1
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Dunia pertelevisian di Indonesia berkembang pesat, sejak munculnya berbagai stasiun televisi swasta maupun lokal sekaligus deregulasi pertelevisan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi keberadaan 11 (sebelas) stasiun televisi swasta yang tayang secara nasional saat ini dirasakan belum mampu menghadirkan tayangan program yang berkualitas dan bermuatan pendidikan, informasi serta hiburan secara proporsional. Kalaupun ada, program tersebut masih sangat terbatas jumlahnya. Media dikatakan mampu menstimuli individu untuk menikmati sajian pesan atau program yang ditampilkan. Isi media mampu menjadi wacana perbincangan (penerimaan khalayak) yang menarik apabila dikaitkan dengan konteks budaya misalnya efek dramatisasi visual yang ditimbulkan, pemirsa mampu mengontruksi makna sesuai dengan teks dan konteks. Tayangan komedi sejak lima tahun terakhir marak sebagai salahsatu program di beberapa stasiun televisi swasta. Data yang tertulis pada suara konsumen tahun 2008 menunjukkan bahwa program tayangan ini mendapatkan sambutan baik di sepuluh kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang,
Makasar, Yogyakarta,
Palembang, Denpasar serta Banjarmasin. Adapun bila dilihat dari peringkatnya menurut ‟Report Title Top 100 Program All Channels‟ acara komedi terbaik tersebut meliputi 1.Tawa Sutera(Trans TV),2.Opera Van Java(Trans7),3.Suami-suami Takut Istri
2
(SSTI,Trans TV),4.Abdel dan Temon(Global TV),dan 5.OKB(Trans 7). ( tulisan dalam forum detik .com
tentang rating program tv, diakses 31 Juli 2012). Sementara
untuk mengetahui kualitas tayangan di layar kaca Yayasan Sains dan Estetika (SET), Yayasan Tifa, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengadakan penelitian bertema "Menuju Televisi Ramah Lingkungan"(2009). Penelitian ini dilakukan untuk menjaring penilaian kelas berpendidikan tentang kualitas program televisi. Informasi yang berasal dari 220 responden yang diteliti menyatakan program televisi terbaik dan terburuk berdasarkan hasil penelitian menempatkan Sinetron “Suami suami takut Istri” (selanjutnya disingkat SSTI) masuk peringkat kedua dari 5 program terburuk (data dari vivanews.com, berita tentang „inilah program terbaik dan terburuk‟ diakses 31 Juli 2012). Tayangan komedi SSTI yang sengaja memutar balikkan realita di masyarakat dengan tujuan memancing tawa, ternyata dalam prakteknya malah menonjolkan kekerasan sebagai bahan lelucon, bahkan tayangan yang mengusung konsep drama keluarga ini pernah merupakan salahsatu tayangan yang berhasil meraih rating tinggi dengan penampilan leluconnya . Selama setahun (tahun 2008) ”SSTI” menjadi program terbaik di layar TRANSTV, dengan rating dan TV-share yang stabil, bahkan selama dua bulan terakhir sebelum diproduksi sebagai film layar lebar terus menerus mendapatkan respon pemirsa TV jauh lebih
baik
dibanding
sebelumnya.
Menurut
Anjasmara
selaku
produser
pelaksana, ”SSTI” diproduksi sebagai ucapan terima kasih kepada pemirsa televisi agar bisa menyaksikan program yang selama ini berdurasi 60 menit menjadi sebuah cerita lebih utuh. Selain itu dengan cerita lebih utuh semua sisi cerita bisa lebih dieksplorasi
3
mulai dari drama hingga komedinya; tapi yang jelas menurut sutradara ”SSTI The Movie” Sofyan De Surza dikatakan murni sebuah film komedi ; nilai jualnya justru terletak
pada
kelucuannya.
Keinginan
produser
dan
sutradara
untuk
memproduksi ”SSTI” ke layar lebar menyiratkan sinetron komedi ini disukai oleh para pemirsa televisi. Dalam kesempatan yang berbeda pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memasukkan beberapa sinetron dalam kategori lampu merah, dimana sitkom (situasi komedi) “SSTI”(Trans TV), adalah salah satu sinetron yang mendapat teguran di posisi paling atas. Dalam pandangan Komisi Penyiaran Indonesia (saat diselenggarakan Konferensi Pers pengumuman enam sinetron bermasalah di Kantor Sekretariat KPI, Senin 30 Maret 2009) sinetron ini dianggap tidak memperhatikan norma kesopanan, kesusilaan, menampilkan adegan kekerasan dalam rumah-tangga, sarat ucapan kasar dan dianggap sebagai tayangan yang kurang pantas dan tidak cocok disiarkan di jam tayang keluarga. Kekerasan baik secara fisik maupun verbal dijadikan alat untuk memancing tawa penonton. Meski penonton memiliki interpretasinya sendiri akan tetapi interpretasi penonton dari kalangan anak-anak perlu diwaspadai oleh karena mereka berada pada usia rentan yang dimungkinkan melakukan tindakan imitasi. Suara konsumen yang dimuat berikut dapat menjadi gambaran sebagaimana yang disebut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di atas. “Sinetron yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat sebuah komplek perumahan ini, mengangkat cerita tentang suami suami yang takut isteri di komplek perumahan tersebut, dalam hal ini takut bila ketahuan menggoda janda seksi di komplek mereka. Tapi pernahkan anda memperhatikan dengan seksama bahwa tayangan tersebut sangat tidak mendidik dan membahayakan perkembangan kejiwaan dan budi
4
pekerti anak-anak kita yang ikut-ikutan menonton tayangan tersebut ? apakah anda bisa memberikan alasan kepada anak-anak yang ikut menyaksikan sinetron itu, dan yakin bahwa anak-anak itu tidak akan mencontoh beberapa adegan yang sangat tidak sesuai dengan normanorma pendidikan budi pekerti (tulisan Anwariansyah tentang “Suami-suami Takut Istri, tayangan tidak mendidik” 12-05-2008 diambil dari blog Erfin Syafrizal, diakses Feb, 2012)
Tidak dapat dipungkiri, kehidupan sehari hari saat ini tidak dapat lepas dari keberadaan media baik cetak maupun audiovisual. Televisi adalah media massa utama yang saat ini terdapat dihampir setiap rumah penduduk, televisi sudah menjadi media domestik.. Sebagai media penyiaran (broadcast media) memberikan kontribusi dalam membangun ritme stabil untuk kehidupan sehari-hari melalui program yang ditayangkan setiap hari sepanjang tahun. Rumah tangga menjadi ruang sosial pertama kali dikembangkan pada masa borjuis periode awal modernitas, ketika tempat kerja dan rumah menjadi terpisah. Dalam budaya Barat pemisahan ini menjadi dasar
yang
signifikan, rumah yang awalnya memperoleh status sebagai 'inner', zona intim, dimana didalamnya terdapat hubungan dekat, kehangatan, kasih sayang dan kepekaan diantara anggotanya, berlawanan dengan kehidupan di luar rumah, menjadi berbeda sejak kehadiran televisi (Gripsrud , 2002:25). Televisi adalah sebuah fenomena, sebuah tanda bahwa rumah sekarang menjadi tempat yang jauh lebih kompleks dan kontradiktif daripada sebelumnya. Hubungan serta budaya antara ruang publik dan pribadi terus berubah dan televisi terkait dengan hal ini. Televisi terlibat dalam perjuangan kekuasaan antara ibu, ayah dan anak-anak (yang mengendalikan remote), baik dalam program faktual dan fiksi, dengan opera
5
sabun sebagai genre utama dalam kategori fiksi. Informasi politik, ekonomi, perdagangan dan kehidupan budaya masyarakat masuk ke ruang pribadi dan lebih dihargai dari sebelumnya. Uraian tersebut menyiratkan betapa media khususnya televisi menguasai kehidupan setiap individu saat ini, hingga tidak terbayangkan jika dalam sehari saja seseorang samasekali tidak berelasi dengan media apapun. Begitu tergantungnya saat ini setiap individu dengan media hingga adanya inter relasi diantara individu dan media inilah pada gilirannya memungkinkan munculnya perbedaan penerimaan (resepsi) pada setiap program yang disuguhkan oleh media. SSTI merupakan sinetron komedi yang ditayangkan salahsatu televisi swasta Trans TV setiap hari Senin sampai Jumat jam 18.00-19.00 WIB sejak 15 Oktober 2007 sampai November 2010.
