-dhewekan Wong bersatu kuwat sekabehane Sapu kereg taline aran eso Rukuno ambi tangga teparo/... 54
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Dalam kutipan tersebut, penutur lagu menginformasikan pentingnya kerukunan atau persatuan. Kerukunan dalam masyarakat dilambangkan dengan sapu kereg ‘sapu lidi’ dan individu anggota masyarakat diumpamakan dengan sebatang lidi. Sebatang lidi akan mudah dipatahkan, tetapi kalau menjadi sapu sulit dipatahkan. Ini melambangkan bahwa individu dalam masyarakat akan mudah dipatahkan atau dicerai-beraikan jika tidak mau rukun atau bersatu dengan anggota masyarakat lainnya. Namun, jika mau hidup rukun dan bersatu dengan tetangga kanan kirinya, mereka akan kuat dan dapat dengan mudah mengatasi kesulitan hidup yang dihadapinya. Uraian di atas menggambarkan bahwa dalam tuturan lagulagu daerah Banyuwangi terdapat tuturan kias yang menggunakan bentuk perbandingan secara terurai. Dalam tuturan tersebut, diungkapkan perbandingan antara kondisi kereta tua dengan kondisi orang tua, sifat manusia dengan lampu tempel, dan perilaku manusia dengan sapu lidi. Dalam mengungkapkan gagasan atau hal secara kias, dapat terjadi bahwa hal yang bernyawa untuk melambangkan sesuatu yang tak bernyawa, atau hal tak bernyawa untuk melambangkan sesuatu yang bernyawa (periksa Wahab, 1998:65). Kereta tua adalah sesuatu yang tak bernyawa dilambangkan dengan kondisi orang yang sudah tua sebagai hal yang bernyawa. Sifat dan perilaku orang adalah hal yang bernyawa dilambangkan dengan lampu tempel dan sapu lidi sebagai sesuatu yang tak bernyawa. Tuturan yang menggunakan bentuk perbandingan secara terurai sekilas tampak memiliki kesamaan dengan tuturan kisahan atau lukisan. Namun, kedua bentuk perbandingan tersebut memiliki perbedaan. Dalam tuturan yang menggunakan bentuk perbandingan terurai, objek pembanding dianalisis berdasarkan sifat dan ciri-cirinya yang sesuai dengan sifat dan ciri hal yang dibandingkan. Sementara, dalam tuturan kisahan atau lukisan, objek pembanding dikisahkan atau digambarkan berRepresentasi Budaya dalam Penyajian Tutur
55
dasarkan sosoknya. Tuturan yang menggunakan kisahan atau lukisan tersebut dikemukakan dalam uraian butir berikut ini. Pengisahan atau Pelukisan Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, pengembangan paparan dengan teknik pengisahan atau pelukisan dimaksudkan untuk mengisahkan seseorang atau tokoh atau melukiskan kondisi geografis. Dalam lukisan atau kisahan tersebut, hal yang dibandingkan ada yang secara tersurat disebutkan dalam tuturan, ada juga yang disampaikan secara tersirat. Contoh tuturan lagu yang dipaparkan dengan menggunakan teknik pengisahan atau pelukisan tersebut disajikan pada kutipan lagu berjudul Kali Elo berikut. Kali Elo eman, milio nong segoro/Gampeng ereng-ereng watu paras terjangana/Gemericik paman egol-egol membat mayun/Koyo putri lakuniro Kutho Banyuwangi Kancanono hang disonggo/Ring tangan-tangan perkasa/ .../ Kali Elo eman, sing arep mandheg nong dalan/Kali Elo jare banyu mili tuladhane/Lare-lare Using bontangbanting tandang gawe/Mbangun tanah kelahirane/ Tuturan lagu Kali Elo itu merupakan bentuk tuturan lukisan. Tuturan tersebut merupakan kiasan tentang perbuatan atau perilaku yang seharusnya dimiliki oleh generasi muda Using. Melalui tuturan lagu tersebut, penutur lagu melukiskan keadaan kali Elo ‘sungai Elo’ yang membelah kota Banyuwangi, mengalir terus menuju laut. Meskipun lambat alirnya, air sungai itu tidak pernah berhenti. Batu, padas, dan karang yang menghalanginya diterjang sehingga aliran air tidak pernah berhenti. Kiasan yang berupa lukisan tentang perjalanan air sungai ini oleh penutur lagu dijadikan sebagai teladan yang perlu ditiru oleh generasi muda Using dalam berjuang. Nasihat bagi lare-lare Using ‘anak-anak Using’ agar bersemangat dalam membangun tanah kelahiran 56
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dikiaskan dengan aliran air sungai yang menuju laut. Tuturan lukisan semacam ini tampak pula dalam tuturan lagu Perawan Sunthi yang dikutip berikut. .../Perawan sunthi metu subuh yo ndiko teng pundi/Hang disuwun wanci kinangan suruh kuning/Indhitane beras sak elas ulihe nggagas/Tayongane nggayuh lintang gancango padhang/Ati-ati riko nong dalan akeh eri lan akeh juglangan/Esemono lare angon hang dhemen gredhoan/... Dalam tuturan tersebut, sosok perawan sunthi digunakan untuk mengiaskan sosok rakyat kecil yang lugu dan selalu mengalami kesulitan dalam hidupnya. Dalam segala kekurangannya, mereka masih memiliki harapan untuk hidup lebih layak. Harapan ini dikiaskan dalam tuturan nggayuh lintang gancanga padhang ‘meraih bintang supaya cepat terang’. Dalam tuturan tersebut, penutur lagu juga menyarankan agar setiap orang bersikap waspada karena banyak rintangan yang menghalangi perjalanan hidupnya. Saran ini tertuang dalam tuturan ati-ati riko ring dalan, akeh eri lan akeh juglangan ‘hati-hati kamu di jalan, banyak duri dan banyak lubang’. Untuk menyelamatkan diri dari rintangan tersebut, mereka harus berbaik hati kepada orangorang yang suka mengganggu. Hal ini tertuang dalam tuturan esemono lare angon hang dhemen nggredhoan ‘tersenyumlah kepada anak gembala yang suka menggoda’. Tuturan nasihat yang berupa kiasan terdapat juga pada tuturan lagu yang mengisahkan tokoh atau pahlawan Belambangan. Tuturan yang dimaksudkan tercantum dalam lagu Tawang Alun yang dikutip berikut ini. Tawang Alun Raja Belambangan/Macan Putih keratone/ Sipate sabar neriman/Welas asih nong kabeh kawulane/ Tawang Alun raja putra/Tanpa Uni aran Bapak Emake/ Kedhawung papan negarane/Sedayu papan karang Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
57
sedulure/Tawang Alun raja pandhita/Alas gunung raung papan tapane/Adil ngreka praja/Kawula tentrem uripe/ Tuturan dalam kutipan di atas berisi kisah perjuangan tokoh Tawang Alun. Tuturan tersebut merupakan nasihat yang dikiaskan. Penutur lagu memberikan nasihat kepada masyarakat melalui kisah yang dialami oleh Tawang Alun. Dalam kisah tersebut, dikemukakan bahwa Tawang Alun adalah putra raja yang kemudian menjadi raja di Belambangan. Pada awalnya ia menjadi raja di Kedawung, tetapi karena alasan tertentu kekuasaan tersebut diserahkan kepada adiknya.7 Ia kemudian pindah ke hutan Bayu dan mendirikan kerajaan baru bernama Macan Putih. Karena sikapnya yang adil dan sabar, rakyatnya menjadi senang kepadanya dan merasa tentram hidupnya. Kisah tersebut mengandung pesan bahwa orang yang sabar dan mengalah akhirnya akan mendapatkan kebahagiaan dan akan disenangi oleh orang lain. Sejenis dengan tuturan kisahan di atas, dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi terdapat sejumlah tuturan lagu yang menggunakan nama-nama pahlawan Belambangan. Lagu-lagu tersebut di antaranya adalah lagu Sayu Wiwit, Menak Jingga, Pahlawan Belambangan, Sumber Wangi, dan Melathi Belambangan. Dalam tuturan lagu-lagu itu, dikisahkan sifat dan sikap tokoh-tokoh pejuang Belambangan, yakni tokoh wanita Sayu Wiwit, Raja Belambangan Menak Jingga, Raden Benterang dengan istrinya 7
Dalam cerita tentang legenda Rowo Bayu, Utomo (2005) menceritakan bahwa Tawang Alun adalah sebagai adipati di Kerajaan Kedawung dengan patihnya adalah adiknya yang bernama Mas Wilo Priboto. Tawang Alun mengerti bahwa Mas Wilo sebenarnya menghendaki menjadi penguasa di kerajaan tersebut dengan melakukan berbagai fitnah. Karena ia merasa malu jika berebut kekuasaan dengan adiknya, kekuasaan tersebut akhirnya diserahkan kepada Mas Wilo. Tawang Alun pindah ke daerah Songgon, tepatnya di hutan Bayu, untuk mendirikan kerajaan baru yang diberi nama kerajaan Macan Putih.
58
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
yang bernama Surati, Nyi Patih Sidopekso, dan Sri Tanjung. Sifat dan sikap para tokoh itu dikisahkan untuk mengiaskan sifat dan sikap terpuji yang patut diteladani oleh semua orang, khusus-nya generasi muda Using, dalam kehidupan bermasyarakat. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tuturan bentuk perbandingan secara kisahan atau lukisan dalam tuturan lagulagu daerah Banyuwangi digunakan untuk mengungkapkan gagasan, pengetahuan, dan pengalaman yang berkaitan dengan kondisi geografis dan legenda yang berkembang di masyarakat Using. Kondisi geografis dan kisah-kisah legenda tersebut pada hakikatnya merupakan lingkungan ekologis dan sosial budaya yang membentuk persepsi masyarakat. Kaplan dan Manners (2002) mengemukakan bahwa cara suatu budaya memanfaatkan lingkungannya sebagai suatu fungsi dari cara budaya tersebut menyerap dan mengonseptualisasikan lingkungan itu. Dari pernyataan Kaplan dan Manners itu, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Using memahami dan mengonsepsikan bahwa kondisi alamiah, cerita-cerita sejarah, dan sifat-sifat tokoh merupakan hal yang layak diinformasikan, disarankan, dan diteladani oleh masyarakat Using dalam kehidupan sehari-hari. Tuturan kisahan yang dikemukakan dalam uraian di atas mengiaskan suatu sifat dan sikap yang dipandang baik dan layak untuk diteladani oleh anggota masyarakat, terutama oleh generasi muda. Dalam penuturan secara kias, dapat terjadi bahwa sifat dan kondisi benda atau objek yang tidak bernyawa dapat dikisahkan dalam tuturan yang menarik sehingga benda atau objek tersebut memberikan kesan hidup sebagaimana layaknya manusia. Tuturan yang menyifatkan benda atau objek yang tak bernyawa sebagaimana sifat manusia dibahas dalam uraian berikut ini.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
59
Penginsanan Objek Penginsanan objek merupakan tuturan yang menggunakan sifat atau watak manusia untuk menggambarkan bendabenda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa sehingga seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Tuturan penginsanan ini merupakan suatu corak khusus dari tuturan metaforis, yang menghasilkan benda-benda mati seolah-olah dapat bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Gambaran tentang bentuk tuturan penginsanan ini dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat diperiksa dalam contoh tuturan yang dikutip berikut ini. .../Sepur kluthuk masiyo berek lutrek/Elek-elek yoro tinggalane jaman/Mlaku dheyat-dheyot, ngukluk watuke/ Ambekane kongos-kongos kringete ceceran/... (Sepur Lempung) …/Sak ubengiro segoro sedino-dino njaga kuburiro/Raino bengi ombak pesisir Banyuwangi nggandhengi muja lan muji/ (Kembang Kirim) /Dalu-dalu suwarane gemericike banyu/Nggugah ati hang turu/... (Dalu-dalu) Dalam beberapa kutipan di atas, terdapat beberapa bentuk tuturan penginsanan suatu objek. Benda tak bernyawa yang diberi sifat bernyawa dalam tuturan lagu tersebut adalah sepur kluthuk ‘kereta api tua’, segoro ‘laut’, ombak pesisir ‘gelombang lautan’, dan banyu ‘air’. Kereta api tua diberi sifat seperti manusia yang sudah berusia lanjut, yakni bisa berjalan, batuk, bernapas, dan berkeringat. Laut dikiaskan dapat menjaga makam dan gelombangnya dapat memanjatkan doa. Air dengan suara gemericiknya dikiaskan dapat membangkitkan semangat orang yang sedang tidur. 60
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Bentuk tuturan penginsanan seperti dicontohkan dalam tuturan lagu di atas, terdapat pula dalam tuturan sejumlah lagu daerah Banyuwangi yang lainnya. Dalam tuturan lagu Wayah Surub, terdapat kata yang menyebutkan benda kosmos srengenge ‘matahari’ yang diberi sifat seperti manusia, yakni srengenge ngajaki kelon ‘matahari mengajak tidur’. Dalam tuturan lagu Cengkir Gadhing, terdapat tuturan awe-awe koyo perawan ‘memanggil dengan melambai-melambaikan tangannya seperti perawan’. Tuturan ini mengiaskan pohon kelapa sebagai perawan yang dapat memanggil-manggil dengan melambai-lambaikan tangannya. Dalam lagu Grahana, dituturkan susah seru bumi sak isine ‘susah sekali bumi dengan isinya’. Tuturan dalam lagu ini mengiaskan bumi dan isinya memiliki sifat seperti manusia yang dapat merasakan kesedihan. Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang menggunakan benda atau objek tak bernyawa yang dikiaskan sebagaimana sifat manusia yang dapat diajak berkomunikasi. Hal ini dapat diperiksa dalam tuturan lagu Kembang Pethetan, yang berbunyi/angin hang liwat ring kana/milu takon hang methik tangane sopo ‘angin yang lewat di sana, numpang tanya yang memetik tangannya siapa’. Dalam tuturan tersebut, angin dikiaskan seakan-akan dapat berbicara dan dapat menjawab pernyataan seseorang. Hal yang sama dikemukakan juga dalam tuturan lagu Mberantas Wereng, yakni tuturan yang berbunyi ngeliliro katon ijo ‘bangunlah agar tampak hijau’. Dalam tuturan tersebut, digambarkan bahwa padi-padi yang baru ditanam dikiaskan sebagai orang yang sedang tidur. Tanaman padi yang sedang tidur itu diajak berkomunikasi, yakni disuruh segera bangun dari tidurnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang menggunakan bentuk perbandingan dengan sifat manusia. Keberagaman bentuk tuturan penginsanan ini dapat dilihat dari Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
61
dua segi, yakni dari (a) ciri benda atau objek yang diberi sifat human, dan (b) ciri human yang disifatkan pada benda atau objek yang dituturkan. Dengan menggunakan pandangan Halley (dalam Wahab, 1998) ciri benda atau objek yang diberi sifat human dalam tuturan lagu dapat dikelompokkan dalam kategori flora (padi, pohon kelapa), energi (air, angin, ombak), kosmos (bumi, matahari), dan objek (kereta api tua). Sementara, ciri human yang disifatkan pada benda-benda atau objek tuturan itu meliputi kondisi fisik, aktivitas sehari-hari, kondisi kejiwaan, dan penampilan diri. Bentuk tuturan penginsanan pada dasarnya merupakan tuturan kiasan berbentuk tuturan perbandingan, yakni membandingkan benda atau objek yang tidak bernyawa dengan hal atau sifat yang dimiliki oleh manusia. Perbandingan dalam tuturan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesan yang utuh dan hidup dalam tuturan lagu. Sebagai contoh, tuturan srengenge ngajaki kelon ‘matahari mengajak tidur’ lebih memberikan kesan utuh dan hidup daripada tuturan matahari hampir terbenam. Dalam tuturan matahari mengajak tidur, selain tergambar matahari hampir terbenam, juga terungkapkan suasana sore yang sudah mulai sepi, orang-orang sudah beristirahat dari pekerjaannya, semua anggota keluarga sudah berkumpul di rumah, dan sebagainya. Beberapa macam bentuk tuturan perbandingan yang telah diungkapkan di atas merupakan tuturan kiasan yang membandingkan dua hal yang berbeda, tetapi dianggap memiliki ciri, sifat, atau fungsi sama untuk diperbandingkan. Hal ini berbeda dengan butir uraian berikut ini yang menyajikan bentuk tuturan kiasan yang hanya menyebutkan sifat atau ciri yang menjadi atribut dari hal yang dituturkan.
62
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Pertautan Hal – Atribut Bentuk tuturan yang berupa pertautan hal – atribut merupakan tuturan kiasan yang mempergunakan kata atau katakata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Kata atau kata-kata tersebut berupa atribut dari suatu objek yang dituturkan atau hal lain yang memiliki kaitan erat dengan objek yang digantikannya. Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi bentuk tuturan pertautan hal – atribut ini dapat diperiksa pada tuturan lagu Nunggang Sepur, yakni tuturan yang berbunyi ojo mangan bulgur mangano genjah wangi ‘jangan makan bulgur makanlah genjah wangi’. Kata genjah wangi mengacu pada nama jenis padi yang pendek umurnya. Dengan hanya menyebut genjah wangi, tanpa menyebut kata beras, orang sudah paham yang dimaksud adalah beras genjah wangi. Beberapa atribut lain yang dapat disebutkan untuk mewakili hal pokok dikemukakan dalam tuturan lagu Ulan Andhung-andhung, Damar Telempik, dan Gelang Alit. Dalam lagu Ulan Andhung-andhung, terdapat tuturan yang berbunyi sunare candra dewi alak emas. Kata candra dewi dalam tuturan tersebut digunakan untuk menyebut-kan bulan. Dalam tuturan lagu Damar Telempik, digunakan kata jebeng dan thulik untuk menyebutkan anak perempuan dan anak laki-laki. Sementara, dalam lagu Gelang Alit, dituturkan kata gelang alit untuk menyebutkan cincin. Berdasarkan contoh yang diungkapkan di atas, dapat dikemukakan bahwa tuturan yang berupa atribut yang digunakan untuk mengasosiasikan hal yang diungkapkan memiliki beragam wujud. Wujud atribut tersebut berupa (a) nama jenis, seperti kata genjah wangi adalah nama jenis padi, (b) sinonim, sebagai contoh adalah kata candra dewi bersinonim dengan kata bulan, (c) sebutan atau sapaan, seperti kata jebeng untuk panggilan anak perempuan dan thulik untuk panggilan anak laki-laki, dan (d) ungkapan, contohnya gelang alit, yakni cincin. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
63
Berdasarkan keseluruhan paparan di atas, dapat di kemukakan bahwa keberagaman bentuk tuturan kias yang di gunakan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi menggambarkan kekayaan kata-kata kias yang dimiliki oleh masyarakat Using. Dalam tradisi lama, kata-kata kias ini digunakan oleh anggota masyarakat Using dalam percakapan sehari-hari. Hal ini dapat dilacak berdasarkan tradisi yang dilakukan oleh etnik Using dalam warung bathokan. Singodimayan (2004) mengungkapkan bahwa Merga warung bathokan, nurut ceritane wong tuwektuwek, sak marine Perang Puputan Bayu dienggo panggonan inpormasi, antarane pasukan Blambangan hang mencar nang endi-endi. Omongane nganggo cara sandhi hang sing dingerteni ambi antek-ateke Landa. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikemukakan bahwa sejak selesainya Perang Puputan Bayu, pasukan Belambangan terpencar di berbagai tempat. Pos yang dijadikan untuk tempat pertemuan mereka adalah di warung batokan. Di tempat itu, mereka menggunakan bahasa sandi yang berupa wangsalan, paribasan, dan kiasan dengan maksud agar informasi yang disampaikan tidak dimengerti oleh mata-mata Belanda yang ada di tempat itu. Dalam perkembangannya saat ini, kata-kata kias tersebut jarang digunakan oleh generasi muda Using. Bahkan, sebagian besar generasi muda Using sudah tidak mengenal benda-benda budaya lama yang banyak digunakan dalam kata-kata kias. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa tuturan lagu daerah Banyuwangi yang termasuk lagu baru jarang menggunakan katakata kias. Lagu-lagu daerah Banyuwangi sebagai seni tradisi telah mengalami perubahan saat ini, terutama dilihat dari strategi pemaparan tuturannya. Sumardjo (2005) menjelaskan bahwa simbol-simbol pohon, air, gunung, hutan, matahari, bulan, sungai, laut, malam, siang, lelaki, perempuan, kembang, binatang, jarang 64
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dijumpai dalam artefak seni tradisi karena masyarakat masa kini tidak lagi akrab dengan alam dan lupa terhadap pandangan dunia nenek moyangnya. Simbol yang ada dalam tuturan lagu lama tidak terbaca makna simbolnya oleh generasi muda Using. Uraian di atas menunjukkan bahwa pemilihan dan penggunaan bentuk tutur dalam lagu daerah Banyuwangi di pengaruhi secara kuat oleh budaya masyarakat penuturnya. Dengan pernyataan lain, dapat diungkapkan bahwa penggunaan paparan dalam tuturan lagu tersebut mencerminkan budaya masyarakat Using. Cerminan budaya dalam tuturan lagu tidak hanya terbatas pada pilihan kata-kata, tetapi cerminan budaya tersebut terlihat pula pada aspek pola pemaparan tuturannya. Simpulan Teknik pemaparan yang terdapat dalam tuturan lagu tersebut meliputi (a) perbandingan secara eksplisit, (b) perbandingan secara langsung, (c) perbandingan secara terurai, (d) pengisahan atau pelukisan, (e) penginsanan objek, dan (f) pertautan hal - atribut. Setiap teknik tersebut memiliki ciri dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan topik dan maksud tuturan yang disampaikannya. Temuan ini menggambarkan sifat dan gaya masyarakat Using dalam penggunaan bahasanya. Keberagaman gaya tutur yang digunakan oleh masyarakat Using berdasarkan temuan itu dapat diterangkan dengan pandangan Littlejohn (1992) yang berkaitan dengan penjelasan sifat. Penjelasan sifat tersebut menerangkan cara-cara individu menghubungkan sifat yang dimilikinya dengan sifat-sifat dan variabel-variabel lain. Pandangan ini mengaitkan antara tipe kepribadian tertentu dengan jenis pesan tertentu. Ini berarti bahwa jika seseorang memiliki sifat kepribadian tertentu, ia cenderung akan berkomunikasi dengan cara-cara tertentu. Dari pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa keberagaman teknik pemaparan tuturan dalam temuan penelitian ini mencerminkan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
65
sifat dan kepribadian masyarakat Using, di antaranya meliputi (a) tidak ada keberanian untuk mengatakan maksud secara langsung, (b) peduli terhadap objek lain yang memiliki sifat sama atau sepadan, (c) enggan mengungkapkan maksud secara panjang lebar, (d) jeli dalam melihat kelemahan dan kelebihan objek. Untuk membandingkan objek secara eksplisit, digunakan kata koyo sebagai penanda perbandingan. Kata tersebut memiliki dua makna, yakni bermakna seperti dan laksana. Perbandingan yang menggunakan kata koyo yang bermakna ‘seperti’ difungsikan untuk membandingkan hal yang pembandingnya (a) berbentuk ungkapan, (b) berupa sifat objek/benda, dan (c) sebagai contoh. Sementara, perbandingan yang menggunakan kata koyo yang bermakna ‘laksana’ difungsikan untuk membandingkan hal pada sosok yang diidealkan. Teknik perbandingan secara eksplisit ini digunakan untuk menyampaikan teguran yang berkaitan dengan sifat-sifat dan perilaku jelek dan menuturkan pesan-pesan kebaikan. Dalam bahasa Using untuk menyebutkan suatu perbandingan secara eksplisit hanya memiliki satu kata penanda perbandingan, yakni kata koyo. Kata koyo ini memiliki beragam arti bergantung pada konteksnya. Kata koyo dapat berarti seperti, laksana,ibarat, atau yang lainnya jika ditempatkan dalam konteks tuturan yang berbeda-beda. Konteks tersebut mengacu pada perihal pembanding dan yang dibandingkan. Karena itu, penggunaan variasi gaya menjadi tumpuan dan kekayaan masyarakat Using dalam mengungkapkan gagasannya dalam berkomunikasi karena keterbatasan kosakata yang ada dalam bahasanya. Teknik perbandingan secara langsung dalam tuturan lagu diciritandai oleh penggunaan bentuk tuturan metaforis. Hal yang dibandingkan disampaikan secara langsung dalam kata-kata metaforis. Tuturan metaforis dalam tuturan lagu dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tuturan metaforis universal dan tuturan metaforis yang terikat budaya. Tuturan metaforis 66
