I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem dan usaha agribisnis, perlindungan tanaman merupakan bagian penting, baik di on farm maupun off farm. Perlindungan tanaman berperan dalam menjaga kuantitas, kualitas dan kontiunitas hasil atau produksi. Kegiatan perlindungan tanaman erat kaitannya tidak hanya dengan gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), tetapi juga dengan gangguan non-OPT seperti anomali iklim (kebanjiran, kekeringan, kebakaran) dan gangguan usaha berupa penjarahan produksi dan lahan, yang kesemuanya mempengaruhi penurunan produksi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu
perlindungan tanaman menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam setiap usaha budidaya tanaman. Secara makro kerugian yang diakibatkan oleh OPT maupun dampak anomali iklim dan gangguan usaha cukup berarti. Namun demikian sangat sulit menetapkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan data dan informasi yang dimiliki. Kehilangan hasil di tingkat petani karena serangan OPT pada beberapa tanaman hortikultura, diperkirakan masih cukup tinggi meski belum terukur secara memadai. Kerugian secara nyata di lapangan jauh lebih besar karena masih banyak komoditas yang tidak dilaporkan dan dihitung kerugiannya. Berbagai klain terhadap produk ekspor pertanian Indonesia telah menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Secagai contoh ditolaknya ekspor
produk paprika ke Singapura karena alasan residu pestisida dan ke Taiwan karena alasan adanya lalat buah yang ada di Indonesia namun belum ada di Taiwan. Disamping itu banyak klaim dan penolakan produk ekspor pertanian Indonesia akibat tidak memenuhi persyaratan Sanitary and Phytosanitary (SPS) terutama karena adanya serangga, jamur dan kotoran serta residu pestisida. Dewasa ini telah terjadi perubahan nilai pada konsumen yang mempengaruhi perilaku dalam membeli suatu produk agribisnis. Meningkatnya kesadaran konsumen akan pentingnya kaitan kesehatan dan kebugaran dengan 1
konsumsi makanan, telah meningkatkan tuntutan konsumen akan kandungan nutrisi dari produk-produk yang sehat, aman, dan menunjang kebugaran. Disamping itu meningkatnya kesadaran akan lingkungan hidup, telah mendorong masuknya aspek kelestarian lingkungan dan pentingnya faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam pengambilan keputusan ekonomi. Penilaian terhadap aspek keselamatan, ksehatan, dan lingkungan dinilai pada keseluruhan proses produksi sampai pemasaran yang dikenal dengan pendekatan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan termasuk di dalamnya Sistem Manajemen ISO 9000 tentang Manajemen Mutu, ISO 14000 tentang Manajemen Lingkungan dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang dikenal dengan Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
Produk pertanian yang dalam proses
produksinya tidak ramah lingkungan, tidak mengindahkan keselamatan dan kesehatan kerja serta hak-hak azasi manusia akan ditolak atau tidak diterima oleh pasar/konsumen. Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi intrnasional yang berkaitan dengan mutu komoditas pertanian, seperti International Plant Protection Convention (IPPC), Codex Alimentarus, World Trade Agreement (WTA) dan Carthagena Protocols serta yang berkaitan dengan lingkungan seperti KTT Bumi Rio de Jeniero Tahun 1992.
Sebagai konsekuensinya Indonesia harus siap
merealisasikannya sejak dari awal produksi sampai ke tangan konsumen. Disamping
tantangan
akibat
perubahan
internasional,
perubahan
lingkungan domestik seperti diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga membawa perubahan penting dalam pelaksanaan pembangunan agribisnis. Pergeseran peran pemerintah yang semula dominan dalam pembangunan agribisnis berubah menjadi fasilitator, stimulator dan regulator agar semua stakeholder yang terkait dapat bergerak dan berfungsi secara optimal dalam pembangunan. Peran masyarakat menjadi lebih dominan serta peran pemerintah daerah menjadi lebih besar dalam pembangunan perlindungan hortikultura. Koordinasi dan sinkronisasi menjadi hal yang sangat
2
penting untuk dapat terlaksananya pembangunan perlindungan hortikultura yang sinergi dan optimal. Dalam kaitannya dengan pengamanan produksi, untuk mencapai sinergi yang optimal diperlukan langkah-langkah yang terencana, sistematis dan terkoordinasi yang melibatkan semua stakeholder perlindungan hortikultura. Strategi dan kebijakan serta program disusun sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan mengacu kepada kebijakan pembangunan sistem dan usaha agribisnis, memperhatikan kepentingan semua stakeholder. Untuk itu maka peran pemerintah sebagai fasilitator, motivator dan regulator serta kepedulian, kesiapan dan komitmen seluruh stakeholder sangat diharapkam bagi keberhasilan pengamanan sistem dan usaha agribisnis.
B. Tujuan Penyusunan Renstra Renstra
Direktorat
Perlindungan
Hortikultura
adalah
dokumen
perencanaan yang menggambarkan visi, misi, tujuan, sasaran strategis, arah kebijakan, strategi pencapaian, program dan kegiatan dari Direktorat Perlindungan Hortikultura dalam lima tahun ke depan yang diarahkan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan Direktorat Jenderal Hortikultura dan Kementerian Pertanian. Renstra Direktorat Perlindungan Hortikultura ditujukan untk dimanfaatkan sebagai panduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hortikultura tahun 2010 – 2014 oleh semua yang terkait dengan pembangunan hortikultura, maka dalam penyusunannya dilakukan melalui analisa strategis atas potensi, permasalahan dan tantangan dengan memperhatikan isu aktual terkait bidang hortikultura di masa mendatang. Dokumen ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan bagi unit lingkup Direktorat Perlindungan Hortikultura serta mitra kerja di provinsi maupun kabupaten dalam melaksanakan pengembangan sistem perlindungan hortikultura tahun 2010 – 2014, sehingga diharapkan akan tercapai sasaran perlindungan hortikultura yang yang efisien dan berdaya saing secara
3
terintegrasi bersama stakeholder terkait lainnya, sehingga dapat memberi nilai tambah bagi petani hortikultura di Indonesia.
C. Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Perlindungan Hortikultura Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
:
61/Permentan/OT.140/10/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Perlindungan Hortikultura mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan hortikultura.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat
Perlindungan Hortikultura menyelenggarakan fungsi : 1. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang perlindungan tanaman buah, sayuran dan obat, florikultura, pengelolaan dampak iklim dan persyaratan teknis. 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang perlindungan tanaman buah,sayuran dan obat, florikultura, pengelolaan dampak iklim dan persyaratan teknis. 3. Penyusunan norma, standar, prosedur 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan tanaman buah, sayuran dan obat, florikultura. 5. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Perlindungan Hortikultura.
