I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Saat ini hutan Indonesia mengalami proses deforestasi dan degradasi yang memprihatinkan,
yang
terutama
diakibatkan
oleh
kegiatan
penebangan,
pembukaan lahan dan kebakaran hutan. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi lahan hutan menjadi salah satu prioritas pembangunan kehutanan Indonesia. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) telah dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia sejak tahun 2003. Upaya merehabilitasi kawasan hutan dan lahan memerlukan pasokan benih tanaman hutan dalam jumlah yang banyak. Benih yang diperlukan adalah benih yang memiliki kualitas fisik, fisiologis, dan genetis yang baik agar dapat diperoleh produktivitas dan kualitas tanaman hutan yang tinggi, mempunyai daya adaptasi yang baik, dan ketahanan terhadap hama dan penyakit. Salah satu upaya untuk menyediakan benih berkualitas adalah melalui pembangunan sumber benih. Sumber benih yang berkualitas baik diharapkan dapat menghasilkan benih berkualitas baik pula. Untuk memberikan jaminan kebenaran kelas sumber benih maka dipandang perlu adanya sertifikasi sumber benih tanaman hutan (Permenhut No P.1/2009). Hal ini dimaksudkan sebagai upaya perlindungan kepada konsumen agar mutu produk dari sumber benih dapat terjamin. Sertifikasi sumber benih adalah proses pemberian sertifikat kepada sumber benih yang menginformasikan keadaan sumber benih yang bermutu. Untuk memperoleh standar pengujian yang tepat, maka bentuk, tugas, dan fungsi institusi perbenihan sangat menentukan keberhasilan sertifikasi perbenihan. Proses sertifikasi dilakukan melalui pemeriksaan fisik di lapangan dan pemeriksaan dokumen sumber benih. Sebelum penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.01/2009, instansi pemegang otoritas sertifikasi adalah Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH). Untuk wilayah Kalimantan, yang memiliki otoritas sertifikasi adalah BPTH Banjarbaru. Selain menerbitkan sertifikasi, BPTH juga bertugas
membuat
perencanaan,
melakukan
pembinaan,
evaluasi,
dan
pengendalian, serta mengelola sistem informasi perbenihan. Instansi lain dapat
2
melakukan sertifikasi sumber benih dengan syarat sudah terakreditasi oleh BPTH. Namun pada saat ini menurut Permenhut No P.01/2009, yang berhak menerbitkan sertifikasi sumber benih adalah Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Propinsi, atau BPTH. Hal tersebut sesuai dengan semangat desentralisasi dalam PP No 38/2007 yang menyatakan bahwa urusan perbenihan tanaman hutan merupakan salah satu dari urusan pilihan yang diserahkan kewenangannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Secara kualitatif, dari sudut pandang konsumen benih, tujuan dilakukannya sertifikasi sumber benih tanaman hutan adalah untuk memberikan jaminan mutu sumber benih. Namun dari sudut pandang pengelola sumber benih serta pengada dan pengedar benih dan/atau bibit, ada pula tujuan ekonomis yaitu memperoleh keuntungan finansial. Terpenuhinya motif ekonomi akan memotivasi pengelola sumber benih untuk meningkatkan kualitas produksi benih. Merupakan tugas pemerintah untuk menetapkan kebijakan serta memfasilitasi berbagai kepentingan tersebut. Dalam kegiatan sertifikasi sumber benih terdapat aturan main yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan. Aturan main yang berlaku dalam relasi antar pemangku kepentingan tersebut disebut kelembagaan. Suatu kelembagaan dianggap efektif apabila tujuan terbentuknya kelembagaan tersebut tercapai, dan efisien apabila manfaat yang diperoleh para pihak seimbang dengan pengorbanan
sumberdaya
yang
dikeluarkan.
