I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian
dan
pengawasan,
sementara
masyarakat
menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi dan berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya belinya. Zaman terus berubah sesuai dengan perkembangan budaya manusia, yang telah menimbulkan terobosan baru. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menyebabkan bergesernya nilai-nilai yang dianut masyarakat, semakin hilangnya batas-batas wilayah suatu negara, timbulnya masalah lingkungan dan tumbuhnya kesadaran lingkungan juga semakin banyak dan beraneka ragamnya jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Kebutuhan manusia juga terus berkembang seiring dengan berkembangnya budaya. Peningkatan produksi pertanian, khususnya tanaman pangan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam pembangunan sektor pertanian, karena sektor ini memegang peranan penting dan strategik guna memantapkan swasembada pangan. Seiring berkembangnya konsep penjualan ritel, porsi beras dalam kemasan berlabel semakin meningkat. Konsumen beras dalam kemasan ini biasanya adalah masyarakat kelas menengah ke atas (pengeluaran bulanan Rp. 3,45 juta/orang) yang cenderung mengutamakan aspek mutu dari produk. Beras merupakan komoditas strategis Indonesia ditinjau dari aspek ekonomi, sosial dan politik.
Hal ini antara lain karena beras merupakan
makanan pokok hampir semua penduduk Indonesia. Beras juga diproduksi
2
hampir di semua kabupaten/kota di Indonesia dengan total produksi per tahun 58–64 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 30,6 – 31,2 juta ton beras. Hampir seluruh beras yang diproduksi di Indonesia digunakan di dalam negeri guna memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk (96,7% dari total produksi). Sebagian beras yang diperdagangkan di pasar–pasar tradisional merupakan beras yang dijual dalam bentuk curah (per kilogram atau liter). Hanya sebagian kecil beras yang dibeli oleh konsumen akhir dalam kemasan berlabel. Sebagian besar beras berlabel dipenuhi oleh produk impor (Jasmine Rice/Fragran rice atau Thai Hom Mali) dan diperdagangkan di pasar – pasar modern. Sejak diberlakukannya ketentuan impor beras (SK Menperindag No.9/MPP/Kep/I/2004) dengan implementasinya berupa “pelarangan impor beras” tahun 2004 hingga saat ini, seluruh pasar beras dalam negeri baik di pasar tradisional maupun modern dikuasai sepenuhnya oleh beras produk lokal. Ketiadaan beras impor khususnya beras mutu tinggi, khususnya untuk memasok kebutuhan Hotel dan Restoran diseluruh Indonesia, telah menimbulkan desakan para pelaku pasar beras nasional terhadap pemerintah untuk dapat segera memenuhi kebutuhan jenis beras dengan mutu tinggi dari produksi dalam negeri (substitusi impor) yang besarnya sekitar 75.000 ton per tahun (Ditjen
PPHP, 2006).
Kondisi ini semakin merangsang
pengusaha/pedagang beras untuk bersaing dengan menonjolkan varietas padi lokal dengan keunggulan sifatnya sebagai merk dagang atau label beras. Kendati beras dengan kemasan berlabel tersebut diperdagangkan dengan volume terbatas, namun dengan pesatnya perkembangan pasar modern (ritel kecil, menengah dan besar) cukup memberikan andil dalam peningkatan pemasaran beras kemasan berlabel. Hasil penelitian Nielsen (2005) menunjukkan bahwa secara nasional, pangsa pasar modern cenderung mengalami peningkatan cukup nyata (Tabel 1), sementara jumlah maupun pangsa pasar tradisional justru mengalami penurunan. Perubahan tersebut didorong oleh adanya perubahan trend konsumen atau preferensi masyarakat dalam berbelanja beras berlabel kearah pasar modern, serta sebagai dampak diberlakukannya Keppres 118/2000 yang mengeluarkan bisnis ritel dari
3
negative list Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai tindaklanjut penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) (Nielsen, 2005). Dalam perdagangan beras dalam kemasan berlabel, mutu beras yang dikemas merupakan penyebab tingkat kepuasan konsumen. Karakteristik mutu beras secara umum dipengaruhi oleh 4 faktor utama, yaitu (1) sifat genetik, (2) lingkungan dan kegiatan pra panen, (3) perlakuan panen dan (4) perlakuan pasca panen. Pembangunan sistem jaminan mutu beras harus dimulai dari proses produksi dan dipertahankan, ditingkatkan dalam proses panen dan pasca panennya, serta dikuatkan dengan sertifikasi pelabelan untuk memberikan keyakinan bagi konsumen dalam menentukan pilihan atas beras bermutu sesuai dengan varietasnya dan menjaga kepentingan produsen/pelaku bisnis untuk memperluas pangsa pasar beras dengan harga yang lebih baik (Damardjati, 1995). Tabel 1. Kontribusi Pasar Tradisional dan Pasar Modern terhadap total penjualan ritel nasional Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Pasar Tradisional (%) 78,10 75,20 74,80 73,70 69,60
Pasar Modern (%) 21,80 24,80 25,10 24,40 30,40
Sumber : Nielsen, 2005.
