hh
1028
•—ie-:<3j—•
"
fluted Ulyun - Libun d^ma.5 TJERITA ATJEH
I
Disadur dari tjerita lama.
I
Oleh:
I
ABDOEL MOEIS
T 14
VAN •
VGRAVuNri."
Badan G.
KOLFF
4
Penerbit Co. 1950
•—{©jjas—*
I
BANDUNG
PUTERI UBUN-UBUN EMAS. Dinegeri Gulita Sagob, jang terletak dipinggir dunia, adalah memerintah radja Hamsojkasa, jang besar kekuasaannja. Beberapa orang radja jang lain takluk kebawah pemerintahhannja, rakjat hidup didalam keadaan aman dan sentosa. Dua orang puteri adalah mendjadi permaisurinja, jang tua bernama Rakna Diwi, jang muda Keuntjan Ansari. Meskipun demikian, hidupnja radja Hamsojkasa adalah djauh dari pada berbahagia. Segala doa dan permohonan kepada Allah Subhanahu Wataala mendjadi sia-sia, kedua permaisuri tinggal tidak beranak. Oleh karena itu, maka iapun mentjari isteri jang ketiga. Jang dipilih bukanlah puteri-puteri bangsawan, melainkan anak orang kebanjakan, Tjah Keubandi namanja. Gadis itu ialah anak piatu, satu-satunja kekajaan jang ada padanja, hanjalah ketjantikan parasnja jang tak ada bandingan. Tjinta dan asjiknja baginda kepada isteri jang baru itu sudah tak dapat hendak dikira-kira. Maka dihimpunkanlah seluruh rakjat, guna membangunkan istana jang indah untuknja. Kaju-kaju diangkut dari gunung, sekalian tukang-tukang pilihan disuruh mentjurahkan segala kepandaiannja. Tidak lama antaranja, terdirilah sebuah istana jang indah permai, berukir emas dan bertatahkan ratna mutu manikam. Sungguh tak puas-puas mata memandangnja, dan patutlah ia mendjadi tempat kediaman segala bidadari dari kajangan. Segala sesuatunja telah menimbulkan rasa dengki dihati pada kedua permaisuri, terutama djuga, karena baginda umpama atjuh tak atjuh lagi kepada kedua. Siang dan malam mereka bermufakat, mentjari djalan untuk melepaskan sakit terhadap madu jang berbahagia itu, tapi buat sementara waktu, mereka tinggal tidak berdaja. Arkian, maka hamillah Tjah Keubandi. Gembira hatinja baginda sudah tidak terkira-kira, lalu berkata akan memenuhi segala kehendak isterinja itu. Oleh karena jang hamil mengidamkan daging rusa jang 1
baharu kehilangan angganja, karena ditandukkan, maka pergilah baginda beserta sekalian menteri dan hulubalang berburu kerimba, mentjari rusa jang dikehendaki itu. Sepeninggal baginda, maka Tjah Keubandi mendjadi sakit, lalu melahirkan anak seratus orang banjaknja. Tak ada seorang jang mengetahuinja, ketjuali kedua permaisuri, jang senantiasa mengamatamatinja. Diantara anak jang seratus itu, adalah 99 orang laki-laki, dan seorang perempuan. Anak jang perempuan itu adalah mempunjai tudjuh halai rambut pada ubun-ubunnja, terdjadi dari emas dan intan permata. Setelah Tjah Keubandi dimandikan, maka kedua permaisuri bermufakat hendak membuangkan sekalian anak itu kelaut, dan menipu memperdajakan radja. Lebih dahulu mereka menjuruh salah seorang budak perempuan, mengumpulkan tunggul-tuggul kaju dan kelupakkelupak bunga, jang disuruh kuburkan dikolong istana. Sesudah itu sekalian anak dimasukkanlah oleh kedua kedalam sebuah peti, jang dikantjing erat, lalu dibalur lobang-lobangnja dengan lilin, supaja djangan masuk air. Peti itu disuruh bawa kehutan, tempat kediaman orang halus, dan disuruh buangkan kedalam sungai, jang akan menghanjutkannja kelaut. Setelah selesai pekerdjaan itu, radjapun kembali dari rimba, dengan tidak beruntung mendapat rusa. Kedua permaisurinja bertjerita, bahwa Tjah Keubandi telah menimbulkan aib jang tidak terkira-kira, karena jang dilahirkannja bukanlah anak jang galib. „Itulah sebabnja, maka tuanku disuruhnja kerimba, meninggalkan istana." kata mereka. „Tuanku boleh memeriksa sendiri dibawah kolong!" Radja Hamsojkasa pergilah memeriksa, lalu menjaksikan dengan mata sendiri. Aib jang sebesar itu hampir tak kuat ia menanggung, istimewa karena berita jang seburuk itu telah petjah diseluruh keradjaan. Njata sekali, bahwa Tjah Keubandi bukanlah manusia, melainkan anak setan. Tidak patut ia ditaruh didalam istana. Baginda bermusjawarat dengan kedua permaisuri, apa jang patut dilakukan atas Tjah Keubandi. Kedua berpendapat, bahwa keradjaan
pastilah akan hantjur lebur, djika orang itu lebih lama ditaruh dalam istana. Sebaik-baiknja ia dikurung didalam djamban. Segala ratap dan tangisnja tidak diindahkan. Ia dimasukkan kedalam djamban, atas nasihat kedua madunja. Maka senanglah hati mereka, karena sesudah itu pastilah „Chalif" tidak meninggal-ninggalkan mereka lagi. , Sementara itu, peti jang dihanjutkan, tersekatlah dikaki sebuah bukit, didekat pantai laut. Disana adalah beberapa orang gergasi (raksasa) jang sedang bermain-main. Melihat peti itu tersekat, berkatalah salah seorang perempuan kepada suaminja: „Ambillah peti itu! Aku ingin tahu apa isinja." Setelah ia dibuka, dan dikeluarkan anak jang seratus orang, dengan seketika gergasi laki-laki hendak memakannja, tapi bininja berkehendak supaja ia sabar menantikan sampai besarnja kanak-kanak itu. Oleh karena itu, keseratus anakpun dibawa pulang oleh mereka, lalu dipeliharanja baik-baik, seolah-olah anak sendiri. Setelah berumur lima belas tahun, maka keelokan paras anak-anak itu sudah tak ada bandingan. Terutama puteri jang seorang itu, jang diberi nama Ubun-Ubun Emas, adalah nlelebihi ketjantikannja dari pada kedua permaisuri radja, jang memang telah terbilang tjantik. Maka turunlah malaikat dari langit, jang mengadjarkan pelbagai rupa ilmu kepadanja, terutama dalam perkara mengadji Kur'an, jang dilakukannja siang dan malam. Malaikat itu mentjeriterakan pula sedjarah hidupnja, dan siapa orang tuanja jang sebenar-benarnja, dan dengan djalan apa kedua permaisuri telah menganiaja mereka, sedang ibunja dipendjarakan didalam djamban. Sekalian ilmu jang diterimanja dari malaikat, diturunkannja kepada ke 99 orang saudaranja, sedang sedjarah hidupnja itupun ditjeriterakan pula. Pada suatu hari berkatalah Ubun-Ubun Emas kepada gergasi, ajah angkatnja, bahwa ia hendak bertjutjuk tanam, dan dimintanjalah seratus bilah kampak, untuk menjiangi rimba. Segala kampak itu hendaklah dibeli dengan emas dari manusia tukang besi. Gergasi itu pergilah kebatas negerinja, dan beruntung dapat 3
