ISSN: 1693-8925
HUMANIORA
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Volume 8, Nomor 2, Desember 2011
DAFTAR ISI (CONTENTS) Halaman (Page)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis (Crime of Evidence Charges of Corruption on Backward Juridical Sociological Perspective) Harry Murti .................................................................................................................................
73–76
Analisis Hukum tentang Jamsostek di Kabupaten Tulungagung (Analysis of Law on Jamsostek in the District Tulungagung) Djoko Heroe Soewono .................................................................................................................
77–82
How Speech Act Applied in Daily Life; The Revelation of Mark Sway’s Characteristics in Grisham’s the Client by Using Act Theory (Bagaimana Speech Act Digunakan dalam Kehidupan Keseharian; Mengkaji Karakteristik Mark Sway dalam Penggunaan Grisham dengan Menggunakan Teori Speech Act) Endah Nur Tjendani ...................................................................................................................
83–89
Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan (Legal Protection of Deposits Coustomers to Pass Deposit Guaranty Program by Deposit Guaranty Institution) Ratnaningsih ................................................................................................................................
90–95
Hubungan Pola Pengasuhan Ibu dengan Keterampilan Sosial Anak Usia 6 Tahun di TK ABA Kabupaten Jombang (The Relationship between Mothers’ Parenting Style and Six Years Old Children’s Social Skill in Jombang Residency) Pujiani, Oedojo Soedirham, Windhu Purnomo .......................................................................
96–100
CALL: Material Development Strategies and Student Autonomy Learning (CALL: Strategi Pengembangan Bahan dan Pembelajaran Mahasiswa Mandiri) Rica S. Wuryaningrum ...............................................................................................................
101–104
Tolkien’s Artificial Language in Lord of the Ring the Movie ‘The Fellowship of the Ring’ (Bahasa Buatan Tolkien dalam Film Lord of the Ring the Movie ‘The Fellowship of the Ring’) Rica S. Wuryaningrum ...............................................................................................................
105–107
Analisis Pengaruh Faktor-faktor Kedisiplinan terhadap Prestasi Kerja Pekerja Operasional pada PT Trimarina Jaya di Surabaya (Analysis of Factors Influence of Achievement Disciplinary Operations Employees Working PT Trimarina Jaya in Surabaya) Ony Kurniawati ...........................................................................................................................
108–111
Dicetak oleh (printed by) Airlangga University Press. (192/12.11/AUP-A9E). Kampus C Unair, Jln. Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia. Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail:
[email protected]. Kesalahan penulisan (isi) di luar tanggung jawab AUP.
9.
Analisis Pengaruh Faktor-faktor Pengawasan terhadap Kedisiplinan untuk Peningkatan Produktivitas Kerja Karyawan di PT Trans Moshi-Moshi Surabaya (Analysis of Influence Factors for Control of Improving Productivity Discipline Employees in PT Trans Moshi-Moshi in Surabaya) Hary Frianto Rachmatul Ullah ..................................................................................................
112–115
10. Pelaku dan Peristiwa (Dari G30S/PKI sampai Supersemar) Mengkritisi Upaya Pelurusan Fakta Sejarah (Actors and Events (From G30S/PKI to Supersemar) Criticising the Rectification Effort Historical Facts) Surahono ......................................................................................................................................
116–122
73
Beban Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Juridis Sosiologis (Crime of Evidence Charges of Corruption on Backward Juridical Sociological Perspective) Harry Murti Fakultas Hukum Universitas Kadiri Kediri ABSTRAK
Pada dasarnya pembangunan diarahkan untuk memajukan dan meningkatkan kehidupan masyarakat, sedang pembangunan non-phisik diarahkan untuk melahirkan manusia yang berkualitas dan diharapkan secara berkesinambungan meneruskan cita-cita bangsa, menjaga kedaulatan negara, menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat, bukan sebaliknya menciptakan keresahan di kalangan rakyat dan membahayakan pembangunan sosial-ekonomi, sendi kehidupan bangsa, serta negara. Penggerogotan keuangan negara melalui korupsi dapat menghacurkan cita bangsa, karena itu perlunya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penciptaan perundang-undangan yang bersifat extra ordinary, dengan menjunjung rasa keadilan, kepastian hukum, penegakan hukum, memperhatikan hak asasi manusia. Harapan ini dalam tingkat implementasi belum mencapai apa yang dicitakan rakyat. Konstruksi undang-undang yang diterbitkan para penguasa masih tumpang tindih dan penormaan yang kabur, kontradiktif-interpretatif, di samping warna kepentingan, berujung ketidakpastian hukum, untuk itu perlunya pencermatan dalam setiap pembuatan undang-undang, dengan asas kehati-hatian, hak asasi manusia, kepastian hukum dan keadilan.
Kata kunci: pembuktian terbalik, kepastian hukum, keadilan ABSTRACT
Basically directed to advance development and improve people’s lives, is being directed to the development of non-physical human birth and the expected quality on an ongoing basis to continue the ideals of the nation, maintaining state sovereignty, create justice and prosperity for all people, not the other way to create unrest among the people and socio-economic harm, the joint life of the nation, and the state. The evacuations of state finances through corruption can destroy the ideals of the nation, therefore the need for eradication of corruption through the creation of legislation that is extra ordinary, to uphold justice, rule of law, law enforcement, pay attention to human rights. This hope has not yet reached the level of implementation of what people dicitakan. Construction law issued by the authorities still penormaan overlapping and vague, contradictory, interpretive, in addition to the color of interest, led to legal uncertainty, to the need for pencermatan in any legislation, the precautionary principle, human rights, rule of law and justice.
Key words: reversal burder of proof, legal security, justice
LATAR BALAKANG MASALAH
Pada hakikatnya proses pembangunan ditujukan untuk pengendalian sosial dan perubahan pola berpikir dari alam tradisional ke arah modern yang rasional. Hal ini merupakan konsekuensi terhadap tuntutan zaman. Pola pikir yang demikian menuntut perubahan di segala bidang, meliputi pula berpikir dalam menciptakan berbagai peraturan hukum sebagai pedoman perilaku, apakah dalam bentuk legislasi maupun regulasi. Hal ini cukup penting untuk memberi rambu-rambu bagi masyarakat agar tahu dan paham, mana perbuatan yang dibenarkan, serta tindakan pelarangan. Salah satu bentuk perbuatan yang dilarang, yaitu korupsi. Untuk itu perlu tindakan preventif guna mencegah perbuatan korupsi, melalui penerbitan oleh penguasa satu produk hukum dalam bentuk undang-undang, sebagaimana selama ini dikenal dengan bentuk hukum tertulis (Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 1999). Walaupun produk hukum ini merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun ketentuan ini (Undang-Undang No. 20 Tahun 2001), masih memperlukan penyempurnaan, khusus pada pembuktian terbalik. Anggapan ini dapat dipahami, mengingat perkembangan ilmu hukum, terutama pada tingkat kesulitan pembuktian karena semakin canggihnya modus operandi para pelaku tindak pidana korupsi. Sehingga memperlukan pemikiran kembali untuk memunculkan suatu ide atau konsep pembuktian terbalik, yang diharapkan dapat mengatasi peliknya penanganan perkara, baik pada tingkat penyidikan maupun ketika perkara digelar dalam proses peradilan pidana.
