I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan modern di Indonesia telah berkembang meskipun demikian jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional tetap tinggi. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2010 dalam hal Indikator Kesehatan, dijumpai sebanyak 68,71% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri dan 27,58% diantaranya menggunakan obat tradisional (Anonimd, 2010). Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional termasuk penggunaan tumbuhan obat sejak dulu dan dilestarikan secara turun-temurun. Namun adanya modernisasi budaya dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (Bodeker, 2000). Kecenderungan ini juga terjadi pada komunitas tradisional di Indonesia. Salah satu jenis pengobatan yang menarik perhatian peneliti adalah pengobatan akibat gigitan ular. Kasus gigitan ular di Indonesia tercatat telah memakan banyak korban sementara anti racun ular yang tersedia terbatas. Berdasarkan data yang diperoleh Kasturiaratne dkk. (2008), setiap tahun terjadi setidaknya 421.000 kasus gigitan ular berbisa di seluruh dunia dan 20.000 kasus tercatat mengakibatkan kematian. Pada tanggal 20 Oktober 2013, Warta Kota mengabarkan tentang tingginya kasus gigitan ular berbisa di Lebak, Banten. Pihak Puskesmas menyatakan telah mempersiapkan serum anti bisa ular (SABU) yang
1
2
cukup, namun cukup banyak kasus korban tewas karena penanganan medis yang terlambat, kurang tepat dan habisnya persediaan obat. Suara Karya (26 Januari 2012) mengabarkan dalam sepekan, empat warga Kabupaten Lebak, Banten, dilaporkan tewas digigit ular berbisa terkait dengan masuknya musim hujan. Anggota Komisi B DPRD Lebak mengkonfirmasi berita tersebut dan menyatakan keempat warga yang meninggal karena persediaan obat SABU di Puskesmas setempat habis. Ruslan (2012) mengabarkan terjadinya 12 kasus gigitan ular lagi di Kabupaten Lebak melalui media berita online Republika (10 Februari 2012). Kasus gigitan ular di Surakarta dikabarkan oleh Solo Pos tertanggal 7 Maret 2012, seorang anak usia 13 tahun tewas karena gigitan ular. Korban sempat dilarikan ke RSUD Karanganyar untuk mendapatkan pertolongan medis, namun sehari kemudian korban meninggal. Beberapa berita di atas menunjukkan bahwa penanganan kasus gigitan ular belum optimal karena minimnya pengetahuan tentang alternatif pengobatan gigitan ular.
B. Perumusan Masalah 1. Apa saja tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan tradisional gigitan ular oleh suku Dayak Lundayeh? 2. Bagaimana profil kandungan fitokimia tumbuhan obat yang digunakan sebagai anti bisa ular?
3
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan tradisional gigitan ular oleh suku Dayak Lundayeh 2. Profil fitokimia pada jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan gigitan ular. D. Tinjauan Pustaka 1. Suku Dayak Lundayeh Suku Dayak adalah salah satu suku asli pulau Kalimantan bersama dengan suku Banjar dan Kutai. Menurut informasi yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Nunukan (2012) suku Dayak Lundayeh menempati wilayah utara pulau Kalimantan, mulai dari Kabupaten Malinau, Kabupaten Tanah Tidung, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan, hingga Malaysia dan Brunei Darussalam. Kecamatan Krayan adalah salah satu tempat tinggal suku Dayak Lundayeh di Kabupaten Nunukan. Lokasi Kecamatan Krayan ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Peta pulau Kalimantan (Anonime, 2012) Lokasi Kecamatan Krayan ditunjukkan oleh penunjuk A pada gambar
4
