1
BENDERA KHILAFAH Representasi Budaya Visual dalam Perubahan Global* Oleh: Deni Junaedi
P
erubahan global di bawah kekuatan Islam telah diprediksi para pengamat sejak belasan tahun lalu. Penelitian Mapping Global Future, misalnya, menyatakan bahwa kebangkitan ulang Khilafah atau A New Calipate merupakan satu di antara empat kemungkinan yang bakal terjadi pada tahun 2020; Khilafah adalah negara Islam yang kekuasaanya menyatukan seluruh dunia. Kajian yang digarap National Intellegence Council (NIC) (2004: 16) dari Amerika Serikat itu berdasarkan diskusi terhadap berbagai ahli pemerintahan maupun nonpemerintahan di lima benua. Demikian pula, Samuel P. Huntington (2005: 53-86; 2010: passim) menyatakan bahwa Islam adalah salah satu peradaban besar yang berpotensi bangkit dan mesti diwaspadai Barat. Pandangan dosen Harvard University dalam jurnal Foreign Affair tahun 1993 dan dielaborasi dalam buku The Clash of Civilization itu sekaligus menepis kesimpulan Francis Fukuyama (2005: 1-2) dalam The End of History? yang tergesa-gesa menyatakan bahwa setelah Barat menaklukkan rival ideologisnya dalam Perang Dingin, dunia menuju kemenangan pamungkas demokrasi liberal. Kini, sejak awal 2011, perubahan global atas dunia Islam mulai menampakkan diri pada revolusi Arab Spring khususnya dalam kasus Suriah. Berbeda dengan revolusi di Tunisia, Mesir, Libia, maupun Yaman yang dapat dikendalikan Barat dengan penggunaan sistem demokrasi dan nasionalisme, revolusi di Suriah menjadi revolusi Islam. Negeri yang oleh banyak hadis dikabarkan akan menjadi pusat kejayaan Islam itu (Al-Adnani, 2007: 108-135) menginginkan penegakan Khilafah meskipun rezim Bashar Assad yang didukung Amerika, Rusia, Cina, dan Inggris dengan kepentingannya masing-masing terus menteror rakyat (Abdurrahman, 2013: 28). Bahkan, pada awal Desember 2012 para Mujahidin Suriah yang semakin menguasai medan bertekat menegakkan Khilafah secepatnya dan mendukung konsep pemerintahan yang disusun Hizbut Tahrir (Mujiyanto, 2013: 4). Sementara itu, Barat pun bergejolak, krisis ekonomi terjadi di mana-mana. Amerika Serikat sebagi juragan kapitalisme menghadapi gerakan Occupy Wall Street pada 2011. Hal seperti itu telah lama disadari para pengamat, salah satunya oleh Emmanuel Todd (2002: 242)
dari Perancis yang menyatakan, “Amerika sangat lemah baik secara ekonomi, militer, dan bahkan ideologi.” A. Liwa dan Rayah dalam Perubahan Global Dalam revolusi Islam di Suriah, liwa dan rayah tampak dikibar-kibarkan. Liwa adalah bendera putih dengan kaligrafi Arab berwarna hitam yang berlafazkan kalimat sahadat laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah (tiada Tuhan selain Allah, Muhammad rasul Allah); sedangkan rayah berwarna hitam dengan kalimat sahadat berwarna putih. Gambar 1. Liwa dan rayah dalam revolusi Suriah (Sumber: Video Hizb utTahrir Australia) Gambar 2. Rayah dibawa mujahidin Suriah (Sumber: Video Hizb utTahrir Australia)
Sebelum revolusi Islam di Suriah, liwa dan terutama rayah telah digunakan berbagai pergerakan Islam, seperti al-Qoida di Timur Tengah maupun Asia, Harakah ash-Shabab alMujahidin di Somalia, pejuang Muslim Chechnya, Majelis Mujahidin Indonesia, maupun Forum Umat Islam di Indonesia. Di antara pengguna liwa dan rayah, organisasi yang mengibarkannya secara masif di berbagai kota dunia adalah Hizbut Tahrir (HT). Kelompok yang bermula dari Yerusalem Palestina ini didirikan oleh Taqiyuddin anNabhani tahun 1953 (Esposito, 2001: 125). Selanjutnya, HT mampu menjangkau ke lebih dari 70 negara (Muhsin, 2007: 123), antara lain: Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Australia, Denmark, Palestina, Uni Emirat Arab, Libanon, Yaman, Maroko, Tunisia, Yordania, Irak, Libya, Suriah, Azerbaijan, Uzbekistan, Pakistan, Turki,
_____________________________ * Makalah ini disampaikan dalam seminar “Budaya Visual dan Perubahan Global” yang diselenggarakan oleh KMI ISI Yogyakarta di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta tanggal 11 Maret 2013; makalah diadaptasi dari tesis “Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)” yang telah diuji dihadapan Dewan Penguji Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM Yogyakarta pada tanggal 6 Juni 2012.
