I.
Pendahuluan
Gambar I : Peta Schengen1
Schengen merujuk pada nama sebuah kota kecil yang terletak di bagian selatan Luksemburg dekat dengan perbatasan antara Luksemburg, Jerman dan Prancis. Di kota ini, lima negara yang terdiri dari Belgia, Belanda, Luksemburg, Prancis dan Jerman Barat menandatangani sebuah dokumen yang berisi kesepakatan untuk menghapuskan mekanisme pengecekan di common border secara bertahap. Dokumen ini kemudian dikenal dengan Schengen Agreement.
1
European Commision, Schengen Area as of 1/7/2013, ( http://ec.europa.eu/dgs/homeaffairs/what-we-do/policies/borders-and-visas/schengen/index_en.htm) diunduh pada 1 Januari 2015
2
Perjanjian ini ditandatangani di atas kapal Princess Marie-Astrid yang berlayar di sungai Moselle pada 14 Juni 1985.2 Pada 19 Juni 1990, Konvensi Schengen mencapai konsensus dan diratifikasi oleh kelima negara anggota. Tercapainya Schengen Implementation Convention (SIC) ikut menarik negara Eropa lain untuk bergabung dalam rezim ini. Hingga saat ini Schengen telah memiliki 26 negara anggota. Schengen sendiri didirikan di luar dari institusi European Community. Ini menggambarkan bagaimana penghapusan kontrol di perbatasan bukan keputusan yang mudah untuk disepakati. Bahkan setelah SIC terbentuk, negara anggota yang telah meratifikasi masih memerlukan waktu untuk melakukan penyesuaian terhadap isi konvensi tersebut. Barulah pada 26 Maret 1995, provisi perjanjian Schengen sepenuhnya berhasil dilaksanakan dan sekaligus menjadi penanda terbentuknya wilayah teritori Schengen. Teritori Schengen menjamin kebebasan bagi individu untuk berpindah dari satu kedaulatan negara Schengen ke wilayah kedaulatan negara Schengen yang lain tanpa melalui pengecekan di masing-masing frontier. Pengecekan hanya berlaku terhadap border eksternal. Sesuai dengan SIC TITLE II Article 2 (1), Internal borders may be crossed at any point without any checks on person being carried out. Mekanisme cek dan kontrol sepenuhnya dipindahkan ke border yang dilewati oleh non-Schengen (third parties) untuk masuk ke wilayah Schengen. Perjanjian ini bertujuan untuk menciptakan tatanan yang baru mengenai mobilitas. Di era sebelum Schengen, negara-negara Eropa menerapkan sistem kontrol lintas batas yang ketat di masing-masing frontier. Namun sejak implementasi perjanjian Schengen, kontrol terhadap siapa atau apa yang melewati perbatasan negara anggota dihilangkan. Penghilangan kontrol di masing-masing perbatasan negara anggota membawa implikasi dengan dibentuknya kategori baru perbatasan di kawasan Schengen yaitu internal border dan external border sebagai penanda adanya 2
European Union Law and Publications, The Schengen Area and Cooperations http://eurlex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=URISERV%3Al33020 diunduh pada 20 Oktober 2015
3
perbedaan regulasi terkait dua kategori tersebut. Internal border as the common land borders of the contracting parties (schengen states), their airports for internal flights and their ports for regular ferry connections exclusively from and to other ports within the territories of the Contracting Parties (schengen states) and no calling at any ports outside these territories. External borders were classified as Schengen states land and sea borders.3 Konvensi Schengen menetapkan tanggung jawab dan regulasi perpindahan melewati perbatasan tidak lagi menjadi wewenang negara bangsa semata namun juga melibatkan pertimbangan di level institusi regional. Dalam Konvensi Schengen Title VII Article 131-133 dituliskan mengenai Executive Committee sebagai badan yang menjamin dan mengawasi implementasi setiap butir dalam SIC akan dilaksanakan dengan benar. Setiap negara anggota akan mengirimkan perwakilannya dalam Executive Committee untuk menempati satu kursi sebagai seorang Menteri yang bertanggungjawab terhadap praktik Schengen. Isu yang berkaitan dengan perbatasan dibicarakan di institusi Schengen. Negara anggota tidak diperbolehkan membuat kebijakan tanpa meminta pertimbangan dari contracting parties yang lain. Setiap anggota Schengen juga tidak diperbolehkan membuat perjanjian mandiri dengan third parties terkait penghilangan kontrol di common border yang berbatasan langsung atau pun tidak langsung. Perjanjian Schengen dianggap sebagai salah satu pencapaian tertinggi dalam kesepakatan antar negara di kawasan Eropa dimana perjanjian ini berimplikasi terhadap hilangnya sistem kontrol perbatasan yang sudah established. Sebelum perjanjian tersebut diratifikasi, border dipahami sebagai sebuah garis yang membatasi wilayah kedaulatan negara yang satu dan lainnya dimana border menjadi penanda awal sekaligus akhir dari otoritas di ruang sosial politik suatu negara. Border memiliki dimensi fisik dan simbolik yang bersifat tetap , cenderung “sakral” dan tidak lazim berubah. Schengen 3