4
II. KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG, DAN TANTANGAN Upaya peningkatan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas hasil pertanian perlu memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan baik internal maupun eksternal yang terkait dengan aspek teknis, ekonomi, sosial, budaya maupun ekologi. A. Kekuatan Potensi berasal dari kekuatan yang dapat mendukung pengembangan hortikultura yaitu : 1. Landasan Hukum Landasan hukum berupa peraturan perundangan yang mengatur perlindungan tanaman terkait sudah cukup lengkap, yaitu : a.
UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
b.
UU No. 12 Tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman
c.
UU No. 16 Tahun 1992, tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
d.
UU No. 7 Tahun 1996, tentang Pangan
e.
UU No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolan Lingkungan Hidup
f.
UU No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Consumen
g.
UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah
h.
UU No. 13 Tahun 2010, tentang Hortikultura
i.
PP No. 6 Tahun 1995, tentang Perlindungan Tanaman
j.
PP No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi
k.
PP No. 14 Tahun 2002, tentang Karantina Tumbuhan
l.
Inpres No. 3 Tahun 1986, tentang Pengendalian Hama Wereng pada Tanaman Padi
m. Kepmentan No. 38 Tahun 1990, tentang Syarat-Syarat dan Tindakan Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman ke dalam Wilayah Negara RI n.
Kepmentan No. 887 Tahun 1997, tentang Pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan
5
o.
Kep. Dirjen Bun No. 38 Tahun 1995, tentang Petunjuk Teknis Pembukaan Lahan Tanpa Bakar
2. Tersedianya Instalasi Perlindungan di Daerah Kelembagaan pemerintah baik di pusat maupun daerah cukup memadai walaupun bervariasi, disamping itu sudah cukup banyak kelembagaan di tingkat petani, yaitu : a. Pusat Direktorat Perlindungan Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari Kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam PP No. 25 Tahun 2000, secara garis besar adalah terbatas pada aspek pengaturan, penetapan standar, pedoman dan norma di bidang perlindungan tanaman, dengan uraian sebagai berikut : Pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran penggunaan, dan pemusnahan pestisida dan bahan kimia pertanian lainnya Penetapan norma dan standar teknis pemberantasan OPT pertanian. b. Daerah Provinsi Dinas Pertanian UPTD Balai Proteksi Tanaman (Pangan, Hortikultura, Perkebunan) Laboratorium Lapang Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit. Brigade Proteksi Tanaman Laboratorium Pestisida
6
Kewenangan provinsi di bidang perlindungan tanaman secara garis besar sebagai berikut : Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi OPT di bidang pertanian Pemantauan, peramalan dan pengendalian serta penanggulangan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan di bidang pertanian Pengawasan pestisida dan alsin Pelaksanaan pengamatan, peramalan OPT dan Pengendalian Hama Terpadu ( PHT) c. Daerah Kabupaten/Kota Dinas
Pertanian
(Tanaman
Pangan,
Hortikultura,
Perkebunan,
Peternakan) Pengamat Hama dan Penyakit (PHP)/Pengendali OPT (POPT). Unit Pelaksana Perlindungan Tanaman Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang perlindungan tanaman adalah selain yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi seperti tersebut di atas, uraian lebih rinci adalah sebagai berikut : Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian, dan analisis dampak kerugian OPT Bimbingan pengamatan, peramalan OPT kepada masyarakat. Pengumpulan dan pengolahan data OPT dan agroklimat Bimbingan jasa perlindungan tanaman Penyebaran informasi keadaan serangan OPT dan rekomendasi pengendaliannya Pengamatan dan pemantauan daerah yang dicurigai sebagai sumber infeksi OPT Menetapkan larangan pemasukan dan pengeluaran media pembawa hama dan penyakit tanaman Bimbingan pemanfaatan dan pemantauan penggunan agens hayati Pengawasan penggunaan pestisida
7
Penetapan areal puso dan atau eksplosi OPT dan dampak anomali iklim, seperti bencana banjir serta kekeringan Penyediaan dukungan pengendalian dan eradikasi tanaman atau bagian tanaman Pengendalian eksplosi hama dan penyakit Pelaksanaan penyidikan hama dan penyakit di bidang pertanian Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan hama dan penyakit menular di bidang pertanian Bimbingan dan pemantauan pelaksanaan pengendalian hama dan penyakit tanaman Pengelolaan laboratorium hama dan penyakit d. Petani Ikatan Petani Alumni PHT Ikatan Petani Pemandu PHT Kelompok Tani Pengguna Agens Hayati Regu Pengendalian Hama (RPH) Hubungan antar lembaga tersebut di atas tidak bersifat hierarkis atasan – bawahan, tetapi bersifat komplementer pembagian tugas; sehingga bersifat hubungan koordinasi, hubungan teknis fungsional, dan hubungan konsultatif. Hubungan kelembagaan pemerintah di tingkat pusat – provinsi – kabupaten/kota tidak lagi bersifat hierarkis antara atasan – bawahan, tetapi bersifat komplementer – pembagian tugas dan wewenang, sehingga lebih bersifat hubungan koordinasi, hubungan teknis fungsional dan hubungan konsultatif. Secara skematis gambar hubungan kelembagaan perlindungan tanaman seperti tercantum pada gambar berikut :
8
Gambar 1. Hubungan Kelembagaan Perlindungan Hortikultura
3. Konsolidasi Jajaran Perlindungan Hortikultura Intensif Mekanisme kerja dalam perlindungan hortikultura secara garis besar sebagai berikut : a. Keadaan Biasa Sesuai dengan sistem PHT dan UU No. 12 Tahun 1992, maka petani sebagai manager usahanya secara rutin mengamati apapun yang terjadi pada tanamannya (gangguan OPT, kekeringan, kebanjiran, kebakaran,
manusia);
lalu
penanggulangannya secara mandiri.
menentukan
dan
melaksanakan
Di tingkat kelompok petani ada
lembaga tertentu yang menangani perlindungan tanaman, misalnya Regu
9
Pengendali Hama (RPH), Ikatan Petani Pemandu PHT, Ikatan Petani Alumni PHT, Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) dan sebagainya. -
PHP berkedudukan di kecamatan, jumlahnya + 3.800 orang di seluruh Indonesia, mengamati gangguan tanaman petani, (serangan OPT, kekeringan, kebanjiran, kebakaran) secara reguler (setengah bulan) dan insidentil meliputi jenis gangguan, lokasi, luas, intensitas, waktu dan kerugian yang terjadi. Hasil pengamatan dilaporkan berjenjang ke kecamatan – kabupaten – provinsi – pusat.