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
universal ditemukan dalam lagu-lagu bertema perjuangan. Sementara, tuturan metaforis terikat budaya digunakan dalam tuturan lagu yang menyampaikan topik-topik sosial dan moral. Dalam tuturan metaforis yang terikat budaya, ditemukan 3 macam ciri, yakni (a) tuturan metaforis yang bermotif benda budaya, (b) tuturan metaforis yang bermotif binatang, dan (c) tuturan metaforis yang bermotif tumbuh-tumbuhan. Teknik perbandingan secara terurai digunakan untuk menjelaskan sosok, sifat, atau fungsi suatu benda. Hal yang dibandingkan dijelaskan dengan cara menguraikan sosok, sifat, dan fungsi benda pembandingnya. Dalam tuturan lagu, ditemukan bentuk tuturan yang menguraikan sosok benda bernyawa untuk menggambarkan sosok benda tak bernyawa, dan sebaliknya, bentuk tuturan yang menguraikan sifat dan fungsi benda tak bernyawa untuk memberikan teladan pada sifat dan fungsi benda bernyawa. Teknik perbandingan ini digunakan dalam tuturan lagu yang menyampaikan nasihat tentang sikap moral dan perilaku sosial. Teknik pengisahan atau pelukisan sekilas tampak sama dengan teknik perbandingan secara terurai. Teknik pengisahan atau pelukisan ini lebih menitikberatkan pemaparannya pada penceritaan atau penggambaran objek, sedangkan teknik pembandingan secara terurai memfokuskan pada rincian ciri-ciri objek. Teknik pengisahan atau pelukisan dalam tuturan lagu ditemukan pada tuturan yang menggambarkan sosok pahlawan, mengisahkan kehidupan seseorang, dan menceritakan suatu peristiwa budaya. Teknik penginsanan objek banyak digunakan dalam pengembangan paparan untuk tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Keberagaman bentuk tuturan penginsanan ini dapat dilihat dari dua segi, yakni dari (a) ciri benda atau objek yang diberi sifat human, dan (b) ciri human yang disifatkan pada benda atau objek yang dituturkan. Ciri benda atau objek yang diberi sifat Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
67
human dalam tuturan lagu dapat dikelompokkan dalam kategori flora (padi, pohon kelapa), energi (air, angin, ombak), kosmos (bumi, matahari), dan objek (kereta api tua). Sementara, ciri human yang disifatkan pada benda-benda atau objek tuturan itu meliputi kondisi fisik, aktivitas sehari-hari, kondisi kejiwaan, dan penampilan diri. Teknik pengembangan paparan lainnya yang terdapat dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi adalah pertautan hal – atribut. Tuturan yang berupa atribut yang digunakan untuk mempertautkan dengan hal yang diungkapkan memiliki beragam wujud. Wujud atribut tersebut berupa (a) nama jenis, seperti kata genjah wangi adalah nama jenis padi, (b) sinonim, sebagai contoh adalah kata candra dewi bersinonim dengan kata bulan, (c) sebutan atau sapaan, seperti kata jebeng untuk panggilan anak perempuan dan thulik untuk panggilan anak laki-laki, dan (d) ungkapan, contohnya adalah gelang alit yang artinya cincin. Keberagaman teknik pengembangan paparan dalam tuturan di atas menggambarkan keberagaman kelompok sosial budaya yang ada dalam masyarakat Using. Thornborrow (1999) menjelaskan bahwa untuk menjadi bagian dari kelompok sosial tertentu, selain kesamaan sistem ekspresi bahasa dan kepatuhan terhadap norma-norma linguistik, seseorang menggunakan caracara tertentu dalam komunikasinya. Orang juga memosisikan dirinya dengan hubungan tertentu dengan orang lain lewat cara dia berbicara dalam berbagai jenis interaksi. Orang tidak selalu mengucapkan sebuah kata tertentu dengan cara yang sama dan tidak selalu menggunakan aturan-aturan tatabahasa yang sama, tetapi ia selalu mengubah gaya berbahasanya. Bell (1984) menjelaskan bahwa untuk menunjukkan solidaritas pada kelompoknya orang menggunakan gaya tutur yang sama dengan dengan kelompok itu. Ini berarti bahwa orang akan menggunakan gaya tutur yang berbeda ketika berbicara dengan kelompok yang berbeda. 68
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
BAB VI REPRESENTASI BUDAYA DALAM POLA TUTUR
Pola pengembangan tuturan dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi dapat dikelompokkan menjadi 5 pola, yakni (a) pola pengulangan, (b) pola penjelasan, (c) pola perincian, (d) pola penegasan, dan (e) pola pertentangan. Kelima macam pola tersebut diuraikan berikut ini. Pola Pengulangan Pola pengulangan digunakan oleh penutur lagu untuk memperjelas makna tuturan. Untuk memperjelas makna tuturan tersebut, penutur lagu dapat menyatakan hal atau keadaan secara berulang-ulang dalam tuturannya. Pengulangan ini ada yang menggunakan kata yang sama secara berulang-ulang dan ada juga yang menggunakan kata yang berbeda yang maknanya sama atau hampir sama. Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, pola pengulangan bentuk tuturan dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) pengulangan dengan menggunakan kata yang sama , dan (2) pengulangan dengan menggunakan sinonim. Pengulangan kata yang sama adalah proses menuturkan kembali kata atau kata-kata yang sama dengan kata atau kata-kata yang sudah dikemuka-kan sebelumnya. Pengulangan dengan sinonim adalah proses menuturkan kembali hal atau keadaan yang sama dengan hal atau keadaan sebelumnya dengan menggunakan kata atau kata-kata yang berbeda, tetapi maknanya sama atau hampir sama. Kedua macam pola tersebut dibahas berikut ini.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
69
a. Pola Pengulangan dengan Menggunakan Kata yang Sama Pengulangan kata atau kata-kata yang sama dalam suatu tuturan dimaksudkan untuk memberikan penekanan atau pemfokusan pada kata atau kata-kata tersebut. Pola pengulangan tersebut dalam tuturan lagu dapat terjadi antarbaris dan intrabaris. Pola pengulangan antarbaris adalah pola pengulangan kata atau kata-kata yang sama dari baris yang satu ke baris yang lain dalam urutan berikutnya, sedangkan pola pengulangan intrabaris adalah pola pengulangan kata atau kata dalam satu urutan baris tuturan. Kedua macam pola pengulangan kata yang sama ini dicontohkan dalam uraian berikut. 1) Pola Pengulangan Kata yang Sama Antarbaris Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat sejumlah tuturan yang pengembangannya menggunakan pola pengulangan kata-kata yang sama dari baris yang satu ke baris berikutnya. Pengulangan tersebut ada yang digunakan untuk mengikat topik dalam satu tema, ada pula yang dimaksudkan untuk mempertajam makna tuturan. Kedua macam maksud penggunaan pola itu disajikan dalam contoh-contoh tuturan berikut ini. a) Pengulangan Kata-kata yang Sama sebagai Pengikat Topik Suatu tema dalam tuturan lagu kadang-kadang dibangun oleh beragam topik. Untuk mengikat topik-topik tersebut dalam satu tema yang sama, digunakan kata-kata yang sama di setiap awal tuturan yang menuturkan topik-topik yang berbeda. Tuturan yang demikian ini dapat diperiksa dalam tuturan lagu Nunggang Sepur seperti dikutip berikut. Kulo nungang sepur mudhun Kalibaru/Emak durung nempur anak nggantung untu/Kulo nungang sepur mudhun nang Krikilan/Embok magih pupur kakang hang 70
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
sisilan/Kulo nungang sepur mudhun nang Glemor/Bapak turu kasur emak turu ngisor/... Dalam tuturan lagu Nunggang Sepur yang dicontohkan dalam kutipan, terdapat kata-kata yang diulang dari baris ke baris. Kata-kata yang dimaksudkan adalah kulo nunggang sepur ‘saya naik kereta api’. Penutur lagu melalui tuturan lagu tersebut menyampaikan berbagai kritik sosial terhadap kondisi masyarakat pada waktu itu. Kritik yang disampaikan terutama berkaitan dengan kondisi kehidupan rakyat kecil yang selalu menderita karena tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Topik-topik yang diungkapkan dalam kritik tersebut di antaranya adalah topik kesulitan pangan, masalah moral, dan kesenjangan sosial. Untuk mengikat topik-topik itu dalam satu keutuhan tema kritik sosial, penutur lagu menggunakan kata-kata yang sama secara berulang. Pola tuturan yang demikian ini dapat diperiksa pula dalam tuturan lagu Ula-ula Rase berikut. Selebur-selebur ndara mantri mangan bubur/Seleburselebur ndara mantri lungguh ring kasur/Milu ula tah milu rase/Selebur-selebur Man Andon ngombe ring sumur/Selebur-selebur anake nangis kelantur-kelantur/ Milu ula tah milu rase/... Dalam lagu Ula-ula Rase yang dikemukakan dalam kutipan, penutur lagu menyajikan tuturan lagu yang diambil dari permainan anak-anak. Permainan ini merupakan jenis permainan rakyat yang isi tuturannya merupakan kritik sosial. Kritik tersebut ditujukan kepada penguasa yang tidak memikirkan kehidupan rakyat kecil. Penguasa selalu makan enak dan tidur nyenyak, sedangkan rakyatnya menangis kelaparan. Untuk memberikan penekanan pada perbandingan kedua topik tersebut, digunakan tuturan yang sama untuk mengawali pemaparan topik-topik yang berbeda itu. Kata yang diulang dan digunakan untuk menandai topik-topik tersebut adalah selebur-selebur. Sebagai kata, tuturan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
71
tersebut tidak ada maknanya dalam bahasa Using, hanya sebagai kata tiruan bunyi. Serupa dengan tuturan yang dicontohkan pada kutipan di atas, ditemukan pula dalam tuturan lagu Nyik-nyik Madamin, Kalong Embat-embat, Uyek-uyek Ranti, Bang Cilang-cilung, dan Deg-deg Lirang. Lagu-lagu ini berisi teguran, kritik, dan harapan. Dalam menyampaikan tuturan lagu-lagu tersebut, penutur lagu menggunakan bentuk pengulangan kata-kata yang sama sebagai penanda topik baru dalam tuturan dan sekaligus sebagai pengikat beberapa topik dalam satu keutuhan lagu. b) Pengulangan Kata-kata yang Sama sebagai Penegas Makna Tuturan Selain dimanfaatkan sebagai pengikat topik, bentuk pengulangan kata-kata yang sama difungsikan sebagai penegas atau penajam makna tuturan. Hal ini dapat dicontohkan dalam tuturan lagu Mbayar Utang berikut. /Emak isun marek nyapu upahane limang rupiah/Emak isun marek ngangsu upahane sepuluh rupiah/Emak isun arep sekolah sangonono limang rupiah/... Dalam tuturan tersebut, penutur lagu menggunakan katakata yang sama pada setiap awal tuturan. Setiap awal tuturan selalu dimulai dengan panggilan emak ‘ibu’ dan diikuti dengan tuturan yang menunjukkan pekerjaan yang sudah dilakukan (isun marek nyapu ‘saya selesai menyapu’ dan isun marek ngangsu ‘saya selesai mengisi tandon air’) dan pekerjaan yang akan dilakukan (isun arep sekolah ‘saya akan pergi ke sekolah’). Selanjutnya, pada setiap tuturan itu dikemukakan permintaan upah atas pekerjaan yang sudah dan akan dilakukan. Rincian pekerjaan yang di tuturkan dalam kalimat-kalimat secara terpisah ini memperkuat kesan tentang sikap anak yang terlalu berpikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena itu, penggunaan kata-kata yang sama 72
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
secara berulang dimaksudkan sebagai penanda topik-topik tuturan yang ditonjolkan. Penggunaan pengulangan kata atau kata-kata yang sama sebagai penonjolan topik tuturan tecermin pula dalam tuturan lagu Bacot yang dikutip berikut. .../Mak, … dhuh bapak …temenan iki ceritane/Mak, … dhuh bapak ... delengen putreke kari ayu/Mak, … dhuh bapak... larene yo mbangir bacot, bacot, bacot Melalui lagu Bacot yang dituturkan dalam kutipan tersebut, penutur lagu menuturkan kisah pemuda yang sedang jatuh cinta. Dalam kisah tersebut, diungkapkan bahwa untuk menjelaskan kepada orang tuanya tentang gadis yang dicintainya, seorang pemuda menceritakan kelebihan gadis yang dicintainya, menunjukkan foto gadis itu, dan mengungkapkan kecantikan gadis tersebut. Untuk menonjolkan kecintaan pemuda tersebut pada gadis pujaannya, penutur lagu menggunakan menggunakan tuturan yang sama, yakni bentuk sapaan Mak... dhuh Bapak ... ‘Ibu ... aduh Bapak...’ pada setiap awal tuturannya. Bentuk penegasan topik tuturan seperti yang dicontohkan pada kutipan di atas dapat diperiksa dalam tuturan lagu Yo Mung Riko yang dikutip berikut ini. Yo mung riko dhemenan isun/Yo mung riko nang pikiran isun/Yo mung riko nang urip isun/Saiki lan sak lawase/... Dalam tuturan lagu yang dikemukakan dalam kutipan di atas, penutur lagu memberikan gambaran tentang besarnya cinta seseorang kepada kekasihnya. Untuk menegaskan tuturan yang mengungkapkan kesungguhan cinta kepada kekasih, dalam setiap penuturan sebuah topik selalu diawali dengan kata-kata yo mung riko ‘ya hanya kamu’. Pengulangan kata yo mung riko pada setiap awal tuturan tersebut berfungsi sebagai penanda topik baru.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
73
2) Pola Pengulangan Kata yang Sama Intrabaris Bentuk pengulangan kata atau kata-kata yang sama dalam tuturan lagu tidak selalu terdapat pada setiap awal baris tuturan, tetapi pengulangan tersebut terdapat juga di dalam baris tuturan yang sama. Hal ini dapat diperiksa pada contoh tuturan lagu Conge-conge Atang berikut ini. .../Dhe-gelisa gedhe, gedhe gelisa gedhe/Kadhung wis gedhe tandanga gawe/Ngisor tulihen ngisor tulihen ya sarane dala/Mendhuwur pandengen mendhuwur pandengen sorote lintang/Dawakena, dawak- dawakena, jangkah- jangkahira/Dhepanana dhepan- dhepanan bumi nusantara/Memburi sawangen memburi sawangen ya jejege dandang/... Pengulangan kata atau kata-kata yang sama dalam kutipan itu terjadi dalam satu baris tuturan. Dalam tuturan lagu Congeconge Atang, kata gedhe gelisa gedhe ‘besar cepatlah besar’, dawakena ‘panjangkanlah’, dan depanana ‘depanilah’ diulang dalam bentuk yang sama dalam satu baris tuturan. Bentuk pengulangan tersebut menunjukkan suatu pengharapan yang sungguh-sungguh dari penutur kepada mitra tutur untuk benarbenar dapat melakukan aktivitas sebagaimana yang diharapkan. Kata-kata lain yang diulang dalam lagu tersebut adalah mengisor tulihen ‘ke bawah pandanglah’, mendhuwur pandengen ‘ke atas tataplah’, dan memburi sawangen ‘ke belakang tengoklah’. Pengulangan kata-kata ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan persoalan penting yang perlu diperhatikan dan dilakukan mitra tutur. b. Pola Pengulangan dengan Menggunakan Sinonim Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat pola tuturan yang pemaparannya menggunakan bentuk pengulangan kata dengan sinonimnya. Dalam tuturan tersebut, kata-kata yang 74
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
sudah disebutkan sebelumnya disebutkan lagi pada tuturan berikutnya dalam wujud sinonimnya. Pengulangan ini dimaksudkan untuk mempertajam makna atau memperjelas gambaran hal yang dituturkan. Tuturan lagu yang berupa pola pengulangan dengan menggunakan sinonim dapat diperiksa dalam tuturan lagu Sepur Lempung tuturan lagu Sembur Utik-utik berikut ini. (1) …/Sepur kluthuk masiyo berek lutrek/Elek-elek yara tinggalane jaman/... (2) .../Terebang ngungkung ditempal dikemplang yara kari kementhang/... Pada kutipan (1) dan kutipan (2), terdapat kata-kata yang bersinonim. Dalam lagu Sepur Lempung, kata berek lutrek ‘hancur mumur’ bersinonim dengan kata elek-elek ‘jelek-jelek’. Pengulangan kata berek lutrek dengan menggunakan sinonimnya elek-elek dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang semakin jelas bahwa kondisi kereta tua yang diceritakan dalam tuturan lagu tersebut secara fisik sudah tidak layak digunakan. Sementara, dalam tuturan lagu Sembur Utik-utik, kata ngungkung ‘bertalu-talu’ bersinonim dengan kata kemethang ‘membahana’, sedangkan kata dikemplang bersinonim dengan kata ditempal ‘dipukul dengan tangan’. Penggunaan kata-kata bersinonim ini melukiskan suasana yang benar-benar gaduh karena suara terbang atau rebana. Pengulangan kata-kata dengan menggunakan sinonimnya ditemukan juga dalam tuturan lagu berjudul Mbok Irat dan tuturan lagu Emak Kuwalon. Dalam lagu Mbok Irat, terdapat tuturan gancang-gancang gage muliha. Kata gancang dan gage yang dituturkan secara berurutan ini memiliki arti sama, yaitu cepat atau lekas. Dengan menggunakan kata bersinonim secara Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
75
berturut-turut, penutur lagu memberikan penegasan bahwa seseorang mengharapkan dengan sungguh-sungguh agar orang yang bernama Mbok Irat segera pulang. Dalam tuturan lagu Emak Kuwalon, terdapat kata getun ‘menyesal’ dan ngersula ‘mengeluh’ yang mempunyai arti hampir sama, yakni menunjukkan suatu rasa penyesalan. Dengan mendampingkan kedua kata tersebut, tuturan buru getun nggersula dhonge wis mati menggambarkan adanya rasa penyesalan yang mendalam setelah ditinggal oleh ibu tirinya. Demikian juga, kata sepi ‘sepi’ dan sintru ‘sunyi’ disajikan secara berurutan dalam tuturan noring umah katon sepi lan sintru untuk menggambarkan suasana sunyi dan mencekam. Pada tuturan lagu Mak Ucuk, Tapeng Embel-embel, dan Lancing Tanggung, penutur lagu juga menyajikan pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya. Penggunaan kata mbecucut ‘cemberut’ dan kata morang-moring ‘marah-marah’ dalam tuturan lagu Mak Ucuk merupakan dua kata bersinonim. Kedua kata tersebut mengungkapkan sikap protes karena permintaannya tidak dipenuhi. Dalam tuturan lagu Tapeng Embelembel, terdapat kata patheng ‘rajin’ dan methentheng ‘kerja keras’ yang dapat dikatakan sebagai dua kata yang bersinonim karena keduanya mengacu pada makna yang sama, yakni giat bekerja. Sementara, dalam tuturan lagu Lancing Tanggung, terdapat kata kari tega ‘begitu tega’ dan kari mentala ‘sampai hati’ yang merupakan kata-kata bersinonim. Selain kata-kata yang telah diungkapkan dalam contohcontoh di atas, dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat beberapa tuturan yang menggunakan bentuk pengulangan kata dan kata-kata dengan menggunakan sinonimnya. Hal ini dapat dicermati dalam Wisata Using, Nungsep, Stasiun Argopuro, Nguweni Ati, Tabrakan, dan Ojo Cemburu. Beberapa kata bersinonim tersebut dapat dicontohkan di antaranya adalah kata tangi ‘bangun’ dan sing turu ‘tidak tidur’ yang terdapat dalam tuturan lagu Wisata Using, kata sing apus-apusan ‘tidak bohong’ 76
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dan temenanan ‘sungguh-sungguh’dalam tuturan lagu Nungsep, kata disulayani ‘diingkari’ dan janji dilali ‘janji dilupakan’ dalam tuturan lagu Stasiun Argopuro, dan sebagainya. Pengulangan kata atau kata-kata dengan menggunakan sinonimnya dalam tuturan lagu memiliki beragam fungsi. Dengan menggunakan pengulangan tersebut, gambaran situasi dan suasana yang dikemukakan dalam tuturan menjadi semakin jelas dan lengkap. Maksud tuturan lagu menjadi lebih jelas dan lebih tegas sehingga mudah dipahami oleh penerima tuturan. Selain itu, pengulangan dengan menggunakan kata bersinonim dapat mempertegas hal-hal penting yang dituturkan dan menyangatkan maksud dari hal yang diharapkan. Hal ini terjadi karena dua kata yang bersinonim tidak selalu memiliki makna yang benar-benar tepat. Kata-kata tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan dalam mengungkapkan gagasan, perasaan, atau pengalaman ke dalam tuturan sehingga penggunaan kata bersinonim tersebut dapat saling melengkapinya. Selain menggunakan bentuk pengulangan, untuk mengungkapkan gagasan secara lengkap dan jelas, dapat dilakukan dengan memberikan keterangan tambahan pada kata-kata penting dalam tuturan tersebut. Keterangan tambahan ini berfungsi sebagai penegas tuturan yang dimaksud. Pola pemaparan gagasan dengan menggunakan penegasan ini diuraikan dalam butir pembahasan berikut. Pola Penjelasan Pola penjelasan merupakan pengembangan tuturan yang dilakukan dengan menambahkan kata-kata tertentu yang sebagai penjelas atau penegas maksud tuturan. Kata-kata tambahan yang berfungsi sebagai penjelas ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni (a) kata atau kata-kata penjelas yang merupakan pasangan tetap, (b) kata atau kata-kata penjelas yang searea makna, dan (c) kata atau kata-kata penjelas yang berupa Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
77
keterangan tambahan. Penggunaan ketiga macam pola tuturan tersebut dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat diperiksa pada contoh uraian berikut ini. a. Kata Penjelas yang Berupa Pasangan Tetap Dalam lagu daerah Banyuwangi, penutur lagu menggunakan kata penjelas yang berupa pasangan tetap menegaskan maksud tuturannya. Kata-kata tersebut ditemukan dalam beberapa tuturan lagu yang berjudul Njaring, Sewo-sewo Kucing, dan Dalu-dalu. Dalam lagu Njaring, terdapat tuturan esuk-esuk semeruput, sagarane kundha. Kata esuk-esuk ‘pagi-pagi’ yang diperjelas dengan kata semeruput ‘pagi sekali’ mengacu pada waktu yang masih pagi sekali dengan udara sangat dingin dan suasana masih sepi. Dalam lagu Sewo-sewo Kucing, terdapat tuturan Ambi munyik cekikikan lan sundhung-sundhung. Kata munyik ‘tertawa’ yang ditambah kata penjelas cekikikan ‘tertawa agak ditahan-tahan’ menggambarkan suasana senang yang tidak wajar, tampak dibuat-buat yang dapat menimbulkan pertengkaran. Sementara, dalam lagu Dalu-dalu, dituturkan sunare ulan, padhang kumenthang madhangi wit-witan. Kata padhang ‘terang’ dan kumenthang ‘benderang’ menggambarkan suasana malam yang terang sekali, dengan langit yang cerah. Beberapa pasangan kata yang telah disebutkan dalam ketiga tuturan lagu itu merupakan kata-kata yang berpasangan secara tetap. Kata-kata tersebut memiliki frekuensi penggunaan yang tinggi dalam percakapan sehari-hari, terutama percakapan di kalangan masyarakat Using. Penggunaan pasangan kata ini memiliki fungsi yang sama dengan penggunaan geminat dalam penuturan suatu kata, yakni sebagai penyangat atau penegas makna tuturan.