menangkap seorang tukang, jang disuruhnja membuat seratus bilah kampak, lalu diupahnja dengan emas. Maka pergilah keseratus saudara kerimba, lalu merambah dan menanam padi, ubi, dan sebagainja, sehingga hasil tanaman itu dapatlah menghidupi sekeluarga gergasi, jang tidak terpaksa lagi mentjaritjari binatang liar, untuk makanan. Sementara itu Ubun-Ubun Emas jang salih tidak berkeputusan melakukan ibadah dari sehari kesehari. Setiap hari malaikatpun turun dari kajangan, menjuruh ia kembali kenegerinja, buat melepaskan ibunja dari pendjara. „Kemanakah djalan kenegeriku itu?" „Mudah mentjarinja. Pergilah kepinggir negeri raksasa ini. Barang siapa diantara manusia jang lebih dahulu meminta engkau mendjadi isterinja, itulah ajahmu. Mintalah kepadanja supaja ibumu dilepaskan dari pendjara. Waktu Ubun-Ubun Emas minta izin kepada orang tua angkatnja, hendak pulang kenegerinja agak sebentar, maka kedua gergasi laki bini bertangisanlah, karena sajang mereka kepada anak jang seratus itu sudah tak beda dengan sajang kepada anak sendiri. Tapi sebab anak-anak itu memaksa djua, diberilah izin itu, sambil bernasehat, djika nanti disuatu padang sirahit ada djin jang bersusu hanja sebelah, jang membawa mereka singgah, djanganlah orang itu hendak diatjuhkan. Karena djika ia dibawa bertutur kata, pastilah mereka akan mendjadi batu. Buat mendjaga diri, Ubun-Ubun Emas diberi sebentuk tjintjin sakti, jang harus dipakainja djika menempuh padang sirahit itu. Ketika anak jang seratus itu turun meninggalkan guha gergasi, maka laki bini menangis pula meraung-raung, hampir tak kuat bertjerai dengan anak-anak jang dikasihi itu. Sekalian anak adalah menunggang gadjah, pemberian orang tua angkatnja. Jang membawa Ubun-Ubun Emas, jang berpakaian serba indah dan bersolek berhias pula, ialah gadjah putih, berpelana tudjuh lapis. Lamalah berdjalan, dengan tidak tentu kemana arahnja. UbunUbun Emas menjerahkan nasibnja ketangan Tuhan jang Mahakuasa, jang akan melindungi sekalian hambanja jang iman serta tawakal.
Lambat laun sampailah mereka kesuatu padang sirahit, jang dilingkungi oleh bukit-bukit jang gelap karena rimba. Terkedjutlah mereka, demi melihat beratus-ratus orang jang telah mendjadi batu, perempuan dan laki-laki bertjampur baur. Dan ada pula jang berbentuk binatang teranak, umpamanja kerbau, lembu dan kambing. Dengan terperandjat mereka melihatkan tamasja itu. Lalu terdengarlah suara hebat bagaikan petir halilintar kerasnja, jang berkata: „Hai, engkau jang melalui tempat ini! Berhentilah agak sekedjap mata!" Ubun-Ubun Emas lupalah akan nasihat ajah angkatnja, lalu bertanja: „Siapakah itu jang memanggil. Apakah artinja suara gemuruh itu?" Seketika itu sekalian saudaranja telah mendjadi batu, beserta sekalian gadjah tunggangan mereka. Jang tinggal hidup hanjalah puteri Ubun-Ubun Emas sendiri, karena ia ada memakai tjintjin wasiat. Maka merataplah ia, berseru-seru kepada Tuhan, sambil berkata: „Ja, Tuhan! Ambillah njawaku! Apa gunanja aku hidup, apa faedahnja aku pulang kenegeriku, djika sekalian saudaraku telah sampai kepada adjalnja!" Selagi Ubun-Ubun Emas berkeluh kesah itu, maka datanglah seorang perempuan jang bertubuh besar menghampirinja. Amat terkedjutlah ia melihat orang itu, karena rupa dan kelakuannja sangat menakuti. Tubuhnja sebesar karung penuh. Lobang hidungnja lalu buah mangga, sedang suaranja mengguruh bagaikan petir. Dilihat dari muka rupanja seperti djin Ifrit, dari belakang bentuk badannja tidak berketentuan. Batang lehernja sebesar leher lembu djantan, mata jang sebelah adalah sebesar tjambung nasi. Tak salah lagi, itulah djin jang dikatakan hanja bersusu sebelah itu. Dengan senjum sepa dipersilakannja Ubun-Ubun Emas kerumahnja, dan bermalam disana. Puteri itu tidak menjahut, melainkan terus menangis tersedu-sedu. Sebab djin itu terus membudjuk-budjuk, maka masuklah ia kedalam rumah, takut kalau-kalau orang itu akan marah. Semendjak itu tinggallah ia disana, mendjadi anak angkat djin,
jangsangat mengasihinja. Segala rupa ilmu jang ada padanja diturunkannja kepada Ubun-Ubun Emas. Hanja satu jang tidak hendak ditundjukkannja, jaitu doa buat membinasakannja. Tapi oleh karena puteri itu senantiasa membudjuk-budjuk, diadjarkannja djualah ilmu itu. Djika doa itu dibatjakan, pastilah djin akan hilang ingatan. Dan akan bertualanglah ia diseluruh dunia, dengan tak tentu kemana arahnja. Ia tak akan dapat membedakan lagi antara darat dengan laut, antara bumi dengan langit, dan djalan pulang tak akan dapat pula ditjarinja. Doa itu diafal-afalkan oleh Ubun-Ubun Emas siang dan malam. Hanja itulah sahadja jang akan dapat melepaskan dirinja. Setelah afal benar, maka dibatjakannjalah ia pada suatu hari. Seketika djuga djin itu telah mengapung keudara, lalu berdjalan kian kemari, makin lama makin mendjauhi rumahnja. Achirnja hilanglah ia, dan tidak kembali lagi selama-lamanja. Setelah Ubun-Ubun Emas mejakinkan benar, bahwa musuh itu telah hilang, maka dibatjakannja mantera untuk menghidupkan segala machluk, jang telah mendjadi batu itu. Beberapa kali ia menghembus-hembus arah kepadang sirahit. Didalam sekedjap mata sekalian orang dan binatang-binatang itu telah hidup kembali. Saudaranja jang 99 orang mendapatkannja sambil bersuka tjita. Ubun-Ubun Emas diaku oleh sekalian orang jang hidup kembali, mendjadi pemimpin; maka bersama-samalah mereka meninggalkan tempat itu, mentjari ajah anak jang seratus itu. Puteri Ubun-Ubun Emas menunggangi gadjahnja jang putih pula. Setelah berdjalan lima bulan dan sepuluh hari lamanja, maka sampailah mereka kenegeri ajah Ubun-Ubun Emas. Seluruh penduduk keluarlah menjongsong. Perdana menteri, jang melihat pula kedatangannja, berlari-lari keistana, lalu mentjeriterakan kepada radja, tentang ketjantikan puteri jang masuk kekeradjaannja itu. Kembalilah mamanda menjongsongnja!" sabda radja. „Bawalah ia kemari. Djika benar kata mamanda, maulah kami menerimanja mendjadi isteri kami!" Setelah perdana menteri bsrdjumpa dengan; Ubun-Ubun Emas,
