MODEL MANAJEMEN LEARNING SOCIETY DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ISLAM Husniyatus Salamah UIN Surabaya. Jl. A. Yani 117. Surabaya
[email protected] Abstrak Sebagai sebuah diskursus learning society mungkin hanya dikenal oleh sebagian kalangan. Bahkan, cenderung salah kaprah dalam memahami konsep yang merupakan tanggapan terhadap para kritikus dunia pendidikan. Tulisan ini setidaknya akan memuat tiga hal penting; pertama, kerangka teoritik dan praktis tentang learning society. Kedua, problematika yang akan dihadapi jika sebuah lembaga atau sekolah akan mengimplementasikan hal tersebut. Ketiga, sebuah contoh kecil dari UIN Sunan Ampel Surabaya, yang sudah atau akan melaksanakan learning society ini, melalui pendekatan manajerial approaches, atau lebih spesifik disebut organizational approaches. Pada kesimpulannya, kendati harus melalui proses yang cukup panjang. Learning society bisa juga diimplementasikan asalkan dengan beberapa persyaratan; 1) adanya kebijakan yang mengakomodasi seluruh elemen sosial, agar bisa urun rembuk dalam dunia pendidikan. 2) adanya guru atau tutor yang kompeten untuk melakukan shared setting idea, dari masyarakat dan teori yang diajarkan. 3) adanya budaya atau educational climate yang mendukung. 4) yang lebih penting adalah adanya kurikulum yang jelas berbasis pada rekonstruksi sosial dan ketarampilan hidup, agar tercipta planned society yang ideal. Keyword: Management, Learning Society Pendahuluan Diakui atau tidak, ada perbedaan pandangan yang mencolok antara praktisi pendidikan (school and education) dengan sosiolog pendidikan. Salah satu diantaranya adalah pandangan terhadap proses belajar mengajar. Bagi seorang praktisi, pendidikan, yang dilalui dengan usaha sadar, harus diimplementasikan melalui perangkat yang terstruktur, tertulis, dan bisa diukur sesuai dengan indikator yang sudah ditentukan, serta harus diinstitusionalisasi pada teriteori tertentu. Adapun pandangan para sosiolog, beranggapan bahwa pendidikan (education) adalah sebuah longlife term process (proses seumur hidup) yang sumber reflektifnya bisa didapat dari seluruh tempat, tanpa batasan apapun. Mengutip pandangan Peter Jarvis yang mengatakan bahwa : “However, education is social and both public and private, depending upon the provider, whereas learning is something that is individual and private. Education is designed to provide specified learning opportunities and is institutionalised, either as state institutions (public) or as corporate ones (private). Both forms of institution emphasise the knowledge necessary for the work-
force to compete”. 1 Kutipan ini memang tidak menyebut adanya perbedaan mencolok. Tapi, Jarvis ingin menegaskan bahwa dalam pendidikan memiliki dua dimensi yang mesti terintegrasi. Yakni sebagai proses pembelajaran dan perilaku sosial di dalam masyarakat. Sehingga, apa yang dilakukan di dalam pendidikan bisa menyampaikan para peserta didik kepada dunia nyata. Hingga saat ini, para pakar sosiolog pendidikan masih beranggapan bahwa ada jarak pemisah yang luas antara ruang pembelajaran, baik bagi anak-anak ataupun dewasa, untuk memberikan ruang pemahaman tentang kehiduoan nyata (real life). Apakah itu social interest sehingga terjadi hormanonisasi kehidupan sosial, market atau ekonomi agar tercipta stabilitas ekonomi, dan terakhir pemahaman akan political order dalam kehidupan yang demokratis. 2 Oleh sebab itulah, tak jarang terlihat, buku-buku para kritikus lembaga pendidikan seperti Ivan Illich, 3 Pierre, 4 dan lain sebagainya, masih laku dan menjadi image kuat para sosiolog pendidikan saat ini. Untuk itulah, pada awal-awal tahun 2000an, para peneliti sosiologi pendidikan Barat kontemporer, seperti Apple, Ball, Fischman, dkk, menggaungkan terminologi baru dalam dunia pendidikan bernama “Learning Society”. Di Indonesia sendiri, senyap-senyap model pendidikan ini sempat menggaung pada tahun 2011, kala itu Moh. Nuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengajak agar sekolah umum atau vokasi, dan pendidikan tinggi, mulai menggalakkan masyarakat pembelajar ini. 5 Namun pada kenyataannya, pendidikan ini masih belum bisa diangkat sebagai proto-type pendidikan nasional di Indonesia. Terlepas dari gagalnya kebijakan untuk mengangkat hasil diskursi ilmiah ini, penulis hanya ingin mengeksplorasi tawaran ini dalam perspektif manajerialisme. Yakni dengan rumusan bagaimanakah cara mengelola pendidikan masyarakat ini menjadi satu pilihan alternatif, diluar kekuatan pendidikan formal yang sudah sangat terstruktur dan terlembagakan dengan sangat baik. Oleh karena hanya sebatas tawaran deskriptif-eksploratif, penulis pun hanya akan menampilkan beberapa aspek teoritik, termasuk di dalamnya problematikanya, panduan (guidelines) dalam bingkai manajemen pendidikan. Sedangkan terakhir, adalah menggali nilai pendidikan Islam yang bisa dikoneksikan dengan konsepsi teoritik sebelumnya.
