1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Di sepanjang sejarah peradaban manusia, kewirausahaan atau kewiraswastaan terbukti mampu menggerakkan perekonomian suatu masyarakat, bangsa atau negara. Jalan ini pula yang telah melahirkan bangsa-bangsa besar, maju, mapan dan makmur secara ekonomi. Jepang dan Singapura adalah contoh nyata negaranegara yang dapat menggambarkan keadaan negeri miskin sumberdaya alam, tetapi mampu membangun diri menjadi negara-negara kaya yang rakyatnya hidup makmur. Kekayaan mereka ini diperoleh dari hasil kerja keras masyarakatnya yang berkualitas, sangat berbeda artinya dengan kekayaan yang ada pada negara-negara lain yang amat kaya, tetapi semata-mata berasal dari kekayaan alam. Negara-negara Arab di Timur Tengah serta sebagian negara Afrika, disebut “negara petro – dolar” karena kekayaan mereka yang melimpah berasal dari penambangan minyak. Sementara Jepang dan bangsa Singapura berhasil membangun sistem ekonominya melalui peranan kelas menengahnya sebagai kaum wiraswastawan (entrepreneur) (Drucker, 1985). Rachbini (2001) menjelaskan bahwa proses lepas landas (take off) masyarakat Jepang adalah contoh klasik yang sangat jelas dari kerangka pemikiran Rostow tentang peranan kaum entrepreneur. Menurut Rostow, dalam masa transisi proses lepas landas suatu bangsa, kesiapan sumberdaya manusia yang ditandai dengan lahirnya kelas menengah kaum entrepreneur dinilai
paling menentukan. Bagi
Rostow, para entrepreneur adalah pelopor, bahkan ujung tombak Restorasi Meiji di Jepang, ditandai
keberhasilan.
dengan munculnya kelas menengah kaum
entrepreneur yang populer disebut “Samurai”.
Kelompok kecil ini hadir dalam
masyarakat Jepang dengan eksistensi dan fungsinya sendiri dalam proses pembangunan ekonomi. Mereka pelopor karena kesiapannya untuk menerima dan memakai inovasi, bahkan menciptakan inovasi dalam metode-metode baru. Kelompok ini juga mempunyai peranan sebagai katalisator dan penunjang perkembangan arus investasi sehingga ikut memperkuat perekonomian bangsanya.
2
Harvey Leibenstein (dalam Rachbini, 2001) menjelaskan pentingnya peranan kaum entrepreneur sebagai pemacu kelesuan pasar. Failure market (pasar yang sakit) adalah tantangan baginya, dengan sikap berani kondisi pasar bagaimanapun menjadi arena jelajah
yang harus dikuasainya, meskipun penuh resiko.
Jadi
kepeloporan kaum entrepreneur terlahir bukan karena terdapat peluang saja, tetapi juga karena menemui kondisi pasar dan peluang yang sempit, kemudian menciptakan kondisinya menjadi lebih baik. Kelas menengah seperti itu perlu diciptakan, karena dalam setiap usaha atau bisnis yang dilakukan oleh kalangan ini biasanya akan mendatangkan efek ikutan (multy playing effect) berupa terserapnya tenaga kerja dan sumberdaya ekonomi, serta rentetan usaha lainnya. Semua seperti terkoneksi membentuk suatu rantai, jejaring, atau bahkan suatu sistem yang saling terkait (interdependensi), dan bersama-sama menggerakkan roda perekonomian. Menurut Surjohadiprojo dalam Rachbini (2001), tanpa kelahiran atau usaha untuk melahirkan kelas ini, kemajuan akan sulit diraih, khususnya dalam rangka memasuki arena pasar yang bersaing sangat ketat di dunia internasional. Namun melahirkan kelembagaan dan sikap entrepreneurship bukanlah hal mudah bagi suatu bangsa. Tidak mudah melahirkan kaum Samurai di Jepang, kaum Parsi di Timur Tengah, Yahudi dan lainnya.