Sinetron komedi serial yang digarap oleh rumah
produksi Multivision Plus di bawah arahan sutradara Sofyan De Surza dengan Anjasmara sebagai produsernya termasuk populer hingga mampu bertahan mencapai lebih dari 600 episode. Bahkan sempat beberapa episode mengalami tayang ulang pada pagi hari jam 07.30 di stasiun televisi yang sama karena popularitasnya. Dalam website resmi (official website) Trans TV diceritakan, SSTI diangkat dari fenomena suami-suami yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan „senasib sepenanggungan‟ ini tumbuh makin kuat, sehingga suami suami yang takut istri ini membentuk aliansi tidak resmi. Mereka saling mendukung dan mencela, saling menguatkan agar tidak lagi ditindas, walaupun seringkali sang pemberi nasihat justru
6
masih takut istri juga. Para istri di komplek perumahan tersebut juga membentuk perkumpulan yang sama. Mereka saling memberi dukungan agar tidak kehilangan kendali atas suami-suami mereka. Serial yang tayang melebihi 600 episode ini setelah sukses di televisi kemudian diangkat ke layar lebar pada tahun 2009. Ide awal sinetron komedi berasal dari seorang penulis dan sutradara Imam Tantowi yang tertarik pada rumor disebagian masyarakat Indonesia tentang suami suami yang takut pada istri mereka, sehingga pria-pria dalam kelompok ini biasanya dijuluki sebagai anggota asosiasi suami yang takut istri mereka atau ikatan suamisuami takut istri (isti). Ketidakberdayaan para suami untuk mengontrol istri mereka dipandang sebagai perilaku abnormal, sehingga mereka sering menjadi sasaran gosip, lelucon atau digoda yang penyampaiannya dengan cara menghina. Sinetron komedi ini menceritakan tentang kekuasaan dan kendali kaum perempuan (para istri) terhadap kaum laki-laki (para suami). Sikap egois, pemarah dan berkuasa kaum istri serta kelemahan dan kebodohan para suami diangkat menjadi lelucon dan hiburan yang menarik dalam sinetron komedi ini. Hal yang membuat sinetron komedi ini berbeda dari yang lain adalah, tayangan yang semula dianggap hanya sebagai hiburan dan tontonan santai, sebenarnya melibatkan konsep jender yang menjelaskan bahwa sifat-sifat perempuan dan laki-laki yang dikonstruk secara sosial maupun kultural sebenarnya merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Jadi sikap maskulin yang selalu diidentikkan dengan kekuasaan, agresif dan kuat bukanlah mutlak hanya dimiliki oleh laki-laki, begitu juga sikap feminin yang
7
sering diidentikkan dengan sikap lemah, penakut, selalu menurut, dan tergantung dengan orang lain tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Keberadaan sinetron komedi ini bila dilihat sekilas, tampaknya sudah berhasil mematahkan budaya patriarki yang selalu menempatkan perempuan sebagai subordinat; akan tetapi bila dicermati lebih dalam sinetron komedi “SSTI” ini secara tidak langsung juga menggambarkan sosok subordinat perempuan, ditunjukkan dari sekian banyak istri yang ada hanya ada satu perempuan yang mampu untuk bekerja keluar rumah (Deswita). Gambaran ini sekaligus menyiratkan bahwa sudah sewajarnya perempuan hanya berkutat di wilayah domestik. Sikap kuasa dan sewenang-wenang para istri memang sangat ditonjolkan dalam sinetron ini, sehingga penonton tidak terlalu memperhatikan bagaimana sosok subordinat perempuan direpresentasikan. Bila dalam sinetron komedi lain kondisi perempuan selalu berada pada posisi second line, selalu dianggap negatif dan selalu ditempatkan pada posisi yang kurang menyenangkan, peran perempuan dalam tayangan ini secara tidak langsung juga menggambarkan hal yang serupa (negatif), walaupun perempuan ditampilkan maskulin, yang diperlihatkan dengan adanya sikap kuasa dan agresif serta kedudukannya telah dipertukarkan menjadi di atas laki-laki. Bahkan dalam budaya tertentu dijelaskan bahwa perempuan yang menunjukkan karakteristik maskulin bukanlah perempuan yang sesungguhnya (Tong, Rosemarie, Anne Donchin 2004 : 51). Jadi, walaupun peran dan kedudukannya telah dipertukarkan, keberadaan perempuan dalam sinetron komedi tersebut jauh dari karakter ideal yang selama ini didamba oleh banyak perempuan, karena ketika perempuan bekerja ke wilayah publik, ataupun ia
8
mampu setara dengan suaminya, bukan berarti ia kemudian menjadi sosok yang sangat mengerikan dan menindas laki-laki. Inilah pemutar balikan yang terjadi, sangat berbeda dengan fakta yang ada di sebagian besar masyarakat Indonesia yang menganut budaya patriarkhi. B.Perumusan masalah Dalam lima tahun terakhir sinetron komedi ditayangkan sebagai salahsatu program dibeberapa stasiun televisi swasta. Kenyataan ini sekaligus menyiratkan bahwa program tayangan ini nampak mendapat sambutan baik dikalangan audiencenya. SSTI termasuk salahsatu diantara program tayangan komedi yang mendapat sambutan baik para penontonnya (audience). Tayangan yang mengusung konsep drama keluarga ini pernah merupakan salahsatu tayangan yang
berhasil meraih rating tinggi dengan
penampilan leluconnya bahkan selama tahun 2008 SSTI menjadi program terbaik di layar TRANS-TV, dengan rating dan TV-share yang stabil. Serial yang mampu tayang melebihi 600 episode ini setelah sukses di televisi pada tahun 2009 diangkat ke layar lebar. Informasi dari temuan riset penonton media yang dilakukan oleh AGB Nielsen merekomendasikan bahwa sinetron ini disukai oleh perempuan berusia 40 tahun ke atas dari strata kelas menengah (dalam newsletter AGB Nielsen, Media Research, November 2009). Akan tetapi SSTI yang banyak terutama digemari oleh para perempuan berusia 40 tahun ke atas tersebut mendapat teguran KPI paling atas dan masuk dalam kategori peringkat ke dua sinetron paling buruk. Teguran KPI terhadap sinetron SSTI berfokus pada tidak adanya norma kesopanan dan kesusilaan yang seharusnya menjadi dasar dari setiap tayangan. Dalam
9
teguran tersebut juga dinyatakan bahwa SSTI dianggap menampilkan adegan kekerasan dalam rumahtangga, sarat ucapan kasar dan kurang pantas disiarkan pada jam tayang keluarga. Adapun teguran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) ini berasal dari adanya masukan baik berupa himbauan ataupun celaan penonton yang menginterpretasikan tayangan SSTI. Dari adanya fakta pro dan kontra terhadap tayangan sinetron komedi yang terurai diatas, peneliti ingin mempertanyakan lebih lanjut penerimaan (resepsi) perempuan penonton sinetron SSTI , apa yang membuat mereka tertarik menonton dan apa yang mereka tidak tertarik / tidak mereka setujui dari tontonan tersebut . Berdasarkan temuan atas pertanyaan tersebut, peneliti ingin merefleksikan secara kritis tentang (1) keterkaitan antara resepsi (penerimaan) para perempuan penonton sinetron SSTI dengan latar belakang keluarga mereka (2) keterkaitan antara resepsi (penerimaan) para perempuan tersebut dengan pemahaman mereka tentang relasi jender (3) Peluang dan keterbatasan sinetron SSTI bagi pewacanaan relasi jender dalam media televisi. C. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis bagaimana konteks sosial serta situasi perilaku konsumsi televisi dalam keluarga yang berbeda. 2. Menganalisis bagaimana materi televisi berupa sinetron komedi ditafsirkan oleh keluarga yang berbeda terkait perilaku konsumsi mereka. 3. Menganalisis resepsi perempuan penonton sinetron SSTI terkait pemahaman mereka tentang relasi jender dan sitkom.
10
D. Tinjauan Pustaka Hasil penelusuran terhadap kajian-kajian tentang sinetron „SSTI‟ terdapat beberapa penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan antara lain pertama, tentang „Representasi Dominasi Perempuan dalam Rumah Tangga‟: Analisis tekstual terhadap Sinetron komedi “SSTI”, yang dilakukan oleh Sri Kusumo Habsari, Fitria Akhmerti Primasita dan Taufiq Al Makmun (2011) , bertujuan mendeskripsikan bagaimana dominasi perempuan dalam rumahtangga direpresentasikan, apakah untuk mendukung feminisme atau melestarikan patriarkat pada sitkom “SSTI” dan konsekuensi sosial politis dari eksploitasi tersebut terhadap citra perempuan sendiri, citra laki-laki dan relasi jender. Hasil analisis secara deskriptif kualitatif dengan menerapkan pendekatan tekstual dan kajian budaya feminis ini menunjukkan : bahwa dominasi perempuan direpresentasikan dan dieksploitasi untuk melestarikan ideologi patriarkat dengan menyajikan secara negatif kekuasaan perempuan sebagai dominasi yang semu, bukan sebagai kekuasaan yang menghasilkan penghormatan terhadap para perempuan yang berkuasa. Cara para perempuan tersebut menunjukkan kekuasaan juga dikontruksi secara negatif, yaitu dengan melakukan bentuk kekerasan dalam rumahtangga. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa konsekuensi logis dari kontruksi negatif dominasi perempuan dalam rumahtangga ini adalah citra negatif bagi perempuan yang berkuasa dan relasi jender, namun mempertahankan citra positif laki-laki,yang dengan demikian ideologi patriarkat dipertahankan. (Jurnal HUMANIORA,vol 23,Oktober 2011.hlm 256-268)
Kedua, “Penerimaan ibu rumah tangga di Surabaya terhadap dominasi ibu rumah tangga pada sinetron SSTI di trans TV” yang dilakukan oleh Nurul Aminati (2010) bertujuan untuk mengetahui penerimaan ibu rumah tangga yang ada di Surabaya tentang
11
dominasi ibu rumah tangga pada sinetron SSTI di Trans TV. Sinetron ini menyajikan cerita yang berbeda dari sinetron pada umumnya, adapun perbedaannya tampak dari fenomena yang diangkat yaitu tentang para suami yang takut pada istri mereka. Setiap orang secara tidak langsung telah dikontruksikan peran dan fungsi sosialnya oleh masyarakat, inilah yang disebut dengan jender. Adanya ideologi jender membentuk struktur budaya patriarkhat, dimana kedudukan perempuan lebih rendah daripada lakilaki dalam berbagai bidang kehidupan termasuk rumah tangga. Maka, ketika seorang istri lebih dominan dalam suatu rumah tangga peran seorang suami dianggap gagal. Penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan metode reception analysis ini tertuju pada ibu rumah tangga, berusia lebih dari 30 tahun dan bertempat tinggal di Surabaya. Hasil penelitian ini mengungkapkan penerimaan ibu rumah tangga terhadap dominasi ibu rumah tangga berbeda-beda bergantung pada konteks yang mempengaruhi proses negosiasi makna yang terjadi pada masing-masing individu. Dominasi yang dilakukan oleh karakter tokoh dalam tayangan tersebut dianggap sebagai hal yang baru dari segi cerita. Meskipun sikap dominasi yang dilakukan oleh karakter utama tidak disukai oleh informan, tetapi mereka tetap mengikuti kelanjutan ceritanya. Sosok ideal ibu rumah tangga bagi mereka adalah yang bisa mengurus rumah tangga dan keluarga dengan baik Ketiga, penelitian tentang “Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Persepsi Mahasiswa mengenai Konsep dan Kesetaraan Jender”, dilakukan oleh Sofi Sufiarti, (2009) dengan mengambil 90 orang responden mahasiswa jurusan Seni Rupa FPBS UPI bertujuan untuk mengetahui pandangan-pandangan mahasiswa yang mendukung dan yang menghambat
pemahaman mengenai konsep dan kesetaraan gender yang
bersumber pada aspek lingkungan masyarakat, keluarga dan mahasiswa sendiri. Hasil penelitian yang menggunakan metoda kuantitatif ini menyimpulkan bahwa faktor yang cenderung berpengaruh dan
12
menghambat terhadap persepsi tentang konsep dan kesetaraan gender adalah dari aspek mahasiswanya sendiri , yaitu jarang membaca bukubuku , melakukan kegiatan diskusi-diskusi, ataupun mengikuti kegiatan kegiatan sosialisasi mengenai konsep dan kesetaraan gender. Sementara sikap yang mendukung terhadap persepsi mengenai konsep dan kesetaraan gender adalah sikap ketidak setujuan mereka pada aspek lingkungan masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan masih enggan hadir dalam forum-forum, karena itu adalah peran yang hanya dilakukan laki-laki. Demikian juga lingkungan masyarakat yang masih beranggapan bahwa meskipun perempuan telah maju, tetap laki-laki lebih tinggi kemampuannya dibanding perempuan, sementara perempuan diasosiasikan dengan keluarga. Sedang pada aspek keluarga mahasiswa bersikap tidak setuju terhadap anggapan masih berperannya faktor budaya yang selalu mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam hal kesempatan serta pendidikan. Dari dua penelitian yang fokus pada sinetron “SSTI” menunjukkan bahwa tema sinetron tersebut menarik untuk dicermati dari sisi audien selaku penonton, sedangkan dari penelitian terakhir, hasil yang menunjukkan bias jender tampak pada masih adanya pendapat di sebagian masyarakat kita bahwa laki-laki adalah superior, dengan beberapa atribut yang menandainya sementara perempuan meskipun diakui sudah maju masih dianggap sebagai inferior. Sementara hal-hal yang belum dilakukan oleh penelitianpenelitian terdahulu tentunya menjadi kelebihan tersendiri pada kajian yang peneliti lakukan. Hal ini dikarenakan penelitian ini melihat penonton dari aspek lingkungan sosial mereka yang berbeda dalam mengonsumsi televisi serta bagaimana konten media dalam konteks keluarga maupun konteks sosial ditafsirkan baik secara individu maupun melalui komunitas interpretasinya dalam memberikan pemaknaan berbeda tentang relasi jender. Penelitian ini juga mengasumsikan bahwa makna yang dibangun oleh para penonton di lingkungan sosial yang berbeda diperoleh dari proses interaksinya dengan informan lain dimana mereka tergabung dalam interpretive communities.