78
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
b. Kata Penjelas yang Searea Makna Untuk memperjelas maksud tuturan, dalam beberapa tuturan lagu daerah Banyuwangi, penutur lagu menggunakan kata penjelas yang memiliki area makna yang sama dengan kata atau kata-kata yang dijelaskan. Karena kedekatan makna kata penjelas dengan kata yang dijelaskan, kata-kata tersebut sering tampak sebagai sinonim. Hal ini dapat dicontohkan dalam tuturan lagu Selendhang Sutra yang berbunyi Makne disiksa godha dikocak rasa gering sun lakoni. Dalam tuturan tersebut, digunakan kata disiksa godha ‘disiksa cobaan’ yang ditambah dengan keterangan dikocak rasa ‘dikocak rasa’ dan gering ‘sakit’. Dari keseluruhan tuturan yang berbunyi makne disiksa godha dikocak rasa gering sun lakoni memiliki makna ‘meskipun disiksa oleh berbagai cobaan dan penderitaan lahir dan batin, saya akan tetap melakukannya’. Selain dalam tuturan lagu Selendhang Sutra, tuturan lain yang menggunakan kata keterangan yang searea makna terdapat dalam tuturan lagu Pahlawan Belambangan dan tuturan lagu Ugauga. Dalam lagu Pahlawan Belambangan, terdapat tuturan sakti mandraguna wateke tegas terang-terangan. Kata terang-terangan dalam tuturan tersebut merupakan tambahan keterangan untuk kata tegas. Sebenarnya, dalam kata tegas sudah terkandung makna terang-terangan, tetapi untuk menegaskan maknanya, kata terang-terangan dimunculkan dalam tuturan. Dalam lagu Ugauga, terdapat tuturan yang berbunyi uga-uga atinisun wis agage gelis turua. Kata agage ‘segera’ sudah mengandung maksud cepatcepat, tetapi untuk menegaskan maknanya, kata gelis ‘cepat’ dimunculkan dalam tuturan lagu. Uraian di atas merupakan contoh tuturan yang menggunakan keterangan tambahan berupa kata-kata lain yang searea makna dengan kata yang diterangkannya untuk mempertegas pokok tuturan. Keterangan tersebut dalam tuturan berfungsi menambahkan atau melengkapi sifat atau hal yang diterangkan, tidak secara langsung menjabarkan atau menjelaskan hal yang Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
79
diterangkannya. Dalam hal ini, kata-kata keterangan dalam tuturan itu hanya berfungsi sebagai pemerjelas dan penyangat gagasan yang disampaikan. c. Kata Penjelas yang Berupa Keterangan Tambahan Dalam menjelaskan suatu gagasan, dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang menggunakan kata penjelas yang fungsinya memberikan keterangan tambahan. Kata penjelas tersebut sifatnya memperjelas tuturan sekaligus membatasi cakupan makna yang dimaksud oleh tuturan. Dengan adanya keterangan tambahan ini, pendengar atau mitra tutur tidak perlu mencari rujukan lain untuk memahami maksud tuturan karena sudah disediakan dan dijelaskan dalam tuturan tersebut. Dalam tuturan lagu Mata Walangen, penutur lagu menggunakan kata penjelas untuk memperjelas maksud tuturan. Dalam tuturan lagu itu, disebutkan kata kantru-kantru ‘bertopang dagu sambil merenung’ yang diberi keterangan tambahan nggarai sing bisa turu ‘membuat tidak bisa tidur’. Kata kantru-kantru sebetulnya sudah mencakup pengertian tidak bisa tidur, tetapi untuk memperjelas makna tuturan tersebut bagi pendengar, tambahan keterangan nggarai sing bisa turu ‘membuat tidak bisa tidur’ diperlukan. Dengan demikian, pendengar atau mitra tutur mendapatkan gambaran bahwa orang yang sedang jatuh cinta akan selalu melamunkan orang yang dicintainya sehingga membuat dirinya tidak bisa tidur sampai mata walangen ‘matanya melek, tetapi pandangannya selalu kosong’. Keterangan tambahan yang memperjelas dan membatasi maksud tuturan digunakan pula oleh penutur lagu dalam tuturan lagu Amit-amit. Dalam lagu tersebut, dituturkan kata Belambangan yang diperjelas dengan kata-kata tanah Jawa pucuk wetan ‘tanah Jawa ujung timur’. Belambangan (sekarang Banyuwangi) nama tempat yang letaknya secara geografis berada 80
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
di ujung timur pulau Jawa. Dengan demikian, tuturan tanah Jawa pucuk wetan merupakan keterangan yang memperjelas kata Belambangan. Bagi pendengar yang belum memiliki pemahaman secara geografis letak Belambangan, keterangan tambahan tersebut dapat memperjelas pemahaman mereka. Dalam tuturan lagu Rondho Kembang, penutur lagu menceritakan penyesalan seorang janda atas peristiwa yang telah menimpa dirinya. Untuk menggambarkan suasana batin seorang janda yang benar-benar menyesali nasibnya, dalam tuturan lagu tersebut dikemukakan sewengi jampleng mung tangisan, yang artinya adalah semalam suntuk janda itu menangis terus. Tuturan itu sebenarnya sudah menggambarkan rasa penyesalan, tetapi untuk menunjukkan demikian dalamnya rasa penyesalan, dalam tuturan selanjutnya ditambah keterangan iluh mili derewesan ‘air mata mengalir bercucuran’. Dalam lagu Sopo Ngongkon, penutur lagu menceritakan kisah seseorang yang bergaya mencari pekerjaan di kota, tetapi ia tidak berhasil mendapatkan pekerjaan itu. Bahkan, ia kehabisan bekal yang dibawanya dari desa. Untuk menggambarkan kondisi orang yang dikisahkannya, dalam tuturan lagu diungkapkan sangune entek leles panganan ‘bekalnya habis mencari sisa makanan’. Tuturan tersebut merupakan penjelasan yang menggambarkan kondisi orang yang kehabisan bekal. Tuturan tersebut dipertegas dengan tuturan simpulan yang mengung-kapkan turune ngemper dadi mbambungan ‘tidurnya di teras jadi gelandangan’. Dengan keterangan tambahan ini, tuturan lagu menggambarkan secara lebih jelas tentang kondisi orang yang kehabisan bekal dalam bepergian. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi terdapat pola pemaparan lagu yang menggunakan keterangan tambahan untuk memperjelas maksud tuturan. Keterangan tambahan yang berfungsi sebagai pemerjelas makna itu berwujud kata-kata penjelas yang Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
81
berupa pasangan tetap, kata-kata penjelas yang berada dalam satu area makna, dan kata-kata penjelas yang berupa keterangan tambahan. Kata-kata penjelas yang berupa pasangan tetap memiliki fungsi sebagai penyangat atau pemerjelas kondisi atau hal yang dituturkan, sedangkan kata-kata penjelas yang satu area makna memiliki fungsi untuk menambah atau melengkapi gambaran hal atau kondisi yang diterangkan. Sementara, katakata penjelas yang berupa keterangan berfungsi memberikan gambaran atau penjelasan tentang hal atau kondisi yang di terangkan. Pola pengembangan tuturan dengan menggunakan pola penjelasan pada dasarnya memperjelas hal yang diterangkan dengan cara menambahkan kata-kata keterangan pada tuturan tersebut. Pola ini tidak menyampaikan rincian tentang sifat, ciri, atau kondisi hal yang diterangkan. Tuturan yang mengungkapkan secara rinci hal yang dimaksud adalah tuturan yang di kembangkan dengan pola perincian. Pola Perincian Pola pengembangan tuturan dengan teknik perincian adalah penyajian tuturan dengan cara merinci atau menjabarkan suatu hal atau keadaan ke dalam bagian-bagian atau unsurunsurnya yang lebih kecil. Pemaparan tuturan dengan cara tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan suatu hal atau keadaan secara lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar. Di samping itu, pola ini juga digunakan untuk memberi intensitas atau menguatkan suatu pernyataan atau keadaan yang sedang dituturkan. Penggunaan tuturan dengan pola perincian dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat diperiksa pada kutipan tuturan lagu berjudul Sewo-sewo Kucing berikut ini.
82
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
…/Kesel memengan podho gesah ono ring ngarepe umah/Kumpul sak kanca memengan.sewo bebarengan/ Ambi munyik cekikikan lan sudhung-sudhungan/... Melalui tuturan lagu seperti dicontohkan pada kutipan, penutur lagu menyampaikan rincian kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak desa dalam bermain-main. Hal ini dapat diperiksa dari tuturan yang berbunyi kesel memengan podho gesah ono ring ngerepe umah ‘setelah lelah bermain bercanda bersama, ada di muka rumah’ sebagai pokok tuturan, sedangkan tuturan rinciannya adalah kumpul sak kanca memengan, sewo beberangan/ambi munyik cekikikan lan sundhung – sundhungan ‘berkumpul teman sepermainan, bergurau bersama/dengan senyum menyeringai dan dorong-mendorong’. Dari tuturan rinci tersebut dapat di peroleh gambaran bahwa anak-anak dalam bermain-main melakukan aktivitas bercanda bersama setelah lelah bermain, tetapi dalam candanya tidak hanya sebatas bicara, mereka melakukan aksi saling mendorong sesama teman. Dalam lagu Selendhang Sutra berikut ini, penutur lagu menggunakan bentuk tuturan yang menggunakan pola perincian untuk menjelaskan nasib seseorang yang sedang dirundung malang. Keronto-ronto wis sanggane kembang kecubung/ Kekurung kedhung liwang-liwung ngindhit lan nyuwun/ Sing weruh wayah aran turu lan mangan sing karuan/... Dalam kutipan tersebut, dikemukakan tuturan kerontoronto wis sanggane kembang kecubung. Dengan tuturan itu, penutur lagu menggambarkan kondisi orang yang sedang merana dan bingung karena memiliki beban yang sangat berat. Gambaran orang yang dirundung malang tersebut dikemukakan melalui rincian dalam tuturan selanjutnya, yakni kekurung kedhung liwang-liwung ngindhit lan nyuwun/sing weruh wayah aran turu Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
83
lan mangan sing karuan ‘terkurung kedung berputar-putar “ngindit “ dan “menyunggi“/tidak tahu waktu namanya tidur dan makan tidak karuan’. Berdasarkan rincian tersebut, dapat di kemukakan bahwa orang yang merana dan bingung itu seperti orang yang berada di dalam kedung, hanya berputar-putar sambil membawa beban berat di pinggang dan di kepala, tidak mengenal waktu, serta lupa makan dan lupa tidur. Dalam tuturan lagu Pahlawan Belambangan, disajikan bentuk tuturan yang menggunakan pola perincian. Dalam tuturan tersebut, penutur lagu terlebih dulu mengemukakan tuturan rinci, kemudian dilanjutkan dengan penyebuan pokok tuturan. Tuturan lagu tersebut dikutip berikut ini. /Raja gagah hang gantheng rupane/Dedege kukuh janjang kemeredhep klambine/Iku Menak Jingga Pahlawan Blambangan/... Pada kutipan tersebut, dikemukakan rincian yang berbunyi raja gagah hang gantheng rupane ‘raja gagah yang tampan rupawan’ dan dedege kukuh janjang kemeredep kelambine ‘postur tubuhnya kokoh jangkung kemilau bajunya’. Rincian tuturan tersebut menjadi jelas setelah dihadirkan pokok tuturan yang dimaksud, yakni iku Menak Jingga Pahlawan Blambangan ‘itu Menakjingga Pahlawan Blambangan’. Dari keseluruhan tuturan tersebut, dapat diperoleh gambaran secara lebih jelas dan konkret bahwa Menakjingga adalah seorang raja dan pahlawan Belambangan yang gagah, tampan, postur tubuhnya kokoh dan jangkung, serta bajunya berkilau. Penggunaan pola perincian ini dalam tuturan lagu dapat diperiksa pula dalam tuturan lagu Nonton Seblang. Dalam lagu tersebut, diungkapkan tuturan ayo kanca nonton seblang ‘mari teman menyaksikan seblang’. Untuk memberikan penjelasan tentang gambaran seblang, dalam tuturan selanjutnya di kemukakan penjelasan secara rinci, yakni tontonane para 84
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
tani/setahun sepisan lawase/muja dewi sri/dewi pepundene para tani. Dengan tuturan rinci ini, dapat diperoleh gambaran bahwa seblang adalah kesenian tradisi para petani yang dipentaskan setahun sekali untuk memuja Dewi Sri. Dewi Sri itu adalah dewi lambang kesuburan yang selalu dipuja-puja petani. Tuturan lagu Tawang Alun juga dikembangkan oleh penutur lagu dengan menggunakan pola perincian. Dalam tuturan lagu tersebut, penutur lagu menceritakan sosok Tawang Alun sebagai raja yang baik sifatnya. Untuk menjelaskan keberadaan dan sosok Tawang Alun, dijelaskan dalam rincian tuturan selanjutnya, yakni Macan Putih keratone/sifate sabar neriman/ welas asih nong kabeh kawulane. Berdasarkan rincian tersebut, dapat dipahami bahwa Tawang Alun adalah raja di kerajaan Macan Putih yang sabar, menerima, serta kasih sayang kepada rakyatnya. Pola princian juga ditemukan dalam pengembangan tuturan lagu Kembang Terong. Pada awal lagu tersebut, dituturkan ya gendhinge man wong kembang terong. Untuk menjelaskan makna kembang terong, tuturan selanjutnya menyampaikan secara rinci gambaran sifat orang yang kembang terong, yakni rai gedeg pinter ngomong/donyane dewek emong kalong/barange wong liya hang diborong. Dari rincian tuturan tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa orang yang memiliki sifat kembang terong adalah orang tidak punya rasa malu (rai gedeg), pandai kalau berbicara, kikir terhadap harta bendanya sendiri, dan serakah terhadap harta orang lain. Pola paparan yang menggunakan kata-kata rincian sebagaimana diuraikan di atas merupakan salah satu gaya tutur yang digunakan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi. Penggunaan pola rincian ini dimaksudkan untuk menggambarkan ciri dan fungsi dari sosok atau objek yang dituturkan agar dapat dipahami secara lebih utuh dan lebih jelas. Tuturan yang di kembangkan dengan pola rincian ini bersifat deskriptif, yakni Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
85
menggambarkan sosok atau objek secara apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau menyangatkan. Hal ini berbeda dengan tuturan yang dikembangkan dengan pola penegasan, yakni terdapat kesan melebih-lebihkan atau menyangatkan. Pola Penegasan Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang pemaparannya menggunakan ungkapan yang berlebihlebihan. Yang dimaksud dengan ungkapan berlebih-lebihan dalam konteks ini adalah suatu pernyataan yang isinya dibesar-besarkan melebihi kenyataan yang sebenarnya. Penggunaan pola paparan yang demikian ini dimaksudkan untuk untuk menyangatkan atau menunjukkan intensitas suatu ekpresi. Bentuk tuturan yang menggunakan ungkapan yang berlebihan terdapat dalam lagu Ya Ope, yakni dalam tuturan sun welas nong rika alak emas ya setengah mati/pejah lan gesang alak emas kula tumut ndika. Dalam tuturan tersebut, penutur lagu menyatakan perasaan cinta yang sangat mendalam, yang di tuturkan dengan ungkapan welas setengah mati ‘cinta setengah mati’. Bahkan, karena cintanya, sampai akhir hayatnya pun ia tetap ingin bersama dengan kekasihnya. Pernyataan yang ada dalam tuturan tersebut dibesar-besarkan sehingga memberikan kesan yang berlebihan. Tuturan yang menggunakan kata-kata atau ungkapan berlebihan ditemukan juga dalam tuturan lagu Kembang Kirim. Ungkapan yang dimaksud adalah adus getih ‘mandi darah’ yang diungkapkan dalam tuturan pitulas pahlawan adus getih didrei sedadu Landa ‘tujuh belas pahlawan bermandikan darah karena ditembaki serdadu Belanda’. Ungkapan adus getih ‘mandi darah’ dalam tuturan tersebut terkesan berlebihan. Namun, dengan ungkapan tersebut, dapat disampaikan kesan kuat tentang kegigihan para pahlawan dan kekejaman serdadu Belanda. 86
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Dalam tuturan lagu Mbok Irat, penutur lagu melukiskan kesungguhan seseorang dalam mencari pekerjaan. Hal ini tecermin dalam tuturan Mbok Irat montrang-mantring. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa Mbak Irat yang mondarmandir dalam mencari pekerjaan. Keseriusan dalam melakukan pekerjaan tersebut dikemukakan dalam tuturan nggolet pangan bontang-banting ‘mencari makan dengan membanting tulang’. Ungkapan montrang-mantring dalam mencari pekerjaan dan bontang-banting dalam melakukan pekerjaan merupakan bentuk ungkapan yang berlebihan. Namun, dengan ungkapan itu, gambaran maksud yang dikehendaki dalam tuturan menjadi lebih jelas. Ungkapan berlebihan juga digunakan oleh penutur lagu dalam pengembangan tuturan lagu Mbrebes Mili. Melalui tuturan lagu tersebut, penutur lagu menggambarkan perasaan duka seorang gadis karena ditinggalkan oleh kekasihnya. Gadis itu merasa sangat terpukul dan memiliki luka yang dalam di hatinya. Perasaan duka itu dituturkan dalam pernyataan semendal ngirisiris/berebes mili katon rika raina bengi ‘tersentak menyayat hati/bercucuran air mata karena selalu terbayang kamu siang dan malam’. Ungkapan ngiris-iris ati ‘menyayat hati’ dalam tuturan tersebut termasuk ungkapan yang berlebihan. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam pengembangan tuturannya, penutur lagu-lagu daerah Banyuwangi banyak menggunakan pola penegasan. Selain terdapat dalam beberapa lagu yang telah disebutkan di atas, pola penegasan ini juga digunakan dalam tuturan lagu Menakjingga, Untring-untring, Amit-amit, dan sebagainya. Pola tersebut digunakan dalam pengembangan tuturan lagu untuk mem-pertajam dan menyangatkan tuturan agar lebih banyak men-dapatkan perhatian dari pendengar atau penikmatnya. Dalam tuturan yang menggunakan pola penegasan, untuk menarik perhatian pendengar terhadap isi tuturan, umumnya Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
87
digunakan kata-kata yang hiperbolis. Hal ini tidak berarti bahwa dalam setiap tuturan harus digunakan kata-kata yang mengandung makna berlebihan. Untuk menegaskan atau menyangatkan makna tuturan, dapat dilakukan pula dengan menggunakan kata-kata yang maknanya bertentangan. Pola Pertentangan Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi terdapat tuturan yang pola paparannya menggunakan kata-kata yang berlawanan. Penggunaan kata-kata yang berlawanan ini tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan kedua hal yang dituturkan, tetapi dimaksudkan untuk membangun keutuhan makna yang di sampaikan dalam tuturan. Penggunaan kata-kata yang berlawanan merupakan pola tutur yang dapat difungsikan sebagai gaya atau cara untuk memberikan perhatian lebih pada pokok masalah yang dituturkannya. Penggunaan pola pertentangan ini dapat diperiksa pada tuturan lagu Ya Ope. Dalam tuturan lagu tersebut, terdapat katakata yang maknanya berlawanan, yakni raina ‘siang’ dan bengi ‘malam’, pejah ‘mati’ dan gesang ‘hidup’, dan susah dan seneng ‘senang’. Penggunaan kata-kata yang berlawanan dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang batasan waktu secara menyeluruh. Kata raina bengi dalam tuturan/raina bengi paman isun katon rika/ mengandung maksud bahwa seluruh waktu atau setiap saat gadis itu selalu terbayang pemuda pujaannya. Selanjutnya kata pejah dan gesang dalam tuturan/pejah lan gesang alak emas kula tumut ndika/mengacu pada pengertian bahwa cinta yang tulus tidak mengenal batas umur. Sementara, kata susah seneng dalam tuturan/susah seneng ya disangga tiyang kalih/mengandung maksud bahwa cinta sejati itu selalu terjalin kokoh dalam kondisi senang ataupun susah. Pada lagu Mbayar Utang, dituturkan kata-kata yang berlawanan, yakni urip ‘hidup’ dan mati ‘meninggal’ dan raina 88
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
‘siang’ dan bengi ‘malam’. Kata urip dan mati pada tuturan /waktu lahirira isun antarane urip lan mati/dimaksudkan untuk menggambarkan beratnya perjuangan ibu ketika melahirkan, ia berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Selanjutnya, kata raina bengi dalam tuturan raina bengi ngerumat sira isun sopo ngupahi menunjukkan perhatian yang besar dari seorang ibu dalam merawat anaknya. Penggunaan kata-kata yang berlawanan dalam tuturan tersebut tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan hal yang dituturkannya, tetapi untuk menggambarkan perjuangan ibu yang tidak mengenal waktu dan rela mengorbankan dirinya. Dalam tuturan lagu Kembang Kirim, untuk menggambarkan keikhlasan seorang pahlawan, penutur lagu menggunakan kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan. Kata-kata yang dimaksudkan adalah kata mesem ‘tersenyum’ dan mati ‘meninggal’. Kata mesem memiliki kaitan yang erat dengan suasana hati yang gembira, senang, dan bahagia, sedangkan kata mati erat kaitannya dengan perasaan duka, berkabung, dan kesedihan. Penggunaan kedua kata tersebut dalam tuturan ambi mesem matinira, lila ngembangi negara dimaksudkan untuk menunjukkan sikap rela dan ikhlas dari seorang pahlawan dalam membela negaranya walaupun harus mengorbankan jiwa raganya. Dalam tuturan lagu Angen-angene Wong Tuwek, terdapat dua kata yang maknanya berlawanan dalam larik tuturan yang berbeda. Pada tuturan larik pertama, dikemukakan tuturan wong tuwek tentrem atine nyawang anak seneng uripe bahwa orang tua akan merasa bahagia jika anaknya hidup bahagia. Pada larik berikutnya diungkapkan tuturan wong tuwek nelangsa atine nyawang anak rusak uripe, yang maksudnya bahwa orang tua akan bersedih apabila melihat anaknya mengalami kesulitan dalam hidupnya. Dua pernyataan yang dipertentangan tersebut mengandung satu pengertian bahwa orang tua masih tetap merasa memiliki tanggung jawab atas kehidupan anaknya meskipun anaknya sudah berada di luar tanggung jawabnya. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
89
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pola pengembangan tuturan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan merupakan salah satu pola yang digunakan dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Penggunaan kata-kata yang berlawanan dalam satu rangkaian tuturan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan efek pertentangan, tetapi dimaksudkan untuk memperjelas gagasan yang disampaikan. Dengan pola pertentangan tersebut, gagasan yang dimaksudkan dalam tuturan lagu menjadi lebih jelas dan utuh. Keberagaman pola tutur dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi seperti diuraikan di atas menggambarkan pola tutur yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Using dalam komunikasi sehari-hari. Pola tutur tersebut terkait erat dengan pola pikir atau sikap masyarakat Using sebagai penuturnya. Lewis (2004) menyatakan bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang merupakan proyeksi dari dunia pemikiran penuturnya. Apa yang dikatakan oleh seseorang dipengaruhi secara kuat oleh cara pandang mereka terhadap suatu realitas yang dituturkannya. Pikiran seseorang dapat dikenali melalui perilaku verbal atau pun nonverbal yang terealisasi dalam bentuk perumpamaan atau kecerdikan lainnya. Paparan di atas menunjukkan bahwa pola pikir yang menjadi budaya masyarakat Using terekam dan tecermin dalam bahasa yang digunakannya. Penggunaan bahasa yang menjadi cerminan budaya tersebut, selain terwujud dalam penggunaan pola tuturan, juga terwujud dalam model retorika yang ada dalam bahasa yang dituturkannya. Simpulan Paparan di atas menunjukkan bahwa tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi menggunakan beragam pola paparan, yang meliputi pola pengulangan, pola penjelasan, pola perincian, pola penegasan, dan pola pertentangan. Pola pengembangan tuturan 90
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
tersebut menggambarkan pola pikir masyarakat Using dan pola pikir tersebut merupakan salah satu wujud budaya masyarakat. Hal ini didasarkan pada pandangan Wahab (1998) yang menyatakan bahwa pola tuturan berlandaskan pada logika yang muncul pada setiap budaya dan tidak selalu memiliki sifat semesta sehingga pola tuturan pun akan berbeda dari budaya yang satu ke budaya yang lainnya. Pola pengulangan yang terdapat dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dilakukan dengan dua cara, yakni (a) pengulangan dengan menggunakan kata yang sama, dan (b) pengulangan dengan menggunakan kata sinonimnya. Pengulangan dengan menggunakan kata yang sama ada dua model, yakni pengulangan kata yang sama antarbaris dan pengulangan kata yang sama intrabaris. Pengulangan kata yang sama antarbaris memiliki dua fungsi, yakni untuk mengikat beberapa topik dalam dalam satu tema tuturan dan memperjelas atau mempertegas makna tuturan. Pengulangan kata yang sama intrabaris dimaksudkan untuk mempertegas makna tuturan karena tuturan tersebut berisi nasihat yang perlu mendapat perhatian dari pendengar atau mitra tutur. Sementara itu, pola pengulangan dengan menggunakan kata sinonimnya dimaksudkan untuk melengkapi tuturan karena kata-kata yang bersinonim tidak selalu sama persis maknanya sehingga masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Selain itu, pengulangan dengan kata bersinonim ini dimaksudkan memperjelas dan mempertegas tuturan karena umumnya tuturan itu menyampaikan pesan-pesan sosial dan moral. Pola penjelasan dalam tuturan lagu dilakukan dengan menambahkan kata-kata tertentu yang berfungsi sebagai penjelas atau penegas maksud tuturan. Kata-kata penjelasan dalam tuturan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni (a) kata atau kata-kata penjelas yang merupakan pasangan tetap, (b) kata atau kata-kata penjelas yang searea makna, dan (c) kata atau kata-kata Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
91
penjelas yang berupa keterangan tambahan. Penggunaan katakata penjelas yang berupa kata pasangan tetap dan kata yang searea makna dimaksudkan untuk menyangatkan tuturan. Sementara, penggunaan kata-kata penjelas yang berupa keterangan tambahan dimaksudkan untuk menjelaskan maksud tuturan karena ada kata-kata tertentu dalam tuturan yang perlu diterangkan maksudnya. Pola perincian, pola penegasan, dan pola pertentangan digunakan dalam tuturan lagu untuk memperjelas maksud tuturan dan menarik perhatian pendengar. Pola perincian dilakukan dengan cara menjabarkan pokok tuturan lagu serinci mungkin sehingga membuat pendengar seolah-olah melihat kejadian yang sesungguhnya. Pola penegasan dilakukan dengan cara menyampaikan kata-kata yang maknanya melebihi kenyataan sehingga menarik perhatian pendengar. Sementara, pola pertentangan dilakukan dengan cara menggunakan kata-kata yang berlawanan dengan maksud untuk membangun keutuhan makna tuturan. Pola pengembangan paparan yang dikemukakan di atas merupakan pola retorika dalam wacana budaya, khususnya wacana lagu-lagu daerah Banyuwangi. Retorika dalam wacana budaya tersebut menggambarkan pola pikir masyarakat Using sebagai penuturnya. Ini sejalan dengan pandangan Boas (Wahab, 1998:38) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara bahasa dengan perilaku etnik. Retorika yang digunakan dalam tuturan lagu itu merupakan gambaran retorika khas masyarakat Using dalam berkomunikasi. Retorika yang seperti yang dicontohkan dalam temuan penelitian ini oleh Kaplan (1980) dimasukkan dalam model retorika Asia, yakni model penyampaian maksud tuturan secara tidak langsung.