74
Kontradiktif perlu-tidaknya konsep pembuktian terbalik secara penuh dimasukkan dalam perubahan revisi undangundang masih menimbulkan debat hingga kini. Konsep beban pembuktian terbalik, sebenarnya secara terbatas dan normatif telah diberlakukan pada pasal-pasal tertentu, seperti ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf (b), serta Pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, namun demikian beban pembuktian terbalik pada ketentuan kedua pasal tersebut, kurang dapat secara optimal diterapkan dalam pengungkapan perkara korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa pada dasarnya beban pembuktian terbalik, yang dikonstruksi untuk memudahkan penuntut umum dalam mengungkap serta membuktikan surat dakwaan perkara korupsi dapat memberi hasil yang optimal sesuai hukum acara dan berdasar kebenaran, keadilan serta kepastian hukum. Pengungkapan fakta dalam kasus kejahatan krah putih tidaklah semudah seperti membalikan tangan, walaupun telah terkonstruksi beban bukti terbalik yang tanggung jawab pembuktian beralih kepada terdakwa, hanya saja perpindahan beban tersebut bersifat terbatas, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan di atas, khususnya mengenai gratifikasi dan pernyataan terdakwa mengenai seluruh harta benda baik milik suami atau istri, anak, serta harta benda setiap orang, atau korporasi yang diduga mempunyai kaitan dengan perkara yang didakwakan. Konstruksi beban pembuktian terbalik ini mengandung sifat yang terbatas serta berimbang, yakni walaupun tanggung jawab beban pembuktian telah beralih kepada terdakwa namun demikian penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya, kecuali terhadap ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf (a) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Adapun ini, sifat pidananya hilang, jika pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima gratifikasi telah melapor kepada Komisi Tindak Pidana Korupsi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan gratifikasi, meliputi pula ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf (b). Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pemberantasan korupsi tidaklah mudah penanganannya. Deskripsi sulitnya penanganan pemberantasan tindak pidana korupsi disebabkan beberapa faktor, antara lain berbagai model modus operandi yang sulit diketahui, umumnya dilakukan oleh pemberi dan penerima saja (dua orang tanpa melibatkan orang lain atau empat mata), selain perangkat lunaknya sendiri, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang masih terbatas konstruksinya dalam menjerat para koruptor. Oleh karena itu masih dibutuhkan pemikiran ke depan, yakni yang semula konstruksi pembuktian terbalik bersifat terbatas, perlu dikonstruksi ulang mengenai pembuktian terbalik secara penuh, artinya terdakwa wajib secara hukum tidak melakukan tindak pidana korupsi, dengan menerangkan bahwa harta benda yang dimiliki, baik oleh istri/suami, anak, orang lain, atau korporasi bukan dari hasil perbuatan anti sosial (tindak pidana korupsi).
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 73–76 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah konsep beban pembuktian terbalik sulit diaplikasikan dalam abstrak hukum positif (ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi)? 2. Faktor apa saja yang menimbulkan kendala, dan apakah konsep pembuktian terbalik dapat diaplikasikan dalam materi usulan perubahan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (constituendum).
TUJUAN PENELITIAN
Untuk menganalisis, apakah konsep beban pembuktian terbalik dapat diaplikasi dalam konstruksi hukum positif dan adakah kendala dalam mengkonstruksi konsep beban pembuktian terbalik serta perubahan dalam rangka perbaikan undang-undang tindak pidana korupsi di masa depan (constituendum).
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan tindak pidana pemberantasan korupsi ini, khususnya mengenai beban pembuktian terbalik, menggunakan metode penelitian hukum normatif yang ditunjang dengan metode empiris, sedang analisis pendekatannya, yaitu juridis sosiologis, yang mana penggunaan pendekatan ini untuk menjelaskan, apakah penormaan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi melanggar hak asasi manusia, selain, apakah konsep beban pembuktian terbalik dapat diwujudkan dalam materi usulan perubahan atas Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dimasa datang (constituendum).
HASIL PEMBAHASAN
Sebagaimana diketahui bahwa dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, disebutkan perlu penambahan ketentuan mengenai pembuktian terbalik dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aspek penambahan pembuktian terbalik, sebenarnya hanya bersifat penegasan dari suatu aturan yang terbit terdahulu, yakni ketentuan Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Di mana dalam penjelasan umum tersebut, dijelaskan adanya penerapan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang, artinya terdakwa dan penuntut umum mendapat kesempatan untuk membuktikan haknya. Pembuktiannya bahwa terdakwa tidak berbuat atau melakukan tindak pidana korupsi. Untuk itu, terdakwa wajib memberi keterangan bahwa seluruh harta benda, baik yang berada pada diri terdakwa, istri/suami, anak, orang lain atau koporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
Murti: Beban pembuktian terbalik tindak pidana korupsi
perkara korupsi, sedang penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaan tersebut. Demikian pula materi yang termuat dalam aturan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, pada dasarnya memberi penjelasan bahwa mengingat korupsi di Indonesia secara sistematik dan meluas sangat merugikan keuangan negara, hak sosial, dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan secara khusus, yakni pembuktian terbalik dibebankan kepada terdakwa. Amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberi gambaran secara jelas, fokus beban pembuktian terbalik secara penuh, melainkan hanya penegasan yang kurang tegas, artinya masih ada keraguan di dalam mencantumkan beban pembuktian terbalik dalam ketentuan Pasal 12B ayat (1), yakni: a) yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b) yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Ketentuan tersebut (huruf a), belum memberi gambaran bahwa penerima gratifikasi benar-benar telah menerima suap. Di sini penerima gratifikasi diminta membuktikan bahwa segala apa yang diterima bukan hasil tindakan korupsi. Memberi keterangan di depan pengadilan demikian ini sesuatu hal yang wajar dan sesuai hukum acara pada umumnya, meliputi pula ketentuan Pasal 12B huruf (b), sudah sewajarnya penuntut umum yang membuktikan surat dakwaan penerima gratifikasi tersebut adalah suap. Demikian pula dalam ketentuan Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Jika diamati eksistensi ketentuan tersebut, muatan beban pembuktian terbalik, terbagi dalam 3 (tiga) model, yakni, Pertama, beban pembuktian berada pada jaksa (penuntut umum) terhadap gratifikasi-suap yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan Kedua, pembuktian yang bersifat berimbang, di mana beban pembuktian ini berada pada, baik penuntut umum maupun terdakwa, seperti yang dimaksud ketentuan Pasal 37A; Ketiga, beban pembuktian mengenai gratifikasi bukan merupakan suap diletakkan kepada pundak terdakwa yang nilai nominalnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), atau lebih dan terhadap harta benda yang belum didakwakan, sebagaimana dimaksud dalam ketentaun Pasal 38A. Pada prinsipnya, bahwa ketiga model yang diterapkan tetap memperhatikan pola kasus yang didakwakan oleh penuntut umum, sehingga dengan pola tersebut, maka beban pembuktian ikut memberi warna dalam menentukan putusan hukum selain substansi materi yang menyertakan alat bukti pendukung untuk pembuktian dakwaan. Di mana model beban pembuktian terbalik tidak dapat terlepas dari doktrin Anglo-Saxon serta Eropa Kontinental, khususnya yang mengatur mengenai gratifikasi. Hanya saja dalam penerapan praduga tak bersalah, berbeda dengan doktrin
75