Learning Society as a Discourses
Sebagai sebuah wacana, terminologi learning society mulai diperkenalkan oleh Donald Schon, Robert Hutchins, Trosten Husen, Stewart Ranson, pada kisaran tahun 1973. Perubahan
Peter Jarvis “Globalisation, The Learning Society and Comparative Education” dalam Stephen Ball The Rutledge Falmer in Sociology of Education ( London: Taylor and Francis Journal, tt). 72 2 Stephen Ball The Rutledge Falmer in Sociology of Education ( London: Taylor and Francis Journal, tt). xi 3 Dalam buku “Deschooling Society” Illich mengajak para praktisi, akademisi, dan sosiolog pendidikan untuk memaknai kembali pendidikan yang sudah dilalui oleh semua orang. Buku tersebut setidaknya berisikan tujuh topik penting. Pertama, kenapa mesti merobohkan sekolah. Kedua, fenomenologi sekolah. Ketiga, ritualisasi kemajuan. Keempat, spektrum institusional. Kelima, konsistensi yang irasional. Keenam, learning webs. Ketujuh, melahirkan kembali manusia yang sebenarnya. Dua pembahasan terakhir dari buku ini merupakan tawaran Illich tentang model lembaga pendidikan yang ideal. Salah satu ungkapannya adalah semua orang harus menyadari bahwa setiap sekolah selalu berhubungan dengan kepentingan politik, ekonomi, dan pasar. Semestinya, seorang peserta didik diperkenalkan dengan segala kemungkinan yang akan dihadapi pada kehidupan nyata. Bukan sebaliknya, memberikan indoktrinasi yang tidak nyata (unreal). (Lihat: Ivan Illich “Deschooling Society” efile Harrow Books.) 4 Memang tidak jauh berbeda daripada Illich, keinginan Paolo Pierre adalah membentuk kesadaran kritis di dalam masyarakat bahwa model pendidikan ideal bukanlah model banking education. Yakni pendidikan yang mewajibkan peserta didiknya menghafal seluruh hal yang diajarkan. Namun, pendidikan adalah usaha sadar untuk membentuk ke-kritisan dalam melihat semua hal yang dihadapi di dunia ini. Salah satu buku yang terkenal dari tokoh ini adalah Oppressed Education (pendidikan tertindas), yang sudah banyak dibaca oleh para calon pendidik di Indonesia. Untuk lebih lengkapnya (Lihat: Paolo Pierre Oppressed Education (New York: Routledge Publ. 1997) 5 Kemendikbud ajak PT Kembangkan “Learning Society”: http://www.antaranews.com/berita/281094 (diakses pada 20 Maret 2015) 1
paradigma kependidikan ini, sebenarnya, berawal dari kuatnya gerakan industrialisme yang hadir di tahun 1960an. 6 Peter Jarvis, mengutip pandangan Hutchins, mengatakan bahwa : “For Hutchins, education would come into its own and the new learning society would be the fulfilment of Athens, made possible not by slavery but by modern machines. It was the realisation of this computer revolution that led Husen (1974) to very similar conclusions. He argued that ‘educated ability will be democracy’s replacement for passedon social prerogatives’ .... He recognised that the knowledge explosion would be fostered by a combination of computers and reprographics and he foresaw the possibility of ‘equal opportunities for all to receive as much education as they are thought capable of absorbing’... Despite Sweden’s long history of adult education, Husen regarded the learning society as being educational and based on an extension of the school system.” 7 Kutipan ini bermakna bahwa pendidikan, seyogyanya, bisa hadir sebagai bagian dari masyarakat. Semua lulusannya, mampu beradaptasi dengan cepat akan kebutuhan yang ada. Bukan sebaliknya, menjadikan peserta didik kehilangan identitasnya, berjalan layaknya mesin semata, yang dioperasikkan oleh sekolah. Sebagaimana pandangan para kritikus lainnya, kutipan ini, menyerukan agar sistem pendidikan yang ada di sekolah bisa berubah dan ditambah dengan cakupan yang ada di dalam masyarakat. Ranson mengadopsi pandangan ini dengan mengatakan bahwa, saat ini, hal yang paling dibutuhkan masyarakat modern ialah proses pembelajaran konstruksionis, sehingga tercipta kondisi sosial yang kondusif, stabil, dan kehidupan politik yang teratur. Bukan sekedar mengajarkan kapasitas keilmuan kepada peseta didik semata, melainkan juga harus bisa merespon kehidupan terbuka yang terjadi di dalam masyarakat. 8 Demikian halnya Boshier, dia melihat ada perubahan paradigmatik (school reform), yang diselenggarakan di New Zeland, untuk membentuk konstruksi bersama kehidupan masyarakat yang stabil, produktif, dan memiliki kesadaran bersama. 9 Stephen Gorrard et.all meminjam istilah Frank Coffield, seorang Direktur peneliti tentang learning society, yang mendefinisikannya sebagaimana kutipan berikut: “… in which all citizens acquire a high quality general education, appropriate vocational training and a job ... while continuing to participate in education and training throughout their lives.... Citizens of a learning society would ... be able to engage in critical dialogue and action to improve the quality of life of the whole community” 10 Stephen Gorrard menambahkan bahwa proses learning society ini mengembangkan dan mengedepankan aspek kepentingan peserta didik untuk bisa hidup di dalam masyarakat. Oleh kareanya, ada dua tugas penting proses learning society ini. Pertama, memberikan bekal vacational (keterampilan hidup) bagi peserta didik. Kedua, serta memberikan kesempatan kepada peserta didik apa yang dibutuhkan di dalam masyarakat. 