13
Penelitian tentang resepsi khalayak perempuan pernah dilakukan oleh Janice Radway. Karyanya Reading the Romance: Women, Patriarkhy and Popular Literature (1984) merupakan salah satu studi pertama yang meneliti daya tarik teks dari sudut pandang pembaca sehingga merupakan sebuah teks kunci dalam sejarah penelitian khalayak. Radway mewawancarai para pembaca novel-novel Harlequin Romance kemudian mempelajari bagaimana para perempuan menafsirkan novel-novel romantis dan mencermati teks-teks sebagai bagian dari sebuah proses interpretatif. Selanjutnya Radway juga menyatakan, analisis kultural yang baik mengenai novel romantis harus memerinci tidak hanya bagaimana perempuan memahami novel-novel itu sendiri, tetapi juga pada bagaimana mereka memahami tindakan mengambil atau memilih buku itu. Fokus analitis harus bergeser dari teks itu sendiri, yang dianggap terisolasi, pada peristiwa membaca yang bersifat rumit dimana seorang perempuan secara aktif berusaha memahami tanda-tanda leksikal dalam sebuah proses hening yang dihubungkan dengan konteks kehidupannya sehari-hari.
Sebuah studi penting tentang konsumsi media dan jender adalah karya Ien Ang, yang melihat popularitas Dallas dikalangan pemirsa perempuan dalam bukunya Watching Dallas (1985). Di salahsatu majalah perempuan
dia memperlihatkan
pertanyaan tentang ketertarikan perempuan dalam serial tersebut dan dia menerima jawaban yang mendasari studinya dalam bentuk respon yang diterima para pemirsa perempuan, yang dapat diidentifikasi dalam tiga jenis, yaitu: ideologi budaya massa pemirsa yang menyukai program ini menyatakan bahwa Dallas merupakan potret keberhasilan sekelompok kecil kelas tinggi Amerika dalam budaya televisi populer;
14
ironisnya meskipun penonton mengetahui bahwa serial tersebut tidak menarik akan tetapi mereka tetap ingin melihat karena orang lain juga melihat. Meskipun mereka mungkin mengakui bahwa yang mereka lihat itu adalah 'sampah' namun ideologi populisme yang didasarkan pada rutinitas masyarakat 'sehari-hari' dan pengalaman 'kesenangan' yang mereka dapatkan dari menonton Dallas, lebih mendasari keinginan mereka untuk tetap menonton (Rayner ,Wall and Kruger, 2004:137). Beberapa penelitian lain yang menunjukkan adanya dikotomi antara laki laki dan perempuan dalam mengonsumsi acara-acara televisi juga ditemukan dalam penelitian seorang feminis Dorothy Hobson (1982) yang telah mencoba untuk memahami popularitas opera sabun “crossroads” dengan mempelajari para penonton di rumah saat mereka melihat program tersebut. Hobson mengamati bagaimana program tersebut sesuai dengan struktur peran di rumah mereka, sementara opera sabun yang biasa sebagai cemoohan telah menjadi pelarian yang fantastis bagi penontonnya. Hobson dalam Downing, Mohammadi and Sreberny (1990:239) selanjutnya menemukan bahwa penonton perempuan tertarik dalam resolusi masalah bersama program ini karena terdapat dalam kehidupan nyata. Dia juga menyimpulkan bahwa penonton bukanlah penerima pasif tetapi pencipta teks aktif, yaitu mereka mengulas alur cerita pada ide dibalik cerita dan membangun satu pemahaman dari kerangka cerita yang tidak disertakan. Penyelesaian mereka yang simpatik pada serial tersebut berperan penting pada perubahan bentuk teks menjadi sesuatu yang relevan dan bermakna bagi mereka. Penelitian penonton berdasarkan jender berlangsung lebih dari setengah abad, meskipun limapuluh tahun yang lalu terdapat pandangan kontradiktif pada jenis produk
15
budaya populer yang dikonsumsi perempuan seperti sinetron. Sebagai contoh, studi yang dilakukan Arnheim (1944); Warner & Henry (1948) dalam “Women and Media” Byerly, M Carolyn and Karen Ross (2006:57) mengidentifikasi tipikal konsumen opera sabun radio adalah kelas pekerja perempuan berpendidikan rendah dan kemungkinan untuk maju terbatas. Selanjutnya sumber yang sama juga menyebutkan bahwa pada periode yang sama Herzog (1944) mengatakan bahwa perempuan disemua kelas sosial menikmati sinetron. Namun, terdapat sedikit kesepakatan lebih tentang karakteristik yang khas dari penonton perempuan, bahwa mereka biasanya sudah menikah dan berusia antara 18-35 tahun, dengan pendidikan tertentu . Analisis Herzog dari konsumen sinetron lebih"positif" dibandingkan penelitian lain karena dia berpendapat bahwa penonton sinetron digunakan untuk belajar tentang aspirasi kelas menengah, nilai-nilai dan perilaku. Penelitian berikutnya dilakukan oleh Compesi (1980) dalam Byerly, Carolyn M dan Karen Ros (2006:57) yang mulai mengonsep khalayak sinetron dengan pendidikan lebih tinggi daripada penelitian sebelumnya, yang masih ditandai bahwa mereka adalah perempuan yang secara sosial terisolasi, menonton sinetron untuk melarikan diri dari kebosanan hidup mereka. Meskipun pada tahun 1980an, banyak "mainstream" pada khalayak opera sabun masih dipertahankan, sumber yang sama juga menyebutkan bahwa dalam penelitian Rubin (1985) terdapat hubungan antara interaksi sosial dan sosialisasi didunia nyata yang dipengaruhi sejauh mana mereka menonton opera sabun . Di Indonesia analisis resepsi terhadap khalayak perempuan pernah dilakukan, diantaranya oleh Rachmah Ida (th 2005) yang meneliti fenomena perempuan kampung
16
menonton tayangan sinetron dan representasi figur-figur perempuan konstruksi realitas sosial kaum perkotaan. Billy Sarwono pada tahun yang sama meneliti bagaimana ibu rumah tangga kelas menengah di Jabotabek memberikan pemaknaan terhadap karir politik Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan di Indonesia melalui permberitaan di media massa. Hasil penelitian dari dua peneliti tersebut menunjukkan bahwa para penonton bersifat dinamis, aktif dan memperlihatkan perilaku budaya yang tidak monoton atau pun pasif. Pemirsaan televisi bersifat aktif dalam pelbagai hal diungkapkan oleh Burton, (2007:356-357) dimana khalayak pemirsa televisi melakukan pelbagai hal pada saat televisi sedang menyala, mulai dari tugas-tugas domestik hingga bermain instrumen musik. Bahkan kata Burton mengutip pernyataan Collet dan Lamb (1986), dalam diri khalayak terdapat perilaku interaktif berkomentar dan berdiskusi mengenai program yang tengah ditayangkan dimana hal ini bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa televisi mempunyai efek mematikan bagi kehidupan keluarga. Bagaimanapun juga, terdapat proses mental aktif yang dilakukan oleh khalayak pada saat menonton, yakni mengurai kode (decoding) televisi, membaca teks, melibatkan pemahaman terhadap kode-kode yang beraneka ragam. Terkait dengan khalayak aktif dan pasif dalam studi media memang selalu terdapat perdebatan. Dikotomi aktif-pasif ini didasarkan pada pendapat yang pertama dimana ada ketegangan antara gagasan bahwa penonton adalah masyarakat massa versus gagasan bahwa penonton hanyalah sebuah komunitas kecil. Sementara pendapat kedua yang berhubungan dengan debat adalah ketegangan antara gagasan bahwa
17
penonton pasif versus keyakinan yang aktif. Dalam kasus yang pertama khalayak dipandang sebagai populasi besar yang dapat dibentuk oleh media. Sedangkan kasus yang terakhir, penonton dipandang sebagai anggota kelompok-kelompok kecil yang dipengaruhi sebagian besar oleh teman sebayanya. Komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif terlalu sederhana untuk menangkap kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Daripada bertanya apakah penonton mudah dipengaruhi oleh media, para sarjana media kemudian merasa lebih baik untuk mempertanyakan kapan dan dalam kondisi apa ketika disatu sisi mereka ada yang terpengaruh sementara yang lain tidak. Pandangan ini mengubah perdebatan menjadi apa yang benar-benar berarti bagi penonton untuk melihat bagaimana penonton yang berbeda memberi makna pada waktu dan tempat yang berbeda (Littlejohn dan Foss, 2008:309). Morley dalam Tester (2003:137) menyatakan, bagi kaum perempuan menonton televisi pada dasarnya merupakan kegiatan sosial yang melibatkan percakapan, dan mereka biasanya melakukan paling tidak satu aktivitas domestik lainnya (misalnya sambil menjahit, merajut, bercakap-cakap dan mengerjakan pekerjaan rumahtangga lainnya) pada waktu bersamaan. Morley melanjutkan, memang kebanyakan perempuan yang merasa harus menonton televisi saja tanpa melakukan pekerjaan lain pada saat yang bersamaan akan dianggap menghabiskan waktu dan itu sulit untuk disanggah, di situlah diketahui pemahaman mereka tentang kewajiban domestik. Penonton perempuan sebagai anggota tertentu dari kebudayaan juga melibatkan ideologi dalam merespons tanda, konotasi, dan mitos. Menurut istilah Althusser, hal ini disebut „interpelasi‟ atau „panggilan‟. Dalam mengakui diri sendiri sebagai sasaran dan
18
dalam memberi respons pada komunikasi, maka penonton perempuan berpartisipasi dalam konstruksi sosial yang berasal dari dirinya sendiri sehingga bersifat ideologis. Komunikasi merupakan suatu proses sosial dan karena itu pasti ideologis sementara interpelasi merupakan bagian kunci dari praktik ideologisnya. Ketika ideologi didefinisikan sebagai proses umum produksi makna dan gagasan, ideologi menempatkan penonton perempuan sebagai anggota tertentu dari kebudayaan, sehingga mampu merespons terhadap tanda, konotasi, dan mitos. Konsep teks dalam pandangan Barker (2009: 12) bukan sekedar menunjuk pada kata-kata tertulis, meski ini juga salah satu bentuknya melainkan pada segala sesuatu yang menghasilkan makna melalui praktik pemaknaan. Hal ini mencakup pembentukan makna citra, bunyi-bunyian, benda-benda (seperti pakaian) dan aktivitas (misalnya tari, olah raga) bisa dibaca sebagai teks. Mengingat bahwa citra, bunyi, benda, dan aktivitas adalah sistem-sistem tanda yang bekerja lewat mekanisme yang sama dengan bahasa, maka bisa dianggap semua itu sebagai teks-teks kultural. Sehingga ketika penonton menyaksikan sebuah program di televisi, maka sesunggguhnya ia sedang membaca sebuah teks (dalam Tester, 2003: 124-125). Pada sumber yang sama Fiske menjabarkan bahwa mengubah program menjadi teks merupakan suatu rangkaian yang dilakukan penonton saat melihat dan menafsirkan suatu program. Fiske menggambarkan perbedaan paling penting antara program televisi dengan teks televisi. Program televisi didefinisikan sebagai sebuah entitas tertentu yang stabil diproduksi dan dijual sebagai komoditas dan paket distribusinya diatur jadwal. Sedangkan teks berupa rangkaian aktivitas melihat dan mengubah serta menafsirkan program yang dilakukan audien.
