I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran adalah kegiatan inti institusi pendidikan dan sangat berpengaruh pada mutu pendidikan secara keseluruhan. Berbagai metode telah dikembangkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan mengoptimalkan fungsi sumber daya pendukungnya. Salah satu isu yang cukup penting di perguruan tinggi adalah kehadiran e-learning untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan mengandalkan kemampuannya yang dapat digunakan dari manapun, di manapun, dan kapanpun. Sama seperti teknologi yang lain, elearning seharusnya mampu menjadi inti penggerak ”proses belajar dan pembelajaran” agar efektif dan efisien, bukan sekedar menciptakan ”kegiatan pembelajaran”. Namun ternyata e-learning memiliki pengaruh yang rendah pada hasil, khususnya pada hasil pembelajaran kelompok (Hattie, 2007). Sebaliknya metode tatap muka pun belum cukup untuk menciptakan sebuah proses pembelajaran kelompok yang efektif dan efisien karena hanya terbatas di kelas. Kombinasi antara model tatap muka dengan e-learning dianggap sebagai cara yang terbaik (Moodie and Kunz, 2005), model ini lebih dikenal sebagai model campuran atau blended learning. Pada umumnya, model campuran mengandung dua unsur: pembelajaran sebagai proses tranformasi pengetahuan di kelas dan e-learning sebagai alat belajar/pembelajaran di luar kelas. Tetapi model campuran pun masih belum optimal karena belum menciptakan kegiatan belajar dan pembelajaran yang fokus pada usaha mencapai ketuntasan. Jika proses pembelajaran yang menjadi tolok ukur, maka bagaimana membawa mahasiswa mencapai kondisi tuntas sesuai tujuan pembelajaran sebenarnya memiliki kemiripan dengan proses bagaimana sistem kendali umpan balik mampu membawa mesin bekerja pada kondisi yang diinginkan. Timbul pertanyaan yang cukup menarik untuk dijawab, bagaimana cara menggunakan sistem kendali umpan balik yang biasanya digunakan pada mesin untuk diterapkan pada proses pembelajaran campuran sehingga mampu 1
2
membentuk pembelajaran yang ideal?. Pembelajaran dikatakan ideal apabila mampu membentuk suatu proses belajar yang dapat membawa seluruh mahasiswa mencapai ketuntasan (tujuan pembelajaran). Pembelajaran ideal dapat dicapai jika dijalankan antara satu dosen satu mahasiswa (pembelajaran privat), waktunya mencukupi, ditunjang peralatan yang mencukupi, serta menggunakan cara-cara yang tepat (Bloom, 1968). Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan besar mahasiswa dapat mencapai ketuntasan karena dosen sangat mengerti apa yang harus dilakukan jika mahasiswanya mengalami kesulitan. Selain pembelajaran, dosen juga mampu menciptakan sebuah proses belajar. Tetapi saat ini di perguruan tinggi, pada umumnya, seorang dosen menangani mahasiswa yang banyak. Dosen memiliki keleluasaan untuk mengajar dengan sebaik-baiknya, tetapi waktu untuk mengawasi dan membantu menyelesaikan kesulitan belajar setiap mahasiswa terbatas. Terlebih lagi, kecepatan belajar, gaya belajar, dan jenis kesulitan belajar setiap mahasiswa juga sangat beragam. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan kemungkinan mahasiswa mencapai ketuntasan kecil karena semakin jauh dengan karakteristik pembelajaran privat. Ada persoalan mendasar dalam pencapaian kentuntasan pada pembelajaran kelompok yaitu adanya keterbatasan memberi perhatian dan memberi perlakuan yang tepat untuk setiap mahasiswa. Ada keterkaitan erat antara pencapaian ketuntasan dengan proses belajar dan metode pembelajaran yang digunakan. Model-model
pembelajaran
kelompok
terus
dikembangkan
untuk
meningkatkan mutu pembelajaran. Filosofi pembelajaran kelompok yang fokus pada ketuntasan adalah Mastery Learning (ML), yaitu sebuah filosofi pembelajaran yang menggunakan keyakinan bahwa semua mahasiswa dapat mencapai ketuntasan jika mereka diberi waktu belajar yang cukup dan cara pembelajaran yang tepat (Ozden, 2008). Pada tahun 1984, Bloom melakukan meta-analysis untuk membandingkan antara model privat (1 guru 1 siswa), model ML (1 guru 30 siswa), dan model tatap muka (1 guru 30 siswa). Dari penelitian tersebut diperoleh hasil (Gambar 1): sebanyak 98% siswa pada model konvensional memperoleh nilai di bawah rata-rata nilai model privat. Sebanyak
3
84% siswa pada model tatap muka memiliki skor dibawah rata-rata skor siswa pada model ML.