11 John McClellan, dalam Envisioning Learning Societies Accross Multiple Dimensions, mengartikan terminologi learning society ini menjadi dua bagian penting, dan, terbagi menjadi beberapa dimensi. Kata “learning”, menurutnya, selalu dikonotasikan kepada aspek interaksionisme personal atau individual. 12 Padahal learning as process, merupakan bentuk dari shared lesson set (membagi pengetahuan atau pengalaman) yang bersumber dari banyak hal. Oleh sebab itulah, pemaknaan learning society berdasarkan pada pandangan multi-dimensional berarti Learning Society http://en.wikipedia.org/wiki/Learning_society (diakses pada 20 Maret 2015) Peter Jarvis “Globalisation, The Learning Society and Comparative Education” 75 8 Ibid, 76 9 Ranson, S. (1992) ‘Towards the learning society’, Educational Management and Administration, vol 20, no 2, pp 68-79. 10 Gorard, S., Rees, G. and Fevre, R. (1999a) ‘Two dimensions of time: the changing social context of lifelong learning’, Studies in the Education of Adults, vol 31, no 1, pp 35-48. 11 John McClellan, Envisioning Learning Societies Across Multiple Dimensions (New York. Inc Press, 1997), 67 12 Ibid, 6 7
“change in not just individual lesson sets, but also in a society’s shared lesson set. This way of conceiving of the learning society is not common, but in my view deserves more attention.” 13 Dia juga menggambarkan bagaimana proses shared lesson set dan perubahan yang bisa diperoleh oleh seorang individu, jika mereka melakukan proses interaksionanisme dan dialektika secara keseluruhan (at whole). Gambar 1.1 Learning Society as whole process
Skilled Society merupakan proses awal masyarakat untuk memahami peranan kehidupan mereka di dunia nyata. Oleh karenanya, dia dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang sangat banyak, mulai dari keterampilan dalam pengertian pekerjaan, atau shoft skill, semisal bisa menulis, meneliti, dan mejabarkan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Selain kemampuan individual yang dikedepankan, ada satu nilai lagi yang semestinya juga dicapai dalam proses learning society as whole ini. Yakni Personal Wisdom Society. Sebagaimana yang dijabarkan oleh John M., tabel ini merupakan masyarakat ideal, yang memiliki kebijaksanaan kuat dalam bertindak. 14 Jika melihat bangunan diskursus di atas, learning society bukan hanya merupakan tawaran yang terfokus pada konteks sistem pembelajaran yang ada di sekolah. Melainkan juga, meminjam istilah yang digunakan Jarvis, adalah sebuah kerangka untuk membangun masyarakat yang ideal (planned society), yang berkesesuaian dengan nilai-nilai lokal ataupun global. Sebuah model masyarakat yang memiliki kesadaran akan perilaku yang baik atau buruk. Hal dibuktikan menurut Jarvis, di beberapa negara Eropa, melalui Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), bahkan akhir-akhir ini UNESCO juga mempopulerkan gagasan tentang learning society ini. Oleh sebab sudah menjadi projek global yang dijajakan kepada seluruh negara, termasuk di dalamnya adalah negara berkembang. Maka, learning society lebih tampil dalam bentuk praktis dan implementatif. Salah satunya berbentuk guideline yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga internasional. Di dalam buku tersebut dijelaskan beberapa prinsip-prinsip penting tentang learning society. Setidaknya ada sembilan rumusan prinsip sebagai berikut : 1. Menumbuhkan budaya belajar yang berbasis pada nilai-nilai kehidupan (Engenders a culture of learning throughout life) 2. Mengembangkan pemahaman dan mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan masa depan, layaknya dihadapi pada hari ini. (Aims to develop motivated, engaged learners who are prepared to conquer the unforeseen challenges of tomorrow as well as those of today.) 3. Memahami proses pembelajaran sebagai aktifitas saling memahami tentang hal yang luas, bukan hanya persoalan tempat semata. (Takes learning to the learner, seeing learning as an activity, not a place.)
13 14
Ibid, Ibid,
4. Meyakini bahwa proses belajar bisa berasal, dan atau, untuk orang lain. Tidak satupun ada proses pengecualian. (Believes that learning is for all, that no one should be excluded.) 5. Menayadari bahwa setiap orang memiliki cara dan jalan yang berbeda untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan (Recognizes that people learn differently, and strives to meet those needs.) 6. Mengembangkan dan merangkul pihak-pihak lain, seperti LSM, pemerintah, dan lain sebagainya (Cultivates and embraces new learning providers, from the public, private, and NGO sectors.) 7. Mengembangkan hubungan dan kerjasama baru diantara pembelajar, provider, dan pihak-pihak lainnya (Develops new relationships and new networks between learners, providers (new and old), funders, and innovators.) 8. Menenrukan infrastruktur kesuksesan secara sistematis. Misalnya, dukungan dari sistem yang inovatif, timbal-balik dari pengetahuan yang didapat terhadap lingkungan sosial yang dihadapi. (Provides the universal infrastructure they need to succeed—still physical but increasingly virtual. Supports systems of continuous innovation and feedback to develop knowledge of what works in which circumstances.) 