2 Malaysia, maupun Indonesia (Amhar, 2010: 911). Secara harfiah, Hizbut Tahrir bermakna „partai pembebasan‟. Dalam bahasa Arab, hizb berarti „partai‟ dan at-tahrir berarti „pembebasan‟. HT dideklarasikan sebagai partai politik yang berlandaskan ideologi Islam (Esposito, 2001: 125-126). Tujuannya adalah untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui penegakan Khilafah atau Negara Islam yang menyatukan seluruh dunia (Hizbut Tahrir, 2009: 3). Kendati bertujuan mendirikan negara, HT melarang penggunaan senjata atau perlawanan fisik dalam perjuangannya (Hizbut Tahrir, 2009: 51; Redaksi al-Wa‟ie, 2011: 20). Parpol yang tidak terlibat di parlemen itu sampai ke Indonesia pada tahun 1982. HT di wilayah Indonesia disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi yang resmi terdaftar di Depdagri Ditjen Kesatuan Bangsa ini (Muhsin, 2007: 110) pertama kali diterima di kota Bogor dan kini tersebar luas di kota-kota berbagai propinsi. Sebagaimana di kota lain, sebagai bagian dari pergerakan global, HTI di Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY) juga mengibarkan liwa dan rayah. Tulisan ini merupakan upaya pemahaman (verstehen) terhadap liwa dan rayah di HTI DIY. Artefak itu dipandang sebagai representasi budaya visual yang tengah menggejala dalam perubahan global; representasi merupakan materialitas tertentu yang dikonstruksi dan ditampilkan secara sosial (Barker, 2004: 9). Gambar 3. Liwa dan rayah dalam aksi HTI DIY (Foto: Deni Juanedi, 2011)
Secara umum, studi tentang bendera disebut veksillologi (vexillology). Bidang ini merupakan bagian heraldri (heraldry), yaitu studi tentang lambang pasukan atau pemerintahan (coat of arms) (Slater, 2004: 28). Dalam veksillologi, warna dasar bendera disebut ground, sedangkan konfigurasi gambar atau tulisan adalah charge (Fault, 2007: 1; Roberts, 2008: 7; Smith, 1984: 348-351). B. Liwa dan Rayah dalam Lintasan Sejarah Untuk memahami liwa dan rayah dalam konteks waktu, sebelum membahas bendera tersebut dalam konteks ruang budaya di HTI DIY, berikut ini dibahas secara sekilas tentang sejarah bendera tersebut.
Setelah Negara Islam terbentuk di Madinah pada tahun 622, Nabi Muhammad saw menggunakan liwa (bendera) dan rayah (panji). Ibnu Abas menyatakan, “Rayah Rasulullah saw berwarna hitam, dan liwa-nya berwarna putih.” Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Buraidah, maupun Rasyid bin Saad (Al-Hujaili, 2002: 44-50). Charge liwa yang digunakan Nabi Muhammad saw berupa kalimat sahadat. Hal ini terekam dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, “Liwa Nabi saw tertulis laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah.” Mahmud Abbas memperkirakan bahan yang digunakan untuk menulis adalah arang hitam atau jelaga yang dicampur dengan getah pohon (Al-Hujaili, 2002: 65-67). Umumnya, liwa dan rayah pada zaman Nabi Muhammad saw digunakan dalam peperangan. Liwa berada di dekat pemimpin tertinggi atau wakilnya, sedangakan rayah digunakan untuk komandan bagian. Dalam bahasa militer modern, Abdul Qadim Zallum (2002: 191) menyatakan, liwa untuk menandakan komandan resimen, adapun rayah dibawa komandan batalion. Dengan demikian, pada sebuah peperangan hanya terdapat sebuah liwa dan dimungkinkan ada beberapa rayah (Al-Hujaili, 2002: 32-36). Setelah Nabi Muhammad saw wafat pada tahun 632, pemerintahan Islam diteruskan sahabatnya. Periode Khulafaur Rasyidin ini tetap menjaga penggunaan panji hitam. Khalid bin Walid, yang diangkat Abu Bakar sebagai panglima perang di Damaskus, membawa rayah. Ia juga mengibarkannya ketika memerangi bani Hanifah dan nabi palsu Musailamah. Demikian juga, saat perang Jamal, Ali membawa panji berwarna hitam (Al-Hujaili, 2001: 121-123; Khalid, 2006: 351). Setelah masa Khulafaur Rasyidin, dari Bani Umawiyah yang berkuasa sejak 661 hingga Bani Usmaniyah yang runtuh tanggal 3 Maret 1924 karena Musthafa Kamal yang disokong Inggris menggulingkan Khilafah Islam (AlUsairy, 2003: passim), bendera Daulah Islam mengalami berbagai perubahan. Akan tetapi, charge sahadat maupun ground putih dan hitam seringkali digunakan. Gambar berikut adalah beberapa contohnya.