maka disampaikanlah pesan radja, jang minta disinggahi olehnja. ,,Maaf!" sahut puteri itu. ,,Perdjalanan kami sangat djauh, karena ajah jang sedang ditjari berbulan-bulan, tidak diketahui dimana adanja. Oleh karena itu kami tak dapat singgah-singgah didjalan!" „Amboi!" kata perdana menteri. „Radja disini sangat besar kekuasaannja, keradjaannja sampai kebatas langit. Sangkar emas jang kosong meminta isi. Telah terniat oleh baginda, hendak meminta tuanku mendjadi isteri." Ubun-Ubun Emas teringat akan pesan malaikat dahulu. Katanja, siapa jang lebih dahulu memintanja mendjadi isteri, itulah ajahnja. Maka bersukatjitalah ia. Sampailah ia ketempat jang dimaksudnja. Disitulah ibunja dipendjarakan. Maka berkatalah ia: „Djauhlah djalan kami. Turun gunung naik gunung, masuk rimba keluar rimba. Dan banjaklah kesukaran jang kami derita. Djika benar radja tuan hamba adil serta pemurah dan penjajang, kepada bagindalah kami hendak meminta pertolongan." „Insja Allah!" sahut perdana menteri. Baginda telah mengambil keputusan akan menerima tuanku mendjadi isteri. Segala kehendak tuanku akan dipenuhi." „Djika benar demikian, sukalah kami memperhambakan diri kebawah duli sjah alam. Jang kami kehendaki hanjalah satu: Lepaskanlah puteri Tjah Keubandi dari pendjaranja, dan bawalah ia kemari. Djika permohonan itu diperkenankan, segala titah baginda akan kami turut. Perdana menteri kembali keistana, mempersembahkan permohonan itu kepada radja. Dengan segera baginda memberi perintah, supaja Tjah Keubandi dikeluarkan dari djamban, dimandikan dan diberi pakaian jang indah-indah serta dihantarkan kepada Ubun-Ubun Emas. Ubun-Ubun Emas menjambut kedatangan ibunja dengan ratap dan tangis. Maka dihimpunkannja ke-99 saudaranja, lalu ditjeriterakannja riwajat kelahiran mereka, dari awal sampai kepada mereka dipelihara oleh gergasi. Ibu dan sekalian anak bertangis-tangisanlah, lalu berangkat bersama-sama keistana. Sesampai kesana, radja telah menjiapkan kadi dan saksi-saksi jang hendak menikahkan. Alangkah terkedjut baginda, demi mendengar tjerita Ubun-Ubun Emas tentang fitnah jang telah diperbuat
oleh kedua permaisurinja, guna mentjeraikannja dengan Tjah Keubandi dan sekalian anaknja. Kedua permaisuri jang ditanjai segeralah mengaku. Maka bertangistangisan pulalah radja dengan isteri dan sekalian anaknja, lalu mengutjapkan sjukur kepada Tuhan jang Mahakuasa, jang telah berkenan mempertemukan mereka kembali. Kedua permaisuri itu dimasukkan kedalam djamban jang pada awal telah ditentukan mendjadi tempat memendjarakan Tjah Keubandi. *
'*
*
Setahun lamanja Ubun-Ubun Emas hidup bersenang-senang dengan ajah bunda, beserta sekalian saudaranja. Setiap hari fikirannja mendjalar kepada ibu tirinja, jang sedang menderita kesengsaraan didalam djamban itu. Demikian pula ibunja jang saleh, jang tak sampai hati melihatkan nasib madunja jang sesedih itu. Maka memintalah puteri Ubun-Ubun Emas pada suatu hari kepada ajahnja, supaja jang berdua itu dilepaskan dari azab jang telah setahun lamanja ditanggung oleh mereka. Segala kehendaknja, memang dipenuhi oleh baginda. Dengan riang gembira Ubun-Ubun Emas berlari-lari ketempat memendjara itu, lalu melepaskan kungkungan kedua ibu tirinja. Sesudah itu dibawanjalah mereka kemuka ajahanda, lalu dimintakan ampun atas segala kesalahaannja. Anak jang ibadah itu tidak menaruh dendam barang serambut kepada musuh-musuh jang telah mendjahanamkan mereka selama itu. Radjapun mengampuni. Semendjak itu Rakna Diwi dan Keuntjan Ansari hiduplah dengan damai disamping Tjah Keubandi, sebagai isteri radja, jang tidak menaruh dendam lagi. Bukan sahadja ketjantikan paras Ubun-Ubun Emas jang telah masjhur sampai keluar-luar keradjaan, tetapi salehnja serta taatnjapun diketahui orang. Siang dan malam ia melakukan ibadah, tak putus, putus ia menjampaikan pudji-pudjian kepada Allah, sedang waktu seorangpun tak ada jang hendak diterimanja. Dari segala negeri datanglah anak radja-radja meminangnja, tapi seorangpun tak ada jang hendak diterimanja. Hal itu sangat membimbangkan hati radja Hamsojkasa. Telah berkali-kali menasihatkan anaknja atas kelakuannja itu dan didjelas8
kannja pula, bahwa gadis jang tidak kundjung didudukkan itu, adalah menimbulkan aib bagi orang tuanja. Achirnja ia berkata hendak meninggalkan istana, mengembara kerimba raja, karena tak kuat menahan malu. „Bukan anakanda menampik laki-laki, ajahanda!" sahut puteri Ubun-Ubun Emas. „Hanja sampai kepada saat ini, belumlah ada jang ditundjukkan oleh Tuhan akan mendjadi suami anakanda. Hendaklah ajahanda mengumpulkan sekalian alim ulama, serta orangorang berilmu dan sastrawan dari segala negeri, dan djamu sedekahlah mereka diistana ini. Mungkin diantaranja akan ada jang berpatutan untuk didudukkan dengan anakanda." Dengan senang hati baginda memperkenankan kehendak puterinja itu. Dari antero negeri berkumpullah sekalian orang berilmu keistana radja Hamsojkasa. Maka bertanjalah baginda: „Manakah jang berkenan pada hati anakanda?" Setelah Ubun-Ubun Emas memandang mereka dengan njata-njata, seorang demi seorang, maka berkatalah ia sambil mengeluh: „Tak ada seorang jang dapat menarik hati anakanda!" Dengan hati ketjewa, tamu-tamu itu pulanglah. Kedua kali radja mengumpulkan orang-orang tjerdik pandai dan terbilang saleh. Kedua kali puteri Ubun-Ubun Emas berkata, bahwa belum nampak olehnja orang jang patut mendjadi suaminja. Ketiga kali radja mengumpulkan orang, jaitu terdiri atas ahli ahli hukum. Diantara merekapun tak ada seorang jang terpilih. Maka hilanglah kesabaran hati baginda, murka kepada puteri Ubun-Ubun Emas lalu berkata: „Enjahlah dari tempat ini, hai anak tjelaka!" Maka menjahutlah Ubun-Ubun Emas dengan tenang serta adabnja: „Apakah sebabnja ajahanda berkata demikian? Djika Allah Taala belum menakdirkannja, adakah orang akan bersuami? Hendaklah ajahanda mengumpulkan orang sekali lagi. Siapa tahu, barangkali ada salah seorang diantara mereka, jang patut mendjadi suami anakanda." Dengan kata-kata tjumbuan dapatlah dilemahkannja hati ajahnja, dan berbalik kasih pulalah baginda kepada puterinja. Tersebut perkataan, dikajangan adalah memerintah seorang radja,
