Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Degradasi hutan lahan basah (gambut dan mangrove) yang disebabkan oleh penebangan pohon, konversi lahan, drainase dan kebakaran berulang saat ini sudah pada status yang mengkuatirkan (Silvius et al., 1987; van Eijk dan Leenman, 2004; Hooijer et al., 2006, Jaenicke et al., 2010; Miettinen dan Liew, 2010). Indikasinya dapat dilihat dari kehilangan sebagian besar jenis-jenis pohon lokal (indigeneous species) penyusun hutan lahan basah lebih dari 70% (Barkah, 2009; Tata dan Pradjadinata, 2013; Bastoni, 2014). Hutan alam lahan basah yang telah terdegradasi berat sebagian besar telah dikonversi menjadi areal hutan tanaman industri (HTI), areal perkebunan kelapa sawit pada hutan gambut dan dikonversi menjadi tambak untuk budidaya perikanan pada hutan mangrove. Konversi selain menghilangkan keberadaan jenis-jenis pohon lokal (indigeneous species) karena menggunakan pola monokultur, juga diikuti oleh pembangunan saluran drainase yang masif untuk menurunkan muka air tanah agar sesuai untuk pertumbuhan tanaman HTI dan tanaman perkebunan jenis eksotik lahan kering. Drainase berdampak pada pengurasan cadangan air yang tersimpan dalam gambut sehingga lahan menjadi kering dan rawan kebakaran, mempercepat dekomposisi gambut sehingga subsidensi (penurunan muka gambut) juga dipercepat serta meningkatkan emisi karbon ke atmosfir (Hooijer et al., 2006; Agus, 2013, Bastoni, 2014). Sesuai dengan regulasi yang ada, sebenarnya telah dialokasikan areal untuk konservasi dan pengembangan jenis-jenis pohon lokal pada konsesi HTI dan perkebunan di lahan basah. Pada areal HTI terdapat alokasi areal konservasi (10%), areal tanaman unggulan (10%) dan areal tanaman kehidupan (5%) selain areal tanaman pokok (70%). Pada areal perkebunan kelapa sawit terdapat alokasi areal HCV (High Conservation Value) untuk konservasi keanekaragaman hayati sebagai dasar penilaian RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Namun demikian komitmen para pemangku kepentingan dalam pengelolaan areal tersebut relatif masih
1
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
rendah sehingga perlu upaya yang terus-menerus untuk membangun dan meningkatkan kesadaran, kesepahaman dan komitmen pengelolaannya. Moratorium konversi hutan dan lahan gambut (Inpres Tahun 2011, 2013 dan 2015), restorasi hutan dan rehabilitasi gambut yang menjadi program strategis BP REDD+ (Satgas REDD+, 2011), Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 yang mewajibkan pemegang konsesi HTI dan perkebunan pada lahan basah melakukan water management agar muka air tanah dipertahankan pada level 40 cm merupakan regulasi dan program yang bertujuan untuk menyelamatkan fungsi lingkungan lahan basah.
Pengelolaan hutan berbasis KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) juga
merupakan momentum untuk pengelolaan hutan dan lahan yang lebih lestari dan berkelanjutan termasuk pengelolaan lahan basah di dalamnya. B. Rumusan Masalah Hutan lahan basah (gambut dan mangrove) saat ini dikelola oleh beragam institusi mulai dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Keragaman pengelola tersebut merupakan peluang dan tantangan untuk membuktikan bahwa pengelolaan hutan lahan basah dapat dilakukan secara sinergis melalui pola kemitraan dalam tata kelola kehutanan yang lebih baik. Berkaitan dengan kegiatan restorasi hutan terdegradasi untuk konservasi sumberdaya hayati pada hutan lahan basah maka pola kemitraan yang dapat dibangun adalah dengan memadukan kekuatan yang dimiliki oleh setiap pemangku kepentingan (KPH, HTI, Perkebunan, Masyarakat, UPT Kementerian, dan Lembaga Litbang). Restorasi hutan lahan basah dengan pola kemitraan merupakan penelitian integratif aspek teknis dan kelembagaan yang dirancang untuk menghimpun seluruh pemangku kepentingan sesuai kewajiban yang diatur regulasi untuk berperan aktif dalam kegiatan restorasi hutan untuk konservasi keanekaragaman hayati. Lembaga Litbang yang mempunyai paket IPTEK restorasi hutan berkewajiban untuk membantu dan mendiseminasi hasil litbangnya kepada pengguna. Mekanisme ini selain untuk aplikasi hasil litbang yang telah diperoleh juga sekaligus dapat digunakan untuk menguji dan melakukan kegiatan litbang yang baru. KPH sebagai
2
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
lembaga sentral dalam unit pengelolaan hutan memiliki kewenangan penuh untuk memberi arahan konstruktif kepada pihak swasta untuk melaksanakan kewajiban restorasi hutan. Masyarakat perlu dibina dan dibantu agar dapat membantu melakukan kegiatan restorasi hutan yang diarahkan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraannnya. Skema dari uraian tersebut disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema pola kemitaraan antar pemangku kepentingan dalam restorasi hutan lahan basah di Sumatera Selatan dan Jambi
C. Tujuan dan Sasaran (Tahunan dan Jangka Panjang) Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pola restorasi hutan lahan basah dalam rangka konservasi keanekaragaman hayati melalui kemitraan dan pelibatan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Tujuan antara tahun 2015 adalah untuk mengetahui karakteristik biofisik (vegetasi, tanah, hidrologi) hutan lahan basah di beberapa KPH di Sumsel dan Jambi dan untuk mengetahui karakteristik kelembagaan rehabilitasi hutan dan lahan basah yang ada saat ini. Sedangkan sasaran penelitian tahunan adalah: 1) terbangunnya plot restorasi pada KPHP melalui kemitraan antara KPH, Perusahaan HTI, Masyarakat dan institusi litbang (BPK Palembang), 2) terbangunnya plot restorasi pada KPHL melalui
3
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
kemitraan antara KPH, Masyarakat dan BPK Palembang. Sasaran penelitian akhir 5 tahun adalah tersusunnya paket IPTEK dan kelembagaan restorasi hutan lahan basah pola kemitraan. D. Keluaran/Output (Tahunan dan Jangka Panjang) Keluaran tahunan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1) Data dan informasi karakteristik biofisik untuk mendukung pembangunan plot restorasi hutan lahan basah yang paling sesuai pada suatu KPH, 2) Data dan informasi aspek kelembagaan untuk mendukung rekayasa kelembagaan yang diperlukan dalam restorasi dan konservasi kehati dan sumberdaya air pada hutan lahan basah di suatu KPH, 3) Plot restorasi hutan lahan basah di 2 KPHP dan 2 KPHL. Luaran akhir 5 tahun yang diharapkan adalah paket IPTEK dan kelembagaan restorasi hutan lahan basah pola kemitraan. E. Manfaat Kegiatan Manfaat kegiatan penelitian dan pengembangan ini adalah untuk mendorong pengelolaan areal konservasi pada KPHP dan pengelolaan KPHL yang lebih baik dalam rangka konservasi kehati dan sumberdaya air yang didukung oleh panduan restorasi hutan lahan basah pola kemitraan berbasis hasil riset. Dampak yang diharapkan dari hasil penelitian dan pengembangan ini adalah dapat dikelolanya areal konservasi pada KPHP dan KPHL sesuai fungsinya sehingga dapat memulihkan ekosistem hutan lahan basah, dapat menyelamatkan jenis-jenis pohon lokal (indigeneous species) yang terancam punah dan dapat menjaga keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya.
