1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber bahan baku industri, dan sumber kebutuhan pokok serta penyumbang devisa bagi Negara. Sementara itu bagi Indonesia, kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Komoditas kakao menempati peringkat ke tiga ekspor sektor perkebunan dalam menyumbang devisa Negara setelah komoditas karet dan CPO. Pada 2007 ekspor kakao mencapai US$ 975 juta atau meningkat 24,2 persen disbanding tahun sebelumnya. Areal Pertanaman kakao juga setiap tahun meningkat seperti yang ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 2003 – 2006 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan serta dikelola secara baik.
2
Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Sulawesi Tenggara. Di sisi lain situasi perdagangan kakao dunia stabil pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini merupakan satu peluang yang baik untuk segera dimanfaatkan mengingat Indonesia merupakan Negara penghasil kakao terbesar ke tiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tabel 1 menunjukkan jumlah produksi biji kakao dunia1. Tabel 1. Produksi Biji Kakao Dunia (ribu ton)
Sumber : International Cocoa Organization (2007) Walaupun sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia, perdagangan ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa hanya menduduki posisi ke enam yaitu dengan pangsa hanya 2,46 persen atau jauh di bawah kemampuan produksinya sekitar 16 persen dari total produksi dunia. Peningkatan ekspor yang signifikan pada tahun 2005 – 2006 merupakan akibat dari peningkatan volume ekspor yang tinggi dibarengi naiknya harga komoditas. Indonesia juga mempunyai posisi tawar yang lemah, yang disebabkan kurangnya informasi pasar, sehingga harga mudah berfluktuasi pada tingkat yang rendah. Tabel 2 menunjukkan kebutuhan konsumsi kakao di dunia yang didominasi oleh Eropa. 1
The International Cocoa Organization, Peramalan Produksi Dunia, Grinding dan Stok biji kakao tahun 2004/2005, Quarterly Bulletin of Cocoa Statistiks, Vol. XXXIV, No.3, kakao tahun 2007/08
3
Tabel 2. Konsumsi Kakao Dunia (ribu ton)
Sumber: International Cocoa Organization (2007) Pada tahun 2011 produksi kakao dunia diperkirakan mencapai 4,05 juta ton atau tumbuh melambat menjadi 1,9 persen rata-rata per tahun dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Hal ini diakibatkan oleh makin tingginya ketidakseimbangan iklim global yang pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya produktivitas kakao. Selain itu melambatnya pertumbuhan produksi kakao juga disebabkan oleh masalah regulasi politik yang terjadi pada Negara-negara produsen utama. Beberapa permasalahan yang menghambat produksi kakao Indonesia antara lain adalah umur tanaman kakao yang sudah sangat tua (lebih dari 25 tahun), beban pajak ekspor kakao olahan yang tinggi sebesar 30 persen dibandingkan tariff impor produk kakao sebesar 5 persen telah menyebabkan jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut, hal tersebut menyebabkan pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji kakao non olahan. Selain itu permasalahan serangan hama penggerek buah (PBK) serta pengelolaan yang sebagian besar masih secara tradisional juga ikut memberikan andil terhadap rendahnya produktivitas kakao Indonesia. Pengelolaan kakao yang masih didominasi oleh perkebunan rakyat menyebabkan 85 persen produk kakao Indonesia tidak difermentasi sehingga impor kakao Indonesia ke Negara-negara
4
Eropa sangat kecil karena pada umumnya Eropa mengimpor produk kakao olahan yang telah difermentasi. Konsumsi kakao dunia pada tahun 2011 diperkirakan akan lebih tinggi dari produksi yang mencapai 4,1 juta ton. Pertumbuhan rata-rata sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2012 diperkirakan mencapai 2,7 persen per tahun. Diperkirakan dalam jangka panjang akan terjadi defisit kakao dunia sekitar 10 hingga 50 ribu ton setiap tahun akibat makin tingginya konsumsi2. Fenomena tersebut seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Proyeksi dan Konsumsi Kakao Dunia Tahun 2007 – 2011 Sumber : International Cocoa Organization (2008) Kakao merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan di lantai bursa komoditi Indonesia, karena tujuan dari keberadaan bursa komoditi sebenarnya adalah untuk mendorong terbentuknya harga acuan di dalam negeri. Selama belum terbentuk Bursa Komoditi Indonesia, harga jual komoditi mengacu pada bursa yang ada di luar negeri. Tetapi setelah terbentuk bursa komoditi Indonesia, diharapkan Indonesia bisa menjadi price maker dalam perdagangan global komoditi. Disamping itu, penetapan harga di bursa juga harus memperhatikan informasi pasar perdagangan fisik. Hingga saat ini bursa komoditi Indonesia masih menghadapi kendala mendasar yaitu harga komoditas masih mengacu pada harga transaksi di bursa luar negeri, misalnya harga CPO mengacu kepada Malaysia, harga timah mengacu ke Singapura, harga kopi mengikuti harga di London, sementara itu harga kakao masih ditentukan oleh bursa komoditi New York. Hal tersebut mengakibatkan posisi Indonesia sebagai Negara penghasil
5
komoditi hanya menjadi penerima harga (price taker). The London Financial Futures Exchange (LIFFE) dan The New York Board of Trade (NYBOT) merupakan lantai bursa perdagangan berjangka utama untuk komoditi kakao. Perdagangan pada bursa tersentralisasi ini dipercaya dapat meningkatkan transparansi pasar. Semua pedagang baik actual maupun potensial memiliki akses yang sama kepada harga yang terbentuk. Tabel 3 menunjukkan komoditas yang diperdagangkan di bursa komoditi berjangka Indonesia beserta tempat yang menjadi acuan dunia dalam pembentukan harga. Tabel 3.