Gambar 4. Warna hitam dengan sahadat pada Bendera Khilafah Usmaniyah tahun 1682 (Siauw, 2011: 133)
3
Gambar 5. Sahadat pada bendera pemerintahan Islam di Sudan yang ditemukan tentara Inggris tahun 1885 (Crampton, 1989: 21) Gambar 6. Sahadat di bendera pasukan Aceh saat melawan Belanda (Alfian, 1997, 172)
Gambar 7. Bendera Kesultanan Cirebon, seperti kombinasi warna liwa (Suryanegara, 2009, 149) Gambar 8. Bendera Kesultanan Cirebon, seperti kombinasi warna rayah (Lin, 2007, 92)
Gambar 9. Bendera hitam prajurit Baghdad, dilukis al-Wasithi tahun 1237 (Nicholson, 2005, 122)
Setelah keruntuhan Khilafah, tipe bendera Barat mempengaruhi bendera negara bangsa (nation state) di negeri Muslim. Secara visual pengaruh itu terdapat pada komposisi bicolor, tricolor, atau tribar. Bicolor adalah pola bendera dua warna baik terkomposisi secara vertikal maupun horisontal. Tricolor terdiri dari tiga warna yang berderet vertikal. Tribar terkomposisi dari tiga warna yang berjajar secara horisontal. Namun demikian, pencantuman sahadat pada bendera organisasi Islam bukanlah hal aneh, seperti tampak pada bendera Muhammadiyah. Bahkan, di tengah masyarakat Muslim mudah ditemui kain penutup keranda dengan tulisan sahadat; ini mengingatkan pada kebiasaan menyelubungi peti mati dengan bendera. Gambar 12. Sahadat pada bendera Muhammadiyah (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Gambar 13. Sahadat pada selubung keranda (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Selain itu, setelah keruntuhan Khilafah, liwa dan rayah tampak dipakai beberapa gerakan Islam, amsalnya, pejuang Muslim Chechnya (Subiakto, 2010: 213). Seperti telah disinggung, HT merupakan pengguna liwa dan rayah yang paling aktif mengibarkannya.
Gambar 10. Warna hitam pada bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung dari Kesultanan Yogyakarta, salah satu charge yang tertera adalah kalimat sahadat (Soeratno, 2002, 131) Gambar 14. Rayah di pejuang Muslim Chechnya (Subiakto, 2010, 213)
Gambar 11. Podium berselubung bendera dengan kalimat sahadat di Masjid Kwitang Jakarta, 24 April 1943 (Suryanegara, 2010, 57)
C. Bentuk Liwa dan Rayah di HTI DIY Seluruh khat atau jenis huruf yang dipakai untuk liwa dan rayah di HTI DIY adalah sulus, tetapi komposisinya tampak beragam. Komposisi paling banyak berbentuk persegi panjang. Selain itu terdapat juga sebuah bendera dengan komposisi sahadat berbentuk lingkaran.