Untuk
mengetahui
apakah
kelembagaan sertifikasi sumber benih di Kalimantan telah berjalan secara efektif dan efisien, perlu dilakukan penelitian mengenai efektifitas dan efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan, sehingga dapat menghasilkan rekomendasi bagi penyempurnaan kebijakan yang terkait. B. Situasi Masalah Berdasarkan informasi dari BPTH Banjarbaru, hingga bulan Maret 2008 terdapat 73 pengusaha sumber benih bersertifikat di Kalimantan, yang terdiri dari 50 Tegakan Benih (TB) Teridentifikasi, 4 TB Terseleksi, 8 Areal Produksi Benih, 5 TB Provenans, 5 Kebun Benih, 1 Kebun Pangkas (Falah et al., 2008). Sebanyak 50 sumber benih merupakan jenis tanaman asli Kalimantan, antara lain yang terdiri dari meranti, jelutung, ulin, gaharu, bangkirai, kempas, damar, melina,
3
sungkai, kuku, tengkawang, keruing, kapur, sagu, rengas, dan ramin. Sedangkan tanaman bukan asli Kalimantan berupa mahoni, waru, akasia karpa, akasia mangium, ekaliptus pelita, ampupu, sengon, dan jati. Menurut hasil penelitian Falah et al (2008), dalam kegiatan sertifikasi perbenihan tanaman hutan di Kalimantan terdapat beberapa permasalahan yang saling terkait, meliputi : 1. Aspek informasi, yaitu kurangnya motivasi pengelola sumber benih untuk mengajukan permintaan sertifikasi. Hal ini antara lain disebabkan oleh : a. Kurangnya informasi dan pembinaan dari BPTH pada pelaku perbenihan di daerah mengenai manfaat dan prosedur sertifikasi. b. Adanya ketidakseimbangan distribusi informasi mengenai pasar (harga, besarnya permintaan dan penawaran, dan lain-lain) antara pihak pengelola sumber benih sebagai produsen dengan konsumen. 2. Aspek finansial dan pemasaran hasil, sebagai berikut : a. Belum ada tarif resmi sertifikasi sumber benih bersertifikat. Tarif sertifikasi akan mempengaruhi besarnya biaya produksi benih sehingga menentukan pula besarnya marjin keuntungan bagi pengelola sumber benih bersertifikat. Pemenhut No P.01/Menhut-II 2009 menyatakan bahwa setiap pemanfaatan jasa atau sarana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penerbitan sertifikasi sumber benih akan dikenakan pungutan jasa. Semua penerimaan dari pungutan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetor ke Kas Negara. Sedangkan biaya sertifikasi di lapangan ditanggung oleh pemohon sertifikasi (pasal 46). b. Beberapa pengelola sumber benih menganggap sertifikasi sumber benih belum dapat memberi keuntungan finansial yang signifikan . c. Pengelola sumber benih masih mengalami kesulitan dalam hal pemasaran benih. Permintaan tidak setinggi penawaran, karena : i.
permintaan rendah untuk jenis-jenis benih tanaman asli Kalimantan yang lambat pertumbuhannya (slow growing) seperti meranti dan karena dianggap kurang cocok untuk rehabilitasi lahan.
4
ii. Rendahnya permintaan bibit/benih bersertifikat untuk GN RHL. Masyarakat sebagai pelaksana penanaman tidak spesifik meminta bibit dari benih berserftifikat. Padahal penentuan jenis dan spesifikasi pengadaan bibit untuk keperluan rehabilitasi lahan di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasar permintaan masyarakat. 3. Aspek teknis, yaitu proses sertifikasi dianggap belum dapat menjamin mutu benih. Saat sertifikasi masih dilakukan BPTH, untuk proses dan hasil penilaian tidak ada keluhan dari pengusaha sumber benih, kecuali adanya kritik mengenai tanda bukti lulus sertifikasi. Pengusaha sumber benih hanya mendapatkan selembar sertifikat untuk seluruh produksi benihnya, sehingga beresiko untuk dipalsukan oleh oknum-oknum pengedar benih. Namun dengan diberlakukannya Permenhut P.01/2009 dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Penyerahan kewenangan penerbitan sertifikasi sumber benih kepada Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota dikhawatirkan akan menghadapi kendala kesiapan sumberdaya manusia (SDM) dan sarana yang dimiliki oleh Dinas. Selain itu, dalam Permenhut tersebut tidak ada ketentuan mengenai pemberian akreditasi kelayakan kepada Dinas dalam menerbitkan sertifikasi sumber benih. 4. Aspek implementasi kebijakan, yaitu mengenai realisasi peran Pemerintah Daerah sesuai kebijakan yang berlaku. Hingga awal 2009, peran Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai fasilitator, pembina, dan pemantau kegiatan pengelolaan sumber benih belum optimal. Hal ini disebabkan Pemerintah Daerah belum yakin akan keuntungan melakukan pembinaan dan fasilitasi kegiatan perbenihan tanaman hutan. Apabila jasa sertifikasi dapat memberikan kontribusi pendapatan kepada daerah, hal tersebut akan memotivasi Pemda. Namun sebelumnya perlu ditetapkan besaran pungutan jasa penerbitan setifikasi agar tidak merugikan pengada benih. Peta permasalahan di atas disajikan pada Gambar 1.