4
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis 1. Ekosistem Lahan Basah Tipe ekosistem lahan basah yang paling dominan di pulau Sumatera adalah hutan gambut dan hutan mangrove. Kedua tipe ekosistem tersebut memiliki fungsi lingkungan yang sangat penting selain fungsi ekonominya. a. Lahan dan Hutan Gambut Luasan lahan gambut di Indonesia menurut Mulyanto (2000) adalah sekitar 20 juta hektar atau setengah dari luas lahan gambut tropik dunia. Menurut Radjagukguk (1997), penyebarannya terutama terdapat di Kalimantan (22,8 %), Sumatera (41,1 %), Papua (23 %), Sulawesi (1,6 %) dan Halmahera – Seram (0,5 %). Di Sumatera Selatan dan Jambi sendiri terdapat 2 juta hektar lebih luasan lahan gambut. Di Sumatera Selatan, penyebarannya terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (768.501 Ha), Musi Banyuasin (593.311 Ha), Muara Enim (24.104 Ha) dan Musi Rawas (34.126 Ha), sedangkan di Jambi terdapat di Kabupaten Sarolangun (41.283 Ha), Tanjung Jabung Timur (266.304 Ha), Tanjung Jabung Barat (142.255 Ha), Muarojambi (257.506 Ha) dan Merangin (3.525 Ha) (Wahyunto et.al., 2005). Menurut Ritung et al. (2011) tutupan lahan (land cover) pada lahan gambut di Sumatera Selatan didominasi oleh semak belukar dan padang rumput sebesar 61% dan hutan (39%). Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar lahan gambut sudah terdegradasi berat dengan sisa penutupan hutan yang relatif kecil. Sedangkan berdasarkan penggunaan lahannya (land use), HTI mendominasi pemanfaatan lahan gambut di Sumatera Selatan seluas lebih dari 600.000 hektar, sisanya berupa hutan produksi dan hutan konservasi. Di luar kawasan hutan, konversi lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit terus bertambah karena kesesuaian lahan yang tinggi untuk pertumbuhan dan produktivitasnya.
5
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
b. Hutan Mangrove Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 3,2 juta hektar (Hartini et al., 2010) dan terluas di Asia Tenggara (Giesen et al., 2007). Hutan mangrove memiliki fungsi lingkungan dan ekonomi yang sangat penting (Giesen et al., 2007; Saparinto, 2007). Dalam tiga dekade belakangan ini telah terjadi penurunan secara drastis luas kawasan hutan mangrove di Indonesia dari 4,25 juta hektar menjadi 3,7 juta hektar dan bahkan hanya sekitar 2 juta hektar dalam kondisi utuh. Kerusakan ini lebih banyak disebabkan oleh ulah tangan manusia yang kurang bijak dalam mengelolanya (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007) Hutan mangrove di Sumatera Selatan tersebar di sepanjang pesisir pantai timur Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir, sebagian besar berupa hutan mangrove yang tumbuh pada delta sungai yang bermuara di pantai timur dan Selat Bangka. Kawasan Taman Nasional Sembilang sebagian besar adalah kawasan hutan mangrove, delta-delta yang terdapat di muara Sungai Musi juga sebagian besar berupa hutan mangrove. Kondisi hutan mangrove saat ini di Sumatera Selatan juga telah mengalami banyak tekanan, terutama penebangan liar dan konversi hutan untuk tambak ikan dan udang. Di sisi lain upaya rehabilitasinya belum banyak dilakukan (Kunarso et al., 2012). 2. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pembangunan KPH merupakan upaya untuk perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia. Pada Rancangan Awal RPJMN 2015-2019, sektor kehutanan masuk dalam kategori bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Sasarannya adalah penyedia pangan, energi, air dan penyangga sistem kehidupan berupa kualitas lingkungan hidup untuk kesehatan kehidupan bangsa dan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang serta sebagai tulang punggung untuk meningkatkan daya saing ekonomi berbasis SDA dan LH.
Pada periode 2015 - 2019 penyelenggaraan
pengelolaan hutan produksi dilakukan pada 347 unit KPHP dan penyelenggaraan
6
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
pengelolaan hutan lindung dilakukan pada 182 unit KPHL (Kementerian LHK, 2015 http://www.kph.dephut.go.id/). Di wilayah Sumatera Selatan dan Jambi terdapat beberapa unit KPH yang memiliki areal dengan tipologi lahan basah (gambut dan mangrove), yaitu KPHP Lakitan, KPHP Lalan, KPHL Banyuasin, TN Sembilang, KPHL Bram Itam, TN Berbak. a. KPHP Lakitan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPH-P) Lakitan dibentuk melalui Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 27 Tahun 2010 tentang Pembentukan Unit Teknis Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Rawas. Kondisi penutupan lahan di KPHP Lakitan didominasi oleh lahan kering semak seluas ± 28.488 ha atau sekitar 37,10% dari luas wilayah KPHP, perkebunan seluas ± 19.922 ha (25,85%) dan belukar rawa seluas ± 12.159 ha (15,84%). (http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=89 &Itemid=323)
b. KPHP Lalan Penetapan KPHP Model Lalan di Kabupaten Musi Banyuasin sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 789/Menhut-II/2009 tanggal 7 Desember 2009 dengan luas ± 265.953 ha. Kondisi penutupan lahan di KPHP Lalan didominasi oleh hutan rawa sekunder seluas ± 84.532 ha, belukar rawa seluas ± 64.022 ha, pertanian lahan kering bercampur semak ± 47.380,5 ha, perkebunan ± 23.693 ha, hutan rawa primer ± 16.415 ha dan pertanian lahan kering ± 12.853 ha. Sebagian besar kawasan berada pada ketinggian 2 -10 m dpl khususnya di lahan gambut dengan kelerengan dibawah 3%. Kubah gambut di lokasi HP Lalan memiliki panjang slope lebih dari 500 meter. Beda tinggi antara puncak kubah gambut dengan pinggir sungai rata-rata mencapai 5 m. Hal ini harus menjadi perhatian khusus di dalam water management yang dilakukan perusahaan HTI dan perkebunan.
