I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Singkong adalah tanaman rakyat yang telah dikenal di seluruh pelosok Indonesia. Saat ini produksi singkong di Indonesia telah mencapai kurang lebih 20 juta ton per tahun. Singkong merupakan hasil pertanian yang jumLahnya berlimpah dan perlu alternatif lain dalam pemanfaatannya untuk menunjang program ketahanan pangan sesuai dengan PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan, dan penanggulangan masalah pangan. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman singkong dimulai dari sejak benih, pembibitan, pemanenan, hingga di gudang penyimpanan selalu tidak luput dari gangguan hama. Hama adalah organisme yang merusak tanaman dan secara ekonomik merugikan manusia. Batasan antara organisme hama dengan organisme bukan hama tidak begitu jelas, tergantung manusia yang menilainya dan dari sudut mana ia menilainya. Biasanya manusia menilai suatu organisme menjadi hama apabila dilihat dari segi ekonomi dan kepentingan manusia itu sendiri (Tjahjadi, 1989). Umumnya organisme yang paling umum untuk menjadi hama adalah serangga. Sekitar 1% dari spesies serangga bersifat sebagai hama. Upaya pengelolaan/pengendalian hama di antaranya memerlukan pemahaman tentang peri kehidupan serangga hama (siklus hidup dan siklus musiman), kaitannya dengan tanaman, kerusakan yang ditimbulkan, serta perkembangan populasi hama (Hidayat, 2003). Serangga merusak tanaman dengan beberapa cara, yaitu dengan memakan bagian tanaman dengan cara menggerek batang, cabang, ranting, buah atau biji, dengan menghisap cairan daun, sehingga daun menjadi keriting, mengorok daun, menularkan organisme penyebab penyakit tanaman, dan lain-lain. Untuk
mengenali adanya serangga hama di lapangan, dapat dilihat dengan melihat serangga tersebut memang ada pada suatu tanaman, adanya embun madu hasil ekskresi kutu-kutuan, adanya cendawan jelaga, adanya kerusakan dan perubahan pada bagian tanaman, dan lain-lain (Tjahjadi, 1989). B. Tujuan Mengetahui eksistansi hama yang menyerang tanaman singkong dan cara pengendaliannya.
II. ISI
A. Hama Uret (Exopholishipoleuca)
Hama kumbang uret (Exopholishipoleuca), telah lama dikenal sebagai hama yang sangat merusak pada banyak tanaman budidaya di Indonesia, terutama pada tanaman perkebunan, walaupun biasanya muncul secara musiman, tetapi apabila sekali menyerang dapat menggunduli berhektar-hektar tanaman budidaya dan menyebabkan kerugian yang cukup berarti. Kumbang dewasa (legek) berwarna coklat, dengan panjang 2,5 cm, punggung dan kepala berwarna hitam, pra dewasa berupa uret atau lundi (kuuk Sunda), yang berkembang di dalam tanah, dengan kedalaman 3-10 cm. Diketahui untuk 1 ekor betina legek dapat menghasilkan 15-60 butir telur selama hidupnya dan sering terjadi over lapping generasi, maka bisa dibayangkan berapa juta keturunan hama ini yang terus bertambah bila tidak terjadi pemblokiran oleh alam atau manusia.