Peringatan dini
diberikan lepada petani melalui penyuluhan agar petani mengetahui dan mau mengendalikan gangguan yang terjadi. -
Di tiap kabupaten ada petugas koordinator PHP yang bertugas mengkoordinasikan PHP.
b. Keadaan Luar Biasa (Eksplosif) Keadaan luar biasa atau eksplosif dicirikan apabila gangguan (serangan OPT, kebanjiran, kekeringan, kebakaran) terjadi secara cepat meluas dan petani secara perorangan maupun kelompok tidak sanggup mengendalikannya, sehingga kerugian yang ditimbulkannya sangat besar dan dapat menimbulkan kerawanan ekonomi dan sosial masyarakat. Dalam keadaan demikian pemerintah perlu membantu petani mengendalikan gangguan, berupa bantuan fisik sarana pengendalian (pestisida, alat aplikasi pestisida, agens hayati, pompa air dan sebagainya), biaya, tenaga dan sebagainya,
Bantuan pemerintah dilakukan secara
berjenjang dimulai dari pemerintah desa, sebagai berikut : - Apabila pemerintah desa sudah tidak sanggup, maka mengajukan permohonan bantuan ke Pemda kabupaten/kota melalui kecamatan - Apabila Pemda kabupaten/kota tidak sanggup, maka mengajukan permohonan bantuan ke Pemda provinsi - Apabila Pemda provinsi tidak sanggup, maka mengajukan permohonan ke pemerintah pusat.
10
Gerakan pengendalian dilakukan bersama-sama antara petani (beserta kelembagaan kelompoknya) dan pemerintah (dalam hal ini dilakukan Brigade Proteksi Tanaman, didukung oleh Balai Proteksi Tanaman dan Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit serta aparat terkait lainnya). 4. Ketersediaan Agens Hayati Memadai Pengembangan dan penerapan agens hayati dan biopestisida di beberapa provinsi sudah banyak dilakukan baik di Laboratorium PHP maupun di tingkat petani. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan, perlindungan hortikultura mempunyai kekuatan dalam melaksanakannya, karena agens hayati dan biopestisida adalah bahan pengendali alternatif sebagai pengganti pestisida. Beberapa agens hayati yang efektif dalam mengendalikan OPT hortikultura antara lain Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium dan patogen tular tanah
lainnya.
Pseudomonas
fluorescens
dapat
digunakan
untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri, dan banyak lagi biopestisida yang efektif dalam mengatasi berbagai OPT tanaman hortikultura.
B. Kelemahan Meskipun
memiliki
potensi
yang
besar,
pengembangan
sistem
perlindungan hortikultura mempunyai beberapa permasalahan, hal tersebut merupakan suatu kelemahan yaitu : 1. Pengetahuan dan Pemahaman Aparatur (Petani, Petugas, Penentu Kebijakan) Terhadap PHT Terbatas Penerapan PHT dalam kerangka budidaya tanaman yang baik belum banyak memperhatikan stándar mutu. Seharusnya penerapanPHT dirancang dengan baik, diarahkan untuk menghasilkan produk pertanian yang memenuhi persyaratan mutu yang diminta konsumen. Produk yang dihasilkan dan sesuai
11
estándar mutu akan mempunyai daya saing yang lebih baik, dan selanjutnya lebih mendorong pemasyarakatan penerapan PHT. Stándar mutu yang diterapkan sesuai Sistem Sertifikasi Pertanian Indonesia (SI Sakti) berdasarkan kategori prima 1,2,3. Dalam proses budidaya tanaman dilaksanakan sesuai praktek GAP (Good Agricultura Practices). 2. Pemanfaatan Metode Pengelolaan OPT Belum Optimal a. Petani yang telah mendapat pelatihan penerapan PHT, masih belum seluruhnya mau, mampu dan mandiri untuk menerapkan PHT karena antara lain : harga produk yang relatif tidak berbeda antara hasil PHT dengan non PHT, ketersediaan sarana dan prasarana proteksi dengan tingkat harga yang tidak terjangkau, dan tidak mau mengambil risiko gagal panen b. Taktik dan Cara pengendalian OPT masih dilakukan secara parsial, hanya pada areal proyek, tidak serentak dalam gerakan masal pada seluruh areal terserang; sehingga kurang efektif, apalagi jika OPT tersebut mempunyai tingkat mobilitas tinggi c. Pestisida sebagai salah satu bahan pengendali OPT masih
digunakan
berlebihan, terutama disebabkan oleh pengetahuan dan kesadaran petani yang kurang, lemahnya penyuluhan perlindungan tanaman (termasuk penggunaan pestisida), kuatnya promosi pestisida, dan konsumen yang kurang menghargai produk hortikultura yang residu pestisidanya minimal. 3. Kelembagaan Perlindungan Hortikultura Masih Lemah Kelembagaan petani berupa kelompok tani/koperasi sudah banyak terbentuk, namun kondisinya banyak yang tidak aktif, belum mandiri, dan anggotanya masih bekerja secara individu. Dengan demikian kemampuan untuk akses ke berbagai sumberdaya relatif terbatas dan belum dapat menggerakkan anggota-anggotanya secara optimal dan terpadu untuk melaksanakan pengendalian OPT hortikultura.
12
4. Teknologi Spesifik Lokasi Untuk Komoditas dan Wilayah Masih Terbatas Sebagian teknologi pengendalian OPT saat ini relatif sudah tersedia, baik hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi dan hasil dari Balai Proteksi Tanaman; namun belum banyak tersedia terutama untuk komoditas hortikultura.
Permasalahannya teknologi tepat
guna yang spesifik lokasi sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial budaya, dan ekologi setempat belum banyak dikembangkan. Penerapan teknologi PHT masih dilakukan secara parsial terutama pada areal petani peserta proyek dan kebun di luar proyek yang lebih luas arealnya relatif belum menerapkan PHT. Pengendalian OPT secara parsial tidak akan efektif dan harus serentak pada seluruh hamparan yang ada, apalagi jika OPT tersebut tingkat mobilitasnya tinggi. 5. Jaringan Informasi Perlindungan Hortikultura Belum Optimal Pengamatan OPT merupakan salah satu subsistem perlindungan tanaman. Kegiatan pengamatan OPT dilakukan dengan metode dan cara yang sesuai dengan pedoman yang ada.
Hasil pengamatan OPT adalah
informasi serangan OPT, yang terdiri dari luas serangan, tingkat serangan, dan jenis OPT yang menyerang komoditas yang dibudidayakan. Selain itu dilakukan juga pengamatan terhadap faktor-faktor iklim. Arus informasi/data tersebut belum lancar baik ke tingkat pusat maupun sampai ke tingkat petani dalam waktu yang tepat.