19
Ketika program diproduksi, didistribusikan dan didefinisikan oleh industri maka teks adalah produk dari pembaca mereka. Fiske menjelaskan, program berubah menjadi teks di saat terjadinya pembacaan (reading), yaitu ketika program berinteraksi dengan salah satu audien yang mengaktifkan berbagai makna/kesenangan yang bisa melakukan provokasi. Akibatnya satu program bisa menghasilkan banyak teks sesuai dengan kondisi sosial penerimanya. Pernyataan-pernyataan maupun hasil penelitian resepsi yang diuraikan diatas menjadi acuan berpikir untuk menjawab tujuan penelitian. E. Landasan Teori Pertanyaan penelitian yang diajukan disini mengarahkan pada tiga isu, yakni reception theory, reader – response theory dan feminist media studies. 1. Reception Theory
Teori resepsi berhubungan dengan apa yang terjadi dalam aktivitas konsumsi, yaitu bagaimana konten tertentu didekati dan ditafsirkan oleh penerima pesan media. Teori resepsi menangkap semua ungkapan untuk beberapa arah studi yang memiliki kesamaan karakteristik sebagai berikut: dalam menafsirkan isi media dimungkinkan kerangka pikir individu lebih atau bahkan
kurang berbagi dengan orang lain dan
mereka belajar melalui media atau dari hasil pengalaman individu lainnya. Dari konten yang sama kerangka ini menghasilkan pembacaan yang berbeda oleh orang yang berbeda. Teori resepsi terutama sangat menekankan variasi gagasan penonton serta mendukung penggunaan awal pesan dan segmentasi khalayak, pernyataan ini dikatakan oleh McQuail (2005) dalam Windahl, Signitzer with T Olson (2010:205).
20
Salah seorang yang sering dirujuk dalam reception analysis adalah Stuart Hall. Pendapat Hall yang sering diacu orang adalah pengelompokan penerimaan audien ke dalam tiga kategori : the dominant hegemonic, terjadi jika seseorang atau sekelompok orang melakukan pemaknaan sesuai dengan makna dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media; the negotiated reading, mengakui legitimasi dari kode dominan, tapi mengadaptasi pembacaan sesuai kondisi sosial mereka; dan the opositional reading, yang menghasilkan pembacaan radikal terhadap teks atau yang berlawanan dengan preferred reading, (di dalam O‟Sulivan, et. al.1994). Namun pendapat Hall tersebut dipandang tidak mampu menjelaskan hal-hal lebih rinci sebagaimana dirumuskan dalam pertanyaan/permasalahan penelitian. Oleh karenanya penelitian ini lebih bersandar pada tokoh lain yakni Ien Ang yang memberi perhatian besar pada dimensi keaktifan audien dalam proses pemaknaan , bukannya sekedar mengkategorikan respon audien sebagaimana yang dilakukan Hall.
Sejalan dengan pernyatan di atas, teori resepsi yang dikemukakan Ien Ang dalam „The Nature of the Audiens‟ (Downing, Mohammadi and Sreberny,1990:155) memfokuskan perhatiannya pada penjelasan tentang bagaimana khalayak memahami televisi dan jenis-jenis makna serta kesenangan mereka yang berasal dari media dalam kehidupan sehari-harinya. Pendekatan yang dikemukakannya cenderung mengecilkan kekuatan media yang ingin membuat pesan-pesannya agar dipahami secara universal. Ang mengulas berbagai model teoritis penonton termasuk gagasan khalayak massa dan pandangan 'uses and gratification‟ yang berbeda dengannya. Dalam pemikirannya Ang menunjukkan bagaimana teori-teori baru dikembangkan dan bagaimana kritik dari satu
21
pendekatan menjadi dasar untuk perspektif yang berbeda. Penekanan Ang pada bagaimana beragam khalayak memiliki reaksi yang berbeda, membawanya pada satu analogi bahwa perempuan tidak menggunakan media dalam cara yang sama seperti lakilaki. Demikian pula anggota ras, etnis, dan kelompok minoritas lainnya mungkin melihat konten berita tertentu atau pemrograman hiburan dari sudut pandang yang berbeda dari anggota budaya yang dominan. Oleh karenanya penekanan Ang terletak pada khalayak aktif dan beragam.
Titik awal pemikirannya adalah makna teks media bukanlah sesuatu yang tetap atau melekat dalam teks. Sebaliknya teks-teks media memperoleh makna hanya pada saat penerimaan, yaitu ketika teks dibaca, dilihat, didengarkan, atau apa pun oleh pembaca atau penontonnya. Dengan kata lain, khalayak dilihat sebagai produsen makna, bukan hanya konsumen konten media. Mereka membaca sandi atau menafsirkan teksteks media dengan cara yang berhubungan dengan keadaan sosial, budaya serta pengalaman mereka dengan lingkungan sosialnya. Dari perspektif ini, para peneliti resepsi telah mulai mempelajari cara-cara yang berbeda dimana kelompok-kelompok khalayak yang beragam menginterpretasikan teks media yang sama. Minat mereka bukan diarahkan pada cara-cara individual dimana orang memahami teks tersebut, tetapi makna sosial, yaitu makna yang sama secara kultural.
Para peneliti resepsi bertujuan untuk mengungkap bagaimana orang-orang dalam konteks sejarah dan sosial mereka sendiri memahami segala macam teks media dengan cara yang bermakna, cocok, dan mudah diakses oleh mereka. Contoh menarik yang
22
dapat dilihat, bagaimana sebuah acara televisi seperti „Dallas‟ sangat populer telah diterima dan diinterpretasikan oleh kelompok orang-orang yang berbeda diseluruh dunia. Bagi kebanyakan orang Amerika adalah fakta yang mereka miliki disamping pengetahuan cukup akrab bahwa Dallas merupakan pusat industri minyak di Texas. Namun bagi banyak orang yang tinggal di Eropa atau dinegara-negara dunia ketiga yang menonton Dallas mungkin bahkan tidak mengetahui secara pasti keberadaan Texas. Akibatnya sangat mungkin bahwa interpretasi mereka pada cerita akan berbeda dari orang-orang Amerika. Terkait dengan Dallas beberapa peneliti asal Israel seperti Tamar Liebes dan Elihu Katz menemukan bahwa orang-orang non Amerika lebih siap untuk melihat Dallas sebagai representasi 'realistis' dari Amerika Serikat daripada orang Amerika sendiri, yang cenderung lebih menekankan aspek mencolok dari sinetron glamor (Liebes&Katz,1986) dalam Downing, Mohammadi and Sreberny (1990:161). Singkatnya meskipun Dallas adalah program global yang nyaris populer, bukan berarti akan ditafsirkan dan dimaknai dengan cara yang sama. Dallas adalah program yang berbeda di Amerika Serikat dibandingkan di Eropa, dan masih akan berbeda lagi ditafsirkan di negara-negara lain. Namun dalam banyak hal bukan berarti bahwa semua orang Amerika akan membuat interpretasi yang sama terhadap Dallas dan pertunjukan lainnya. Bagaimanapun juga terdapat banyak kelompok komunitas dan subkultur di Amerika Serikat yang menurut para peneliti resepsi masing-masing akan 'bernegosiasi‟' dengan teks dalam cara yang masuk akal sesuai situasi sosial dan budaya mereka. Sebagai contoh misalnya, gadis remaja penggemar Madonna (entah lagu, film, pertunjukan, wawancara majalah, dan lainnya yang dapat dianggap sebagai satu set
23
teks) akan ditafsirkan dengan cara yang sama sekali berbeda dari seorang laki-laki pembaca majalah playboy. Gadis-gadis mungkin memuja dan mencontoh citra kemandirian Madonna; sebagai salah satu penggemar seorang gadis akan berkata: „dia seksi tapi dia tidak membutuhkan laki-laki ... baginya semua untuk dirinya sendiri‟, Fiske (1987) dalam Downing, Mohammadi and Sreberny (1990:162).
Tidak seperti yang dilakukan dalam penelitian uses and gratifications, penelitian resepsi tidak menggunakan kuesioner standar sebagai metode penelitiannya, mereka menggunakan metode kualitatif seperti wawancara kelompok dan wawancara individual mendalam dimana mereka mencoba untuk mengungkap interpretasi tertentu dari sekelompok kecil penonton atau pembaca pada konten media. Sehingga peneliti resepsi umumnya tidak membangun satu set lengkap kategori sebagaimana yang dilakukan oleh para peneliti uses and gratification. Hal ini karena mereka berpikir bahwa penerimaan dan produksi makna tidak dapat dipisahkan saat konteks tertentu berlangsung dan dapat dipahami bermakna. Radway (1987) pernah meneliti cara dimana sekelompok pembaca setia menafsirkan novel roman, Hobson (1982) dan Seiter, Borchers, Kreutzner dan Warth (1989) telah meneliti bagaimana perempuan kelas pekerja di Inggris dan Amerika Serikat memahami sinetron favorit mereka, dan Peterson (1987) telah melakukan kajian makna yang beragam pada sekelompok mahasiswa terhadap Cyndi Lauper dengan lagu pop yang berjudul‟Girls Just Want to Have Fun'. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana makna diproduksi sejalan dengan konteks yang bermakna bagi masing-masing kelompok yang berbeda.
