BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi digital membawa dampak pada industri perfilman secara luas. Film tidak hanya dibuat sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi masa, dimana penyampaian pesan ditransfer melalui unsur visual dan unsur audio. Kedua unsur tersebut dikemas menjadi satu kesatuan motion picture yang memenuhi dua fungsi pokok media massa yaitu kebutuhan akan fantasi dan informasi (Rakhmat, 2001). Penggunaan film sebagai alat penyampai pesan massal memiliki keuntungan karena dapat menimbulkan keserempakan. Ini berarti bahwa suatu pesan yang disampaikan melalui film dapat diterima oleh komunikan yang relatif banyak. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa film bukan hanya bagian dari industri hiburan, namun juga menjadi media politik. Film sebagai alat politik merupakan fenomena perlawanan kaum-kaum idealis terhadap kapitalisme media. Industri perfilman yang beberapa dekade terakhir didominasi oleh film-film produksi negara barat, khususnya Amerika, saat ini mulai bergeser ke Asia dengan fenomena korean wave. Film-film korea secara perlahan mulai mendapatkan tempat di industri perfilman dunia1. Industri perfilman Indonesia tidak lepas dari gelombang perfilman internasional. Revolusi film Indonesia diawali dari film pendek atau film independen yang dipelopori oleh Dewan Kesenian Jakarta–Taman Ismail Marzuki (DKJ-TIM)
dan
pendidikan
film
pertama
di
Indonesia.
DKJ-TIM
menyelenggarakan Lomba Film Mini yang mengakomodasi munculnya film-film pendek karya para amatir, seniman diluar film, dan mahasiswa, khususnya mahasiswa sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, yang kemudian berubah menjadi IKJ). Dari aktivitas lomba dan gencarnya DKJ-TIM mengadakan pekan film pendek dan alternatif, muncul gerakan pertama oleh 1
Disadur dari http://koreanwave.blogdetik.com/2012/12/02/perkembangan-industri-hiburan-koreadi-dunia/
1
anak-anak muda yang menamakan diri “Sinema Delapan’. Gerakan ini memunculkan karya-karya film dengan media film 8 mm untuk menentang arus perfilman Indonesia yang didominasi film bertema horor namun sarat dengan unsur pornografi.2 Film-film pendek yang diproduksi secara independen di Indonesia sepanjang tahun 2011 sampai 2012 banyak mengangkat isu sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Salah satu film pendek yang mendapat sambutan besar dari masyarakat adalah film Kita Vs Korupsi (KvsK) yang diproduksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbeda dengan film-film pada umumnya yang diproduksi untuk kepentingan hiburan, KvsK dirancang secara khusus untuk kepentingan kampanye anti korupsi yang dilakukan oleh KPK. Film tidak lagi hanya hiburan semata tetapi juga sebagai alat propaganda untuk menyebarkan informasi tentang korupsi pada masyarakat dengan cara yang lebih menarik. Pada awal penayangannya, film KvsK ditonton oleh lebih dari 50.000 dan mendapatkan respon sangat positif dari masyarakat. Animo masyarakat, terutama kalangan pelajar untuk melihat film ini sangat tinggi karena tidak hanya bermuatan edukasi tetapi juga didukung oleh artis-artis ternama di Indonesia yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Kasus korupsi yang marak dilakukan oleh para pejabat mendapat perhatian penting dari masyarakat, yang berdampak kepercayaan masyarakat pada pejabat publik semakin melemah dengan adanya kasus-kasus tersebut. KPK sebagai lembaga pemerintah yang bertugas memberantas korupsi berusaha mencari upaya untuk memutus rantai korupsi yang terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan melakukan kampanye anti-korupsi di dunia pendidikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung pembuatan sebuah film dengan judul Kita Vs Korupsi (KvsK) sebagai upaya untuk membangun perilaku anti korupsi dengan pendekatan pop culture (budaya pop) yang berkembang dalam masyarakat. Film tersebut diproduksi bekerja sama dengan USAID (United State Agency for International Development), TII (Transparancy International 2
Hal ini seperti dituliskan dalam artikel “Perkembangan Film Indie di Indonesia” pada situs http://dunia-sinematografi.blogspot.com/2009/06/perkembangan-film-indie-di-indonesia.html
2