Sistem Informasi dan Manajemen (SIM) OPT
hortikultura sudah dibangun, namun pemanfaatannya belum optimal yang disebabkan akses jaringan yang terbatas, sarana SIM belum memadai, dan SDM terlatih yang beralih tugas. C. Peluang 1. Kesadaran Masyarakat Terhadap Produk Bermutu dan Aman Konsumsi Tinggi Meningkatnya tuntutan masyarakat maju, dalam maupun luar negeri, terhadap produk pertanian yang bermutu dan aman konsumsi dan mereka mau
13
membayar lebih mahal dari pada produk biasa, memberikan peluang yang sangat baik. Teknik budidaya yang benar melalui proses produksi yang ramah lingkungan (menerapkan GAP) akan menghasilkan produk yang aman konsumsi yang seminimal mungkin adanya cemaran (residu pestisida, toksin dan cemaran lain), pertanian organik dan sejenisnya, menjadi usaha agribisnis yang berpeluang baik untuk mengisi pasar lokal, regional dan internasional. 2. Terbukanya Pasar Domestik dan Internasional Dalam era globalisasi, perdagangan dan investasi tidak lagi dibatasi secara geografis.
Penanaman modal asing pada sektor pertanian akan
meningkat terutama pada kegiatan yang mempunyai keunggulan kompetitif, karena lahan tersedia cukup luas, tenaga kerja cukup tersedia dan relatif murah, dan potensi pasar domestik cukup besar. Oleh karena itu Indonesia kemungkinan besar akan menjadi tempat alokasi usaha-usaha agribisnis dari perusahaan multinasional yang padat modal. Perusahaan-perusahaan raksasa ini mengisi era globalisasi dan juga didorong oleh berbagai kebijakan pemerintah khususnya desakan dari negaranegara maju Eropa Barat dan Amerika Serikat. Perkembangan ini membangun zaman baru dengan ciri-ciri yang sangat berbeda dengan zaman sebelumnya. Strategi operasi perusahaan multinasional tidak lagi dibentuk oleh persyaratan dari “nation state”, tetapi oleh kebutuhan untuk memenuhi pasar yang menarik di mana saja berada.
Akibatnya, terjadi suatu evolusi mengarah kepada
ekonomi tanpa batas negara (borderless economy) di mana región cluster yang efektif akan menjadi gaya pendorong untuk daya saing yang efektif. Kita dapat memanfaatkan koneksi, teknolgi maju, SDM, serta sarana perlindungan tanaman yang mereka miliki. 3. Permintaan Informasi Perlindungan Hortikultura Tinggi Dengan adanya perdagangan global, maka informasi mengenai perlindungan hortikultura banyak diperlukan, misalnya mengenai daftar OPT (pest list) yang menjadi ketentuan dalam pemenuhan persyaratan ekspor. Demikian pula informasi perlindungan hortikultura banyak diperlukan oleh 14
petani dan petugas dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing untuk memperoleh produk yang bermutu dan aman dikonsumsi. 4. Dukungan Instansi Lain dan Stakeholder Dalam pengembangan sistem perlindungan hortikultura, kerjasama dengan instansi terkait sangat memegang peranan penting, misalnya dengan Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Pemda, dan stakeholder lainnya. Selama ini dukungan instansi dan stakeholder tersebut sangat baik, terutama dalam hal alih teknologi pengendalian OPT, dan informasi-informasi lain mengenai perlindungan hortikultura. 5. Kerjasama PHT Antar Negara Penerapan PHT di Indonesia telah diakui keberhasilannya oleh banyak negara dan badan dunia.
Tenaga-tenaga Indonesia banyak diminta oleh
berbagai negara terutama di Asia dan Afrika untuk membantu menerapkan PHT di negaranya, di samping banyak petugas/petani dan lembaga negara yang datang belajar PHT di Indonesia. Kerjasama internasional ini perlu dikembangkan karena banyak memberikan keuntungan kepada Indonesia.
Salah satu keuntungan adalah
mengurangi risiko masuknya OPT berbahaya dari negara lain, sebab kalau PHT berhasil diterapkan dan OPT dapat dikendalikan di negara lain secara tidak langsung mengurangi kemungkinan masuknya OPT dari negara tersebut. Penerapan prinsip SPS sangat penting dan perlu kerjasama dengan negaranegara anggota WTO. D. Tantangan 1. OPT Hortikultura Banyak dan Beragam OPT hortikultura sangat banyak dan beragam, di samping komoditas hortikultura yang juga sangat banyak jenisnya. Hal tersebut merupakan tantangan bagi petugas lapang (PHP/POPT), karena pengamatan OPT hortikultura akan sangat berat untuk dilaksanakan, terutama pada saat ini
15
petugas tersebut masih kurang jumlahnya, karena banyak yang memasuki masa pensiun, alih tugas, dan sebagainya. 2. Tuntutan Kelestarian Lingkungan Pengusahaan lahan-lahan dengan kemiringan lereng yang curam (> 30 %), pemanfatan daerah-daerah fungsi lindung/tangkapan air, pembukaan lahan dengan pembakaran, dan penerapan teknologi budidaya yang kurang mengindahkan kaídh-kaidah konservasi lahan dan air, mengakibatkan bencana kekeringan, banjir, dan kebakaran yang semakin meningkat. Hal tersebut perlu mendapat perhatian yang serius, karena tingginya tuntutan akan kelestarian lingkungan baik di tingkat nasional maupun internasional. Penggunaan agens hayati dan biopestisida akan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis. Hal tersebut akan memberikan tempat bagi musuh alami untuk berkembang sehingga tercipta keseimbangan dengan tingkat OPT yang terkendali. Disamping itu, penggunaan agens hayati dan biopestisida dapat menghindarkan lingkungan dari pencemaran pestisida sintetis sehingga mendorong terciptanya lingkungan yang lestari. 3. Tuntutan Penerapan Prinsip SPS, WTO Era globalisasi menuntut mutu produk yang tinggi sehingga masalah mutu produk menjadi lebih kompleks. Mutu yang semula didasarkan pada aspek kenampakan (appearances) saja, pada era globalisasi ini aspek keselamatan manusia, tumbuh-tumbuhan serta aspek lingkungan (sanitary and phytosanitary/SPS), Technical Barrier to Trade/TBT) turut ambil bagian dalam penentuan stándar mutu produk. Kalau aspek kenampakan produk terutama hanya ditentukan oleh kesepakatan antara penjual dan pembeli saja, maka aspek SPS dan TBT ditentukan oleh pemerintah, yang dituangkan dalam regulasi teknik seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap ekspor kakao Indonesia. Dengan melihat pasar dunia sebagai titik masuk analisis, maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana meningkatkan daya saing produk
16
pertanian di pasar global.