92
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
BAB VII REPRESENTASI BUDAYA DALAM RETORIKA TUTURAN Cerminan budaya dalam bahasa tidak terbatas hanya pada kosakata bahasa tersebut, tetapi juga pada tingkat yang lebih luas lagi, yakni pada aspek retorika (Wahab, 1998). Berdasarkan pernyataan ini, dapat dikemukakan bahwa bentuk retorika yang ada dalam suatu bahasa terikat oleh budaya masyarakat penuturnya. Bentuk retorika dalam bahasa Using tampak dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Bentuk retorika yang dimaksudkan meliputi basanan, wangsalan, paribasan, selepan, dan sungganan. Beberapa macam bentuk retorika tersebut diuraikan dalam butir pembahasan berikut ini. Basanan Basanan adalah salah satu bentuk retorika dalam tuturan bahasa Using. Basanan ini dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebutan parikan dan dalam bahasa Indonesia disebut pantun. Bentuk retorika yang berupa basanan ini digunakan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi. Ragam basanan dalam tuturan lagu tersebut dapat dikaji berdasarkan wujud larik dan isi tuturannya. Basanan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dibedakan menjadi dua, yakni basanan 4 larik tuturan dan basanan 2 larik tuturan. Pada basanan 4 larik tuturan, tuturan larik pertama dan larik kedua merupakan sampiran, sedang-kan tuturan larik ketiga dan larik keempat merupakan isi. Pada basanan 2 larik tuturan, tuturan larik pertama merupakan sampiran dan tuturan larik kedua merupakan isi. Pembahasan kedua bentuk basanan itu disajikan berikut ini. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
93
a. Basanan 4 Larik Tuturan Ditinjau dari ciri tuturan yang membangun sampiran dan isinya, bentuk basanan jenis ini dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yakni basanan lepas dan basanan terangkai. Yang dimaksud dengan basanan lepas adalah jenis basanan yang dilihat dari segi bentuknya setiap bait tuturannya tidak terikat oleh bait tuturan lainnya. Sementara, Basanan terangkai adalah jenis basanan yang bentuk tuturan setiap baitnya berangkai atau berkaitan dengan tuturan bait lainnya. Secara rinci, kedua jenis basanan tersebut dibahas berikut ini. 1) Basanan Lepas Basanan lepas merupakan jenis basanan yang ciri-cirinya sama dengan pantun. Kaidah yang digunakan dalam basanan ini sama dengan kaidah yang digunakan dalam pantun. Jumlah larik dalam setiap bait tuturan dan jumlah suku kata dalam setiap larik tuturan sama dengan kaidah yang berlaku pada pantun, yakni setiap bait tuturan terdiri atas 4 larik, yakni 2 larik pertama merupakan tuturan sampiran dan 2 larik berikutnya merupakan isi tuturan. Demikian pula, persajakan yang digunakan dalam akhir larik tuturan juga mengukuti pola persajakan dalam pantun, yakni a-b-a-b, a-a-a-a, atau a-a-b-b. Dalam beberapa tuturan lagu daerah Banyuwangi, penutur lagu menggunakan jenis basanan lepas dalam tuturan lagu yang mengungkapkan perasaan dan harapan dalam hal percintaan dan penyesalan. Hal ini dapat diperiksa dalam tuturan lagu yang berjudul Ya Ope berikut ini.
94
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Ngajak nang gumuk rika bibik ngeteri Bik Enah (1)-(a) Nggowo rantang, rantang isi-isi sego (2)-(b) Riko tengak-tenguk alak emas kariyo sing pernah (3)-(a) Songgo uwang riko bibik katon sopo (4)-(b) Emak’e Uwang mbakar beton yong betone nongko (1)-(a) Lengo wangi delehen soko (2)-(a) Sebab songgo uwang riko takon isun katon sopo (3)-(a) Raino bengi paman isun katon riko (4)-(a) Menyang nong alas riko bibik golet kayu jati (1)-(a) Nggowo caluk negur wit sirkoyo (2)-(b) Sun welas nong alak emas yong setengah mati (3)-(a) Mong sun jaluk riko bibik ojo suloyo (4)-(b) Kelaras gedhang selehan nang duwur deliko (1)-(a) Ketan cemeng tutupane upih (2)-(b) Pejah lan gesang alak emas kulo tumut ndiko (3)-(a) Susah seneng ya disonggo tiyang kalih (4)-(b)
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
95
Ditinjau dari bentuknya, kutipan lagu di atas terdiri atas 4 bait dan setiap bait terdiri atas 4 larik tuturan. Tuturan larik (1) dan larik (2) merupakan sampiran dan tuturan larik (3) dan larik (4) merupakan isi tuturan. Persajakan yang terdapat dalam setiap bait tuturan adalah a-b-a-b, a-a-a-a, a-b-a-b, dan a-b-a-b. Kata-kata yang dituturkan pada setiap awal bait berbeda-beda, atau dengan kata lain, bentuk tuturan bait-bait lagu tersebut tidak berkaitan. Ditinjau dari isinya, tuturan sampiran menggunakan kata-kata yang menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat desa. Sementara, tuturan isi mengungkapkan perasaan dan harapan dalam bercinta. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa basanan yang digunakan dalam tuturan lagu Ya Ope memiliki dua fungsi, yakni sebagai sarana bagi penutur lagu untuk mengekspresikan perasaan cinta dan sebagai sarana penggambaran kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat Using yang hidup di daerah pedesaan. Serupa dengan contoh tuturan lagu pada kutipan di atas, tuturan yang berupa basanan lepas dapat diperiksa juga dalam tuturan lagu Rengginang. Tuturan lagu tersebut mengungkapkan perasaan sakit hati karena kegagalan cinta. Hal ini dapat diperiksa dalam tuturan berikut. Karang emas sabrang hang dikonceti (1)-(a) Direb, diiris, digoreng, digulani (2)-(a) Janji welas setahun sunenteni (3)-(a) Omong manis kariyo sunkedani (4)-(a)
96
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Yo rengginang, cetholan, perunggung (1)-(a) Dijumputi, dietap siji-siji (2)-(b) Ketang-ketang welase mertanggung (3)-(a) Mungkir janji koyo embun dipanasi (4)-(b) Kulpang yo jajan kulpang, gelpung guludan (1)-(a) Diirisi diurab kelopo parudan (2)-(a) Wis suwe sing disambang, atine sing serantan (3)-(a) Kari-kari ketemu gandhengan tangan (4)-(a) Pang gelimpang-gelimpang, jenang gelimpang (1)-(a) Awak jemplang gelimpang sing turu sing madhang (2)-(a) Yo moto betah nyawang yong sing paran-paran (3)-(b) Sopo weruh atine panas kobongan (4)-(b) Tuturan lagu dalam kutipan tersebut terdiri atas 4 bait dan setiap bait terdiri atas 4 larik tuturan. Tuturan larik (1) dan larik (2) merupakan sampiran, sedangkan tuturan larik (3) dan larik (4) adalah isi basanan. Persajakan yang digunakan dalam bait-bait tuturan tersebut adalah a-a-a-a, a-b-a-b, a-a-a-a, dan a-a-b-b. Katakata dalam tuturan sampiran menyebutkan beragam jenis Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
97
penganan yang ada dalam kehidupan masyarakat Using, yakni karangan emas, rengginang, kulpang, dan jenang. Selanjutnya, kata-kata yang digunakan dalam isi basanan mengungkapkan kekecewaan seseorang karena cintanya dikianati oleh kekasih. Berdasarkan bentuk dan isi tuturannya, lagu berjudul Rengginang ini mengekspresikan dua hal, yakni mengungkapkan perasaan hati orang Using dalam menghadapi kegagalan cinta dan memperkenal produk budaya. Tuturan basanan lepas dalam lagu Arum Manis berikut ini juga digunakan untuk menyampaikan perasaan kecewa karena kegagalan cinta. Arum manis gulane roti (1)-(a) Kolang kaling digawe manisan (2)-(b) Kudu nangis rasane ati eman (3)-(a) Duwe karep sing kelaksanan (4)-(b) Gedhang mateng jo riko suwun eman (1)-(a) Gedhang ijo dipangan munthung (2)-(b) Kebangetan yo awak isun eman (3)-(a) Nono jodho bakalan wurung (4)-(b) Kutipan tersebut terdiri atas 2 bait tuturan dan setiap bait tuturan terdiri atas 4 larik. Larik (1) dan larik (2) adalah tuturan sampiran, sedangkan larik (3) dan larik (4) adalah tuturan isi. Kedua bait tuturan tersebut menggunakan persajakan a-b-a-b. Pada bagian 98
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
sampiran basanan ini, dituturkan nama-nama jenis makanan yang dikenal oleh masyarakat Using, sedangkan pada bagian isi dikemukakan sikap orang Using dalam menghadapi kegagalan cinta.Tuturan lagu tersebut menyampaikan ungkapan perasaan kecewa yang dialami seseorang karena gagal keinginannya untuk berumah tangga. Dari beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa dari segi isinya jenis basanan lepas dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi secara umum dimanfaatkan untuk mengungkapkan masalah-masalah cinta. Dari segi bentuknya, basanan lepas dalam tuturan lagu memiliki ciri yang sama dengan ciri-ciri pantun. Setiap bait tuturan terdiri atas 4 larik, yakni 2 pertama berupa sampiran dan 2 larik berikutnya menyampaikan maksud tuturan . Namun, jika dicermati dari jumlah suku kata setiap lariknya, lariklarik tuturan dalam basanan lepas ini tidak memiliki keajegan. Jumlah suku kata setiap larik sampiran tidak selalu sama dengan jumlah suku kata setiap larik isi tuturan. Selain itu, untuk mengisi kekosongan tuturan, dalam lagu tersebut digunakan bentuk tegun (filler) seperti kata-kata yara, eman, alak emas, dan paman. Karena itu, basanan lepas memiliki karakteristik yang khas yang berbeda dengan pantun dalam bahasa Indonesia atau pun parikan dalam bahasa Jawa. 2) Basanan Terangkai Selain jenis basanan lepas, dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi juga digunakan jenis basanan terangkai. Perbedaan basanan lepas dengan basanan terangkai terletak pada ada atau tidaknya keterkaitan atau kesamaan bentuk tuturan yang mengawali larik sampiran pada setiap bait dalam keseluruhan lagu. Dalam basanan terangkai, bait-bait tuturan dalam keseluruhan lagu menggunakan bentuk tuturan yang sama pada setiap awal larik sampiran. Kesamaan bentuk tuturan ini Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
99
difungsikan sebagai pengikat topik yang dikemukakan dalam setiap bait sehingga terbangun keutuhan tuturan. Jenis basanan terangkai yang ada dalam tuturan lagu dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yakni (a) basanan terangkai ajeg, (b) basanan terangkai bebas, dan (c) basanan terangkai uraian. Basanan terangkai ajeg adalah jenis basanan terangkai yang memiliki keajegan dalam jumlah larik tiap bait, jumlah suku kata tiap larik, dan pola persajakannya. Basanan terangkai bebas adalah jenis basanan terangkai yang memiliki keajegan dalam jumlah larik tiap bait, tetapi tidak memiliki keajegan dalam jumlah suku kata tiap larik dan pola persajakannya. Sementara, basanan terangkai uraian adalah jenis basanan terangkai yang tidak memiliki keajegan, baik dalam hal jumlah larik, jumlah suku kata, maupun pola persajakannya karena setiap bait terdapat larik tambahan yang berfungsi sebagai tuturan penjelas. a) Basanan Terangkai Ajeg Jenis basanan terangkai ajeg yang terdapat dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi digunakan untuk menyampaikan berbagai macam masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan (a) pekerjaan, (b) percintan, dan (c) kekeluargaan. Jenis basanan terangkai ajeg yang mengungkapkan ketiga persoalan tersebut dikemukakan dalam uraian berikut. (1) Basanan Terangkai Ajeg yang Mengungkapkan Hal Pekerjaan Tuturan basanan terangkai yang mengungkapkan perihal pekerjaan terdapat dalam tuturan lagu Tapeng Embel-embel berikut ini. Tapeng ya gedhang bakaran (1)-(a) Dipangan yara sak anake (2)-(b) 100
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Sopo patheng tetanduran (3)-(a) Ya bakal ngundhuh dina mburine (4)-(b) Tapeng yara gedhang sempring (1)-(a) Dipangan yara sak anake (2)-(b) Sopo patheng njala-njaring (3)-(a) Mangana yara sing repot iwake (4)-(b) Tapeng yara gedhang sale (1)-(a) Dipangan ya cager manise (2)-(a) Ayo kang patheng megawe (3)-(a) Methentheng yara akeh picise (4)-(a) Tuturan pada kutipan tersebut merupakan jenis basanan terangkai. Tuturan tersebut terdiri atas 3 bait tuturan dan setiap bait terdiri atas 4 larik tuturan. Bait pertama dan bait kedua menggunakan pola persajakan a-b-a-b dan bait ketiga menggunakan pola persajakan a-a-a-a. Setiap baitnya diawali dengan bentuk tuturan yang sama, yakni kata tapeng. Dalam setiap bait, kata tapeng ini dijelaskan dari ragam wujudnya, yakni gedhang bakaran ‘pisang bakar’, gedhang sempring ‘pisang sempring’,dan gedhang sale ‘pisang sale’. Jenis makanan itu merupakan jenis makanan yang ada dalam kehidupan masyarakat Using. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
101
Tuturan lagu Tapeng Embel-embel ini mengungkapkan dorongan atau nasihat agar seseorang rajin bekerja. Jenis pekerjaan yang disampaikan pada bait pertama adalah pekerjaan bercocok tanam, sedangkan pekerjaan yang disampaikan pada bait kedua adalah pekerjaan mencari ikan. Pada bait ketiga, tidak disebutkan jenis pekerjaan yang dimaksudkan. Dua jenis pekerjaan yang disebutkan dalam bait pertama dan bait kedua merupakan pekerjaan pokok yang menjadi mata pencaharian sebagian besar masyarakat Using. (2) Basanan Terangkai Ajeg yang Mengungkapkan Hal Percintaan Dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat jenis basanan terangkai yang digunakan untuk mengungkapkan persoalan yang berkaitan dengan perihal cinta. Jenis basanan ini dapat diperiksa dalam tuturan lagu Waru Dhoyong berikut ini. Waru dhoyong noring Kertosari (1)-(a) Apem gulo jare arane srabi (2)-(a) Arep ngomong isun sing wani (3)-(a) Kesidhem lara ring ati (4)-(a) Waru dhoyong ring pinggire kali (1)-(a) Ketan ireng paman dipangan lowo (2)-(b) Riko ngomong sing duwe rabi (3)-(a) Nyatane putune limo (4)-(b) 102
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Waru dhoyong sanggrake kemringking (1)-(a) Godhong waru paman akeh pulute (2)-(b) Ati kobong awake gering (3)-(a) Dimadu nono enake (4)-(b) Dari segi bentuknya, tuturan yang dicontohkan pada kutipan di atas termasuk jenis basanan terangkai yang terdiri atas 3 bait dan setiap bait terdiri atas 4 larik tuturan. Pada larik pertama setiap bait diawali dengan bentuk tuturan yang sama, yakni kata waru dhoyong. Pada larik (1) bait pertama, bait kedua, dan bait ketiga, secara berturut-turut dituturkan Waru dhoyong noring Kertosari, Waru dhoyong ring pinggire kali, dan Waru dhoyong sanggrake kemringking. Pola persajakan bait pertama adalah a-a-a-a, sedangkan pola persajakan bait kedua dan bait ketiga adalah a-ba-b. Dari segi isinya, tuturan lagu itu mengungkapkan masalah sakit hati dan kecewa yang disebabkan oleh ketidakjujuran cinta. Tuturan lagu yang memiliki kesejenisan bentuk dan isi dengan tuturan di atas adalah tuturan lagu yang berjudul Stasiun Argopuro. Tuturan lagu tersebut dikemukakan dalam contoh kutipan berikut ini. Stasiun Argopuro (1)-(a) Numpak sepur nang Suroboyo (2)-(a) Isun keloro-loro (3)-(a) Ati ancur mikirno riko (4)-(a) Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
103
Stasiun Pasar Turi (1)-(a) Argopuro ring Banyuwangi (2)-(a) Isun disulayani (3)-(a) Opo janji riko dilali (4)-(a) Stasiun Rogojampi (1)-(a) Tuku jagung jagung bakaran (2)-(b) Isun ngenten-ngenteni (3)-(a) Pikiran linglung sing karuan (4)-(b) Kutipan tersebut menyajikan tuturan lagu yang terdiri atas 3 bait yang setiap baitnya terdiri atas 4 larik tuturan. Bait-bait tuturan dalam lagu tersebut diawali dengan kata stasiun, yakni stasiun Argopuro, stasiun Pasar Turi, dan stasiun Rogojampi. Persajakan dalam bait pertama dan kedua menggunakan pola a-a-a-a, sedangkan persajakan bait ketiga menggunakan pola a-b-a-b. Dari segi isi tuturannya, penutur lagu Stasiun Argopuro ini menceritakan kisah seseorang yang sakit hati karena cintanya dikhianati oleh kekasihnya. Ia menunggu janji-janji yang pernah diucapkannya, tetapi ternyata janji-janji tersebut diingkarinya.
104
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
(3) Basanan Terangkai Ajeg yang Mengungkapkan Hal Kekeluargaan Bentuk tuturan yang berupa basanan terangkai dimanfaatkan pula dalam tuturan yang memuat masalah-masalah dalam kehidupan berumah tangga. Dalam pengungkapan masalah tersebut, bentuk basanan yang digunakan berupa tuturan yang bersahut-sahutan. Hal ini dapat diperiksa dalam tuturan lagu yang berjudul Rujak Singgul berikut ini. Rujak singgul ya ngidhele ojo suwe (1)-(a) Dienggo tombo wong kang warang awake (2)-(a) Ojo ngambul sun kasep teko megawe (3)-(a) Iku tondho wong gedhe tanggung jawabe (4)-(a) Rujak cemplung yong werake werak lirang (1)-(a) Ramonane sabrang iris-irisan (2)-(b) Isun bingung sing percoyo ambi wong lanang (3)-(a) Selaperan mampir ring warung Bathokan (4)-(b) Rujak lethok ragine gulo sak cuwek (1)-(a) Ndoben plonco entekno sak konco (2)-(b) Ilok-ilok ngaku suci awak dhewek (3)-(a) Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
105
Dhemen sanja metani eleke tangga (4)-(b) Rujak wuni kecute sing koyo-koyo (1)-(a) Luwih maton dicampuri gulo jowo (2)-(a) Laki rabi kudu hang podho percoyo (3)-(a) Lanang-wadon bekti asih sepodho-podho (4)-(a) Dari segi bentuknya, kutipan tersebut memiliki ciri sebagai basanan terangkai yang berpola dialog. Dialog tersebut terjadi antara seorang suami dan seorang isteri dalam mengungkapkan perasaan marahnya. Dalam tuturan lagu yang terdiri atas 4 bait tersebut, bait pertama dan bait ketiga dituturkan oleh seorang suami, bait kedua dituturkan oleh seorang isteri, dan bait keempat merupakan tuturan yang berisi kesepakatan dan dituturkan oleh suami dan isteri. Pola persajakan yang terdapat dalam bait pertama dan bait keempat adalah a-a-a-a, sedangkan pola persajakan bait kedua dan bait ketiga adalah a-b-a-b. Untuk merangkaikan isi tuturan dalam satu keutuhan lagu, setiap bait tuturan dimulai dengan menyebutkan jenis rujak, yakni rujak singgul, rujak cemplung, rujak lethok, dan rujak wuni. Dari segi isi tuturannya, lagu yang berjudul Rujak Singgul tersebut mengungkapkan beberapa masalah yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga. Masalah yang disampaikan dalam tuturan lagu itu berkaitan dengan kurang adanya saling percaya antara suami dan isteri sehingga mereka saling menyalahkan. Pada bait pertama, seorang suami mengungkapkan rasa kekesalannya karena isterinya selalu marah-marah. Pada bait kedua, seorang isteri juga mengungkapkan ketidakpercayaannya 106
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
karena suaminya sering pergi ke warung batokan.8 Ketidak percayaan isteri tersebut menimbulkan perasaan marah pada suaminya yang diungkapkan pada bait ketiga dengan menunjukkan sifat jelek isterinya yang sering berkunjung ke rumah tetangga untuk mencari-cari kejelekan orang lain. Perdebatan suami-isteri tersebut ditutup dengan tuturan yang berisi kesepahaman bahwa dalam berumah tangga harus didasari rasa saling percaya dan saling mencintai. Dari beberapa contoh yang dikemukakan dalam kutipan di atas, dapat dikemukakan bahwa basanan terangkai dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi difungsikan untuk mengungkapkan kisah atau hal yang berkaitan dengan pekerjaan, cinta, sakit hati, kekecewaan, dan kemarahan. Kisah atau hal-hal tersebut di sampaikan dalam beberapa bait tuturan.Untuk merangkaikan bait-bait tuturan tersebut menjadi satu keutuhan tuturan yang padu, setiap bait tuturan pada bagian sampiran menggunakan kata-kata yang sama. Pengulangan tuturan pada setiap awal bait tersebut berfungsi sebagai perangkai gagasan sekaligus penanda yang membedakan gagasan yang satu dengan gagasan yang lain dalam setiap bait. Dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat tuturan yang mirip dengan basanan terangkai. Tuturan tersebut tersusun dalam bait-bait tuturan yang memiliki sampiran, tetapi jumlah suku kata dan persajakan yang terdapat pada setiap larik tuturan bagian isi berbeda dengan jumlah suku kata dan persajakan yang ada pada sampiran. Bentuk tuturan tersebut digolongkan dalam jenis basanan bebas. Jenis basanan tersebut dibahas dalam butir uraian berikut.