memberikan
jawaban
berbeda
dengan
keberhasilannya
Schengen Implementation Convention Title I Article 1 tentang definisi dan tujuan konvensi
4
membangun sebuah konsep perbatasan yang baru. Dalam perjanjian tersebut border yang sudah ada dirombak secara konseptual dan diklasifikasikan ke dalam dua bentuk yaitu internal border dan eksternal border. Konsep ini tidak hanya memberikan variasi atas praktek perbatasan dalam hubungan internasional, namun juga mengubah praktek lama yang sudah ada dan menunjukkan bahwa perbatasan tidak sepenuhnya bersifat alami dan tidak bisa dirombak. Pandangan realisme dan neo-realisme yang selama ini melihat institusi negara dan atributnya sebagai entitas yang tidak dapat diganggu-gugat mesti kembali dilihat secara lebih jernih, mengingat bahwa perubahan atribut perbatasan di wilayah Eropa tidak lagi terbatas wacana, namun telah berjalan efektif sejak tahun 1997 di negara yang menjadi anggotanya. Rangkaian pembicaraan high level talks antara Jerman dan Prancis terbukti efektif dalam membawa pewacanaan Schengen keluar Uni Eropa, yang saat itu belum memiliki satu suara terkait pelonggaran kontrol perbatasan di antara mereka. “European Policies have been aimed at networking cities and regions within a theoritically borderless European space (but without violating the formal space of administrative regulation).4 Latar belakang situasi riil di Eropa saat itu dianggap sebagai faktor penting lain timbulnya tantangan terhadap tatanan yang sudah ada serta pendorong munculnya “kreativitas” oleh aktor-aktor di kawasan untuk memecahkan masalah kontemporer. Dalam hal ini, perubahan situasi “riil” di kawasan Eropa diarusutamakan dalam pembicaraan aktor-aktor penting di kawasan untuk kemudian diformulasikan melalui komunikasi antar aktor dalam sebuah kerangka konsep perbatasan. Pembahasan mengenai perubahan konsep perbatasan di Eropa menjadi penting karena hal ini terkait dengan asumsi dasar dalam konsep hubungan internasional akan perbatasan, utamanya dalam mazhab realisme dan turunannya. Perbatasan secara umum dianggap sebagai sebuah kejadian natural dalam hubungan internasional, suatu hasil dari keberadaan negara sebagai sebuah
4
Berezin, Mabel. 2003. Europe Without Border. Baltimore: The John Hopkins University Press
5
organisasi yang memiliki definisi yang rigid terkait sejauh mana kekuasaan mereka berlaku dan hak penuh mereka untuk mengontrol wilayah dalam yang ditarik dari perbatasan. Perubahan praktek perbatasan yang terjadi di Schengen merupakan indikasi positif bahwa border merupakan manifestasi olah pikir masyarakat dan timbul sebagai konsekuensi kebutuhan masyarakat pada waktunya. Sama halnya ketika perbatasan lahir ditengah perlunya membentuk garis batas tegas untuk mengakhiri perang Eropa yang berlangsung terus menerus, perbatasan ala-Schengen juga merupakan konsekuensi logis dari Eropa pasca Perang Dunia II yang mengalami perubahan.
II.
Situasi Riil Penyebab Munculnya Isu Perombakan Perbatasan Pasca Perang Dunia II Kawasan Eropa menghadapi banyak isu setelah berakhirnya Perang
Dunia ke II. Masalah politik, sosial dan utamanya ekonomi melanda wilayah ini. Kehancuran ekonomi karena pembiayaan yang besar terhadap perang dan kerusakan infrastruktur akibat bom dan atileri menjadi konsekuensi logis yang diterima oleh Eropa saat itu.5 Tidak hanya sampai disitu, Pasca PD II mereka juga harus dihadapkan pada situasi persaingan kekuatan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang menyebabkan kawasan Eropa menjadi “battleground” antara dua negara tersebut. Situasi ini membuat Eropa ikut terseret ke dalam babak baru konstelasi politik internasional. Eropa bukan hanya harus menghadapi dampak buruk pasca perang, namun juga bersiap menyambut tatanan baru dalam hubungan internasional. Lahirnya Iron Curtain Iron Curtain6 merupakan garis yang ditarik dari Stettino di Laut Timur
5
Sailus, Christopher, Economic Construction in Europe after WWII: Recovery Programs and Their Effects,
diakses pada 29 Desember 2014 6
Istilah ini pertama kali disebutkan oleh Winston Churchill saat berpidato di Westminster College pada 5 Maret 1946. Secara deskriptif Churcill menyatakan "From Stettin in the Baltic to Trieste in the Adriatic, an iron curtain has descended across the Continent”. Pidato ini kemudian dkenal dengan sebutan Iron Curtain Speech meskipun nama sebenarnya adalah “The Sinews of Peace” Speech. Pidato ini mengubah pandangan Barat terhadap komunisme di Eropa Timur dan dianggap
6