Perbedaan simpangan baku rata-rata antara model privat
dibandingkan dengan model tatap muka kelompok sebesar 2,0, selanjutnya kondisi ini lebih dikenal dengan Bloom’s 2- sigma problem (Gambar 1.1). Frekuensi Privat
Mastery Learning Tatap muka
84%
* Perbandingan dosen - mahasiswa
98%
Skor
2σ
Gambar 1.1 Masalah 2 σ Bloom (Bloom, 1984) Analisis lebih lanjut dalam mengukur tingkat keberhasilan model pembelajaran dapat dilakukan dengan mencari selisih rata-rata post-test antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol kemudian dibagi dengan rata-rata standar deviasinya, cara ini dikenal dengan istilah effect size. Nilai effect size terletak antara 0 hingga 3 (Coe, 2002), dengan interprestasi: < 0,27 perpengaruh rendah 0,27 – 0,59 berpengaruh sedang, 0,6-1,44 berpengaruh tinggi, dan > 1,44 berpengaruh tinggi sekali (Hattie, 2012). Bloom menyimpulkan nilai effect size pada pembelajaran privat rata-rata adalah 2,0, sedangkan ML pada pembelajaran kelompok, dengan 1 guru 30 siswa, rata-rata memiliki effect size 1,0.
4
Penelitian-penelitan bidang ML berikutnya dilakukan dengan tujuan untuk menjawab tantangan Bloom, yaitu menemukan model pembelajaran kelompok yang mendekati kemampuan pembelajaran privat. Prinsip dasar pengembangan model-model baru adalah memberi perlakukan pada beberapa variabel belajar atau pembelajaran yang dianggap paling berpengaruh pada ketuntasan (Guskey, 2010). Lebih lanjut dijelaskan, aktivitas terpenting dalam ML pada pembelajaran kelompok adalah melakukan assessment kemudian dilanjutkan dengan evaluasi untuk perbaikan proses pembelajaran. Aktivitas tersebut dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan. Tujuan inovasi model-model pembelajaran yang baru adalah untuk mengatasi masalah 2-sigma atau memperoleh hasil yang mendekati pembelajaran privat. Intinya adalah menemukan model pembelajaran kelompok yang dapat meningkatkan sebanyak-banyaknya mahasiswa yang mencapai ketuntasan mendekati model privat. Bloom (1984) menyarankan agar modelmodel
baru dibangun dengan mengkombinasi beberapa
metoda untuk
mempertinggi effect size tetapi dengan syarat tidak memberi beban tambahan yang berlebihan pada dosen dan mahasiswa karena dikawatirkan dapat memicu persoalan baru di luar konteks pendidikan. Konsep ML mengandung dua unsur penting yaitu tujuan belajar dan cara mencapainya. Block (1971) kemudian diperkuat oleh Clark dkk. (1983), mereka menyarankan, dalam menggunakan prinsip ML perlu untuk: (a) merencanakan dan melaksanakan instruksional secara baik, (b) memberikan waktu yang cukup bagi setiap mahasiswa, dan (c) memonitor secara berkesinambungan, dan (d) memberi perlakuan segera jika ditemukan masalah. Konsep ML yang cukup penting dikemukakan oleh Guskey dan Piggot pada tahun 1988; bagian penting dari ML adalah balikan, perbaikan, dan proses pengayaan. Kemudian, Guskey pada tahun 2010 merangkum prinsip-prinsip yang digunakan ML untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu: ⁻
Assesment dilakukan sebelum pembelajaran dimulai.
⁻
Mengulang pembelajaran bila diperlukan.
5
⁻
Diadakan pemantauan berkelanjutan melalui tes formatif untuk perbaikan pembelajaran.
⁻
Melakukan assesment melalui tes formatif.
