I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pisang merupakan komoditas penunjang ketahanan pangan dan juga berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh negara beriklim tropik maupun subtropik. Sentra produksi pisang Indonesia terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara Barat NTB). Berbagai kultivar pisang dibudidayakan di Indonesia antara lain Pisang Raja, Pisang Barangan, Pisang Jambe, Pisang Raja Sere, Pisang Kepok, Pisang Bali, Pisang Mas, Pisang Lampung, Pisang Ambon (Anonim., 2007). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura sejak tahun 2011-2015 luas panen pisang mengalami penurunan, dan pada tahun 2014-2015 luas panen menurun dari 100.600 ha menjadi 82.426 ha atau terjadi penurunan 18,86%. Produksi pisang sejak tahun 2011-2015 mengalami fluktuasi, dan pada tahun 2011-2013 mengalami penurunan dari 6.132.695 ton menjadi 5.359.115 ton, tetapi pada tahun 2014 produksi meningkat menjadi 6.862.558 ton, namun terjadi penurunan lagi pada tahun 2015 menjadi 6.781.202 ton, sedangkan persentase penurunan produksi tahun 2015 terhadap produksi tahun 2014 sebesar 1,19%. Sebagai salah satu jenis tanaman hortikultura, produksi pisang menduduki peringkat ke lima dunia setelah tanaman pangan. Berdasarkan jumlah total produksi nasional, Indonesia menempati urutan ke enam dunia setelah India, Cina, Filipina,
Ekuador, dan Brazilia, tetapi volume dan nilai 1
2
ekspor pisang Indonesia jauh di bawah Thailand dan Vietnam. Tahun 2012 Indonesia menjadi urutan ke delapan setelah India, Uganda, Brazilia, Ekuador, China, Filipina dan Kolombia (Anonim., 2015). Peningkatan hasil dan kualitas pisang memiliki beberapa kendala, salah satu yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi pisang adalah layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Layu fusarium dilaporkan sejak tahun 1980 di Indonesia, dan secara cepat menyebar di beberapa provinsi. Hampir semua kultivar pisang sangat rentan
terhadap serangan
Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang menyebabkan kematian, sehingga menimbulkan kerugian besar (Ploetz, 2001). Layu fusarium dapat menurunkan produksi, oleh karena itu dilakukan upaya pengendalian dengan berbagai cara, salah satu pengendalian yaitu dengan menggunakan senyawa kimia beracun terhadap patogen. Bahan kimia (fungisida) sangat baik untuk menghambat perkecambahan, pertumbuhan dan multiplikasi atau langsung mematikan patogen tersebut. Beberapa bahan fungisida yang berspektrum luas, dapat meracuni seluruh atau sebagian jenis patogen, namun ada juga yang hanya mempengaruhi beberapa atau satu patogen tertentu. Fungisida sistemik secara betahap menggantikan fungisida kontak, karena efektivitas dan aktivitasnya mampu bertahan lama untuk melindungi tanaman dari satu atau banyak penyakit. Penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah seperti F. oxysporum f.sp. cubense, apabila patogen sudah beradaptasi di tanah, pengendalian dengan fungisida tidak memberikan hasil yang memuaskan (Agrios, 2005).