jang beranak dua orang. Jang tua, perempuan, bernama Sithon Glima, jang bungsu laki-laki, bernama Lila Bangguna. Kedua anak itu belum dewasa, tapi mereka telah ditinggalkan jatim karena wafat ajah dan bunda. Dengan kata semufakat, rakjat menobatkan Lila Bangguna mendjadi radja, menggantikan ajahanda. Radja Lila Bangguna mendjalankan pemerintahan dengan adil dan bidjaksananja. Oleh karena itu rakjat amat kasih kepadanja. Pada suatu malam bermimpilah baginda. Rasanja bulan jang sedang penuh, telah djatuh keatas ribaan baginda. Sesudah itu sedarlah baginda dengan hati jang amat bimbang. Apakah takbir mimpi itu? Baginda tidak hendak bertanja kepada siapapun djua, melainkan hendak berusaha mentjarinja sendiri. Maka berkatalah baginda kepada kakanda, bahwa baginda hendak meninggalkan istana. Bukan hendak membuang diri, tualang kemanamana dengan tak tentu tudjuan. Tidak, baginda hendak menuntut ilmu pengetahuan dinegeri-negeri lain. Dari harta pusaka peninggalan ajahanda, jang diminta oleh baginda, hanjalah sebilah kris dan pedang, jang disebut betuah. Pada awalnja Sithon Glima tak sampai hati melepaskan adinda meninggalkan istana. Dengan ratap dan tangis, ditjobanjalah menahan. Tapi oleh karena baginda tak ada ingatan hendak membatalkan maksud itu, maka dilepaskannja djua dengan d'oa dan air mata. Maksud Lila Bangguna ialah hendak turun kedunia, karena besar keinginannja hendak mengetahui tamasja disana. Tapi arah manakah jang harus ditudjunja, agar sampai kenegeri jang gaib itu? Entahlah! Ia sendiri tak tahu pula. Dengan kekerasan hati, ditjarinja djua djalan itu. Maka terbanglah ia kesana kemari, sebulan lamanja. Achirnja nampaklah olehnja, djauh dibawah, rumah-rumah jang didiami oleh penduduk dunia. Maka senanglah hatinja, karena ia telah sampai ketempat jang dimaksudkannja. Dengan segera iapun turun, lalu melangkahkan kaki keatas bumi. Dengan heran memandanglah ia berkeliling. Jang nampak ialah padang-padang dan gunung-gunung, sesajut-sajut mata memandang. Disana sini adalah ladang dan rumah-rumah, jang terkumpul mendjadi .kota atau dusun. 10
Lila Bangguna mendjalankan fikirannja. Djika tak ada orang ahli jang menundjukkan djalan, tak mungkin ia akan mendapat sesuatu penerangan dinegeri asing itu. Setelah lama berdjalan, sampailah ia kepada sebuah rumah sembahjang, penuh orang, jang sedang melakukan kewadjibannja. Setelah mentjutji kaki, masuklah ia kedalam, mendapatkan imam, jang dibawanja berdjabat salam. Imam itu agak heran menerima kedatangannja, karena tamu itu bukanlah orang jang biasa nampak sehari-hari. Dengan senjum sapa ia menjerahkan tempat sirihnja, mempersilakan orang baru itu makan sirih agak sekapur. Setelah makan sirih, dan berhenti sebentar, maka lepaslah lelah Lila Bangguna, dan senanglah hatinja. Tahulah ia bahwa didunia itu ia akan dapat hidup bersenang-senang, karena segala sesuatu adalah menarik hatinja. Maka bertanjalah imam, dari mana ia datang, dan hendak kemana maksudnja. „Saja datang dari djauh!" sahut Lila Bangguna. Maksud saja hanjalah satu, jakni hendak menuntut ilmu." „Djika demikian, tinggallah disini," kata iman. „Disamping saja tuanhamba dapat memperoleh segala jang tuan kehendaki." „Dengan kemurahan Tuhan, mudah-mudahan saja akan sampai djua kepada maksudku,, kata Lila Bangguna. Mula-mula ia diadjar mengadji Kur'an. Setelah fasih lidahnja, dan seluruh Kur'an itu telah hafal olehnja, baharulah ia diberi peladjaran-peladjaran jang lain. Lila Bangguna ialah seorang murid jang radjin, jang tidak mengetjewakan hati gurunja. Setelah lama beladjar, sempurnalah pengetahuannja, sedang ia telah mendjadi murid jang saleh, dan orang jang berilmu. Kembalilah kita kepada radja Hamsojkasa. Sekalian orang berilmu, jang agak terkenal-kenal namanja, dipanggilnja makan keistana, dan disuruhnja tilik oleh Ubun-Ubun Emas. Meskipun telah banjak jang datang menampakkan diri, tapi tak ada seorang jang berkenan pada hati puterinja. Kebimbangan hati radja bertambah-tambah. Maka terdengar pulalah kabar, bahwa adalah seorang alim, jang amat dalam pengetahuannja, pada hal orang itu belum dipanggil II
keistana. Dengan segera radja Hamsojkasa menjuruh panggil dia, lalu datanglah orang itu beserta salah seorang muridnja. Ulama jang dimaksud itu ialah imam guru Lili Bangguna, sedang murid jang dibawanja bersama-sama, ialah Lila Bangguna sendiri. Orang-orang lain, jang turut bersama-sama datang keperdjamuan itu, tidak sedikit bilangannja. Dalam sekedjap mata Ubun-Ubun Emas telah mendjatuhkan pilihan diantara orang jang banjak itu, atas diri radja kajangan. Dengan gerak gerik mata dan bibir dapatlah ia menjatakan kepada Lila Bangguna, bahwa puteri "Gulita Sagob berkenan menerimanja mendjadi suami. Lila Bangguna segera pula memberi isarat, bahwa iapun tidak menampik. Tengah malam datanglah radja kajangan itu keistana. Dengan djalan membatjakan mantera, iapun dapat menidurkan seluruh orang jang ada, sampai kepada pengawal-pengawal, sehingga ia boleh mentjari Ubun-Ubun Emas dengan bersenang-senang. Setelah puteri itu dibangunkannja, maka bertanjalah Ubun-Ubun Emas dengan agak gusar, apakah jang ditjarinja keistana tengah malam buta itu, dan adakah ia memikirkan bahwa perbuatan itu bila diketahui orang, akan mengaibkan namanja beserta nama ajah bundanja? „Kanda insaf akan kesalahan kanda itu," sahut radja kajangan. Hanja, demi Allah, serarabut tak ada ingatan kanda hendak melakukan sesuatu perbuatan jang tidak senonoh, atau hendak mentjemarkan nama tuan puteri. Maksud kanda datang kemari, hanjalah hendak mengetahui, bukankah tadi kanda salah pandang, dan sesungguhnja tuan puteri berkenan menerima akan dagang jang hina ini, mendjadi suami?" Setelah Ubun-Ubun Emas menanjakan nama dan negerinja, dan mendapat djawab jang sesungguh-sungguhnja maka berkatalah ia: „Sesungguhnjalah tuanku tidak salah pandang, ketika kita tadi berpandangan ditempat perdjamuan. Sekiranja tuanku berkenan menerima patik jang tidak sepertinja ini, maulah patik memperhambakan diri kebawah duli tuanku. Hanja satu-satunja djalan akan mengambil patik, ialah meminta patik kepada ajahanda." Maka senanglah hati radja kajangan, mendengar djawab itu, lalu 12