Tabel 2. Konsumsi beras per kapita di Indonesia Tahun 2002 2003 2004 2005
Konsumsi Beras per Kapita (Kg) 115,5 109,7 138,81 139,15
Sumber : BPS, 2006
Dalam perdagangan beras kemasan berlabel, mutu beras yang dikemas merupakan sesuatu yang diharapkan konsumen. Sayangnya, dalam kenyataan, beras dalam kemasan berlabel belum sepenuhnya menunjukkan mutu beras
4
yang diinginkan konsumen. Selain itu, label varietas yang tertera dalam kemasan, khususnya untuk varietas-varietas khusus, pada umumnya tidak sesuai dengan kenyataan varietas yang ditampilkan. Konsumen tertarik membeli beras yang ditawarkan dikarenakan oleh nama varietas yang ditampilkan pada label kemasan, dengan demikian ada kecenderungan bahwa beberapa pemilik beras berlabel telah melakukan kecurangan dalam berbisnis beras berlabel. Kementrian Pertanian saat ini mengembangkan sistem produksi dan pemasangan beras berlabel. Hal itu dilakukan untuk menjamin keaslian beras dari upaya pengoplosan yang merugikan konsumen sekaligus menstabilkan harga jual gabah di tingkat petani. Sistem pelabelan beras ini dianggap perlu untuk memperkecil kemungkinan penipuan terhadap masyarakat, akibat banyaknya produk beras bermerek yang isinya tidak sesuai jenis beras yang tercantum dalam kemasan. Sebagai contoh, sebagian besar pusat perbelanjaan di Bogor dan Cianjur menjual beras bermutu baik, jenis Pandanwangi kepala dan Pandanwangi super dalam kemasan 5 kg dan 10 kg. Namun, isi kemasan itu bukan beras murni Pandanwangi, tetapi sudah dioplos dengan varietas lain, yang bentuk fisiknya mirip dengan Pandanwangi. Kementrian Pertanian juga menganggap perlu membuat sistem pelabelan beras untuk menjamin keaslian varietas beras yang diedarkan ke pasaran. Sebab label beras yang ada selama ini hanya merupakan merek dagang yang menggunakan berbagai nama atau mengatasnamakan jenis varietas unggul seperti Rojolele, Pandanwangi dan sebagainya. Selama ini sebenarnya sudah ada peraturan yang mewajibkan pencantuman label terhadap komoditas yang dipasarkan seperti Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, PP no 69 tentang Pelabelan dan UU Perlindungan Konsumen Tahun 1999. Dengan peraturan tersebut, sebenarnya masyarakat dapat melakukan penuntutan terhadap penjual beras berlabel, tetapi hal itu belum dapat diwujudkan karena sistem pelabelan di Indonesia, belum terbentuk. Dengan kondisi tersebut, jika masyarakat melakukan penuntutan ketika menemukan beras yang tidak sesuai dengan label, maka sulit untuk membuktikan pemalsuan label tersebut.
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal yang telah dijabarkan, maka permasalahan pada kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana perilaku konsumen dalam mengkonsumsi beras berlabel ? 2. Faktor-faktor apakah yang dipertimbangkan konsumen dalam memilih beras berlabel ? 3. Bagaimana mengukur dampak perilaku konsumen terhadap pola promosi beras berlabel tersebut ? C. Tujuan Tujuan kajian ini secara umum adalah mengetahui perilaku konsumen beras berlabel di wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Secara khusus, kajian ini bertujuan untuk : 1. Mengevaluasi perilaku konsumen dalam mengkonsumsi beras berlabel. 2. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang dipertimbangkan konsumen dalam pembelian beras berlabel. 3. Mengkaji perilaku konsumen terhadap pola promosi beras berlabel yang dilakukan oleh pasar ritel.