3
Penggunanaa fungisida sistemik secara terus menerus dinilai tidak efektif, karena
beresiko
musnahnya
terhadap
mikroorganisme
pencemaran antagonis,
lingkungan terjadinya
yang
mengakibatkan
resistensi
yang
akan
memunculkan ras-ras baru dari patogen yang lebih virulen, dan adanya residu pestisida dalam tanaman yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Selain itu harga fungisida juga cukup mahal dipasaran, sehingga menyebabkan biaya produksi akan meningkat. Penggunaan varietas tahan sangat baik, namun kultivar pisang yang dibutuhkan di daerah berbeda-beda, sehingga terkadang tidak selalu sesuai dengan harapan usaha tani. Di samping itu kultiuvar pisang yang tahan terhadap penyakit sering tidak disukai konsumen. Untuk itu perlu upaya pengendalian lainnya, seperti dengan pengendalian hayati. Beberapa pengendalian dengan menggunakan agens pengendalian hayati telah dilakukan terhadap layu fusarium pada pisang. Djatnika et al. (2001; 2003) dalam percobaannya menemukan bahwa pencelupan bibit pisang dalam suspensi Pseudomonas fluorescens strain MR 96 dan Gliocladium sp. dapat mengurangi penyakit layu dari 62,5 % menjadi 55,6 %. Upaya penggunaan Fusarium nonpatogenik, Burkholderia cepacia dan pemberian Trichoderma sp. ke tanah 10 hari sebelum penanaman dapat menghambat perkembangan patogen dan mengurangi intensitas layu fusarium (Wibowo et al., 2002; Widono et al., 2003; Djatnika & Nuryani, 1992; Sulistyorini et al., 1997). Upaya pengendalian hayati terhadap layu fusarium pisang ternyata belum memberikan hasil seperti yang diharapkan, karena penekanan intensitas penyakitnya masih rendah, disamping itu kebanyakan penelitian masih dalam skala rumah kaca. Jamur endofit yang berada di dalam jaringan tanaman tingkat tinggi dan tidak menimbulkan gejala penyakit,
4
akhir-akhir ini merupakan subjek penelitian yang menarik sebagai agens biologi yang aktif (Selim et al., 2012). Penekanan intensitas penyakit yang masih rendah dengan pemanfaatan agens pengendalian hayati masih perlu dikembangkan, sehingga diperlukan upaya pencarian agens hayati lain yang lebih efektif di antaranya jamur endofit. Mikroorganisme
endofit
adalah
mikroorganisme
yang
menginfeksi
tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit di dalam jaringan tanaman (Carroll, 1986; 1988). Bill (1996), mendefinisikan jamur endofit adalah koloni jamur dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala penyakit yang jelas atau kerugian yang nyata terhadap inang. Mikroorganisme endofit dapat diisolasi dari bagian jaringan tanaman sehat seperti batang, daun, bunga, buah, dan akar (Harman et al., 2004). Jamur endofit lebih banyak diperoleh dari isolasi tanaman yang berasal di lapangan dibanding tanaman yang berada di rumah kaca (Pimentel et al., 2006). Setiap tanaman tingkat tinggi mengandung beberapa mikroba endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder (Tan et al., 2001).
Untuk kepentingan
bioteknologi jamur endofit berpotensi sebagai sumber metabolit sekunder (Manddau et al., 2009; Dang et al., 2010) dan sebagai agens pengendalian hayati (Sudantha & Abadi, 2007; Ting et al., 2010; Ghahfarokhi & Goltapeh, 2010). Keberadaan jamur endofit di dalam jaringan tanaman dapat memberikan keuntungan tertentu pada tanaman inang, yaitu mampu menghasilkan enzim pendegradasi selulosa dan kitin dari patogen (Carroll, 1991). Salah satu jamur endofit yang sering ditemukan dan mampu berperan sebagai agens pengendali hayati adalah Trichoderma spp. Jamur ini dapat
5
menekan perkembangan penyakit pada tanaman terutama patogen tular tanah melalui mikoparasitisme, kompetisi dan antibiosis, yang secara langsung dapat juga memacu pertumbuhan tanaman serta merangsang respons ketahanan terhadap penyakit (Holmes et al., 2004; Samuels, 2006; Hanada et al., 2008; Sriwati et al., 2011; Soesanto et al., 2011; ). Beberapa penelitian lain telah membuktikan bahwa Trichoderma endofit dapat menghambat pertumbuhan Rhizoctonia solani dan F. oxysporum yang menginfeksi tanaman tomat (Rini & Sulochana, 2007), F. oxysporum penyebab penyakit busuk semai, busuk pangkal batang, dan busuk akar pada jagung (Orole & Adejumo, 2009); F. oxysporum f.sp. cubense ras 4 penyebab penyakit layu pada pisang (Ting et al., 2010), dan Gaeumannomyces graminis var. tritici penyebab penyakit busuk akar pada gandum (Ghahfarokhi & Goltapeh, 2010). Trichoderma endofit terbukti mampu menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan perkembangan patogen. Trichoderma ovalisporum yang diisolasi dari batang kakao teridentifikasi menghasilkan beberapa senyawa antara lain, senyawa koninginin A (Bailey et al., 2009), adenine ribonucleoside dan cytosine ribonucleoside (Dang et al., 2010). Jamur endofitik juga mampu menghasilkan beberapa tipe metabolit volatile (butane 2-methyl, 1-butanol 3methyl, 1,4-methanol-1Hcyclopropo[d] pyridazine , β-butyrolactone dan 2butenedinitrile).