Tanpa daya saing yang tinggi, maka produk
Indonesia akan kalah bersaing di pasar internasional dan ini akan menimbulkan dampak yang berat bagi perekonomian Indonesia, khususnya apabila dilihat dari sudut pandang penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara. Oleh karena itu menjadi hal yang sangat penting untuk melihat secara mendalam kaitan antara seluruh kebijaksanaan nasional dengan proses pembentukan daya saing produk pertanian di pasar dunia, termasuk di dalamnya adalah otonomi daerah, khususnya dikaitkan dengan pelaksanaan perlindungan tanaman dan kesehatan hewan (termasuk karantina pertanian). Konsekuensi diratifikasinya berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan mutu komoditas pertanian, seperti Internasional Plant Protection Convention (IPPC), Codex Alimentarius, World Trade Agreement (WTA),
dan
Cartagena
Protocols,
maka
Indonesia
harus
siap
merealisasikannya. Kemampuan Indonesia dalam melaksanakan hal tersebut masih sangat rendah. 4. Adanya Anomali Iklim Dengan adanya anomali iklim, pengaruh terhadap perkembangan OPT hortikultura sangat besar sekali, baik terhadap jenis OPT yang semula tidak penting kemudian menjadi penting, maupun munculnya OPT baru yang sebelumnya tidak dilaporkan menyerang tanaman hortikultura.
Beberapa
OPT dalam 5 tahun terakhir yang menunjukkan indikasi peningkatan serangan di beberapa daerah, antara lain : trips, kutu kebul, Liriomyza, Paracoccus, virus
kuning,
antraknosa,
layu
bakteri,
Phytopthora,
Verticillium,
Colletotrichum. Hal tersebut merupakan tantangan dalam mengatasi akibat dari adanya anomali iklim tersebut. Upaya-upaya melakukan mitigasi dan antisipasi Dampak Perubahan Iklim (DPI) sangat penting melalui koordinasi, pemantauan dan analisisnya secara baik. Matriks
SWOT
(Strengths,
Weaknesses,
Opportunities,
Threats)
yang
menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan tercantum dalam Lampiran 1. 17
III. CAPAIAN KINERJA TAHUN 2005 – 2009
A. Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Selama kurun waktu tahun 2005 – 2009 kumulatif luas serangan OPT utama pada tanaman buah cenderung mengalami penurunan dan serangan OPT pada tanaman sayuran cenderung fluktuatif. Berbagai upaya pengendalian OPT pada tanaman buah dilakukan termasuk upaya-upaya eradikasi tanaman terserang (HLB/CVPD pada jeruk, layu pada pisang), perangkap (lalat buah), pengolesan bubur bordo (jeruk, mangga), pengaturan irigasi (getah kuning manggis). Kecenderungan fluktuasi serangan OPT sayuran disebabkan oleh fluktuasinya luas dan lokasi penanaman komoditas sayuran, yang agak menyulitkan pembinaan dan penerapan teknologi pengendaliannya. Kecenderungan peningkatan serangan OPT pada tanaman hias dan biofarmaka antara lain disebabkan sangat terbatasnya informasi teknis OPT dan pengendalian yang dikuasainya, meningkatnya frekuensi pelaporan dari daerah dan perkembangan luas tanam di berbagai daerah. B. Pemenuhan Persyaratan Teknis Perdagangan Di bidang persyaratan ekspor-impor, telah ditetapkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS). merupakan dasar dalam memperhatikan
justifikasi
Ketentuan SPS
pemenuhan persyaratan internasional ilmiah,
dan
merujuk
pada
dengan standar,
pedoman/rekomendasi teknis yang ada dengan perangkat kelembagaannya. Ketentuan tersebut yang terkait dengan standar ISPM yang mengatur keberadaan OPT pada produk yang akan diekspor ataupun diimpor, serta standar yang terkait mutu produk dari cemaran residu pestisida. Sampai dengan tahun 2009 telah dihasilkan 15 komoditas yang disediakan pest list nya yaitu untuk komoditas mangga, salak, manggis, strawberry, sirsak, raphis, temulawak, kentang, paprika, anggrek, pisang, tomat, kubis, bawang merah, dan cabai.
Tiga komoditas diantaranya yaitu salak,
18
manggis, dan mangga merupakan komoditas unggulan ekspor.
Salak telah
berhasil diekspor ke China. C. Penyelenggaraan Sekolah Lapang Kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas maupun petani hortikultura dalam penanganan/pengendalian OPT yang ramah lingkungan sesuai dengan sistem PHT.
SLPHT sangat bermanfaat dalam
meningkatkan kemandirian petani untuk mengambil tindakan korektif, serta memberikan pengetahuan cara penggunaan pestisida yang baik dan benar agar residu pada tanaman dapat diminimalisasi. Pada tahun 2007 telah dilaksanakan kegiatan SLPHT di 31 provinsi, yaitu sebanyak 380 unit, terdiri dari 287 unit bersumber dari APBN dekonsentrasi dan 93 unit dilaksanakan oleh Badan Pengembangan SDM Pertanian. Jumlah tersebut belum termasuk pelaksanaan SLPHT bersumber dana APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, dan swadaya masyarakat. Pada tahun 2008 telah dilaksanakan 300 unit penerapan PHT terdiri dari 193 unit di berbagai sentra produksi hortikultura melalui pemasyarakatan PHT (dengan pola SLPHT); yaitu dengan dana dekonsentrasi kepada UPTD BPTPH, dan 173 unit kelompok SLPHT dalam rangka pengendalian OPT hortikultura di 11 provinsi yang mencakup 42 kabupaten/kota. Di samping itu, pada tahun 2008 juga telah berkembang penerapan PHT dengan pola SLPHT dalam rangka penerapan
GAP/SOP
pada
berbagai
komoditas
hortikultura.