Indonesia), dan Cangkir Kopi yang menjadi rumah produksi film. Melalui film KvsK, para pembuat film berusaha menggambarkan fenomena korupsi yang tanpa sadar banyak dilakukan oleh masyarakat. Pada intinya, film tersebut memuat pesan anti korupsi melalui nilai-nilai kejujuran yang ditanamkan dalam keluarga sebagai dasar pembentuk karakter individu. KvsK terdiri dari empat film pendek yang berjudul Rumah Perkara, Aku Padamu, Selamat siang, Risa! dan Pssst, Jangan Bilang Siapa-Siapa. Masingmasing sub-film menampilkan fenomena korupsi dalam perspektif yang berbedabeda dengan pesan moral yang berbeda pula. Film pertama Rumah Perkara menceritakan tentang pergulatan batin yang dialami oleh seorang Lurah di sebuah desa. Konflik di dalam diri Lurah tersebut muncul sebagai dampak perilaku korupsi yang dilakukan sebagai alat untuk mendapatkan jabatannya. Film ini menekankan pada dampak tidak terhindarkan dari perilaku korupsi. Film kedua, Aku Padamu bercerita tentang pasangan muda-mudi yang ingin menikah diamdiam. Pasangan tersebut dihadapkan pada calo orang dalam yang dapat memuluskan proses pernikahan mereka. Film ini lebih menekankan pada tindakan sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah korupsi yaitu dengan melakukan sesuatu sesuai prosedur yang berlaku. Film ketiga, Selamat Siang, Risa! bercerita tentang dilema yang dihadapi oleh seorang karyawan bagian perijinan yang ditawari suap untuk memberikan ijin pembangunan. Film ini bercerita secara flash back tentang pelajaran nilai kejujuran yang diterima sejak ia masih anak-anak. Film keempat, Pssst, Jangan Bilang Siapa-Siapa menampilkan suatu tindakan korupsi terstruktur yang sering terjadi di dunia pendidikan. Setiap film pendek yang ditampilkan dalam KvsK merupakan representasi korupsi yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Meskipun secara harafiah Kartono (1983) memberikan batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara, dalam film KvsK korupsi ditampilkan dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat. Penggunaan film sebagai alat penyampai pesan tentang korupsi kepada masyarakat ini merupakan salah satu terobosan dalam dunia politik. Pemerintah
3
menyadari adanya potensi penggunaan media film untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi melalui pendekatan yang lebih mudah dicerna oleh masyarakat. Film dengan latar drama keluarga dan remaja lebih mudah diterima sehingga diharapkan dapat menyentuh hati masyarakat secara serempak. Dalam hal ini, selain membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2006). Penelitian tentang representasi sebuah ide dalam film telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wibawa dan Budhy (2013) dengan judul Korupsi dalam Film (Studi Analisis Wacana Bentuk Korupsi, Pelaku Korupsi dan Pendidikan Anti Korupsi dalam Film Kita Versus Korupsi). Wibawa dan Budhy (2013) hanya melakukan analisis pada level teks. Teks merupakan proses dan hasil dari makna sosial dalam konteks situasi tertentu. Sedang konteks situasi merupakan lingkungan terjadinya pertukaran makna. Untuk memahami sebuah wacana, diperlukan mempelajari teks dan konteks (situasi dan budaya) secara bersama-sama dalam proses komunikasi. Dari hasil analisis teks, dihasilkan kesimpulan bahwa film KvsK mengandung makna korupsi yang berkaitan dengan bentuk-bentuk korupsi, pelaku korupsi serta pendidikan anti korupsi. Kita Versus Korupsi merepresentasikan bahwa praktikpraktik korupsi yang terjadi di kalangan masyarakat ini sudah membudaya dan menjadi tradisi, seperti penyuapan, penyalahgunaan jabatan, penggelembungan dana, menggunakan jasa calo ataupun memberikan “uang damai kepada polisi dan menganggap perbuatan itu seperti tindakan yang lumrah dan biasa terjadi di masyarakat. Kontroversi dan jalan cerita yang ditawarkan oleh film KvsK menjadi salah satu alasan peneliti untuk melakukan analisa lebih mendalam. Film memiliki kemampuan membentuk, mengubah dan mempengaruhi pandangan masyarakat. Oleh karena itu, apa yang direpresentasikan di dalam sebuah film menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Hal ini penting dilakkan untuk melihat apakah pesan yang disisipkan di dalam film berhasil tersampaikan pada masyarakat atau justru mengaburkan makna yang ingin disampaikan. Pada penelitian ini, film
4
KvsK akan dianalisis untuk melihat bagaimana korupsi direpresentasikan di dalam film secara menyeluruh, tidak hanya pada level teks, tetapi juga pada level realitas dan ideologi.