Penelitian mendalam mengenai asal-usul suku Dayak Lundayeh belum pernah dilakukan. Yohansen Borneo adalah salah satu pemerhati budaya lokal serta pendiri situs CeritaDayak.com yang mengumpulkan catatan-catatan sejarah tentang adat, budaya dan tradisi suku Dayak. Berdasarkan legenda masyarakat yang diceritakan kembali oleh Borneo (2013) dan melalui tulisannya dalam situs Cerita Dayak, nenek moyang Dayak Lundayeh berasal dari daratan Cina yang berimigrasi ke pulau Kalimantan berabad-abad silam. Kisah ini diperkuat dengan ditemukannya artifak peninggalan berupa tabu’ (guci), rubi (tempayan), patung porselen, bau (manik-manik), dan felepet (pedang). Agama Kristen mulai disebarkan oleh misionaris utusan Christian Missionary Alliance (CMA) berkebangsaan Amerika Serikat, Rev. E.W. Presswood pada tahun 1932. Sebelum memeluk Kristen, masyarakat Dayak Lundayeh adalah pemeluk animisme. Mereka percaya pada kekuatan-kekuatan alam gaib serta melakukan penyembahan pada roh nenek moyang dan benda-benda yang dianggap keramat. Untuk mempertahankan diri dan mencari lahan baru, masyarakat tidak segan-segan untuk febunu’ (perang) dengan komunitas masyarakat atau desa lainnya (Borneo, 2013). 2. Ular Berbisa di Asia Tenggara Ular berbisa memiliki sepasang gigi taring yang besar dan memiliki saluran racun pada bagian depan rahangnya. Racun ular biasanya diinjeksikan secara subkutan atau intramuskular saat manusia tergigit. Jenis kobra dapat menyemprotkan racun dari ujung taringnya ke arah mata penyerangnya. (Warrell, 2005).
5
Compressor glandulae muscle Venom gland
Accessory venom gland Secondary venom gland Venom duct
Venom canal
Gambar 2. Skema anatomi ular berbisa (Warrell, 2005)
Terdapat dua famili ular berbisa yang yang diketahui hidup di Asia Tenggara yaitu famili Elapidae dan Viperidae. Famili Elapidae memiliki taring yang pendek yang tegak, meliputi jenis kobra (cobra), ular tedung (king cobra), ular cabe (Coral snake), ular welang (kraits), dan ular laut (sea snake). Famili Viperidae memiliki taring panjang yang biasanya terlipat ke arah dalam dan baru menegak saat akan menyerang. Terdapat dua sub-famili Viperidae yaitu Viperinae dan Crotalinae. Sub-famili Crotalinae juga dikenal dengan nama pit viper memiliki alat penginderaan khusus yang terletak di antara hidung dan mata yang dapat mendeteksi panas tubuh mangsanya (Warrell, 2005). Warrell (2005) dalam Guideline for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asian Region yang diterbitkan WHO menuliskan perihal racun ular mengandung lebih dari 20 konstituen yang berbeda terutama protein termasuk enzim dan polipeptida beracun. Kandungan racun yang menyebabkan efek serius antara lain: a. Enzim pro-koagulan yang menstimulasi pembekuan darah namun pada akhirnya menyebabkan darah tidak dapat membeku. Racun milik Russel’s
6
viper mengandung berbagai pro-koagulan yang mengaktifkan tahap-tahap mekanisme pembekuan darah dan membentuk formasi fibrin dalam aliran darah. Sebagian besar fibrin dirusak oleh sistem fibrinolitik tubuh dan dalam kurun 30 menit faktor pembekuan darah habis namun menyebabkan darah tidak dapat membeku karena kadar fibrinolitik yang tinggi. b. Hemoragin (zinc metalloproteinase) yang melukai dinding endotelium saluran darah dan menyebabkan hemoragi sistemik. c. Racun sitolitik dan nekrotik d. Hemolitik dan myolitik fosfolipase A2 yang merusak sel membran, endotelium, otot skeletal, sel syaraf dan sel darah merah. e. Pre-sinaptik neurotoxin adalah fosfolipase A2 yang melukai ujung syaraf, mula-mula
melepaskan
transmitter
asetilkolin
lalu
menghambat
pelepasannya. f. Post-sinaptik neurotoxin adalah polipeptida yang bersaing dengan reseptor asetilkolin di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis (Warrell, 2005). 3. Gigitan Ular Gigitan ular adalah cedera yang berupa luka karena tusukan taring dan terkadang dapat menyebabkan envenomasi. Envenomasi adalah proses dimana racun disuntikkan ke mangsa lewat gigitan atau sengatan hewan beracun (Chippaux, 1998). Sebagian besar jenis ular tidak berbisa dan biasanya membunuh dengan cara membelit dan meremukkan mangsanya, bukan dengan racun. Ular berbisa dapat ditemukan di setiap benua kecuali Antartika (Kasturiaratne, 2008).