Harga benih bersertifikat = non sertifikat ? PENGELOLA SUMBER BENIH
Biaya sertifikasi belum jelas
Keuntungan finansial sertifikasi tidak signifikan ?
Belum mendapat manfaat yang setimpal dengan pengobanan ?
Kurang permintaan benih/bibit dari SB bersertifikat KONSUMEN BENIH
DINAS
BPTH BANJARBARU
Distribusi manfaat belum merata ?
Kelembagaan sertifikasi SB belum efisien?
Kurang informasi mengenai keberadaan, kuantitas, kualitas, harga dan keungggulan benih/bibit bersertifikat Distribusi informasi belum merata
Kurang informasi mengenai keuntungan memfasilitasi dan membina perbenihan Pengelolaan infomasi perbenihan belum efektif Kualitas SDM dan sarana penilai diragukan Tanda bukti sertifikasi gampang dipalsukan
Sertifikat sumber benih dianggap belum menjamin mutu benih
Gambar 1. Skema masalah dalam sertifikasi sumber benih tanaman hutan
Kelembagaan Sertifikasi SB belum efektif?
6
C. Rumusan Masalah Dari uraian dan peta permasalahan di atas, nampak bahwa kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di wilayah Kalimantan dianggap belum dapat menjamin mutu produk sumber benih dan belum memberi keuntungan finansial bagi pengelola sumber benih. Di samping itu juga terdapat permasalahan dalam hal distribusi informasi dan distribusi manfaat antar pihak yang berkepentingan. Hal-hal tersebut mengindikasikan adanya permasalahan dalam kelembagaan sertifikasi sumber benih. Mengacu pada pendapat para ahli seperti Schmid (1987) dan North (1991) kelembagaan (institution) memiliki dua pengertian. Pengertian pertama adalah kelembagaan sebagai aturan main (rules of the game), yaitu sekumpulan aturan baik formal maupun infomal, tertulis maupun tidak tertulis, serta tata perilaku hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Sedangkan dalam pengertian kedua, kelembagaan merupakan suatu organisasi, yang dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh harga-harga, tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan. Schmid (1987) menyatakan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama, yaitu batas yurisdiksi (pelaku dan perannya), hak kepemilikan (dalam penelitian ini diterjemahkan sebagai siapa yang memiliki wewenang), dan aturan representasi (siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan). Dalam suatu kegiatan yang menyangkut ekonomi seperti sertifikasi sumber benih, aturan main (kelembagaan) akan menentukan seberapa efisien distribusi manfaat yang diperoleh masing-masing pemegang peran. Suatu kelembagaan dianggap efektif apabila tujuan terbentuknya kelembagaan tersebut tercapai. Efektivitas kelembagaan dipengaruhi oleh peraturan yang berlaku dan implementasi peraturan tersebut dalam rangka mencapai tujuan. Suatu kelembagaan disebut efisien apabila manfaat yang diperoleh para pihak seimbang dengan pengorbanan sumberdaya yang dikeluarkan. Dalam kelembagaan ekonomi yang efisien, biaya transaksi yang dikeluarkan dalam relasi antar pihak dapat diminimumkan. Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan
7
dalam rangka pencarian informasi, negosiasi, pertukaran, dan pemantauan kegiatan. Berdasar uraian permasalahan di atas, dapat dirumuskan pertanyaan umum penelitian (general research question) sebagai berikut : “Apakah kelembagaan sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan sudah berjalan secara efektif dan efisien ?” Untuk menjawab pertanyaan umum tersebut dirumuskan beberapa pertanyaan khusus (spesific research questions) sebagai berikut : 1. Mengenai efektivitas sertifikasi sumber benih yang dilihat dari aspek kebijakan yang berlaku dan implementasinya : a. Apakah kebijakan mekanisme sertifikasi sumber benih sudah menjamin kebenaran kelas sumber benih mutu benih? b. Bagaimana implementasi kebijakan yang berlaku dalam sertifikasi sumber benih?
