I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1. Perkembangan Budidaya Kakao Kakao (Thebroma cacao. L) merupakan salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan yang peranannya cukup penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, karena selain kontribusinya sebagai penghasil devisa, usaha perkebunan kakao merupakan kegiatan ekonomi yang dapat dijadikan andalan dalam penyerapan tenaga kerja, peningkatan ekonomi pedesaan dan sebagai instrumen pemerataan pembangunan serta mendorong pengembangan wilayah. Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga saat ini. Tahun 2009 produksi biji kakao mencapai 849.875 ton per tahun. Produsen terbesar kakao di dunia ditempati Pantai Gading sebesar 1,3 juta ton sementara Ghana sebanyak 750.000 ton. Produksi ini dihasilkan dari perkebunan rakyat, perkebunan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Luas perkebunan kakao rakyat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai 1.592.982 Ha. Beberapa wilayah pengembangan lahan perkebunan kakao di Indonesia yang potensial adalah di Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua dengan luas sekitar 6 juta Ha (Dirjenbun, 2010). Manokwari merupakan salah satu wilayah yang berpotensi untuk pengembangan lahan perkebunan di Papua. Berdasarkan hasil kajian Tim
Penyusunan Rencana Detail Kawasan Agropolitan Kabupaten Manokwari pada tahun 2008 masih terdapat sekitar 14.000 ha lahan untuk pengembangan tanaman kakao. Hal ini memberikan peluang investasi. Luas areal perkebunan kakao di Manokwari pada tahun 2006 sekitar 3.204 ha dengan produksi 959 ton. Sampai pada tahun 2010 luas areal bertambah menjadi 3.958 hektar dengan produksi 959 ton. Perkembangan luas areal perkebuanan kakao dilukiskan pada Gambar 1. (Dinas Pertanian Kab. Manokwari, 2011) (Gambar 1).
4500 4000 3500 3000 2500 (Ha) 2000 1500 1000 500 0
3958 3204
3204
3958
3204 Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
959
2006
870
2007
705
2008
1059
2009
959
2010
Tahun
(Sumber: Dinas Pertanian Kab. Manokwari, 2011) Gambar 1. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Komoditi Kakao Rakyat di Kabupaten Manokwari Tahun 2006-2010
Kakao di Manokwari tersebar di delapan kecamatan yaitu Kecamatan Manokwari Utara, Manokwari Selatan, Warmare, Prafi, Oransbari, Ransiki, Masni, dan Sidey. Pertanaman kakao tersebut merupakan proyek SADP (Sustainable
Agriculture
Development
Project),
proyek
Pengembangan
Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) dan bantuan pemerintah serta
yang
ditanam oleh petani sendiri. Rata-rata umur tanaman kakao tersebut di atas 12
2
tahun (Dinas Pertanian Kab. Manokwari, 2011). 2. Penggerek buah dan Perkembangan Luas Serangan Hama adalah organisme yang merusak tanaman dan secara ekonomi merugikan manusia. Terdapat lebih dari 130 spesies serangga yang berasosiasi dengan tanaman kakao. Namun, hanya beberapa spesies yang benar-benar merupakan
hama
utama,
yaitu
hama
penggerek
buah
kakao
(PBK)
(Conopomorpha cramerella. Snellen), kepik penghisap buah (Helopeltis antoni Sign), ulat kilan (Hyposidra talaca Walker), penggerek batang atau cabang (Zeusera coffeae Nietn) dan ulat api (Darna trima Moore). Selain hama utama tersebut, kadang-kadang masih dijumpai hama lainnya, seperti tikus, tupai dan babi hutan (Entwistle, 1972; Kalshoven, 1981). Penggerek buah kakao (PBK) C. cramerella merupakan hama utama kakao saat ini di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Serangan hama PBK menyebabkan hancurnya budidaya tanaman kakao di Indonesia pada akhir tahun 1800-an. Pada tahun 1990-an hama PBK yang sebelumnya hanya terdapat pada areal pertanaman kakao di Maluku bagian Utara dan di pulau Sebatik Kalimantan Timur, mulai meluas ke bagian lain Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara serta daerah-daerah pertanaman kakao lainnya (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2008). Serangan hama ini dapat menyebabkan penurunan produksi buah kakao hingga lebih dari 80% dan relatif sulit dikendalikan (Sulistiowati et al. 2003).
3
Di Manokwari, hama yang menjadi ancaman serius bagi produksi kakao adalah hama PBK dan kepik pengisap buah kakao. Rerata luas serangan kedua hama tersebut dari tahun 2006 sampai 2010 adalah PBK seluas 2981,51 ha dan kepik penghisap buah kakao seluas 406,62 ha. Tingginya luas serangan hama tersebut disebabkan karena rendahnya
usaha pengendalian. Luas areal
pengendalian terhadap PBK sebesar (13,98%), dan (17,43%) terhadap kepik pengisap buah kakao (Dinas Pertanian Kab. Manokwari, 2011) (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Areal, Luas Serangan, Luas Pengendalian dan Persentase Pengendalian Hama di Kabupaten Manokwari (Tahun 2006-2010) Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
Rerata
Luas Areal (Ha)
3.204
3.204
3.204
3.958
3.958
(Ha)
PBK
2.563,10
2.627,27
2.717,62
3.467
3.532,51
2.981,51
Helopeltis
504,63
326,17
424,85
389,07
366,12
406,62
PBK
228,12
256,95
318,5
543,28
841,79
437,73
Helopeltis
61,92
31,83
43,93
95,4
110,75
68,77
8,9
9,78
11,72
15,67
23,83
13,98
Helopeltis 12,27 9,76 10,34 Sumber: Dinas Pertanian Kab. Manokwari, 2011
24,52
30,25
17,43
Luas serangan (Ha)
Luas Pengendalian (Ha)
(%) Pengendalian PBK
Berdasarkan laporan Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari tahun 2002, hama PBK merupakan hama baru yang diperkirakan masuk pada tahun 2000 di daerah Pami (kawasan Pantura). Perkembangan serangan hama PBK sangat cepat dan meluas hampir di semua sentra produksi kakao dan telah menjadi ancaman terhadap kelestarian kebun. Sebelum masuknya hama PBK, hama yang diketahui
4
menurunkan produksi kakao di Manokwari adalah hama pengisap buah kakao dengan luas serangan tahun 1998 mencapai 65 persen dari luas areal kebun kakao 1.890 ha (Dishutbun Kab. Manokwari, 2005). Kehilangan hasil akibat serangan hama PBK di Manokwari cukup tinggi. Dinas Pertanian Kabupaten Manokwari pada Tahun 2011 melaporkan bahwa rerata produksi biji kering berkisar 300 sampai 600 kilogram per hektar per tahun. Intensitas serangan hama PBK mencapai 80% dan kehilangan hasil 70%. Kerusakan kakao akibat hama tersebut membuat petani frustrasi sehingga tidak sedikit yang mengganti tanaman kakao dengan tanaman lain. Hingga saat ini belum ditemukan cara yang efektif untuk mengendalikan hama tersebut. Berbagai cara telah disosialisasikan kepada petani, seperti pemberian pestisida dan sanitasi kebun, tetapi masalah belum terpecahkan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dengan teknik pengendalian kultur teknis, sarungisasi dan Bacillus thuringiensis untuk mengurangi luas serangan serta mencegah menyebarnya hama PBK di Manokwari.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diarahkan untuk memperoleh perpaduan teknologi pengendalian PBK yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
C. Manfaat Penelitian
Membantu memecahkan masalah hama PBK di Kabupaten Manokwari.
5