Anglo-Saxon, yang justru berasas sebaliknya, praduga korupsi untuk kasus tertentu. Indonesia rupanya tidak merasa alergi dalam menerima asas yang berasal dari ajaran Anglo-Saxon tersebut. Pengadopsian terhadap suatu ajaran dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif. Dari aspek positif, mengingat sulitnya kasus korupsi, khususnya beban pembuktian, maka sangat sulit penyelesaian hingga ke akarnya, sedang aspek negatifnya menimbulkan benturan kepentingan dan kepastian hukum, utama mengenai asasasas hukum, seperti praduga tidak bersalah (presumtion of innocence). Dalam rumusan masalah mempertanyakan, apakah konsep (in abstrakto) beban pembuktian terbalik pada tingkat implementasi, sebagaimana dimaksud ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, sulit diterapkan? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dapat memahami terlebih dahulu mengenai doktrin yang melatarbelakangi keberadaan lembaga beban pembuktian terbalik tersebut. Pada dasarnya lahirnya lembaga ini, tidak dapat lepas dari penganut doktrin dalam keluarga Anglo-Saxon, seperti Inggris dan Singapura, sebagai penganut paham presedent. Pengadopsian doktrin pembebanan pembuktian terbalik dalam perkara korupsi suap penerima gratifikasi bertolak belakang dengan doktrin keluarga Eropa Kontinental yang sarat dengan legal formal-positivistik. Perbedaan ranah dan doktrin inilah sebagai penyebab tidak mudahnya penerapan pembebanan pembuktian terbalik dilakukan atau diterapkan di dalam sistem hukum Indonesia. Alasan lain, bersentuhan dengan aspek hak asasi manusia, khususnya menyangkut hak individu yang beritikat baik wajib dilindungi oleh hukum. Penerobosan terhadap perbedaan kedua konsep Common Law dan Civil Law tersolusi dengan lahirnya Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003, dan telah diratifikasi di dalam ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Perhatian terhadap korupsi sebagai tindakan para pelaku kerahputih (white collar crime), merupakan sikap yang logis karena korupsi dianggap suatu bentuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes). Dampak dari perbuatan korupsi dapat menghancurkan potensi semua jenis program pemerintah dan dapat menghambat pembangunan dan dampak yang lebih hebat merusak sendi kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok yang menjadi ekses tindakan korupsi, sehingga perlunya tindakan extra ordinary dalam penganggulangan tindak pidana korupsi. Hal yang yang patut dipahami dalam konsep terbitnya Konvensi PBB Anti Korupsi semata tidak diarahkan untuk pemberantasan korupsi dari perspektif hukum pidana, arah yang lain melalui pendekatan keperdataan, yakni pengejaran terhadap harta kekayaan hasil daripada tindak pidana korupsi dapat ditempuh dengan menggunakan pola gugatan perdata, seperti terhadap penerapan ketentuan Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34, Pasal 38C Undang-Undang No. 20 Tahun 2011. Pada tingkat implementasi tidak mudah menerapkan ketentuan pasal korupsi dalam surat dakwaan khususnya mengenai gratifikasi, hal ini dikarenakan redaksional yang
76
terekplisit, sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011, menimbulkan penafsiran yang luas dan membawa implikasi juridis bagi jaksa penuntut umum, yakni adanya keharusan untuk membuktikan dakwaannya, dan bukannya terdakwa yang wajib membuktikan penerimaan gratifikasi. Selain itu rumusan yang kurang jelas dan sarat penafsiran dapat merugikan, baik penuntut umum maupun terdakwa. Hal ini tersurat melalui rumusan kalimat “anggapan”, jelasnya sebagai berikut (Pasal 12B ayat (1): Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap… “, sementara itu jika ada kasus di mana pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima gratifikasi, maka hal tersebut sudah masuk katagori suap dan bukan “anggapan”. Kata anggapan sinonim dengan seolaholah pemberian gratifikasi atau penerima atau yang menerima gratifikasi dalam hal ini pegawai negeri atau penyelenggara negara karena suatu jabatan yang berlawanan dengan kewajiban/tugasnya menerima suap. Kalimat demikian ini mengandung justifikasi yang bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (keadilan). Perumusan yang sarat penafsiran akan berbias luas, dan dapat menimbulkan/ menciptakan ketidakpastian hukum serta rasa keadilan masyarakat. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 21, tidak memberikan deskripsi yang jelas mengenai maksud makna kata “anggapan”. Di dalam penjelasan tersebut hanya memberi penggambaran yang dimaksud dengan “gratifikasi”, yaitu pemberian yang meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, perjalanan wisata, fasilitas penginapan, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainnya, sedangkan di dalam penjelasan, tidak ada pemaknaan mengenai “anggapan”. Menurut Adami Chazawi, kata “dianggap” dalam rumusan Pasal 12 B (1) mengandung makna, bahwa rumusan suap menerima gratifikasi pada dasarnya bukan suap, tetapi dianggap saja, dianggap suap,1 dan lebih lanjut Adami Ch, mengatakan bahwa gratifikasi bukan bentuk tindak pidana melainkan pengertian harfiah, pemberian dalam arti luas, sebagaimana maksud penjelasan ketentuan Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 21. Hal ini senada dengan Barda Nawawi Arief, mengenai pemaknaan gratifikasi yang menyatakan bahwa gratifikasi bukan sebagai jenis maupun kualifikasi delik. Di sini bukan gratifikasinya yang delik, melainkan perbuatan menerima gratifikasi.3 Dengan tumpang-tindihnya penormaan dalam mengkonstruksi norma hukum dalam legislasi buatan Dewan Perwakilan Rakyat, cenderung menimbulkan gugatan tafsir yang kontrovertif. Jika dalam setiap pembuatan undangundang selalu menimbulkan penafsiran yang berujung pada ketidakpastian hukum, maka akan menambah bingungnya
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 73–76
masyarakat dalam memahami undang-undang bikinan penguasa.
SIMPULAN
Dari uraian tersebutdi atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan yang sangat signifikan dan mendasar dalam tindak pidana korupsi, yakni mengenai pembuktian terbalik, khususnya mengenai ketentuan Pasal 12B, yang seharusnya beban pembuktiannya pada pundak terdakwa, namun dalam prakteknya penuntut umumlah yang secara imperatif harus membuktikan perbuatan menerima suap, hal ini karena dalam mengkonstruksi kata/kalimat pasal tersebut tumpang-tindih, konsekuensinya redaksi dalam kalimat menjadi kurang jelas dan kabur. Dampak lebih luas, sulitnya beban pembuktian terbalik diterapkan dalam tingkat aplikasi, selain itu adanya benturan kepentingan hukum, yakni asas praduga tidak bersalah dengan praduga bersalah, benturan yang lain terhadap hak asasi manusia, sehingga dalam penerapan pasalpasal ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, harus memperhatikan ketentuan Pasal 28(I) dan pasal 28J UUD 1945. Dengan berbagai persoalan tersebut, tidak mudah untuk membentuk undang-undang yang kredibel dan akuntabel yang dapat memuaskan semua pihak, namun upaya perbaikan dan peningkatan kualitas undang-undang harus tetap dilanjutkan dalam rangka tegaknya suatu negara hukum dan penegakan hukum yang berkepastian (hukum) dan ber(rasa) keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Barda Nawawi Arief, Kapita selekta hukum pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung. 2003. 2. Adami Chazawi, Hukum pidana materiil dan formil korupsi di indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005. 3. Chazawi, Adami, Hukum pembuktian tindak pidana korupsi, Alumni, Bandung. 2008. 4. Mukti Fajar, Achmad Yulianto, Dualisme penelitian hukum normatif dan empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2010. 5. Evi Hartanti, Tindak pidana korupsi, Sinar Grafika, Jakarta. 2008. 6. Johnny Ibrahim, Teori dan metodologi penelitian hukum normatif, Bayumedia, Malang. 2010. 7. Moeljatno, Azas-azas hukum pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1983. 8. Soemodihardjo, Dyatmiko. Mencegah dan memberantas korupsi, Prestasi Pustaka, Jakarta. 2008. 9. Sumaryanto, Djoko, Pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara, Prestasi Pustakaraya, Jakarta. 2009. 10. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi, Sinar Grafika, Jakarta. 2008. Perundang-undangan: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
77
Analisis Hukum tentang Jamsostek di Kabupaten Tulungagung (Analysis of Law on Jamsostek in the District Tulungagung) Djoko Heroe Soewono Universitas Kadiri Kediri ABSTRAK
Pembangunan nasional dalam rangka pemanfaatan tenaga kerja (buruh) harus khawatir tentang kemakmuran, terutama perlindungan bagi tenaga kerja dan/atau pekerja dan juga mereka keluarga, dan memberikan ketenangan merasa pekerjaan dan kepastian untuk melanjutkan penerimaan produksi keluarga sebagai pengganti dalam satu sepenuhnya beberapa hilang sepenuhnya dari produksi. Hukum asuransi pekerjaan diperkirakan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi program asuransi peserta pekerjaan itu. Konstruksi hukum asuransi pekerjaan adalah membuat kenaikan kontradiktif, baik di domain abstrak atau menyesal, yang dapat memengaruhi kepentingan pekerja merugikan. Karena itu, perlu asuransi recontruct hukum keberadaan pekerjaan dan lembaga yang mengangkat pejabat negara sipil, terutama dalam domain fungsional dan demi hukum atau penegakan hukum dan kepastian hukum.