8
Dalam konteks tuturan lagu tersebut, warung batokan dipandang sebagai tempat para wanita penghibur sehingga orang laki-laki yang datang ke tempat tersebut disikapi sebagai orang yang melakukan perbuatan asusila.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
107
b) Basanan Terangkai Bebas Tuturan lagu yang menggunakan basanan terangkai bebas tidak terikat oleh aturan jumlah suku kata dalam larik ataupun aturan persajakan. Tuturan pada larik sampiran dalam setiap bait hanya difungsikan sebagai pembuka tuturan dan penanda gagasan baru. Larik tuturan bagian isi tidak sepenuhnya mengikuti kaidah larik ataupun kaidah persajakan. Penggunaan basanan terangkai bebas dapat diperiksa dalam tuturan lagu Aring-aring berikut ini. Aring-aring, aring-aringa (1)-(a) Aring-aring ya mbakar sawi (2)-(b) Ya mbelani sego sepiring (3)-(c) Abot entheng yara sun lakoni (4)-(b) Aring-aring, aring-aringa (1)-(a) Aring-aring ya mbakar gedhang (2)-(b) Megawe kebontang-banting (3)-(b) Sandhang pangan ya sing kurang-kurang (4)-(b) Tuturan pada kutipan di atas berisi saran yang berkenaan dengan sikap seseorang dalam melakukan pekerjaan. Dalam tuturan lagu tersebut, disampaikan bahwa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari, seseorang mau melakukan pekerjaan apa pun. Selain itu, dalam tuturan selanjutnya, dikemukakan bahwa jika seseorang mau bekerja keras, kebutuhan sandang dan pangan akan tercukupi. Kedua gagasan tersebut dikemas dalam 2 bait 108
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
tuturan, yang kedua-duanya berupa basanan bebas. Setiap bait terdiri atas 4 larik tuturan, yang terbagi dalam 2 larik tuturan pertama sebagai sampiran dan 2 larik tuturan berikutnya sebagai isi. Bentuk tuturan pada larik isi disampaikan secara bebas, tidak terikat oleh bentuk tuturan pada larik sampiran, baik dari segi jumlah suku kata maupun persajakannya. Kebebasan dalam pola persajakan tersebut dapat diperiksa pada kutipan, yakni bait pertama berpola a-b-c-b dan bait kedua berpola a-b-b-b. Selain ketiga jenis basanan yang telah disebutkan di atas, dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat jenis basanan terurai. Pada hakikatnya, basanan terurai ini termasuk jenis basanan bebas yang strukturnya lebih kompleks. Jenis basanan terurai ini dibahas dalam uraian berikut. c) Basanan Terangkai Uraian Pada hakikatnya basanan terangkai uraian merupakan jenis basanan terangkai bebas karena larik tuturan bagian isi disampaikan secara bebas, tanpa terikat oleh bentuk persajakan ataupun struktur tuturan yang ada pada tuturan larik sampiran. Tuturan larik isi diberi keterangan tambahan yang fungsinya memperjelas maksud tuturan. Penggunaan jenis basanan terangkai uraian dalam lagu daerah Banyuwangi dapat diperiksa pada tuturan lagu berjudul Kalong Embat-embat. Tuturan lagu tersebut dikemukakan pada kutipan berikut ini. Kalong embat-embat, kalong embat-emba (1)-(a) Tukokena peniti, peniti kawat renteng (2)-(b) Kalong embat-embat, kalong embat-embat (3)-(a) Ojo melang-melang, ojo benteng ceweng (4)-(b) Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
109
Kadhung arep urip enak sampurno (5)-(c) Ayo bareng yara bersatu (6)-(d) Kalong embat-embat, kalong embat-embat (1)-(a) Tukokeno tumbak, tumbake kik Gendala (2)-(b) Kalong embat-embat, kalong embat-embat (3)-(a) Abota keliwat, ojo kathik sambat (4)-(c) Ayo podho ya mbangun negara (5)-(b) Kalong embat- embat, kalong embat-embat (1)-(a) Tukonena tumbak, tumbake Kik Kelalang (2)-(b) Kalong embat-embat, kalong embat-embat (3)-(a) Ojo songgo uwang, gancangan tumandang (4)-(b) Kadhung arep urip enak sampurno (5)-(c) Ayo konco berjuang (6)-(b) Tuturan lagu yang dicontohkan pada kutipan itu terdiri atas 3 bait tuturan. Setiap bait tuturan terdiri atas 2 larik sampiran, 2 larik isi, dan 1 atau 2 larik uraian penjelas isi. Adanya larik tuturan penjelas ini membedakan jenis basanan terangkaia uraian ini 110
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dengan basanan terangkai bebas. Dengan adanya larik penjelas, pola persajakan setiap bait tuturan menjadi semakin kompleks, yakni bait pertama berpola a-b-a-b-c-d, bait kedua berpola a-b-ac-b, dan bait ketiga berpola a-b-a-b-c-b. Dalam setiap bait tuturan digunakan ungkapan kalong embat-embat ‘keluang melambailambai’, baik untuk mengawali tuturan larik sampiran maupun tuturan larik isi. Tuturan lagu Kalong Embat-embat yang dikemukakan pada kutipan di atas berisi tuturan nasihat. Dengan lagu tersebut, penutur lagu mengungkapkan bahwa untuk memperoleh kehidupan yang layak, orang harus bersatu, tidak boleh banyak mengeluh, dan tidak boleh bermalas-malasan. Untuk memperjelas isi nasihat, pada bagian isi setiap bait tuturan, diberi uraian penjelas. Pada bagian isi bait pertama, penutur menyampaikan uraian penjelas kadhung arep urip sampurno ayo bareng yara bersatu ‘kalau mau hidup enak sempurna marilah bersama untuk bersatu’. Pada bagian isi tuturan bait kedua, ditambahkan uraian penjelas abota keliwat ojo kathik sambat ‘meskipun terlalu berat jangan mengeluh’. Sementara, pada tuturan bait ketiga, dikemukakan uraian penjelas kadhung arep urip enak sampurna ayo konco berjuang ‘kalau mau hidup enak sempurna ayo berjuang’. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi memanfaatkan jenis basanan lepas dan beragam jenis basanan terangkai dalam mengembangkan beberapa tuturan lagunya. Beragam jenis basanan terangkai yang digunakan dalam beberapa tuturan lagu adalah basanan terangkai ajeg, basanan terangkai bebas, dan basanan terangkai uraian. Berbagai jenis basanan tersebut dalam tuturan lagu dimanfaatkan untuk mengungkapkan tuturan yang berkaitan dengan suasana perasaan, baik perasaan cinta, sakit hati, maupun kecewa, dan harapan serta nasihat yang berkaitan dengan pekerjaan. Dalam membangun basanan, kata-kata yang digunakan sebagai sampiran menggunakan kata-kata yang mengacu pada Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
111
produk budaya, terutama tentang jenis-jenis makanan yang ada dalam kehidupan masyarakat Using. Sejumlah basanan yang telah dipaparkan adalah basanan berupa 4 larik tuturan. Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, selain basanan 4 larik, juga terdapat basanan yang berupa 2 larik tuturan. Ciri sampiran dan isi yang terdapat dalam basanan 4 larik tuturan juga ditemukan dalam basanan 2 larik tuturan. Yang membedakannya adalah basanan 4 larik memiliki pola persajakan, sedangkan basanan 2 larik tidak. Ciri-ciri basanan 2 larik tuturan dijelaskan pada butir uraian berikut. b. Basanan 2 Larik Tuturan Basanan 2 larik tuturan memiliki ciri yang sama dengan pantun dua larik ataupun parikan dalam bahasa Jawa. Tuturan larik pertama berfungsi sebagai sampiran, sedangkan tuturan larik kedua berfungsi sebagai isi. Bentuk basanan 2 larik tuturan tersebut, dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, ada yang berfungsi sebagai penyela yang memperhalus tuturan dan ada pula yang berfungsi sebagai pembentuk tuturan lagu secara utuh. Sampiran untuk basanan yang memperhalus tuturan lagu umumnya menggunakan ungkapan umum yang sudah tetap maknanya, sedangkan sampiran untuk basanan yang membentuk keutuhan lagu menggunakan tuturan hasil kreasi pencipta yang dapat berubah-ubah maknanya. Berdasarkan wujud sampirannya, basanan 2 larik tuturan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni (a) basanan umum dan (b) basanan khusus. Basanan umum adalah jenis basanan yang sampirannya merupakan ungkapan umum yang maknanya jelas dan sudah menjadi milik umum. Sementara, basanan khusus adalah jenis basanan yang sampirannya menggunakan kata-kata pilihan penutur atau pencipta lagu yang maknanya hanya berlaku untuk tuturan tersebut. Kedua jenis basanan 2 larik tersebut dijelaskan dalam uraian berikut ini. 112
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
1) Basanan Umum Tuturan lagu yang menggunakan basanan umum dapat ditemukan dalam lagu yang berjudul Tenong-tenonga. Dalam lagu tersebut, terdapat dua satuan tuturan yang termasuk dalam jenis basanan umum. Tuturan yang dimaksudkan dikemukakan dalam kutipan berikut ini. Ojo mangan-mangan roti, mangano kelembene (1) Yo ojo nyawang saiki nyawango bengene (2) Tenong-tenongo, irig mengkureb Ngomong-ngomongo, nglerik bain sing arep
(1) (2)
Berdasarkan wujudnya, dua satuan tuturan yang di kemukakan pada kutipan itu merupakan dua contoh jenis basanan umum. Setiap satuan tuturan tersebut terdiri atas dua larik, yakni larik (1) sebagai sampiran dan larik (2) sebagai isi yang menyampaikan maksud tuturan. Tuturan yang disampaikan pada larik (1) merupakan ungkapan umum yang maknanya sudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat Using. Ungkapan umum yang tertera dalam tuturan tersebut adalah ojo mangan roti mangano kelemben ‘jangan makan roti makanlah kelemben’ dan tenong-tenongo irig mengkureb ‘jangankan tenong, irig saja menelungkup’. Kedua ungkapan tersebut sering digunakan oleh seseorang dalam percakapan sehari-hari. Dilihat dari maksudnya, tuturan lagu Tenong-tenonga merupakan nasihat sekaligus teguran yang disampaikan kepada seseorang yang sombong dan angkuh karena keberhasilannya. Isi nasihat dalam tuturan tersebut adalah jadilah orang yang selalu ingat dan tahu masa lalu dan jangan hanya melihat kondisi saat ini. Jika orang hanya melihat keberhasilannya saat ini dan tidak mau melihat masa-masa sulit sebelum, ia akan menjadi sombong dan angkuh sehingga melupakan atau berpura-pura tidak mengenal Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
113
teman-teman lamanya. Dalam percakapan sehari-hari, teguran terhadap orang yang bersikap sombong dan angkuh itu kadangkadang hanya digunakan ungkapan seperti yang dituturkan pada sampiran basanan dalam kutipan di atas. Contoh lain bentuk tuturan yang termasuk jenis basanan umum disajikan dalam tuturan lagu yang berjudul Stasiun Argopuro berikut ini. Jagung yo bakarane (1) Sing tanggung yo perkarane (2) Tuturan pada kutipan tersebut terdiri atas 2 larik tuturan dengan rincian tuturan larik (1) sebagai sampiran dan tuturan larik (2) sebagai isi yang mengemukakan maksud tuturan. Tuturan larik (1) yang berbunyi jagung yo bakarane merupakan ungkapan umum yang dapat ditemukan dalam percakapan seharihari di kalangan masyarakat Using. Ungkapan tersebut digunakan untuk menegur orang yang suka berbuat seenaknya dan tidak merasa berbuat salah serta tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam tuturan lagu tersebut bahwa seseorang telah memberikan janjijanji cintanya, tetapi dengan mudah meninggalkan janji-janji itu yang seolah-olah ia merasa tidak pernah melakukan apa-apa. Bentuk tuturan yang berupa basanan umum ini tidak banyak digunakan dalam lagu daerah Banyuwangi. Dalam tuturan lagu tersebut, basanan 2 larik tuturan sebagian besar merupakan basanan khusus. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kreativitas masyarakat dalam menciptakan basanan.Kenyataan ini dapat diperiksa dalam contoh-contoh yang dikemukakan berikut.
114
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
2) Basanan Khusus Basanan khusus merupakan salah satu jenis basanan 2 larik tuturan yang digunakan sebagai sarana retorika dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Tuturan sampiran dalam basanan tersebut merupakan hasil kreasi penutur atau pencipta lagu yang maksudnya hanya berlaku untuk isi basanan itu. Katakata yang sama akan memiliki maksud yang berbeda jika digunakan untuk sampiran dalam konteks basanan yang berbeda. Demikian juga sebaliknya, kata-kata yang berbeda akan dapat mengungkapkan isi basanan yang sama jika digunakan untuk sampiran dalam konteks basanan yang sama. Karena kekhususan tuturan sampiran yang hanya berlaku untuk isi basanan tersebut, jenis basanan ini disebut dengan basanan khusus. Tuturan dalam lagu-lagu daerah Banyuwangi yang termasuk jenis basanan khusus ini dapat dicontohkan dalam tuturan lagu Nunggang Sepur. Dalam keseluruhan tuturan lagu Nunggang Sepur ini, penutur lagu memanfaatkan jenis basanan khusus sebagai sarana retorika penuturannya. Sebagian dari tuturan lagu tersebut dikemukakan dalam kutipan berikut ini. Kulo nungang sepur mudhun kalibaru (1) Emak durung nempur anak nggantung untu (2) Kulo nungang sepur mudhun nang krikilan Embok magih pupur kakang hang sisilan
(1) (2)
Kulo nungang sepur mudhun nang glemor Bapak turu kasur emak turu ngisor
(1) (2)
Kutipan tersebut menyajikan tiga satuan tuturan yang masingmasing terdiri atas dua larik, yakni tuturan larik (1) sebagai sampiran dan tuturan larik (2) sebagai isi yang menyampaikan maksud tuturan. Kata-kata yang digunakan pada tuturan larik (1) adalah kata-kata keseharian, yang dalam percakapan sehari-hari, Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
115
dapat diartikan bepergian ke suatu tempat dengan menggunakan jasa kereta api. Namun, dalam konteks lagu Nunggang Sepur, tuturan itu tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan makna sebenarnya, tetapi difungsikan sebagai sampiran untuk mengungkapkan maksud lain. Melalui tuturan lagu tersebut, penutur lagu mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat Using. Masalah-masalah yang dituturkan pada bagian isi meliputi masalah kesulitan mencari makan, perbedaan kondisi sosial ekonomi, kesungguhan dalam bekerja, dan harapan untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Beberapa gagasan yang diungkapkan dalam isi tuturan tersebut pada hakikatnya merupakan bentuk protes pada penguasa yang kurang memperhatikan kehidupan rakyat kecil. Contoh tuturan lain yang menunjukkan jenis basanan khusus dapat diperiksa dalam tuturan lagu Udan Kician. Tuturan yang dimaksud dikemukakan dalam contoh kutipan berikut ini Udano kang deres ono kakik nandur tales (1) Kang sopo-sopo males tembe mburi nemu apes (2) Udano kang deres ono kakik nandur sabrang Kang sopo patheng tandang, uripe sing sampik kurang
(1) (2)
Dari segi bentuknya, tuturan yang disampaikan dalam kutipan itu termasuk jenis basanan khusus. Setiap satuan tuturan yang ada dalam kutipan tersebut terdiri atas 2 larik, yakni larik (1) sebagai sampiran dan larik (2) sebagai isi tuturan. Tuturan yang digunakan dalam larik sampiran adalah kata-kata sehari-hari yang tidak tampak sebagai tuturan sampiran jika tidak dicermati tuturan larik (2). Namun, dengan mencermati tuturan larik (2), dapat dikatakan bahwa tuturan tersebut adalah sampiran karena difungsikan untuk menyampaikan isi tuturan yang memiliki 116
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
maksud lain. Maksud tuturan yang ada dalam lagu tersebut adalah nasihat untuk rajin bekerja. Dalam tuturan tersebut, dituturkan bahwa orang yang malas bekerja pada akhirnya akan celaka, sedangkan orang yang rajin bekerja pada akhirnya akan mendapatkan kebahagiaan. Selain dua contoh lagu yang telah disebutkan di atas, tuturan lagu yang menggunakan basanan khusus dapat diperiksa juga dalam beberapa tuturan lagu lainnya, misalnya lagu Untringuntring, Deg-deg Lirang, dan Conge-conge Atang. Banyaknya tuturan lagu yang menggunakan basanan khusus ini menunjukkan bahwa jenis basanan ini merupakan sarana retorika tutur yang digemari oleh penutur atau pencipta lagu karena lebih fleksibel untuk mengungkapkan beragam maksud tuturan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tuturan basanan dimanfaatkan dalam tuturan lagu untuk menyampaikan teguran, kritik, atau pun nasihat yang berkaitan dengan masalah hubungan cinta, perilaku dalam bekerja, dan sikap dalam hubungan sosial. Di antara beberapa hal tersebut, masalah hubungan cinta merupakan topik yang paling banyak disampaikan dalam tuturan. Dalam kehidupan masyarakat Using, gaya tutur yang berupa basanan ini mulai jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hanya orang-orang tua yang masih memegang tradisi lama kadang-kadang menyelipkan basanan tersebut dalam percakapannya. Itu pun basanan yang dituturkan adalah basanan yang terdiri atas dua larik dan tuturan sampirannya yang berupa ungkapan tradisional. Basanan yang terdiri atas empat larik tuturan jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari, kecuali dalam percakapan yang sengaja diciptakan untuk beradu kepandaian dalam menyusun basanan. Selain dari peristiwa tutur yang demikian, basanan hanya digunakan dalam tuturan lagu atau teks-teks sastra. Basanan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi menurut masyarakat pendukung tradisi lisan dipandang sama dengan Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
117
pantun dalam sastra Indonesia (Noer, 2004). Namun, dalam kenyataannya basanan tersebut memiliki kemungkinan menyerupai peribahasa dalam bahasa Indonesia. Sampiran tidak hanya berfungsi sebagai perangkat tuturan yang memberikan keselarasan bunyi dengan larik-larik berikutnya, tetapi sekaligus sebagai kiasan yang berbentuk ungkapan tradisional. Hal inilah yang membedakan basanan dengan pantun dalam sastra Indonesia. Wangsalan Wangsalan dalam tuturan bahasa Using sama dengan wangsalan dalam bahasa Jawa. Wangsalan berasal dari kata wangsal yang artinya jawab. Kata wangsalan bersinonim dengan kata wangsulan jawaban yang artinya jawaban (Noer, 2004). Wangsalan ini merupakan bentuk sekaligus menjadi sarana retorika yang digunakan dalam tuturan bahasa Using. Tuturan wangsalan ini terdiri atas dua bagian, yakni bagian pertama merupakan tuturan teka-teki yang bersifat metaforis, sedangkan bagian kedua merupakan tuturan jawabannya. Untuk menemukan jawaban tersebut, diperlukan pemahaman terhadap makna tuturan yang disajikan dalam teka-teki yang bersifat metaforis tersebut. Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, terdapat dua jenis wangsalan, yakni wangsalan lamba dan wangsalan padinan. Wangsalan lamba adalah wangsalan biasa yang terdiri atas tuturan teka-teki yang berupa kata-kata metaforis dan tuturan jawabannya. Wangsalan padinan adalah wangsalan yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari yang sudah berupa ungkapan. Bentuk wangsalan padinan hanya berwujud tuturan metaforis tanpa ada jawabannya karena mitra tutur dianggap sudah memahami jawaban atau maksud tuturan itu.
118
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
a. Wangsalan Lamba Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, jenis wangsalan lamba terdapat dalam lagu yang berjudul Kembang Peciring seperti contoh kutipan berikut ini. ....................................................................... Blimbing bumi wesah, susaho ya tiwas percuma ...................................................................... Lincak dhuwur paga, mugo-mugo riko senengo Dalam tuturan lagu Kembang Peciring, terdapat dua bentuk wangsalan lamba. Wangsalan yang pertama terdapat dalam tuturan blimbing bumi wesah, susaho ya tiwas percuma. Dalam tuturan tersebut, terdapat kata metaforis yakni blimbing bumi. Nama buah yang bentuknya seperti blimbing dan ada di dalam tanah dalam bahasa Using disebut wesah. Dari suku kata–sah dalam kata wesah tersebut, terbentuk kata susah. Wangsalan yang kedua terdapat dalam tuturan lincak dhuwur paga, mugo-mugo riko senengo. Lincak dhuwur ‘balai-balai yang tinggi’ dinamakan paga ‘para-para’. Paga ini biasanya terletak di ruang bagian dapur dan digunakan untuk menyimpan atau menaruh benda atau alatalat dapur. Dari kata paga, selanjutnya dibentuk kata mugo-mugo ‘mudah-mudahan’. Wangsalan lamba dalam tuturan di atas disajikan secara eksplisit, yakni terdiri atas tuturan teka-teki, jawaban teka-teki, dan maksud atau wangsalannya. Dalam tuturan lagu yang dikemukakan dalam kutipan di atas, yang termasuk tuturan tekateki adalah blimbing bumi dan lincak dhuwur. Dari teka-teki tersebut, diperoleh jawabannya, yakni wesah dan paga. Dari kata wesah dan paga, selanjutnya dikemukakan maksud tuturannya, yakni susaho yo tiwas percuma dan mugo-mugo riko senengo. Dalam tuturan lagu, wangsalan lamba tidak selalu di sajikan secara lengkap dan eksplisit. Bentuk tuturan dalam wangsalan lamba ada yang tidak mencantumkan secara eksplisit Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
119
jawaban teka-tekinya. Hal ini dicontohkan dalam tuturan lagu yang berjudul Gelang Alit berikut ini. ....................................................................... Wedang kopi balung nongko, raino bengi yo mung katon riko ................................................................. Gelang alit ring deriji, ojo lali tumekane pati Dalam kutipan tersebut, dikemukakan tuturan yang terdiri atas dua bentuk wangsalan lamba. Tuturan pertama menyampaikan teka-teki tentang balung nongko ‘tulang nangka’ dan tuturan kedua menyampaikan teka-teki tentang gelang alit ring deriji ‘gelang kecil di jari-jari’. Jawaban wangsalan yang tidak secara eksplisit diungkapkan dalam kedua tuturan tersebut adalah beton ‘biji nangka’ dan ali-ali ‘cincin’. Dari kata beton, selanjutnya dimunculkan kata katon ‘kelihatan/terbayang’ seperti tecermin dalam tuturan raino bengi yo mung katon riko ‘siang malam hanya terbayang kamu’. Dari kata ali-ali, digunakan kata ojo lali ‘jangan lupa’, seperti dikemukakan dalam tuturan ojo lali tumekane pati ‘jangan lupa sampai mati’. Berdasarkan contoh yang dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa bentuk tuturan yang digunakan dalam wangsalan lagu Gelang Alit ini hanya menyebutkan teka-teki dan penjelasan maksud atas jawaban atau wangsalannya. Dalam tuturan tersebut, tidak disebutkan secara eksplisit jawaban dari pertanyaan yang dijadikan teka-teki. Jawaban pertanyaan tekateki itu hanya disampaikan melalui penjelasan maksud tuturan. Karena itu, untuk dapat memahami dengan benar maksud wangsalan tersebut, diperlukan pemahaman secara literal nama hal yang disebutkan dalam tuturan teka-teki.
