I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tantangan konservasi hutan di Indonesia semakin kompleks, tidak saja oleh permasalahan manajemen teknis, melainkan juga adanya berbagai tuntutan pengembangan perekonomian daerah serta makin tingginya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan tuntutan pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan makin meningkat, ditandai dengan masih tingginya tingkat deforestasi, yaitu diperkirakan Indonesia kehilangan hutan seluas 15,8 juta hektar antara tahun 2000-2012, disebabkan sebagian besar oleh kebakaran hutan, alih fungsi hutan, dan ilegal logging (Hansen et.al, 2013). Salah satu upaya pemerintah untuk mencegah semakin tingginya deforestasi adalah dengan menetapkan kawasankawasan konservasi yang diharapkan menjadi benteng pertahanan bagi kelestarian ekosistem sumber daya hutan (Marsono, 2008). Data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) tahun 2007 menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia telah menetapkan 535 lokasi kawasan konservasi dengan luas 28.260.150,56 hektar, terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) meliputi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) meliputi Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya dan Taman Buru. Saat ini, taman nasional merupakan jenis kawasan konservasi yang mempunyai persentase luas paling besar yaitu mencapai 57,9 % (16.375.251,31 Ha) dengan jumlah 50 taman nasional.
1
Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), taman nasional merupakan Protected Area dengan kategori II yang pengelolaannya ditujukan untuk melindungi fungsi ekosistem secara keseluruhan, dikelola dengan sistem zonasi yang memungkinkannya terdapat pemanfaatan sumber daya alam dan untuk tujuan rekreasi alam terbatas. Aturan pengelolaan taman nasional tidak setegas Strict Nature Reserve (Kategori Ia IUCN) ataupun Wilderness Area (Kategori Ib IUCN) karena pada taman nasional masih diperbolehkan ada campur tangan manusia terutama pada pembangunan infrastruktur dan kunjungan wisata alam pada zona pemanfaatan (Dudley(ed), 2008). Sementara itu Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2011 menyebutkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pada Pasal 35 PP No: 28 tahun 2011 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa taman nasional dapat dimanfaatkan untuk: penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
penyimpanan dan/atau penyerapan karbon; pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam; pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; dan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat. Pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dengan luas 15.500 Ha merupakan salah satu dari 16 taman nasional yang ditetapkan pada tahun 2004
2
melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Pertimbangan penetapannya seperti tertuang dalam SK tersebut adalah bahwa: a.
Kawasan hutan lindung tersebut merupakan ekosistem yang relatif masih utuh dengan tipe hutan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, dan hutan pegunungan yang diantaranya memiliki vegetasi hutan alam primer.
b.
Kawasan hutan lindung tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi berupa flora langka dan endemik, jenis satwa langka dan berbagai jenis burung yang dilindungi.
c.
Kawasan hutan tersebut selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, merupakan daerah resapan air bagi kawasan di bawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon serta sumber mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan industri, memiliki potensi ekowisata, potensi untuk penelitian dan pendidikan, situs budaya, dan bangunan bersejarah, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan. Pertimbangan yang digunakan sebagai dasar penetapan kawasan Gunung
Ciremai sebagai taman nasional tersebut secara konseptual sudah memenuhi kriteria dinilai dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial, akan
tetapi sejak
penetapannya, masih terdapat pertentangan dengan masyarakat dan beberapa pemangku kepentingan karena ada kekhawatiran akan tertutupnya akses terhadap kawasan Gunung Ciremai. Hingga tahun 2010 masih terdapat pemanfaatan lahan dalam kawasan dengan pola pemanfaatan budidaya tanaman pertanian yang dapat
3