Apakah
terdapat
kesenjangan
antara
peraturan
dan
implementasinya? c. Apakah para pemangku kepentingan sudah menjalankan kewajibannya secara optimal sehingga mutu benih dapat terjamin? 2. Mengenai efisiensi sertifikasi sumber benih : a. Apakah pengusahaan sumber benih bersertifikat layak secara finansial? Berapa besar biaya transaksi sertifikasi sumber benih? b. Bagaimana distribusi manfaat antar pelaku dalam tataniaga benih dari sumber benih bersertifikat? c. Bagaimana distribusi informasi dalam tataniaga perbenihan? Dengan cara bagaimana konsumen memperoleh informasi dari produsen benih? Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas disusun pohon masalah (problem tree) yang disajikan dalam Gambar 2.
8
Kelembagaan sertifikasi sumber benih (SB)
Efektivitas kelembagaan sertifikasi SB ?
Kebijakan yang berlaku?
Mutu sumber benih ?
Efisiensi kelembagaan sertifikasi SB ?
Distribusi manfaat?
Distribusi informasi ?
Kelayakan pengusahaan SB bersertifikat? Implementasi kebijakan?
Biaya transaksi?
Realisasi peran pemangku kepentingan?
Gambar 2. Pohon masalah dalam penelitian kelembagaan sertifikasi sumber benih D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas dan efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. 2. Tujuan Khusus a. Dalam menilai efektivitas sertifikasi sumber benih tanaman hutan : i.
Mengkaji aturan main yang berlaku dalam sertifikasi sumber benih tanaman hutan dan implementasinya.
ii. Mengkaji realisasi peran para pemangku kepentingan berdasar peraturan yang berlaku dalam kegiatan sertifikasi sumber benih. b.
Dalam menilai efisiensi sertifikasi sumber benih tanaman hutan : i.
Memperoleh informasi mengenai kelayakan finansial pengusahaan sumber benih bersertifikat.
ii.
Memperoleh informasi mengenai besarnya biaya sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
iii.
Memperoleh infomasi mengenai distribusi manfaat dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan.
9
iv.
Mengidentifikasi distribusi informasi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih tanaman hutan wilayah Kalimantan.
E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1.
Kegiatan sertifikasi sumber benih di Kalimantan belum efektif apabila dinilai berdasarkan kebijakan yang berlaku dan implementasinya.
2. Kegiatan sertifikasi sumber benih di Kalimantan belum efisien apabila dinilai berdasarkan kelayakan finansial, besarnya biaya transaksi, serta keseimbangan distribusi informasi, distribusi manfaat antar pelaku pemasaran dalam pengusahaan sumber benih bersertifikat. F. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini meliputi pengumpulan informasi, analisis, dan pengkajian terhadap : 1. Hasil perbandingan mutu benih dari sumber benih tanaman hutan yang bersertifikat dengan yang tidak bersertifikat; 2. Kebijakan yang berlaku dan implementasinya, termasuk realisasi peran para pemangku kepentingan; 3. Distribusi informasi dalam kegiatan sertifikasi sumber benih; 4. Kelayakan finansial dan biaya transaksi dalam kegiatan sumber benih bersertifikat. 5. Distribusi manfaat dalam kegiatan tataniaga benih atau bibit bersertifikat.
G. Manfaat Penelitian Selama ini penelitian-penelitian yang ada terfokus pada deskripsi kebijakan yang berlaku dalam kegiatan perbenihan hingga tahun 2008, kelayakan finansial usaha pengadaan bibit, dan jalur perdagangan benih di Jawa. Belum ditemukan informasi mengenai penelitian efektivitas dan efisiensi kelembagaan sertifikasi sumber benih di Indonesia. Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat sebagai berikut : 1. Dalam bidang keilmuan, diharapkan penelitian ini dapat menghasilkan informasi dan referensi penelitian mengenai efektivitas dan efisiensi
10
kelembagaan sertifikasi sumber benih pada khususnya, dan kelembagaan serta analisis finansial dan pemasaran kegiatan perbenihan pada umumnya. 2. Untuk para penentu kebijakan perbenihan tanaman hutan, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penyempurnaan kebijakan sertifikasi sumber benih tanaman hutan. 3. Untuk para pemangku kepentingan yang terkait, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam operasional kegiatan perbenihan tanaman hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.