15 Dari beberapa aspek prinsipil di atas, untuk membangun proses learning society yang efektif, maka dibutuhkan pula alur baru dari sisi inovasi, kebijakan, dan keyakinan para pelaksana sistem pendidikan di sebuah negara tertentu. Learning Society membutuhkan koalisi baru antara pemerintah, para pebisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat, baik nasional ataupun internasional, dan para investor. Semuanya, harus bisa duduk bersama menciptakan inovasi-inovasi program terbaik agar menghasilkan links and macthes dari seluruh struktur yang ada di dalam masyarakat. Selain membutuhkan koalisi baru pengembangan lembaga pendidikan, perlu pula adanya penggabungan proses pengalaman yang dihadapi oleh para provider di atas, serta diwujudkan dalam satu sistem visi dan misi yang sama, menciptakan planned society. Proses shared learning dan perbaduan dua proses pengalaman ini, akan mengantarkan seluruh provider terhadap peran dan fungsinya masing-masing. Pemerintah memiliki kebutuhan untuk pengembangan Sumber Daya Manusia. Sekolah adalah ruang penggemblengan para siswa. Lembaga pemberdaya masyarakat adalah alat sosial menyuarakn kebutuhannya. Sedangkan, para pihak swasta, umumnya, memiliki modal untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarkaat tersebut. Terakhir, hal yang tentunya juga penting, adalah keyakinan para pemimpin sekolah atau lembaga pendidikan untuk bisa melakukan inovasi-inovasi yang ditawarkan di atas (creating learning society climate). Pada umumnya, potret pendidikan di beberapa negara maju, menunjukkan learning society ini dilaksanakan secara seksama. Di dalam kebudayaan mereka, setidaknya, sudah terbangun triangle koneksitas – pemerintah, perusahaan, dan sekolah. Oleh karenanya, mengimplementasikan learning society hanya membutuhakn proses perluasan-perluasan peran, dan bahkan, spesifikasi kajian dan kepentingan (interest) institusi pendidikan saja. Hampir semua perguruan tinggi di beberapa negara maju, sudah beraviliasi dengan sponsor dan partnership perusahaan. Adapun tugas negara adalah memberikan hibah dana – jika meminjam istilah yang ada di Indonesia, untuk melakukan penelitian-penelitian inovatif dan terapan. Pada fase selanjutnya, hasil penelitian tersebut, diperuntuhkkan pada pemilik modal, untuk bisa dibiayai dan dipasarkan. Dari seluruh pendefinisian teoritik, kerangka pengimplementasian, serta prinsip-prinsip penting yang sudah disebutkan di aras, dapat diambil beberapa inti-sari konseptual tentang learning society, yang banyak dijabarkan oleh para akademisi dan praktisi Barat di atas. Intisari pertama adalah perlunya reform-system pendidikan yang lebih diarahkan kepada pembekalan untuk bisa beradaptasi dan hidup di dalam masyarakat. Kedua, perlunya pembekalan keterampilan, 15 John Chambers Thel Learning Society (Cisco Systems, Inc. All rights reserved. This document is Cisco Public Information. 2010.) 3
sebuah model pendidikan lebih terfokus pada, training to get the job. Ketiga, khusus bagi para stakeholder pendidikan, perlu juga hal-hal inovatif, atau pembaharuan dalam proses pengenalan siswa atau mahasiswa, terhadap kehidupan di masyarakat. Bagi penulis, konsep learning society ini, merupakan sistem pendidikan yang mengakomodasi para kritikus pendidikan, seperti Piere, Illich, dan para sosiolog pendidikan lainnya. Konsep learning society, diakui atau tidak, memiliki keunggulan dari sisi konstruksi model pendidikan yang lebih partisipatif, based on life-long term, dan mendedikasikan seluruh prosesnya pada kepentingan peserta didik. Hal ini pulalah yang disadari oleh M. Nuh, mantan Menteri Pendidikan Nasional, kala itu, agar seluruh sekolah bisa mengimplementasikan konsep ini. Namun, bukan Indonesia namanya, jika ada ide cemerlang bisa langsung diimplementasikan dengan baik. Sedikit apologetik mungkin, oleh karena keterbatasan waktu meneliti, penulis mencari terma learning society yang disebutkan oleh M. Nuh kepada wartawan. Yang terjadi, pasti semua bisa menebak. Tidak terdapat konsep ideal dan akademik tentang apa yang disebut dengan learning society di dalam sistem pendidikan nasional ini. Hal yang banyak dirujuk hanyalah wawancara dan inisiasi beberapa sekolah sendiri, yang pada intinya, tidak ada instrumentasi detail tentang terma “Masyarakat Pembelajar” (learning society) ini. Secara garis besar, ada tiga pemaknaan terminologi learning society tergambar di Indonesia. Pertama, pembelajaran tentang kehidupan bermasyarakat. Pendefinisian ini mereduksi banyak hal dari beberapa konsepsi yang terbangun secara teoritik di atas. Kedua, peran serta masyarakat dalam proses pendidikan. Ini tercermin oleh sebagian kalangan yang menganggap bahwa learning society sama halnya dengan pendidikan informal atau nonformal; yaitu konsep pendidikan yang berasal dari inisiasi masyarakat semata, contohnya, pondok pesantren atau semacam sekolah alam. Ketiga, terakhir, sebuah proses pengenalan para peserta didik dewasa terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Definisi terakhir ini, mungkin, lebih cocok disandingkan dengan beberapa teori yang disebutkan di atas. 16 Pasalnya, Rees, membatasi learning society ini hanya bisa berlaku pada pembelajar dewasa (adult learner). 