Dalam sejarah ekonomi, kelahiran
kelompok-kelompok ini merupakan pertanda kebangkitan ekonomi suatu bangsa menuju era modern dan maju. Bagi masyarakat Indonesia, terdapat beberapa kendala yang selama ini hadir sebagai penghambat utama ketika seseorang
ingin memulai karir baru sebagai
seorang wirausahaan. Kendala-kendala tersebut pada dasarnya bersifat teknis dan non teknis. Hambatan teknis terdiri dari masalah-masalah seperti menentukan bidang usaha, bagaimana cara memperoleh modal, bagaimana kiat memasarkan produk, dan sebagainya. Sedangkan kendala yang sesungguhnya yang lebih bersifat fundamental adalah kendala non teknis, yaitu hambatan-hambatan mental dan cara berpikir (mindset), hambatan inilah yang banyak mewarnai kasus-kasus kewirausahaan di kalangan generasi muda Indonesia.
3
Menurut Swasono dalam Riyanti (2003), kualitas kewirausahaan di Indonesia secara umum dapat dikatakan imferior, hal ini tidak terlepas dari ciri dan kualitas manusia Indonesia sendiri, misalnya sangat jarang orang Indonesia yang achievement oriented, dan lebih banyak yang status oriented. Selanjutnya Swasono mengatakan, pada umumnya masyarakat Indonesia memiliki ciri; berorientasi pada masa lalu, menggantungkan diri pada nasib, konformis, berorientasi pada atasan, meremehkan mutu dan tidak teliti dan tidak sistematik, tidak percaya diri, tidak disiplin, suka mengabaikan tanggung jawab, munafik, feodal, percaya takhayul, berwatak lemah (terutama lemah terhadap uang), tidak hemat (konsumtif), kurang ulet, manja dan hidup santai, terlalu fleksibel, kurang inovatif, kurang waspada (mudah merasa aman), sok kuasa (haus kekuasaan), mencampur adukan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, berlagak ramah (friendly) padahal sebenarnya menghamba (servile), berlagak wajar-diri (low profile) padahal sebenarnya lemah (soft). Oleh karena itu, mengembangkan kewirausahaan di Indonesia seharusnya dimulai dengan pembangunan manusianya terlebih dulu, yaitu dengan cara merobah paradigma, cara/pola pikir dan mengembangkan sikap mental yang siap dan mampu bersaing, dan
berkewirausahaan. (entrepreneurship).
Hal ini sesuai dengan
pendapat Rachbini (2001) bahwa untuk membangun suatu bangsa, sumberdaya manusia dinilai paling menentukan. Kesiapan itu
kesiapan
biasanya ditandai
dengan lahirnya kelas menengah kaum entrepreneur. Kelompok ini mempunyai peranan sebagai katalisator dan menunjang perkembangan arus investasi sehingga ikut memperkuat pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung. Studi Mayrowani dan Ariningsih (1998) menemukan bahwa faktor penting yang mempengaruhi perkembangan kewirausahaan adalah faktor manusia yang meliputi: kepribadian pelaku usaha, pendidikan, lingkungan, pengalaman,
dan
kemampuan memperoleh uang, nilai sosial, budaya, dan peluang yang ditentukan oleh lingkungan,
rangsangan ekonomi seperti peluang pasar, keuntungan yang
diperoleh, permintaan yang bersifat elastis, iklim usaha dan peraturan pemerintah. Studi Riyanti (2003) menemukan bahwa kepribadian entrepreneur merupakan faktor
4
utama, menyusul sesudahnya faktor kemampuan, faktor teknologi, dan faktor lain. Sifat kepribadian yang paling banyak dibahas oleh para ahli dalam kaitan dengan wirausaha, adalah sifat kreatif dan inovatif. Berangkat dari hal-hal di atas, maka studi/kajian pembentukan atau pengembangan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) dengan berbagai pendekatan teori perlu terus dikembangkan. Dari kajian-kajian tersebut diharapkan bisa dihasilkan suatu ide atau inovasi baru yaitu “strategi pembentukan/pengembangan jiwa entrepreneur (entrepreneurship)” dalam rangka pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah Penelitian Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mendorong dan mendukung perubahan paradigma cara berpikir seseorang hingga berorientasi kewirausahaan, di antaranya adalah melalui; “komunikasi-interaksi”, baik dengan lembaga pendidikan dan pelatihan (formal maupun informal); interaksi dengan orang-orang dan atau lembagalembaga yang bersifat kewirausahaan; dan melalui interaksi budaya baik