I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Potensi peternakan di Timor-Leste terutama produksi ternak sapi Bali (Bos javanicus) atau karau vaca1 sangat menjanjikan, sehingga upaya pemanfaata n sumberdaya peternakan dapat dikatakan sebagai modal dasar pertumbuha n ekonomi yang berkesinambungan.
Menurut data yang dipublikasikan oleh
Direccao Nasional Agropecuaria e Veterinaria Timor-Leste dalam Memoria Institusional2 , jumlah populasi ternak sapi Bali mulai dari tahun 2005 sampai 2010 terus meningkat yaitu ±136.446 ekor pada tahun 2005 menjadi 161.654 ekor pada tahun 2010 dan secara keseluruhan mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product sebesar 4.5% pada tahun 2012. Namun, kegiatan peternakan di Timor-Leste masih didominasi oleh smallholder cattle farmers dengan rata-rata sebesar 69,41%. Smallholder cattle farmers bercirikan ekstensif, tradisional, berskala kecil (memiliki sapi berkisar 1 s/d 70 ekor), modal terbatas, produksi ternak rendah, jumlah kematian ternak tinggi, pengolahan pakan tidak teratur dan akses tidak memadai. Di samping ciri - ciri di atas, kegiatan mereka sebagai peasant sangat tinggi. Mereka beternak karena didorong kuat oleh keinginan untuk menjadikan ternak sebagai jaminan sosial dan aset dalam memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan kelompok sosial, diantaranya sebagai tabungan untuk biaya sekolah, tabungan
1 Karau vaca adalah nama bahasa tetum yang digunakan untuk sapi bali. Nama ilmiah sapi bali adalah bos javanicus. Sapi bali ini telah berkembang di T imor-Leste sejak pendudukan Portugis di T imor-Leste. 2 Direccao Nasional Agro Pecuaria e Veterinaria adalah Direktorat Nasional Peternakan dan Kesehatan Hewan yang berperan dalam peningkatan produksi peternakan di T imor Leste. Memoria instituisional merupakan catatan hasil capaian program 5 tahun dari tahun 2007-2012.
1
untuk biaya kesehatan, materi ritual lia adat 3 , materi belis4 , modal barter ketika gagal panen dan sarana transportasi serta alat penggarap lahan pertanian. Mereka sadar bahwa mereka memiliki keterbatasan akses akan sumber produksi sangat rendah tetapi kegiatan mereka sebagai manusia sosial sangat tinggi seperti yang disebutkan oleh pakar sosiologi dan antropologi antara lain, peasant’s rationalities oleh Popkins (1979), Safety first/risk minimization oleh Scott (1983) dan Share poverty oleh Geerzt (1986). Uraian paragraf di atas menjelaskan fakta yang tidak dapat dihindari dalam lingkungan masyarakat kolektif seperti di Timor-Leste. Namun pemberdayaan dan pembangunan terus diupayakan oleh pemerintah demi tercapainya better farming, better bussines dan better living khususnya kuantitas hasil produksi maupun kualitas manusia sebagai aktor, seperti yang tertuang dalam konsep empowerment yang dikemukakan oleh DANIDA (2004) dalam Duveskog (2009), “…Empowerment is the process of increasing the capacity of individuals or groups to make choices and to transform those choices into desired actions and outcomes….” Untuk mencapainya, maka dibutuhkan aplikasi model penyuluhan yang berprinsip farmers-first sesuai prinsip yang disebutkan dalam The National Extension Strategy of Timor-Leste tahun 20085 . Prinsip-prinsipnya antara lain; “… Equity,
Efficiency, Decentralization, Farmers-led extension, Groups, Strong extension-research linkage, Training of extension personnel, Appropriate extension methodology, Integrated extension support to farmers, Coordinated extension activities dan Integrated environmental support….”.