bermohon diri. Sebab kembali tergesa-gesa, maka kain sampingnja terkait pada kepala djandjang, lalu tertinggal dengan tidak diketahuinja. Pada keesokan harinja gaduhlah orang diistana, karena kedapatan kain samping dimuka kamar tuan puteri. Kabar itu petjah diseluruh keradjaan, sehingga radja Hamsojkasa menanggung malu atas bentjana itu. Maka disuruhnjalah beberapa orang hulubalang menjelidiki, siapakah jang punja kain samping itu. Setelah penjelidik itu sampai ketempat kediaman Lila Bangguna, maka ia mengaku terus terang, bahwa ialah jang empunja barang itu. Dibawa kemuka radja iapun tetap mengaku. Hanja ia berkata, bahwa kain samping itu telah ketinggalan, ketika ia datang keistana kemaren, dihari perdjamuan. „Tidak mungkin!" kata baginda dengan murka. „Setelah tamutamu pulang semua, kami sendiri telah memeriksa keadaannja diseluruh istana. Tak ada sesuatu barang jang ketinggalan. Sedang kain samping itu kedapatan djauh dari ruangan perdjamuan, jaitu dimuka kamar puteri." Maka radja memerintahkan pendjarakan serta r ad jam Lila Bangguna, sedang puteri Ubun-Ubun Emas dimurkai pula. Telah lama radja kajangan didalam pendjara, puteri Ubun-Ubun Emas tidak hendak berubah dari pada maksudnja. Jang dikehendakinja mendjadi suami hanjalah orang itu. Tambahan pula putera radja jang 99 orang berulang-ulang I datang menghadap ajahanda, memintakan ampun bagi kedua kekasih. Achirnja lemahlah hati baginda. Lila Bangguna dikeluarkan dari radjaman, diberi pakaian Jang indah-indah, dan tidak lama antaranja, dilangsungkanlah pernikahan itu. Hanja tidaklah diadakan pesta, setjara mestinja. Hamsojkasa berpendapat, orang jang telah mentjemarkan namanja, jang masuk istana sebagai maling 'dan mentjari perhubungan batin dengan puterinja, tak usah dihormat-hormati. Hanja kadi sahadja dipanggil, pernikahan dilangsungkan, maka pengantin perempuan diserahkan kepada suaminja. . Tapi meskipun demikian, hidup kedua suami isteri diistana tetap berkasih-kasihan. Keduanja sama taat, sama ibadah. Lila Bangguna bukan sahadja orang saleh, fjang tidak meninggalkan waktu, tapi ia 13
bidjaksana pula, bertabiat adab dan sopan. Achirnja lemah pulalah hati radja, dan berbalik sajanglah baginda kepada menantu. Maka pada suatu hari, radja kajangan menjampaikan keinginan kepada isterinja, hendak menentui hal kakaknja, jang telah ditinggalkan sekian tahun lamanja. Entah ia masih hidup, entah telah berpulang, siapakah jang akan mengetahui. Ubun-Ubun Emas merasa sedih akan bertjerai dengan suami jang ditjintai itu. Maka menangislah ia, mentjoba-tjoba hendak menahan. Tapi oleh karena si suami tak dapat ditahan, dilepaskannja djua dengan ratap dan tangis. Belum lama suaminja itu meninggalkan istana, maka Ubun-Ubun Emas telah menaiki kudanja jang bernama Keureutaih. Kuda itu bersajap dan pandai terbang. Maka diturutkannjalah djalan Lila Bangguna, dan dimuka pintu dunia berdjumpalah suami isteri. Atas kehendak isterinja jang tak dapat dipatah-patahi, radja kajangan terpaksalah membawanja keistananja sendiri. Tidak djauh dari istana itu, adalah sebuah rumah ketjil, didiami oleh seorang perempuan tua. Oleh karena Ubun-Ubun Emas berkehendak, djangan ia segera dipertemukan dengan kakak suaminja, maka dirumah ketjil itulah ia ditumpangkan buat sementara. Maksud Lila Bangguna hendak memberi tahukan dahulu kepada kakaknja, bahwa ia datang bersama-sama dengan isterinja, jang dibawa dari dunia. Meskipun isterinja itu tetap berkeberatan, asal si kakak telah ichlas menerima, besarlah kejakinannja, bahwa soal kedua puteri diam serumah diistana itu, akan dapat diselesaikan. Sithon Glima, kakak radja kajangan, .pada awalnja bukan sahadja tidak berkeberatan, akan tetapi ia menjatakan keinginannja jang amat besar hendak menerima ipar jang datang dari dunia itu. Lila Bangguna hendak menindjau dahulu, betulkah kakaknja telah mentjurahkan kata hatinja, lalu berkata . „Kanda! Djanganlah kanda salah terima. Pada pendapat orang tua-tua, bilamana orang membawa serumah kakak dan isterinja, pastilah akan timbul sengketa ditempat jang aman tadinja, dan akan terdjadi perpetjahan disegala tempat jang ada persatuan pada mulanja. Pada achirnja orang itu akan terpaksa mentjeraikan salah seorang. Pada kanda adinda sajang, pada isteri, adinda kasih. Tak 14
mungkin bagi adinda hendak mentjeraikan salah seorang!" „Amboi, adinda! Sangat tersesat fikiran adinda jang serupa itu. Istana ini adalah warisan orang tua kita. Hak bagi isteri adinda buat turut mendiaminja, wadjib bagi adinda membawa masuk segala orang jang telah mendjadi isteri adinda. Hendaklah kanda ini dipandang sebagai orang tua, sebagai ibu adinda suami isteri, karena ajah dan bunda kita sudah tak ada." Maka senanglah hati radja kajangan mendengar kata kakaknja itu. Dan setelah disampaikannja kepada Ubun-Ubun Emas, senang pulalah hati isterinja itu, dan sukalah ia pindah keistana. Upatjara jang dilakukan diistana waktu menjambut kedatangan puteri dari dunia itu, sudah tidak terkira-kira besarnja. Seluruh keradjaan kajangan bertaut dan berarak mendjumputnja dari pondok orang tua itu. Setengah tahun mereka hidup bersenang-senang, didalam suasana jang aman dan damai. Tapi sekonjong-konjong timbullah iri dan dengki didalam kalbu Puteri Sithon Glima terhadap iparnja, karena ia menjangka, bahwa Lila Bangguna lebih kasih kepada isteri dari pada kepada kakak. Hanja belumlah ia mendapat djalan akan melepaskan sakit hatinja, karena adiknja itu tidak mentjeraikan Ubun-Ubun Emas barang sekedjap. Pada suatu hari gembiralah hati Sithon Glima, karena adiknja bermaksud hendak meninggalkan istana guna melakukan pertapaan. Isterinja diserahkan kebawah pengasuhan kakak, dengan tidak menjangka-njangka, bahwa hati kakak itu telah berubah. Baharu sahadja adik itu berangkat, maka Sihton Glima telah melakukan rupa-rupa perbuatan, jang berarti memahitkan hidup iparnja jang tidak berdaja itu. Perhinaan dan nistaan tidak berkeputusan sepandjang hari, sedang puteri jang saleh, diperlakukan lebih hina dari pada budak belian. Meskipun demikian, Ubun-Ubun Emas menerima segala siksaan dengan sabar dan tawakkal, sambil menjerahkan nasibnja ketangan Tuhan. Setelah radja kajangan meninggalkan istana berbulan-bulan lamanja, maka pada suatu hari tiba-tiba ia kembali. Kakak dan isterinja menjambut kedatangannja dengan gembira. Sithon Glima berlaku pura-pura manis kepada iparnja, dan sukatjitalah si suami melihat 15