⁻
Memberi pengayaan bagi mahasiswa yang mencapai ketuntasan lebih awal. Prinsip-prinsip ML telah memberikan cara bagaimana pembelajaran harus
dilaksanakan agar sebanyak mungkin mahasiswa yang mencapai ketuntasan, tetapi belum ditemukan prinsip bagaimana ML diterapkan pada pembelajaran di perguruan tinggi yang memiliki rasio dosen:mahasiswa rendah dan waktu belajar dibatasi (sistem Satuan Kredit Semester atau SKS). Salah satu permasalahan pada ML adalah waktu belajar yang dibutuhkan lebih panjang serta model pembelajaran menjadi lebih beragam bila dibandingkan dengan metode tatap muka. Pada saat konsep dasar ML disusun, tantangan dosen tidak seperti saat ini, dosen mengelola mahasiswa yang banyak dengan beragam karakteristik dan latar belakang. Saat ini mahasiswa memiliki gaya belajar yang jauh berbeda, karena multimedia sangat kuat mempengaruhi kebiasaan dan perilaku belajar mahasiswa. Penerapan ML membutuhkan perubahan budaya dan gaya belajar; hal ini tidak mudah bagi perguruan tinggi yang menggunakan sistem SKS, masih mempertahankan model tatap muka, dan memiliki rasio dosen:mahasiswa yang kecil; penerapan ML pada kondisi seperti ini rata-rata effect size hanya 0,5 (Hattie, 2003). Untuk menaikkan kembali effect size pada ML, perlu dirancang sebuah model pembelajaran yang dapat diterapkan pada pembelajaran kelompok tetapi memiliki karakteristik pembelajaran privat. Model pembelajaran yang dimaksud dirancang
menggunakan
prinsip-prinsip
Mastery
Learning
(ML)
yang
menggunakan teknologi agar mampu menjangkau mahasiswa yang banyak dan penanganannya dapat bersifat individual. Salah satunya dengan menggunakan elearning seperti yang dilakukan oleh Kazu (2005), Ozden (2008), dan Liu dan Yang (2011).
6
Menurut prinsip-prinsip ML, untuk mencapai ketuntasan perlu adanya upaya membuat mahasiswa secara terus-menerus aktif belajar dan terbantu hingga mencapai ketuntasan. Selain itu, perlu ada upaya untuk mendorong dosen agar lebih berperan untuk mengawasi, mendeteksi masalah, dan memberi perlakuan yang efektif dan efisien pada ranah individual atau kelompok. Dalam bidang keteknikan, dikenal sistem pengendalian umpan balik untuk mengendalikan sebuah proses atau mesin. Proses pengendalian dimulai dengan mengukur variabel keluaran proses kemudian dibandingkan dengan nilai variabel yang diinginkan (set point), jika hasil perbandingan dianggap belum sesuai (terdapat error) maka alat pengendali akan melakukan tindakan koreksi dengan mengubah variabel proses agar error berkurang. Proses ini dilakukan terus-menerus sedemikian rupa sehingga error menjadi cukup kecil dan dapat dikatakan mencapai kestabilan. Mekanisme pengendalian ini bekerja secara otomatis. Dapat diamati, antara prinsip ML dan pengendalian umpan balik terlihat ada kemiripan dalam hal samasama mengukur dan memperbaiki proses untuk mencapai hasil yang diinginkan dengan cara sebaik dan secepat mungkin. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, penerapan ML pada pembelajaran dengan mahasiswa banyak harus mendekati sifat pembelajaran privat, sifat pembelajaran seperti ini bisa didekati jika dibantu teknologi dan ada prinsip pengendalian prosesnya. Oleh sebab itu, model e-learning yang baru perlu dirancang agar prinsip ML dapat dilaksanakan sekaligus diperbaiki dengan mengadaptasi prinsip sistem pengendalian umpan balik pada bidang keteknikan. Adaptasi ini diperlukan untuk membentuk proses pengendalian belajar sehingga terjadi siklus perbaikan terus-menerus yang meliputi: pengukuran hasil proses belajar, menemukan masalah belajar, melakukan evaluasi, dan memberi perlakuan yang tepat. Siklus belajar ini harus dirancang agar dapat bekerja secara otomatis mirip pada pengendalian mesin. Prinsip pengendalian belajar ini terwujud jika dapat
memanfaatkan
kelebihan-kelebihan
mengoptimalkan peran dosen.