3 Lia adat adalah istilah tradisional untuk seremoni-seramoni yang dianggap sakral. 4 Belis diartikan sebagai mahar. Dalam tradisi T imor-Leste, belis sama artinya dengan mahar yang dipakai seorang lakilaki untuk meminang seorang wanita. Belis merupakan tradisi penghargaan seorang laki-laki terhadap seorang wanita sebelum dijadikan istri yang sah. 5 Kebijakan sistem penyuluhan pertanian yang diterbitkan pada tahun 2008
2
Bertolak dari ulasan praktek penyuluhan harus berprinsip farmers-first, agar tidak terciptanya kesejangan sosial yang lebih luas, maka Australian Centre for International Agricultural
Research6
melalui
program
Timor-Leste
Smallholder Cattle Project 7 mencari alternatif pelayanan penyebaran inovasi dengan model pendekatan belajar bersama, interaksi dan sharing dalam cattle farmer group dengan kekuatan collective learning and action. Dimana merupakan sumber stimulasi proses pemberdayaan yang bersifat dialogis bukan monologis, tidak mengajari tetapi memfasilitasi proses belajar untuk bertindak kolektif dan tidak lagi terbatas untuk mengubah perilaku, tetapi mengakomodasi kolektifitas dalam mengambil keputusan beradaptasi terhadap inovasi yang dianjurkan oleh stakeholder. Collective learning and action mengutamakan manusia atau pemilik ternak sebagai pihak yang memanfaatkan inovasi yang didifusikan dalam proses belajar. Peternak adalah orang dewasa yang telah mempunyai konsep diri, pengalaman belajar, dan kesiapan belajar untuk memperbaiki kualitas hidup yang lebih baik. Hariadi (2009) dalam pidato pengukuhan Guru Besar di UGM mengatakan bahwa model penyuluhan yang dinamis dan tidak menganda lka n inovasi baru sebagai sistem bank akan dapat mengubah peternak dari yang semula berprinsip safety first menjadi profit oriented (Scott, 1983). Penyuluhan yang sejati bukanlah penyuluhan ala sistem bank, melainkan penyuluhan yang bersifat
6 Australian Centre For International Agricultural Research-(Aciar) adalah Pusat Penelitian Pertanian International Australia 7 Timor-Leste Smallholder Cattle Project adalah Program Penelitian dan Pengembangan Inovasi Tata Laksana Pemeliharaan Ternak di T imor-Leste untuk peningkatan produksi ternak sapi Bali
3
dialogis yang mengutamakan peternak sebagai subjek yang “sadar akan” bukan sebagai objek dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di lapangan. Menurut Wastutiningsih (2011), saat ini adalah saat untuk menerapkan farmer-led-extension. Peternak bukan lagi sebagai objek tetapi sebagai subjek yang mampu
mengolah
sumber daya lokal yang tersedia dan mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapi di lapangan secara sadar. Pandangan ini didukung oleh Freire (2001), yang menyatakan bahwa subjek dapat bebas memerankan aksinya secara sadar dan mampu merekonstruksi tatanan sosial dalam pembebasan dirinya sebagai individu yang sejati. Lebih lanjut, Freire (2005) mengatakan bahwa pembelajaran dapat dirancang secara bebas sesuai kemampuan diri berdasarkan prinsip, seperti: tidak ada individu yang dapat mengajar individu lain, individu tidak dapat belajar sendiri, dan individu harus belajar dan bertindak bersama-sama di dalam lingkungan mereka sendiri. Dengan demikian, collective learning and action tidak hanya sekedar individu dapat mengajar individu lain, melainkan setiap individu harus belajar untuk bertindak bersama dan berinteraksi dengan memperhatikan nilai-nilai sosial selayaknya masyarakat pada umumnya dalam lingkungan sosial tertentu. Hal ini menurut Pe. Wiryono (1999), penyuluhan pertanian tidak hanya sekedar proses belajar mengajar tetapi juga sebagai wadah untuk mempromosikan nilai-nila i dalam masyarakat dan mengembangkannya sesuai dengan perkembangan jaman sehingga, mampu menciptakan peternak sebagai juru ternak, peternak sebagai pengelola yang profesional dalam merealisasikan peningkatan kuantitas hasil
4
produksi dan kualitas manusia sebagai aktor pembangunan yang berkelanjutan di Timor-Leste. Gambaran-gambaran di atas menunjukkan bahwa model penyuluhan yang lebih humanis dapat memaksimalkan dan menghasilkan perubahan di masa mendatang.
