15
m. 3.1.
B A H A N DAN M E T O D E
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2009.
Pengolahan dan analisa citra dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Riau dan uji lapangan (ground check) berlokasi di Kota Dumai. Secara geografis, Kota Dumai terletak di 1°23-1°24'23" BT dan 101°28'13 LU. Wilayah Kota Dumai beriklim tropis dengan curah hujan antara 100-300 cm dan suhu udara 24-33 °C dengan kondisi tanah rawa bergambut.
Kota Dumai
memiliki luas wilayah 1.727.385 Km2 dan merupakan kota terluas nomor dua di Indonesia setelah Manokwari.
Gambar 1. Peta Kota Dumai
16
Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota Dumai menyatakan bahwa Kota Dumai menyimpan potensi yang sangat bagus di sektor pertanian. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS), kota Dumai memiliki 3.595 Ha lahan tanaman pangan dan 624 Ha lahan Hortikultura (sayuran dan Buah). Hampir di seluruh diolah
menjadi
lahan
Kecamatan di
pertanian
Kota Dumai
berpotensi untuk
mengingat tanahnya subur. Untuk melihat
potensi pertanian kota dumai berikut disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 3. Potensi Pertanian Kota Dumai POTENSI PERTANIAN KECAMATAN
No
Tanaman Pangan
Hortikultura
1
Bukit Kapur
1.100
255
2
Dumai Barat
300
270
3
Dumai Timur
50
50
4
Medang Kampai
900
2.900
5
Sungai sembilan
9.975
200
TOTAL
12.325
3675
Sumber: Dinas Pertanian, Perkebunan, kehutanan Kota Dumai (2009)
Dari data-data yang diperoleh maka perlu adanya identifikasi kemampuan lahan yang dilihat dengan men identifikasi lahan kering yang terdapat pada daerah tersebut.
17
3.2.
Bahan dan Alat
3.2.1, Data Primer Proses pengumpulan data primer parameter lahan kering ini dilakukan dengan
cara cek lapangan
kondisi penutupan
lahan yang diperoleh dari
interpretasi Citra Landsat 5 T M dengan path/row 127/59. Hasil dari interpretasi citra ini adalah Peta Penutupan Lahan Tentatif Kota Dumai pada skala 1 : 100.000. Hasil interpretasi citra ini pada dasamya masih merupakan data tentatif sampai dengan data itu di cek kebenarannya di lapangan. Cek lapangan hasil interpretasi citra ini juga dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat akurasi dari proses interpretasi.
3.2.2. Data sekunder Proses pengumpulan data sekunder parameter lahan kering ini dilakukan dengan cara studi pustaka yaitu mencari berbagai informasi dari literatur, peraturan-peraturan pemerintah, d l l . Kajian literatur ini perlu untuk dilakukan karena dalam kenyataannya keberadaan lahan kering tidak hanya terkait dengan aspek biofisik, namun juga berkaitan erat dengan aspek legal, seperti status kawasan, dll. Studi pustaka ini juga penting dilakukan agar kegiatan penyusunan lahan kritis ini tetap mengikuti kaidah-kaidah ilmiah dari disiplin ilmu yang relevan dangan kajian lahan kering ini sepeti ilmu tanah, geomorfologi, geologi, dll. Dalam pengumpulan data sekunder ini juga dikumpulkan peta topografi, peta topografi yang digunakan adalah Peta Topografi Kota Dumai yang didapati dari Badan Perencanaan Kota dumai skala 1 : 50.000, dan peta administrasi yang didapati dari p)emerintah kota Dumai.
18
Tabel 4. Alat yang digunakan dalam penelitian No 1.
Fungsi
Sofware ER Mapper 7.0
Untuk pengolahan dan analisa citra serta pembuatan basis data pemetaan
2.
ArcView versi 3.3
Untuk pelayoutan peta dan operasi spasial
3.
MS Word
Untuk pembuatan Laporan
4.
MS Excell
Untuk
pemberian
data
atribut
dan
penghitungan validasi 5.
Visio
Untuk pembuatan flow chart.
6.
Map Source
Aplikasi GPS upload dan download data dari dan ke GPS
6.
PC Intel(R) Core(TM)2
Untuk pengolahan data
Duo CPU T5450 @ 1.66GHz, R A M 1,99 M B , hardisk 185 GB 7.
GPS {Global
Untuk menentukan titik point di lapangan
Positioning System) Garmin 76 CS 8.