7
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
(http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=90 &Itemid=324) c. KPHL Banyuasin Penetapan KPHL Model Banyuasin Kabupaten Banyuasin sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 961/Menhut-II/2013 dengan luas ± 72.723 ha, yang terdiri dari ± 67.063 ha hutan lindung (HL) dan ± 5.660 ha hutan produksi (HP). Beberapa aspek rencana dan kegiatan aktifitas pengelolaan KPHL Banyuasin yaitu mengembangkan
komoditi
tanaman
jelutung,
agrosilvofishery
dan
wisata
birdwatching burung migran. (http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=375 &Itemid=423)
B. Hasil-Hasil Penelitian Restorasi hutan dan rehabilitasi lahan gambut yang telah dikembangkan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan penyekatan/penabatan parit dan penanaman jenisjenis pohon lokal. Kegiatan penyekatan parit/saluran dimaksudkan untuk menaikkan tinggi muka air dan retensi air di dalam saluran dan di sekitar lahan sehingga meminimalisasi
terjadinya
kebakaran
dan
memudahkan
upaya
rehabilitasi
(Suryadiputra et al., 2005). Sedangkan penanaman dengan jenis-jenis lokal adalah upaya untuk mempercepat suksesi pada HRG terdegradasi dengan teknik silvikultur yang tepat dan sesuai dengan kondisi tapak dan hidrologi setempat. 1. Teknologi Penyekatan Parit/Saluran Jumlah sekat dalam satu parit/saluran harus disesuaikan dengan kemiringan/ topografi lahan gambut, tinggi muka air yang diharapkan untuk naik, dan kecepatan aliran air dalam parit/saluran. Semakin curam kemiringan lahan, maka semakin banyak sekat yang direkomendasikan untuk dibangun dengan jarak antar sekat yang tidak terlalu jauh (100-200 m) (Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005).
8
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Selain jumlah sekat dalam satu parit, tipe sekat yang akan dibangun juga sangat bergantung pada kondisi fisik lahan gambut. Setidaknya ada 4 (empat) tipe sekat yang diusulkan untuk digunakan yaitu sekat papan, sekat dengan bahan pengisi, sekat plastik dan sekat geser (Sumber: Barkah, 2009b; Suryadiputra et al., 2005). Dari ke empat tipe sekat tersebut, tipe sekat papan dan sekat dengan bahan pengisi lebih banyak diaplikasikan untuk rehabilitasi dan restorasi HRG di Sumatera dan Kalimantan. 2. Teknik Budidaya Jenis-jenis Pohon Lokal Keberhasilan penanaman jenis-jenis lokal dalam program rehabilitasi dan restorasi HRG memerlukan teknik silvikultur yang tepat sesuai dengan kondisi tapak dan hidrologi lahan gambut. Beberapa teknologi yang sudah diterapkan antara lain: 1. Teknik pembibitan jenis-jenis lokal a) Teknik pembibitan dengan genangan buatan Yaitu teknik pembibitan dengan cara menyusun bibit pada bak genangan yang terbuat dari pasangan batu bata dengan alas genangan dari plastik polyetilen. Keunggulan sistem ini yaitu antara lain (Bastoni, 2009): -
Masa siap tanam bibit menjadi lebih cepat berkisar antara 4 - 6 bulan setelah sapih
-
Menghemat konsumsi air dan biaya perawatan. Selama masa pembibitan tidak diperlukan penyiraman bibit tetapi cukup mengisi air pada bak genangan apabila diperlukan
-
Kombinasi antara masa siap tanam bibit yang lebih cepat dan penghematan pospos biaya pemeliharaan menjadikan teknik ini lebih murah dibanding pembibitan tanpa genangan.
-
Teknik Perbanyakan Vegetatif dengan Sistem KOFFCO Sistem KOFFCO (Komatsu-FORDA Fog Cooling System) ini dikembangkan
oleh Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan Komatsu (Subiakto, 2009). Pada awalnya sistem ini bertujuan untuk mengembangkan teknik pengadaan bibit jenisjenis dipterokarpa dan teknik rehabilitasi hutan terdegradasi. Namun demikian sistem
9
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
ini juga dapat diaplikasikan pada jenis-jenis lokal HRG lainnya seperti ramin, balam (Palaquium sp), punak (Tetramerista glabra), pulai dan lain-lain (Subiakto, 2009). Teknik ini dilakukan dengan cara mengatur kondisi cahaya, kelembaban, temperatur, dan media tanam sedemikian rupa sehingga optimal untuk proses pembentukan akar stek. Adapun sarana dan peralatan utama yang diperlukan adalah rumah kaca, shading net, pompa air, nozel dan sungkup propagasi. Rata-rata keberhasilan stek dengan sistem ini sekitar 70% dengan tingkat pertumbuhan tanaman yang sama baiknya dengan bibit asal biji (Subiakto, 2009). b) Inokulasi Mikoriza Cendawan mikoriza merupakan salah satu alternatif teknologi rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat diterapkan di Indonesia (Santoso et al., 2006). Aplikasi cendawan mikoriza dimungkinkan dengan cara memanfaatkan cendawan mikoriza lokal yang cocok dengan inang (pohon) yang akan diintroduksi dalam skala besar. Bibit tanaman yang dibekali mikoriza pada sistem perakarannya akan memiliki daya hidup yang lebih tinggi di lapangan. Beberapa hasil penelitian pada skala persemaian sebagian besar tanaman rawa menunjukkan respon yang positif terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter setelah inokulasi (Yuwati, 2013). Keberhasilan penggunaan jenis mikroba sangat ditentukan oleh kesesuaian jenis mikroba dengan tanaman inang dan kesesuaian antara jenis jamur dan bakteri. Hasil penelitian Turjaman et al. (2007), menunjukkan inokulasi cendawan ektomikoriza Boletus sp. dan Scleroderma sp. di persemaian dapat meningkatkan pertumbuahn S. balangeran 40 bulan setelah penanaman di lahan rawa gambut. 2. Teknik penyiapan lahan a) Penyiapan lahan dengan sistem gundukan Teknik penyiapan lahan yang sudah banyak digunakan untuk program rehabilitasi dan restorasi HRG di Indonesia yaitu sistem gundukan (mound system) (UMP-GIZ, 2011; Bastoni, 2009; Wibisono et al., 2005; Giesen 2004; Subagyo dan Arinal, 2003). Sistem ini sudah diterapkan untuk program rehabilitasi HRG di Jambi, Kalimantan Tengah, maupun Sumatera Selatan. Sistem ini bertujuan untuk mengumpulkan massa tanah yang subur untuk awal pertumbuhan tanaman dan
10
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
meninggikan bagian tanah agar bibit tidak terendam air pada puncak musim hujan (Bastoni, 2009). Sistem ini juga dapat dilihat sebagai modifikasi dari sistem parit/kanal di areal HTI sehingga lahan dapat ditanami sekaligus dapat mempertahankan ekosistem kawasan (Subagyo dan Arinal, 2003). Sistem ini terbukti efektif untuk meningkatkan persen tumbuh tanaman terutama pada lahan gambut dengan genangan dalam. Kombinasi antara rendahnya mutu bibit dan penyiapan lahan tanpa gundukan menyebabkan kematian tanaman rehabilitasi di Taman Nasional Berbak mencapai hampir 100% (Giesen, 2004). Sementara sistem gundukan dengan ketinggian 0,3-0,5 m pada areal lain di kawasan yang sama, menghasilkan persen hidup tanaman sekitar 65-85%. b) Pembuatan sumur (tandon air) Pembuatan lubang galian/sumur pada areal rehabilitasi juga mungkin diperlukan, yaitu sebagai tandon air yang diperlukan saat musim kemarau baik untuk menyiram tanaman maupun sebagai sumber air apabila terjadi kebakaran. Sumur ini dapat dibuat pada setiap 100 m (misal: 4 buah sumur per hektar) dengan ukuran lebar 1,5 m dan kedalaman 2 m. Metode ini sudah diaplikasikan di Kalimantan Selatan oleh BPK Banjarbaru dan di Sumatera Selatan oleh BPK Palembang.