Pengendalian hama uret Pengendalian yang dapat dilakukan petani terhadap hama ini antara lain dengan memutuskan siklus hidup hama ini, yaitu dengan pemusnahan langsung kuuk/uret dan pengumpulkan kumbang di lapang (gropyokan). Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena diketahui hama ini pada pagi sampai siang hari tidak aktif, sehingga ketika dikumpulkan tidak akan melawan atau beterbangan. Cara gropyokan dapat dengan menggoyang-goyangkan pohon
tempat hama hinggap, kumbang akan berjatuhan dan berserakan di tanah, sehingga dengan mudah dapat dikumpulkan. Setelah terkumpul maka legek dapat segera dimusnahkan. Di samping itu sekarang sedang dikembangkan pula nematoda entomofag dengan nama spesies Steinernema huidobrensis yang dapat menyerang dan membunuh hama uret ini di dalam tanah. Nematoda yang berupa cacing yang sangat kecil ini dapat diberbanyak secara sederhana. Inokulum nematoda aktif diambil dengan spoit sekitar 5 ml lalu disiramkan (diinokulasi) ke tubuh uret sehat (terutama bagian abdomennya), lalu biarkan nematoda bekerja
sendiri
menginfeksi uret sekitar 5 hari, yang ditandai tubuh uret yang mulai lembek dan banyak juvenil nematoda yang berseliweran di permukaan tubuh uret. Untuk aplikasi secara langsung, maka uret yang sudah diinokulasikan tersebut langsung saja dibawa ke lahan dan diletakkan di dalam tanah pangkal stek singkong atau tanaman apa saja yang akan dibudidayakan. Akan lebih baik apabila aplikasi ini dilakukan pada saat musim hujan dan lahan dalam kondisi basah, sebab dalam kondisi tersebut nematoda akan lebih mudah beradaptasi ke lingkungan yang baru daripada aplikasi dilakukan pada musim panas. Penggunaan pestisida dirasakan sulit untuk dapat diaplikasikan dalam mengendalikan hama ini, di samping biasanya kumbang berada di tajuk yang tinggi (sehingga sulit dicapai nozzle dan cairan semprot pestisida) sekiranya juga kurang efisien dalam hal biaya mengingat harga pestisida yang mahal dlan belum tentu bisa mengendalikan hama ini secara menyeluruh, karena sebagian hidupnya ada di dalam tanah dan sebagian lagi ada di tajuk pohon. Meskipun demikian untuk skala kecil, pestisida masih relevan untuk digunakan. Pestisida dengan bahan aktif endosulfan dlan karbaril masih dapat direkomendasikan untuk digunakan di lahan budidaya. Penyemprotan dilakukan sebaiknya pada sore hari sekitar pukul 16:00 atau 17:00, di mana hama ini mulai aktif bergerak dan makan, sedangkan untuk fase uretnya (kuuk), yang masih berada di dalam tanah, dapat digunakan pestisida dengan bahan aktif karbofuran atau diazinon dengan formulasi granul (butiran) yang banyak dijual di pasaran saat ini, konsentrasi yang digunakan kalau menggunakan insektisida granule ini ialah 1,5-2 gr/ lubang stek.
Untuk suatu tindakan pengendalian yang berdaya hasil jangka panjang dan lestari, sekiranya para petani tidak hanya bergantung pada satu cara pengendalian saja, melainkan dengan memadukan beberapa cara pengendalian yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga kelemahan pada satu metode pengendalian dapat ditutupi dengan metode pengendalian yang lainnya. Untuk kasus hama kumbang legek ini, akan lebih ideal lagi apabila petani juga beternak ayam di kebunnya sehingga hama dapat menjadi pakan ayam.
B. Tungau Merah
Hama
yang
paling
banyak
menyerang
singkong
adalah tungau
merah. Serangan tungau sangat merugikan petani, karena dapat menurunkan produksi umbi singkong antara 20% - 53%. Serangan tungau merah yang parah bahkan dapat menyebabkan penurunan produksi mencapai 95%. Tungau menghisap jaringan mesofil sampai jaringan tersebut russak. Klorofilpun ikut rusak sehingga tanaman tidak dapat berfotosintesis. Akibatnya makanan yang dihasilkan sedikit dan akhirnya hasil panen umbi singkong juga sedikit. Tanda serangan tungau merah yaitu timbulnya bintik kuning dipermukaan daun . Bintik tersebut lama kelamaan melebar dan berubah warna menjadi merah kecoklatandan akhirnya menghitam. Dan apabila dibalik permukaan bawah daun mengalami kerusakan yang sangat parah. Kerusakan dapat diperparah oleh kondisi musim kering, kondisi stress air dan kondisi dimana kesuburan tanah yang rendah.