yang
dimiliki
e-leaning
dan
7
B. Identifikasi Masalah Pada kurikulum yang mengacu pada sistem SKS, antara mahasiswa yang memiliki kemampuan lebih diberi alokasi waktu belajar yang sama dengan mahasiswa yang berkemampuan kurang, hal ini tidak sesuai dengan prinsipprinsip ML; model pembelajaran harus mengakomodasi kebutuhan waktu belajar bagi setiap mahasiswa. Model tatap muka juga masih mendominasi sehingga perlakuan pada setiap mahasiswa seragam, padahal kecepatan belajar tidak sama; pembelajaran pada ML harus bersifat individual. Interaksi mahasiswa dan dosen terbatas hanya di kelas sehingga kegiatan yang dilakukan oleh dosen moyoritas hanya mengajar, mengadakan tes, dan memberi nilai. Merujuk pada prinsipprinsip ML, dalam kondisi tersebut peran dosen dapat dikatakan belum optimal. Selain itu, ML menuntut perhatian pada setiap mahasiswa, padahal kecenderungan saat ini rasio dosen terhadap mahasiswa rendah; peran dosen menjadi semakin tidak optimal karena intensitas interaksi individual antara dosen dan mahasiswa juga rendah. Dalam kondisi seperti ini implementasi ML tidak sempurna sehingga effect size hanya 0,5 (Hattie, 2012). Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan effect size yang pernah dicapai 1,0 (Bloom, 1984). Upaya meningkatkan effect size ini dapat dilakukan dengan menerapkan model belajar dan alat yang tepat untuk memastikan bahwa proses personalisasi dalam belajar yang mengakomodasi kemampuan, gaya belajar, kebutuhan waktu belajar, perlakuan dosen terhadap mahasiswa, yang semua itu berbeda bagi masing-masing mahasiswa (sangat bersifat individual), setidaknya tetap bisa mengantarkan setiap mahasiswa mencapai ketuntasan belajar atau mendekati hasil model pembelajaran privat. Salah satu alat pembelajaran yang memiliki potensi untuk mengatasi masalah ini adalah e-learning, karena dikembangkan untuk menyediakan fasilitas pembelajaran individual sekaligus untuk mengatasi semakin rendahnya rasio dosen-mahasiswa (Mitrovic, 2002). Alat e-learning yang berbasis internet yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah Learning Management System (LMS), seperti
8
diungkapkan oleh Pulichino (2005). Tetapi, penelitian dengan tema LMS kebanyakan melihat hanya dari sisi teknologinya, antara lain: personalisasi pengguna, kapasitas akses, standarisasi, interaksi, rancangan tampilan, sistem pelaporan, pencatatan kegiatan, assessment tools, persyaratan bisnis, dan persyaratan teknologi. Menurut Sampson (2009), penelitan bidang LMS diarahkan pada analisis kebutuhan bisnis (46%), integrasi konten (37%), serta cara integrasi dengan sistem lain (36%). Secara ringkas dapat dinyatakan pengembangan LMS secara khusus belum menyentuh pada ranah paling mendasar yaitu proses belajar dan pembelajaran untuk mencapai ketuntasan. Bahkan sudah diketahui, penggunaan media e-learning untuk pembelajaran melalui cara-cara semacam grup diskusi memiliki effect size hanya 0,42 (Lee, 2013). Dari penjelasan di atas, ada dua persoalan mendasar yang harus dipecahkan dalam penelitian ini karena model yang akan dikembangkan menggunakan konsep ML yang didukung oleh e-learning untuk model belajar kelompok dengan rasio dosen-mahasiswa kecil dan menggunakan sistem Satuan Kredit Semester (SKS). Dua persoalan mendasar tersebut adalah ML belum mampu memberi effect size yang memenuhi harapan dan e-learning pun belum mampu memberi effect size yang tinggi. Kedua model ini terbukti belum dapat meningkatkan jumlah mahasiswa yang mencapai ketuntasan dibanding model tatap muka. Kombinasi ML dan e-learning yang didukung dengan prinsip pengendalian proses belajar yang mengadaptasi pengendalian umpan balik inilah yang menarik untuk diteliti; masing-masing memiliki kelebihan dan berpotensi untuk disinergikan sehingga mampu menaikkan effect size setinggi mungkin hingga menyamai pembelajaran privat, atau minimalnya 1,0 (melebihi model ML 1 guru 30 siswa). C. Perumusan dan Batasan Masalah Dapat dirangkum, masalah utama yang mendasari penelitian ini adalah: 1. Dalam pembelajaran yang menggunakan sistem SKS, prinsip keleluasaan waktu belajar pada ML tidak dapat dijalankan dengan baik karena waktunya dibatasi satu semester.
