I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran ini mencakup ekosistem dataran rendah, sub pegunungan sampai ke pegunungan. Putro (1997) mengatakan bahwa, pada tingkat spesies, gunung ini penting bagi konservasi keanekaragaman hayati pegunungan, khususnya bagi pelestarian spesies tumbuhan endemik dan langka yang hanya terdapat di gunung ini. Di antara spesies tersebut adalah Rhizanthes zippeli, Rafflesia rochusseni, Piper quenquangulatum, P. acre, Arthophyllum diversifolium, dan Corybas vinosus . Lahan pekarangan di desa-desa sekitar Gunung Salak juga memiliki keanekaragaman spesies tumbuhan yang tinggi, khususnya tanaman budidaya. Inventarisasi yang dilakukan oleh Yayasan Bina Desa Lingkungan (1996) menunjukkan bahwa lebih dari 600 spesies tanaman dapat ditemukan di lahan pekarangan. Tanaman budidaya yang banyak ditemukan di lahan pekarangan tersebut adalah: Durian (Durio zibethinus), Jambu air (Eugenia sp.), Duku (Lansium domesticum), Jambu batu (Psidium guajava), Nangka (Arthocarpus heterophyllus), Rambutan (Nephelium lappaceum), dan Melinjo (Gnetum gnemon). Sebagaimana ekosistem pegunungan lainnya di hutan hujan tropis basah, Gunung Salak berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem, dan diantaranya untuk menjaga iklim mikro, penyerap CO2, serta penghasil O2 (Dephut, 2003a). Ekosistem Gunung Salak juga penting dalam konservasi tanah dan air, terutama untuk menjamin pasokan air bagi daerah di sekitarnya. Menurut Sastrowihardjo (1997), di gunung ini terdapat hulu sungai Cisadane yang merupakan salah satu penyedia utama air baku PDAM bagi masyarakat kota Tangerang dan sekitarnya. Laporan kelompok Rimpala (2001) mengatakan bahwa, di Gunung Salak terdapat mata air Ciburial yang dikelola oleh PAM DKI Jaya untuk suplai air bersih bagi penduduk di Kabupaten Bogor, Kotamadaya Jakarta Selatan, dan Depok.
2
Zona sub pegunungan yang merupakan bagian dari ekosistem di Gunung Salak rentan terhadap berbagai gangguan manusia karena sangat berdekatan dengan lokasi pemukiman. Yusuf et al., (2003) mengatakan bahwa sebagian besar hutan Gunung Salak masih berupa hutan primer dengan kondisi hutan relatif baik, meskipun di beberapa tempat mengalami gangguan. Tekanan lebih berat terjadi pada kawasan hutan yang berdekatan dengan kampung yang memiliki tingkat hunian padat. Pada kawasan ini, gangguan oleh masyarakat, antara lain terjadi dalam bentuk alih fungsi menjadi sawah, selebihnya dimanfaatkan untuk ladang dan kebun. Lahan-lahan ini kemudian banyak yang ditelantarkan dan menjadi semak belukar maupun hutan sekunder. Zona sub pegunungan di Gunung Salak, juga rentan terhadap berbagai gangguan yang bersifat alami, mengingat kondisi topografinya yang terletak di daerah ketinggian dengan lereng yang curam dan curah hujan yang relatif tinggi mencapai 3000 mm/tahun (Sandy, 1997). Gangguan–gangguan tersebut mengakibatkan perubahan pada distribusi, komposisi dan struktur dari berbagai tipe vegetasi dalam ekosistem pegunungan. Ehrlich (1997) mengatakan bahwa hilangnya berbagai tipe vegetasi mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman habitat sehingga menyebabkan banyak spesies terancam kepunahan. Lambin et al., (2000) mengatakan bahwa gangguan tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan menurunnya kemampuan ekologis dari suatu ekosistem dan menimbulkan dampak seperti erosi, banjir, maupun tanah longsor. Status Gunung Salak saat ini telah berubah dari hutan lindung menjadi taman nasional dan digabung dengan Taman Nasional Gunung Halimun dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penggabungan ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 (Dephut, 2003b). Dengan penggabungan tersebut maka dalam pengelolaannya sebagai bagian dari taman nasional, diperlukan pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang kondisi ekologi tumbuhan yang terdapat di kawasan tersebut. Pada sisi lain, sebagai sebuah area yang dulunya merupakan hutan lindung, perhatian terhadap Gunung Salak lebih banyak pada fungsi hutan lindung itu sendiri terutama sebagai pengatur tata air, sedangkan potensi lainnya berupa vegetasi dan
3
hewan belum banyak mendapat perhatian. Bahkan data kuantitatif flora dan fauna dalam hutan lindung belum banyak diketahui. Putro (1997) mengatakan bahwa, Gunung Salak yang merupakan daerah yang kaya dengan spesies dapat dikatakan terbengkalai sejak lebih kurang 50 tahun yang lalu dari eksplorasi ilmiah atau pengumpulan data dasar lainnya. Banyak data mengenai gunung ini terlalu tua sehingga sulit untuk dipetakan dalam dimensi ruang dan waktu manajemen.