Printer wama
Untuk pencetakan laporan
9.
Flash disk
Untuk menyimpan data
19
3.3.
Jalan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tahap - tahap sesuai dengan gambar
dibawah i n i : Persiapan
1
I.
Peta Topografi Digital Skala 1 : 50.000
Citra Landsat T M
Proses tumpang susun (overlay)
I Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik
-
Penajaman Citra Pemilihan Kanal
Pra Procesing
r -
NDVI TCT
Citra NDVI Citra T C T
Procesing Pengklasifikasian Citra N D V I dan T C T
Pemotongan
Analisis Analisa Data N D V I dan T C T
CitraSebaran Lahan Kering
Uji Lapangan
Peta Lahan Kering Kota Dumai •
Pembahasan dan Pelaporan
Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian
20
3.4.
Metode Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahapan, yaitu
penyediaan dan pengumpulan data baik citra maupun peta referensi. Pengolahan data yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu pemetaan lahan kering, pengolahan citra dan serta uji lapangan. 3.4.1. Pra Pengolahan Citra Manfaat
dari
pra pengolahan
ini adalah
untuk menganalisa
dan
mengurangi kesalahan - kesalahan pada citra. Pra pengolahan citra merupakan analisa yang terdiri dari dua bagian yaitu koreksi geometrik dan koreksi radiometrik yang merupakan koreksi kesalahan yang sering/umum terjadi pada citra. 3.4.1.1. Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik merupakan proses pra pengolahan citra untuk meminimalisir terjadinya gangguan radiometrik. Gangguan ini disebabkan oleh terjadinya penghamburan cahaya karena adanya molekul-molekul air, sensor dan ilumineisi cahaya. Ini menjadi masalah pada citra sehingga perlu dikoreksi agar tidak terjadi bias (pohl, 1998). Koreksi radiometrik ini dimaksudkan untuk mengeliminasi gangguan atmosfer. Termasuk adanya kabut tipis dan menstandarisasi data akibat kondisi atmosfer pada waktu perekaman dan lokasi yang berbeda. Pada koreksi ini, diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan tersebut bukan nol, maka penambah atau offset tersebut dipandang sebagai hasil dari hamburan atmosfer. Koreksi radiometrik diperlukan atas dasar dua dasar alasan, yaitu untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenamya. Koreksi radiometrik citra yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas visual citra berupa pengikisan kembali baris yang kosong karena drop-out baris maupun masalah kesalahan awal pelarikan (scanning start) . Baris atau bagian
21
baris yang bemilai tidak sesuai dengan yang seharusnya dikoreksi dengan mengambil nilai piksel satu baris diatas dan dibawahnya, kemudian dirataratakan. 3.4.1.2. Koreksi Geometrik Koreksi ini dilakukan untuk mengatasi distorsi yang dialami satelit saat pengambilan citra. Distorsi ini diakibatkan oleh variasi letak satelit diatmosfer, letak lintang dan bujur dari sensomya. Koreksi geometrik dilakukan dengan mengunakan peta digital, citra terkoreksi. Koreksi geometrik dimaksudkan untuk menempatkan setiap pixel pada posisi yang sebenamya di permukaan
bumi. Distorsi ini dikoreksi dengan
mengunakan analisis titik kontrol medan Ground Control Point/ GCP , sehinga memerlukan peta yang teliti pada daerah liputan citra dan titik-titik ikat medan dan dapat diidentifikasi pada citra. Koreksi ini mencakup perajukan titik - titik tertentu pada citra ke titiktitik yang sama dengan medan maupun dipeta. Pasangan titik-titik ini kemudian digunakan untuk membangun
fungsi matematis yang menyatakan
hubungan
antara posisi sembarang titik-titik pada citra dengan titik objek yang sama pada peta dan lapangan. Perlu diperhatikan posisi piksel yang dimaksud adalah piksel yang dimaksud adalah pusat piksel. Pada koreksi ini telah dipertimbangkan bahwa perubahan posisi piksel itu juga mencakup pembahan informasi spektralnya. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan interpolasi nilai spektral selama transformasi geometri (yang disebut resampling), sehingga dihasilkan georaetri baru dengan nilai bam.