keadaan jang serupa itu. Ubun-Ubun Emas sendiri bermain kumidi pula. Sekali-kali ia tidak hendak mengadukan kepada suaminja, karena ia menjangka, bahwa iparnja telah menjesal, dan tidak akan berbuat djahat lagi untuk kemuka. Persangkaan itu njata salah. Radja kajangan kembalilah ketempat pertapaan, dan siksaan dimulai pula. Pada suatu hari Sithon Glima menjerak padi sekarung dipematang-pematang sawah. Sesudah itu berkatalah ia kepada Ubun-Ubun Emas: „Aku sedang mendjemur padi disawah. Bangkitlah ia, karena mata hari telah tjondong!" Sesampainja kesawah, dan melihat padi itu bertaburan diseluruh pematang, maka menangislah Ubun-Ubun Emas, menjedari untung. Adakah maksud kakaknja hendak menjuruh memilih padi itu sebutir demi sebutir? Bilakah pekerdjaan itu akan langsung? Dalam ia menangis itu, datanglah kakaknja menghampiri, lalu berkata dengan amarah: „Aku menjuruh engkau membangkit padi jang sedang didjemur, dan tidaklah ia kusuruh serakkan! Pilih semua, bawa pulang! Djika belum selesai pekerdjaanmu itu, djanganlah engkau kembali. Apakah kerdjamu disini? Tidakkah lebih utama, djika engkau pulang sahadja kerumahmu sendiri?" Sebab Ubun-Ubun Emas tidak bergerak, melainkan terus menangis tersedu-sedu, maka dipungutnja sekerat kaju, lalu dipukulnja puteri jang tidak berdaja itu sepuas-puas hatinja. Sesudah itu berkatalah ia: „Ajoh! Pilih padi itu! Djika tidak, engkau akan merasai nanti!" Sebab takut, pekerdjaan memilih itu memang hendak dilakukannja. Tapi sebab tak kuat menahan sakit, djatuh pingsanglah ia. Setelah sedar dan membuka mata, maka nampaklah olehnja bahwa Lila Bangguna sedang ada dihadapannja. Suaminja membudjuk dia sambil bertanja peri halnja. Maka puteri jang saleh dan baik budi itu hanja mengatakan apa jang harus dilakukan, tetapi tentang bentjana dan siksaan itu tidak ditjeriterakannja. Maka radja kajangan membatjakan mantera, lalu berkumpullah padi itu kedalam karung, dengan tak ada sebutir djua jang tertinggal. Kedua suami isteri membawa pulang karung itu, lalu menjerahkannja kepada si kakak. Ketika 16
ditimbang, jakinlah Sithon Glima bahwa padi itu tak kurang sebutar djua, dan heranlah ia. Ketiga kali Lila Bangguna meninggalkan istana, lalu Sithon Glima mentjari-tjari djalan pula untuk menjiksa iparnja. Salah satu dari pada perbuatannja, ialah menjerakkan tepung diatas tanah, lalu menuduh iparnja telah bersalah pula dan menjuruhnja mengangkat tepung itu. Sedang Ubun-Ubun Emas menangis pula, menghadapi pekerdjaan jang mustahil akan dilakukan dengan sempurna itu, maka datang pulalah suaminja, jang dapat mengembalikan tepung kedalam karung dengan membatjakan manteranja. Makin panas hati Sithon Glima. Tetaplah hatinja hendak mentjeraikan kedua suami isteri. Lalu dibawanja Lila Bangguna berunding, fasal menikahkannja dengan salah seorang anak menteri, jang terbilang tjantik parasnja diseluruh keradjaan. Meskipun radja kajangan membantah sekuat-kuat, karena ia tak sampai hati hendak menduakan isteri jang sangat ditjintainja, tapi Sithon Glima tidak djemu-djemu membudjuknja siang dan malam, sambil berkata bahwa dari mulai adiknja itu dilahirkan, jang mendjadi tjita-tjita baginja hanjalah satu, jaitu merajakan pernikahan adik jang seorang-orangnja itu. Achirnja tunduklah radja kajangan, karena tak sampai pula hatinja akan mengetjewakan hati kakak jang sungguh-sungguh disajanginja itu. Sesudah menjatakan, bahwa ia akan menurut kehendak kakaknja, maka kembalilah ia ketempat pertapaan. Sithon Glima sibuklah mengadakan persediaan. Sementara itu ia memikir-mikirkan hendak menghabiskan njawa Ubun-Ubun Emas lebih dahulu, dengan tidak ketara bahwa ia dibunuh. Didekat istana adalah sebuah paja raja, jang penuh diisi oleh kala dan segala djenis binatang-binatang jang berbahaja bagi manusia. Jang sangat ditakuti orang, ialah naga besar. Tak ada orang jang dapat menghampiri paja itu, karena senantiasa naga itu mengantjam hendak menangkap. Maka berkatalah Sithon Glima kepada iparnja: „Jang menguasai paja itu adalah menaruh tjawan pinggan, jang boleh ditukari dengan segala djenis barang-barang. Oleh karena untuk peralatan, tjawan pinggan diistana tidak mentjukupi, hendaklah engkau kesana, sambil membawa barang-barang penukaran. 17
Dengan hati bimbang, Ubun-Ubun Emas berangkat ketempat itu, lalu berdiri ditepi paja dengan ketakutan. Sekalian binatang-binatang jang berbahaja telah nampak merapung, sedang naga mengangakan mulut menanti-nantikan mangsanja. Selagi ia tegak termenung-menung ditepi paja itu, maka datanglah iparnja, lalu berkata: „Apakah jang kaumenungkan? Tamu telah banjak jang datang, tjawan piring masih kurang. Bukankah engkau disuruh mentjarinja kemari? Bagus! Pantas benar kelakuanmu. Lakimu sedang bertapa, tapi engkau memuaskan hawa nafsumu disini dengan berzina! Berzina perbuatanmu sepandjang waktu! Djika suamimu pulang, bolehlah ia mendengarkan, apa perbuatan isterinja selama ditinggalkannja!" Sepatah katapun Ubun-Ubun Emas tidak hendak mendjawab. Hanja lakunja memandang tjukup mendjelaskan, bahwa ia tak suka berkalang lidah dengan orang jang serendah itu budinja. Hati Sithon Glima makin panas melihat perangai iparnja itu. Maka ditjarinja kaju sekerat, dan dipukulnja pula puteri jang tidak berdaja itu sepuas-puas hatinja. Seluruh tubuh Ubun-Ubun Emas bengkak-bengkak, kain sarungnja terlepas dari pinggang, sedang tjintjin wasiat, pemberian gergasi, djatuh ketanah. Setelah puas, berhentilah ipar jang kedjam itu dari pada memukul, lalu diteruskannja mentjertja dan memaki, serta mengantjam-antjam. Ubun-Ubun Emas tinggal termenung pula. Sakit badannja sudah tidak terkira-kira. Tapi lebih pula sakit hatinja, karena dituduh berzina. Apakah akan djawabnja kelak, bila suaminja datang memeriksa? Sithon Glima adalah memegang tempuk kekuasaan diistana itu. Seluruh penduduk istana ialah orang sebawahannja. Tidak susah baginja buat menundjuk seluruh mereka mendjadi saksi, jang akan membenarkan tuduhannja itu. Dengan keteguhan hati iapun terdjun kedalam paja, menjerahkan nasibnja ketangan Tuhan. Mulut naga telah menganga, dan didalam sekedjap mata ia telah ditelan oleh raksasa air itu. Sithon Glima melihatkan kedjadian itu dengan bersuka tjita. Dapatlah ia berkata kepada radja kajangan, bahwa isterinja mati ditelan naga. Maka pulanglah ia keistana. 18