24
Penelitian ini terkait studi reception sesuai pemikiran Ien Ang yang menyatakan bahwa khalayak adalah partisipan aktif dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat sesuai dengan konteks budaya. Isi media dipahami sebagai bagian dari sebuah proses dimana common sense dikontruksi melalui pembacaan yang diperoleh dari gambar dan teks bahasa. Sementara makna teks media bukanlah fitur yang transparan, tetapi produk interpretasi oleh pembaca dan penonton (Street, 2001 : 95-97). Asumsinya adalah, sebelumnya media hanya menjadi penyalur informasi maka kini ia menjadi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi. Media kini bertugas untuk membawa audiensnya masuk dalam dunia makna yang lebih luas, tidak terbatas pada tempat dan waktu kejadian sebuah peristiwa.
Para peneliti uses and gratification berusaha untuk menjawab pertanyaan mengapa orang memanfaatkan sajian media, sedangkan para peneliti resepsi tertarik pada apa yang dilihat orang di media serta bagimana mereka memaknainya. Pertanyaan yang ditinggalkan oleh dua pendekatan yang tampak sederhana tersebut terkait dengan bagaimana orang hidup dengan media atau dapat dikatakan bagaimana media terintegrasi ke dalam kehidupan seseorang sehari-harinya, menjadi fokus perhatian yang ingin diungkap oleh Morley (1986) dari Inggris. Sebagai
salah seorang peneliti
penonton, Morley tertarik untuk menangani pertanyaan tentang bagaimana media terintegrasi kedalam kehidupan sehari-hari. Ia menyatakan bahwa ketika kita meneliti apa artinya bagi seseorang menonton televisi, mungkin lebih penting untuk melihat konteks domestik kehidupan keluarga dimana orang memanfaatkan televisi daripada
25
hanya sekedar untuk mengetahui interpretasi yang dibuat seseorang pada setiap jenis program yang ditawarkan media. Morley begitu tertarik pada peran menonton televisi yang dia sebut sebagai 'politik dari ruang tamu'. Tujuan keseluruhan dari penelitiannya adalah untuk menunjukkan bahwa menonton televisi tidak dapat diasumsikan sebagai aktivitas satu dimensi yang memiliki arti setara atau signifikan setiap saat bagi semua orang yang melakukan itu. Sebagai gambaran tentang hal ini dapat dilihat ketika seorang wanita mengatakan: „semalam kami berdua hanya menonton televisi sesaat saja ketika suami saya sedang dalam keadaan marah, dia datang ke rumah hampir tidak mengatakan apa-apa kecuali hanya mengganti program televisi'. Herman Bausinger (1984) dalam kasus ini menyatakan bahwa menyalakan televisi disini tidak berarti 'Saya ingin melihat sesuatu' melainkan 'saya ingin mendengar dan melihat apa saja‟. Dalam kasus tersebut melihat televisi bukanlah suatu tujuan akan tetapi merupakan sekedar pengalihan dari kemarahan.
Dalam studinya tentang bagaimana menonton
televisi
ditempatkan
pada
kehidupan keluarga, Morley (1986) mewawancarai 18 keluarga kelas pekerja di London. Diantara temuan yang paling menarik dari studinya adalah perbedaan jender pada kesukaan dan cara menonton. Dalam temuannya dikatakan bahwa laki-laki lebih memilih untuk menonton program faktual (berita dan olahraga), sementara perempuan lebih suka fiksi (sinetron dan drama seri lainnya). Selanjutnya laki-laki lebih penuh perhatian dalam menonton program (agar tidak kehilangan acaranya), sementara perempuan cenderung untuk menggabungkan menonton dengan kegiatan lain, seperti merajut, berbicara dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Memang banyak perempuan
26
merasa bahwa menonton televisi tanpa melakukan hal lain akan membuang-buang waktu. Sebagai contoh ketika seorang wanita berkata: ‟saya punya hal yang harus dilakukan, saya tahu dan saya tidak bisa terus menonton televisi, saya berpikir oh Tuhan, aku harus melakukan ini atau itu‟.
Hasil temuan lain dalam studi Morley adalah kenyataan ketika keluarga dalam kebersamaan, laki-laki biasanya mengendalikan pemilihan program. Selanjutnya Morley menyatakan: kekuatan maskulin terlihat di sejumlah keluarga sebagai penentu utama pada kesempatan konflik atas pilihan menonton. Ia mengutip ketika seorang lakilaki dalam konteks ini berkata: „saat membahas apa yang kita semua ingin menonton, kemenangan terbesar ada ditanganku, aku yang terbesar'. Secara simbolis kekuasaan yang diandalkan oleh pria dirumah adalah perangkat remote control ditangannya, baik dari televisi ataupun video recorder. Bahkan ketika salah seorang anak perempuannya mengatakan: 'Ayah siap menjamin dengan baik kendali otomatis, di setiap sisi acara‟. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak mendapatkan kesempatan untuk menonton program favorit mereka, tetapi mereka lebih sering melakukannya ketika mereka sendirian, ketika anggota keluarga lainnya tidak sedang berada dirumah.
Tentu saja pola yang berkaitan dengan jender seperti gambaran diatas tidak terjadi pada semua keluarga. Situasi mungkin berbeda dalam keluarga dengan kelas dan latar belakang etnis yang berbeda, pada keluarga dengan orangtua tunggal, atau pada keluarga dengan kedua orangtua yang berkarir serta bentuk-bentuk keluarga lain yang berbeda. Ini adalah pola dominan di Amerika Serikat yang dikonfirmasi oleh beberapa
27
peneliti Amerika (Lindolf, Shatzer & Wilkinson, 1988.Lull, 1982) dalam Downing, Mohammadi and Sreberny (1990:164).
Penting pula dicatat bahwa pola-pola ini tidak didasarkan pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki atau pada otoritas alami yang dimiliki oleh laki-laki, melainkan mereka adalah efek dari peran sosial tertentu yang terdapat didalam keluarga Amerika. Bagi laki-laki rumah terutama didefinisikan sebagai tempat untuk beristirahat setelah bekerja seharian. Oleh karena itu mereka cenderung untuk mempertimbangkan menonton televisi sebagai sesuatu yang mereka dapatkan secara alamiah. Perempuan bagaimanapun biasanya dalam rumah tangga merupakan orang-orang yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan perawatan anggota keluarga meskipun saat ini banyak juga perempuan yang bekerja di luar rumah. Akibatnya bagi perempuan menonton televisi sering terganggu oleh rasa tanggungjawab domestik dan mereka sering memberikan preferensi mereka sendiri dalam melayani orang lain.
Penelitian Morley mulai memetakan situasi sosial dimana pola konsumsi media diatur dalam rutinitas masyarakat sehari-hari. Hubungan antara konsumsi media yang diatur dalam rutinitas sehari-hari tersebut dibuat tidak hanya terkait dengan kesenangan dan kepuasan, tetapi juga melibatkan adanya kekuasaan dan pertentangan. Masih banyak yang dapat diketahui tentang bagaimana media ditempatkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar penelitian yang dilakukan sejauh ini terbatas pada televisi, hal ini dimungkinkan karena televisi adalah media yang paling banyak digunakan.
28
Para peneliti resepsi tertarik pada yang dilihat orang di media serta bagaimana mereka memaknainya. Terkait dengan pemaknaan, Ien Ang berpendapat bahwa khalayak adalah partisipan aktif dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, dengar dan lihat sesuai dengan konteks budaya. Interpretasi makna oleh khalayak sesuai dengan apa yang dibaca , dilihat dan didengar terkait konteks sosial mereka, dapat dikatakan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Dengan demikian makna pesan media tidaklah permanen, makna dikontruksi oleh khalayak melalui komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya, khalayak adalah aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media. Masih mengurai keterkaitan makna dengan menonton televisi sebagai aktivitas sosial-kultural, Barker berpendapat jika pemirsa merupakan pencipta makna yang aktif dalam hubungannya dengan televisi (mereka tidak semata-mata menerima makna tekstual begitu saja) dan mereka melakukannya berdasarkan kompetensi kultural yang telah diperoleh sebelumnya dalam konteks bahasa dan hubungan sosial. Pendapat Barker mengenai pemirsaan televisi oleh khalayak terurai sebagai berikut: (1) Penonton dipahami sebagai penghasil makna yang aktif, bukan produk dari teks yang terstruktur; (2) Makna selain terikat oleh cara bagaimana teks terstruktur juga terkait konteks domestik dan kultural saat aktivitas menonton berlangsung. (3) Penonton harus dipahami dalam konteks di mana mereka menonton televisi dalam arti kontruksi makna maupun rutinitas hidup sehari-hari, (4) penonton bisa dengan mudah membedakan antara fiksi dan realitas; mereka bahkan bermain-main dengan batas antara keduanya.
29
(5) Proses kontruksi makna dan tempat televisi dalam rutinitas hidup sehari-hari bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain, dan berbeda juga dalam pengertian jender dan kelas dalam satu komunitas kultural (Barker, 2009: 287). Mendukung pemikiran Barker, masih terkait dengan pemaknaan oleh audien, para sarjana bidang media berpendapat, bahwa audien (penonton) tidak dapat dicirikan sebagai massa yang tidak berbentuk, melainkan terdiri dari banyak masyarakat yang sangat berbeda, masing-masing dengan nilai-nilai, ide-ide dan ketertarikan serta kepentingan mereka. Konten media diinterpretasikan dalam masyarakat sesuai dengan makna yang disusun secara sosial didalam kelompok, sementara individu lebih terpengaruh oleh kelompoknya daripada media. Mewakili kelompok pemikir ini, Schoening dan Anderson dalam Littlejohn & Foss (2008:295) menggaris bawahi enam premis kesimpulannya tentang makna konten media, yang pertama, bahwa makna bukan terdapat pada pesannya tetapi diproduksi oleh proses interpretasi audien. Audien yang berbeda akan menginterpretasikan apa yang mereka lihat dan mereka baca dengan cara yang berbeda. Premis kedua, makna pesan media dan program tidak ditentukan secara pasif, tetapi diproduksi secara aktif oleh audien. Premise yang ketiga, makna media berubah secara terus menerus, sebagaimana
audien mengkonsumsi media
dengan cara yang berbeda, kadang – kadang percakapan program radio mungkin menjadi hiburan, kadang berupa informasi yang serius, kadang hanya berupa latar belakang kegaduhan, tergantung pada bagaimana dan kapan siaran itu didengarkan. Keempat, makna suatu program atau pesan tidak pernah ditentukan secara individu, melainkan terkait dengan masyarakat atau budaya. Premis kelima bagaimana individu
30
beraktivitas terkait dengan media dan makna apa yang timbul dalam aktivitas tersebut. Ini diartikan bahwa bagaimana seseorang menonton televisi dan apa yang dilakukan terhadap televisi merupakan bagian dari interaksi antara individu dengan orang lain. Akhirnya premis keenam dari social action media studies, para peneliti bergabung dengan masyarakat yang diteliti jika hanya untuk sementara waktu mereka memiliki kewajiban etika untuk terbuka tentang apa yang mereka teliti dan mereka pelajari. Sejalan dengan social action media studies, suatu cara populer untuk pendekatan media adalah berpikir tentang audien yang terdiri dari sejumlah penafsiran masyarakat, masing-masing dengan maknanya sendiri tentang apa yang mereka baca, mereka lihat dan mereka dengar. Para peneliti adalah bagian dari masing- masing komunitas dan mereka akan membawa maknanya masing – masing tentang media yang menjadi studi dalam proses penelitian. 2 . Reader-response theory Beberapa peneliti resepsi seperti Radway (1987), telah menggunakan istilah „interpretive communities‟ untuk menunjukkan kelompok orang yang membuat penafsiran umum dari teks. Sementara Hebdige (1979) dalam sumber yang sama (Downing, Mohammadi and Sreberny 1990:161), menyebutnya sebagai 'subkultur', yakni orang-orang yang berbagi preferensi jenis tertentu dari konten media (misalnya pecinta sinetron atau penggemar musik metal). Masyarakat atau subkultur tersebut tidak harus secara fisik bersatu dalam satu lokasi secara geografis dan dapat terdiri dari berbagai macam orang yang tidak saling mengenal satu sama lain, tetapi secara simbolis mereka dihubungkan oleh kepentingan dalam produk media yang sama.