4 Gambar 15. Liwa, berwana putih dengan kalimat sahadat (Foto: Deni Junaedi, 2011) Gambar 16. Rayah, berwarna hitam dengan kalimat sahadat (Foto: Deni Junaedi, 2011) Gambar 17. Sebuah rayah dengan komposisi sahadat berbentuk lingkaran (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Pada liwa dan rayah, HTI DIY tidak mencantumkan charge apapun selain sahadat; ini berbeda dengan organisasi Islam lain yang kadang mencantumkan gambar pedang atau nama organisasi. Ketiadaan gambar pedang bukan penanda bahwa HT tidak menggunakan senjata dalam perjuangannya, tetapi semata mencontoh bendera Rasulullah saw yang juga tanpa gambar pedang D. Konsep Liwa dan Rayah di HTI DIY Landasan konseptual penggunaan liwa dan rayah di HTI DIY sama dengan pemikiran HT di seluruh dunia. Gagasan itu tertuang di berbagai buku resmi (mutabanat) yang mesti dikaji secara rutin. Dengan demikian, sebagaimana disampaikan Juru Bicara HTI, alasan penggunaan liwa dan rayah di HTI DIY, HTI, atau HT di wilayah manapun adalah sama (wawancara dengan Ismail Yusanto, 31/10/2010). Konsep tersebut dapat diringkas sebagai berikut. Landasan pemikiran HT dibangun dari dasar, keimanan. Keimanan diperoleh berdasarkan akal (dalil aqli) maupun kutipan alQuran dan hadis mutawatir (dalil naqli). Keimanan berdasarkan akal meliputi keimanan pada keberadaan Pencipta, kemukjizatan alQuran, dan kenabian Muhammad saw; keimanan berdasarkan kutipan (naqli) diterapkan pada hal gaib lainnya. (An-Nabhani, 2001: 4-13). Cara untuk membuktikan keberadaan Pencipta adalah dengan memperhatikan alam, kehidupan, dan manusia. Ketiga hal itu memiliki sifat terbatas dan tergantung dengan yang lain. Sesuatu yang bersifat terbatas dan tergantung dengan yang lain membutuhkan hal yang tidak terbatas dan tidak tergantung
dengan yang lain, yaitu Pencipta (al-Khaliq). Dengan demikian, keberadaan Pencipta adalah keniscayaan (wajibul wujud). Karena tidak terbatas, Pencipta tidak diciptakan oleh pencipta lain atau menciptakan dirinya sendiri, tapi bersifat azali atau tidak berawal dan tidak berakhir. Selanjutnya, berdasarkan naluri beragama (yang perwujudannya dapat berupa pengagungan atas sesuatu), manusia akan berusaha beribadah kepada Pencipta. Untuk melakukannya, manusia memerlukan pedoman yang berasal dari Pencipta. Seperti keterangan ulama lain, anNabhani menyatakan bahwa al-Quran merupakan pedoman yang berasal dari Pencipta. Hal ini dibuktikan dengan ayat yang berisi tantangan bagi orang yang meragukannya. Para peragu diminta untuk membuat surat yang semisal dengan al-Quran. Tantangan semacam itu, antara lain, terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 23.
ٍوَإِن كُنتُمْ فِي رَ ْيبٍ ّمِّمَا نَّزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُىاْ ِبسُى َرة َ ّمِن ّمِثْلِهِ وَادْعُىاْ شُهَدَاءكُم ّمِن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِي ن “Dan jika kamu dalam keraguan tentang alQuran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat yang semisal dengannya, dan ajaklah penolongpenolongmu selain Allah, jika kamu orangorang yang benar.”
Hingga kini tantangan tersebut tidak terjawab. Ayat selanjutnya, al-Baqarah 24, mempertegas.
ُفَإِن لَمْ تَفْعَلُىاْ وَلَن تَفْعَلُىاْ فَاتَقُىاْ النَارَ الَتِي وَقُىدُهَا النَاس َوَالْحِجَا َرةُ أُعِ َدتْ لِلْكَافِرِين “Maka jika kamu tidak dapat membuat, dan pasti kamu tidak akan dapat membuat, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya berupa manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”
Dengan demikian, HT menegaskan, kemukjizatan bahwa al-Quran berasal dari Pencipta tidak terbantahkan. Muhammad saw yang membawa al-Quran, sebagai mukjizatnya, mengindikasikan kedudukannya sebagai nabi. Selanjutnya, keimanan tersebut diimplementasikan dalam segala perilaku. Peraturan Islam, menurut HT, mengatur tiga aspek, yaitu hubungan manusia dengan Pencipta, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Aspek pertama meliputi perkara akidah dan ibadah; aspek kedua terkait dengan akhlak, makanan, dan pakaian; aspek terakhir termasuk dalam pengaturan negara (AnNabhani, 2001: 79). Negara dalam sistem Islam berbentuk Khilafah. Pemerintahan yang dipimpin seorang Khalifah ini menyatukan seluruh dunia berdasarkan syariah Islam.