Kata kunci: norma hukum, penegakan hukum, keamanan sosial karyawan ABSTRACT
National development in order to labor utilization (worker) must concerned about prosperity, especially protection for labor and/or worker and also they family, and give feel job calmness and certainty to proceed acceptance of family production as the replacement in one entirely some of the entirely from missing production. Law job’s insurance is expected give guarantee of law protection for program participant job’s insurance. Law job’s insurance construction is to make rise contradictive, either at abstract domain or contrite, that can affect detrimental worker importance. In consequence, need of recontruct law existence job’s insurance and institution that to lift state functionary civil, especially in functional domain and for the sake of law or the law enforcement and legal certainty.
Key words: norm of law, law enforcement, employees social security
LATAR BELAKANG
Ketenagakerjaan merupakan bagian dari pembangunan nasional secara utuh serta amanat ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, yakni mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila serta UUD 1945. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional yang berkualitas perlindungan terhadap tenaga kerja dan keluarganya patut mendapat perhatian sesuai dengan harkat dan martabatnya. Perlindungan tersebut, dimaksudkan untuk menjamin hak dasar, serta kesamaan kesempatan tanpa diskriminasi terhadap perlakuan tenaga kerja, khususnya pekerja dalam hubungan kerja. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut, telah ditetapkannya norma hukum yang mengatur mengenai perlindungan dalam bentuk jaminan sosial tenaga kerja, dan pemanfaatannya bagi kelangsungan hidup tenaga kerja (pekerja) maupun keluarga, di mana jaminan sosial ini mempunyai makna bagi kepentingan pekerja dan
keluarganya. Norma hukum tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa: “Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja”. Makna ini secara imperatif mengingatkan kepada pengguna tenaga kerja (pengusaha) untuk memperhatikan segala kewajibannya ketika menjalankan usahanya, dan pihak pekerja mempunyai hak melakukan tuntutan hukum, jika pengusaha tidak menyertakan dalam perlindungan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek).1 Selama ini Program Jamsostek belum dianggap mendesak oleh perusahaan, dan jika ada pekerja yang diikutkan dalam program jaminan tersebut, jumlahnya relatif sangat kecil, sebagai ilustrasi di Kabupaten Pasuruan, sebanyak 327 (tiga ratus dua puluh tujuh) perusahaan belum mengikutsertakan dalam program Jamsostek.2 Data ini cukup menyolok jika dibandingkan di Kabupaten Tulungagung, jumlah pekerja yang diikutsertakan dalam program Jamsostek, seperti Perusahaan Rokok Cempaka jumlah kepesertaan Jamsostek,
Ketentuan Pasal 4 ayat (1), Jo. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Pernyataan Ketua Divisi Advokasi SPSI Kabupaten Pasuruan, Suryono Pane, bahwa 327 perusahaan di Kabupaten Pasuruan tidak memberikan asuransi Jaminan sosial Tenaga Kerja kepada karyawannya (16 Maret 2009 via Internet Suara Surabaya). 1 2
78
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 77–82
1032 (seribu tiga puluh dua) orang, dari jumlah keseluruhan pekerja, yaitu 1393 (seribu tiga ratus sembilan puluh tiga) orang.3 Potret Jamsostek tersebut merupakan sebagian dari persoalan, khususnya tentang pentahapan peserta dalam program Jamsostek, yang seharusnya pentahapan kepesertaan masuk katagori perbuatan melanggar hukum.4 Pendayagunaan serta efektivitas pemberlakuan terhadap program jamsostek seharusnya mendapatkan perhatian oleh pemerintah, khususnya Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai polisional bagi pelaksanaan program Jamsostek serta hak prerogratif, meliputi ancaman bagi pengusaha, pekerja, dan badan penyelenggara yang melakukan pelanggaran hukum,5 justru langkah tersebut belum pernah dilakukan pemerintah, khususnya bagian pengawasan Disnakertrans terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran hukum, bahkan tampak adanya potensi pembiaran perlakuan atas para pengusaha tersebut.
RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu apakah pemberlakuan norma hukum dalam pelaksanaan program jamsostek berlaku efektif? dan adakah hambatan dalam penegakan hukum pelaksanaan program jamsostek?
TUJUAN PENELITIAN
Menganalisis apakah pemberlakuan norma hukum berdaya efektif, serta ada atau tidak-adakah kendala dalam penegakan hukum jaminan sosial tenaga kerja.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan ini mempergunakan metode penelitian hukum empiris,6 dan pendekatan juridis-sosiologis, yakni sudut pandang yang menekankan metode empiris dengan dukungan metode normatif. Analisis empiris menjelaskan isu efektivitas hukum dalam menciptakan kepastian hukum serta penegakan hukum. Metode normatif untuk menganalisis perbedaan penafsiran terhadap norma hukum, yakni ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, jo Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993, yang berdampak terhadap pelaksanaan jamsostek, khususnya di Kabupaten Tulungagung.
Dalam penelitian ini melibatkan unsur pemerintah, khususnya Disnakertrans Kabupaten Tulungagung, sebagai salah satu sumber data empiris, terutama peranan pegawai pengawas ketenagakerjaan yang terlibat secara langsung penanganan suatu persoalan hukum di bidang jamsostek. Selain itu sumber data diperoleh dari pimpinan badan penyelenggara program jamsostek dan pekerja dari berbagai perusahaan.