31
Stanley Fish seorang kritikus sastra melalui pendekatan sosial-konstruksionisnya mengatakan, bahwa pembaca teks adalah anggota interpretive communities, kelompok yang saling berinteraksi satu sama lain, membentuk makna dan realitas bersama dan menggunakannya dalam pembacaan mereka; dengan demikian makna benar-benar terdapat dalam interpretive community pembacanya. Sesuai pemikiran Fish, dalam Dictionary of Media and Communications (2009:163), interpretive community diartikan
sebagai group of people who fginterpret a text or media
product
homogeneously, sekelompok orang yang menginterpretasikan teks sebagai produk media secara homogen. Sedangkan dalam Dictionary of Media Studies ( 2006:129 ) dinyatakan, the idea that a text‟s meaning is not an essential part of it, but comes from the shared ideology of the „community‟ reading it
gagasan tentang makna teks
bukanlah bagian penting yang berasal dari teks, tetapi berasal dari ideologi masyarakat' pembacanya. Fish membuahkan banyak karyanya tentang interpretasi tekstual serta mempertanyakan tentang keberadaan makna. Fish menyangkal bahwa makna dapat ditemukan dalam teks. Baginya makna terletak pada pembaca yang paling terkait, teorinya disebut reader- response theory. Baginya bukan “what does text mean” but “what does text do”, bukan apa yang dimaknai teks tetapi apa yang dapat dilakukan oleh teks. Teks menstimuli pembaca aktif, akan tetapi menurutnya stimuli itu terdapat pada pembacanya, bukan pada teks (Littlejohn, Foss: 2008:134). Bagaimanapun Fish menyatakan bahwa menandai makna bukan hanya urusan individu, oleh karena seorang pembaca teks adalah anggota interpretatif kelompok masyarakat yang berinteraksi satu
32
sama lain, membangun realitas umum dan makna, dan menggunakannya dalam pembacaan mereka. Jadi makna benar-benar berada dalam interpretasi komunitas pembaca.
Reader-response theory dari Stanley Fish yang berfokus pada pembacaan khalayak sebagai anggota interpretatif kelompok masyarakat yang berinteraksi satu sama lain, dan membentuk makna serta menggunakannya secara bersama, diasumsikan dapat diterapkan sebagai dasar menganalisis resepsi penonton program televisi SSTI yang berbeda-beda.
3. Feminist Media Studies
Istilah jender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sementara Ann Oakley (1972) diambil dari sumber yang sama mengartikan jender sebagai kontruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia dan dibangun oleh kebudayaan manusia (Riant Nugroho, 2011:3). Sedangkan dalam Dictionary of Media Studies (2006:99) jender dikatakan sebagai gagasan identitas seksual. Gagasan ini didasarkan pada pertimbangan sosial dan budaya serta historis yang lebih menggambarkan 'perasaan' seksualitas bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan biologis murni. Money (1955) pada sumber yang sama mengatakan bahwa peran dalam istilah jender digunakan untuk menandai semua hal yang dikatakan atau dilakukan
33
seseorang dalam mengungkapkan dirinya masing-masing apakah memiliki status lakilaki, pemuda, gadis atau perempuan.
Oposisi jenis kelamin yang diuraikan diatas melahirkan kontruksi jender yang berdampak pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi superordinat dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan dijalankan berdasarkan pemahaman mengenai superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan. Laki-laki menciptakan legitimasi yang terbentuk melalui lembaga-lembaga patriarkhal guna melanggengkan posisi superioritasnya terhadap perempuan. Sehingga penciptaan legitimasi tersebut menjadikan pandangan dan perlakuan laki-laki terhadap perempuan sejalan dengan yang dilegalkan oleh lembagalembaga patriarkal dan membuat perempuan mengikuti ideologi tentang ketidak setaraan jender.
Membahas mengenai jender akan lebih lengkap jika tinjauan juga mengacu pada studi media feminis yang telah menjadi wilayah penelitian sangat kuat dalam studi budaya. Studi media feminis yang selama bertahun-tahun mengkritisi stereotip jender (gender-depiction-studies) yakni studi yang berorientasi pada jenis kelamin, tentang bagaimana obyektivikasi perempuan oleh media, mulai beralih untuk melihat bagaimana khalayak memahami gambaran perempuan dalam media (Gender-receptionstudy). Studi media feminis saat ini tertarik untuk mencermati pada bagaimana khalayak sebenarnya membuat, atau bernegosiasi, dengan makna pesan media (meaning-
34
negotiation-studies); dengan adanya pergeseran pada orientasi ini dapat diharapkan perspektif jender juga telah berubah (Littlejohn, Foss, 2008:306).
Sementara negosiasi dalam kaitan dengan bahasan disini, sesuai yang dimuat dalam Dictionary of Media Studies, diartikan sebagai proses kompromi antara pembacaan yang ditawarkan oleh teks (media) dengan asumsi serta pembaca sendiri (2006:156). Demikian pula
interpretasi
dalam Dictionary of Media and
Communication (Danesi,2009 : 210) disebutkan bahwa negosiasi yang dimaksudkan dalam pembahasan ini terkait dengan negotiated reading , yakni merupakan interpretasi teks sebagai hasil kompromi yang dicapai antara pembuat teks dengan pembacaan yang disukai oleh penerima teks. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam proses negosiasi disini pemaknaan teks lebih difokuskan pada penerima teks , sebagaimana yang dikemukakan dalam pemikiran Ang yang melihat khalayak sebagai produsen makna, bukan hanya konsumen konten media, sehingga makna teks sangat terkait pada pembacanya, yakni pada saat teks tersebut dibaca dan dilihat oleh audien media.
Dalam studi awal stereotip di media, jender dipahami untuk membedakan antara karakteristik serta penggambaran perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki diamati untuk digambarkan dalam peran yang lebih kuat, sementara perempuan lebih patuh. Studi resepsi berfokus pada faktor-faktor sosial dan budaya dalam keluarga, institusi, dan kekuatan lain yang mempengaruhi bagaimana gambaran media diterima atau dipahami. Sebagai contoh dapat dikemukakan dalam melihat karakter laki-laki atau perempuan di televisi, persepsi penonton akan dipengaruhi oleh adanya kekuatan sosial
35
yang telah dialami sepanjang hidupnya. Dengan kata lain apa yang hendak dilihat oleh penonton sebagai individu tidak semata-mata ditentukan oleh kerangka pikir dan pengalamannya sendiri, tetapi juga dengan situasi lingkungan sosial saat menonton. Inilah yang dimaksud dengan depiction and reception (gambaran dan penerimaan). Salah satu proses yang berlangsung dalam
gambaran dan penerimaan antara lain
adanya negosiasi, dalam tahapan ini berlangsung proses bagaimana seorang individu menegosiasikan makna jender yang dilihatnya dimedia mendasari pilihan tentang berbagai aspek program media yang ingin mereka arahkan. Contoh seseorang mungkin (1) memperhatikan stereotip jender tertentu secara serius, seperti kasus pada seorang gadis yang mengidealkan bentuk perempuan sebagaimana digambarkan dalam media seperti Britney Spears, Lindsay Lohan, Jessica Simpson atau (2) mengabaikan penggambaran orang-orang sebagaimana terjadi pada pemikiran anak laki-laki yang merasa tidak keren jika memperhatikan bintang wanita, atau seorang ibu yang menginginkan suatu gambaran yang berbeda pada media bagi anak-anak mereka. (3) menikmati gambar-gambar pada beberapa kasus dapat dimaknai sebagai ironis, bahkan dimungkinkan
terjadi
dengan satiris (4)
para penonton
bisa
menggunakan
penggambaran ini untuk memberdayakan mereka saat mengambil tindakan sosial, dan ini bisa terjadi dengan (5) beberapa kombinasi di atas. Jender penting pada saat berlangsungnya produksi makna, kepentingannya tergantung pada bagaimana pemirsa bernegosiasi dengan orientasi mereka dalam produksi makna tersebut ( Littlejohn, Foss, 2008:306).
36
Masih sejalan dengan pemahaman jender untuk membedakan antara karakteristik serta penggambaran perempuan dan laki-laki, Cheris Kramarae dalam Littlejohn dan Foss (2008:116) menghubungkan implikasi bahasa dan jender untuk pertamakalinya dan mengembangkan dimana pesan memperlakukan perempuan dan laki-laki dengan cara berbeda. Kramarae tidak hanya mencatat pentingnya bahasa dalam menginterpretasikan pengalaman, baginya setiap bahasa memiliki relasi kekuasaan yang tertanam didalamnya, dan mereka yang merupakan bagian dari sistem bahasa dominan cenderung memiliki persepsi, pengalaman, dan cara berekspresi kedalam bahasa. Dalam kasus bahasa Inggris, Kramarae percaya bahwa bahasa itu adalah „buatan' dan dengan demikian diwujudkan lebih pada perspektif maskulin dari feminin. Dalam persepsi lakilaki kulit putih kelas menengah, khususnya dalam praktik bahasa standar yang normal banyak dipakai istilah pria dalam pekerjaan sementara perempuan menyimpang dari kategori kebiasaan, contoh yang dikemukakan seperti waiter (untuk laki-laki) versus waitress (untuk perempuan), actor (untuk laki-laki) versus actrees (untuk perempuan), sementara masih menurut Kramarae Mr adalah sedikit dari istilah yang tidak mengandung informasi tentang status perkawinan, sedangkan istilah miss dan mrs dilakukan untuk memberikan informasi yang lebih berguna bagi laki-laki daripada perempuan. Tidak hanya bahasa itu sendiri, tetapi termasuk instrumen bahasa, kamus, dalam pandangan orang kulit putih seperti halnya struktur sosial dan lembaga bahasa, lembaga
teknologi,
pendidikan
dan
sejenisnya.