120
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
b. Wangsalan Padinan Selain wangsalan lamba, dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi, terdapat wangsalan padinan. Bentuk tuturan wangsalan padinan ini hanya menyebutkan kata-kata metaforis yang menjadi tuturan teka-teki, tanpa menyebutkan secara langsung jawaban atau maksud wangsalan itu. Walaupun tidak dijelaskan maksudnya, wangsalan tersebut dapat dimengerti karena kata-kata metaforis yang digunakan telah menjadi ungkapan umum keseharian. Bentuk tuturan yang berupa wangsalan padinan dapat dicontohkan dalam tuturan lagu yang berjudul Kembang Terong. Tuturan yang dimaksud adalah Ya gendhinge man wong kembang terong ‘adalah lagunya paman orang yang kembang terong’. Yang menjadi wangsalan dalam tuturan tersebut adalah kata kembang terong ‘bunga terung’. Masyarakat Using telah mengenal bahwa nama kembang terong adalah cethil. Cethil dalam bahasa Indonesia sama dengan kikir. Orang yang ngembang terong adalah orang yang memiliki sifat kikir dan serakah. Karena itu, orang-orang Using dapat memahami maksud wangsalan itu walaupun dalam wujudnya wangsalan tersebut tidak menyebutkan nama kembang terung dan penjelasan maksud wangsalan. Contoh bentuk tuturan lainnya yang menggambarkan wangsalan padinan terdapat dalam tuturan lagu Mendem Gadhung. Dalam lagu tersebut, dituturkan awak isun mendem gadhung 'saya merasa mabuk gadung’. Kata yang diwangsalkan dalam tuturan tersebut adalah mendem gadhung ’mabuk gadung’. Masyarakat Using mengenal bahwa gadhung adalah jenis ubi beracun yang dapat membuat orang mabuk jika dimakan langsung. Orang yang sedang mendem gadhung merasa mumet ‘pusing’. Dari kata mumet tersebut selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk membentuk kata komet ‘gelisah dan resah’. Jadi orang yang dikatakan mendem gadhung adalah orang yang gelisah dan resah. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
121
Sebagai wujud ekspresi budaya, penggunaan wangsalan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi ini mencerminkan budaya komunikasi sehari-hari di kalangan masyarakat Using. Dalam kenyataan di masyarakat Using, tuturan wangsalan banyak digunakan dalam percakapan, terutama oleh orang-orang tua. Wangsalan tersebut digunakan oleh seseorang terutama untuk menegur orang lain. Salah satu contoh tuturan wangsalan yang digunakan oleh masyarakat Using dalam percakapan di antaranya adalah riko kari ngerambut pitik nyang isun. Rambut pitik adalah wulu (bulu) yang berarti ngelulu ‘memanjakan’ sehingga wangsalan tersebut memiliki arti riko kari ngelulu nyang isun ‘kamu terlalu memanjakan saya’. Tuturan wangsalan yang ditemukan dalam percakapan di antaranya adalah ngelawang banyu ‘pintu air’, yakni dham ‘bendungan/tanggul’ yang berarti nyidam ‘mengidam’, jahewono ‘jahe hutan’, yakni lempuyang yang berarti oyang ‘gelisah’, dan sebagainya. Dari banyaknya wangsalan yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, Noer (2004) mengatakan bahwa wangsalan itu menjadi hiasan bibir masyarakat Using Banyuwangi. Selain wangsalan, dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi juga ditemukan gaya tutur lainnya yang berupa paribasan atau dalam bahasa Indonesia disebut peribahasa. Paribasan ini merupakan salah satu bentuk sekaligus sarana tutur yang digunakan oleh masyarakat Using dalam komunikasi. Paribasan Dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi, digunakan tuturan yang berupa paribasan. Tuturan tersebut berbentuk ungkapan tetap dan pasti pemakaiannya. Sifat tuturannya ajeg dan apa adanya tanpa menggunakan penanda tutur seperti yang terungkap dalam bentuk paparan perbandingan langsung. Dalam tuturan paribasan, tidak terdapat kata seperti, ibarat, bagaikan, dan sebagainya. 122
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Tuturan lagu yang berbentuk paribasan dapat ditemukan dalam lagu yang berjudul Selendhang Sutra. Dalam tuturan lagu tersebut, dikemukakan Kekurung kedhung lewang–lewung ngindhit lan nyuwun. Tuturan yang merupakan paribasan adalah kekurung kedhung ‘terkurung dalam bendungan’. Tuturan tersebut menunjuk pada orang yang bingung karena memiliki masalah yang sangat berat. Karena beratnya, ia tidak bisa pergi ke mana-mana dan tidak tahu harus harus melakukan apa. Dalam tuturan selanjutnya, dikemukakan lewang-lewung ngindhit lan nyuwun ‘berputar-putar sambil mengindit dan menyunggi’. Tuturan ini memperjelas bahwa orang yang memiliki masalah dan menanggung beban berat tidak tahu apa yang harus dikerjakannya sehingga hanya berputar-putar dengan masalahnya itu. Tuturan paribasan juga digunakan dalam tuturan lagu Perawan Pingitan. Dalam lagu tersebut, disampaikan tuturan paribasan yang berbunyi pilih-pilih tebu milih mantu, kari-kari keneng pucuke. Orang dalam memilih tebu umumnya mencari yang ruasnya panjang dan memilih bagian pangkal bukan bagian ujung karena tebu yang bagian pangkal ini rasanya manis dan banyak airnya. Namun, jika orang itu terlalu rumit dalam memilihnya, ia akhirnya akan mendapatkan tebu bagian ujung. Karena itu, tuturan paribasan tersebut memiliki arti bahwa orang yang terlalu selektif dan terlalu rumit dalam memilihkan jodoh untuk anaknya akan mendapatkan pilihan yang tidak sesuai dengan harapannya. Hal ini terjadi karena usia anaknya semakin tua dan kecantikannya menjadi semakin pudar. Tuturan lagu yang dikemukakan dalam bentuk paribasan seperti yang tercantum dalam kutipan di atas berisi ungkapan nasihat ataupun teguran bagi seseorang yang berkaitan dengan perilaku atau tindakan yang dipandang aneh atau menyimpang dari perilaku yang wajar. Bentuk tuturan paribasan yang sejenis dengan tuturan tersebut dikemukakan dalam lagu Luk-Luk Lumbu, yakni luk-luk eluk lumbu yang artinya adalah orang yang tidak Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
123
punya pendirian. Dalam lagu Lambe (Lampiran 2B/24), di kemukakan tuturan nono bathang kang sing mambu ‘tidak ada bangkai yang tidak berbau’. Paribasan tersebut memiliki arti orang serapat-rapatnya menyimpan dan menutupi perbuatan jeleknya, akhirnya perbuatan tersebut diketahui juga oleh orang lain. Tuturan yang berupa paribasan ini banyak digunakan oleh masyarakat Using dalam komunikasi sehari-hari. Dalam percakapan, paribasan ini sering dituturkan secara tersamar dan menjadi bagian dari keutuhan tuturan. Partisipan tutur banyak yang sudah tidak mengenalinya lagi bahwa tuturan tersebut merupakan paribasan karena sudah menjadi ungkapan keseharian dan sudah dipahami maksudnya. Contoh tuturan tersebut adalah masiyo suket emas banyu berlian isun sing peduli ‘meskipun rumput emas air berlian saya tidak peduli’, nggantung untu ‘menggantung gigi/tidak ada yang dimakan’, dan sebagainya. Dalam tuturan bahasa Using, paribasan digunakan untuk menuturkan suatu kenyataan atau menyampaikan informasi yang bersifat faktual atau sesuatu sering terbukti benar. Tuturan paribasan ini mengandung nilai-nilai baik yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota masyarakat penuturnya. Tuturan paribasan tidak dimaksudkan untuk menyampaikan kritik, protes, atau pun sindiran, tetapi hanya menyajikan informasi yang sifatnya memberikan pelajaran bagi masyarakat sehingga mereka mengenal hal baik dan hal buruk. Dalam tuturan bahasa Using, tuturan yang dimaksudkan untuk mengkritik, memprotes, atau pun menyindir disampaikan dalam bentuk selepanan. Hal ini dijelaskan dalam uraian butir berikut ini. Selepan Selepan adalah salah satu bentuk gaya tutur yang terdapat dalam tuturan bahasa Using. Selepan ini merupakan model retorika yang fungsinya untuk menyampaikan kritikan, protes, 124
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
atau sindiran dengan cara membelokkan atau mengalihkan objek tuturannya. Selepan berasal dari kata dasar selep artinya menyimpang atau membelok. Jadi selepan artinya penyimpangan atau pembelokan. Tuturan yang berupa selepan adalah tuturan yang disimpangkan atau dibelokkan. Karena itu, tuturan selepan ini merupakan strategi penyampaian maksud tuturan secara tidak langsung. Dalam lagu daerah Banyuwangi, tuturan yang berupa selepan dapat diperiksa pada tuturan lagu Gerigis. Dalam lagu tersebut, tuturan geludhuke jepret-jepretan merupakan tuturan yang berupa selepan. Tuturan itu menyindir orang-orang atau pejabat yang sebelumnya suka mengumbar janji, tetapi janjijanjinya itu tidak terpenuhi atau dilupakan begitu saja. Dalam hal ini, geludhuk ‘petir’ digunakan sebagai objek tuturan untuk menyampaikan sindiran yang berkenaan dengan janji. Tuturan sejenis ini dalam percakapan sehari-hari disampaikan dalam ungkapan geludhuk jepretan, telek sing pendeng ‘petir menyambar-nyambar, menginjak kotoran ayam saja tidak berbekas’. Ungkapan itu digunakan untuk menyindir orang yang banyak bicara, tetapi kurang bukti. Tuturan selepan yang terdapat dalam lagu daerah Banyuwangi juga ada yang digunakan sebagai sampiran dalam basanan. Contoh tuturan yang dimaksud disajikan dalam lagu Tenong-tenonga, yakni tenong-tenonga, irig mengkureb. Jika dilihat dari bentuknya, tuturan tersebut merupakan paribasan, tetapi jika dilihat dari maksudnya, tuturan itu merupakan selepan. Tuturan ini bermaksud menyindir orang yang sombong dan angkuh serta tidak peduli lagi kepada orang-orang yang pernah dikenalnya. Dalam tuturan lagu Bang Cilang-cilung, dikemukakan juga tuturan yang berupa selepan. Tuturan tersebut menyampaikan sindiran pada orang-orang yang suka memasalahkan atau memperebutkan hal-hal yang sepele. Orang-orang yang demikian ini Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
125
biasanya tidak mau mengalah dan selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Orang seperti itu, dalam tuturan lagu digambarkan dengan kucing garong yang bertarung semalam suntuk untuk berebut tulang. Dari uraian dan contoh-contoh di atas, dapat dikatakan bahwa selepan pada hakikatnya merupakan bentuk teguran atau kritikan dengan cara tidak langsung. Karena itu, tuturan selepan ini merupakan bentuk tindak tutur yang menggunakan strategi tidak langsung. Dalam tuturan selepan, untuk menegur atau mengkritik seseorang tidak dikemukakan secara langsung hal yang dimaksud, tetapi dialihkan pada sesuatu atau objek yang memiliki ciri yang sama dengan hal tersebut. Pengalihan objek tuturan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang terjadi akibat dari tuturan yang disampaikan. Dengan menuturkan objek lain yang memiliki maksud sama, tuturan tersebut menjadi lebih halus dan tersamar sehingga dapat menyelamatkan muka mitra tutur dan mengamankan penutur dari reaksi negatif mitra tuturnya.9 Dalam komunikasi sehari-sehari, tuturan yang berbentuk selepan ini digunakan oleh masyarakat Using, terutama oleh para orang tua. Mereka masih menganggap tuturan tersebut merupakan tuturan yang arif walaupun sebenarnya tuturan tersebut menyinggung perasaan orang yang terkena dan memahami maksud tuturan itu. Dalam pengamatan, ditemukan tuturan sindiran yang ditujukan kepada orang yang tidak pernah menyuguhkan minuman (teh atau kopi) kepada tamu-tamunya,
9
Menurut Brown dan Lavinson (1987:61) pada dasarnya kesantunan mengacu pada nosi muka yang selalu dimiliki oleh manusia rasional. Mereka berusaha untuk memahami berbagai strategi perilaku interaksi yang didasarkan pada kenyataan bahwa manusia yang terlibat dalam interaksi akan berusaha untuk mencapai keinginan tertentu. Keinginan yang berkaitan dengan kesopanan adalah keinginan untuk menghadapi sesuatu yang terikat secara emosional.
126
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
sseorang mengatakan yara nawi sumure nono banyune, artinya bahwa sudah sejak tadi tidak disuguhkan minuman apa kira-kira sumurnya tidak ada airnya. Dalam tuturan tersebut, tecermin adanya sikap arif dan sikap positif pada seseorang walaupun sebenarnya secara tersirat tuturan tersebut mengandung kritikan atau cemoohan. Di kalangan orang-orang muda Using, tuturan selepan ini digunakan sebagai bentuk tutur untuk bercanda.10 Dalam hal ini, tuturan selepan disajikan secara wantah atau apa adanya, tanpa menggunakan objek lain sebagai alihan dalam penyampaian maksud. Maksud tuturan disampaikan dalam paparan kata-kata yang lugas, tetapi arah tuturan disimpangkan atau dibelokkan pada orang lain, tidak langsung ditujukan pada orang yang dimaksud. Sejumlah uraian di atas menggambarkan bahwa tuturan yang berbentuk selepan terdapat dalam pemakaian bahasa Using, baik dalam tuturan lagu maupun dalam percakapan sehari-hari. Selain tuturan sindirin yang berupa selepan, dalam tuturan bahasa Using, terdapat pula tuturan yang berupa perumpamaan. Bentuk tuturan tersebut dalam bahasa Using disebut sungganan. Penggunaan sungganan ini dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dijelaskan dalam uraian butir berikut. Sungganan Sungganan berasal dari kata songga yang artinya umpama, andaikata, atau ibarat. Dari kata dasar tersebut, terbentuk kata sungganan yang artinya perumpamaan atau ibarat (Ali, 2004). Tuturan yang berupa sungganan ini dalam bahasa Jawa disebut dengan istilah pepindhan, yakni sebuah sistem perumpamaan 10
Dalam bahasa Jawa, tuturan tersebut dinamakan guyon parikeno, yakni menyampaikan suatu maksud dengan cara bercanda. Jika maksud tersebut tercapai, itu memang menjadi tujuannya. Namun, jika maksudnya tidak tercapai, ia tidak menanggung rasa malu.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
127
yang menggunakan kata bantu penjelas perbandingan. Kata bantu penjelas perbandingan dalam pepindhan di antaranya adalah pindha, kaya, kadi, kadya, dan lir. Dalam bahasa Indonesia, tuturan perbandingan ini disebut simile, yakni perbandingan dua hal dengan menggunakan kata penjelas seperti, sebagai, seumpama, bak, dan sebagainya. Sementara, kata bantu penjelas perbandingan dalam sungganan hanya ada satu kata, yakni koyo ‘seperti’ karena dalam bahasa Using tidak ada kata lain untuk menggantikan kata tersebut. Contoh-contoh tentang tuturan yang berupa sungganan ini sama dengan contoh-contoh tuturan tentang penggunaan bentuk kiasan, khususnya contoh tuturan bentuk kiasan yang berupa bentuk pembandingan secara eksplisit. Namun, untuk menunjukkan adanya bentuk sungganan ini, dapat dikemukakan contoh yang ada dalam tuturan lagu Rengginang, yakni tuturan mungkir janji koyo embun dipanasi. Tuturan tersebut merupakan perumpamaan, yakni mengumpakan orang yang mudah mengingkari janji seperti embun yang dipanasi. Contoh lain adalah tuturan lagu Lambe, yang menuturkan koyo awak isun keneng kejala sutra. Dalam tuturan tersebut, diumpamakan bahwa orang yang terpikat oleh perkataan yang manis seperti orang yang terkena jala sutra. Jala sutra dalam konteks tuturan lagu tersebut berarti guna-guna, yakni sesuatu yang bersifat halus, tetapi mengikat dan memikat orang yang terkena sehingga menjadikan orang tersebut menurut saja apa yang dikehendaki oleh orang yang memikatnya. Sungganan atau sering disebut songgan sering digunakan oleh masyarakat Using dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan, sungganan ini digunakan untuk menyampaikan pujian, celaan, ataupun umpatan. Contoh sungganan pujian yang terdapat dalam percakapan terungkap dalam tuturan ayune koyo widodari kayangan ’cantiknya seperti bidadari kayangan’. Tuturan ini memberikan pujian kepada seseorang yang benar-benar cantik 128
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dan mempesona banyak orang. Tuturan gaya riko koyo bos, tapi sing duwe picis ’gayanya seperti bos, tetapi tidak punya uang’ merupakan sungganan yang berupa celaan. Sementara, sungganan yang berupa umpatan terungkap dalam tuturan yang menyebutkan nama-nama binatang, misalnya orang yang perilakunya tidak sopan dan suka mengganggu diumpamakan seperti perilaku anjing, orang yang diberi peringatan tetap tidak mengindahkan dikatakan kerbau, dan sebagainya. Penggunaan sungganan yang menggunakan tuturan yang edi peni (halus dan bernilai luhur) dan sifatnya memuji mulai jarang ditemukan dalam percakapan sehari-hari. Bentuk-bentuk tuturan, misalnya, koyo damar kanginan ’seperti lampu minyak kena angin’, koyo widodari ’seperti bidadari’, koyo banyu hang nguripi ’seperti air yang menghidupi’ mulai jarang dipakai dalam percakapan. Tuturan sungganan yang banyak muncul dalam percakapan berupa celaan dan umpatan. Hal atau objek yang digunakan sebagai perumpamaannya berupa benda-benda konkret yang ada di sekitarnya dan nama-nama binatang. Bertolak dari uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa etnik Using memiliki gaya tutur yang khas. Mereka memiliki beragam bentuk, teknik, dan pola untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan imajinasinya. Di samping itu, mereka juga memiliki kekayaan model atau bentuk retorika yang dapat dimanfaatkan untuk membangun tuturannya. Kekayaan masyarakat Using akan keberagaman gaya tutur ini menjadikan mereka lebih leluasa dan sekaligus memandu mereka agar lebih berhati-hati dalam memilih dan menentukan ragam yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan budaya. Simpulan Retorika dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi mencerminkan budaya etnik Using. Retorika dalam tuturan lagu tersebut memiliki beragam bentuk yang masing-masing memiliki Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
129
ciri kaidah yang khas yang membedakannya dengan bentuk retorika dalam bahasa lainnya. Bentuk retorika dalam yang ada dalam tuturan lagu-lagu tersebut meliputi basanan, wangsalan, paribasan, selepan, dan sungganan. Basanan dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi memiliki kemiripan dengan pantun dalam bahasa Indonesia, yakni memiliki sampiran dan isi dalam setiap baitnya serta adanya pola persajakan. Basanan dalam tuturan lagu ada dua macam bentuk, yakni basanan 4 larik dan basanan 2 larik. Dari ciri tuturan yang membangun sampiran dan isinya, basanan 4 larik dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni basanan lepas dan basanan terangkai. Basanan lepas kebanyakan digunakan untuk mengungkapkan perihal cinta. Yang membedakan basanan ini dengan pantun adalah ketidakajegan jumlah suku kata dalam setiap larik dan penggunaan bentuk tegun dalam setiap ada kekosongan tuturan. Basanan terangkai ditandai oleh penggunaan bentuk tuturan yang sama pada setiap awal larik sampiran untuk bait-bait tuturan dalam keseluruhan lagu. Kesamaan bentuk tuturan ini difungsikan sebagai pengikat topik yang dikemukakan dalam setiap bait sehingga terbangun keutuhan tuturan. Jenis basanan terangkai yang ada dalam tuturan lagu dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yakni (a) basanan terangkai ajeg, (b) basanan terangkai bebas, dan (c) basanan terangkai uraian. Jenis basanan terangkai digunakan untuk menyampaikan berbagai macam masalah sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Basanan terangkai ajeg ditandai oleh keajegan larik dan persajakan, basanan terangkai bebas ditandai oleh keajegan larik dan ketidakajegan persajakan, sedangkan basanan terangkai uraian tidak memiliki keajegan larik dan persajakan karena adanya larik tambahan sebagai uraian penjelas. Basanan 2 larik dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni (a) basanan umum dan (b) basanan khusus. Basanan umum ditandai oleh 130
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
penggunaan ungkapan umum di dalam sampirannya. Ungkapan umum ini adalah ungkapan yang maknanya tetap dan sudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat Using. Basanan khusus ditandai oleh penggunaan kata-kata hasil kreasi penutur di dalam sampirannya. Kata-kata hasil kreasi ini memiliki makna yang hanya khusus berlaku untuk basanan itu. Wangsalan dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi ada dua macam, yakni wangsalan lamba dan wangsalan padinan. Wangsalan lamba dalam tuturan lagu ada dua model, yakni (a) model lengkap yang terdiri atas tuturan teka-teki, tuturan jawaban, dan tuturan maksud, dan (b) model kurang yang terdiri atas tuturan teka-teki dan tuturan maksud. Wangsalan padinan adalah wangsalan yang berupa ungkapan, yakni hanya berwujud tuturan metaforis tanpa ada jawabannya karena mitra tutur dianggap sudah memahami jawaban atau maksud tuturan itu. Paribasan dalam tuturan lagu berupa ungkapan tetap dan pasti pemakaiannya. Sifat tuturannya ajeg dan apa adanya tanpa menggunakan penanda tutur seperti yang terungkap dalam bentuk paparan perbandingan langsung. paribasan digunakan untuk menuturkan suatu kenyataan atau menyampaikan informasi yang bersifat faktual atau sesuatu sering terbukti benar. Tuturan paribasan ini mengandung nilai-nilai baik yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota masyarakat penuturnya. Tuturan paribasan tidak dimaksudkan untuk menyampaikan kritik, protes, atau pun sindiran, tetapi hanya menyajikan informasi yang sifatnya memberikan pelajaran bagi masyarakat sehingga mereka mengenal hal baik dan hal buruk. Tuturan lagu yang berbentuk selepan berupa tuturan yang berfungsi sebagai teguran atau kritikan dengan cara tidak langsung. Dalam tuturan selepan, untuk menegur atau mengkritik seseorang tidak dikemukakan secara langsung hal yang dimaksud, tetapi dialihkan pada sesuatu atau objek yang memiliki ciri yang sama dengan hal tersebut. Pengalihan objek tuturan tersebut Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
131
dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang terjadi akibat dari tuturan yang disampaikan. Hal ini berbeda dengan tuturan yang berupa sungganan atau sering disebut songgan. Dalam tuturan lagu, sungganan ini digunakan untuk menyampaikan pujian, celaan, ataupun umpatan yang secara eksplisit menggunakan kata penanda perumpamaan, yakni kata koyo ’seperti’. Bertolak dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa etnik Using memiliki gaya tutur yang khas. Mereka memiliki beragam bentuk, teknik, dan pola untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, dan imajinasinya. Di samping itu, mereka juga memiliki kekayaan model atau bentuk retorika yang dapat dimanfaatkan untuk membangun tuturannya. Kekayaan masyarakat Using akan keberagaman gaya tutur ini menjadikan mereka lebih leluasa dan sekaligus memandu mereka agar lebih berhati-hati dalam memilih dan menentukan ragam yang tepat untuk menyampaikan pesan-pesan budaya. Penggunaan ragam gaya tutur dalam tuturan bahasa Using merupakan strategi kesantunan yang digunakan oleh penutur Using dalam bertutur dengan mitra tuturnya. Perbedaan gaya tutur dalam tuturan lagu lama dengan gaya tutur dalam tuturan lagu baru mencerminkan perbedaan prinsip kesantunan yang dianut oleh masyarakat Using generasi lama dengan masyarakat Using generasi muda.