HASIL PEMBAHASAN
Berbagai perubahan dalam peraturan pelaksana merupakan kepedulian bagi pemerintah terhadap kaum lemah untuk lebih memperhatikan kondisi (perkembangan) ekonomi dan kepentingan tenaga kerja (pekerja) yang semakin terjepit oleh kebutuhan hidup sebagai dampak dari krisis global. Seiring dengan perubahan peraturan tersebut, permasalahan ruang lingkup Jamsostek belum bergeser dari pokok bahasan, yakni isu kecelakaan kerja, kematian, jaminan hari tua, dan pemeliharaan kesehatan. Dalam arti lingkup program Jamsostek belum ada perubahan, kecuali peningkatan nilai santunan. Esensi program Jamsostek, yakni berupa jaminan perlindungan untuk tenaga kerja dalam bentuk santunan berwujud uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang, atau berkurang akibat peristiwa kecelakaan yang menimpa tenaga kerja.7 Selain itu peristiwa kematian, santunan hari tua dan jaminan pemeliharaan/pelayanan kesehatan merupakan materi esensial dari program Jamsostek.8 Perubahan peningkatan kualitas pelayanan, khususnya nilai santunan terasa memberi angin segar bagi kelangsungan hidup korban yang mengalami musibah serta keluarga yang ikut merasakan akibat peristiwa tersebut, hanya saja peningkatan mutu pelayanan belum disambut dengan penuh kesadaran tenaga kerja, khususnya pekerja yang belum ikut Jamsostek. Ketidak perdulian tersebut karena pekerja tidak disertakan dalam program perlindungan. Pihak perusahaan berdalih belum menyertakan dengan pertimbangan subyektifitas (loyalitas, senioritas serta resiko pekerjaan). Pertimbangan ini jika dipertanyakan akan menimbulkan rasa kurang nyaman dalam bekerja. Pada dasarnya hukum telah mengatur pelaksanaan program Jamsostek, hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Berdasarkan daftar wajib lapor, per-medio Maret 2011, Sumber data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tulungagung. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamnan Sosial Tenaga Kerja 5 Pasal 30, jo. Pasal 31 ayat (1), jo. ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). 6 Soetandyo Wignyosoebroto, “Hukum (Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya)”, Elsam, Huma, Jakarta, 2002, hal. 161–162). 7 Ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 8 Ketentuan Pasal 22, Pasal 24, Pasal 33 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, jo. PP. No. 14/1993, jo. PP. No. 79/1998, jo. PP. No. 83/2000, jo. PP. No. 28/2002, jo. PP. No. 64/2005, jo. PP. No.76/2007 serta PP. No. 1/2009 tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Permenakertrans No. 12/Men/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jamsostek. 3 4
Soewono: Analisis Hukum tentang Jamsostek di Kabupaten Tulungagung
Jamsostek,9 bahwa pada hakikatnya perusahaan wajib mengikutsertakan pekerjanya. Mengingat hukum bersifat preskriptif, maka perintah hukum wajib dilaksanakan. Dalam hukum Jamsostek, khususnya pemberlakuan mengenai sanksi pidana telah diatur secara tegas, baik aspek ancaman pidananya, sanksi administrasi, denda, atau ganti rugi. Pemberlakuan tersebut, tidak semata diarahkan kesasaran pengusaha saja, melainkan pula terhadap Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan pekerja yang menolak pemotongan upah untuk iuran wajib Jamsostek,10 dan kualifikasi tindak pidananya hanya berupa pelanggaran. Sanksi pola ini marak dengan pelanggaran, jika terbukti pelaku melakukan perbuatan hukum, pada umumnya hakim dalam putusannya lebih kepembinaan, yakni dengan sanksi pidana percobaan, denda, atau kurungan. Selain lemahnya sanksi hukum tersebut, diperparah dengan konstruksi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, yang berpotensi menyimpan beberapa kelemahan, yakni klasula mengenai “pentahapan kepesertaan”. Klasula ini berpotensi memberi ruang yang luas bagi pengusaha untuk menafsirkan jumlah peserta pengikut program Jamsostek, dan yang dikutsertakan dalam keanggotaan tergantung keinginan pengusaha dengan standar bersifat spekulatif-subjektif, yakni penentuan standar atas dasar dedikasi, atau loyalitas, senioritas, serta beban risiko pekerjaan. Pola pemikiran ini diterima melalui pernyataan pejabat Disnakertrans, serta badan penyelengagara itu sendiri, yakni memperkenankan pelaksanaan program Jamsostek secara bertahap.11 Pernyataan tersebut secara normatif, bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, bahwa: “Pentahapan kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja ditetapkan dengan peraturan Pemerintah”. Pernyataan ini secara tegas dan eksplisit memberikan makna, bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UndangUndang No. 3 Tahun 1992, menunggu terbitnya peraturan pemerintah, tanpa hal tersebut, Pasal 19 ayat (1), belum dapat dilaksanakan. Mengingat peraturan pemerintah belum terbit, maka aturan mengenai pentahapan kepesertaan belum dapat dilaksanakan. Dengan demikian bagi penyelenggara program jamsosek, pengusaha, maupun pegawai kepengawasan wajib melaksanakan ketentuan jamsostek, dan tanpa penggunaan sistem pentahapan yang berpotensi diskriminatif, serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasan klasik bagi pengusaha dalam hal tidak mengikutsertakan para pekerja, dengan pertimbangan keterbatasan financial, sehingga model alasan ini
79
memunculkan kesepakatan secara lisan antara badan penyelenggara Jamsostek dengan pengusaha, yang berujung pada diperkenankan pengusaha ikut dalam program Jamsostek secara bertahap. Hal ini membawa implikasi bagi hak pekerja yang terpasung karena adanya penafsiran yang sesat dan diskriminatif. Semula pernyataan badan penyelenggara mengenai kemudahan pentahapan kepesertaan program jamsostek diproyeksikan terbatas pada perusahaan pemula, dan dengan alasan untuk mendorong pengusaha dalam memperhatikan hak para pekerja melalui program Jamsostek. Alasan ini disalahartikan pengusaha, dan alasan ini tidak pernah dianulir pejabat tersebut, bahkan klasula “pentahapan kepesertaan” selama 18 tahun dipergunakan pengusaha sebagai model untuk mengikutsertakan pekerja dalam program Jamsostek. Pola ini dipertahankan, dan bahkan dipergunakan sebagai alasan pembenar oleh pengusaha serta pertimbangan untuk memutuskan ikut, atau tidaknya pekerja dalam program Jamsostek. Perintah hukum terhadap setiap pengusaha untuk mengikutsertakan pekerja dalam program Jamsostek tersurat pula dalam ketentuan Pasal 4 (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, yang secara imperatif mewajibkan perusahaan mengikutsertakan pekerjanya yang terikat hubungan kerja dalam program Jamsostek. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 2 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Ketentuan ini, mewajibkan bagi pengusaha untuk mengikutsertakan tenaga kerja/pekerja yang terikat hubungan kerja sekurangnya 10 (sepuluh) orang, atau mengikutsertakan sekurangnya 1 (satu) orang dengan ketentuan upah pekerja paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Sebagai gambaran dapat diketengahkan di sini, bahwa upah minimum pekerja, Kabupaten Tulungagung, sebesar Rp815.000,00 (per Januari 2012) dan kewajiban bagi perusahaan dalam mengikutsertakan pekerja dengan minimal upah, Rp1000.000,00 (Satu Juta Rupiah), maka perusahaan belum diwajibkan untuk ikut dalam kepesertaan program Jamsostek, namun demikian perusahaan dapat dengan suka rela/kehendak sendiri mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek, atau jika tidak masuk sebagai kepesertaan program Jamsostek, maka perusahaan wajib menanggung biaya ketika kecelakaan kerja timbul di perusahaan tersebut.12 Deskriptif ini merupakan satu ketentuan hukum yang wajib dipatuhi pengusaha, badan penyelenggara, dan pekerja. Ketentuan tersebut sekaligus merupakan perintah hukum yang harus dipatuhi dan tidak pernah ada negoisasi para pihak yang berkepentingan. Kewajiban pengguna jasa (pengusaha)