7
Ular sering menggigit mangsanya saat berburu untuk melumpuhkannya dan sebagai bentuk pertahanan diri terhadap serangan predator. Penampilan fisik ular yang berbeda-beda menyebabkan tidak ada cara praktis bagi orang awam untuk mengidentifikasinya sehingga memerlukan perhatian ahli medis profesional (White, 2006). Dampak gigitan ular bervariasi tergantung beberapa faktor, diantaranya jenis ular, area tubuh yang digigit, jumlah racun yang disuntikkan, dan kondisi kesehatan korban. Perasaan takut dan panik sering terjadi setelah kasus gigitan ular dan dapat menyebabkan suatu karakteristik gejala yang dimediasi oleh sistem saraf otonom seperti jantung berdebar dan mual (Kitchens dan Van Mierop, 1987; Gold dkk., 2002). Gigitan ular tidak berbisa dapat menyebabkan cedera karena luka sobek dan infeksi dari gigi ular. Gigitan juga dapat memicu reaksi anafilaksis yang dapat berakibat fatal (Kitchens dan Van Mierop, 1987). Semua ular berbisa mampu menggigit tanpa menyuntikkan bisa ke tubuh korban mereka, kejadian ini disebut dry bite atau gigitan kering. Young dkk. (2002) menyatakan gigitan kering bisa terjadi bila ular menghadapi lawan yang terlalu besar bagi mereka. Kejadian gigitan kering juga mungkin terjadi karena pelepasan racun yang terlalu cepat sebelum taringnya menembus kulit korban. Kemungkinan terjadinya gigitan kering bervariasi pada tiap jenis. Sekitar 80% dari gigitan ular laut yang biasanya pemalu tidak mengakibatkan keracunan (Phillips, 2002), sementara hanya 25% gigitan Pit Viper yang tidak mengakibatkan keracunan (Gold dkk., 2002). Beberapa marga ular seperti ular derik, secara signifikan meningkatkan
8
jumlah racun yang disuntikkannya pada gigitan yang bertujuan sebagai pertahanan diri (Young dan Zahn, 2001). Seperti yang diutarakan Kitchens dan Van Mierop (1987), gejala yang paling sering muncul pada kasus gigitan ular adalah rasa takut yang luar biasa, panik, dan emosi yang tidak stabil sehingga dapat menyebabkan rasa mual dan muntah, vertigo, takikardia, dan pingsan. Gigitan ular yang tidak berbisa maupun gigitan kering dapat menyebabkan cedera yang parah pada korbannya. Cedera tersebut bisa terjadi pada kasus gigitan ular yang tidak ditangani dengan tepat sehingga menimbulkan infeksi. Gigitan ular juga dapat menyebabkan reaksi anafilaksis pada orang tertentu selain kemungkinan adanya mikroba yang berbahaya pada saliva dan taring ular, seperti Clostridium tetani penyebab tetanus. Sebagian besar gigitan ular memiliki kesamaan pada efek lokal yang berupa rasa nyeri serta peradangan pada bekas gigitan (Gold dkk., 2002). Gutiérrez dkk. (2007) menambahkan bahwa gigitan ular jenis viper dan kobra menimbulkan rasa sakit yang ekstrim disertai pembengkakan jaringan disekitarnya dalam kurun waktu lima menit. Pada area gigitan bisa terjadi pendarahan, melepuh, serta menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan. Gejala yang timbul semakin lama akan semakin berbahaya dan akan berkembang menjadi hipotensi, takipnea, takikardia, gagal ginjal, dan gagal saluran pernafasan. 4. Pengobatan Tradisional Gigitan Ular Pengobatan tradisional terhadap gigitan ular telah banyak dilakukan diseluruh belahan dunia. Meskipun banyak himbauan yang dikeluarkan terkait efek farmakologis yang belum terbukti secara ilmiah, namun Rahadian (2012)