menimbulkan kerusakan daerah tangkapan air dan makin luasnya lahan kritis akibat perambahan lahan pertanian dan perkebunan serta bekas kebakaran (seluas 3500 hektar atau 23 % dari luas TNGC pada tahun 2009). Praktek-praktek ilegal juga masih ditemukan di kawasan TNGC, seperti pembalakan liar, penambangan galian C, dan perburuan satwa liar (BTNGC, 2010). Ketika kawasan masih menjadi hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani, pada tahun 2001 dikembangkan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yaitu sistem kolaborasi tanggung jawab dan tugas di antara berbagai pihak. Pada masa itu terdapat ruang partisipasi masyarakat yang cukup besar dalam kegiatan pengelolaan hutan. Masyarakat setempat dapat melakukan usaha budidaya perkebunan, buah-buahan dan sayuran di bawah tegakan, dengan pembagian keuntungan: 60 % penggarap, 20 % Perum Perhutani, 10 % Desa, dan 10 % pemerintah daerah (Mufrizal, 2009). Dengan perubahan fungsi menjadi taman nasional maka aturan-aturan baru yang berlandaskan kaidah konservasi ditetapkan, sehingga tidak diperbolehkan lagi adanya kegiatan penggarapan lahan untuk pertanian di dalam kawasan, pemungutan hasil hutan baik kayu ataupun bukan kayu, serta perburuan. Pemanfaatan taman nasional hanya dibatasi pada pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata terbatas pada zona pemanfaatan. Berdasarkan data penyerahan berkas PHBM dari Perum Perhutani kepada Balai TNGC tahun 2005 tercatat ± 2.949 Kepala Keluarga (KK) dari 24.475 KK (12,04%) di Kabupaten Kuningan yang memanfaatkan lahan TNGC untuk kegiatan pertanian/perkebunan. Sementara itu berdasarkan laporan pelaksanaan kegiatan monitoring pemanfaatan lahan PHBM di 2 Resort TNGC tahun 2008 tercatat 1.017 KK dari 4.015 KK (25,33 %) yang berada di Resort Argalingga
4
Kabupaten Majalengka merupakan penggarap lahan PHBM, sedangkan di Resort Darma Kabupaten Kuningan tercatat 1024 KK dari 3595 KK (28,49%) merupakan penggarap lahan PHBM dengan penghasilan berkisar dari Rp150.000,hingga Rp1.000.000,- per musim panen. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat desa sekitar terhadap kawasan taman nasional masih cukup tinggi. Dalam upaya menangani konflik dengan petani yang menjadi anggota PHBM, pada awal pengelolaan oleh Balai TNGC, lahan tersebut dialihnamakan menjadi lahan Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat (PKKBM) sebagai tindak lanjut Surat Dirjen PHKA No. S.56/KK-I/2006 tanggal 26 Januari 2006, dengan menyediakan lahan seluas 2.000 hektar di dalam kawasan untuk digarap oleh 2.500 bekas anggota PHBM. Pola pemanfaatan yang dilaksanakan hampir sama yaitu sistem tumpangsari dari beberapa jenis palawija dan sayuran seperti Bawang, Kol, Kentang, Wortel serta tanaman Multi Purposes Tree Species (MPTS) seperti Kesemek, Kemiri, dan Picung. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar TNGC yang memiliki ketergantungan terhadap lahan pertanian dengan luas kepemilikan lahan garapan tergolong rendah yaitu rata-rata kurang dari 0,3 ha memungkinkan mereka untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam TNGC yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi alam, seperti perambahan hutan, pencurian kayu dan bukan kayu, serta perburuan satwa, yang berakibat makin meningkatnya jumlah lahan kritis dalam kawasan TNGC. Program-program pengembangan untuk desa-desa sekitar TNGC yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak dinilai belum optimal dan belum mampu untuk membentuk masyarakat menjadi
5
berdaya dan mandiri dengan pengetahuan, keterampilan dan bantuan-bantuan yang telah diperolehnya. Masyarakat sekitar taman nasional harus dilibatkan secara optimal dalam upaya mengelola taman nasional, agar mereka mempunyai rasa memiliki untuk ikut melindungi kawasan taman nasional dengan memperoleh manfaat yang dapat menopang kehidupan mereka, karena sebagaimana dinyatakan beberapa antropolog seperti Geertz (Subaktini, 2006) bahwa perilaku manusia dalam memperlakukan alam lingkungannya banyak dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi dan budaya. Munasinghe (1993) menyebutkan bahwa keseimbangan ekosistem,
ekonomi
dan sosial
menjadi
elemen-elemen penting untuk
mewujudkan kelestarian lingkungan, ketika salah satu elemen tersebut tidak ada, maka akan terjadi ketidakseimbangan lingkungan. Beragamnya potensi yang dimiliki TNGC seperti obyek-obyek daya tarik wisata alam berupa air terjun, keanekaragaman flora dan fauna, jalur-jalur pendakian, dan kondisi bentang alamnya serta sumber-sumber mata air dan kondisi
tanah
yang
subur
memungkinkan
untuk
dapat
dikembangkan
pemanfaatannya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mendukung upaya pelestarian kawasan taman nasional. Berdasarkan hal tersebut, maka masih diperlukan upaya pengembangan pemanfaatan sumber daya alam TNGC yang tepat dan sesuai dengan potensi yang dimiliki melalui kegiatan-kegiatan yang dapat mengikutsertakan seluruh stakeholders untuk dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan memelihara kelestarian TNGC.