9
2. Dalam pembelajaran yang didominasi model tatap muka semua mahasiswa diperlakukan sama, sehingga prinsip pembelajaran individual pada ML tidak dapat dilaksanakan secara sempurna. 3. Dosen mengalami kesulitan memberi perhatian dan perlakuan individual jika menangani mahasiswa yang banyak. 4. Penerapan ML pada pembelajaran kelompok dengan perbandingan dosenmahasiswa kecil memiliki effect size hanya 0,5. 5. Peggunaan e-learning belum menjangkau ranah proses pembelajaran untuk mencapai ketuntasan dan diketahui memiliki effect size hanya 0,42. Masalah-masalah tersebut di atas dicoba untuk diselesaikan dengan model e-learning yang menerapkan sistem pengendalian umpan balik yang umum digunakan pada mesin atau proses. Penerapan teknik pengendalian umpan balik pada pengendalian perilaku
belajar
ini membawa
implikasi timbulnya
permasalahan di luar bidang keteknikan, karena disebabkan aplikasinya pada manusia yang memiliki karakteristik sangat berbeda dengan mesin atau proses. Respon manusia terhadap berbagai perlakuan belajar belum pernah dimodelkan, sehingga perlu dibuat model matematisnya terlebih dahulu agar dapat dirancang teknik pengendaliannya. Model pembelajaran dan faktor-faktor yang berpengaruh pada ketuntasan belajar bervariasi, sehingga pemodelan hanya akan didasarkan pada perilaku manusia terhadap pembelajaran tertentu atau faktor tertentu yang dianggap paling berpengaruh pada proses belajar. Selain itu, e-learning memiliki aspek teknologi dan aspek pendidikan. Meskipun dalam penelitian ini model elearning dirancang menggunakan pendekatan teknologi dan pendidikan, tetapi aspek teknologi pada e-learning sudah dianggap cukup baik sehingga penelitian hanya mencakup variabel-variabel yang dianggap paling berpengaruh pada proses belajar. Hasil rancangan perlu diuji melalui eksperimen untuk mengetahui keberhasilan dan keterlaksanaannya. Model disebut berhasil bila memiliki effect size minimal 1,0 (berbeda secara signifikan) dan disebut terlaksana apabila
10
variabel-variabel proses yang dikendalikan pada eksperimen terbukti berpengaruh sangat kuat pada pencapaian ketuntasan. D. Keaslian Penelitian 1. Penelitian Terdahulu Dalam hal pembelajaran tuntas, Guskey dan Gates (1986) serta Davis (1995) telah melakukan meta-analysis yang berisi 27 studi pembelajaran tuntas pada lima bidang: prestasi siswa, retensi siswa, variabel waktu, sikap siswa, dan peran guru. Mereka menemukan bahwa ada hasil prestasi yang sangat positif atas penggunaan konsep ML, meskipun hasilnya sangat bervariasi. Tetapi, mereka belum membahas strategi penerapan e-learning untuk ML sehingga mampu membawa sebanyak-banyaknya mahasiswa yang mencapai ketuntasan secara efektif. Penelitian bidang e-learning mayoritas diarahkan pada pengembangan konten, strategi, teknologi dan perangkat, analisis kebutuhan, proses inisiasi, dan komponen pendukung (Pulichino, 2006). Tidak banyak penelitian ML yang terkait dengan langsung dengan e-learning. Salah satu penelitian penggunaan ML pada elearing pernah dilakukan oleh Liu (2008) yang membuktikan bahwa implementasi ML sangat membutuhkan keberadaan sarana e-learning karena dapat meringankan aktifitas belajar dan pembelajaran. Namun, bagaimana fasilitas e-learning dioptimalkan dan ditempatkan pada ML secara tepat belum pernah diteliti. Penggunaan konsep umpan balik dalam pembelajaran pernah ditulis oleh Fleming dan Leavi (1993), dijelaskan bahwa balikan hasil belajar dapat dirancang dalam bentuk pesan yang bersifat instruksional. Pesan atau balikan dirancang agar dapat memotivasi mahasiswa untuk meningkatkan aktifitas belajarnya, sebenarnya cara ini sesuai dengan hasil penelitian Hattie (2003) yang menyimpulkan bahwa balikan yang memotivasi merupakan variabel paling berpengaruh pada keberhasilan belajar. Tetapi, ML tidak bisa hanya mengadalkan pada balikan saja. Cara-cara yang lebih maju menggunakan e-learning untuk ML pernah dilakukan oleh Norris, dkk. (2004). Tujuan pokok penelitian mereka untuk