3.4.2. Pengolahan Citra 3.4.2.1. Peningkatan Kualitas Citra Penajaman citra dilakukan untuk meningkatkan tampilan sehingga dapat diterjermahkan dengan jelas perbedaan satu kenampakkan dengan kenampak lainnya
(Lillesand dan
Kiefer,
1994),
Penajaman
citra dilakukan
untuk
mengetahui kawasan lahan kering secara lebih jelas dan tegas. Dengan demikian
22
maka keraampuan deteksi akan meningkatkan dengan dalam menampilkan sebuah objek/pola citra. 3.4.2.2. Pemilihan KanaVComposit Band R G B Mengkombinasikan band yang ada yang nantinya akan menunjukan kelembapan
tanah,
vegetasi,
penetrasi
awan tipis
dan
sebagainya
untuk
menunjukan sebaran lahan kering.
3.4.2.3.
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Beberapa
studi menunjukkan bahwa indek vegetasi
menunjukkan sebagai parameter
(NDVI) masih
terbaik dalam membedakan
berbagai
klas
vegetasi. Sekitar 123 scene N D V I diturunkan dari data SPOT VEGETASI (SPOT-VG) periode April 1998 sampai Agustus 2001. Untuk meminimalkan gangguan
awan
Local
Maximum
Filter
(LMF)
http://www.act.jst.go.Jp/index.e.html) digunakan terhadap setiap
(JST,
data N D V I
(Darmawan, 2005). Teknik analisis dengan N D V I untuk deteksi perubahan vegetasi banyak digunakan
karena
kesederhanaan prosedur
dan kemudahan
interpretasinya
(Gomez, Kazar,2001 dalam Darmawan, 2005). Bahkan Gomez melakukan teknik pengkom-positan citra N D V I tiga-waktu untuk mempe-roleh citra 8-bit grayscale dan hasilnya mampu menunjukkan perubahan vegetasi dari waktu ke waktu. Indeks vegetasi adalah pengukuran kuantitatif berdasarkan nilai digital dari data penginderaan jauh yang digunakan untuk mengukur biomass atau intensitas vegetasi di permukaan bumi. Salah satu metode perhitungan indeks vegetasi yang umum digunakan adalah N D V I (Normalized Diference
Vegetation
Index). N D V I diperoleh berdasarkan perbandingan antara pantulan sinar merah dan infra merah dekat dari spektrum elektromagnetik. Kedua spektrum ini dipilih karena mempunyai kemampuan lebih dalam menyerap klorfil dan kepadatan vegetasi. Selain itu, pada band sinar merah dan infra merah dekat, vegetasi dan non-vegetasi dapat dibedakan secara jelas. Formula untuk menghitung nilai N D V I adalah : N D V I = NIR - Red NIR + Red
23
Nilai N D V I berkisar antara -1 hingga + 1 . Nilai N D V I yang rendah (negatif) menunjukkan tingkat vegetasi yang rendah seperti awan, air, tanah kosong, bangunan, dan unsur non-vegetasi lainnya. Sedangkan nilai N D V I yang tinggi (positif) menunjukkan tingkat vegetasi hijau yang tinggi. Jadi, nilai N D V I sebanding dengan kuantitas tutupan vegetasinya, yang dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kehijauan Tanaman Kelas
Nilai NDVI
1
< - 0,03
Tingkat Kehijauan/Kondisi Tutupan Lahan Lahan tidak bervegetasi
2
-0,03s/dO,15
Kehijauan sangat rendah
3
0,15 s/d0,25
Kehijauan rendah
4
0,26 s/d 0,35
Kehijauan sedang
5
0,36 s/d 0,61
Kehijauan tinggi
Sumber: S hofiyati, 2005
N D V I adalah nilai N D V I minimum dan umumnya merupakan titik terendah dari kegiatan fotosintesa, sementar maximum N D V I adalah nilai maksimum yang merupakan titik tertinggi aktivitas fotosintesis. Selisih antara maximum dan minimum dapat dihitung yang merupakan amplitude N D V I .
3.4.2.4. Tasseled cap transformation (TCT) Perhitungan
tingkat
kehijauan
dengan
metode
TCT
hanya
bisa
diaplikasikan dengan data satelit Landsat saja. TCT juga untuk menghitung nilai kelembaban permukaan (Wetness). Dalam mengkaji tingkat kekeringan, analisis TCT dibagi menjadi 5 kelas kelembaban lahan seperti disajikan pada tabel 7. Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Kelembaban Permukaan Lahan
1
Nlai Indeks Kelembapan (Nilai T C T ) -30 s/d -295
Kandungan A i r (%) <5
2 3 4
-30 s/d -13 -13 s/d 10 10 s/d 35
5-20 20-70 70-100
5
35 s/d 168
> 100
Kelas
Sumber: S hofiyati, 2005
Tingkat Kelembapan Sangat rendah (sangat kering) Rendah (kering Sedang (lembab) Tinggi (sangat lembab) Sangat tinggi (tergenang)
24
Indeks kelembaban
(TCT),
nilai
negatif menunjukkan
kelembaban
semakin rendah dan semakin tinggi nilai positifhya semakin lembab (memiliki kandungan air yang tinggi).