Pengendalian tungau merah Untuk mencegah serangan tungau merah sebaiknya singkong ditanam pada saat awal musin hujan. Lakukan sanitasi lahan sebelum tanam, apabila ada tanaman inang dari tungau merah seperti tanaman jambu, petai cina yang ada di sekitar areal penanaman, maka lakukan pengendalian terlebih dahulu sebelum melakukan penanaman singkong.
Untuk mengendalikan serangan tungau merah dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan insektisida berbahan aktif dikofol atau tetradifon. Yang harus diperhatikan adalah pada saat penyemprotan larutan insektisida harus dicampur dengan deterjen. Fungsi dari deterjen adalah untuk menghancurkan bulu- bulu tungau merah sehingga insektisida yang disemprotkan sampai ke kulit tungau merah.
C. Hama tikus
Pengendalian hama tikus secara terpadu Tikus termasuk hama yang sangat merugikan pada tanaman singkong, karena tikus memakan buah singkong atau ketela pohon, sehingga menurunkan produksi tanaman singkong. Ini perlu mendapat perhatian khusus di samping hama lainnya. Karena kehilangan hasil produksi akibat serangan hama tikus
cukup tinggi. Usaha untuk mengendalikan tikus ini sudah banyak dilakukan oleh para petani,mulai dari sanitasi ,kultur teknik,fisik,cara hayati,mekanik dan kimia. Namun diakui,bahwa cara-cara pengendalian tersebut belum dilakukan secara terpadu,sehingga harapan untuk menekan populasi tikus pada tingkat yang tidak merugikan ternyata sulit dicapai. Pengendalian hama secara terpadu (PHT) ini akan terlaksana dengan baik bila petani menghayati konsep dasarnya dan menguasai berbagai cara pengendalian ke dalam suatu program yang sesuai dengan jenis organisme pengganggu dan ekosistem pertanian di tempat tersebut. Konsep pengendalian hama terpadu,sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1947-an,meskipun sebelumnya penanggulangan hama dengan jalan memadukan beberapa pengendalian sudah dilaksana kan.
Langkah awal PHT dapat didefinisikan sebagai cara pengendalian dengan memasukkan beberapa cara pengendalian yang terpilih dan serasi serta memperhatikan segi ekonomi,ekologi sehingga popilasi hama berada pada tingkat yang secara ekonomi tidak merugikan.Artinta,bahwa PHT bertujuan untuk menekan populasi hama sampai pada tingkat yang tidak merugikan,pengelolaan kelestarian alam dan optimasi produksi pertanian. Sebelum melangkah pada usaha pengendalian tikus dengan menerapkan PHT,sebaiknya
kita
mengetahui
terlebih
dahulu
biologi
dan
ekologi
tikus,sehingga petani akan lebih mudah mengidentifikasi untuk selanjutnya dilakukan pengendalian. Tikus
termasuk
ordo Rodentia,famili
Muridae dan sub-famili
Murinae.Dari sub-famili ini ada dua genus yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia yakni genus Mus dan Rattus. Pada umumnya, tikus (Rattus orgentiventer) tinggal di pesawahan dan sekitarnya,mempunyai kemampuan berkembang biak sangat pesat.Jika secara teoritis,tikus mampu berkembang biak menjadi 1.270 ekor per tahun dari satu
pasang ekor tikus saja. Walaupun keadaan ini jarang terjadi, tetapi hal ini menggambarkan, betapa pesatnya populasi tikus dalam setahun. Perkembangan tikus di alam banyak dipengaruhi faktor lingkungan, terutama ketersediaannya sumber makanan,dan populasi tikus akan meningkat berkaitan dengan puncak pada masa generatif. Kegiatan tikus lebih aktif pada malam hari,dan kegiatan hariannya sangat teratur mulai dari mencari makanan,minum,mencari pasangan sampai orientasi kawasan.Untuk menghindari dari lingkungan yang tudak menguntungkan,tikus biasanya membuat sarang pada daerah lembab, dekat dengan sumber air dan makanan seperti di batang pohon, sela-sela batu, gili-gili irigasi, tanggul, jalan kereta api dan bukit bukit kecil. Petani dapat membedakan mana yang disebut tikus sawah dan mana tikus rumah.Pada umumnya,tikus salah selain melakukan aktivitasnya di sawah,juga dapat melakukan aktivitasnya di rumah. Sedangkan tikus rumah (Rattus ratusdiardii) hanya melakukan aktivitasnya hanya di rumah saja. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tikus dapat dilihat pada umbi singkong yang terlihat tidak utuh akibat dimakan tikus, terpotong, serta masih mempunyai sisa bagian batang yang tak terpotong. Pada fase vegetatif hewan tikus ini tidak menggangu tanaman singkong, tetapi pada fase genreratif tikus menjadi
hama
tanaman
singkong,
karena
tikus
memakan
umbi
dari
tanaman singkong.