Selanjutnya
Kramarae
juga
mengungkapkan gagasan bahwa kekuatan sosial yang sebagian besar mengatur penciptaan bahasa seringkali didalamnya tertanam pembungkaman terhadap perempuan
37
dengan cara yang mendalam. Pada titik terakhir pemikirannya
Kramarae
menggabungkan karya antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener pada muted group theory. Edwin Ardener mengamati bahwa antropolog cenderung mencirikan budaya dalam hal maskulin, menunjukkan etnografi yang bias terhadap pengamatan laki-laki dalam budaya. Pada pengujian lebih lanjut, namun tampaknya menguat bahwa budaya bahasa sebenarnya memiliki bias laki-laki yang melekat, bahwa laki-laki menciptakan makna bagi kelompok, dan bahwa suara feminin ditekan atau 'diredam'. Pembungkaman perempuan ini dalam pengamatan Ardener menyebabkan ketidak mampuannya untuk mengekspresikan diri mereka fasih dalam bahasa laki-laki. Shirley Ardener menambahkan ke teori dengan menunjukkan bahwa keheningan perempuan memiliki beberapa manifestasi dan sangat jelas dalam wacana publik. Perempuan merasa kurang nyaman dan kurang ekspresif dalam situasi publik daripada laki-laki, mereka merasa lebih nyaman dalam situasi pribadinya. Akibatnya, perempuan memantau komunikasi mereka sendiri lebih intens daripada laki-laki. Perempuan cenderung melihat apa yang mereka katakan dan menerjemahkan apa yang mereka rasakan dan berpikir dalam istilah laki-laki. Ketika makna maskulin dan feminin dalam ekspresi konflik, maskulin cenderung menang karena adanya dominasi laki-laki dalam masyarakat. Hasilnya adalah wanita menjadi bungkam. Kramarae memperluas pekerjaan Ardener dengan mengintegrasikan hasil penelitian pada wanita dan komunikasi. Kramarae sangat prihatin dengan cara perempuan harus menerjemahkan persepsi dan makna mereka sendiri kedalam hal pandangan dunia laki-laki untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Perempuan
38
kadang-kadang lebih sulit mengekspresikan diri daripada laki-laki. Kramarae juga mencatat bahwa karena perempuan secara lisan diredam, mereka lebih mengandalkan ekspresi non verbal dan menggunakan bentuk non verbal yang berbeda dibandingkan laki-laki. Beberapa penelitian telah menunjukkan misalnya, bahwa ekspresi wajah, gerak tubuh, serta jeda vokal lebih penting dalam diskusi perempuan daripada laki-laki dan sebagai konsekuensi diredam itulah maka perempuan merespon dengan berbagai cara. Mendasarkan pada muted theory dari pemikiran Kramarae yang diawali dari titik berangkat adanya perlakuan terhadap konten pesan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, demikian pula adanya relasi kekuasaan yang tertanam dalam setiap bahasa dimana kesemuanya lebih mewujud pada perspektif maskulin daripada feminin, menjadikan perempuan selain sulit untuk mengekspresikan diri kedalam pandangan dunia laki-laki juga menjadikannya kendala untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Respon terhadap kondisi ini menjadikan mereka lebih mengandalkan dan menggunakan ekspresi dalam bentuk non verbal yang berbeda dibandingkan laki-laki. Beberapa penelitian merangkum bentuk ekspresi non verbal yang
terwujud dalam
ekspresi wajah, gerak tubuh, serta jeda vokal yang ditampilkan oleh perempuan sebagai variabilitas macam ekspresi dalam pidato mereka. Dalam membahas relasi jender yang juga menjadi perhatian dalam penelitian ini, peneliti mengacu pada tulisan Reeves dan Sally (2000:10) yang mengatakan bahwa relasi jender (Gender Relation) adalah relasi kuasa yang hirarkis antara laki-laki dan perempuan dan merupakan relasi kuasa yang cenderung merugikan perempuan. Relasi
39
jender terjadi secara simultan yang ditandai dengan kerjasama, ketertautan, saling mendukung, konflik, bahkan perpisahan dan persaingan yang terjadi karena perbedaan dan ketidak setaraan. Relasi jender berkaitan dengan bagaimana kuasa (power) secara hirarkis didistribusikan diantara kedua jenis kelamin tersebut seringkali dianggap sebagai relasi yang „normal‟, alami, namun relasi tersebut dibentuk secara sosial dan budaya dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Terkait dalam membahas tentang sublimasi peneliti mengacu pada pemikiran Kramarae serta menganalogikannya sebagai salahsatu bentuk ekspresi non verbal yang ditampilkan perempuan. Disini sublimasi dimaknai sebagai satu cara (upaya) perubahan kearah tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan jika ditinjau dari aspek psikologi, sublimasi dapat dikatakan sebagai pengalihan hasrat pada tingkah laku yang dapat diterima oleh norma masyarakat, sesuai pemikiran Freud yang dimuat dalam Bertens, K (2006:65) dimana sublimasi merupakan suatu pengalihan ungkapan perasaan yang menghasilkan prestasi kebudayaan lebih tinggi. Sedangkan bagi Nietzsche, sublimasi diartikan sebagai penyaluran dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu kedalam tindakan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dorongan dan nafsu ini dapat sebagai perusak masyarakat kalau mereka disalurkan secara alamiah. Hanya melalui sublimasi orang dapat hidup sesuai dengan moralitas yang berdasarkan pada prinsip kehendak untuk berkuasa. Sublimasi juga dapat menjadikan orang kuat dan berkuasa (ST. Sunardi 2006: 101). Bentuk „kuasa‟ yang ditampilkan oleh para tokoh perempuan dalam setiap episode program sinetron SSTI, menunjukkan adanya sublimasi sebagai pengalihan hasrat tingkahlaku
40
yang dapat diterima oleh norma masyarakat, selain dapat juga dikatakan sebagai ekspresi respon non verbal karena mereka dibungkam.
Sitcom (situation comedy, komedi situasi) merupakan genre (style, gaya) tayangan komedi yang didasarkan pada situasi sosial dan dengan mudah dapat diidentifikasi penonton serta disiarkan secara berulang. Sitkom telah terbukti menjadi genre penyiaran paling tahan lama dan populer di Amerika dengan berorientasi pada karakter dan situasi berulang untuk mengeksplorasi kehidupan dirumah, tempat kerja, dan lokasi umum lainnya dalam kemasan lucu dan dengan cara menyindir sebagaimana dinyatakan dalam Danesi (2009 : 271). SSTI dapat dikategorikan sebagai tayangan program sitcom, sebagaimana pernyataan Danesi tersebut karena selain memenuhi kriteria dari sisi genre, tayangan ini juga berfokus pada situasi sosial yang berlatar belakang seputar kehidupan rumahtangga. Tayangan inipun dapat diinterpretasikan sebagai sindiran, yakni sebagai respon non verbal yang diekspresikan dalam wujud kuasa para perempuan pendukung cerita. Sedangkan bilamana menyimak sejak dari judul sinetron, cerita yang tampil dalam setiap episode ataupun para pemain yang mengucapkan kata-kata ataupun memerankan adegan-adegan dalam setiap tayangan, sengaja menunjukkan kebalikan maupun tidak sesuai dengan realita yang terjadi dalam konteks sosial umumnya, namun justru disitulah diharapkan menjadi pangkal kelucuan cerita. Dengan demikian maka episode-episode yang ditayangkan dalam sinetron SSTI bisa juga dikelompokkan dalam pengertian ironi.
41
Sebagaimana ditemukan dalam sumber Dictionary of Media Studies (2006:124) dikatakan bahwa ironi dapat mencakup adanya tiga pengertian, yaitu (1) humor berdasarkan penggunaan kata yang menunjukkan kebalikan dari makna harfiahnya (2) sesuatu yang dikatakan atau ditulis dengan menggunakan humor berdasarkan kata-kata yang menunjukkan kebalikan dari makna harfiahnya serta (3) ketidaksesuaian antara apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang dapat diharapkan terjadi, terutama ketika perbedaan ini tampaknya tidak masuk akal atau menggelikan.
Oleh karena cerita-cerita komedi tentang kelucuan yang ada dalam setiap episode sinetron
SSTI dalam penelitian ini bisa dikategorikan dalam pengertian-
pengertian ironi diatas, maka pengertian ironi juga menjadi acuan peneliti. Istilah-istilah yang telah terurai diatas diharapkan menambah pemahaman peneliti sebagai dasar untuk mengungkap serta menganalisis hal-hal yang sudah dimuat dalam tujuan penelitian.