132
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
BAB VIII PENUTUP
Pada Bab VII ini, disajikan temuan ilmiah dan implikasi hasil kajian. Temuan ilmiah menyajiakan proposisi-proposisi utama dan pernyataan tesis yang menggambarkan inti temuan, sedangkan implikasi hasil kajian menyajikan kebermaknaan temuan penelitian pada kajian teoretis dan kebutuhan praktis. Simpulan Paradigma kajian budaya memandang teks tuturan lagu sebagai produk budaya. Paradigma ini mengedepankan teks tuturan lagu sebagai sumber kajian dalam pemerian budaya penuturnya. Pemaknaan secara hermeneutik dengan berlandaskan pada pandangan emik menyimpulkan bahwa penyajian tutur dalam tuturan lagu mengekspresikan budaya etnik penuturnya. Tuturan lagu-lagu daerah menggunakan beragam gaya dalam penyajian tuturnya. Keberagaman gaya tutur tersebut mengekspresikan keberagaman strategi bertutur dalam budaya komunikasi. Penggunaan beragam gaya tutur ini memiliki beragam fungsi, yakni sebagai penyatu dan pemadu gagasan yang dituturkan, pemerjelas dan penegas tuturan, dan pembangun kesantunan tuturan. Dalam tuturan bahasa Using, penggunaan beragam gaya tutur merupakan strategi kesantunan dalam bertutur karena bahasa Using tidak memiliki ragam kosakata tingkat tutur yang membedakan stratifikasi sosial dalam bertutur. Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa yang tidak memiliki ragam kosakata tingkat tutur, gaya tutur difungsikan oleh penutur bahasa tersebut sebagai strategi kesantunan untuk membedakan stratifikasi sosial dalam bertutur. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
133
Implikasi Hasil Kajian Temuan penelitian tentang ekspresi budaya etnik Using dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi memiliki implikasi teoretis dan praktis. Secara teoretis, temuan penelitian ini memiliki implikasi pada (a) kajian budaya, (b) kajian analisis wacana budaya, (c) kajian tindak tutur, dan (d) kajian sosiolinguistik. Sementara, secara praktis, temuan penelitian ini memiliki implikasi pada (a) pemertahanan bahasa dan budaya dan (b) pembelajaran muatan lokal bahasa Using. Implikasi teoretis dan praktis temuan penelitian disajikan berikut ini. a. Implikasi pada Kajian Budaya Kajian budaya memiliki cakupan yang sangat luas karena jangkauan kajian tersebut seluas keberadaan manusia dengan segala pengetahuan, sikap dan perilaku, serta lingkungan kehidupan yang melingkupinya. Semua bidang ilmu yang membahas seluk-beluk budaya masyarakat dapat dimasukkan dalam bidang kajian budaya. Orang dapat mengkaji budaya dari fokus yang sesuai dengan minat dan keahliannya masing-masing. Kajian budaya merupakan bidang kajian multidisipliner yang berlangsung di berbagai bidang ilmu. Kajian ini dapat menjadi salah satu model kajian budaya. Dalam kajian ini, pengkajian budaya kelompok etnik dilakukan melalui pengkajian melalui tuturan lagu. Kajian ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa tuturan lagu merupakan produk budaya masyarakat yang mencerminkan budaya masyarakatnya. Penggunaan tuturan lagu merupakan strategi adaptasi yang dilakukan oleh anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan lingkungan alamnya. Sebagai wahana dalam beradaptasi dengan ekologinya, tuturan lagu bersifat khas sehingga menjadi identitas 134
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
masyarakat penutur atau pemiliknya. Di dalam tuturan lagu, terekam sejumlah gagasan, pengetahuan, pengalaman, dan kehendak masyarakat penuturnya. Karena itu, melalui pengkajian tuturan lagu dapat diperikan corak budaya masyarakat penuturnya. Sebagai salah satu model kajian budaya, temuan kajian ini menambah khasanah wawasan keilmuan tentang budaya etnik. Wawasan keilmuan yang disumbangkan oleh kajian ini meliputi wawasan tentang keberagaman corak bahasa Using yang menunjukkan kedinamisan dan keberagaman komunitas yang ada dalam masyarakat Using. Kecorakragaman bahasa tersebut dapat diamati dari keberagaman kosakata dan gaya tutur yang di gunakannya. Selain itu, temuan kajian ini juga memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang pesanpesan budaya yang melingkupi kehidupan masyarakat Using dan sikap budaya yang mengungkapkan karakter masyarakat Using. Kajian ini melihat budaya etnik Using dari fokus kajian bahasa, khususnya penyajian tutur yang digunakan dalam tuturan lagu-lagu daerah Banyuwangi. Budaya etnik Using disoroti dan diperikan berdasarkan penyajian tuturan yang digunakan dalam tuturan lagu. Penyajian tuturan lagu sebagai unsur budaya digunakan sebagai lensa untuk membidik budaya itu. Budaya yang dimaksud meliputi totalitas tatanan yang berkaitan dengan kepercayaan, sikap, adat-istiadat, perilaku, dan sikap sosial. Karena itu, kajian yang dilakukan oleh kajian ini dapat dijadikan salah satu model dan digolongkan ke dalam kajian disiplin etnolinguistik atau antropolinguistik yang secara teoretis temuannya berimplikasi dalam menambah pengetahuan atau wawasan baru untuk bidang kajian budaya.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
135
b. Implikasi pada Kajian Analisis Wacana Semua aktivitas komunikasi yang menggunakan bahasa dapat dikatakan sebagai wacana. Penggunaan bahasa ini terjadi pada semua segi kehidupan manusia. Karena itu, kajian analisis wacana, seperti halnya bidang kajian budaya, memiliki cakupan yang sangat luas. Semua hal tentang penggunaan bahasa merupakan bidang kajiannya. Analisis wacana tersebut mencakup kajian yang hanya menganalisis dan memerikan struktur formal teks sampai pada kajian untuk memerikan proses penciptaan teks, tujuan penciptaan teks, ideologi yang mendasarinya, terjadinya perang ideologi, struktur sosial masyarakatnya, budaya yang melatarinya, dan sebagainya. Kajian ini merupakan salah satu model analisis wacana untuk memerikan budaya masyarakat. Tuturan lagu daerah Banyuwangi dapat dikatakan sebagai wacana budaya. Dalam hal ini, tuturan lagu dipandang sebagai rekaman verbal tindak komunikasi yang menyampaikan pesanpesan budaya. Sebagai rekaman verbal tindak komunikasi, tuturan lagu merupakan bentuk penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya sebagai wujud proses interaksi yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tutur dalam konteks budaya masyarakat penuturnya. Tuturan lagu merupakan produk budaya yang diciptakan oleh masyarakat dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kekhasan penyajian tutur dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi merupakan cerminan budaya yang mengungkapkan ciri khas retorika budaya komunikasi masyarakat Using. Pemahaman kekhasan gaya tutur tersebut hanya dapat dilakukan melalui analisis struktur lagu dan memahami maknanya berdasarkan fungsinya dalam konteks komunikasi masyarakat Using. Karena itu, untuk mendapatkan pemahaman terhadap gaya tutur budaya suatu masyarakat, diperlukan pendekatan struktural dan fungsional dalam menganalisis gaya tutur tersebut. Temuan ini mengimplikasikan bahwa dalam memandang dan menganalisis 136
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
wacana budaya, pandangan formalis dan pandangan fungsionalis tidak perlu dipertentangan, tetapi kedua pandangan tersebut dimanfaatkan secara serentak. c. Implikasi pada Kajian Tindak Tutur Dalam beberapa kajian, konsep-konsep tindak tutur hanya digunakan sebagai paradigma untuk mengkaji wacana percakapan. Namun, dalam kajian ini, konsep-konsep tindak tutur dikenakan untuk mengkaji tuturan lagu daerah Banyuwangi. Karena itu, temuan kajian ini secara teoretis memiliki implikasi pada kajian tindak tutur. Tindak tutur merupakan unit dasar komunikasi, yang berarti bahwa tindak tutur merupakan unit dasar wacana. Dalam hal ini, komunikasi bahasa yang berupa wacana bukan sekedar kata-kata atau kalimat, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai produk dari kata-kata atau kalimat yang berwujud tindak tutur. Secara tegas, dapat dikatakan bahwa tindak tutur adalah produk dari suatu tuturan dalam konteks tertentu dan merupakan satuan dasar dari komunikasi bahasa. Bertolak dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa tuturan lagu daerah Banyuwangi merupakan serangkaian tindak tutur yang digunakan oleh penutur Using dalam konteks sosial budaya masyarakat Using dalam memenuhi tuntutan lingkungan hidup yang melingkupinya. Penyikapan tuturan lagu sebagai tindak tutur merupakan salah satu paradigma yang digunakan dalam kajian ini. Sikap ini didasari oleh pandangan bahwa tuturan lagu merupakan rekaman verbal tindak komunikasi yang menyampaikan maksud atau pesan-pesan tertentu. Tuturan lagu bukan sekadar kata-kata atau kalimat, melainkan tuturan yang mengandung tindakan. Paparan bahasa dalam tuturan lagu dipandang sebagai fenomena bertutur yang dilakukan oleh penutur untuk menyampaikan pesan kepada
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
137
mitra tuturnya. Dalam tuturan itu, terkandung suatu tindakan yang dikehendaki oleh penuturnya. Tuturan lagu daerah Banyuwangi memiliki karakteristik khas yang mencerminkan budaya masyarakat Using. Ini berarti bahwa tindak tutur yang membangun tuturan lagu juga menunjukkan kekhasannya bagi masyarakat Using. Kekhasan tindak tutur tersebut dapat diamati dari bentuk, strategi, dan makna tuturan lagu. Paparan bahasa dalam tuturan lagu yang menggunakan beragam kosakata untuk menuturkan maksud atau pesan tertentu dapat dipandang sebagai bentuk tindak tutur. Penggunaan gaya tutur yang menggunakan beragam bentuk, teknik, pola, dan retorika tertentu merupakan strategi tindak tutur. Demikian juga, pesan-pesan yang dituturkan dalam tuturan lagu tersebut dapat dikatakan sebagai makna tindak tutur. Berdasarkan pandangan yang demikian ini, dapat dikemukakan bahwa paradigma tindak tutur dapat diterapkan untuk mengkaji beragam bentuk penggunaan bahasa yang bersifat khas. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa paparan bahasa dalam tuturan lagu ada yang menggunakan bentuk paparan langsung dan ada pula yang menggunakan bentuk paparan tidak langsung. Temuan ini mengindikasikan bahwa sebagai fenomena bertutur, penggunaan bahasa dalam tuturan lagu menggambarkan strategi tindak tutur langsung dan strategi tindak tutur tak langsung. Indikator yang membedakan strategi langsung dan strategi tak langsung ini ditampakkan dalam penggunaan katakata. Jika kata-kata tersebut mengacu secara langsung makna yang dimaksud, paparan itu dikatakan sebagai paparan langsung. Namun, jika kata-kata itu maknanya bersembunyi di balik katakata tersebut, paparan yang demikian ini dikatakan sebagai paparan tidak langsung. Dalam kajian ini, makna pesan budaya yang tertuang dalam tuturan lagu ditafsirkan berdasarkan paradigma tindak tutur. Berdasarkan paradigma tersebut, makna pesan dalam 138
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
tuturan lagu dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yakni makna pesan dalam tindak direktif, tindak komisif, tindak ekspresif, dan tindak representatif. Temuan ini mengimplikasikan bahwa paradigma tindak tutur tidak hanya dapat difungsikan dalam kajian wacana percakapan, tetapi dapat juga diterapkan untuk mengkaji wacana budaya yang berupa tuturan lagu. Secara metodologis, temuan ini dapat menjadi model untuk menerapkan paradigma tindak tutur pada jenis wacana lainnya. d. Implikasi pada Kajian Sosiolinguistik Kajian ini mengkaji penggunaan bahasa dalam tuturan lagu daerah Banyuwangi. Kajian tersebut dimaksudkan untuk memahami ekspresi budaya masyarakat Using sebagai penuturnya. Kajian tersebut mengaitkan antara bahasa Using dalam tuturan lagu dengan masyarakat Using sebagai penuturnya. Karena itu, temuan kajian ini memiliki kebermaknaan dalam kajian sosiolinguistik. Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik tidak didekati sebagai bahasa dalam kajian linguistik teoretis, melainkan didekati sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, Dittmar (1976:128) merumuskan adanya tujuh dimensi dalam kajian sosiolinguistik, yaitu: (1) identitas sosial penutur, (2) identitas peserta tutur, (3) lingkungan sosial, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi linguistik, dan (7) penerapan praktis kajian sosiolinguistik. Beberapa di antara ketujuh dimensi itu dapat dipahami melalui kajian ini. Dimensi yang dimaksud di antaranya adalah identitas sosial penutur, lingkungan sosial penutur, dan variasi linguistik dalam tuturan lagu. Kajian sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan variasiRepresentasi Budaya dalam Penyajian Tutur
139
nya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat. Kajian sosiolinguistik tidak hanya menyangkut kajian wujud formal bahasa dan variasi bahasa, tetapi meliputi kajian penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa itu berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan maupun faktor sosialbudaya. Kajian tersebut dapat dilakukan melalui kajian terhadap tuturan lagu. Karena itu, kajian ini dapat menjadi salah satu model dalam memerikan bahasa berdasarkan struktur sosial dan corak budaya masyarakatnya. Temuan kajian ini mendukung pandangan Bell (1976) yang menyatakan bahwa pemakaian bahasa dalam masyarakat tidaklah monolitis, melainkan variatif. Pernyataan ini berarti bahwa bahasa atau bahasa-bahasa yang dimiliki oleh satu masyarakat tutur dalam khasanah bahasanya selalu memiliki variasi. Alasannya adalah bahasa yang hidup dalam masyarakat selalu digunakan dalam peran-peran sosial tempat penggunaan bahasa atau variasi bahasa itu. Peran-peran sosial berkaitan dengan berbagai aspek sosial psikologis yang kemudian dirinci dalam bentuk komponen-komponen tutur. Adanya fenomena pemakaian variasi bahasa dalam masyarakat tutur dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional. Dalam kajian pemilihan bahasa, tugas sosiolinguistik adalah berusaha mendeskripsikan hubungan antara gejala pemilihan bahasa dan faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa, baik secara korelasional maupun implikasional. e. Implikasi pada Pemertahanan Budaya Temuan kajian ini memiliki implikasi praktis bagi pemertahanan budaya. Pemertahanan budaya tersebut mencakup pemertahanan bahasa Using sebagai bahasa pergaulan di 140
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
masyarakat Using. Kajian ini menghasilkan temuan yang berkaitan dengan corak bahasa Using dan budaya Using serta berbagai dinamika yang terjadi pada kedua hal itu. Dari temuan kajian tersebut, dapat dikemukakan bahwa bahasa dan budaya Using telah mengalami pergeseran. Kasus yang terjadi pada tuturan lagu menunjukkan bahwa bahasa Using yang sarat dengan ungkapan luhur telah bergeser menjadi bahasa Using keseharian yang banyak dimasuki oleh kata-kata serapan. Pesan-pesan budaya yang ada dalam tuturan lagu juga mengalami perubahan, yakni dari pesan-pesan yang menuturkan nilai-nilai sosial dan moral beralih ke pesan-pesan percintaan. Dalam kenyataan berbahasa dan berbudaya, pergeseran suatu bahasa merupakan hal yang wajar dan akan terus terjadi. Dalam peristiwa tersebut, hanya ada dua pilihan, yakni bahasa dapat digeser oleh bahasa lain atau bahasa yang tidak tergeser oleh bahasa lain. Bahasa yang tergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri (Sumarsono dan Partana 2002:231). Pergeseran bahasa terjadi karena komunitas penuturnya meninggalkan bahasanya dan beralih untuk memakai bahasa lain. Namun, apabila komunitas penutur bahasa itu tetap berkeinginan dan berminat untuk melanjutkan penggunaan bahasa yang biasa dituturkannya, bahasa tersebut akan tetap bertahan. Kebertahanan bahasa berarti kebertahan budaya, sedangkan pergeseran bahasa berarti pergeseran budaya. Dalam kehidupan masyarakat Using, pemertahanan bahasa dan budaya Using memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh. Kesungguhan upaya tersebut harus dimulai dari diri masyarakat Using sendiri, yakni dengan menanamkan nilai-nilai budaya luhur kepada para generasi muda sehingga mereka tidak beralih atau meninggalkan budayanya. Penanaman nilai tersebut dapat dimulai dengan penanaman kesadaran mereka akan kebanggaan terhadap bahasanya. Adanya kepedulian kepada bahasa Using dan kebanggaan mereka untuk Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
141
menggunakannya dalam pergaulan etniknya akan mendorong mereka tetap mengenali dirinya sebagai orang Using. Dalam upaya pemertahanan bahasa dan budaya Using, hasil kajian ini memberikan sumbangan yang signifikan. Sebagai bentuk dokumen yang berisi tentang keragaman kosakata bahasa Using, gaya tutur etnik Using, pesan-pesan budaya etnik Using, dan sikap budaya masyarakat Using, temuan kajian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam penentuan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Using. Selain itu, sejumlah kumpulan lagu yang terinventarisasi dalam kajian ini dapat dijadikan sebagai dokumen yang mencatat kekayaan budaya etnik Using. Bahkan, keragaman ciri lagu yang dituturkan oleh beragam bentuk seni yang berkembang dari tahun ke tahun dapat dijadikan landasan dalam menentukan periodisasi lagu-lagu daerah Banyuwangi. Temuan periodisasi ini selanjutnya akan semakin mengokohkan keberadaan bahasa dan budaya Using yang memiliki kekhasan yang membedakannya dengan bahasa dan budaya etnik lainnya. Semakin kokohnya keberadaan bahasa Using berarti akan dapat mengakhiri perdebatan apakah bahasa Using sebagai bahasa atau sebagai dialek dari bahasa Jawa. Bergeser atau bertahannya sebuah bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor. Industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa. Jumlah penutur bahasa dan konsentrasi pemukiman juga menentukan kebertahanan bahasa. Sekolah juga sering dianggap sebagai penyebab bergesernya bahasa karena sekolah selalu memperkenalkan bahasa kedua kepada anak didiknya yang semula monolingual menjadi dwibahasawan dan akhirnya meninggalkan atau menggeser bahasa pertama mereka. Dalam kenyataan yang demikian ini, pemertahanan bahasa dan budaya Using melalui pencatatan dan penyelidikan sangat diperlukan. Pencatatan dan penyelidikan itu dimaksudkan untuk mengungkap dan menggali kekayaan bahasa dan budaya Using sehingga 142
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
dihasilkan dokumen yang sewaktu-waktu dapat dirujuk kembali dan dapat dijadikan tumpuan dalam pengembangan selanjutnya. Temuan kajian ini dapat menjadi salah satu wujud dokumen bagi pemertahanan budaya Using. f.
Implikasi pada Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Using Dalam upaya pemertahanan bahasa Using, masyarakat Using yang peduli akan keberadaan bahasanya berjuang keras untuk mengokohkan kedudukan status bahasa Using. Mereka menginginkan adanya pengakuan secara emik dan etik bahwa bahasa Using berstatus sebagai bahasa bukan sebagai dialek. Dalam pandangan emik, bahasa Using dikatakan sebagai bahasa yang memiliki karakteristik berbeda dengan bahasa Jawa sehingga bahasa Using bukan sebagai bahasa Jawa dialek Using. Namun, para ahli bahasa masih ada yang tetap memandang bahwa bahasa Using adalah dialek. Dalam upaya pengokohan status tersebut, masyarakat Using mengadakan seminar-seminar tentang kondisi dan perkembangan bahasa Using. Mereka juga mengembangkan berbagai kelengkapan bahasanya melalui penerbitan (a) Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia, (b) Tata Bahasa Baku Bahasa Using, (c) Pedoman Umum Ejaan Bahasa using, dan (d) beberapa terbitan lain berbahasa Using, yang meliputi puisi, cerpen, majalah, dan sebagainya. Selain itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi juga menerbitkan suatu kebijakan, yakni menjadikan bahasa Using sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah yang sebagian besar siswanya adalah wong Using. Kebijakan untuk menjadikan bahasa Using sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah merupakan upaya yang strategis dalam pemertahanan bahasa. Upaya tersebut setidaktidaknya dapat mempertahankan keberadaan bahasa Using untuk tetap dikenal dan digunakan oleh masyarakat Using, terutama Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
143
oleh para generasi muda pada masa mendatang. Namun, untuk mencapai keinginan atau cita-cita tersebut tidak mudah. Hal ini memerlukan suatu proses perencanaan, penerapan, evaluasi, dan tindak lanjut yang mantap dan berkesinambungan. Apabila proses tersebut tidak dijalankan dengan baik, tujuan mulia untuk menjadikan anak bangga akan bahasanya dapat berubah menjadi anak benci akan bahasanya. Pembelajaran akan berhasil dengan baik jika anak merasa senang dengan perihal yang dipelajarinya. Pembelajaran yang demikian ini memerlukan perencanaan baik dalam hal materi yang diajarkan maupun strategi penyampaiannya. Materi belajar yang menyenangkan adalah materi belajar yang bermakna bagi anak, sedangkan strategi pembelajaran yang menyenangkan adalah strategi belajar yang variatif dan sesuai dengan minat anak. Karena itu, untuk menjadikan bahasa Using sebagai mata pelajaran yang menyenangkan bagi anak, perlu dipilih dan ditentukan materi-materi bahasa Using yang sesuai dengan perkembangan jiwa dan kebutuhan anak dalam kehidupannya sehari-hari serta dipilih strategi pembelajaran yang tidak monoton dan membosankan. Dalam kaitannya dengan pemilihan materi dan strategi pembelajaran bahasa Using, temuan kajian dapat menjadi sumber rujukan yang berarti. Materi belajar bahasa Using dapat dipilih dari materi-materi yang berupa tuturan lagu. Melalui tuturan lagulagu berbahasa Using, dapat diajarkan beragam kosakata Using, gaya tutur dalam bahasa Using, serta nilai-nilai budaya Using. Melalui pembahasan tuturan lagu dan melagukan tuturan tersebut, aktivitas pembelajaran di kelas akan lebih menarik dan tujuan belajar akan dapat dicapai. Sebagai mata pelajaran muatan lokal, materi belajar bahasa Using sebaiknya diarahkan pada penanaman nilai-nilai budaya lokal. Materi belajar yang berkenaan dengan kearifan lokal lebih diutamakan dalam pemilihan materi belajarnya. Dengan mengenal dan memahami lingkungan sosial budaya tersebut, anak 144
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
akan menghargai dan bangga akan budayanya, termasuk bahasanya, dan tidak akan tercerabut dari budaya masyarakatnya. Materi-materi yang berkaitan dengan kearifan lokal tersebut dapat diperoleh dan ditemukan dalam dokumen laporan kajian ini.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
145
DAFTAR RUJUKAN Abal, Fatrah. 2004. Gandrung: Kawitane Alat Perjuwangan, dalam Seblang Kaping 2/VII/2004. Aksoro, Achmad. 2004. Upacara Perkawinan Adat, dalam Majalah Budaya Jejak, nomor 06-2004. Ali, Hasan. 1993. Syair-syair Lagu Banyuwangi: Kajian Semiotik. Skripsi Tidak Diterbitkan. Jember: Universitas Jember. Ali, Hasan. 2004. Kamus Bahasa Daerah Using-Indonesia. Banyuwangi: Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Allan, K. 1998. Speech Act Theory – An Overview. Dalam Jacob L.Mey dan R.E. Asher (Eds.). Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsevier. Austin, J.L. 1978. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press. Barker, Chris. Cultural Studies: Teori & Praktik. Terjemahan oleh Nurhadi. 2004. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Terjemahan oleh Achmad Fedayani Saefuddin. 2001. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Bell, R.T. 1976. Sociolinguististic: Goal, Approaches, and Problems. London : Bastford. Brown, Gillian and Yule, George. 1985. Discourse Analysis. New York: Cambridge University Press. Brown, P. & Levinson, L.C. 1987. Politness. New York: Cambridge University Press. Chapman, L.H. 1978. Approach to Art Education. New York: Harcourt Brace Jovanovich,Inc. Condon, E.C. 1973. Introduction to Cross Cultural Communication. New Jersey: Rutgers University. Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.
146
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Coulthard, Malcolm. 1979. An Introduction to Discourse Analysis. London: Longman Group Limited. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Farb, Peter. 2005. Manusia, Budaya, Bahasa. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Eds.). Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Longman Fiske, John. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Terjemahan Iriantara dan Ibrahim. 2004. Yogyakarta: Jalasutra. Gumperz, John J. Dan Dell Hymes. 1972. Directions of Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart, and Winston Inc. Harris, Phiplip R. dan Moran, Robert T. 2005. Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Eds.). Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hoed, Benny H. 1994. Wacana, Teks, dan Kalimat. Dalam Sihombing (Ed.). Bahasawan Cendekia. Jakarta: FSUI dan Intermasa. Husen, Ida Sundari. 2004. Papan Nama Usaha di Perancis, Studi Kebahasaan dan Semiotika. Dalam Christomy, T. dan Yuwono, Untung (Eds.). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia. Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistic: An Ethnographic Approach. Philadelphia: PennsylvaniaPress.