Sesampai kedalam perut naga, maka Ubun-Ubun Emas tidaklah mati, , badannja pun tidak remuk. Maka diketahuinjalah, bahwa tjintjin wasiatnja telah hilang. Lalu meminta-mintalah ia' kepada Allah, supaja tjintjin itu kembali kepadanja. Permohonan itu dikabulkanlah. Sambil melontjat-lontjat bagaikan kangkung, datanglah tjintjin itu menghampiri naga. Melihat peristiwa itu ketakutanlah naga, lalu memuntahkan Ubun-Ubun Emas dengan segera, seraja berkata: „Beribu ampun daulat tuanku! Patik sedia menurut segala titah tuanku, meskipun tuanku hendak menjuruh membinasakan seisi paja ini." Ubun-Ubun Emas hanja minta diadakan tjawan dan piring setjukupnja. Seketika itu naga telah meletakkannja ditepi paja. Dengan gembira barang-barang itu dibawanja keistana, lalu diserahkannja ketangan iparnja. Jang menerimanja itu djauhlah dari pada bersuka tjita. Bahkan sebaliknja. Hatinja makin panas, karena puteri itu masih hidup dan kembali pula keistana! Beralih tjerita kenegeri Gulita Sagob. Ketika hendak turun dari istana menurutkan suaminja, adalah Ubun-Ubun Emas menanam sirih, sambil berpesan kepada ke 99 orang adiknja. Manakala sirih itu mendjadi laju, itulah alamat bahwa adiknja sedang menderita sengsara. Sekalian adik itu terkedjutlah, ketika melihat pada suatu hari, bahwa serumpun sirih jang hidup subur itu, sekonjong-konjong mendjadi laju. Maka bermufakatlah sekalian hendak mentjari adiknja itu. Permohonan mereka kepada Tuhan dikabulkan. Masing-masing mendapat sajap, lalu terbanglah bersama-sama menudju kepintu dunia. Sekeluar dari pintu itu, djalan mereka bagai ada jang menundjukkan, karena tidak lama antaranja sampailah sekalian keistana Lila Bangguna. Masing-masing menjaru mendjadi binatang, ada jang mendjadi burung, ada jang mendjadi binatang berkaki empat, ada jang djadi semut, dan sebagainja. Sementara itu santapan diistana sedang dihidangkan. Dengan tidak diketahui orang, segala makanan itu telah dihabiskan oleh ke-99 19
orang saudara. Ketika tamu-tamu membuka tutupan tjambung, bermaksud hendak santap, maka sekalian tjambung itu telah kosong. Lalu pulanglah sekalian tamu, sambil mentjertja menjumpah-njumpah, berkata sedang diperolok-olokkan. Oleh karena kadi dan saksi-saksi telah hadlir, sedang Lila Bangguna telah pulang pula, maka pernikahan itu terpaksa djua dilangsungkan. Pengantin perempuan dihiasi dengan segala pakaian jang indah-indah. Tjantik parasnja bukan buatan puia, dan patut djua didudukkan dengan radja kajangan. Maka datanglah serombongan semut mengerajap ketubuhnja, lalu menggigiti daun telinga pengantin itu, hingga rampunglah telinganja. Lila Bangguna terperandjat melihat bekal isterinja tidak bertelinga, lalu berpaling kepada kakaknja dengan amarah, sambil berkata: ,,Adakah patut kanda mentjarikan isteri bagi adinda, jang demikian rupanja? Tidakkah aib bagi adinda, bila orang ramai berkata, bahwa isteri adinda jang muda tidak bertelinga?" Dengan tidak memandjangkan tjakap, hindarlah radja kajangan dari tempat itu, lalu kembalilah ia kedunia bersama-sama Ubun-Ubun Emas. Kedatangan suami isteri kenegara Gulita Sagob disambut dengan gembira oleh ibu dan ajah Ubun-Ubun Emas, beserta sekalian saudaranja. Setahun lamanja mereka hidup bersenang-senang. Maka wafatlah radja Hamsojkasa. Menurut adat lembaga, jang harus menggantikan baginda ialah putera sulung. Tapi atas kata mufakat jang dapat oleh ke 99 orang putera, maka jang diangkat menggantikan ajahanda ialah puteri Ubun-Ubun Emas. Tersebut perkataan, bahwa berita ketjantikan Ubun-Ubun Emas itu telah sampai kebenua Tiongkok. Radja dinegeri itu, jang terbilang gagah perkasa, datang-datang mempunjai keinginan, hendak mengambil puteri jang masjhur ketjantikannja itu, mendjadi isterinja. Tapi oleh karena orang jang sedang bersuami itu tak akan dapat dipinang, maka diambilnja keputusan, hendak merebut UbunUbun Emas dengan kekerasan dari tangan suaminja. 20
Guna itu terpaksalah ia melakukan persediaan jang kukuh. Seluruh armada disiapkan, tentera darat dikumpulkan, sedang alat sendjata ditjukupkan. Maksud radja benua Tiongkok itu sampailah kepada Ubun-Ubun Emas, dan iapun bersedia-sedia pula, menantikan kedatangan musuh. Maka diperkuatlah benteng jang ada ditepi pantai, dilatih lasjkar untuk menghadapi musuh jang kuat itu. Setelah tjukup persediaan, bertolaklah armada Tiongkok, menudju ke Gulita Sagob. Radja sendiri menumpang pada kapal kebesarannja, jang dinamakan Tjakra Dunia, sebuah kapal besar dari angkatan perang, jang berlapis wadja dan diukir dengan emas dan perak. Lima bulan berlajar, maka sampailah mereka kepelabuhan keradjaan Gulita Sagob. Guna membuka bitjara, armada itu melepaskan beberapa tembakan meriam. Dari darat dikirimkan beberapa orang utusan, guna menanjakan apakah maksud mereka datang ke Gulita Sagob. Sebagai djawab dari pihak radja Tiongkok, mereka menerima sehelai surat, jang harus diserahkan ketangan Ubun-Ubun Emas sendiri. Didalam surat itu dinjatakan dengan pendek, bahwa kedatangan radja Tiongkok ialah, hendak mendjemputnja. Djika ia tak hendak menurut perintah itu, maka iapun akan diambil dengan kekerasan, sedang keradjaan Gulita Sagob hendak dihantjur leburkan. Sepuluh hari ia diberi waktu untuk memikirkannja. Ubun-Ubun Emas mengojak-ngojak surat itu, lalu memerintahkan meneruskan persiapan dibenteng.. Seluruh rakjat berkata ichlas lebur bersama-sama, dari pada menjerahkan radjanja. Genap sepuluh hari sesudah itu, dari pihak armada Tiongkok dilepaskan pula beberapa tembakan meriam, seolah-olah hendak memberi peringatan keistana Gulita Sagob. Sebagai djawab, benteng pasisir memuntahkan peluru-peluru meriamnja, lalu dapat menenggelamkan beberapa buah kapal Tiongkok. Maka meletuslah peperangan jang amat sengit. Tentera Tiongkok jang mendarat, menjerang dengan laku mati-matian. Tapi tentara Gulita Sagob pun tak tinggal diam pula. Dipimpin oleh Lila Bangguna, jang menghunus pedang wasiatnja, disertai pula oleh ke-99 orang kakak Ubun-Ubun Emas, 21