Komoditas yang Diperdagangkan di Bursa Komoditi Indonesia Beserta Tempat dan Harga Acuannya.
Sumber : Departemen Perdagangan, Bappebti (2008) Fluktuasi harga kakao tidak berbanding lurus dengan tingkat produksinya sebagaimana halnya yang terjadi dengan komoditas perkebunan lainnya. Kecenderungan jumlah produksi yang selalu meningkat tidak diikuti dengan peningkatan harga yang sesuai. Kecenderungan ini sebenarnya wajar terjadi, mengingat banyak hal yang mungkin mempengaruhi keputusan penentuan harga kakao dunia selain penawaran dan permintaan (supply and demand). Harga komoditas juga cenderung bersifat volatil, artinya selalu berubah dari hari ke hari.
6
Bahkan di tempat terjadinya transaksi seperti di lantai bursa perdagangan komoditas, harga berubah dari menit ke menit berdasarkan informasi pasar baru. Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi kakao ini di masa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatkan pendapatan petani dan para pengusaha eksportir kakao dalam negeri perlu dilakukan, diantaranya dengan melihat integrasi pasar kakao di pasar spot Makassar dengan harga di pasar acuan yaitu bursa NYBOT dan kemudian dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao di Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah Harga kakao umumnya tergantung pada faktor penawaran dan permintaan. Indonesia sebagai produsen kakao nomor tiga terbesar di dunia mengacu tingkat harga dari bursa komoditi Indonesia yang juga mengacu ke bursa berjangka NYBOT. Hal ini menyebabkan para petani dan pelaku ekspor di Negara produsen seperti Indonesia menunggu harga baru terbentuk, untuk kemudian menyesuaikan terhadap harga baru tersebut. Mekanisme penentuan harga kakao di Indonesia diperoleh dari bursa New York Board of Trade (NYBOT) cocoa futures markets di New York. Dengan demikian para pelaku pasar kakao di Indonesia hanya mengikuti pembentukan harga dengan terlebih dahulu memberikan informasi perdagangan fisik berupa harga spot Makassar. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga komoditi kakao Indonesia dapat berupa beberapa faktor diantaranya harga di bursa NYBOT, konsumsi dunia, jumlah impor Amerika Serikat sebagai salah satu pengimpor dan tempat pasar acuan harga, kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, dan jumlah produksi kakao pada tahun sebelumnya (lag produksi). Perkembangan harga kakao merupakan aspek yang kompleks, karena banyak faktor yang saling mempengaruhi terbentuknya harga. Selama ini, faktor pasokan (supply) kakao relatif paling berpengaruh terhadap terbentuknya harga disamping faktor permintaan (demand)3. Kenyataan yang terjadi adalah adanya ketidak-sinkronan harga di pasar spot Makassar dengan harga yang terjadi di bursa berjangka NYBOT, Oleh karena itu penelitian ini akan membahas permasalahan yang secara lebih spesifik pada :
3
Departemen Perindustrian, 2007. Gambaran sekilas industri kakao
7
1. Apakah pasar kakao domestik spot Makassar terintegrasi dengan pasar bursa New York Board of Trade (NYBOT)? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga kakao Indonesia?
1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian bertujuan untuk : 1. Menganalisis integrasi pasar (keterpaduan pasar) antara pasar kakao spot Makassar dengan bursa New York Board of Trade (NYBOT), 2. Menganalisisi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga kakao Indonesia.
1.3 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang diambil dari beberapa sumber. Data yang digunakan adalah data tahunan dan bulanan, sehingga tidak memperhitungkan fluktuasi harian seperti yang terjadi di lantai bursa. Perilaku spekulan di lantai bursa ini juga dianggap sangat berpengaruh tetapi tidak digunakan sebagai faktor-faktor yang dianalisis hubungannya karena keterbatasan data spekulasi di lantai bursa.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para petani maupun eksportir kakao dalam rangka mengantisipasi fluktuasi harga kakao dan meningkatkan efisiensi produksi. Selain itu, penulis mengharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya secara lebih mendalam.