5
1.2. Rumusan Masalah Latar belakang penelitian ini mengemukakan pentingnya analisa terhadap representasi makna dalam sebuah film untuk melihat kemampuan film tersebut menyampaikannya kepada masyarakat. Berangkat dari latar belakang tersebut, rumusan masalah sebagai dasar penelitian ini adalah bagaimana korupsi dan nilainilai anti korupsi direpresentasikan dalam film Kita vs Korupsi?
1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana perilaku korupsi direpresentasikan dalam film KvsK. 2. Untuk menjelaskan nilai-nilai anti korupsi yang ingin disampaikan oleh KPK melalui film KvsK
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat baik secara praktis maupun teoritis. Secara praktis penelitian ini diharap mampu memberikan gambaran tentang film sebagai media komunikasi mampu memberikan makna dibalik pembuatannya tanpa menghilangkan isi pesan yang sebenarnya ingin disampaikan kepada khalayak. Secara teori, penelitian ini diharap mampu memberikan pemahaman terhadap teori semiotika sebagai metode analisa tentang teks-teks kebudayaan termasuk salah satunya mengenai film.
6
1.5. Konsep dan Batasan Penelitian 1.5.1. Representasi Representasi, ”representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exhanged between members of culture. Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota masyarakat. Dengan kata lain, representasi merupakan suatu cara untuk memproduksi makna (Hall, 2003).
1.5.2. Korupsi Korupsi menurut Marpaung (1992) adalah perbuatan memiliki “keuangan Negara” secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, korupsi diartikan sebagai: “…penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan atau sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Kata “keuangan negara” biasanya tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan Negara” adalah aparat pemerintah.
1.5.3. Film Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu. (Effendy, 1986: 134). Pesan film pada komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi film tersebut. Akan tetapi, umumnya sebuah film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan dan informasi. Pesan dalam film disampaikan dalam bentuk tanda-tanda dan simbol yang dirancang sedemikian rupa untuk mewakili pikiran manusia yang dituangkan dalam isi pesan, suara, perkataan, percakapan dan sebagainya.
7
1.6. Batasan Penelitian Batasan yang diberikan untuk memberikan kerangka yang jelas pada penelitian ini adalah representasi dalam film dengan menggunakan film Kita vs Korupsi sebagai obyek penelitian. Teknik analisa yang digunakan adalah analisa tiga level yang dikemukakan oleh John Fiske yang meliputi level realitas, representasi dan ideologi.
8
1.7. Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran sebagai dasar penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut: Tingkat korupsi di Indonesia sangat tinggi KPK melakukan kampanye anti korupsi
Film Kita Vs Korupsi
Rumah Perkara
Aku Padamu
Selamat Siang, Risa
Pssst… Jangan bilang Siapa-siapa
Semiotika
Kode-kode TV John Fiske
Level realita
Level representasi
Level ideologi
Representasi korupsi dalam film KvsK
9