5 Berdasarkan telaah hadis, HT menyimpulkan bahwa negara Khilafah harus menggunakan liwa (bedera) dan rayah (panji). Bahkan, HT mencantumkan penggunaan liwa dan rayah dalam Rancangan Undang-Undang Dasar (Dustur) Negara Islam (An-Nabhani, 2001: 102). Itulah yang mendasari penyebutan Bendera Khilafah pada judul makakah ini. HT menegaskan bahwa liwa dan rayah bukan benderanya, bukan pula bendera organisasi tertentu, tetapi bendera Islam. E. Perubahan Global dan Panji Hitam dalam Hadis Masa Depan Perubahan global tidak hanya diprediksi oleh para peneliti, tetapi telah dikabarkan dalam hadis berabad lalu. Salah satunya adalah hadis yang disampaikan dalam Musnad Ahmad tentang Khilafah di bawah metode kenabian (Khilafah 'ala minhajin nubuwwah) yang bakal kembali tertegakkan (Junaedi, 2010: 142). Imam Mahdi yang oleh banyak hadis dikabarkan akan memimpin dunia juga merupakan pengkabaran perubahan global. Imam Mahdi adalah pemimpin yang mendapat petunjuk dari Allah (Armansyah, 2008: 33); dengan demikian akan menerapkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan syariat Islam, yaitu Khilafah. Berbagai tanda tentang kedatangan Imam Mahdi disebutkan dalam hadis. Salah satunya adalah kemunculan bintang berekor. Dalam kitab al-Fitan disebutkan, ”Sebelum kedatangan Imam Mahdi akan muncul bintang berekor dari arah timur yang akan menerangi penduduk bumi, dan cahayanya bagaikan bulan purnama” (Bolushi, 2008: 102). Sementara itu, pada bulan November 2013 mendatang masyarakat dunia dapat menyaksikan komet ISON yang seterang purnama (www.nasa.gov; www.kompas.com, 8/3/2013). Tanda lain perihal kedatangan Imam Mahdi adalah keberadaan panji hitam, rayah. Di antara banyak hadis tentang hal itu, salah satunya disampaikan Kaab al-Ahbar, ”... Pasukan Syam (Palestina, Suriah, Libanon) akan menawan beberapa suku Mesir. Setelah itu akan muncul laki-laki dari arah timur dengan membawa panji-panji hitam kecil. Ia bergerak ke arah penguasa Syam. Dialah yang akan memberikan ketaatan pada al-Mahdi” (alAdnani, 2008: 107). Tentu saja tidak semua orang, misalnya orang di luar Islam, percaya pada pengkabaran hadis; ini sebagaimana orang Islam yang tidak diperbolehkan membangun kepercayaan berdasarkan ramalan suku Maya bahwa tahun 2012 menandai awal kelahiran zaman baru (Joseph, 2007: 19). Akan tetapi, mengacuhkan keselarasan antara prediksi ilmiah, fakta sosial
maupun politik, fenomena alam, dengan pengkabaran hadis adalah tergesa-gesa. Gambar 18. Muktamar Khilafah 2013, akan penuh liwa dan rayah (Sumber: www.alkhilafah.org)
Terlepas dari nubuwat hadis akhir zaman tentang pasukan berpanji hitam, dari tanggal 5 Mei hingga 2 Juni 2013 liwa dan rayah akan membanjiri kota-kota di Indonesia. Saat itu HTI tengah menggelar Muktamar Khilafah yang bermula dari Yogyakarta dan memuncak di Jakarta. Pada acara itu, liwa dan rayah sebagai representasi budaya visual yang mengiringi perubahan global dapat diamati secara langsung. [] Kepustakaan Abdurrahman, Hafidz. ”Revolusi Syam, Revolusi Islam: Peperangan antara Keimanan dan Kekufuran”, dalam Media Umat. Jakarta, Edisi 100, 8 – 21 Maret 2013 Al-Adnani, Abu Fatiah. Misteri Negeri-Negeri Akhir Zaman. Surakarta: Granada Mediatama, 2007. __________. Misteri Pasukan Panji Hitam Ashabu Raayati Suud. Surakarta: Granada, 2008. Alfian, Teuku Ibrahim, ed., et al. Perang Kolonial Belanda di Aceh The Dutch Colonial War in Aceh. Banda Aceh: Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh, edisi ke-3, 1997. Al-Hujaili, Abdullah bin Muhammad bi Sa‟d. Al-‘Alamu Nabawiy as-Syarif wa Tatbiqatihi al-Qadimatu wa al-Ma’ashiratu. Madinah al-Munawarah: Maktabat al-„Ulum wa al-Khikam, 2002. Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Terj. Samson Rahman. Jakarta: Akbar Media, cetakan ke-8, 2010. Amhar, Fahmi. “Peta Global Perjuangan Menegakkan Khilafah”, dalam majalah AlWa’ie. No. 119, Tahun X,1-31 Juli 2010. An-Nabhani, Taqiyuddin. Nizham al-Islam. Tanpa kota: Hizbut Tahrir, 2001. Armansyah, Ramalan Imam Mahdi Akankah Ia Datang pada 2015 Sebuah Jawaban untuk Jaber Bolushi. Jakarta: Serambi, 2008. Barker, Chris. Cultural Studies Teori dan Praktik , terj. Nurhadi, dari Cultural Studies, Theory and Practice. Yogyakarta: Kreasi Wacana, edisi ke-6, 2009. Bolushi, Jaber. Oktober 2015 Imam Mahdi Akan Datang. Jakarta: Papyrus Publishing, 2008. Crampton, William. Flag. London: A Dorling Kindersley, 1989. Esposito, John L., ed. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, volume 2. New York: Oxford University Press, 2001. Fault, Michael, ed. “50 Years of Vexillology”, dalam jurnal Flagmaster the Journal of the Flag Institute. York, issue 124, Agustus 2007. Fukuyama, Francis. “Akhir Sejarah”, dalam Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Afif dan Nur Khalish. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, cetakan ke-3, 2009. Huntington, Samuel P. “Benturan Peradaban?”, dalam Amerika dan Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. __________. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Terj. M. Sadat Ismail, dari The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. Yogyakarta: Qalam, cetakan ke-11, 2010. Joseph, Lawrence E. Kiamat 2012 Investigasi Akhir Zaman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007. Junaedi, Deni. Freemasonry Pelatuk Pluralisme. Yogyakarta: Bendera Hitam, 2010. Mujiyanto, “2013: Tahun Berdirinya Khilafah?”, dalam Media Umat. Jakarta, Edisi 96, 4 – 17 Januari 2013. National Intelligence Council. Mapping the Global Future. Pennsylvania: Government Printing Office, 2004. Nicholson, Helen dan David Nicolle. Gods Warriors: Crusaders. Saracens and the Battle for Jerusalem. New York: Osprey Publishing, 2005. Redaksi Al-Wa‟ie, “Bolehkah Menegakkan Daulah Islam dengan Kekerasan?”, dalam majalah Al-Wa’ie. Jakarta: HTI, No.110 ,Tahun X, 1-31 Oktober 2009. Roberts, David. Complete Flags of the World. London, New York, Melbourne, Munich, dan Delhi: DK, cetakan ke-7, 2008. Siauw, Felix Y. Muhammad Al-Fatih 1453. Jakarta: Khilafah Press, 2011. Slater, Stephen. The History and Meaning of Heraldry. London: Southwater, 2004. Smith, Whitney. The Encyclopedia Americana International Edition, Volume 11. Connecticut: Grolier Incorporated, 1984. Soeratno, Chamamah, ed., et. al. Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage. Jakarta: Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Association, 2002. Subiakto, Ari. Perang Chechnya. Yogyakarta: Interprebook, 2010. Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah. Bandung: Salamadani, 2009, cetakan ke-2, 2009. __________. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani, 2010. Todd, Emmanuel. Menjelang Keruntuhan Amerika. Surabaya: Bone Pustaka, 2002. Zallum, Abdul Qadim. Sistem Pemerintahan Islam, terj. M. Maghfur W. Bangil: AlIzzah, cetakan ke-3, 2002. Khalid, Khalid Muh. Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, terj. Mahyuddun Syaf. Bandung: Diponegoro, cetakan ke-20, 2006. Lin, Lee Chor. Batik Creating an Identity. Singapura: National Museum of Singapore, 2007. Muhsin, Illya. “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indoensia di DIY”. Tesis Program Studi Sosiologi Sekolah Pascasarjana UGM, 2007. www.al-khilafah.org, www.kompas.com, www.nasa.gov