B. Perumusan Masalah Perubahan fungsi kawasan Gunung Ciremai dari fungsi lindung menjadi taman nasional adalah berdasarkan kekhawatiran akan makin rusaknya sumber
6
daya alam yang berada dalam kawasan Gunung Ciremai, terutama potensi sumber mata air yang selama ini memberikan kontribusi besar kepada pendapatan asli daerah. Konsekuensi dari perubahan fungsi ini menghasilkan beragam perubahan di dalam pengelolaannya. Dampak perubahan pengelolaan kawasan menjadi taman nasional terhadap kehidupan masyarakat sekitar TNGC sangat besar terutama karena pada kawasan tersebut sudah lama berjalan program-program pemberdayaan masyarakat seperti halnya PHBM yang dibentuk oleh Perum Perhutani.
Pengelolaan taman nasional yang bertujuan melindungi sistem
penyangga kehidupan, mengawetkan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa
beserta ekosistemnya, serta memanfaatkan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, secara tegas melarang pemanfaatan lahan dalam kawasan apalagi bila dilihat dari hukum peraturan perundangan yang memayunginya seperti UU Nomor 5 tahun 1990 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Sejak pembentukannya, terjadi dilema bagi pengelola TNGC, di satu sisi ingin memberhentikan kegiatan perambahan lahan untuk menjaga kelestarian TNGC, tetapi di sisi lain juga tidak bisa serta merta menghilangkan kegiatan masyarakat dalam kawasan yang sudah sejak lama dilakukan, karena akan menimbulkan konflik sosial yang sangat besar. Keberadaan
suatu kawasan konservasi
tentunya harus mendapat
penerimaan masyarakat untuk mendukung pengelolaannya.
Apa yang sudah
terjadi pada kawasan tersebut sejak sebelum dijadikan kawasan konservasi tentunya harus secara perlahan ditangani sehingga masyarakat lambat laun menyadari betapa pentingnya keberadaan kawasan konservasi. Upaya dari pihak pengelola untuk penanganan konflik dengan masyarakat bekas anggota PHBM
7
sampai dengan saat ini masih menemui banyak hambatan, walaupun sudah ada kesediaan sebagian masyarakat untuk meninggalkan lahan garapan dalam kawasan, akan tetapi masih ada tuntutan-tuntutan yang masih harus dipenuhi, diantaranya adalah disediakannya alternatif kegiatan mata pencaharian lainnya dan ijin pengambilan buah-buahan dari dalam kawasan. Meningkatnya konflik di antara stakeholders mengharuskan pengelola TNGC untuk mempersiapkan sistem kolaborasi pengelolaan taman nasional. Sesuai aturan yang tertuang pada Permenhut Nomor:P.19/Menhut-II/2004, bahwa untuk melakukan kolaborasi diperlukan langkah-langkah persiapan diantaranya melakukan inventarisasi dan identifikasi jenis kegiatan pengelolaan yang akan dikolaborasikan, dengan berpedoman pada ketentuan bahwa kolaborasi ini tidak merubah status kawasan dan dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Kolaborasi ini diselenggarakan semata-mata untuk menunjang efektivitas pengelolaan taman nasional. Kolaborasi pengelolaan taman nasional merupakan salah satu cara mensinergikan semua unsur pemangku kepentingan, dengan tetap menjunjung tinggi nilai substansial konservasi sumber daya alam. Sebagai suatu ekosistem, kawasan taman nasional memiliki banyak potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan untuk mendukung efektivitas pengelolaan taman nasional.