F. Metoda Penelitian
1. Tipe dan Pendekatan Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dimana
tidak
mengutamakan besarnya populasi ataupun sampel. Persoalan kedalaman (kualitas) data lebih ditekankan daripada banyaknya (kuantitas) data. Sementara peneliti adalah bagian integral dari data, artinya peneliti ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan, disamping menjadi instrumen penelitian yang harus terjun langsung ke
42
lapangan. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat subjektif dan hasilnya lebih kasuistik, bukan untuk digeneralisasikan. Pendekatan atau metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis resepsi. Analisis resepsi mencoba mengungkap berbagai interpretasi atas isi media oleh sejumlah kecil penonton atau pembaca (Downing, 1990: 162). 2. Setting Penelitian a. Subyek penelitian, dalam penelitian kualitatif disebut sebagai informan (narasumber) penelitian ini berfokus pada pengalaman subyek yang lebih dipentingkan daripada jumlahnya, demikian pula kualitas informasi serta jenis informasi yang didapatkan dari subyek (kedalaman serta keluasannya). Sehingga subyek dipilih yang memenuhi kriteria sesuai dengan kebijaksanaan peneliti dengan cara memilih informan sejalan dengan rekomendasi AGB Nielsen dalam newsletter yang diterbitkan tahun 2009, bahwa penonton sinetron SSTI mayoritas perempuan, berusia diatas 40 tahun dari kalangan kelas menengah. Narasumber perempuan yang dipilih mengonsumsi sinetron SSTI dan mampu menceritakan kembali setidaknya beberapa episode yang pernah mereka ikuti. Selain mendasarkan pada rekomendasi AGB Nielsen juga mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dimana penonton perempuan mayoritas menyukai sinetron (cerita fiksi, opera sabun). Sementara pemilihan kelas menengah selain juga mendasarkan pada temuan AGB Nielsen dalam newsletter yang diterbitkan tahun 2009, juga sesuai pendapat Howard Dick (1996:69) yang berargumen bahwa kelas menengah Indonesia dapat dikenali dalam kaitannya dengan cara berkonsumsi dan melalui gaya hidup mereka, sedangkan
Mahasin membagi
kriteria masyarakat kelas menengah
43
dalam golongan kampung dan gedongan (1996:69), maka kriteria subjek penelitian ini selain perempuan yang pernah menonton dan mampu menceritakan kembali tayangan sinetron komedi SSTI juga masing – masing berada pada kelas sosial menengah yang pola konsumsi dan gaya hidupnya berbeda (bervariasi). Kriteria ini dimaksudkan untuk memperoleh keberagaman data dari subjek yang diteliti, pembatasan tersebut dipilih karena juga akan berpengaruh terhadap kemampuan subjek dalam memahami, menginterpretasi serta meresepsi (memaknai) sinetron “SSTI” yang pernah mereka tonton. Masing – masing segmen dipilih sebanyak 3 (tiga) orang narasumber. Pengamatan berlangsung pada pemanfaatan media televisi oleh audien serta bagaimana sesama audien yang tergabung dalam interpretive communities berperan dalam membangun makna dari teks yang ditawarkan media. Semuanya akan diobservasi sebagai peristiwa konsumsi sinetron”SSTI” di televisi. b. Unit Analisis Unit analisis data dalam penelitian ini berupa informasi-informasi
yang
diberikan oleh narasumber penelitian berdasarkan hasil diskusi dan tanya jawab selama penelitian berlangsung. Mengacu pada
penelitian resepsi yang tidak menggunakan
kuesioner standar sebagai metode penelitiannya, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif seperti wawancara kelompok dan wawancara individual mendalam dimana peneliti mencoba untuk mengungkap pemaknaan dari sekelompok kecil penonton atau pembaca pada konten media. Sehingga peneliti disini sebagaimana dilakukan dalam penelitian resepsi umumnya tidak membangun satu set lengkap
44
kategori sebagaimana yang dilakukan oleh para peneliti uses and gratification. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penerimaan dan produksi makna tidak dapat dipisahkan saat konteks tertentu berlangsung dan dapat dipahami bermakna oleh narasumber penelitian. Pokok-pokok pertanyaan yang sudah dipersiapkan oleh peneliti hanya sebagai pedoman yang akan berkembang saat berlangsungnya wawancara maupun pertemuan pertemuan informal dengan para narasumber diluar wawancara yang dapat berlangsung setiap saat. c. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari informasi narasumber dalam bentuk rekaman suara selama berlangsungnya wawancara dan Focus Group Discussion. Sedangkan data sekunder diperoleh secara tidak langsung, berasal dari sumber lain di luar subjek yang diteliti, seperti dokumen, arsip, atau lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian sebagaimana dinyatakan Supranto (1991: 6). d. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dipilih sesuai kriteria segmentasi geografis
yang sudah
ditentukan secara metodologis adalah komplek perumahan Pemda di wilayah RW V Kelurahan Tembalang, mewakili golongan perumahan (gedongan) dan wilayah RW VII Kelurahan Tembalang mewakili golongan perkampungan, kedua lokasi tersebut masih dalam cakupan wilayah kelurahan Tembalang, kecamatan Tembalang, kota Semarang. Baik subyek yang bermukim dilokasi komplek perumahan Pemda maupun subyek yang berada di perkampungan merupakan keluarga-keluarga yang termasuk dalam
45
kriteria kelas menengah sebagaimana mengacu pada pendapat Howard Dick (1996:69) yang sudah disebut terdahulu, dimana argumentasinya menyatakan bahwa kelas menengah Indonesia dapat dikenali dari cara berkonsumsi dan melalui gaya hidup mereka. Narasumber yang berdomisili di perumahan umumnya berstatus sebagai pegawai negeri sipil, sementara di perkampungan meskipun umumnya tidak berstatus sebagai pegawai akan tetapi rata-rata rumah mereka dimanfaatkan sebagai rumah usaha yang selain menyediakan tempat „kost‟ untuk para mahasiswa juga usaha lain yang menunjang fasilitas kebutuhan mahasiswa, seperti kebutuhan alat tulis, fotocopy bahkan juga dimanfaatkan sebagai warung makan. Pemanfaatan rumah sebagai tempat usaha yang umumnya dilakukan sebagian besar warga perkampungan ini relatif dapat memberi tambahan penghasilan bagi keluarga dan menjadi pekerjaan utama para ibu rumahtangga. 3.Teknik Pengumpulan Data a. Teknik wawancara secara mendalam (indepth interview) Sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya, pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara secara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam memungkinkan pihak yang diteliti mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya, tidak sekedar menjawab pertanyaan peneliti. Pada tahap ini, wawancara dilakukan secara santai dan informal dengan tetap berpegang pada pedoman wawancara yang telah dibuat peneliti (Kriyantoro, 2006: 98). Wawancara mendalam juga merupakan wawancara tidak terstruktur dimana wawancara tersebut
46
dapat dilakukan secara leluasa melacak ke berbagai segi dan arah guna mendapat informasi yang selengkap dan semendalam mungkin (Bungin, 2004: 67). b. Focus Group Discussion (FGD) Dalam Metodologi kualitatif Burhan Bungin (2008:237) disebutkan, FGD adalah sebuah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif. Teknik ini dimaksud untuk memperoleh data dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD menjadi amat penting untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap masalah yang diteliti. Teknik ini juga digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap makna-makna intersubyektif yang sulit dimaknakan sendiri oleh peneliti karena dihalangi oleh dorongan subyektivitas peneliti. Bangunan FGD dibangun berdasarkan asumsi (a) keterbatasan individu selalu tersembunyi pada ketidaktahuan kelemahan pribadi tersebut. (b) Masing – masing anggota kelompok saling memberi pengetahuan satu dengan lainnya dalam pergaulan kelompok (c) Setiap individu dikontrol oleh individu lain, sehingga ia berupaya agar menjadi yang terbaik (d) Kelemahan subyektif terletak pada kelemahan individu yang sulit dikontrol oleh individu yang bersangkutan (e) Intersubyektif selalu mendekati kebenaran yang terbaik. Studi ini menggunakan diskusi kelompok dalam FGD yang berlangsung baik pada narasumber di lingkungan perumahan maupun narasumber di perkampungan, dan dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda, agar informasi yang diperoleh dari
47
masing-masing kelompok dapat dianalisis untuk mengetahui adanya interpretasi yang berbeda diantara keduanya. c. Metode Pengamatan Metode pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada
penelitian etnografi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) sangat menekankan untuk mengeksplorasi sifat dasar gejala sosial tertentu, daripada memberi perhatian untuk uji hipotesa (2) cenderung bekerja dengan data yang tidak terstruktur (3) meneliti kasus yang terbatas (4) analisa data menuntut penafsiran secara nyata atas makna dan tindakan manusia, hasil dari itu utamanya adalah bentuk deskripsi verbal dan penjelasannya dengan menomerduakan analisa statistik. Dalam penelitian etnografi peneliti lebih banyak bertindak sebagai orang yang belajar kepada pendukung kebudayaan tersebut sehingga peneliti dapat memahami dan mendiskripsikannya. Sementara pengumpulan data mengenai apa yang mereka ketahui harus dengan metode wawancara mendalam. Dalam pelaksanaan penelitian beberapa teknik pengumpulan data dapat dilakukan secara bersama-sama. Terdapat delapan hal yang harus diperhatikan peneliti saat melakukan pengamatan di antaranya: (1) ruang dan waktu (2) pelaku (3) kegiatan (4) benda-benda atau alat-alat (5) waktu (6) peristiwa (7) tujuan dan (8) perasaan. Kedelapan hal tersebut saling berkaitan sehingga perhatian peneliti harus total pada apa yang sedang diamati. Pengamatan dilakukan secara intensif dalam waktu yang tidak terbatas. Mendasarkan pada pemahaman diatas, penelitian ini juga mengamati tiga aspek mendasar pengalaman manusia selama mengonsumsi tayangan SSTI yang menjadi
48
fokus perhatian dalam penelitian ini yaitu: (1) bagaimana mereka ‟menempatkan‟ televisi sebagai media yang mereka konsumsi dalam kehidupan sehari-hari (2) Bagaimana mereka memaknai teks dalam program televisi sesuai dengan apa yang mereka lihat, ataupun mereka dengar (3) kepemilikan media para informan dan bagaimana mereka mengonsumsi media tersebut dalam kehidupan mereka. Oleh karena peneliti tinggal dalam satu wilayah dan satu kelurahan dengan para informan maka pengamatan dapat berlangsung secara intensif dalam waktu yang tidak terbatas. Meskipun demikian posisi peneliti disini sebagai orang yang belajar pada para narasumber yang memiliki kebudayaan serta ideologinya sendiri agar peneliti mampu memahami dan mendiskripsikannya. 4. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis resepsi. Penekanan dalam analisis data ini adalah pemikiran dan pendapat dari informan. Ada dua elemen penelitian analisis resepsi dalam menganalisis dan menginterpretasikan teks yang diresepsi, yakni: (1) The analysis of interviews and other audience discourse, yakni menganalisis hasil wawancara dan wacana dari audien. (2) Reception studies makes no absolute distinction between the analysis and the interpretation of audience experience of media, yakni kajian dalam analisis resepsi tidak melakukan pemisahan antara analisis dan interpretasi audien tentang media (Jensen dalam Jensen dan Jankowsky: 1993, 139140) Langkah – langkah yang dilakukan dalam analisis resepsi yaitu: a. Melakukan coding terhadap pendapat narasumber yang memiliki kesamaan
49
b. Menentukan kesamaan sikap dan pendapat berdasarkan konteks yang berbeda c. Menentukan persamaan istilah yang digunakan, termasuk perbedaan pendapat terhadap istilah yang sama tadi. d. Melakukan klasifikasi dan kategorisasi terhadap sikap dan pendapat peserta FGD berdasarkan alur diskusi. e. Mencari hubungan diantara masing – masing kategorisasi yang ada untuk menentukan bentuk bangunan hasil diskusi atau sikap dan kelompok terhadap masalah yang didiskusikan ( fokus diskusi). f. Menyiapkan draf laporan FGD untuk didiskusikan pada kelompok yang lebih besar untuk mendapat masukan lebih luas, sebelum diseminarkan (Burhan Bungin, 2008:240)