Jajaran
perlindungan tanaman di daerah (UPTD BPTPH) saat ini berperan aktif mensosialisasikan dan memasyarakatkan PHT dengan penerapan GAP/SOP budidaya hortikultura. Pada tahun 2009, dengan dana APBN Pusat melalui dana Tugas Pembantuan, pemasyarakatan PHT dengan pola SLPHT telah dilaksanakan sebanyak 415 unit, terdiri dari 254 unit SLPHT di 29 Provinsi pada 32 komoditas dan 161 unit SLPHT di kabupaten/kota pada 21 komoditas hortikultura. 19
D. Kelompok Pengguna Agens Hayati Di bidang perlindungan tanaman, peran kelompok-kelompok alumni SLPHT dan kelompok pengguna/penerap teknologi ramah lingkungan dengan menggunakan agens hayati dan biopestisida tidak berdampak negatif bagi lingkungan, hewan, dan manusia. Di samping itu, memiliki 3 keuntungan bila dibandingkan dengan teknik pengendalian lain terutama pestisida, yaitu : permanen, aman, dan ekonomis. Peran kelompok-kelompok tersebut sangat penting dalam penanggulangan OPT. Kelompok-kelompok tani pengguna agens hayati yang telah terbentuk antara lain : Sumatera Barat, POS IPAH (POS Informasi Pelayanan Agens Hayati) 73 kelompok; Jawa Timur, PPAH (Pusat Pelayanan Agens Hayati) 210 kelompok;
Jawa Tengah, PUSPAHATI (Pusat Pelayanan Agens Hayati)
99 kelompok; Jambi, POS IPAH 10 kelompok; dan provinsi lain yaitu Provinsi Sumatera Selatan 12 kelompok; Kalimantan Timur 3 kelompok; Sumatera Utara 4 kelompok;
Bali 2 kelompok;
Banten 1 kelompok;
Bengkulu
6 kelompok; DIY 36 kelompok; Sulawesi Utara 3 kelompok; Nusa Tenggara Barat 7 kelompok; Aceh 27 kelompok; Jawa Barat 4 kelompok; Lampung 12 kelompok; Gorontalo 15 kelompok; dan Maluku 3 kelompok. Jumlah keseluruhan kelompok yang telah menerapkan agens hayati adalah sebanyak 527 kelompok. E. Penguatan Laboratorium Hama Penyakit dan Laboratorium Pestisida Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman (LPHP) dan Laboratorium Pestisida yang berada di bawah UPTD BPTPH berperan penting dalam pengembangan penerapan perlindungan tanaman hortikultura. Pada tahun 2009 telah diberikan pelatihan-pelatihan teknis kepada petugas-petugas dari 18 Laboratorium PHP di 12 provinsi dan BBPOPT Jatisari tentang pemenuhan persyaratan teknis SPS-WTO, dalam kerangka keterpaduan sistem perlindungan tanaman dengan penerapan SPS–WTO melalui sinergisme sistem perlindungan tanaman dalam pemenuhan prinsip SPS-WTO. Latihan-latihan tersebut berupa latihan teknis mengacu pada International Standard for Phyto-sanitary
20
Measures (ISPM) yaitu tentang surveillance, identifikasi, pembuatan koleksi referensi yang merupakan bahan untuk pembuatan pest list. Selain pelatihan teknis juga diberikan bantuan kelengkapan peralatan laboratorium antara lain mikroskop untuk identifikasi. Lokasi Laboratorium PHP yang menerima bantuan adalah di Sumatera Utara (1 lab), Sumatera Barat (1 lab), Riau (1 lab), Lampung (1 lab), DKI Jakarta (1 lab), Jawa Barat (3 lab), Jawa Tengah (3 lab), DI Yogyakarta (1 lab), Jawa Timur (3 lab), Nusa Tenggra Barat (1 lab), Bali (1 lab), Kalimantan Barat (1 lab). Pada
tahun
2009,
juga
telah
laboratorium pestisida di tingkat pusat.
dibantu
kelengkapan
peralatan
Peralatan tersebut antara lain alat
analisis residu pestisida dan kelengkapannya, untuk meningkatkan kemampuan laboratorium dalam menganalisis residu pestisida yang terdapat dalam produk hortikultura. Selain kelengkapan peralatan juga diberikan pelatihan teknis bagi para analis untuk mengoperasikan peralatan tersebut. Laboratorium pestisida yang menerima peralatan tersebut adalah laboratorium pestisida di Maros dan Surabaya. F. Pemantauan Residu pestisida Pemantauan residu pestisida yang dilakukan sejak tahun 2000-an oleh Direktorat Perlindungan Hortikultura sampai saat ini memberikan gambaran bahwa produk hortikultura (buah dan sayuran) baik dari wilayah produksi maupun dari ekspor, dinilai aman untuk dikonsumsi. Dari analisis yang dilakukan di Laboratorium Pengujian Mutu Produk Pertanian (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan) menunjukkan bahwa selama 5 tahun (2005 – 2009) semua sampel buah dan sayuran yang dianalisis tidak menunjukkan residu pestisida yang melampaui BMR (Batas Maksimum Residu) yang ditetapkan. Hasil analisis residu produk buah, tidak terdeteksi residunya rata-rata 64,1 %, terdeteksi >BMR = 0 %, dan terdeteksi
Produk sayuran tidak terdeteksi residunya rata-rata sebesar
72,25 %, terdeteksi >BMR = 0%, dan terdeteksi
21
Hasil pemantauan residu pestisida pada produk buah dan sayur pada tahun 2009 menunjukkan hasil yang relatif sama, ialah sebagian besar produk yang diuji menunjukkan residu yang aman dikonsumsi. Pada produk buahbuahan telah dianalisis 4 komoditas (apel, mangga, anggur, markisa) dan sayuran 7 komoditas (cabe merah, sawi hijau, bawang merah, tomat, kentang, paprika, caisim).
22
IV. VISI, MISI, DAN TUJUAN
A. Visi Visi perlindungan hortikultura adalah ”Terwujudnya Kemandirian Petani dan Masyarakat Pertanian Lain dalam Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada komoditas hortikultura dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan dan Berwawasan Agribisnis”. B. Misi Untuk mewujudkan visi tersebut, perlindungan hortikultura mempunyai misi : 1. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan petani dan masyarakat pertanian lainnya tentang PHT 2. Memfasilitasi, motivasi, dan regulasi untuk terbinanya kemandirian petani dan masyarakat pertanian lainnya dalam pengelolaan OPT hortikultura. 3. Melindungi petani dan konsumen dari akibat samping penggunaan bahan kimia yang digunakan dalam pengendalian OPT. 4. Meminimalkan
pencemaran
lingkungan
dan
mempertahankan
keanekaragaman hayati di ekosistem pertanian. 5. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dari usaha taninya. C. Tujuan 1. Menurunkan kerugian hasil karena gangguan OPT, anomali iklim (kebanjiran, kekeringan);
meningkatkan ekspor produksi hortikultura,
produksi hortikultura untuk konsumsi dalam negeri, baik jumlah maupun mutu; serta meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani dan pelaku agribisnis lainnya; mengurangi residu pestisida dalam proses produksi; mengendalikan impor hortikultura. 2. Menyelamatkan kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam akibat serangan OPT dan anomali iklim. 3. Meningkatkan koordinasi instansi pemerintah, swasta dan masyarakat terkait dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian perlindungan hortikultura.