11
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
III. METODOLOGI/PROSEDUR A. Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup dari kegiatan penelitian ini adalah 1). Penelitian aspek teknis, meliputi: a) pengamatan karakteristik biofisik hutan lahan basah pada setiap KPH yang diteliti, b) pembangunan plot restorasi hutan lahan basah pada KPH terpilih, 2). Penelitian aspek kelembagaan, meliputi: a) pengamatan karakteristik kelembagaan, b) rekayasa kelembagaan yang diperlukan untuk percepatan restorasi hutan. B. Metode Pelaksanaan Penelitian 1. Survei kondisi biofisik hutan lahan basah Kondisi biofisik hutan lahan basah (vegetasi, tanah dan hidrologi) diamati melalui pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data primer melalui survei lapangan. Parameter kondisi biofisik yang diukur meliputi: a) vegetasi (vegetasi awal dari data sekunder, vegetasi saat ini meliputi komposisi jenis dan struktur pohon), b) Kondisi hidrologi (tinggi genangan dan muka air tanah), c) karakteristik tanah (ketebalan lapisan gambut/bahan organik, kematangan gambut). 2. Percobaan Lapangan Pembangunan
plot
restorasi
hutan
lahan
basah
digunakan
untuk
mengumpulkan dan menyelamatkan jenis-jenis pohon utama yang langka dan terancam punah. Di dalam plot dibuat perlakuan percobaan lapangan berbasis uji jenis dan uji multilokasi untuk menilai penampilan pertumbuhan dan daya adaptasi tanaman pada beragam tipe site, termasuk perlakuan untuk meningkatkan daya hidup dan pemacuan pertumbuhan, pengamatan hama penyakit tanaman dan gulma. 3. Survei aspek kelembagaan dan diskusi kelompok fokus (FGD). Data kondisi dan karakteristik kelembagaan diperoleh melalui pengumpulan data sekunder dan survei wawancara dengan para pihak (Snowball Sampling, In Depth Interview). Diskusi untuk mengumpulkan aspirasi para pihak dan rekayasa kelembagaan yang diinginkan bersama oleh para pihak untuk mendorong percepatan kegiatan restorasi dan konservasi lahan basah.
12
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Biofisik (Vegetasi, Tanah dan Hidrologi) 1. KPH Banyuasin Secara umum pada KPH Banyuasin yang memiliki luas sekitar 12 ribu hektar, ditemukan 2 tipologi hutan lahan basah, yaitu hutan mangrove dan hutan rawa gambut. Kondisi kedua tipologi hutan tersebut saat ini sebagian besar adalah hutan sekunder bekas tebangan dan areal terbuka yang telah diokupasi untuk tambak dan rencana perkebunan kelapa sawit dan kelapa. Pada hutan mangrove sekunder komposisi jenis vegetasi yang ditemukan adalah: Strata pohon: (1) jangkang (Rizophora sp.), (2) tumuk (Bruguiera sp.), (3) buta-buta (Aglaoeca sp.), (4) kayu boling, (5) Api-api (Avicienna sp.), (6) waru laut. Strata semak: (1) nipah (Nipha fruticans). Strata tumbuhan bawah: (1) pakis gajah (Stenochlaena gigantea), (2) pakis jeruju. Struktur vegetasi didominasi oleh pohon tingkat tiang (diameter 10 – 19 cm). Pada hutan rawa gambut sekunder dan areal yang telah diokupasi untuk calon perkebunan sawit, komposisi jenis vegetasi yang ditemukan adalah: Strata pohon (1) pulai rawa (Alstonia pneumatophora), (2) meranti (Shorea sp.), (3) jelutung (Dyera lowii), (4) kayu labu (Endospermum duodenum), (5) mahang (Macaranga pruinosa). Strata tumbuhan bawah: (1) pakis udang (Stenochlaena palustris), (2) pakis tanah (Nephrolepis exaltata), (3) perumpung. Struktur vegetasi didominasi oleh pohon tingkat tiang (diameter 10 – 19 cm). Karakteristik tanah dan hidrologi merupakan parameter lahan basah yang menjadi penentu pertumbuhan pohon pada hutan lahan basah. Hasil pengamatan profil tanah dari pengeboran tanah menunjukkan bahwa pada hutan mangrove sekunder yang disurvei menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) tekstur tanah didominasi oleh fraksi liat, (2) tanah tak berstruktur dengan lapisan liat yang melumpur berkisar antara 15 – 20 cm, (3) warna tanah kelabu ciri khas dari tanah glei yang selalu jenuh air, (4) di bawah lapisan lumpur dijumpai bagian liat yang padat, sebagian terdapat intrusi bahan organik dari jaringan pohon yang melapuk.
13
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Karakteristik hidrologi pada parit yang dibangun oleh masyarakat lokal adalah pasang surut harian dengan beda tinggi rata-rata 150 cm antara pasang dan surut. Sedangkan pada areal hutan yang belum dibuka untuk tambak, genangan air pada saat pasang harian berkisar 20 – 40 cm. Hasil pengamatan profil tanah dari pengeboran tanah menunjukkan bahwa pada hutan gambut sekunder yang disurvei menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut: (1) kedalaman gambut berkisar antara 20 – 60 cm, berarti lahan termasuk dalam kriteria lahan bergambut (< 50 cm) sampai lahan gambut dangkal (50 – 100 cm), (2) kematangan gambut tergolong saprik, berarti gambut termasuk dalam kriteria matang atau telah mengalami pelapukan lanjut, (3) tanah mineral di bawah gambut tergolong tipe tanah glei berliat dengan kadar besi tinggi hasil oksidasi pirit oleh aktivitas pembukaan lahan untuk calon perkebunan kelapa sawit. Kedalaman air tanah berkisar antara 25 – 50 cm atau termasuk dalam kriteria kedalaman air tanah sedang. Kondisi hutan lahan basah di KPH Banyuasin Sumsel resort Pulau Rimau berupa hutan rawa gambut (HRG) bekas kebakaran berulang dan konversi yang ditandai oleh hilangnya penyusun asli dan saat ini didominasi oleh tumbuhan bawah perumpung dan pakis-pakisan. Kedalaman gambut berkisar dari sangat dangkal (< 50 cm) sampai dangkal (50 - 100 cm) dengan dominasi lahan bergambut. Kematangan gambut hemik dan saprik. Kondisi hidrologi berupa lahan basah yang sudah tidak tergenang akibat pembuatan kanal untuk kebun sawit dan kanal yang dibangun masyarakat. Muka air tanah (MAT) berkisar antara 30 – 70 cm di awal musim kemarau. Pada resort Telang berupa hutan mangrove sekunder yang didominasi oleh jangkang (Rizophora sp.) dan tumuk (Bruguiera sp.) dengan struktur tegakan didominasi oleh pohon tingkat pancang; tanah berupa tanah glei bersulfat masam dari bahan induk sedimen laut, air tanah dipengaruhi pasang surut laut.
2.