3.4.2.5. Integrasi Tingkat Kehijauan dan Kelembaban Permukaan Lahan Alasan utama digunakannya metode integrasi di atas adalah penggunaan analisis tunggal dengan hanya menggunakan N D V I atau TCT saja tidak dapat digunakan untuk menentukan kondisi kekeringan tanaman. Beberapa nilai hasil analisis N D V I
aau TCT memiliki kenampakan
yang sama pada kondisi
kekeringan tanaman yang berbeda, sehingga bisa terjadi salah interpretasi, sehingga perlu dilakukan integrasi dengan menggabungkan
nilai kehijauan
(NDVI) dan kelembaban permukaan (TCT). Integrasi tingkat kehijauan dan kelembaban permukaan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan matriks yang disajikan pada tabel 8. Berdasarkan matriks pada tabel 7, lahan yang tidak bervegetasi dan memiliki kehijauan yang sangat rendah yang mempunyai kelembaban permukaan sangat rendah dikategorikan sebagai lahan yang mengalami tingkat kekeringan berat (sangat kering). Sebaliknya, lahan tidak bervegetasi
tetapi memiliki
kelembaban tinggi sampai sangat tinggi dikelompokkan sebagai lahan tidak kering atau bahkan air.
25
Tabel 7. Matrik Penentuan Tingkat Kekeringan Aktuai Tingkat Kelembaban permukaan lahan
Tingkat
Tingkat kehijauan
Kekeringan Sangat
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat
rendah
(2)
(3)
(4)
Tinggi (5)
(1) Sangat
u
1,2
1,4
1,3
1,5
/ kondisi tutupan lahan Tidak
kering
bervegetasi
(Berat)
(1) 2,1
2,2
2,3
2,4
2,5
Kehijauan sangat rendah (2)
Kering
3,1
3,2
3,3
3,4
3,5
Kehijauan rendah (3)
Kurang
4,1
4,2
4,3
4,4
4,5
Kehijauan sedang (4)
kering (Sedang) Tidak
5,1
5,2
5,3
5,4
Kering
5,5
Kehijauan tinggi (5)
3.4.3. Analisa Data 3.4.3.1. Ekstraksi Informasi Luas Lahan Kering Format data citra yaitu raster, dimana setiap gird sel atau piksel (bagian terkecil elemen data citra) berupa bujur sangkar yang mempunyai sebuah nilai. Nilai tersebut tergantung pada saat proses penginderaan dan dimanfaatkan untuk tujuan pemanfaatan tertentu. Satu sel pada citra mewakili luasan bagian tertentu di permukaan lahan yang dinyatakan dalam byte (binnary digit). Luas ini tergantung darijenis sensomya. Setelah mendapat hasil klasifikasi tutupan lahan kemudian dilakukan perhitungan perkiraan luas suatu dari masing-masing kawasan, karena dalam penelitian ini yang dilihat adalah sebaran lahan kritis maka yang hanya dihitung
26
hanya luas kawasan lahan kritis saja. Untuk itu digunakan rumus perhitungan sebagai berikut: Luas (Ha) = (Jumlah Piksel) X (Resolusi Spasial Landsat T M ) X 0,0001 Dengan rumus tersebut, Resolusi Spasial Landsat - T M adalah 30 x 30m, nilai (0,0001) merupakan nilai konversi dari (m^) kedalam (ha). 3.4.4. Uji Lapangan Pada penelitian ini sangat penting sekali untuk mengamati daerah penelitian untuk terciptanya keakuratan. Pengecekan lokasi ini amat dibutuhkan untuk memvalidasi interpretasi dan menganalisa citra. Prosedur penentuan objek ini adalah dengan merekam koordianat pada lapangan didalam GPS yang kemudian akan diguanakan dalam validasi. Dalam hal ini minimal ditentukan 10 titik per area.