9
mengungkapkan banyak orang yang lebih memilih pengobatan tradisional dengan alasan biaya dan kepercayaan. Penanganan alternatif terhadap gigitan ular juga disarankan oleh Alan Harvey dari University of Strathclyde di Glasgow. Dalam sebuah artikel di situs resmi Wellcome, Harvey (2000) menyatakan korban gigitan ular mungkin sudah meninggal atau menderita luka serius bila akses ke rumah sakit terhambat dan memakan waktu lama, sementara korban memerlukan penanganan dan anti racun sesegera mungkin karena dapat berakibat sangat fatal. Oleh karena itu, adanya penanganan alternatif terhadap gigitan ular diyakini akan sangat bermanfaat untuk diterapkan. Penelitian resmi tentang pengobatan tradisional terhadap gigitan ular di India telah mempublikasikan beberapa metode yang dapat digunakan dalam menangani kasus gigitan ular serta bahan-bahan yang digunakan. Latha dkk. (2008) dalam artikelnya di situs resmi Physician Byte menuliskan tentang tradisi pengobatan Kerala baik yang telah berhasil ditafsirkan secara keseluruhan maupun sebagian. Tradisi pengobatan ini didasari oleh prinsip-prinsip Ayurveda. Pengobatan ini melibatkan metode diagnosa dan perawatan klasik seperti Susurutha Samhitha dan Ashtangga Hridaya. Salah satu bentuk pengobatan gigitan ular oleh suku Kerala adalah Visha Vaidya yang juga dapat menangani gigitan beracun dari anjing dan sengatan kalajengking. Cain (2010) menulis tentang cara alternatif dalam menangani gigitan ular menggunakan karbon aktif yang berupa arang batok kelapa Penggunaan karbon
10
aktif sebagai agen penyaringan racun diterapkan dalam penanganan gigitan ular dengan melumurkan serbuk arang yang sudah dibasahi pada lubang bekas gigitan. 5. Metode Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 1988). Penelitian kualitatif dilakukan dengan cara observasi. Observasi yang dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah observasi partisipatif, yaitu peneliti terlibat dalam kegiatan informan seperti berkebun dan ikut serta dalam rapat adat (Sugiyono, 2012). Pengumpulan informasi dilakukan dengan teknik wawancara. Teknik wawancara yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu wawancara terstruktur, semi-terstruktur, dan wawancara terbuka (Sugiyono, 2012). a. Wawancara terstruktur adalah teknik wawancara dengan pola pertanyaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik wawancara ini akan menghasilkan data yang sangat tertata dan terpola. Teknik wawancara terstruktur umum digunakan dalam survey dan kuisioner b. Wawancara semi-terstruktur adalah teknik wawancara yang tidak memiliki pola pertanyaan yang tetap, namun peneliti telah memetakan jenis informasi apa yang ingin digali dari narasumber. Arah informasi yang ingin dikumpulkan dapat berubah disesuaikan dengan arah perkembangan penelitian c. Wawancara terbuka adalah teknik wawancara yang tidak memiliki arah topik yang jelas, sehingga sering digunakan untuk observasi umum dan mencari topik permasalahan dalam lingkup yang luas (Sugiyono, 2012).