Metabolit volatile ini mampu menghambat pertumbuhan
Fusarium oxysporum f.sp. cubense ras 4 secara in vitro (Ting et al., 2010). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah diuraikan di muka, maka Trichoderma endofit berpotensi besar untuk digunakan dalam pengendalian hayati terhadap layu fusarium pisang.
6
Beberapa jamur dan bakteri endofit juga telah diisolasi dari jenis pisang liar yang berpotensi menekan patogen penyebab penyakit pada pisang. Selain itu kemampuan antimikroba dari jamur dan bakteri endofit tersebut memiliki daya penekanan yang lebih tinggi (Alamsjah, 2006). Penelitian tersebut masih berupa penelitian in vitro, dengan demikian perlu dikaji potensi Trichoderma endofit asal pisang budidaya, sebagai agens pengendalian hayati baik dengan menggunakan isolat maupun filtrat pertumbuhan dan juga untuk mengetahui mekanisme pengendalian layu fusarium pada pisang.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Memperoleh Trichoderma endofit yang mempunyai kemampuan antagonisme terhadap Fusarium osysporum f.sp cubense (Foc) secara in vitro. 2. Mengidentifikasi spesies Trichoderma endofit yang mampu menghambat Foc secara in vitro. 3. Memperoleh Trichoderma endofit yang berpotensi untuk mengendalikan layu fusarium pisang. 4. Mempelajari peranan filtrat pertumbuhan Trichoderma endofit terhadap pertumbuhan Foc. 5. Mempelajari mekanisme kerja Trichoderma endofit dalam mengendalikan layu fusarium pisang.
7
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengendalian layu fusarium yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan Trichoderma endofit. Secara ilmiah memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang mekanisme kerja Trichoderma endofit dalam pengendalian layu fusarium pisang.
D. Kebaruan Penelitian
Layu fusarium yang disebabkan oleh Fusarium osysporum f.sp cubense (Foc) masih merupakan salah satu penyakit penting pada pisang yang meskipun telah banyak dilakukan penelitian, namun cara pengendalian yang efektif, efisien, dan aman tetap belum ditemukan. Penelitian dengan berbagai agens pengendalian hayati terhadap Foc kebanyakan masih bersifat in vitro dan belum memberikan hasil yang memuaskan. Disamping itu, Foc dapat bertahan lama di dalam tanah, sehingga penggunaan fungisida tidak dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan, terutama bila patogen sudah beradaptasi dengan lingkungan di dalam tanah. Jamur endofit dapat melindungi tanaman melalui tiga cara yaitu kompetisi antara jamur endofit dengan patogen, kemampuan jamur endofit untuk menghasilkan berbagai produk seperti fitoaleksin, dan meningkatkan ketahanan tanaman melalui induced resistance, namun bagaimana mekanismenya belum diketahui (Selim et al., 2012). Penelitian tentang Trichoderma endofit sebagai
8
agens pengendalian hayati patogen tanaman menjadi perhatian peneliti karena selain sebagai agens pengendali terhadap patogen,
juga berperan memacu
pertumbuhan tanaman (Tayung & Jha, 2010; Chaverri et al., 2003). Layu fusarium pada pisang yang disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. cubense merupakan penyakit yang sangat menghancurkan tanaman pisang, karena patogen bersifat tular tanah dan mampu bertahan di dalam tanah dalam waktu yang cukup panjang. Pengendalian terhadap penyakit layu fusarium pada pisang menggunakan agens pengendali hayati telah dilakukan, salah satu di antaranya dengan
Trichoderma
yang berasal
dari
rizosfer.
Pengendalian
dengan
menggunakan agens Trichoderma endofit terutama yang diisolasi dari akar pisang belum
dilakukan di Indonesia, dan juga mekanisme pengendalian penyakit
tersebut belum dilaporkan. Kebaruan
dari
penelitian
ini
Trichoderma endofit dari akar pisang
adalah
dilakukan
eksplorasi
jamur
selanjutnya dilakukan identifikasi
Trichoderma spp. endofit tersebut sampai pada spesies, kemudian dipelajari mekanisme pengendalian Trichoderma endofit dalam mengendalikan penyakit layu fusarium, sehingga dapat digunakan sebagai dasar aplikasi untuk pengendalian F. oxysporum f.sp. cubense pada pisang. Isolat Trichoderma spp. endofit merupakan hasil isolasi dari akar pisang yang telah dibudidaya. Kegiatan tersebut belum pernah dilakukan.