11
mendapatkan data, mengolah data, dan memberikan hasil evaluasi belajar yang dapat dilakukan secepat mungkin, menggunakan Excel dan Visual basic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem masih perlu diperbaiki, karena penggunaan Excel memiliki banyak keterbatasan pada kecepatan pengelolaan. Bagaimana ringkasan hasil evaluasi harus disajikan agar dosen mudah menemukan masalah belajar belum diteliti. Penelitian yang dilakukan oleh Brown, dkk (2006) juga melibatkan teknologi, dalam penelitian ini berhasil ditunjukkan beberapa variabel pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan e-learning melalui tes formatif, antara lain: kinerja pembelajaran, kinerja mahasiswa, sikap mahasiswa terhadap metode instruksi, kemampuan memecahkan masalah, tingkat keterlibatan, retensi, tingkat keberhasilan, dan tingkat kegagalan. Tetapi jika diteliti lebih dalam, latar belakang dua penelitian ini lebih banyak pada unsur teknologinya, tetapi belum mengarah pada sebuah metode bagaimana model e-learning untuk mampu membawa mahasiswa mencapai ketuntasan. 2. Rancangan model e-learning penelitian Menurut Guskey (1987) bagian terpenting ML adalah pengawasan dan perbaikan. Implementasi ML tidak sempurna jika model pengajaran masih mendominasi dan tidak ada metode pencapaian ketuntasan yang baik. Dari alasan inilah, e-learning ini dirancang untuk menyempurnakan implementasi ML pada pembelajaran kelompok dengan mengadaptasi model pengendalian umpan balik. Adaptasi diperlukan untuk melaksanakan kegiatan pengukuran-penilaian-evalusiperbaikan pada proses belajar hingga menjangkau ranah individual; dengan cara ini akan lebih banyak mahasiswa yang mencapai ketuntasan secara efektif dan efisien melalui kegiatan belajar mandiri di luar kelas. E-learning memiliki unsur teknologi dan unsur pendidikan. Unsur teknologi yang digunakan meliputi: alat pengelolaan pembelajaran di kelas, dan alat tutorial di luar kelas (online) yang dapat membimbing dan mengakomodasi kecepatan belajar setiap mahasiswa; unsur
pendidikan meliputi desain
instruksional untuk membentuk prinsip pengendalian umpan balik pada kegiatan
12
belajar dan pembelajaran. Model e-learning ini didesain menggunakan pendekatan teknologi dan pendidikan. 3. Spesifikasi model yang dirancang Ciri khusus model e-learning yang dikembangkan terletak pada adaptasi pengendalian umpan balik yang umum digunakan pada sistem keteknikan. Adaptasi yang dimaksud terletak pada penggunaan karakteristik perbaikan proses belajar yang terus-menerus untuk mengurangi masalah belajar sehingga mahasiswa mencapai ketuntasan secara cepat namun berkesan. Adaptasi ini melengkapi kegiatan pembelajaran dengan “proses belajar” untuk menuju ketuntasan secara bertahap dan berjenjang melalui cara-cara yang efektif dan efisien. Model pengendalian belajar seperti ini belum pernah diteliti. Ada dua masalah belajar yang dianggap cukup penting untuk diukur dan diperbaiki secara terus-menerus karena memiliki pengaruh paling besar pada upaya mencapai ketuntasan kognitif, yaitu motivasi dan pemahaman materi. Ciri lain dalam model ini, fungsi dosen yang harus mampu memahami situasi belajar mahasiswa untuk memperbaiki kinerja pembelajaran. Demikian pula dengan mahasiswa, melalui fasilitas belajar terbimbing komputer harus berupaya mencapai ketuntasan pada bagian topik tertentu sebelum berpindah ke topik berikutnya. Jika mahasiswa diketahui memiliki masalah belajar, maka dosen akan segera memilih cara yang tepat untuk mengurangi masalah belajar; jika mahasiswa kurang bersemangat maka tugas dosen adalah memotivasi dan jika mahasiswa kurang faham maka tugas dosen adalah memberi penjelasan ulang. Cara pengelolaan dan perbaikan proses belajar seperti ini belum pernah diteliti. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi kalangan penyelanggara perguruaan tinggi di Indonesia yang menghendaki inovasi pembelajaran
menggunakan
e-learning
yang
mengutamakan
pencapaian
13
ketuntasan.