17 Terlepas dari pendefinisian yang kurang jelas di atas, sebagai sebuah diskursus, learning society tetaplah diskursus global yang bisa menghampiri seluruh teritori tertentu di dunia – berdasarkan pada teori travelling idea. Maka dari itu, perlu adanya inisiasi untuk lebih menggambarkan konsep yang benar dan sedikit lebih ditail, instrumental, dan berdasarkan pada academic resources. Serta mencarikan kerangka adaptasi yang cocok berdasarkan pada nilai-nilai pendidikan yang sudah diatur dan dirangkai dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, atau mencarikan cara pandang alternatif, berdasarkan nilai kelembagaan pendidikan di Indonesia, seperti yang sudah dilakukan di pondok pesantren. Problematika Implementasi Learning Society Jika melihat dari alasan hadirnya learning society ini sebagai tawaran diskursus baru yang ada di dunia pendidikan, maka problem utamanya hanya satu; adanya diskoneksitas antara sekolah dan kehidupan nyata di masyarakat. Tak ayal ada ungkapan “How can we get people into school?” we need to ask “How can we enable people to learn most effectively throughout their lives?”. Kata-kata ini setidaknya bermakna bagaimana kita mengajak orang masuk ke dalam sekolah, sedangkan di dalam sekolah sendiri, tidak menyediakan apa yang dibutuhkan untuk kehidupan panjang (long-life term) para peserta didik. Berawal dari itu, learning society ini hadir. Dalam bahasa lain, hingga saat Penjelasan BAN PT tentang Perguruan Tinggi. http://web.banpnf.or.id/index.php/kebijakan/76kebijakan-ban-pnf (diakses pada 23 Maret 2015) 17 Rees, G., Gorard, S., Fevre, R. and Furlong, J. (2000) ‘Participating in the learning society: history, place and biography’, in F. Coffield (ed) Differing visions of a Learning Society: Research findings Volume Two, Bristol: The Policy Press, pp 171-92. 16
ini, ada masalah utama sistem pendidikan. Yaitu ketidak sinerjian antara apa yang diajarkan sekolah dan kehidupan sosial. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah learning society bisa menjadi solusi ampuh. Jawabannya juga tidak secara otomatis ampuh. Karena pada taraf implementasinya akan mendapatkan problem-problem baru yang akan dihadapi. Claire Howel menyebut bahwa ada beberapa problem utama pengimplementasian learning society; Pertama, roles of tutor. Kedua, culture and curricula. 18 Jika dilihat secara seksama, proses implementasi learning society memang membutuhkan seorang guru, trainer, mentor, atau tutor yang memiliki pemahaman luas terhadap kehidupan masyarakat. Selain itu juga, dia harus bisa membawa para peserta didik untuk masuk ke dalam dimensi sosial yang sedang diceritakan. Pada kenyataannya, peran para pembelajar sangat jauh dari kata berpengalaman. Mereka masih lebih cenderung memindah (transfering) pengetahuan atau informasi yang dimiliki, dibandingkan melakukan sharing tentang pengalaman masing-masing. Problem lain, yang juga diungkap oleh Claire, berkaitan dengan budaya dan kurikulum yang digunakan untuk para peserta didik. Budaya sekolah yang masih limitatif, berdasarkan space dan teritori tertentu, ditambah lagi, ada kecenderungan sekolah terpisah secara lingkungan dengan masyarakat umum, akan menambah gap pemahaman peserta didik dengan kehidupan nyata. Begitu halnya kurikulum. Bagi sebagian praktisi pendidikan, menurtut Claire, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang tertulis dan memiliki batasan evaluatif. Padahal, untuk mengimplementasikan konsep learning society harus ada hidden curriculum, yang harus diindoktrinasi kepada peserta didik. 19 Sebagian yang lain, termasuk di dalamnya Pat Davies, berpendapat berbeda tentang challenges (tantangan) yang akan dihadapi sekolah dalam melaksanakan learning society, sebagai model dan sistem sekolah. Pertama, problem kebijakan yang akan diambil oleh pihak sekolah. Kedua, kerangka interaksi masyarkat dalam proses berpartisipasi di sekolah. Ketiga, peranan guru dan orang tua untuk menjaga pemahaman peserta didik. Keempat, persoalan core-sub kebudayaan sekolah. Kelima, problem sosial yang ada di luar sekolah. Keenam, diskoneksitas antara sekolah, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku bisnis. 20 Dari seluruh problem-problem teoritis dan praktis di atas, hal yang juga urgent dieksplorasi adalah bagaimanakah dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia? Semua orang akan menjawab dengan narasi-logika yang mungkin sama. Yakni, persoalan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Sebelum membahas problem atau tantangan spesifik, jika learning society ini diimplementasikan, ada baiknya pula menerangkan beberapa problem pendidikan di Indonesia secara umum. Pertama, problem politik pendidikan nasional. Secara garis besar, problem politik pendidikan di Indonesia selalu berubah-ubah dan tidak konsisten dalam proses implementasinya. Contoh paling sederhana yang bisa terlihat. Di saat diskursus tentang Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Managemen) hadir ke Indonesia, kebijakan nasional pendidikan Indonesia berubah dari proses centralistik mengarah pada desentralistik. Tapi, kenyataan di lapangan, banyak lembaga pendidikan, khususnya public school, masih bergantung kepada kebijakankebijakan pemerintah, sumber daya manusia yang di-supply oleh pemerintah, termasuk di dalamnya terkait dengan pendanaan. Tidak ada kemandirian murni, sebagaimana amanat konsep School Based Management.