Marsono (2004) menyatakan bahwa
pelaksanaan konservasi sumber daya alam berjalan baik apabila sumber daya alam tersebut dikenali dan difahami secara memadai. Selain mengenali potensi sumber daya alam, dalam pengelolaan taman nasional diperlukan pemahaman akan interaksi masyarakat lokal dengan sumber daya alam, karena seiring dengan waktu, pengelolaan taman nasional tidak bisa terlepas dari adanya konflik-konflik
8
sosial yang berakar dari adanya interaksi antara manusia dan sumber daya alam taman nasional tersebut. Dengan demikian maka peran masyarakat lokal terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berada dalam taman nasional sangat perlu dipertimbangkan, terutama di dalam rangka mencapai tujuan pemanfaatan taman nasional yang harus mampu melindungi ekosistem taman nasional dan mampu memberikan manfaat sosial ekonomi kepada masyarakat lokal. Pemanfaatan sumber daya alam oleh berbagai pihak yang berkepentingan di TNGC selama ini belum dipayungi oleh peraturan dan rambu-rambu yang memadai, sehingga pemanfaatannya bisa tidak terbatas, yang pada akhirnya dapat mengancam kelestarian TNGC.
Pada pengelolaan taman nasional, zonasi
merupakan langkah penting dalam menerapkan rambu-rambu pemanfaatan sumber daya alam taman nasional. Pemanfaatan yang telah terjadi sejak sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional sebaiknya dievaluasi dan makna pemanfaatan dalam pengelolaan taman nasional saat sekarang adalah bukan untuk menambah jumlah pemanfaatan karena dorongan sosial ekonomi yang tinggi, akan tetapi bagaimana mengoptimalkan pemanfaatan yang memungkinkan dilakukan dalam kawasan taman nasional, sehingga dapat memadukan aspek perlindungan ekologis dan kepentingan sosial ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini diajukan pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana potensi sumber daya alam TNGC dimanfaatkan, dan sejauhmana dampak pemanfaatannya bagi berbagai pihak yang berkepentingan?
2.
Apa keinginan masyarakat dan stakeholders lainnya untuk pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC?
9
3.
Sistem pengelolaan seperti apa yang dapat dilakukan untuk kegiatan pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam di TNGC?
C. Tujuan Penelitian Penelitian
bertujuan
merumuskan
model
sistem
pengembangan
pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC yang mampu memadukan kepentingan pengelola dan masyarakat, serta kepentingan pelestarian sumber daya alam dan ekosistem. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengidentifikasi pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC dan sejauh mana dampak pemanfaatannya bagi berbagai pihak yang berkepentingan.
2.
Mengidentifikasi keinginan masyarakat dan stakeholders lainnya untuk pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC.
3.
Merumuskan model sistem pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC.
D. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian tentang pemanfaatan sumber daya alam taman nasional oleh masyarakat sudah banyak dilakukan, akan tetapi berdasarkan hasil telaahan beberapa jurnal dari penelitian-penelitian terdahulu, belum banyak ditemukan model pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam di dalam kawasan taman nasional dengan pendekatan analisis sistem dinamik. Hal ini juga berkaitan dengan aturan pengelolaan taman nasional dimana pemanfaatannya terbatas pada kegiatan wisata alam, pengelolaan jasa lingkungan, dan kepentingan penelitian dan pendidikan. Beberapa penelitian di zona pemanfaatan taman nasional terfokus kepada aktivitas ekowisata dan sebagian besar penelitian
10
dilakukan di kawasan penyangga yang memungkinkan lebih banyak alternatif variasi pengembangannya, seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa penelitian di taman nasional Tahun 2002
Peneliti Endang Nugraheni/ Tesis MSi IPB
2007
Wiwik Sri Wahyuni/ Tesis MSc UGM
2007
Jess Jogersen/ Thesis MSc Forestry at The Royal Veterinary & Agricultural Univ.Copenhagen Sudhiani Pratiwi/ Disertasi IPB
2008
2008
Abdullah Mohd/ Thesis MSc Forestry at University of Putra Malaysia
2009
L. Sukardi/ Disertasi IPB
2010
Moh. Haryono/ Disertasi IPB
Judul Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional: Studi kasus di TN Gn Halimun Kajian Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di TN Wasur Community Based Natural Resources Management in Malawi: A Case study of Thuma Forest Reserve Analisis Ekowisata di TN Gunung Halimun
The Management of Bhawal National Park Bangladesh By The Local Community For Resource Protection and Ecotourism Desain Model Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan: Kasus Masy sekitar Kawasan TN Gn Rinjani Pulau Lombok Model Pengembangan pengelolaan TN scr terintegrasi: Studi Kasus Pengelolaan Berbasis Ekowisata di TN Bukit 30 Prop. Riau dan Jambi
Metode Pendekatan deskriptif
Hasil Penelitian Pengelolaan ekowisata berbasis potensi masyarakat setempat dapat dijadikan sebagai pola sistem pengelolaan ekowisata yang lestari.