Model ini untuk
mengoptimalkan
fungsi e-learning
untuk
meningkatkan jumlah mahasiswa yang mencapai ketuntasan. Model e-learning menggunakan pengendalian umpan balik ini merupakan upaya menyempurnakan model pembelajaran tuntas pada pembelajaran kelompok dengan rasio dosen-mahasiswa kecil, waktunya dibatasi, dan masih menggunakan model tatap muka yang sebenarnya masih menjadi inti proses pendidikan pergurun tinggi hingga saat ini. Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian ini memberi manfaat yang besar dalam dunia pendidikan terutama untuk perguruan tinggi Indonesia sehingga mampu meningkatkan jumlah mahasiswa yang mencapai ketuntasan; semakin banyak mahasiswa yang mencapai ketuntasan berarti penyelenggaraan pendidikan semakin bermutu. 2. Manfaat secara keilmuan Model ini merupakan awal penerapan prinsip pengendalian umpan balik pada pembelajaran yang bertujuan untuk mewujudkan prinsip-prinsip ML. Konsep dasar yang akan digunakan adalah dengan meletakkan proses belajar yang terprogram, terpantau, teruakur, dan diperbaiki secara terus-menerus (seperti pengendalian umpan balik pada mesin) sehingga setiap mahasiswa dapat mencapai kondisi tuntas secara efektif dan efisien. F. Tujuan Penelitian Penerapan sistem kendali umpan balik pada proses belajar dirancang agar terbentuk siklus pengukuran-penilaian-evaluasi-perbaikan secara terus-menerus dan otomatis dengan memberi perlakuan yang tepat pada saat diperlukan. Model semacam ini belum pernah dibuat sebelumnya, sehingga model perlu diuji melalui eksperimen untuk melihat keberhasilan dan keterlaksanaannya. Pengujian keberhasilan digunakan untuk mengetahui seberapa besar effect size yang dicapai dan uji keterlaksanaan dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabelvariabel yang berpengaruh pada keberhasilan. Jika diketahui bahwa variabelvariabel yang diteliti terbukti berpengaruh kuat pada keberhasilan, maka berarti
14
karakteristiknya diketahui; jika karakteristik diketahui maka sangat membantu untuk pengembangan model pada peneltian berikutnya. Penggunaan model pengendalian umpan balik harus memperhatikan karakteristik obyek yang dikendalikan. Dalam model ini obyek pengendaliannya adalah manusia yang melakukan proses belajar terbantu e-learning dan pembelajaran tatap muka. Tuntutan terbentuknya siklus perbaikan proses belajar yang terus-menerus rentan dengan timbulnya rasa bosan dan keterbatasan kemampuan kognitif sebagai sifat alami manusia. Dengan demikian, karakteristik belajar manusia perlu dimodelkan terlebih dahulu agar model pengendalian belajar dengan e-learning dapat dianalisis, diteliti, dan dikembangkan secara lebih sempurna. Dari penjelasan di atas, dapat ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Membuat model fisis karakteristik belajar manusia untuk menyusun model e-learning hasil adaptasi pengendalian umpan balik sehingga dapat dilakukan analisis, perancangan, dan pengendalian. 2. Membuat model penelitian untuk model e-learning yang diuji, sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel proses yang diprediksi mempengaruhi keberhasilan dan keterlaksanaan. 3. Menguji keberhasilan dan keterlaksanaan model e-learning melalui eksperimen pada mata kuliah yang dijalankan menggunakan konsep ML dengan sistem SKS, masih mempertahankan model tatap muka, dan rasio dosen-mahasiswa kecil. 4. Menjelaskan variabel-variabel yang berpengaruh pada keberhasilan model e-learning untuk pengembangan lebih lanjut. Jika pada tahap-tahap tersebut di atas model e-learning terbukti berhasil dan terlaksana, maka dapat disimpulkan bahwa rancangan e-learning mampu menyempurnakan model ML yang diterapkan pada sistem SKS, masih mempertahankan model tatap muka, dan rasio dosen-mahasiswa kecil.