Claire Howen, Foundation of Learning Society Based Problems and Solving (Hononalu: Blackwell Pub. 2009), 89 Ibid 90 20 Davies, (1998) ‘Formalising learning: the role of accreditation’, Presentatio at the ESRC Learning Society Programme seminar on informal learning, Bristol. 18 19
Kedua, kurikulum pendidikan nasional yang tidak ada ujung pangkalnya, hingga hari ini. Penyesuaian dan penginovasian kurikulum ke arah yang relevan dengan tuntutan zaman memang sebuah keniscayaan. Namun, bukan berarti harus dirubah sesuai keinginan-keinginan politik pemangku kebijakan nasional. Ketiga, profesionalisme guru. Program sertifikasi guru, yang berarti menandakan bahwa akan ada peningkatan kesejahteraan dan guru akan lebih profesional, adalah core-policy agar guru bisa lebih fokus dan concern terhadap murid atau peserta didik. Pada kenyataan di lapangan, orientasi guru mengikuti sertifikasi hanya terfokus pada kesejahteraan semata, tidak sama sekali mementingkan aspek profesionalisme. Keempat, dan paling urgen dalam pandangan penulis, pendidikan nasional Indonesia kehilangan identitas, baik dari sisi makna filosofis dan sosiologis. Artinya, mulai era reformasi hingga saat ini, rancangan pembangunan manusia yang diinginkan Indonesia masih bersifat utopis. Dulu, ada penggalangan kembali “Pendidikan Karakter” sebagai manifestasi kebudayaan indigious Indonesia. Tapi, disaat proses implementasinya, pendidikan karakter yang digadanggadang tersebut berasal dari Congress Character Education di negara-negara maju. Bukan asli budaya Indonesia. Belum lama dilaksanakan, dan masih dalam taraf diskursus, ada keinginan “merevolusi mental”, sebuah kata yang lebih mendalam dibandingkan karakter. Kenyataannya, tidak juga terlaksana dengan baik. Problem-problem di atas, adalah common issues yang disadari oleh para pengamat, praktisi, dan akademisi, yang concern menilai pendidikan Indonesia. Adapun beberapa problem atau tantangan yang akan menjadi hambatan, jika ada keinginan implementasi learning society ini sebagai model pendekatan pendidikan, adalah sebagaimana berikut: 1. Belum adanya koniktifitas yang intensif antara lembaga pendidikan, masyarakat, investor, dan institusi lainnya yang memiliki pengaruh terhadap penyerapan peserta didik pasca keluar dari dunia pendidikan. 2. Belum adanyan konsep masyarakat ideal yang menjadi konsensus bersama. Kata-kata civil society mungkin dianggap konsep ideal. Tapi, secara perwujudannya, masih ada dalam tataran diskursus semata. 3. Belum adanya Sumber Daya Manusia (baca; dari sisi Tutor), yang memahami konsep learning society ini secara baik. 4. Belum adanya kurikulum rujukan yang bagus pula. Sebuah kurikulum yang lebih mengedepankan aspek life-long learning. 5. Belum adanya kebijakan-kebijakan makro yang mewajibkan peningkatan kerjasama secara kolektif dari seluruh stake-holder pendidikan. Dari semua problem umum dan spesifik di atas, mustahil kiranya mengimplemenatasikan learning society sebagai model pendidikan di Indonesia. Meskipun harus juga dipahami, bahwa persoalan-persoalan tersebut hadir dengan tanpa solusi. Pada bagian selanjutnya akan membahas salah satu pendekatan untuk bisa keluar dari persoalan tersebut.
Manajerial Approaches in Learning Society : Belajar dari UIN Sunan Ampel Surabaya
Kata manajemen selalu direduksi dengan empat kata; perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan evaluasi (controlling). 21 Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pendekatan manajerial, dalam konteks tulisan ini, adalah sebuah model strategi yang berbasis pada nilai-nilai manajerialisme, untuk bisa menyelesaikan persoalanpersoalan yang dihadapi di dalam proses implementasi learning society. Dengan demikian, maka pada bagian ini, penulis akan membaginya menjadi empat bagian penting sesuai nilai-nilai tersebut: 21
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Rosdakarya, 2005) 8
1. Perencanaan. Pada proses perencanaan ini, seorang pemimpin, guru, dan staff memiliki peranan penting untuk merumuskan kebijakan-kebijakan tentang sistem learning society di sekolah. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah merumuskan konsep kegiatan yang akan dilaksanakan, penanggung jawab pelaksana kegiatan, timing dan alokasi dana, serta instrumen keberhasilan dari seluruh proses yang akan dilaksanakan. 2. Pengorganisasian. Pengelompokan seluruh proses perencanaan kepada seluruh anggotaanggota organisasi. Seluruh proses penggorganisasian ini, harus tetap mempertimbangkan aspek-aspek yang sudah ditentukan di dalam perencanaan. 3. Pelaksanaan. Pada fase ini, pendelegasian kewenangan sudah berada pada anggota organisasi untuk melaksanakan dan mengimplementasikan kebijakan atau keputusan bersama yang sudah disepakati. Para anggota organisasi akan menjadi penentu kegagalan dan keberhasilan proses pelaksanaan ini. 4. Evaluasi. Kewenangan ini akan dikembalikan kepada pimpinan dan seluruh anggota. Semua anggota dan pemimpin berhak menilai dan memutus apakah program yang sudah dilaksanakan tersebut berhasil ataupun gagal. Dari empat kata kunci ilmu manajemen di atas, maka proses implementasi learning society harus disusun melalui sistem perencanaan yang detail dan rapi, kemudian, ditentukan pula siapa yang akan menjadi pelaksana kegiatan tersebut, serta ada proses penilaian keberhasilan dari seluruh proses yang sudah dilaksanakan. Dari empat dimensi itu pula, kalau diarahkan pada paradigma organisasional, maka kebijakan tentang learning society di lembaga pendidikan menjadi hal yang paling penting. Karena akan berdampak kepada seluruh aspek-aspek yang ingin dicapai. Dengan demikian, salah satu potret kebijakan penting adalah menjalin kerjasama dengan lembaga lain, menciptakan