Pendekatan deskriptif, analisis SWOT
Lebih dari 90 % persepsi masyarakat mendukung pengembangan ekowisata, bentuknya: kesamaan persepsi, perencanaan strategi, peningkatan SDM, pembenahan kelembagaan, promosi dan pemasaran, jaminan hukum yang intensif dan terpadu. Tekanan yang lebih tinggi terhadap pemanfaatan sumber daya alam terlihat pada wilayah yang memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi. Inisiatif untuk melibatkan masyarakat harus konsisten dengan rencana pengelolaan kawasan secara menyeluruh. Pengelolaan ekowisata belum memenuhi 5 kriteria kecukupan ekowisata, dimana pemahaman dan partisipasi masyarakat masih rendah, belum optimalnya pemenuhan kriteria ekonomi, kebijakan masih didominasi pemerintah pusat padahal ekowisata menekankan partisipasi aktif aktor lokal. Persepsi masyarakat terhadap peranan Taman Nasional meningkat secara signifikan jika mata pencaharian mereka secara langsung bergantung pada baik/tidaknya kondisi TN. Pengelola perlu menemukan ide untuk memotivasi masyarakat lokal untuk lebih proaktif dan inovatif dalam menjalankan aktivitas dan perlindungan SDA.
Descriptive analysis
Pendekatan Kualitatif, uji validitas Face V, teknik triangulasi, feedback & rich data Exploratory Descriptive analysis, Descriptive statistic
Pendekatan kualitatif kuantitatif, deskriptif, Skoring Skala Likert, AHP.
Analisis Spasial Analisis Supply &Demand Analisis SWOT +AHP Analisis Sistem Dinamik dengan STELLA 9.02
Model yang dibangun adalah yang dapat menjamin keharmonisan masy-TNGR. Bentuknya a.l.: arboretum terpadu, pendakian, hutan kompensasi, hutan keluarga, ternak sapi, usaha kecil HHBK. Terdapat kecenderungan partisipasi masyarakat dalam pelestarian meningkat ketika pendapatan meningkat.Tahapan pemberdayaan dimulai dengan penyadaran kemudian peningkatan kapasitas dan praktek pemberdayaan dengan input biofisik TNGR, lahan milik dan infrastruktur. Pengelolaan TN Bukit 30 belum terintegrasi dengan pengembangan daerah penyangga dan pembangunan wilayah. Perlu dilakukan pengembangan ekowisata terintegrasi dengan skenario optimistis sehingga pendapatan masy dari 149 jt menjadi 10 M per tahun, dan pendapatan pemerintah dari 3 jt menjadi 211 jt per tahun
11
E. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan dapat menghasilkan masukan ilmiah terhadap pengelolaan taman nasional, yaitu berupa: 1. Deskripsi pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC dan dampak pemanfaatannya bagi berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga menjadi input bagi kegiatan pengelolaan TNGC. 2. Analisis keinginan masyarakat dan stakeholders lainnya untuk pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC, penting untuk dipertimbangkan bagi arah kebijakan pengelolaan TNGC, dan mendukung visi TNGC yang memegang prinsip kelestarian dan kolaborasi berbasis pemberdayaan masyarakat. 3. Model pengembangan pemanfaatan potensi sumber daya alam TNGC, yang memadukan aspek ekologi, ekonomi dan sosial, serta mampu memadukan kepentingan pemerintah dan masyarakat. Model tersebut diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmu pengetahuan bagi pengelolaan taman nasional.
12