KPH Lakitan Hutan lahan basah di KPH Lakitan terdapat di Kecamatan Megang Sakti
Kabupaten Musi Rawas. Luas hutan lahan basah pada KPH Lakitan sekitar 9 ribu
14
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
hektar, didalamnya terdapat konsesi HTI PT. Paramitra Mulia Langgeng (PML). Hutan primer sudah tidak dijumpai dan sebagian besar merupakan hutan rawa gambut bekas kebakaran. Sebagian berupa hutan sekunder yang didominasi oleh suksesi mahang (Macaranga pruinosa). Saat ini sebagian besar areal lahan basah sudah banyak dirambah untuk kebun sawit dan kebun karet masyarakat desa sekitar Jenisjenis pohon asli penyusun hutan lahan basah (rawa gambut) di KPH Lakitan diperoleh dari mantan pegawai HPH (pak Carso) sebagai berikut: a.
Ramin (Gonystylus bancanus)
b.
Jelutung (Dyera lowii)
c.
Meranti bunga (Shorea theysmaniana)
d.
Meranti batu (Shorea platicarpa)
e.
Manggris (Koompassia malaccensis)
f.
Pisang-pisang (Mezzetia parvifolia)
g.
Medang kuning (Alseodaphne sp.)
h.
Gemor (Nataphoebe coriaceae)
i.
Rengas burung (Melanorrhoea wallichii) Kondisi hutan lahan basah di KPH Lakitan Kabupaten Musi Rawas Sumsel
berupa HRG bekas tebangan dan kebakaran berulang dan konversi yang ditandai oleh hilangnya sebagian besar penyusun asli dan saat ini didominasi oleh mahang (Macaranga pruinosa) dengan struktur tegakan didominasi oleh pohon tingkat tiang. Penyusun asli sesuai informasi mantan manager HPH adalah meranti batu, meranti bunga, jelutung, ramin, perupuk, pisang-pisang, terentang dan punak. Kedalaman gambut berkisar dari sangat dangkal (< 50 cm) sampai sedang (100 – 200 cm) dengan dominasi lahan bergambut. Kematangan gambut hemik. Kondisi hidrologi berupa lahan basah yang sudah tidak tergenang akibat pembuatan kanal untuk mendrainase lahan untuk HTI PT. Paramitra Mulia Langgeng, kebun sawit dan kebun karet rakyat. Muka air tanah (MAT) berkisar antara 50 – 100 cm di tengah musim kemarau. Pada hutan lahan basah di KPH Lakitan ditemukan 3 tipologi lahan, yaitu lahan rawa bergambut (< 50 cm), lahan rawa gambut dangkal (50 – 100 cm) dan lahan rawa gambut sedang (100 – 200 cm). Pada lahan rawa bergambut tipe tanahnya adalah tanah aluvial
15
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
berpasir dan bergambut. Pada lahan gambut dangkal dan sedang tipe tanahnya adalah tanah gambut (histosol) dengan kematangan hemik (tropohemist). Pada saat pengamatan (bulan Agustus) pada lahan gambut sedang, kedalaman air tanah berkisar antara 60 – 75 cm. Pada gambut dangkal di sekitar basecamp PT. PML kedalaman air tanah berkisar antara 30 – 40 cm. Sedangkan pada lahan aluvial bergambut muka air tanah > 100 cm.
3.
Hutan Rawa Gambut (HRG) Kumpeh Kondisi hutan lahan basah di HRG Kumpeh dan Tahura Sungai Tanjung
Jambi berupa HRG sekunder bekas tebangan, kebakaran berulang dan konversi yang ditandai oleh menurunnya komposisi jenis penyusun asli HRG. Vegetasi strata pohon terdiri dari jelutung, meranti, rengas burung, durian burung, nyatoh, ramin dan balam. Struktur tegakan didominasi oleh pohon inti (diemeter 10 – 20 cm). Kedalaman gambut berkisar dari sedang (100 - 200 cm) sampai sangat dalam (> 300 cm) dengan dominasi lahan gambut dalam. Kematangan gambut hemik. Kondisi hidrologi pada HRG sekunder berupa lahan basah dengan genangan dangkal (< 25 cm) di musim hujan dan MAT dalam (50 – 100 cm) di musim kemarau. Pada lahan yang sudah dikonversi dan dikanal MAT tergolong dalam (50 – 100 cm) di tengah musim kemarau.
4.
KPH Lalan Kondisi hutan lahan basah di KPH Lalan Sumsel berupa HRG sekunder
bekas tebangan dan kebakaran berulang ditandai oleh menurunnya komposisi jenis penyusun asli HRG. Vegetasi strata pohon terdiri dari jelutung, meranti, punak, nyatoh, medang lendir, medang putih. Struktur tegakan didominasi oleh pohon tingkat pancang. Kedalaman gambut berkisar dari sedang (100 - 200 cm) sampai sangat dalam (> 300 cm) dengan dominasi lahan gambut dalam (200 – 300 cm). Kematangan gambut hemik. Kondisi hidrologi pada HRG sekunder berupa lahan
16
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
basah dengan genangan dangkal (< 25 cm) di musim hujan dan MAT dalam (50 – 100 cm) di musim kemarau.
5.
KPH Bram Itam Kondisi hutan lahan basah di KPH Bram Itam Jambi berupa HRG sekunder
bekas tebangan dan kebakaran berulang ditandai oleh menurunnya komposisi jenis penyusun asli HRG. Vegetasi strata pohon terdiri dari jelutung, meranti, punak, nyatoh, terentang, medang putih. Struktur tegakan didominasi oleh pohon inti. Kedalaman gambut berkisar dari dangkal (50 - 100 cm) sampai sedang (100 – 200 cm) dengan dominasi lahan gambut sedang (100 – 200 cm). Kematangan gambut hemik. Kondisi hidrologi pada HRG sekunder berupa lahan basah dengan genangan dangkal (< 25 cm) di musim hujan dan MAT dalam (50 – 100 cm) di musim kemarau. B. Aspek Kelembagaan Restorasi Hutan Lahan Basah 1. Peraturan terkait rehabilitasi hutan dan lahan Peraturan utama yang terkait dengan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sebagai bagian dari kegiatan restorasi hutan lahan basah antara lain adalah Peraturan Menteri kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.9/Menhut-II/2012 tentang tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung dan pemberian insentif kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Selain itu juga terdapat
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor :
P.26/Menhut-II/2010 tentang perubahan terhadap peraturan meneteri kehutanan Nomor P. 70/Menhut-II/2008 tentang pedoman teknis rehabilitasi hutan dan lahan. Terdapat juga beberapa aturan pendukung lainnya seperti peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 12/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS), dan lain-lain. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
17
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013).
Menurut aturan ini, rehabilitasi hutan dan lahan dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. RHL dilakukan melalui kegiatan penanaman RHL dan penerapan teknik konservasi tanah. Penanaman RHL terdiri dari reboisasi, penghijauan, pengayaan tanaman dan atau pemeliharaan tanaman. Reboisasi diilakukan di hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi.
Penghijauan dilakukan pada pembangunan hutan rakyat,
penghijauan lingkungan dan pembangunan hutan kota. RHL lahan basah dapat dilakukan di daerah pesisir/pantai, rawa maupun bergambut.