23
4. Mensinkronkan program dan kegiatan perlindungan hortikultura antar berbagai instansi atau organisasi di tingkat pusat, antar instansi tingkat pusat dengan perwakilan di luar negeri, antar Pusat dan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota), dan antar daerah/wilayah. 5. Mensinergikan kegiatan perlindungan hortikultura yang merupakan bagian dari sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
24
V.
TARGET UTAMA DAN SASARAN STRATEGIS
A. Target Utama Selama lima tahun ke depan (2010 – 2014) Kementerian Pertanian mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu : 1. Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan 2. Peningkatan diversifikasi pangan 3. Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor 4. Peningkatan kesejahteraan petani Mengacu pada target utama tersebut, maka target utama yang akan dicapai Direktorat Jenderal Hortikultura adalah peningkatan produksi dan mutu hortikultura dalam rangka mendukung peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor serta peningkatan kesejahteraan petani. Komoditas
hortikultura
merupakan
komoditas
potensial
yang
mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Mengacu pada SK Menteri Pertanian No. 511/Kpts/PD.310/9/2006 komoditas binaan Direktorat Jenderal Hortikultura mencakup 323 jenis komoditas, yang terdiri dari 60 jenis komoditas buah, 80 jenis komoditas sayuran, 66 jenis komoditas tanaman obat, dan 117 jenis komoditas tanaamn hias. Hingga saat ini pengolahan data statistik baru menangani 90 jenis komoditas, yaitu 26 komoditas buah, 26 komoditas sayuran, 24 komoditas tanaman hias, dan 15 komoditas tanaman obat. Direktorat Perlindungan Hortikultura dalam mendukung program pengembangan hortikultura, memprioritaskan penanganan komoditas unggulan yaitu : 1. Tanaman buah
: pisang, jeruk, mangga, manggis, durian
2. Tanaman sayuran
: cabai, bawang merah, kentang, kubis, tomat
3. Tanaman hias
: anggrek, krisan
4. Tanaman Obat
: jahe, lidah buaya
25
B. Sasaran Strategis Sasaran strategis perlindungan hortikultura Tahun 2010 – 2014 adalah proporsi luas serangan OPT utama hortikultura terhadap total luas panen. Luas serangan OPT utama hortikultura selama Tahun 2010 -2014 maksimal 5 % terhadap luas panen dengan rincian seperti grafik berikut :
Gambar 2. Proporsi Luas Serangan OPT Utama Hortikultura Terhadap Total Luas Panen Tahun 2010-2014
Target
Pembangunan
dan
Kebutuhan
Pendanaan
Perlindungan
Hortikultura Tahun 2010 – 2014 tercantum dalam Lampiran 2.
26
VI. ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI
A. Arah Kebijakan Secara garis besar kebijakan perlindungan hortikultura adalah sebagai berikut : a. Perlindungan Tanaman dengan Sistem PHT Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman,
bahwa
pelaksanaan
perlindungan
tanaman
menggunakan sistem PHT. Sistem PHT bukan merupakan paket teknologi yang siap diterapkan di berbagai daerah secara seragam , tetapi mendorong dikembangkannya cara-cara pengendalian OPT hortikultura spesifik lokasi sesuai dengan kondisi yang ada. Sistem PHT merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem budidaya tanaman hortikultura serta pengamanan produksinya dalam kerangka pengembangan agribisnis.
Sistem PHT harus dirancang dan
dilaksanakan sejak perencanaan tanam sampai dengan setelah panen. Paling tidak terdapat 6 (enam) kata kunci dalam penerapan PHT yaitu : Keanekaragaman ekologi, sosial, dan budaya Keuntungan ekonomi Keberlanjutan produksi Kuantitas dan kualitas produksi Ketahanan terhadap pengaruh faktor luar Kemandirian masyarakat petani. Pendekatan ekologi (termasuk budaya) dan ekonomi harus merupakan landasan utama dalam pengendalian OPT tanaman hortikultura. Penggunaan pestisida tidak dilarang dalam sistem PHT, tetapi penggunaan pestisida harus secara bijaksana dan diusahakan sekecil mungkin atau proposional agar dihasilkan produk hortikultura yang bermutu dan aman konsumsi, di samping memperkecil dampak negatifnya terhadap
27
manusia, makhluk hidup lainnya, serta lingkungan.
Oleh karena itu
penggunaan pestisida dalam sistem PHT merupakan alternatif terakhir, apabila cara pengendalian yang lain dinilai tidak memadai. b. Tanggung Jawab Masyarakat dan Pemerintah Perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab masyarakat (petani) bersama pemerintah. Oleh karena itu kemandirian petani dalam mengambil keputusan pengelolaan OPT hortikultura di lahan usahataninya sangat penting. Peranan pemerintah terutama dalam hal fasilitasi, motivasi, dan regulasi. telah
Kewenangan pemerintah pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
diatur
dalam
Undang-Undang
No.
32/2004
beserta
aturan
pelaksanaannya. c. Penanggulangan Eksplosi OPT Hortikultura Dalam keadaan normal, pengendalian OPT hortikultura menjadi tanggung jawab petani sebagai pengusaha tani.
Tetapi dalam keadaan
eksplosi/wabah,
sehingga
tani
mengendalikan;
pemerintah dapat membantu sarana, peralatan atau
petani/kelompok
tidak
mampu
pembiayaan; sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Bantuan dilakukan secara berjenjang sesuai kemampuan yang dimiliki dari Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Bantuan pengendalian OPT hortikultura juga dapat diberikan untuk pengendalian daerah sumber infeksi. d. Penanganan Bencana Alam (Banjir dan Kekeringan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, Mitigasi dan Antisipasi DPI Penanganan bencana alam (kekeringan dan banjir) ditekankan kepada upaya mitigasi/antisipasi dan pencegahan melalui penerapan pelestarian lingkungan antara lain melalui penghijauan daerah fungsi lindung dan tangkapan air dengan tanaman keras/tahunan yang mempunyai nilai ekonomis, penerapan teknologi budidaya yang memperhatikan kaidahkaidah konservasi tanah dan air, menghindari pemanfaatan lahan dengan
28
kemiringan lereng lebih dari 300 untuk tanaman hortikultura musiman dan kemiringan lereng lebih dari 450 untuk lahan hortikultura tahunan (pepohonan).
B. Strategi Strategi yang diterapkan dalam melaksanakan kebijaksanaan di atas pada dasarnya adalah penguatan atau pemantapan subsistem-subsistem dalam sistem perlindungan hortikultura, sebagaimana diuraikan di bawah ini : 1.
Peningkatan Sosialisasi PHT
2.
Kampanye Produk-Produk Hasil PHT
3.
Peningkatan Penerapan PHT Melalui SLPHT
4.