11
Teknik pemilihan sampel yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah snowball sampling dan purposive sampling. Snowball sampling adalah teknik pemilihan sumber data yang awalnya sedikit kemudian menjadi besar jumlahnya sampai jenuh. Hal ini dilakukan karena jumlah sumber data yang awalnya sedikit itu belum mampu memberikan data yang memuaskan sehingga peneliti mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data, dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar seperti bola salju yang menggelinding lama-lama akan membesar. Purposive sampling adalah pemilihan sumber data dengan pertimbangan tertentu oleh peneliti, misalnya orang tersebut paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin memiliki otoritas yang memudahkan peneliti untuk menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2012). Lincoln dan Guba (1985) mengemukakan bahwa pengambilan sampel naturalistik
sangat
berbeda
dengan
pengambilan
sampel
konvensional.
Pengambilan sampel tersebut berdasarkan pertimbangan informasi yang diperoleh, bukan berdasarkan pertimbangan statistik, yang bertujuan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tapi tidak untuk digeneralisasi. Oleh karena itu, dalam penelitian naturalistik spesifikasi sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya. Menurut Sugiyono (2012) ciri-ciri khusus sampel naturalistik yaitu: a. Emergent sampling design, penentuan sampel dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung; b. Serial selection of sample units, penentuan sampel berkelanjutan sesuai pertimbangan kelengkapan data dan informasi yang diinginkan;
12
c. Continuous adjustment, penentuan sampel semakin terarah sejalan makin terarahnya fokus penelitian; d. Selection to the point of redundancy, penentuan sampel tidak terbatas sesuai dengan besarnya informasi yang dibutuhkan hingga data yang terkumpul dianggap jenuh. 6. Pembuatan Simplisia Simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonimb, 1995). Menurut Materia Medika jilid VI tahun 1995, secara umum simplisisa dibagi menjadi tiga golongan yaitu: a. Simplisia nabati ialah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. b. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian tubuh hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan dari hewan dan belum berupa zat kimia murni. c. Simplisia pelikan (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelikan yang belum diolah atau telah diolah secara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Penamaan simplisia menggunakan bahasa Latin ditetapkan dengan menyebutkan nama marga (genus), atau nama jenis (species) atau petunjuk jenis (specific epithet) tanaman asal diikuti dengan bagian tanaman yang dipergunakan. Ketentuan tersebut tidak berlaku pada simplisia yang diperoleh dari beberapa
13
macam tanaan yang berbeda-beda marganya maupun untuk eksudat tanaman (Anonimb, 1995). Terdapat beberapa dasar pembuatan simplisia dalam buku Cara Pembuatan Simplisia tahun 1985, antara lain: a. Simplisia dibuat dengan cara pengeringan, yaitu simplisia yang dibuat dengan cara pengeringan cepat pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang terlalu lama akan menyebabkan simplisia ditumbuhi kapang sementara pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan perubahan pada senyawa aktifnya. Oleh karena itu tebal perajangan simplisia perlu diatur agar tidak mengalami kerusakan pada proses pengeringan. b. Simplisia dibuat dengan cara fermentasi, proses fermentasi perlu diperhatikan agar tidak berkelanjutan ke tahap yang tidak diinginkan. c. Simplisia dibuat dengan proses khusus, yaitu simplisia yang dibuat dengan proses penyulingan, pengentalan eksudat nabati, pengeringan sari air dan proses khusus lainnya. d. Simplisia pada proses pembuatan memerlukan air, digunakan dalam proses pembuatan pati, talk dan sebagainya. Air yang digunakan harus bersih dan bebas dari kuman patogen. Penanganan pascapanen bahan baku dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan dan sortasi kering (Anonima, 1985).