Pht yang tepat & efektif Jika sudah mengetahui biologi dan ekologi tikus,maka diharapkan petani dapat mengendalikan tikus dengan tepat dan efektif dengan melihat kondisi lingkungan di lapangan,serta mampu menerapkan konsep PHT (pengendalian hama terpadu) ada 4 cara sebagai berikut :
Pertama dengan sanitasi lingkungan,melakukan pembersihan rumput rumput atau semak-semak yang biasa digunakan tikus untuk bersarang.
Kedua, yakni cara fisik dan mekanik,dengan melakukan pembongkaran sarang tikus,kemudian dibunuh (gropyokan) missal memasukkan air ke dalam sarangnya,tikus yang keluar dibunuh.
Ketiga ,yakni cara kultur teknik dengan cara melakukan penanam secara serempak meliputi areal yang luas ,misalnya seluas 0-100 hektar.Cara ini dilakukan untuk menghindari tersedianya makanan bagi tikus.
Keempat, yakni melalui cara biologi/hayati dengan memanfaatkan musuh,usuh alaminya seperti ular sanca, ularwelang,anjing,burung elang dan lainnya.
Rodentisida Pengendalian tikus pada saat singkong pada masa generatif dilakukan secara sanitasi lingkungan dan kimia (Rodentisida). Cara tersebut di nilai cukup efekti, karena pada masa generatif tikus sudah mulai melakukan penyerangan terhadap areal pesawahan dan merusak umbi singkong dengan cara memakan umbi .penggunan rodentisida dilakukan bila populasi tikus yang tinggi. Rodentisida yang biasa digunakan adalah racun akut dan racun antikoagulan. Contoh rodentisida akut yakni czincposphide diberikan dengan cara diumpankan dengan dosis 22 gram per hektar dicampur umpan sebanyak 2,5 kg. Sedangkan rodentisida antikoagulan yakni racumin, tomorin, dekafit, klerat, RMB dan lainnya yang siap pakai yang penggunaannya dengan rodentisida akut. Sementara bahan yang bisa digunakan sebagai umpan antara lain beras, gabah, jagung, ketela pohon, ubi jalar dan lainnya. Penempatan umpan dapat di pasang sepanjang larikan dengan jarak 10 m. Sebelum pemberian umpan beracun sebaiknya dilakukan perumpanan pendahuluan. Hal ini bertujuan untuk membiasakan tikus makan umpan dengan jalan memberi umpan tanpa racun selama 2-3 hari. Waktu pengumpanan disesuaikan dengan keadaan populasi tikus. Sesungguhnya, cara penggunaan rodentisida di lapangan menurut konsep PHT, hendaknya dilakukan sebagai alternatif terakhir apabila cara cara
pengendalian lain dinilai tidak efektif lagi. Itupun dengan catatan, penggunaannya harus secara bijaksana dan tepat dosis. Pengendalian hama tikus ketika generatif, yang lebih baik dan efektif adalah dengan pengemposan. Jika cara rodentisida tidak berhasil. Hal ini disebabkan pada masa generatif makanan berlimpah sehingga umpan yang beracun tidak akan dimakannya. Adapun cara pengemposan dilakukan dengan menggunakan asap atau gas beracun yakni hasil pembakaran serbuk belerang bersama merang atau sabut kelapa dengan perbandingan 1: 1,5 kemudian dimasukkan ke dalam liang yang menjadi sarang tikus. D. Penggerek Batang Ubi Jalar Stadium hama yang merusak tanaman ubi jalar adalah larva (ulat). Cirinya adalah membuat lubang kecil memanjang (korek) pada batang hingga ke bagian ubi. Di dalam lubang tersebut dapat ditemukan larva (ulat). Gejala yang terjadi pada tanaman yang terserang adalah pembengkakan batang, beberapa bagian batang mudah patah, daun-daun menjadi layu, dan akhirnya cabang-cabang tanaman akan mati. Pengendalian hama penggerek batang ubi jalar
rotasi tanaman untuk memutus daur atau siklus hama
pengamatan tanaman pada stadium umur muda terhadap gejala serangan hama: bila serangan hama >5 %, perlu dilakukan pengendalian secara kimiawi
pemotongan dan pemusnahan bagian tanaman yang terserang berat
penyemprotan insektisida yang mangkus dan sangkil, seperti Curacron 500 EC atau Matador 25 dengan konsentrasi yang dianjurkan.