dalam artian luas maupun spesifik (budaya kewirausahaan dalam suatu masyarakat atau dalam sebuah perusahaan). Perusahaan KemChicks adalah satu organisasi bisnis yang memenuhi kriteria di atas. KemChicks merupakan salah satu unit usaha dari anak perusahaan konglomerasi yang dimiliki oleh konglomerat Bob Sadino, swalayan yang awalnya hanyalah merupakan outlet bagi produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaanperusahaan induknya yaitu PT. Boga Caturrata, PT. Kemang Food Industries dan PT. Kem Farm Indonesia. Namun seiring dengan perkembangannya, KemChicks yang sekarang tidak lagi sekedar outlet bagi perusahaan induknya, tapi sudah merupakan unit usaha yang berdiri sendiri dan bergerak dibidang retail yang menjajakan tidak kurang dari 18.000 jenis barang. Di samping menjual produk dari perusahaan sendiri, juga menjual produk-produk dari perusahaan lain (Sadjad, 2002).
5
Pemilik perusahaan Bob Sadino dapat dikatakan sebagai entrepreneur sejati, Bob memulai usahanya dari dasar – dari nol sekali, tanpa modal finansial, tanpa ilmu dan pengalaman dibidang usaha yang digelutinya, tanpa dukungan baik dari perorangan maupun lembaga-lembaga keuangan. “Hanya bermodal keyakinan dan kerja keras.” Namun Bob sudah membuktikan bahwa tanpa semua itu, ia bisa sukses seperti sekarang. Pada beberapa kesempatan, publik bisa menyaksikan penampilannya dalam memberi kuliah umum tentang kewirausahaan baik di lembaga-lembaga pendidikan maupun melalui media masa. Peneliti sendiri adalah salah seorang yang pernah mengikuti kuliah umum dan mendapat “pencerahan” dari mengikuti perkuliahan singkat tersebut. Studi ini dimulai dengan pemikiran, jika pertemuan singkat saja dapat merobah paradigma, cara berpikir dan konsep diri peneliti, bagaimana hasilnya jika seseorang berkomunikasi/berinteraksi dengan Bob dalam waktu yang panjang ?. Jhon Dewey (1859 – 1952) seorang filosof dan pendidik berpengaruh pada zamannya
mengatakan;
manusia diperoleh dari hasil komunikasi.
yang sangat
“semua pengetahuan yang dimiliki Secara umum kegiatan komunikasi
merupakan suatu proses yang ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change). Cooley menempatkan komunikasi pada nilai yang tinggi, suatu mekanisme dalam formasi yang ia sebut the looking glass self yang amat penting. Ini berarti bahwa interaksi dengan orang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu membentuk konsep diri seseorang (Effendy, 2003). George Herbert Mead (salah seorang murid Dewey), ia dikenal sebagai pakar teoritisi interaksi simbolik. Di samping mengakui peranan interaksi sosial (social interaction) sebagai media pembentukan konsep diri seseorang, Mead juga menekankan pentingnya peranan interaksi dengan diri sendiri (self interaction), yang tidak lain adalah proses berpikir. Ritzer dan Goodman (2007) menyatakan, teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus – respons, melainkan stimulus – proses berpikir – respons.
6
Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respons, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Menurut Rakhmat (2005), konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas obyek-obyek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok. Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural (Ritzer & Goodman, 2007). Dengan menggunakan pendekatan teori-teori interaksi simbolik, penelitian ini ingin melihat bagaimana proses pembentukan jiwa kewirausahaan
pengelola
KemChicks? bagaimana mereka berinteraksi dalam lingkungan/situasi sosial KemChicks? bagaimana mereka memaknai setiap aspek dalam interaksi tersebut? dan bagaimana keputusan atau tindakan mereka ambil terkait dengan pembentukan/ pengembangan jiwa entrepreneur. Beberapa pertanyaan penelitian sehubungan dengan konteks tersebut dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana definisi situasi sosial dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks ? (2) Bagaimana Definisi situasi ‘diri’ dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks? (3) Bagaimana interaksi dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks?