RHL di daerah pesisir/pantai bertujuan untuk
mengembalikan
keberadaan vegetasi daerah pesisir/pantai sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah perlindungan pantai dari abrasi dan intrusi air laut serta bencana alam tsunami. Rehabilitasi hutan mangrove atau areal sempadan pantai dilakukan berdasarkan hasil penyusunan RTk RHL DAS pada Ekosistem Mangrove dan Ekosistem Pantai yang diidentifikasi mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan kurang (NDVI -1,00 s/d 0,43) dan wilayah yang berdasarkan peta land system termasuk KJP, KHY, PGO, LWW, TWH, dan PTG yang kondisi vegetasinya telah terbuka dan/atau terdeforestasi. Rehabilitasi areal sempadan pantai dilakukan pada areal terbuka/kritis menurut RTk RHL DAS selebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang bukan termasuk habitat/ekosistem mangrove. Kegiatan RHL di darah pesisir/pantai meliputi rehabilitasi hutan mangrove dan rehabilitasi areal sempadan pantai.
RHL di daerah pesisir/pantai dilakukan
melalui tahapan kegiatan: a. persemaian/pembibitan; b. pelaksanaan penanaman; dan c. pemeliharaan I dan pemeliharaan II Selain ketiga kegiatan tersebut, terdapat kegiatan pendukung RHL yang meliputi : a. pengembangan perbenihan; b. pengembangan teknologi RHL;
18
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
c. pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan; d. penyuluhan; e. pelatihan; f. pemberdayaan masyarakat; g. pembinaan; dan/atau h. pengawasan. Pengembangan teknologi RHL mempunyai kaitan erat antara lain dengan teknologi RHL di kawasan bergambut. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam melaksanakan RHL pada lahannya baik secara individu maupun kelompok. Kegiatan pemberdayaan antara lain dalam bentuk pemberian akses pengelolaan kegiatan RHL pada lahan milik melalui program bantuan langsung, pendampingan, penguatan kelembagaan, kemitraan. Pembiayaan kegiatan RHL bersumber dari : a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).. b. Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan c. Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBHDR); d. Dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat, sesuai peraturan perundang undangan. Kegiatan RHL menurut aturan seharusnya dilakukan menggunakan prinsip tahun jamak (multiyears). RHL didalam kawasan hutan dapat dilaksanakan secara kontraktual maupun swakelola sesuai dengan peraturan perundang undangan. Kegiatan RHL diluar kawasan hutan dapat dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
Kegiatan RHL yang berupa
penanaman pohon diluar kawasan hutan dapat dilaksanakan secara swakelola melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) dengan kelompok tani.
2. Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupen Banyuasin Kegiatan rehabilitasi lahan basah dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyuasin pada Tahun 2013 dan 2014. Kegiatan ini merupakan bagian
19
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
dari kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dilakukan pada lahan kritis di DAS prioritas.
Kegiatan rehabilitasi lahan basah di Kabupaten Banyuasin
dilakukan dengan pelibatan masyarakat. Bentuk pelibatan masyarakat diwujudkan melalui pelibatan kelompok tani, dimana kegiatan RHL dilakukan dengan bentuk swakelola kelompok tani. Kegiatan rehabilitasi lahan basah pada tahun 2013 dilakukan pada kawasan mangrove yang berada di kawasan Hutan Lindung (HL) Telang dengan luas 100 hektar. Secara adminstrasi, wilayah ini termasuk dalam Desa Muara Telang dan Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin.
Jenis yang ditanam
adalah jenis-jenis spesies yang biasa tumbuh di areal mangrove.
Kegiatan ini
bersumber dari Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi (DBHSDA Kehutanan DR). Kegiatan RHL di HL Telang diawali dengan kegiatan sosialisasi mengenai keberadaan kawasan HL Telang dan rencana kegiatan RHL dengan melibatkan masyarakat. Sosialisasi ini melibatkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuasin, Perguruan Tinggi (Universitas Sriwijaya) dan masyarakat.
Setelah
sosialisasi, disusun Rancangan Teknis Kegiatan RHL. Langkah selanjutnya adalah pembentukan kelompok tani. Kelompok tani dibentuk dengan anggota per kelompok sebanyak 15 orang. Terdapat 5 kelompok tani, yaitu Wana Lestari, Lestari, Pada Elo, Pada Idi dan Sumber Makmur . Kegiatan rehabilitasi lahan basah pada tahun 2014 dilakukan di dalam kawasan Hutan Lindung Pulau Rimau yang berupa lahan gambut dengan luas 32 hektar. Meskipun secara hukum lokasi rehabilitasi ini merupakan kawasan hutan, tetapi pada kenyataannya sudah diusahakan oleh masyarakat. Kawasan ini secara adminisatratif berada di wilayah Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Bayuasin. Jenis tanaman yang digunakan adalah jelutung. Kegiatan ini bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan. Kegiatan RHL di HL Pulau Rimau diawali dengan kegiatan sosialisasi mengenai keberadaan kawasan HL Pulau Rimau dan rencana kegiatan RHL dengan melibatkan masyarakat. Selanjutnya adalah pembentukan kelompok tani. Kelompok
20
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
tani dibentuk dengan anggota per kelompok sebanyak 15 orang. Ada 3 kelompok tani yang dibentuk, yaitu kelompok tani PRAN JAYA diketuai oleh Ahmad Tahrir, kelompok tani PRAN MAKMUR diketuai oleh H. Arifin, dan kelompok tani “PRAN MANDIRI” diketuai oleh M. Jamil. Kelompok tani dibentuk oleh dinas kehutanan dan perkebunan memiliki kewajiban untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan basah, mulai dari kegiatan persiapan dan pembersihan lahan, pemasangan ajir dan pembuatan lobang tanam, penanaman, pemeliharaan, penyiangan dan penyulaman dan pemupukan. Kegiatan RHL ini dilakukan tahun sampai kegiatan tahun berjalan sehingga keberhasilan atau kegagalan belum dapat dilihat.
3. Rehabilitasi lahan basah pola kemitraan, antara aturan, teori dan pelaksanaan di lapangan Kegiatan rehabilitasi lahan basah menurut aturan seharusnya mengendung unsur pengembangan teknologi RHL di mana di dalamnya mencakup metoda dan teknik dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi termasuk dalam pembibitan, penanaman dan pembuatan bangunan konservasi tanah, pemeliharaan, perlindungan, dan pengamanan. Selain itu, teknologi RHL dapat dikembangkan melalui kerjasama antara lembaga penelitian, perguruan tinggi maupun melalui penggalian kearifan budaya masyarakat setempat (Pasal 29 dan 31 Permenhut No. P.9/Menhut-II/2012). Dalam
prakteknya, kegiatan pengadaan bibitan seringkali diserahkan kepada pihak ketiga yang sangggup menyediakan bibit dengan jumlah dan spesifikasi yang ditetapkan oleh pelaksanan kegiatan rehabilitasi.
Kerjasama dengan lembaga penelitian,
perguruan tinggi maupun kearifan lokal kurang dilakukan. Kegiatan rehabilitasi di HL Telang dilakukan dengan bekerja sama dengan perguruan tinggi (Universitas Sriwidjaja) pada tahap sosialisasi kepada masyarakat. Penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan basah di lokasi penelitian seharusnya dilakukan dalam periode tahun jamak (pasal 43 Permenhut No. P.9/Menhut-II/2012).
Kegiatan
RHL
pun
harus
meliputi
kegiatan
persemaian/pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengamanan dan
21
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
kegiatan pendukung (Pasal 5 Permenhut No.