suasana kondusif, melibatkan masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan, serta dimensi-dimensi lain yang sudah ditentukan sebagai prinsip pelaksanaan learning society. Untuk itulah, peneliti juga menampilkan anak kalimat belajar dari apa yang akan atau sedang dilakukan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya. Di dalam buku “Kampus, Masyarakat, dan Perubahan”, sebuah buku hasil kerjasama SILE Canada dan UIN Sunan Ampel Surabaya, terceritakan banyak hal yang terkait dengan proses pengembangan UIN Sunan Ampel Surabaya ke depannya. Mulai dari aspek perubahan citera institusional sebagai bagian terpenting dari learning society, pendekatan pembelajaran, dan pola hubungan perguruan tinggi dan masyarakat secara luas. Pada bagian ini, peneliti akan menggambarkan beberapa pemikiran-pemikiran filosofis yang akan menjadi corak, model, dan citera kebijakan UIN Sunan Ampel Surabaya. Pertama, adalah laporan rihlah ilmiah dari Wakil Rektor III, Ali Mufrodi. Di dalam laporannya dia mengungkapkan bahwa hampir seluruh perguruan tinggi di Canada, tempat dia menempuh pembelajaran, melakukan kerjasama dengan pemerintah, pebisnis, dan masyarakat secara luas. Tidak satupun, dari sekian banyak tempat yang dihinggapinya, monoton hanya melakukan pembelajaran bagi mahasiswanya saja. Semua merangkul elemen-elemen penting yang ada di dalam masyarakat. Oleh sebab itulah, dia membuat gagasan bahwa ke depan UIN Sunan Ampel harus berusaha mengelaborasikan dan mengkoneksikan perguruan tinggi dan beberapa lembaga diluar. Dia mengatakan : “Mengapa suatu lembaga bekerjasama dengan pemerintah? Karena pemerintah memiliki budget yang besar untuk kepentingan umum. Oleh karena itu universitas menjalin hubungan dengan pemerintahan daerah, wilayah maupun pusat untuk mendapatkan sebagian proyek-proyek tentang pendidikan, penelitian, pengabdian masyatakat dan lainlain. Pemerintah juga memiliki infrastruktur yang memadai dan ia memiliki peraturanperaturan yang mengikat antara anggota masyarakat. Lagi pula pemerintah mempunyai kemauan politik untuk mensejahterakan masyarakat. Pemerintah mempunyai kebijakan
untuk menata masyarakat, memiliki nilai-nilai nasional yang diemban pula oleh seluruh warga negara, dan cita-cita untuk mewujudkan nilai-nilai demokratik dalam kehidupan bermasyarakat. Pemerintah memiliki otoritas resmi untuk mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat dalam bentuk undang-undang, peraturan-peraturan, kebijakan-kebijakan dan lain-lain. Pemerintah juga memiliki hak untuk mengatur keamanan wilayahnya agar warga masyarakat merasa aman, tenteram dan terlindungi.” 22 Selain itu persoalan koneksi dengan pemerintah, dia juga menyinggung pentingnya bekerja sama dengan pebisnis. Dia mengatakan “Mengapa universitas bekerjasama dengan para pebisnis? Karena mereka memiliki uang sebagai modal usaha. Uang tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak universitas bila ada kerjasama antara kedua belah pihak untuk mengerjakan proyek bisnis bersama. Para pebisnis memiliki barang dagangan yang melimpah. Universitas memiliki jaringan yang luas, sehingga dengan kerjasama antarmereka dapat menguntungkan kedua belah pihak. Para pebisnis memiliki keahlian dalam berwirausaha. Dengan pengalamannya itu, pihak universitas ingin saling tukar pengalaman untuk memajukan lembaganya. Para pebisnis juga berhasil dalam menata manajemen usahanya. Hal tersebut perlu dijadikan model untuk menata perguruan tinggi ke masa depan, yakni manajemen yang handal. Para pebisnis menguasai pemasaran produk dan iklan. Produk mereka dapatlah dipasarkan lewat jaringan universitas, dan pihak universitas pun dapat mengiklankan programnya lewat usaha bisnis tersebut. Para pebisnis memiliki daya tawar yang tinggi, mereka juga mempunyai kepercayaan pelanggan yang aktif, dan bekerja secara praktis.” 23 Terakhir, dia juga menyebut pentingnya perguruan tinggi bekerja sama dengan masyarakat sipil. “Mengapa pihak universitas harus bekerjasama dengan masyarakat sipil? Karena masyarakat sipil dapat menggerakkan anggota masyarakat lokal, terutama mereka yang berada di sekitar kampus. Masyarakat sipil memiliki jaringan informal yang luas. Mereka mudah diajak bicara, lentur, tidak kaku, dan bersifat sementara, dapat berubah menurut situasi dan kondisi. Masyarakat sipil juga sangat memahami issue yang berkembang dalam komunitasnya, sehingga universitas dapat mengetahui perkembangan yang terjadi pada warga masyarakat tersebut. Mereka memiliki kesamaan emosional yang tinggi, sehingga merasa satu persaudaraan yang dapat saling menolong di antara anggota komunitas tersebut.” 24 Inilah ungkapan Wakil Rektor III, yang membidangi kemahasiswaan dan kerjasama dengan elemen-elemen penting di luar kampus. Baik itu lembaga penyedia donor keuangan, ataupun lembaga lainnya yang bisa menjadi mitra kampus UIN Sunan Ampel ke depan. Kedua, adalah pandangan Wahidah Siregar tentang pentingnya Learning Organisation (LO) dan Knowledge Management (KM) di UIN Sunan Ampel Surabaya. Uniknya, cerita berbentuk narasi features ini, dia kaitkan dengan proses pembelajaran yang ada di dalam kelas. Dia mengatakan bahwa konsep learning organization memberikan ruang kepada seluruh anggota untuk mengepresikan keterampilan, gagasan, kelebihan individual, dan kelemahan yang dimilikinya. Keseluruhan perbedaan tersebut, kemudian dikelola dan diarsipkan menjadi kekuatan organisasi untuk membangun visi dan misinya. Menurut ini, konsep LO bisa juga diimplementasikan di dalam proses pembelajaran. Seluruh mahasiswa pasti memiliki perbedaan persepsi tentang apapun yang dihadapinya, ada yang cepat merespon, ada pula yang lambat, ada yang membiarkan saja, dan sikap lainnya.