7
1.3. Tujuan Penelitian Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji: (1) Definisi situasi sosial dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks (2) Definisi situasi diri dan kewirausahaan pengelola KemChicks, sumber dan proses pembentukannya (3) Interaksi dan pembentukan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) pengelola KemChicks 1.4. Manfaat Penelitian Kajian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pengembangan konsep entrepreneur dan entrepreneurship yang berguna bagi semua pihak. Bagi penelitipeneliti lain baik yang independen maupun kelembagaan, kajian ini bisa menjadi dasar pijakan bagi penelitian lanjutan tentang konsep ini. Bagi pembuat kebijakan yang dalam upaya mencari dan mengembangkan metode dan strategi pengembangan kualitas sumberdaya manusia khususnya menyangkut dengan pengembangan entrepreneurship, hasil kajian ini bisa menjadi dasar pijakan bagi kebijakankebijakan selanjutnya.
Bagi pelaku dan pengelola usaha
terutama perusahaan
KemChicks tempat penelitian dilaksanakan, studi ini menjadi tambahan informasi dan referensi bagi upaya pengelolaan staf sehingga dapat menjadi entreprneur dalam artian yang luas. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Studi
yang
berjudul
“Interaksi
Simbolik
dan
Pembentukan
Jiwa
Kewirausahaan” ini, adalah sebuah studi dalam bidang ilmu Komunikasi Pembangunan.
Sebagaimana judulnya, maka secara umum tujuan penelitian ini
adalah untuk melihat dan mengkaji situasi interaksi-komunikasi antara pemilik dan pengelola KemChicks dan secara spesifik mengkaji makna atau definisi dari situasi
8
sosial (lingkungan) perusahaan dan situasi diri pengelola KemChicks itu sendiri, yang terbentuk atau berkembang akibat adanya interaksi sosial dan interaksinya dengan diri sendiri pengelola KemChicks. Studi ini merupakan studi kasus, oleh sebab itu hasil kajian tidak bisa digeneralisasikan (berlaku umum) untuk kasus-kasus yang lain. Studi ini tidak bisa menjadi jawaban dari semua persoalan yang menjadi hambatan dalam pembentukan entrepreneurship seseorang, karena ada sejumlah faktor pendukung lain yang diperlukan bagi pembentukan entrepreneurship (seperti faktor endogen dan eksogen pengelola usaha, faktor internal – eksternal perusahaan, kebijakan dan sistem ekonomi mikro dan makro, dan masih banyak faktor-faktor lainnya). Perbedaan pendekatan ilmu dan teori yang digunakan juga menghasilkan rumusan yang berbeda. Pendekatan teori interaksi simbolik yang digunakan sebagai pijakan dan kerangka penelitian ini pun, hanyalah satu-dua konsep saja dari teoriteori interaksi simbolik yang juga sangat banyak. Setelah konsep mind and self dari George Herbert Mead yang menjadi rujukan utama dalam studi ini, teori-teori interaksi simbolik dikembangkan terus, antara lain melalui karya-karya George H Blummer (murid Mead yang merilis konsep-konsep Mead), Manford H. Khun (teori Diri-Pribadi, Self Theory), Erving Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss, Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E. Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon (Charon, 1998). Studi ini hanya satu kajian dari sekian banyak kajian yang sudah ada, yang mencoba mengungkap suatu fenomena sosial, dari sekian banyak fenomenafenomena sosial yang bisa dan telah menjadi obyek kajian peneliti-peneliti lainnya. Namun dari studi yang terbatas ini diharapkan bisa bermanfaat besar bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan, yang bisa dijadikan rujukan dalam upaya pembentukan dan pengembangan entrepreneurship khususnya.