P.9/Menhut-II/2012).
Pada
kenyataannya kegiatan RHL di lokasi penelitian tidak dilaksanakan secara tahun jamak, hanya tahun berjalan saja, dengan alasan tidak ada kelanjutan dalam penganggaran. Padahal, pemeliharaan bibit yang baru ditanam di lapangan menjadi komponen penting yang berpengaruh terhadap persen hidup bibit di lapangan dan keberlanjutan kegiatan rehabilitasi.
Jangka waktu minimum pemeliharaan tanaman
yang diperlukan dalam rehabilitasi hutan adalah dua tahun. Sebenarnya hal ini umum terjadi pada kegiatan rehabilitasi lahan.
Hasil penelitian Murniati dkk (2008)
menyatakan bahwa, hanya 11% dari proyek rehabilitasi yang menyatakan dengan jelas bahwa anggaran telah dialokasikan untuk pemeliharaan tanaman. akibatnya, kebanyakan kegiatan rehabilitasi
Sebagai
menunjukkan tingkat pertumbuhan
tanaman yang lambat dan persen hidup tanaman yang rendah. Kegiatan pendukung RHL salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat (Pasal 29 Permenhut No. P.9/Menhut-II/2012).
Dalam kenyataannya, pelibatan
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di lokasi penelitian hanya sebatas sebagai pelaksana kegiatan (disebut sebagai swakelola kelompok tani). Murniati dkk. (2008) menyatakan bahwa dengan mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat setempat dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu proyek rehabilitasi akan menjamin komitmen masyarakat terhadap kegiatan proyek secara signifikan dan untuk waktu yang lebih lama. Namun demikian, hal tersebut belum terlihat dengan jelas pada pelaksanaan proyek di lapangan. Demikian halnya dengan pembentukan kelompok tani atau pemberdayaan masyarakat di lokasi penelitian. Pembentukan kelompok tani dalam rangka pemberdayaan di lokasi penelitian dilakukan karena adanya skema pendanaan proyek melalui swakelola kelompok tani.
Kelompok tani dibentuk oleh Dinas kehutanan dan Perkebunan
setelah melakukan komunikasi dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat. Kelompok tani selanjutnya murni berperan sebagai pihak yang melakukan keguatan rehabilitasi, mulai dari persiapan lahan (pembersihan dan pembuatan jalur), penentuan titik tanam (penanaman ajir, pembuatan lubagn tanam), penanaman, dan pemeliharaan (penyulaman, penyiangan) pada tahun berjalan.
22
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Kegiatan rehabilitasi yang diterapkan di dalam kawasan hutan, yang pada umumnya merupakan proyek pemerintah, lebih menekankan pada pembentukan organisasi masyarakat yang baru dibandingkan proyek yang diterapkan di lahan masyarakat. Organisasi baru seringkali dibentuk secara mendadak untuk memenuhi persyaratan proyek, sebagaimana terjadi pada kasus DAK-DR dan GN-RHL(Gerhan). Oleh karena itu, terdapat kemungkinan bahwa organisasi yang baru tersebut dibentuk tanpa persiapan kelembagaan yang matang
karena dibentuk secara tergesa-gesa
untuk menyelesaikan kegiatan penanaman sebelum akhir tahun, sesuai sistem anggaran pemerintah. Waktu yang terbatas antara pembentukan atau pemberdayaan lembaga masyarakat setempat dengan kegiatan penanaman sering mengakibatkan anggota masyarakat menjadi bingung. Hal ini kemudian menyebabkan kurangnya pemeliharaan tanaman yang sudah ditanam di lapangan (Murniati dkk., 2008). Model pemberdayaan masyarakat yang umum terjadi pada kegiatan RHL sebenarnya tidak dapat dinyatakan sebagai suatu pola kemitraan. Sementara dalam kegiatan RHL di lokasi penelitian peran masyarakat sebagai “mitra” masih lemah, pembagian hak dan kewajiban dalam pelaksanaan kegiatan RHL cenderung hanya formalitas dan sering kurang dipahami para pihak terkait. Dalam kemitraan idealnya terdapat kesetaraan upaya yang melibatkan berbagai sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah maupun bukan pemerintah, untuk bekerjasama dalam mencapai suatu tujuan bersama berdasarkan kesepakatan prinsip dan peran masing-masing, dengan demikian untuk membangun kemitraan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu persamaan perhatian, saling percaya dan saling menghormati, harus saling menyadari pentingnya kemitraan, harus ada kesepakatan misi, visi, tujuan dan nilai yang sama, harus berpijak padalandasan yang sama, kesediaan untuk berkorban. Adapun unsur-unsur kemitraan yaitu:
Adanya hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih
Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang terlibat (equality)
Adanya keterbukaan atau trust relationship antara pihak-pihak yang terlibat (transparancy)
23
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau memberi manfaat (mutual benefit). Memperhatikan peraturan perundangan maupun teori, rehabilitasi dalam
rangka restorasi lahan basah secara umum bisa dilakukan dengan pola kemitraan dengan masyarakat, institusi litbang, perguruan tinggi serta badan usaha milik negara maupun swasta. Kemitraan dapat dilakukan dalam rangka kegiatan utama RHL maupun kegiatan pendukung RHL seperti pengembangan perbenihan, pengembangan teknologi RHL, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat.
Kemitraan juga dapat
dilakukan dalam pembiayaan kegiatan RHL.
C. Plot Restorasi Hutan lahan Basah di KHDTK Kebun Raya Sumsel KHDTK Kebun Raya Sumsel mempunyai fungsi sebagai pusat koleksi tumbuhan obat dan tumbuhan lahan basah di Indonesia. Kebun Raya Sumsel mempunyai luas areal 100 hektar. Kondisi areal berupa lahan gambut dalam sampai sangat dalam (200 – 700 cm) dengan genangan dangkal (< 25 cm) di musim hujan dan MAT dangkal sampai sedang di musim kemarau (< 50 cm). Vegetasi ditandai oleh hilangnya pohon asli penyusun HRG dan tumbuh jenis pohon pionir gelam dan tumbuhan bawah (pakis tanah, belidang dan sesendok). Untuk merevegatasi areal sekaligus koleksi jenis pohon pada tahun 2015 telah dibangun plot restorasi seluas 1 hektar (1%) menggunakan 7 jenis pohon lokal, yaitu: meranti (Shorea belangeran), perupuk (Lopophetalum javanicum), tembesu (Fagraea fragrans), jelutung (Dyera lowii), punak (Tetramerista glabra), merawan (Hopea mengarawan) dan gaharu (Aquilaria malaccensis). Daya hidup dan pertumbuhan jenis-jenis tersebut akan terus diamati minimal sampai 5 tahun ke depan.
24
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kondisi biofisik hutan lahan basah yang disurvei seluruhnya telah mengalami degradasi sehingga mengancam kelestarian sumber plasma nutfah, khususnya strata pohon dan mengancam kelestarian ekosistem gambut
2.
Penyelamatan melalui koleksi dan konservasi perlu segera dilakukan untuk mengamankan sumber plasma nutfah tersebut dari kepunahan
3.
Model pemberdayaan masyarakat
pada kegiatan RHL, kasus Kabupaten.