9 Pasal 4 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, menyatakan bahwa Program jaminan sosial tenaga kerja wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Dalam hal ini, jika perusahaan tidak melaksanakan atau tidak memenuhi kewajiban, sebagaimana ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, maka perusahaan diancam dengan hukuman selamalamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,oo (Lima Puluh Juta Rupiah). 10 Ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 11 Wawancara dengan Sdr. Snt (pejabat bidang program Jamsostek Disnakertrans Kabupaten Tulungagung) dan Sdri. Yuni (Kasub. Pembinaan Tenaga Kerja), pada tanggal 20 Mei 2011. 12 Peraturan Pemerintah Pasal 4 No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
80
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 77–82
dalam kepesertaan program Jamsostek merupakan perintah hukum, kecuali terhadap jaminan pemeliharaan kesehatan.13 Khusus pemeliharaan kesehatan, hukum memberi kebebasan pengusaha untuk memilih, yakni mengikuti program yang telah tersedia serta penyelenggaraannya ditetapkan Badan Penyelenggara Jamsostek, atau menyelengarakan tersendiri yang kualitasnya tidak boleh di bawah standar badan penyelenggara Jamsostek. Bekerjanya (aturan) hukum tidak dapat semata memperhatikan hukum, harus pula mempertimbangkan unsur yang lain, yakni penegak hukum sebagai pelaku dalam melaksanakan (aturan) hukum. Di sini penegak hukum mempunyai berbagai fungsi, yaitu: Pertama, penegak hukum sebagai corong peraturan, kecuali penerapan hukum akan menimbulkan rasa ketidakadilan. Kedua, penegak hukum sebagai penterjemah hukum, karena bahasa dalam rumusan konstruksi hukum kurang jelas serta sempurna. Ketiga, penegak hukum merupakan pencipta hukum, dalam hal timbul kekosongan hukum, atau hukum tidak cukup mengatur kepentingan masyarakat, baik yang bersifat in konkrito maupun in abstrakto untuk kepentingan masa depan (konstituendum). Potret suatu negara hukum, khususnya di Indonesia harus pula menyertakan selain penegak hukum, juga lingkungan sosial tempat berlakunya hukum. Keberadaan hukum dan penegakan hukum sangat dipengaruhi pula aspek realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya. Walaupun hukum dapat berperan sebagai instrumen pembaharuan, namun hukum tetap sebagai potret dalam kehidupan masyarakat. Jika keberadaannya (hukum) tidak terjaga keseimbangan (keadilan) yang disebabkan tekanan publik, yakni kepentingan politik, ekonomi, sosial terhadap penegakan hukum dapat memengaruhi putusan penegak hukum, dan pada gilirannya menentukan wujud penegakan hukum.14 Dialogis sebagai media berbudaya akan dapat menciptakan rasa patuh serta mempunyai keperdulian sosial yang saling memberikan manfaat satu terhadap lainnya, yang dalam hal ini pengusaha dapat memahami akan kewajibannya terhadap hukum, khususnya kewajiban mengikutsertakan pekerjanya dalam program Jamsostek. Model dialogis, sosialisasi, pendidikan, pembinaan dan pengajaran tetap harus didukung oleh tegaknya hukum dan penegakan hukum serta sanksi yang memadai sehingga dengan demikian pemberlakuan hukum sesuai dengan prinsip negara hukum, yakni rule of law. Dengan ketentuan hukum ini,15 pengusaha wajib melaksanakan tanpa harus berupaya menafsirkan lain rumusan hukum dimaksud karena sudah cukup jelas, dan pemerintah melalui sarana perlengkapannya melaksanakan
pengawasan dan penindakan jika ada indikasi pelanggaran hukum.16 Sebagaimana diketahui bahwa eksistensi UndangUndang No. 3 Tahun 1992 yang dianggap sebagai karya bangsa Indonesia di bidang hukum masih meninggalkan permasalahan, sekurang-kurangnya ada dua hal yang krusial, yakni ketentuan Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa Program jaminan sosial tenaga kerja wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam jalinan/kerja, dan lebih lanjut ketentuan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993, menyatakan bahwa pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang/lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya....”. Kata wajib ini bersifat imperatif, harus dilaksanakan tanpa tafsir. Sebaliknya, jika membaca serta memahami aturan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, pengusaha dapat secara bertahap mengikutsertakan pekerjanya dalam program jamsostek dengan ketentuan menunggu terbitnya peraturan pemerintah.17 Bukan sebaliknya, yaitu menerobos suatu aturan yang sah, dan tanpa mengindahkan rambu-rambu hukum. Eroni, norma hukum yang terkonstruksi melalui prosedur formal (prosedural justice), terabaikan begitu saja oleh para penyelenggara dan pengguna (user). Kelonggaran terhadap pelaksanaan program jamsostek tidak dapat terhindar dari peran pemerintah yang memberi ruang kebebasan untuk menafsirkan kandungan materi undang-undang kepada pengguna, khususnya mengenai pentahapan program jamsostek. Pemerintah memberi kelonggaraan kepada pengguna program jamsostek, dengan pertimbangan bahwa kepesertaan dengan model pentahapan akan membantu serta meringankan beban dunia usaha secara bertahap. Pendekatan politis-sosiologis demikian dapat dipahami, namun dalam perspektif penegakan hukum dapat menabrak keabsahan aturan hukum positif, dan menanggalkan kepastian hukum. Dilema tentang mana yang diutamakan, apakah pendekatan hukum atau politiksosiologis, tidak dapat dihindari oleh badan penyelenggara maupun penegak hukum, bahkan dilema ini telah berlanjut hingga Tahun 2012 (19 tahun berselang, sejak berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1992). Dari kurun waktu yang cukup lama, yaitu 19 tahun, tampak pemerintah belum ada signal, bahwa pentahapan kepesertaan dalam program jamsostek akan berakhir, dan sepertinya pemerintah masih tetap memberi peluang kepada perusahaan, bahkan memberi kebebasan untuk tidak ikut secara paksa (baca: kewajiban) dalam program jamsostek.