Di antara data tersebut adalah
kondisi ekologi dari vegetasi di Gunung Salak.
B. Perumusan Masalah Sebagai bagian dari sebuah taman nasional, zona sub pegunungan dan seluruh ekosistem Gunung Salak perlu dikelola dengan perencanaan yang matang dan baik. Faktor-faktor penting untuk kegiatan tersebut adalah klasifikasi tipe vegetasi secara fisiognomi struktural dan floristik, dan juga pemahaman mengenai struktur dan komposisi vegetasi yang terkait dengan faktor abiotik di zona sub pegunungan Gunung Salak. Sampai saat ini klasifikasi tipe vegetasi secara fisiognomi struktural dan floristik untuk zona sub pegunungan, Gunung Salak belum pernah dilakukan. Jennings et al., (2003) mengatakan bahwa klasifikasi tipe vegetasi diperlukan untuk pelaksanaan manajemen ekosistem yang efektif, juga dibutuhkan untuk kegiatan perencanaan, inventarisasi, restorasi, dan meramalkan berbagai tanggapan ekosistem terhadap berbagai perubahan lingkungan. Selanjutnya Webb (2000) mengatakan bahwa implikasi praktis klasifikasi tipe vegetasi terhadap manajemen lingkungan dapat terjadi pada skala ekologi regional, sistem lahan, maupun pada skala pekarangan rumah tangga. Menurut laporan Ministry of Forestry, Rep. of Indonesia & JICA (2004), hubungan antara vegetasi yang merupakan komponen biotik dengan komponen abiotik dari seluruh ekosistem Gunung Salak belum banyak diketahui dan dipahami secara utuh, padahal informasi ini penting sekali untuk tujuan pengelolaan Gunung Salak sebagai bagian dari taman nasional. Kershaw (1973) mengatakan bahwa pemahaman tentang struktur vegetasi penting, karena merupakan dasar dari seluruh kegiatan pekerjaan ekologi. Menurut Kusmana
4
(1993), struktur vegetasi harus diklarifikasi terlebih dahulu dalam rangka melaksanakan suatu manajemen yang layak berdasarkan prinsip kelestarian. Selanjutnya Lamonier (1997) mengatakan bahwa kajian organisasi spasial dari parameter-parameter floristik dan struktural vegetasi tetap merupakan kunci yang paling penting dalam kaitannya dengan permasalahan vegetasi. Spies & Tunner (1999) selanjutnya mengatakan bahwa, manajemen dinamika suatu lansekap harus didasarkan pada proses-proses vegetasi yang menjadi dasar dari proses-proses ekologi yang berlangsung pada suatu ekosistem. Berdasarkan keterangan di atas, maka permasalahan vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak adalah: 1. Bagaimana sesungguhnya tipe vegetasi fisiognomi struktural, dan floristik zona sub pegunungan, Gunung Salak? 2. Bagaimana kaitan antara tipe vegetasi floristik dengan berbagai faktor abiotik zona sub pegunungan, Gunung Salak? 3. Bagaimana perubahan komposisi, struktur, kemelimpahan, keanekaragaman, dan pola penyebaran spesies serta Struktur vegetasi yang menyusun tipe vegetasi floristik sepanjang gradien lingkungan
zona sub pegunungan,
Gunung Salak? 4. Bagaimana preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik
zona sub
pegunungan, Gunung Salak?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengklasifikasi berbagai tipe vegetasi
yang menyusun
zona sub
pegunungan, Gunung Salak secara fisiognomi struktural dan floristik. 2. Menelaah hubungan
antara tipe vegetasi floristik dengan berbagai faktor
abiotik zona sub pegunungan, Gunung Salak. 3. Mengkaji perubahan komposisi, kemelimpahan, keanekaragaman dan pola penyebaran spesies, serta struktur vegetasi yang menyusun tipe vegetasi floristik sepanjang gradien lingkungan zona sub pegunungan, Gunung Salak. 4. Menentukan preferensi spesies terhadap berbagai faktor abiotik zona sub pegunungan, Gunung Salak.
5
D. Manfaat Penelitian Klasifikasi tipe vegetasi dan informasi mengenai kondisi vegetasi yang terkait dengan berbagai faktor abiotik merupakan pengetahuan ekologi vegetasi. Informasi yang diperoleh akan sangat bermanfaat untuk kegiatan manajemen Gunung Salak secara khusus dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak secara umum. Hasil penelitian juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan perlindungan dan pengelolan kawasan konservasi di daerah lain di Indonesia.