Banyuasin, sebenarnya tidak dapat dinyatakan sebagai suatu pola kemitraan 4.
Peran masyarakat sebagai “mitra” masih lemah, pembagian hak dan kewajiban dalam pelaksanaan kegiatan RHL cenderung hanya formalitas sehingga perlu ada penyempurnaan di masa datang.
5.
Pembangunan Plot Restorasi Hutan lahan basah yang telah dibangun di KHDTK Kebun Raya Sumatera Selatan merupakan wujud nyata upaya restorasi dan konservasi jenis-jenis pohon lokal lahan basah.
25
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
DAFTAR PUSTAKA Agus, F. 2013. Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut untuk Penurunan Emisi Karbon: Aplikasi untuk Provinsi Sumatera Selatan. Dalam Prosiding Workshop II ITTO “Stakeholder Consultation the Aplication of Method and Technologies to Enhance the Restoration of Peat Swamp Forest Ecosystem”. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Barkah, B.S. 2009. Survei Vegetasi dan Kerusakan Hutan Rawa Gambut Areal MRPP. Laporan Kegiatan Merang REED Pilot Project. Palembang. Barkah B.S. 2009a. Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat di Areal MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. Report No. 18.TA.FINAL/SOP No. 01. PSF Rehabilitation. Rev 0. GIZ Barkah B.S. 2009b. Panduan Penyekatan Parit/Kanal dan Pengelolaannya Bersama Masyarakat Di areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. Report No. 20.TA. FINAL/SOP. No. 03. PSF Rehabilitation. Rev 0. GIZ Bastoni. 2009. Teknik Budidaya Jenis-Jenis Pohon Lokal Hutan Rawa Gambut. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang "Mengenal Teknik Budidaya Jenis-Jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pembangunannya", 11 Desember 2008. Puslitbang Hutan Tanaman. Badang Litbang Kehutanan. Bogor Daryono, H. 2006. Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Secara Bijaksana dalam Rangka Menjaga Kelestariannya. Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Palembang 28 Maret 2006. Puslitbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Euroconsult Mott MacDonald. 2009. Guidelines for the Rehabilitation of Degraded Peat Swamp Forests in Central Kalimantan. Master Plan for teh Conservation and Development of the Ex-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan. 2nd Draft. Government of Indonesia-Royal Netherlands Embassy, Jakarta. Giesen, W., S. Wul�raat, M. Zieren, and L. Scholten. 2007. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International. Hartini, S., G.B. Saputro, M. Yulianto, and Suprajaka. 2010. Assessing the Use of Remotely Sensed Data for Mapping Mangroves Indonesia. Selected Topics in Power Systems and Remote Sensing. In 6th WSEAS International Conference on Remote Sensing, Iwate Prefectural University, Japan. October 4-6, 2010. pp. 210-215. Hooijer, A. M. Silvius. H. Wosten and S. Page. 2006. Peat-CO2 Assesment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.
26
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Jaenicke, J., H. Wosten and A. Budiman. 2010. Planning Hydrological Restoration of Peatlands in Indonesia to Mitigate Carbon Dioxide Emissions. www.springerlink.com Kementerian Lingkungan Hidup, 2007. Status lingkungan hidup Indonesia 2006. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Miettinen, J., S. C. Liew. 2010. Status of Peatland Degradation and Development in Sumatra and Kalimantan. Royal Swedish Academy of Sciences. www.springerlink.com Mulyanto, B. 2000. Menata Ulang Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Hutan Rawa Gambut. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Murniati, A.A. Nawir, L. Rumboko, dan T. Gumartini. 2008. Tinjauan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi. Dalam Nawir, A.A., Murniati dan L. Rumboko (Eds.). Rehabilitasi Hutan Indonesia. Akan Ke Manakah Arahnya Setelah Tiga Dasawarsa. CIFOR. Bogor. Menteri Kehutanan RI. 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.26/MenhutII/2010 tentang perubahan terhadap peraturan meneteri kehutanan Nomor P. 70/Menhut-II/2008 tentang pedoman teknis rehabilitasi hutan dan lahan. __________. 2012. Peraturan Menteri kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.9/Menhut-II/2012 tentang tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung dan pemberian insentif kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. __________. 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 12/Menhut-II/2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS). Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto dan C. Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Saparinto, C. 2007. Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Dahara Prize. Semarang. Santoso E., Maman Turjaman, Ragil SB Irianto, 2006. Aplikasi Mikoriza untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Ekspose Hasil-Hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. 20 September 2006. Padang. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Satuan Tugas REDD+. 2011. Strategi Nasional REDD+; Konsultasi Nasional Strategi REDD+ 5 April 2011. Jakarta.
27
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Silvius, M.J., APJM Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa, and A.W. Taufik, 1987. The Indonesian Wetland Inventory; a Preliminary Compilation of Information on Wetlands of Indonesia. PHPA-AWB, Bogor, Indonesia. Subagyo H dan I. Arinal, 2003. Ujicoba Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Kebakaran di Lokasi Taman Nasional Berbak Bersama Kelompok Masyarakat. Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Wetlands Internatioanal-Indonesia. Bogor Subiakto A. 2009. Aplikasi KOFFCO untuk Produksi Stek Jenis Pohon Indigenous. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. http://www.fordamof.org/files/deskripsi%20KOFFCO%20System.pdf Suryadiputra, I.N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah R. Lubis, Ferry Hasudungan, dan Iwan T.C. Wibisono. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Program dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Turjaman, M., H. Saito, E. Santoso, A. Susanto, S. Gaman, S. H. Limin, M. Shibuya, K. Takahashi, Y. Tamai, M. Osaki, dan K. Tawaraya. 2007. Effect of Ectomycorrizal Fungi Inoculated on Shorea Balangeran Under Field Conditions in Peat-Swamp Forest. Proceeding of The International Symposium and Workshop on Tropical Peatland, Yogyakarta, 27-29 Agustus. EU CARBOPEAT and RESTROPEAT Partnership, Gadjah Mada University and University of Leicester. UMP - GIZ, 2011. Evaluasi Pertumbuhan Beberapa Jenis Tanaman pada Berbagai Tapak di Hutan Rawa Gambut Merang-Kepayang KPHP Lalan Kabupaten Musi Banyuasin. Laporan Akhir. www.giz.de Tata, H.L. dan S. Pradjadinata. 2013. Regenerasi alami hutan dan lahan rawa gambut terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan Implikasinya terhadap Konservasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 10(3) tahun 2013. Bogor. Van Eijk, P. and P.H. Leenman. 2004. Regeneration of fire degraded peatswamp forest in Berbak National Park and implementation in replanting programmes. Water for Food & Ecosystems Programme Project on: "Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peatswamp forest". Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. Alterra Green World Research, Wageningen, the Netherlands. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera Selatan dan Kalimantan 2004.Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. 254p. Wibisono, I.T.C., Labueni Siboro dan I Nyoman N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Proyek Climate
28
Restorasi Hutan Lahan Basah Dengan Pola Kemitraan di Sumatera Selatan dan Jambi
Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Yuwati T.W., 2013. Inokulasi Mikroba Tanah Lokal pada Jenis Tanaman Rawa Gambut untuk Peningkatan Pertumbuhannya. http://foreibanjarbaru .or. id/?p=440
29