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagir Manan, “Penegakan Hukum dan Keadilan”, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XX, No. 241, Ikahi, Jakarta, 2005, hal. 8–10. Pasal 99 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1993. 16 Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai ketentuan Pasal 31 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 wajib bertindak sesuai hukum yang berlaku. 17 Hingga kini peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud ketentaun Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, belum terbit. 13 14 15
Soewono: Analisis Hukum tentang Jamsostek di Kabupaten Tulungagung
Lebih terhadap penggunaan sanksi nestapa bagi perusahaan tidak sebagai faktor utama, dan keengganan pemerintah untuk menekan perusahaan melalui sanksi nestapa dapat terlihat dari pelaksana teknis, khususnya petugas Disnakertrans dalam melaksanakan tugas kepengawasan terhadap pelaksanaan program jamsostek lebih bersikap edukasi. Di sini pemerintah cenderung melakukan pendorongan terhadap ikut sertanya perusahaan dalam program jamsostek dari pada memilih penegakan hukum. Dari kajian tersebut, dapat diketahui bahwa kewajiban perusahaan untuk ikut serta dalam program Jaminan sosial tenaga kerja telah diatur secara imperatif normatif dalam ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah, kecuali penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan, perusahaan tidak wajib ikut dalam program tersebut, sepanjang jaminan pemeliharaan kesehatan dapat memberi manfaat yang lebih baik dari paket Jamsostek yang dilaksanakan Badan Penyelenggara versi Pemerintah,18 namun demikian secara keseluruhan Pelaksanaan Program Jamsostek yang bersifat imperatif, dalam kenyataannya tidak memberi kepastian hukum, khususnya bagi para pekerja dalam hubungan kerja di perusahaan. Ketidakefektifnya penegakan hukum sudah terlihat dari semula, ketika Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, menimbulkan (isu) masalah, terutama dalam menafsirkan ketentuan tersebut oleh pihak Pemerintah (Disnakertrans), Pekerja, Pengusaha dan Badan Penyelenggara. Perbedaan penafsiran yang demikian tampak akan menimbulkan kesesatan berfikir secara logika yang pada gilirannya menimbulkan tidak efektifnya norma hukum dan sanksi hukum Dampak ketentuan hukum yang demikian19 memperlemah penegakan hukum, dan daya efektif penegakan hukum termarginalkan seiring dengan norma hukum yang tidak terkonsepkan sesuai asas hukum, yang pada gilirannya merugikan pihak kurang beruntung (pekerja). Kondisi ini diperparah dengan penegak hukum berbasis otonomi, terutama pegawai kepengawasan sebagai Pejabat Penyidik Negeri Sipil (PPNS),20 yang tidak memiliki sertifikat penyidik, sehingga membawa konsekuensi, di mana para pegawai pengawas ketenagakerjaan tidak dapat melaksanakan fungsi kepengawasan sebagai polisional di bidang penyelenggaraan program jamsostek, sedang bagi pekerja yang hendak mencari perlindungan hukum sangat dirugikan kepentingan haknya, dan dengan demikian pada satu sisi pengusaha mendapat kemudahan dari pemberlakuan aturan hukum, di mana secara prosedural justice memenuhi syarat hukum, walaupun dari pendekatan law enforcement tidak memberikan kepastian hukum dan keadilan.
81
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Ada permasalahan mendasar dalam pelaksanaan penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja, khususnya pada tingkat abstrakto dan konkrito, hingga membawa konsekuensi hukum, yakni adanya norma hukum yang tidak mempunyai daya efektif dan kepastian hukum, selain adanya kendala dalam penegakan hukum, yang berdampak pada (kepentingan) hak pekerja, khususnya jaminan sosial tenaga kerja. Dampak yang bersinggungan terhadap kepentingan pekerja, yakni mengenai hak perlindungan jaminan sosial, dan kondisi ini pada gilirannya sangat merugikan keberadaan pekerja ditengah perjuangannya melawan penghimpitan perekonomian, baik berskala nasional maupun intern keluarga. Dalam fenomena ini diperlukan hukum yang dapat menjamin kepastian, serta pelayanan, perlindungan, dan keadilan bagi kalangan pekerja. Hukum terkonstruksi untuk melayani kepentingan masyarakat, khususnya pengusaha dan pekerja dalam hubungan industrial, sehingga pembangunan hukum bukan sekadar konstruksi bagi kepentingan abstrakto yang berbasis teoritik semata, melainkan memperhatikan isu yang bersifat konkrito. Pembiaran terhadap fenomena ini akan berdampak terhadap munculnya berbagai isu perselisihan yang berujung pada kepentingan perusahaan, seperti gangguan produktivitas kerja, dan diramaikan dengan pemutusan hubungan kerja. Saran Cita hukum (keadilan) merupakan nilai dasar dalam melandasi aturan hukum serta penegakan hukum, di mana nilai keadilan harus memberi kesetaraan bagi mereka (pekerja) yang kurang beruntung. Oleh karena itu eksistensi jaminan sosial harus benar-benar dapat memberikan manfaat bagi pekerja dengan mekanisme, yaitu melaksanakan aturan hukum (baca: Undang-Undang No. 3 Tahun 1992) dalam rangka tegaknya suatu kepastian hukum dan penegakan hukum, tanpa pemberian penafsiran yang tidak sesuai dengan logika hukum, selain untuk menjamin ketenteraman/ kenyamanan dalam bekerja dan berlangsungnya proses produksi dalam bingkai negara hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagir Manan, Penegakan hukum dan keadilan, Varia Peradilan Majalah Hukum. 2005. 2. Dimyati K, Teorisasi hukum (Studi tentang Perkembangan Pemikiran hukum di Indonesia), Muhammadiyah University Press, Surakarta, Tahun XX, No. 241, Ikahi, Jakarta. 2004.
Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Ketentuan Pasal 4 ayat (1), Jo. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, Jo Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pmerintah No. 14 Tahun 1993, yang berpotensi tidak efektifnya ketentuan hukum, meliputi sanksi hukum dan penegakan hukum, yang berdampak pada ketidakpastian hukum. 20 ketentuan Pasal 31ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan sosial Tenaga kerja. 18 19
82 3. Esmi Warassih Puji Rahayu, Pemberdayaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. 2001. 4. Hilman Hadikusuma, Bahasa Indonesia hukum, Alumni Bandung. 1992. 5. Huijbers Theo, Filsafat hukum, Kanisius, Yogyakarta. 1990. 6. Jimlly Asshiddiqie, Konsolidasi naskah UUD 1945 perubahan keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, UI. Jakarta. 2002. 7. Johnny Ibrahim, Teori dan metodologi penelitian hukum positif, Bayumedia, Malang. 2006. 8. John Rawls, A theory of justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, America. 1971. 9. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum, Prenada, Media, Jakarta. 2005. 10. Satjipto Rahardjo, Ilmu hukum, Citra Aditya bakti, Bandung. 1982. 11. Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, UI-Press, Jakarta. 1983. 12. Soetandyo Wigjosoebroto, Hukum, (Paradigma, Metode & Dinamika Masalahnya), Elsam dan Huma, Jakarta. 2002. 13. Soetandyo Wigjosoebroto, Keadilan dan kepastian hukum, Makalah, Institut Titian Perdamaian, Jakarta. 2004.
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 77–82 Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1998 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua.................” Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2002 tentang Perubahan Ketiga.................” Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat.............” Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2007 tentang Perubahan Kelima.................” Peraturan Pemerintah No. 01 Tahun 2009 tentang Perubahan Keenam...............” Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2010 tentang Perubahan Ketujuh………….” Surat Kabar: Suara Karya, Senin 23 Februari 2009. Suara Surabaya, 16 Maret 2009 via Internet.
83
How Speech Act Applied in Daily Life; The Revelation of Mark Sway’s Characteristics in Grisham’s the Client by Using Act Theory (Bagaimana Speech Act Digunakan dalam Kehidupan Keseharian; Mengkaji Karakteristik Mark Sway dalam Penggunaan Grisham dengan Menggunakan Teori Speech Act) Endah Nur Tjendani Tenured Lecturer of Islamic University Jember ABSTRAK
Kurangnya kesempatan dalam menggunakan bahasa Inggris menimbulkan celah komunikasi antara penutur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris pada pengucapan mereka. Speech act yang digunakan oleh penutur asli pada pengucapannya menghasilkan pemahaman yang sulit. Situasi ini bisa menimbulkan persoalan sosial dan psikologis, kehilangan makna dalam bahasa Inggris, rasa malu, dan bingung. Selanjutnya adalah penting bagi mahasiswa memahami speech act secara teori dan praktiknya, sehingga kajian iini berjudul “Mengkaji Karakteristik Mark Sway dalam Penggunaan Grisham dengan Menggunakan Teori Speech Act.” Penelitian ini bertujuan untuk menemukan karakteristik Mark Sway dalam penggunaan Grisham berdasarkan pada teori Speech Act, yang kemudian digunakan untuk penerapan komunikasi aktif. Pendekatan yang digunakan adalah rancangan kualitatif milik Day, dengan data pengucapan yang terkumpul dibagi menjadi 3 macam karakter. Sumber data adalah dokumen dengan analisa Speech Act oleh Austin dengan prosedur; menemukan locutionary act (makna literal) dalam pengucapan, menemukan illocutionary act (makna contextual) dan data perlucotionary act, selanjutny temuan karakter yang ada dalam Mark Sway berasal dari data locutionary act, illocutionary act, dan perlocutionary act. Ditemukan bahwa karakter pengucapan yang digunakan oleh Mark adalah santun, cerdas, berani, dewasa, dan lelaki egois. Temuan ini adalah sangat penting untuk mahasiswa bahwa makna dalam bahasa yang digunakan komunikasi tidak hanya mempunyai makna tersirat saja, tetapi juga yang tersurat (makan literal dan contextual) yang juga biasa digunakan dalam keseharian.