E. Kerangka Pemikiran Ekosistem dikendalikan oleh proses-proses biotik dan fisik yang berlangsung pada setiap hirarki dari skala ruang maupun tingkat ekologi (Spies & Tunner, 1999). Berbagai pola-pola yang kompleks dari distribusi, komposisi, dan struktur vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik dan antropogenik dari masyarakat di sekitar Gunung Salak yang memanfaatkan berbagai sumberdaya alam yang ada (Putro, 1989). Pendekatan yang dipilih untuk memahami kompleksitas ekologi dari vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak adalah dengan klasifikasi. Pendekatan klasifikasi digunakan dengan asumsi bahwa gangguan-gangguan baik secara abiotik maupun antropogenik, serta adanya gradasi lingkungan di zona sub pegunungan, Gunung Salak yang mengakibatkan timbulnya berbagai tipe vegetasi yang berbeda dan sifatnya tidak menerus tapi diskrit. Menurut Gauch (1982) dalam Ludwig & Reynold (1988), terdapat 3 tujuan utama melakukan klasifikasi dalam ekologi, yaitu untuk : (1) meringkaskan data yang besar dan kompleks, (2) membantu dalam menginterpretasikan berbagai variasi pola komunitas pada suatu lingkungan, dan (3) memperhalus model struktur komunitas, sehingga pemahaman terhadap data dapat lebih mudah.
Data Vegetasi
Data Lingkungan Abiotik
Analisis Vegetasi
6
Data Sekunder
o Klasifikasi
secara
fisiognomi
struktural o Klasifikasi Floristik: Aliansi dan Asosiasi Penyebaran Secara Geografi tipe vegetasi Aliansi
1. Mengkaji pembeda dan kaitan antara tipe vegetasi floristik dengan berbagai faktor abiotik di zona sub pegunungan Gunung Salak. 2. Menelaah perubahan komposisi, keanekaragaman, pola penyebaran, preferensi spesies, serta struktur tegakan yang menyusun tipe vegetasi di sepanjang gradien lingkungan di zona sub pegunungan, Gunung Salak. Gambar 1. Kerangka pemecahan masalah. Konsep tentang pola-pola vegetasi dapat saja berbeda, namun seluruh kegiatan klasifikasi memerlukan pengidentifikasian seperangkat kelas-kelas vegetasi
yang
bersifat
diskrit.
Mueller-Dombois
&
Ellenberg
(1974a)
mengungkapkan beberapa ide yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi, sebagai berikut: (1) Pada kondisi habitat yang serupa akan ditemukan kombinasi spesies yang serupa yang berulang kehadirannya dari satu tegakan ke tegakan lainnya. (2) Tidak ada tegakan atau sampel vegetasi yang betul-betul serupa bahkan pada tegakan yang sangat berdekatan akan memperlihatkan penyimpangan sedemikian rupa terhadap yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya peluang dari kejadian penyebaran spesies tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan kepunahan spesies. (3) Kumpulan spesies akan berubah kurang lebih menerus
7
seiring dengan perubahan jarak geografi atau lingkungan. (4) Komposisi tegakan vegetasi bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Asumsi dasar dari klasifikasi vegetasi adalah, pengelompokan vegetasi secara alami sesungguhnya terjadi di alam atau, merupakan hal yang logis untuk memisahkan variasi dari komposisi dan struktur vegetasi yang bersifat menerus ke dalam serangkaian kelas-kelas yang bersifat arbiter (Kimmins, 1987). Ringkasan kerangka pemecahan masalah untuk kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan transek di zona sub pegunungan, Gunung Salak untuk pengambilan data lapangan. Hubungan di antara faktor-faktor lingkungan di zona sub pegunungan, Gunung Salak dengan pola vegetasi yang ada kemudian di deteksi melalui analisis vegetasi. Kompleksitas pola-pola vegetasi di zona sub pegunungan, Gunung Salak dapat dipahami
lebih jauh dengan mengklasifikasikan vegetasi di kawasan
tersebut. Klasifikasi dilakukan pada tingkat fisiognomi struktural dan floristik. Pada tingkat floristik akan diperoleh unit vegetasi paling dasar dari tipe vegetasi, berupa Aliansi dan Asosiasi. Pada setiap tipe vegetasi yang terbentuk, khususnya pada tingkat aliansi dan asosiasi ditentukan hubungan antara struktur dan komposisi vegetasi dari sinusia yang menyusun vegetasi dan hubungannya dengan berbagai faktor lingkungan fisik. Selanjutnya juga dikaji pola distribusi spesies pada setiap tipe vegetasi yang terbentuk.