Sulanam, Ed. Kampus, Masyarakat dan Perubahan; Aku dan Pengalaman Belajar bersama SILE/LLD Project (Surabaya, SILE/LLD Press, 2014), 48 23 Ibid, 49 24 Ibid, 50 22
Melalui proses learning yang demikian, maka mahasiswa akan mudah memilih dan memilah apa yang sebenarnya diinginkan dan dicita-citakan dalam proses pembelajaran kelas. Pasalnya, LO memiliki prinsip: personal mastery. Yakni setiap orang memiliki pengetahuan. Team learning. Adanya kebutuhan terhadap informasi orang lain. Membagi gagasan dan visi (shared vision). Mental Model, dan terakhir adalah system thinking. 25 Ketiga, adalah rihlah ilmiah yang sama yang ditulis oleh Edhi Pilih Suswono. Dia menceritakan proses Learning Organization and Change (LOC) yang didapatkannya pada proses Short Chourse di Canada. Menurut dia, perbedaan dengan Wahidah Siregar, ilmu yang didapatkannya di-share kepada seluruh dosen untuk membuka ruang pembelajaran yang mengedepankan pada cross-culture of knowledge. Dari pengalaman dia menempuh ilmu, setiap tutor yang menjadi pembelajar sangat berfungsi sebagai fasilitator, dan membiarkan peserta kursus untuk mendeskripsikan pengalaman hidup masing-masing. 26 Jika melihat apa yang sudah dan sedang dilaksanakan UIN Sunan Ampel Surabaya, melalui program kerjasama dengan pemerintah, mitra NGO, pebisnis, masyarakat melalui PAR, dan elemen penting lainnya. Hal yang tidak lagi mustahil learning society bisa menjadi bagian integral dari sistem pendidikan. Pasalnya, kalau dianalisis dengan cara pandang teoritik, maka persoalan tutor, khususnya di UIN Sunan Ampel, sudah bisa diatasi. Kenapa demikian, hampir puluhan Dosen-dosen UIN Sunan Ampel Surabaya sudah memahami pentingnya melakukan pembelajaran berbasis pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Persoalan selanjunya adalah kebijakan akan pentingnya diversity culture in learning process. Hal ini bisa dilihat dari apa yang diinginkan dan sedang dilakukan oleh Ali Mufrodi, selaku pemangku kebijakan tentang kemitraan dan kemahasiswaan. Hari ini, secara observasional, seminar-seminar yang diselenggarakan UIN Sunan Ampel Surabaya tidak lagi bertumpu pada persoalan politik nasional, diskursus keilmuan yang lebih spesifik pada student faculty, melainkan juga seminarseminar kewirausahaan, pengalaman magang, dan lain sebagainya. Penutup Setidaknya inilah point penting yang ingin penulis jabarkan, bahwa ke depan sekolah dan perguruan tinggi harus bisa memberikan akses pengetahuan yang lebih kepada seluruh siswa dan mahasiswa. Tujuannya lebih sederhana, agar seluruh peserta didik mampu mendalami peranan hidupnya di masyarakat, meminimalisir gap perguruan tinggi dan masyarakat. Kita, sebagai sebuah epilog, mungkin harus cemburu kepada Pondok Pesantren di Indonesia. Mereka mampu menyediakan seluruh kebutuhan masyarakat dari sisi keagamaan. Begitu halnya dalam mental, alumni pondok pesantren selalu siap mengerjakan apa saja, di masyarakat, selama hal itu masih dalam koridor yang benar. Kekuatan mintal bertarung di masyarakat, serta adaptabilitas mahasiswa harus lebih bisa dikedepankan, untuk menciptakan ideal planned society di Indonesia. Daftar Pustaka Claire Howen, Foundation of Learning Society Based Problems and Solving Hononalu: Blackwell Pub. 2009 Davies, (1998) ‘Formalising learning: the role of accreditation’, Presentatio at the ESRC Learning Society Programme seminar on informal learning, Bristol. E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Rosdakarya, 2005 Gorard, S., Rees, G. and Fevre, R. (1999a) ‘Two dimensions of time: the changing social context of lifelong learning’, Studies in the Education of Adults, vol 31, no 1. Ivan Illich “Deschooling Society” efile Harrow Books. 25 26
Ibid, 3 Ibid, 67
John Chambers Thel Learning Society Cisco Systems, Inc. All rights reserved. This document is Cisco Public Information. 2010 John McClellan, Envisioning Learning Societies Across Multiple Dimensions New York. Inc Press, 1997 Paolo Pierre Oppressed Education New York: Routledge Publ. 1997 Peter Jarvis “Globalisation, The Learning Society and Comparative Education” dalam Stephen Ball The Rutledge Falmer in Sociology of Education London: Taylor and Francis Journal, tt Ranson, S. (1992) ‘Towards the learning society’, Educational Management and Administration, vol 20, no 2, Rees, G., Gorard, S., Fevre, R. and Furlong, J. (2000) ‘Participating in the learning society: history, place and biography’, in F. Coffield (ed) Differing visions of a Learning Society: Research findings Volume Two, Bristol: The Policy Press, Stephen Ball The Rutledge Falmer in Sociology of Education London: Taylor and Francis Journal, Sulanam, Ed. Kampus, Masyarakat dan Perubahan; Aku dan Pengalaman Belajar bersama SILE/LLD Project Surabaya, SILE/LLD Press, 2014 Sumber Internet Kemendikbud ajak PT Kembangkan “Learning Society”: http://www.antaranews.com/berita/281094 (diakses pada 20 Maret 2015) Learning Society http://en.wikipedia.org/wiki/Learning_society (diakses pada 20 Maret 2015) Penjelasan BAN PT tentang Perguruan Tinggi. http://web.banpnf.or.id/index.php/kebijakan/76-kebijakan-ban-pnf (diakses pada 23 Maret 2015)