Penerapan PHT sebagai inti dari penerapan GAP/SOP
5.
Optimalisasi Pemanfaatan Sarana Perlindungan Ramah Lingkungan
6.
Peningkatan SDM Perlindungan Tanaman Hortikultura
7.
Peningkatan Peran Kelembagaan Perlindungan Tanaman Hortikultura
8.
Peningkatan Sistem Informasi Manajemen Perlindungan Hortikultura
9.
Peningkatan Pemahaman Sistem PHT Bagi Stakeholder (Sosialisasi, Apresiasi)
10. Penerapan Pemenuhan Ketentuan-Ketentuan SPS 11. Peningkatan Jumlah (Unit) Pelaksanaan SLPHT 12. Peningkatan Pengamatan, Peramalan OPT , dan Bencana Alam 13. Peningkatan Efisiensi Pengendalian OPT Yang Ramah Lingkungan 14. Peningkatan Peran Perlindungan dalam Perdagangan Global 15. Peningkatan Kaji Terap Teknologi Pengendalian OPT Yang Spesifik Komoditas dan Wilayah 16. Pelatihan-Pelatihan Teknis Petugas dan Petani 17. Peningkatan Identifikasi dan Pengendalian OPT Utama pada Komoditas Prioritas
29
VII. PROGRAM DAN KEGIATAN
A. Program Mengacu pada program pembangunan 2010 – 2014, fokus program kerja Direktorat Perlindungan Hortikultura adalah : ”Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Produk Tanaman Hortikultura Berkelanjutan”
B. Kegiatan Kegiatan dari program Direktorat Perlindungan Hortikultura antara lain sebagai berikut : 1.
Administrasi Kegiatan
2.
Penyusunan Program dan Rencana Kerja/Teknis/Program a. Temu Teknis, Penyusunan dan Pemantapan Program Perlindungan Hortikultura, dan Pemantapan Perencanaan b. Pertemuan Koordinasi Komisi Perlindungan Tanaman (KPT) c. Koordinasi Kelompok Kerja (POKJA) Nasional Penanggulangan OPT Hortikultura d. Koordinasi, Evaluasi dan Pelaporan Perlindungan Hortikultura
3.
Pengembangan Hubungan Kerjasam Luar Negeri a. Penerapan Thermal Treatment dalam Rangka Kerja sama IJ-EPA
4.
Pengamatan, Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan dan Fenomena Iklim a. Pembinaan dan Penyempurnaan Metode Pengamatan, Identifikasi dan Pelaporan OPT Hortikultura b. Peramalan OPT Hortikultura Dampak Fenomena Iklim c. Penyempurnaan Database SPS-SLPHT d. Analisis dan Mitigasi Dampak Fenomena Iklim Terhadap Hortikultura
30
5.
Monitoring dan Pengawasan Pelaksanaan Program dan Kegiatan a. Koordinasi, Pemantauan dan Pengawasan Internal Lingkup Direktorat Perlindungan Hortikultura
6.
Penyediaan Buku-Buku Pedoman a. Penyusunan Pedoman Pengenalan dan Pengendalian OPT Tanaman Hortikultura b. Penyusunan Lembar Teknologi Pengendalian OPT Hortikultura c. Penyusunan Buku Saku, Leaflet, Poster Perlindungan Hortikultura
7.
Pengembangan Kelembagaan Perlindungan Tanaman Hortikultura a. Penyusunan Program Perencanaan b. Pengembangan Jaringan Referensi Koleksi OPT Hortikultura c. Surveilans dalam Rangka Penyusunan Pest List OPT Hortikultura d. Pengembangan Penerapan Teknologi Thermal Treatment dalam Pengelolaan Lalat Buah Mangga e. Pameran/Visualisasi/Publikasi/Promosi f. Pengembangan Pengendalian NSK Skala Luas
8.
Pemasyarakatan Perlindungan Hortikultura a. Penyediaan Informasi Perlindungan Hortikultura Melalui Media Massa b. Pengembangan SIM Perlindungan Hortikultura c. Pembinaan Tugas Fungsional POPT dalam Pengamatan dan Pengendalian OPT Hortikultura d. Perjalanan Kerjasama Luar Negeri e. Gelar Teknologi Pengendalian OPT Hortikultura f. Pembinaan dalam Rangka Penerimaan Penghargaan
9.
Pengendalian OPT Hortikultura a. Pembinaan
Penanggulangan
OPT
Endemis
pada
Tanaman
Hortikultura b. Pembinaan Penanggulangan OPT Baru
31
c. Pembinaan Penerapan Penggunaan Pestisida Secara Baik dan Benar dengan Residu Minimum dalam Usahatani Hortikultura d. Pembinaan Penerapan Penggunaan Agens Hayati dan Biopestisida pada Tanaman Hortikultura e. Pembinaan Teknis Operasional Laboratorium PHP Hortikultura f. Pembinaan Penanggulangan OPT Utama Hortikultura g. Pengelolaan Hama Lalat Buah (ACIAR) h. Dukungan Kerjasama ACIAR dalam Pengelolaan OPT Mangga, Manggis, Pisang i. Penanganan OPT Pasca Panen j. Tinjauan Pemanfaatan Pestisida pada Tanaman Hortikultura 10. Sinergisme Sistem Perlindungan Hortikultura dengan Standar SPSWTO a. Sosialisasi Pemantapan Kegiatan Sinergisme Perlindungan Tanaman Hortikultura dalam Pemenuhan Persyaratan Ekspor b. Penyusunan Pedoman Sinergisme Sistem Perlindungan Hortikultura c. Workshop TOT Sinergisme Sistem Perlindungan Hortikultura dalam Pemenuhan Persyaratan Ekspor d. Area Low Pest Prevalence (Lalat Buah, Penggerek biji Mangga, Kutu Putih Salak) e. Host Pest List pada Tanaman Hortikultura Untuk Mendukung Ekspor
32
VIII. PENUTUP Rencana Strategis Direktorat Perlindungan Hortikultura tahun 2010 – 2014 merupakan dokumen perencanan lima tahunan yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan sistem perlindungan hortikultura. Dalam penyusunannya telah mengakomodasi berbagai masukan dan aspirasi dari berbagai pihak diantaranya para pelaku usaha, para pakar dari Perguruan Tinggi, Eselon II terkait lingkup Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Pertanian, UPTD BPTPH dan masyarakat. Pengembangan sistem perlindungan hortikultura diharapkan dapat lebih baik dilaksanakan, sehingga akan meningkatkan produksi dan mutu hortikultura yang ramah lingkungan, dapat memperbaiki tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani serta masyarakat lainnya.
33
LAMPIRAN
34