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
147
Jones, Jason. 1999. Language and Class. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.). Language, Society, and Power. New York: Routledge. Jorgensen, Marianne dan Phillips, Louise. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London: SAGE Publications. Jumariam (Ed.). Petunjuk Praktis Berbahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. Kartomihardjo, Soeseno.1990. Bentuk Bahasa Penolakan. Malang: Lembaga Penelitian IKIP Malang. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using Banyuwangi Jawa Timur. Yogyakarta: Proyek Pemanfaatan Kebudayaan Daerah. Kodiran. 1998. Kesenian dan Perubahan Masyarakat. Makalah Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora di Yogyakarta pada 8—9 Desember 1998. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Lauer, R.H. 1989. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Aksara. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dan Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS. Littlejohn, Stephen W. 1992. Theories of Human Communication. California: Wadsworth Publishing Company. Mackey, W.F. 1967. Language Teaching Analysis. Bloomington and London: Indiana University Press. Mulyadi. 2006. Wacana dan Kebudayaan, (Online), (http:// www.library.usu.ac.id/download/fs/fs-mulyadi.pdf, diakses 2 Februari 2006). 148
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Mustamar, Sunarti. 2002. Lagu-lagu Banyuwangen sebagai Ekspresi Jiwa dan Simbolisme Hidup Masyarakat Using, Dalam Sugiono dan Maslikatin (Eds.). Bahasa dan Sastra Using: Ragam dan Alternatif Kajian. Jember: Universitas Jember. Nababan, P.W.J.1984. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Gramedia. Noer, Dasuki. 2004. Basanan dan Wangsalan Perlu Diletakkan pada Posisi yang Benar, dalam Majalah Budaya Jejak, nomor 05 – 2004. Peccei, Jean Stilwell. 1999. Language and Age. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.). Language, Society, and Power. New York: Routledge. Pemkab Banyuwangi. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Banyuwangi 2006—2010. Banyuwangi: Pemkab Banyuwangi. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Semiotika Sebagai Metode dalam Penelitian Desain. Dalam Christomy, T. dan Yuwono, Untung (Eds.). Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia. Porter, Richard E. dan Samovar, Larry A. 2005. Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi Antarbudaya. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Eds.). Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Poerwanto, Hari. 1997. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud. Richards, Jack C., Platt, John, dan Platt, Heidi. 1993. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Longman. Ricoeur, Paul. Filsafat Wacana: Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa. Terjemahan oleh Musnur Hery. 2002. Yogyakarta: IRCiSoD. Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
149
Saussure, Ferdinand de. 1990. Course in General Linguistics. London: Duckworth. Schiffrin, Deborah. 1994. Approaches to Discourse. Oxford, UK, Cambridge: Blackwell. Searle, John R. 1983. Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Singodimayan, Hasnan. 2004. Warung Bathokan, dalam Seblang, Kaping 2/VII/2004. Spradley, James P. 1985. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Stubbs, M. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistics Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell Publ. Ltd. Subaharianto. 2002. Budaya Bercocok Tanam Padi. Jakarta: Jakarta: Ditjen PTP Sumaatmadja, Nursid. 2005. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: CV Alfabeta. Sumardjo, Jakob. 2005. Ekologi dalam Seni Tardisi, (Online), (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/ 17/02.htm, diakses 6 Februari 2006) Suparlan, P. 1985. Kebudayaan dan Pembangunan, Makalah Seminar Kependudukan dan Pembangunan KLH di Jakarta. Suparno. 2000. Budaya Komunikasi yang Terungkap dalam Wacana Bahasa Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang. Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (Eds.). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Suyitno, Imam. 1998. Sistem Pronomina dalam Bahasa Using Banyuwangi. Malang: Lembaga Penelitian UM. Thornborrow, Joanna. 1999. Language and The Media. Dalam Linda Thomas dan Shan Wareing (Eds.). Language, Society, and Power. New York: Routledge. 150
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Van Dijk, Teeun A. 1987. Communicating Racism : Ethnic Prejudice in Talk and Thought. London: Sage. Wahab , Abdul. 1998. Isu Linguistik: Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press. Wardhaugh, Ronald.1998. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Wierzbicka, A. 1996. Cross-Cultural Communication. Canberra : Australian National University. Wikipedia Indonesia. 2005. Bahasa Using, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Using, diakses 10 Mei 2005)
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
151
INDEKS A aktivitas sosial budaya aspek retorika
C cerminan budaya cita rasa kehidupan F fungsi interaksi fungsi tindak tutur. J janji L lapisan sosial latar legenda M makna dasar makna eksplisit makna pesan makna tindak tutur maksud penutur menggayakan tuturan metaforis mitra tutur 152
B basanan bentuk penyajian tuturan bentuk retorika tuturan bentuk tutur berekspresi bersublimasi E ejekan epistimologis G gaya tutur gilir tutur K kaidah kemasyarakatan kajian tindak tutur kalimat berita kalimat imperatif kalimat tanya. kandungan budaya kekuatan kelakuan manusia keluhan komponen-komponen tutur komunitas konteks konteks tindak tutur kunci kunci komunikasi Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
N norma norma budaya P paparan langsung paparan tidak langsung. paribasan partisipan partisipan tutur pedoman tertinggi penataan nosi dan fungsi penginsanan suatu objek pengisahan atau pelukisan pengucapan pernyataan penyampaian saran perbandingan secara eksplisit perbandingan secara langsung perbandingan secara terurai perilaku budaya perintah peristiwa tutur perjuangan permainan permintaan permohonan pertanyaan pesan budaya. pesan tindak tutur pilihan ragam tutur Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
O 0ntologis R ragam referensi tuturan S saluran saluran komunikasi selepan sistem nilai budaya strategi adaptasi strategi tindak tutur. struktur sungganan T teka-teki teknik pemaparan tuturan tindak deklaratif tindak direktif tindak ekspresif tindak ilokusi tindak komisif tindak lokusi tindak menuturkan tindak perlokusi tindak proposisi tindak representatif tawaran 153
pola penegasan pola pengembangan pola pengulangan pola penjelasan pola perincian pola pertentangan pola pikir masyarakat produk budaya pujian
V verba performatif
154
tindak tutur tindak tutur berjanji tingkatan konotasi topik tujuan tuturan tuturan bergaya tuturan kiasan. tuturan lagu baru tuturan lagu lama tuturan langsung tuturan lisan tuturan tulis W wacana budaya wahana komunikasi. wangsalan wangsalan lamba wangsalan padinan
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Apendiks Judul Lagu, Pencipta, dan Tahun Populer
A Amit-amit, oleh Andang Cy, 1972/ 1974 Ancur Lebur (Tatune Ati), ciptaan: Tuki Efendi (Alm) 1994 Angen-angen Wong Tuwek, oleh Fatrah Abal dan Machfudz Hr,1973/ 1974 Aring-aring, oleh Andang Cy, 1972/ 1974 Arum Manis, oleh Soetrisno, 1995
B Bacot, Ciptaan : Syam Fatrah Abal, 2005 Bang Cilang – Cilung, Lagu: BS. Noerdian, Lirik: Andang, 1974/ 1975 Bangur Ngalaho, oleh Sutrisno, 1985 Berantas Wereng, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian,1973/ 1974 Bojo Ilang, oleh Andhika Yendra AR, 2004
C Cengkir Gading, oleh Andang Cy, 1971/ 1974 Cinta, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Mus DS & Ninik H., 1991 Conge-conge Atang, oleh Andang Cy, 1971/ 1973
D Dalu-dalu, oleh BS. Noerdian, 1966/ 1972 Damar Telempik, oleh Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1974/ 1974
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
155
Deg-deg Lirang, Syair dan Lagu: Andang Cy / Machfud Hr, 1972/ 1975 Duh Kakang, oleh A.Q. Prima, 2004
E Emak Kuwalon, M. Armaya/ Machfudz Hr, 1973/ 1974
G Gandengan Tangan, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Mus DS 1991 Gelang Alit, Syair dan Lagu: Fatrah Abal/ Machfud Hr 1973/ 1974 Gendhongan, oleh Indro Wilis, 1968 / 1980 Gerigis, oleh M. Soepranoto/ Machfud Hr.,1972/ 1974 Gerajagan, oleh Juono/Priono, 1994 Getun, oleh A.Priyono, 2004 Getun, oleh Bung Sutrisno, 1994 Grahana, Syair dan Lagu: Andang Cy/ Machfud Hr, 1972/ 1974
I Isun Cemburu, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Ida Farida, 1991 Isun Lamaren, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Ida Farida, 1991 Isun Sing Duwe Rupa, oleh Endro Wilis, 1980
J Janji, Ciptaan : Syam Fatrah Abal, 2005 Jaran Ucul, oleh BS Noerdian, 1970 Jaran Goyang, oleh Catur Arum, 2002 Jatuh Cinta, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Ninik H., 1991 Joged Belambangan, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Nurjani, 1991
K Kali Elo, Lagu: Andang, Lirik: BS. Noerdian, 1971/ 1974 156
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Kali Putih, oleh Hawadin, 2005 Kalong Embat-embat, Syair dan Lagu: Andang Cy/ Machfud Hr, 1972/ 1974 Kapiloro, oleh Wiroso, 1985 Katon Manise, oleh B. Sutrisno, 1990 Kepingin Nyandhing, oleh Hawadin, 2004 Kelunjuk, oleh BS. Noerdian, 1972/ 1974 Kembang Kirim, oleh BS. Noerdian, 1972/1974 Kembang Peciring, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1972/1974 Kembang Pethetan, Syair dan Lagu : Andang dan BS. Noerdian, 1974/1975 Kembang Terong, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1973/1974 Kemisinen, oleh M. Armaya/ Machfud Hr., 1973/1974 Kesengsem, Cipta. Mahfud/ Faturahman/Adang, 1994 Konco Lawas, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Mus DS, 1991
L Lambe, Ciptaan: Endro Wilis, 1994 Lancing Tanggung, oleh Basir Noerdian, 1990 Lare Using, Ciptaan: Syam Fatrah Aba, 2005 Layangan, oleh Catur Arum/Yon’s D.D., 2002 Luk-luk Lumbu, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1973/1974
M Mage Isin, oleh Elia SP, 2004 Makarya, Lirik: Didk Bahran / Andang Cy, Lagu: BS. Noerdian, 1973/ 1974, Mak Ucuk, oleh Andang Cy., 1972/1975 Mancing, oleh BS. Noerdian, 1973/ 1974 Man Jen, Ciptaan: Syam Fatrah Abal, 2005 Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
157
Maruh Ati, oleh Imam Rosyid, 2004 Mata-mata Kidang, Syair dan Lagu: Andang / BS. Noerdian, 1974/1974 Mata Walangen, Syair dan Lagu: Andang Cy/ Machfud Hr, 1972/1974 Mbayar Utang, Syair dan Lagu: BS. Noerdian, 1974/1975 Mberbes Mili, Syair dan Lagu: M.Armaya / Machfud Hr, 1973/1974 Mbok Irat, oleh Indro Wilis, 1974/1975 Melati Blambangan, oleh Bahtiar, 1980 Menak Jinggo, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1972/1974 Mendem Gadhung, oleh Hawadin, 2004 Metit Kekiwan, oleh Fatrah Abal, 1973/1974 Mlaku Sulung, oleh Hawadin, 2004 Mrekes Ati, oleh Imam Rusidi, 1994 Mugo-mugo, oleh Catur Arum, 2002
N Ngajak Kawin, oleh Hawadin, 1985 Nggampung, oleh S’Yono Ali, 2002 Nglamar Rehana, oleh Andy Suroso, 1985 Nguweni Ati, oleh Imam Rosyidi, 2004 Niat Isun, Ciptaan: Syam Fatrah Abal, 2005 Njaring, oleh BS. Noerdian, 1973/ 1974 Nonton Seblang, oleh Andang Cy., 1972/ 1974 Numpak Dokar, oleh Hawadin, 2004 Nunggang Sepur, oleh BS. Noerdian, 1974 / 1975 Nungsep, Ciptaan: Syam Fatrah Abal, 2005 Nyik-Nyik Madamin, Syair dan Lagu: Andang / BS. Noerdian, 1973/1974
O Ojo Cemburu,oleh Bung Sutrisno, Vokal: Mus DS & Ninik H., 1991 158
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Ojo Jawal-Jawil, oleh B. Sutrisno, 1990 Ojo Lali, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Ninik H., 1991
P Pahlawan Bangsa, oleh M. Soepranoto, 1972/ 1974 Pahlawan Belambangan, oleh M. Armaya/ Machfudz Hr., 1973/1974 Perawan Pingitan, Syair dan Lagu: Andang / BS. Noerdian, 1972/1974 Perawan Sunthi, Syair dan Lagu: Andang Cy/ Machfud Hr, 1970/1975 Ping Pindo, oleh Yon’s D.D., 2002 Pusing, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Ida Farida, 1991
R Randa Kembang, Lagu: Andang,Lirik: BS. Noerdian, 1972/1974 Rehana, oleh Andy Suroso, Vokal: Mus DS, 1991 Rengginang (karang emas), oleh BS. Noerdian, 1973/1974 Ring Taman Sri Tanjung, oleh Hawadin, 2004 Riwayat Bengen, oleh Bung Sutrisna, 1994 Rujak Singgul, Syair dan Lagu: Andang /BS. Noerdian, 1972/1974
S Sapu Kereg, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1973/1974 Sayu Wiwit, Syair dan Lagu: M. Soepranoto, 1967/1970 Selendang Sutra, oleh Endro Wilis, 1965/ 1972 Sembur Utik-utik, oleh BS. Noerdian, 1973/ 1975 Semebyar, oleh Yon’s D.D, 2002 Seneng Podo Seneng, oleh Bung Sutrisno, Vokal: Ida Farida, 1991 Sepurane, oleh Hawadin, 2004 Sepur Lempung, oleh BS. Noerdian, 1972/ 1974 Setahun Lawase, oleh Catur Arum, 2004 Sewo-sewo Kucing, oleh BS. Noerdian, 1973/ 1975 Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
159
Sing Tole-tole Liane, oleh Farchan A.S., 2004 Sir-siran, Ciptaan : Syam Fatrah Abal, 2005 Sopo Ngongkon, Lagu: Andang, Lirik: BS. Noerdian, 1975 Soyo Edan, oleh Bung Sutrisno, Vokal Ida Farida & Ninik, 1991 Stasiun Argopuro, oleh Hawadin, 2004 Sumber Wangi, oleh M. Soepranoto/ Machfudz Hr, 1973/ 1974 Sun Jaluk, Ciptaan : Syam Fatrah Abal, 2005
T Tabrakan, Cipta: Endro Wilis, 1994 Tanah Kelahiran, Syair dan Lagu: Andang/BS. Noerdian, 1973/1974 Tangise Rondho Kembang, oleh Hawadin, 2004 Tapeng Embel-embel, oleh Andang Cy, 1972/ 1975 Tawang Alun, oleh Andang Cy, 1973/ 1975 Telung Segara, oleh Catur Arum/Yon’s D.D., 2002 Tenong-tenonga, oleh BS. Noerdian, 1974 / 1975 Tetese Eloh, oleh Catur Arum/Yan’s D.D., 2002 Tingkeban, Syair dan Lagu: M. Soepranoto / Machfud Hr., 1973/ 1975 Tompo Lamaran, oleh B. Sutrisno, 1990
U Udan Kician, Syair dan Lagu: Andang / BS. Noerdian, 1973/ 1974 Uga-uga, oleh Andang Cy, 1972/ 1974 Ulan Andung-andung, oleh Endro Wilis, 1964/ 1972 Ula-ula Rase, Syair dan Lagu: Andang / BS. Noerdian,1973/ 1974 Untring-untring, Syair dan Lagu: Andang / BS. Noerdian, 1971 Uyek-uyek Ranti, Lagu: BS. Noerdian, Lirik: Andang, Tahun 1974/ 1975
W Waru Doyong, oleh Johny M.C., 2000 160
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Watu Dodol, Ciptaan: Tuki Efendi, 1994 Wayah Surub, oleh Andang Cy, 1974/ 1975 Wek Isun Balekno, oleh Hawadin, 2004 Welas Sun Sidhem, oleh Hawadin, 2000 Wisata Using, oleh Sucipto, 1994 Wis Sing Seneng, oleh Hawadin, 1994
Y Ya Ope, oleh BS. Noerdian, 1973/ 1974 Yo Mung Riko, oleh Fatrah Abal, 2005
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
161
BIODATA PENULIS A Identitas Diri 1
Nama Lengkap (dengan gelar) 2 Jenis Kelamin 3 Jabatan Fungsional 6 Tempat dan Tanggal Lahir 7 Alamat e-mail 8 Nomor Telepon/HP 9 Alamat Kantor 10 Nomor Telepon/Faks
: Prof. Dr. H. Imam Suyitno, M.Pd
: L : Guru Besar/IVE : Banyuwangi, 14 Maret 1961 :
[email protected] : 0341475583/081233233061/081217800362 : Jalam Semarang 5 Malang : 0341-551312
B. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
162
No
Tahun
1
2009
2
2009
Judul Penelitian Bentuk Penyajian Tutur Lagu Daerah Banyuwangi sebagai Manifestasi Budaya Etnik Using (Kajian Etnolinguistik) Pemertahanan Budaya Etnik Using Melalui Pengintegrasian Lagu Daerah Banyuwangi ke dalam Kurikulum Muatan Lokal Pembelajaran Bahasa Using (Tahun I) Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
3
2010
4
2015
Pemertahanan Budaya Etnik Using Melalui Pengintegrasian Lagu Daerah Banyuwangi ke dalam Kurikulum Muatan Lokal Pembelajaran Bahasa Using (Tahun II) Pengembangan Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal dengan Teknik Observasi Lingkungan di Sekolah Dasar
C. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam 5 Tahun Terakhir No. Tahun 1
2012
2
2012
3
2011
4
2011
5 6 7
2011 2011 2016
8
2015
Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Melakasanakan pengabdian kepada masyarakat sebagai narasumber workshop KTSP bagi pengembang kurikulum di SMA swasta kota Malang oleh Diknas kota Malang Menyampaikan materi pada kegiatan PLPG (2 kegiatan) Melaksanakan pengabdian kepada masyarakat "Pembinaan bagi Siswa Kertanegara" Pendamping Kegiatan Teknis Penyusunan Proposal Menjadi Narasumber PLPG Kontributor Penulisan Buku KKN LPM PENDAMPINGAN BEDAH SKL “SUKSES UN” BAGI GURU BAHASA INDONESIA SMP KOTA PROBOLINGGO PELATIHAN PENGEMBANGAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS BAGI GURU-GURU DI KOTA PROBOLINGGO
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
163
9
2015
10
2015
11
2015
12
2015
PENDAMPINGAN LOKAKARYA PENULISAN KARYA ILMIAH BAGI GURU BAHASA INDONESIA SMP LUMAJANG PENDAMPINGAN LOKAKARYA PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI BAGI GURU MTS DAN MAN JAWA TIMUR PENDAMPINGAN LOKAKARYA PENYUSUNAN RPP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAGI GURU MAN TULUNGAGUNG PENDAMPINGAN LOKAKARYA PENYUSUNAN PROPOSAL PTK BAGI GURU-GURU SMA KOTA BATU
D. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No.
Judul Artikel Ilmiah
Volume/ Nomor/Tahun
1
Norma Pedagogis dan Analisis Kebutuhan Belajar dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)
Volume 14, No.1Januari 2008
2
Kosakata Lagu Daerah Banyuwangi, Kajian Etnolinguistik Etnik Using
Volume 20, Nomor 2, Juni 2008
164
Nama Jurnal Diksi, Jurnal Ilmu Bahasa, Sastra, dan Pengajaranny a, Fakultas Bahasa Seni UNY, Humaniora, Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa,
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Fakultas Ilmu Budaya UGM,
3
Penulisan Artikel: Kinerja Guru Profesional dalam Inovasi Model-model Pembelajaran
Vol. 2 No. 1, Februari 2010
4
Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai Inovasi Strategi untuk Sukses Ujian Nasional
Vol. 1 No. 1, September 2009
5
Speech Style In The Lyrics Of Banyuwangi Folk Songs (A Cultural Study On The Dynamics Of Using Ethnic Social Interaction) Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa Berwawasan Kearifan Lokal Representation Cultural Values of Using Community In Banyuwangi Folksong
Volume 22, Nomor 1, Juni 2010
6
7
Tahun II, Nomor I, Februari 2012
Jilid 2, Nomo2 2, Oktober 2012
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
Jurnal Humaniora dan Pendidikan, LPP-SDM Solusi, Jurnal Humaniora dan Pendidikan, LPP-SDM Solusi, Humaniora, Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jurnal Pendidikan Karakter, UNY Jurnal Bahasa dan Sastra, Unlam Banjarmasin 165
8
9
TEKNIK PEMBELAJARAN OBSERVASI LINGKUNGAN (DENGAN MEMANFAATKAN POTENSI KEARIFAN LOKAL DI SD) KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT USING: KAJIAN TUTURAN LAGU DAERAH BANYUWANGI
VOLUME 46, NO 1, MEI 20016
JURNAL KEPENDIDIK AN UNY
TH 8, NO.1, MEI 2016
JURNAL STUDI SOSIAL
E. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah Halaman 1 Mengenal Budaya 2010 180 Etnik Melalui Pemahaman Wacana Budaya 2 Handbook of life 2010 210 skills development: Materi Penunjang Kecerdasan Sosial dan Emosional Maasiswa (Penulis naskah dan editor) 3 Sain dan 2009 250 Pengajarannya, Kumpulan Pidato
166
Penerbit Asah, Asih, Asuh
LPM UM
Penerbit UM
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
4
5
6
7
8 9
10 11 12
Pengukuhan Guru Besar UM (Editor) Pendalaman Materi (Materi Pelatihan TEQIP) Petunjuk Pembuatan Media Pembelajaan Bahasa Indonesia (Materi Pelatihan TEQIP) Peneltian Tindakan Kelas (Materi Pelatihan TEQIP) Dimensi Teoretis dan Metodologis Belajar Bahasa Asing: Landasan Teori Pembelajaran BIPA Karya Tulis Ilmiah (KTI) Memahami Tindakan Pembelajaran Menulis Makalah dan Artikel ANALISIS WACANA BUDAYA LELAKON: GEGURITAN
2010
70
UM Press
2010
40
UM Press
2010
40
UM Press
2008
120
Cakrawala Indonesia
2011
150
2011
90
PT Refika Aditama PT Refika Aditama
2012
90
2015
90
2016
128
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
PT Refika Aditama UM PRESS CAKRAWALA INDONESIA
167
URUBING RASA URIPING BASA
F. Pemakalah Seminar Ilmian (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir No. Nama Pertemuan Judul Artikel Ilmiah Waktu Ilmiah/Seminar dan Tempat 1 Pelatihan Guru Model-model 2008 Sekolah Dasar di Pembelajaran Inovatif Kota Probolinggo 2 Lokakarya Komisi D Pengembangan 2008 DPRD Kota Malang Kompetensi Guru Kota Malang 3 Sosialisasi di Sertifikasi Guru 2008 Kabupaten Blitar 4 Sosialisasi di Sertifikasi Guru 2008 Kabupaten Tulungagung 5 Lokakarya Guru Pengembangan Alat 2008 SMA Kertanegara Evaluasi Pembelajaran Malang Berbasis KTSP 6 Lokakarya Guru Pengembangan Strategi 2008 SMA Shalahudin Pembelajaran dan Malang Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi 7 Pelatihan dosenPelatihan In 2009 dosen PGMI Ar Pedagogical and Raniry Banda Aceh Evaluation 168
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
8
9
10
11
12
13
14
15
Pelatihan Dosen UNIKA Widya Mandala Surabaya Seminar dan Lokakarya di SMA Kertanegara Malang Pembekalan Dosen Pembimbing KKN UM Diklat Kompetensi Guru SMP Bidang UAN Kabupaten Malang Diklat Penulisan Proposal PTK untuk Guru Tingkat Jatim Lokakarya penulisan PTK bagi guru se-Kab. Banyuwangi Seminar dan Lokakarya guru seMalang Raya
Seminar dan Lokakarya guru Kabupaten Blitar
Pengembangan Potensi Diri dan Bimbingan Karir Pengembangan Tenaga Pendidik bagi Guru SMA Kertanegara Malang Teknik dan Keadminstrasian Pembimbingan KKN Penelitian Tindakan Kelas
2009
Model Pembelajaran dan Penulisan Proposal PTK Pengembangan Profesi Guru Melalui PTK
2010
Tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terhadap Sistem Penilaian Pembelajaran Pembelajaran Berbasis Masalah Sebagai Inovasi Strategi untuk Sukses Ujian Nasional
2009
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
2010
2010
2010
2010
2009
169
16
17
18
19
20
21
22
23
170
Seminar dan Lokakarya guru Kota Blitar Seminar dan Lokakarya guru di Kota Jember
Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Bojonegoro Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Jombang Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Kediri Lokakarya penulisan PTK bagi guru se-Kab. Lamongan Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Madiun Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Mojokerto
Pengembangan Sistem Penilaian Pembelajaran
2010
Menulis Makalah dan Artikel untuk Meningkatkan Karya Pengembangan Profesi Guru Pengembangan Instrumen Penilaian Pembelajaran
2010
Mengembangkan PTK
2009
Pengembangan Indikator dan Penyusunan Silabus Pengembangan Profesi Guru Melalui PTK
2009
Pengembangan Instrumen Penilaian Pembelajaran Mengembangkan PTK
2010
2010
2010
2009
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
24
Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Ngawi
Pembelajaran Inovatif Tuntutan Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia
2009
25
Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Pamekasan
2009
26
Seminar dan Lokakarya guru seKabupaten Pasuruan
27
Lokakarya penulisan PTK bagi guru se-Kab. Probolinggo Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Situbondo Seminar dan Lokakarya guru seKabupaten Sumenep Seminar dan Lokakarya guru di Kabupaten Tuban
Inovasi Pembelajaran Melalui Optimalisasi Potensi Diri, Pemberdayaan Lingkungan, dan Dimensi Berpikir dalam Belajar Tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terhadap Sistem Penilaian Pembelajaran Pengembangan Profesi Guru Melalui PTK Pengembangan Instrumen Penilaian Pembelajaran
2010
Pengembangan Bahan Ajar
2009
Menulis Makalah dan Artikel untuk Meningkatkan Karya
2010
28
29
30
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
2009
2010
171
Pengembangan Profesi Guru 31
32 33
34
35
Orasi Ilmiah dalam Rangka Wisuda di ISC Timor Leste Seminar Nasional di ISC Timor Leste Seminar Nasional di ISC Timor Leste
Seminar Internasional di UNISMA Seminar Nasional di UM
36
Seminar Internasional di UM
37
Seminar Internasional di LSAC UM
172
Pengembangan Budaya Sekolah: Menuju Pendidikan Berkualitas Peningkatan Profesionalisme Guru PENTINGNYA PUBLIKASI ILMIAH DALAM PENGUATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN ISC DILI TIMOR LESTE PEMAHAMAN BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BIPA PEMBELAJARAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL DENGAN TEKNIK ONSERVASI LINGKUNGAN PENDEKATAN BUDAYA DALAM PEMAHAMAN PERILAKU BUDAYA ETNIK THE CULTURAL PERCEPTION OF USING ETHNIC IN VOCABULARY OF
2011
2011 2015
2015
2015
2015
2016
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
BANYUWANGI FOLK SONGS 38
Seminar Internasional UNY
39
Seminar Nasional di Unlam Banjar
LEARNING INDONESIAN FOR FOREIGNER BASED ON INDONESIAN CULTURE PENULISAN ARTIKEL ILMIAH UNTUK JURNAL TERAKREDITASI
Representasi Budaya dalam Penyajian Tutur
2016
2016
173