14
a. Sortasi basah Sortasi basah yaitu proses memisahkan kotoran dan bahan asing lainnya dari bagian tumbuhan. Tanah mengandung banyak mikroba sehingga tahap pembersihan saat sortasi basah akan mengurangi jumlah kontaminan secara signifikan (Anonima, 1985). b. Pencucian Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran dan tanah yang masih menempel pada bagian tumbuhan, dilakukan di bawah aliran air agar kotoran yang terlepas tidak menempel lagi pada bagian tumbuhan. Simplisia yang mengandung senyawa yang mudah larut dalam air sebaiknya dicuci dalam waktu sesingkat mungkin (Anonima, 1985). c. Perajangan Perajangan yaitu memotong bagian tumbuhan dengan cara tertentu untuk mempermudah pengeringan, penyimpanan, dan pembuatan serbuk. Tanaman yang baru dipanen sebaiknya dijemur dahulu dalam keadaan utuh selama satu hari dengan sinar matahari untuk mengurangi pewarnaan akibat reaksi antara bahan dan logam pisau. Semakin tipis perajangan maka penguapan air semakin cepat, namun jumlah senyawa yang mudah menguap akan lebih banyak pula yang hilang sehingga mengubah komposisi senyawa dalam simplisia (Anonima, 1985). d. Pengeringan Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik sehingga simplisia tidak mudah rusak.
15
Reaksi enzimatik dapat dihentikan dengan cara pengurangan kadar air hingga kurang dari 10%. Ada beberapa cara pengeringan simplisia, diantaranya yaitu: pengeringan alamiah dan pengeringan buatan (Anonima, 1985). Pengeringan alamiah dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan panas sinar matahari langsung. Pengeringan ini dilakukan pada bahan tanaman yang relatif keras seperti kayu, kulit kayu, dan biji. Kelemahan teknik pengeringan ini adalah tidak ada kontrol pada suhu, kelembaban, dan aliran udara. Cara kedua adalah dengan diangin-anginkan dan tidak dipanaskan dengan sinar matahari langsung, digunakan untuk mengeringkan simplisia yang relatif lunak dan mengandung senyawa yang mudah menguap (Anonima, 1985). Pengeringan buatan dilakukan dengan bantuan alat pengering seperti oven. Cara pengeringan ini memiliki kelebihan dalam pengaturan suhu, kelembaban dan aliran udara. Pengeringan buatan juga menghasilkan mutu simplisia yang lebih baik karena pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan lebih cepat (Anonima, 1985). e. Sortasi Kering Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia kering. Pemisahan ini adalah tahap terakhir pembuatan simplisia sebelum simplisia siap untuk dikemas dan disimpan (Anonima, 1985).
16
7. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis adalah teknik pemisahan senyawa kimia di antara dua fase, yaitu fase gerak dan fase diam (Kartasubrata, 1987). Teknik tersebut masih digunakan untuk mengidentifikasi senyawa kimia karena pelaksanaannya lebih mudah dibandingkan kromatografi yang lain, murah, sederhana, waktu pengerjaan yang relatif lebih cepat, serta dapat mendeteksi beberapa komponen dalam waktu serempak (Hernani, 1999; Rohman, 2009). Pemisahan pada KLT akan optimal apabila penotolan sampel dilakukan dengan hasil bercak sesempit mungkin. Untuk mendapatkan hasil yang reprodusibel, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µL. Apabila jumlah sampel yang ditotolkan 2 – 10 µL, penotolan harus dilakukan secara bertahap dan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar dan Rohman, 2007). Pemisahan KLT umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati seluruh permukaan fase diam. Faktor retardasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya diperoleh dari rasio antara jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Nilai maksimum Rf adalah 1, yang berarti solut bermigrasi dengan jarak dan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum adalah 0 apabila solut tertahan pada posisi awal di permukaan fase diam (Rohman, 2009).
17
E. Keterangan Empiris Penelitian
dilakukan dengan harapan mendapatkan informasi terkait
pengobatan tradisional gigitan ular oleh suku Dayak Lundayeh, khususnya informasi tentang, 1. Jenis tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan tradisional gigitan ular 2. Profil metabolit sekunder tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan gigitan ular