mereka bertahan dengan tangkas dan gagah beraninja. Sedangkan Ubun-Ubun Emas sendiri meninggalkan istana, lalu masuk kedalam benteng, dan mengepalai barisan meriam. Suaranja jang mengobarngobarkan semangat tentaranja, mengatasi suara gemuruh dari medan peperangan. Berpekan-pekan peperangan itu dilakukan. Tiap-tiap pasukan tentara Tiongkok jang mendarat, tidak kembali lagi. Achirnja mundurlah armada itu, meninggalkan pelabuhan. Maka berkatalah Lila Bangguna kepada isterinja: „Adinda! Kanda jakin bahwa musuh akan kembali lagi. Perbuatlah benteng, siapkan tentara dan alat sendjata. Kanda hendak bertapa, sementara musuh belum kembali." Armada meninggalkan Gulita Sagob, lalu kembali kenegerinja. Bukan buatan panasnja hati radja Tiongkok. Disangkanja bahwa Gulita Sagob adalah sebuah keradjaan ketjil, jang tidak akan melawan. Sesampai kebandar Tiongkok, dipanggilnja saudara mudanja, jang bernama Empieng Beusoe. lalu berkata: „Ambillah seluruh keradjaan ini! Duduklah engkau memerintah. Jang kanda minta hanjalah satu: Puteri Ubun-Ubun Emas!" Adindanja itu gembira mendengarkan kata baginda. Sebagai seorang anak muda jang banjak kesaktian, jakinlah ia bahwa menghantjur leburkan keradjaan Gulita Sagob dan menangkap radja perempuannja, bukanlah perkara jang sulit. ' Maka digabungkannja seluruh lasjkar dan armadanja dengan tentara dan armada kakandanja, lalu berangkatlah mereka bersamasama, menudju ke Gulita Sagob. Peperangan jang kedua kali itu berlaku berpekan-pekan pula. Lila Bangguna segera kembali dari tempat pertapaan, lalu berkata kepada ke-99 orang ipar: „Ingatlah! Jang ditjari oleh mereka ialah isteriku, tapi adik kamu sekalian! Sama- sama kita menanggung aib, bila maksud mereka dapat ditjapainja." „Hanja dengan melangkahi majat kami <sahadja, mereka dapat meraba tubuh adik kami!" sahut sekalian dengan tangkas. Peperangan jang kedua kali itu berlaku lebih sengit dari jang mula. 22
Ubun-Ubun Emas tidak setapak hendak meninggalkan benteng. Dengan badju kojak-kojak, rambut tergerai, ia berlari-lari kian kemari, dan atjapkali pula sampai terpaksa menembakkan meriam. Eumpieng Beusoe dapat menjerbu kedalam benteng, lalu berhadapan dengan Lila Bangguna. Kedua sama mengadu sakti dengan sakti. Pedang kedua bersilang, sama-sama memantjarkan api, tapi tidak seorang jang dapat dilukai atau dirubuhkan. Penat berdjuang didaratan, kedua berpindah kelaut, dan dari laut sama mengapung keudara. Sementara itu radja Tiongkok tinggal menantikan diatas kapalnja jang bernama Tjakra Dunia. Sebab djemu menantikan, dipanggilnja seorang tukang sihir, lalu diperitahkannja mentjuri puteri Ubun-Ubun Emas. Seribu dinar emas akan upahnja, djika ia dapat membawa puteri itu ke Tjakra Dunia. Tapi djika ia kembali dengan tangan kosong, pastilah ia akan dibunuh. Maka turunlah tukang sihir itu, menudju kebenteng, sambil menjaru mendjadi orang musafir. Dimuka benteng ia memohon menghadap kepada puteri Ubun-Ubun Emas, katanja hendak minta berkat dari radja jang sakti itu. Ubun-Ubun Emas jang pengasih penjajang, mengizinkannja masuk kedalam. Demi berhadapan dengan puteri itu, maka si tukang sihir membatjakan manteranja. Lalu lenjaplah ia beserta puteri Ubun-Ubun Emas dari pemandangan orang banjak. Dengan mudah si tukang sihir dapat membimbing tangan puteri itu, lalu dibawanja kekapal radja Tiongkok. Sesampai kemuka radja, Ubun-Ubun Emas menghendaki peti katja, katanja untuk tempat bersemajam guna radja dan ia sendiri. Peti itu disediakan, Ubun-Ubun Emas masuk, lalu menguntjinja dari dalam sambil mengantjam akan membunuh diri, bila peti itu dipetjahkan. Radja Tiongkok tak dapat berbuat sesuatu apa, melainkan ditungguinjalah peti itu siang dan malam, sambil melarang segala orang menghampirinja. Sementara itu peperangan terus berkobar-kobar. Tentara Tiongkok jang mendarat, ditewaskan, sepasukan demi sepasukan. Achirnja mundurlah mereka kekapal. 23
Eumpieng Beusoe, jang sedang hibuk berdjuang dengan Lila Bangguna, melihat dari awang-awang, bahwa peperangan telah berhenti, sedang tentaranja telah kembali kekapal. Maka turunlah ia, lalu mentjari kapalnja pula. Sementara itu radja Tiongkok jang sedang menunggui peti katja, berpendapat, bahwa puteri itu sewaktu-waktu boleh direbut orang dari darat. Oleh karena itu diperintahkannjalah mengangkat djangkar, lalu bertolaklah armada meninggalkan pelabuhan. Melihat kedjadian itu, panaslah hati Eumpieng Beusoe. Pada pendapatnja adalah saudaranja itu berchianat terhadap dirinja. Maka iapun menjuruh mengangkat djangkar, lalu bertolak pula, dengan mengambil keputusan tidak akan tjampur-tjampur lagi kedalam perkara kakaknja. Lila Bangguna turun pula, lalu pergi kebenteng, hendak menemui isterinja. Alangkah terkedjutnja, demi melihat bahwa Ubun-Ubun Emas telah hilang. Maka bermufakatlah ia dengan iparnja sekalian hendak mengedjar armada itu. Ditjeriterakan bahwa radja Tiongkok dapat dialahkannja, terutama karena Eumpieng Beusoe sudah tak hendak tjampur lagi. Ubun-Ubun Emas dapat dibawa pulang, dan semendjak itu hiduplah mereka bersenang-senang. Lama-kelamaan lahirlah putera mahkota, jang bagaikan pinang dibelah dua rupanja dengan ajahanda, radja kajangan. Putera itu dinamakan Mirak Diwangga. Achirnja Lila Bangguna pindah djua beserta isteri dan putera kekeradjaannja dikajangan, sedang kakaknja jang ganas telah tak dapat berbuat sesuatu apa lagi. T A M A T.
24
BARU TERBIT: Ir. F. A. Veugelers KELENGKAPAN LISTRIK PADA MOTOROTOMOBIEL
*
dengan banjak Ukurannja
gambar-gambar 13.5 X 21 cm.
240 halaman .
f 13.-
Ongkos kirim 10%
BUKU INI PERLU UNTUK SETIAP MONTIRBENGKEL, SOPIR, MURID-MURID SEKOLAH TEHNIK DLL. T e r d a p a t pada tiap toko buku di seluruh Indonesia. Djika tidak, dapat djuga memesan pada kami.
B a d a n P e n e r b i t a n G. KOLFF & Co. DJALAN SULANDJANA 18 — BANDUNG
Kolff Djakarta