Model penyuluhan berprinsip
farmers-first merupakan langkah
keterlibatan peternak untuk bertindak dan menentuka n arah perubahan yang diingikan. Ray (1998) menggemukakan bahwa penyuluhan untuk suatu perubahan memiliki sebelas prinsip, antara lain: prinsip perbedaan budaya, prinsip akar rumput, prinsip pengetahuan lokal, prinsip belajar sambil melakukan, prinsip kekeluargaan, prinsip adaptasi, prinsip kepemimpinan, prinsip kepuasan, prinsip partisipatori, prinsip kohesivitas, dan prinsip evaluasi.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yakni memperbaiki kuantitas produksi dan kualitas manusia dalam proses pemberdayaan dibutuhkan aplikasi model penyuluhan yang berprinsip farmers-first yakni, partisipasi bottom-up, kerjasama yang sinergis, tidak hanya rona deit hau haluha, tetapi hare no partisipa hau hanoin8 terhadap tahapan proses difusi inovasi seperti yang dikemukan oleh Van de Fliert (2014), “...............A monologic approach typical for the one-way, top-down models associated with transfer of technology would not be able to accommodate such processes........” “.......To induce meaningful change benefiting all parties concerned, a people’s orientation allowing involvement of communities at all stages of planning, 8 Rona deit hau haluha, hare no partisipa hau hanoin dalam bahasa Indonesia dapat diterjemakan menjadi “Mendengar saja akan lupa, ketika melihat dan berpartispasi akan terus ingat”. Ini merupakan moto yang lahir sejak adanya model penyuluhan partisipasi.
5
implementing and evaluating the development process has become The preferred mode of action............” Oleh karena itu, sejauh mana collective learning and action berfungsi dan memberikan hasil dalam proses pemberdayaan, maka rumusannya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana collective learning and action dalam proses adaptasi terhadap inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali? 2. Bagaimana perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan sebelum dan sesudah collective learning action dalam proses adaptasi terhadap inovas i pemeliharaan ternak sapi Bali? 3. Apakah faktor-faktor seperti penyuluhan dialogis, komunikasi interaktif, gaya kepemimpinan,
akses informasi dan sarana produksi, self-efficacy serta
motivasi berpengaruh terhadap proses adaptasi terhadap inovasi pemelihara a n ternak sapi Bali?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji collective learning and action dalam proses adaptasi terhadap inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali, 2. Untuk mengetahui dan menganalisis perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan sebelum dan sesudah collective learning and action dalam proses adaptasi terhadap inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali, dan
6
3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses adaptasi terhadap inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali.
1.4. Manfaat dari hasil penelitian
Manfaat Penelitian ini dibagi dalam 3 kategori berdasarkan
kegunaannya, yaitu: 1. Kegunaan praktis, melalui ‘collective learning and action’ sebagai model penyuluhan dialogis dapat memberikan efek peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam mengambil keputusan tentang tawaran suatu inovas i baru di bidang pertanian dan peternakan, 2. Kegunaan strategis, diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan tolak ukur kebijakan model penyuluhan Timor-Leste dalam menfasilitasi petani-peternak secara khusus dan masyarakat secara umum untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.
1.5.
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang kajian collective learning and action sebagai model penyuluhan dialogis merupakan penelitian baru. Penelitian ini menggunaka n batasan dan definisi operasional yang benar-benar praktis, karena di dalam penelitian ini peneliti hanya melakukan kajian tentang collective learning and action sebagai model penyuluhan dialogis dan faktor-faktor yang diduga memengaruhi adaptasi terhadap inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali di TimorLeste.
7
Keaslian penelitian ini terletak pada beberapa hal. Pertama, penelitian ini hanya mengkaji collective learning and action dengan learning by doing dan adaptabilitas. Kedua, penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebelum dan sesudah collective learning and action sebagai model penyuluhan dialogis dalam beradaptasi dengan inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali. Ketiga, penelitian ini dirancang untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung faktor-faktor seperti: penyuluhan dialogis, komunikasi interaktif, gaya kepemimpinan Liurai9 akses, Self-efficacy dan motivasi terhadap adaptasi terhadap inovasi pemeliharaan ternak sapi Bali. Penelusuran beberapa variabel penelitian yang berpengaruh terhadap perilaku individual mulai dari tahun 1998 sampai dengan 2014 tertera dalam tabel berikut ini:
9 Liurai adalah seorang raja kecil yang dikenal sejak zaman dahulu. Pada perkembangannya, liurai dianggap sebagai tokoh panutan bagi masyarakat di lingkungannya. Oleh karena itu, setelah kemerdekaan liurai dipilih secara demokratis untuk dijadikan pemimpin formal masyarakat dalam lingkungannya atau dikenal sebagai kepala desa.
8
Tabel 1.1.Matriks Penelitian Terdahulu
Variabel-variabel tersebut di atas merupakan variabel yang umumya berpengaruh terhadap perilaku individu Sumber: Perpustakaan Sekolah pascasarjana UGM 2014
9