E. Hama Boleng atau Lanas
Serangga dewasa hama ini (Cylas formicarius Fabr.) berupa kumbang kecil yang bagian sayap dan moncongnya berwarna biru, namun toraknya berwarna merah. Kumbang betina dewasa hidup pada permukaan daun sambil meletakkan telur di tempat yang terlindung (ternaungi). Telur menetas menjadi larva (ulat), selanjutnya ulat akan membuat gerekan (lubang kecil) pada batang atau ubi yang terdapat di permukaan tanah terbuka. Gejala yang ditimbulkan dicirikan dengan terdapatnya lubang-lubang kecil bekas gerekan yang tertutup oleh kotoran berwarna hijau dan berbau menyengat. Hama ini biasanya menyerang tanaman ubi jalar yang sudah berubi. Bila hama terbawa oleh ubi ke gudang penyimpanan, sering merusak ubi hingga menurunkan kuantitas dan kualitas produksi secara nyata. Pengendalian hama boleng
pergiliran atau rotasi tanaman dengan jenis tanaman yang tidak sefamili dengan ubi jalar, misalnya padi-ubi jalar-padi
pembumbunan atau penimbunan guludan untuk menutup ubi yang terbuka
pengambilan dan pemusnahan ubi yang terserang hama cukup berat
pengamatan/monitoring hama di pertanaman ubi jalar secara periodik: bila ditemukan tingkat serangan > 5 %, segera dilakukan tindakan pengendalian hama secara kimiawi
penyemprotan insektisida yang mangkus dan sangkil, seperti Decis 2,5 EC atau Monitor 200 LC dengan konsentrasi yang dianjurkan
penanaman jenis ubi jalar yang berkulit tebal dan bergetah banyak
pemanenan tidak terlambat untuk mengurangi tingkat kerusakan yang lebih berat.
III. PENUTUP
Kesimpulan
1.
Hama yang umum menyerang tanaman singkong adalah hama uret, boleng, penggerek batang, tungau merah, dan tikus.
2.
Cara pengendalian yang diaplikasikan pada hama hama tersebut adalah pengendalian umum yang sering dilakukan petani singkong. Seperti perlakuan gropyokan, penggunaan insektisida dan rodentisida, sanitasi lingkungan, kultur teknik, dll. Beberapa diantaranya juga ada yang menggunakan teknik inokulasi nematoda pada salah satu hama.
DAFTAR PUSTAKA
Hartoyo, Dwi. 2013. http://www.htysite.com/budidaya%20ketela.htm diakses tanggal 10 April 2013 Hidayat, Purnama. 2003. Pengantar Entomologi. Bogor: IPB Press Tjahjadi, Nur. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Palembang: Kanisius Wahyudi, Rony. 2013. http://mentari-dunia.blogspot.com/2013/05/budidayatanaman-singkong.html diakses tanggal 10 April 2013