Kata kunci: speech Act. karakter, mengkaji, penggunaan Grisham ABSTRACT
The lack of opportunity to use English affects the gap of communication between Indonesian and English native speaker on their utterances. Speech act that is used by the native speakers on their utterances results in the difficulty in understanding their utterances. This situation can lead to social and psychological problems, like avoiding communication in English, Embarrassment and anxiety. Therefore, it is vital for university students to know speech act theory. This conditions encourages the students to conduct the following study entitled “the revelation of mark sway’s characteristics in Grisham‘s the client by using speech act theory.” this study was aimed at revealing the characteristic of mark sway in Grisham’s the client based on speech act theory. The approach that was used in this study was qualitative by using Day’s qualitative design. The data were collected from the utterances of the character that consisted of three kind of act. The technique of data collection was documentary study. Data analysis was qualitative by using the theory of speech act proposed by Austin. The procedures of data analysis were; finding the locutionary act (the literal meaning) in the utterances, finding the illocutionary act (the contextual meaning). Finding the perlucotionary act, finding the characters of Mark sway based on the locutionary act, illocutionary act, and perlocutionary act. The study findings indicated that from the utterances, it was revealed that mark is a smart, brave, mature and selfish boy. Based on the study results, it is important for the university students to understand English material not only on the literal meaning but also on the contextual meaning
Key words: speech Act. a character, revelation, Grisham’s the client
INTRODUCTION
Background of the Study
This chapter deals with the background of the study, the problem formulation of the study, the objective of the study, the operational definition of the terms and the significance of the study.
In daily communication utterances that are expressed in grammatically correct from and performed with polite manner do not always reflect that the speaker of the utterances is a good person. On the other hand, a person with impolite and
84
ungrammatical utterances is not always a bad person. This is because every speaker has a certain intention in his/her utterance’s be a good partner in a communication, one should be able to catch the intended meaning that is covered by or understanding ability in understanding the content of an utterances said by the speaker. Understanding spoken English in English as a Foreign Language (EFL) context such as in Indonesia requires many aspect to be considered. For example, communicators have to consider where and when the communication takes place. In many cases, Indonesian people experience many difficulties to interact with English native speaker. This happens very often that the Indonesian does not understand the message directly but they use speech act upon their utterances. This difficulty is regarded as the result of the failure in understanding word, expressions, and idiom spoken by the native speaker. Meanwhile, the objective of English teaching in Indonesian as stated the supplementary basic course outline of the curriculum of junior high School is to develop the ability to listen, speak, read, and write in English (Depdiknas, 2000:170). However, the above goal, such as ability to listen and comprehend English utterances might still be extremely difficult for the students. It is because they are not optimally familiar the function of English utterances. For instance, to understand a certain utterance, the student should know the setting of a conversation, English cultures, idiom, and so on. Students should not only learn the theory of reading, writing, speaking, listening, vocabulary, pronunciation and grammar but also learn the context when where the communication occur. If students study English only based on the theories, they will be easily trapped in the chain of communication problem. For example many Indonesian students might not be able to interact with English native speakers even though they have a lot of English vocabularies from their school. To avoid this condition the English teacher should know how and when to use English in various settings. Moreover, it is believed, according to theories, that communication will successfully take place when language users know how and when to use the language in various setting. Moreover, successful communication happen when communicators have successfully recognized various forms of ability, such as grammatical ability (Morphology, syntax, and phonology) and pragmatic ability (Speech Acts and Politeness) In real life communication, people sometimes make use of speech Act in their utterances. When speaker makes use of speech Act to express his/her message he/she includes three kinds of acts in his/her utterance namely; locutionary act, illocutionary act, and perlocutionary act. For instance, a person can say an utterance using word that literally do not communicate his/her intention at all it can be said that the speaker does not say his intention directly. The example below can be taken draw a clear illustrations.
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 83–89
“The leader is unstable” (Austin (in cook, 1989:36)) In case of warning, it is assumed there is a person who uses the leader. He still uses the leader even though the leader is out order, at the same time, he is noticing that there is a person walking below him and the unstable ladder. The locutionary act of the speaker the man who is using the ladder want to inform the hearer, the man who is walking under the unstable ladder, that the ladder is broken. The illocutionary act of the utterance is that the speakers want the hearer to stay from the ladder because it is extremely dangerous to walk below the unstable ladder. The perlucotionarry act or intended effect of the utterance is that the hearer sty away from the unstable ladder. So, it can be understood that speech act consists of those three acts. Consequently, participants of a communication should be aware of the intention behind an utterance. For that reason learning the spoken discourse is important for students in order to know about the real situation in communication. Hence, conversation from a novel could be taken as one of the appropriate material. Through this kind of material, hopefully, the university students will understand the material not only on the literal meaning but also on the contextual meaning. Grisham’s The Client contains many utterances that can be analyzed using speech Act Theory. In this novel, most of the characters are the people of law society such as lawyers, judges, policemen, detectives, and clients. Sometimes, a character says an utterance that is actually conveying the contradictory meaning. In another time, a lawyer says an utterance to threat his/her opponent using very polite word that do not look like a threat if we do not search further through the utterance and try to find the intended meaning. There is doing a certain act through their utterances. Therefore, it is important to conduct this study entitled “The Revelation of mark sway’s characteristic in Grisham’s the client by using speech Act Theory.” Problem of the Study Based on the above study background, the problem of this study is what are mark sway’s characteristics in Grisham’s The Client that are revealed by using Speech Act theory? Objective of the Study The objective of this study is to reveal characteristics of Mark Sway in Grisham’s the client based on speech Act on speech act theory, especially the kind of act (locutionary act, illoctutionary act, and perlocutionary act). Also, this study aimed to show the importance and the usage of speech act theory in daily life.
LITERATURE REVIEW
This chapter presents the review of theories that are related to the topic of this study. It involves the basic theory
Tjendani: How speech act applied in daily life; The revelation of mark sway’s characteristics
of speech act, illocutionary forces and felicity conditions, the character from three literature point of view, and Grisham’s style of writing. The Basic Theory of Speech Act Language is needed by human being to interact with others. Through language, they will be able to maintain social relationship and to communicate with other. In daily communication, they are able to transfer information, ideas, feeling and thought. Hoffman (1993:274–275) says that communication can run very well if there is cooperative effort between a speaker and hearer. This means in order to achieve smooth communication, the language used in communication should be understood by both the speaker and the hearer. In fact to understand other’s message in their utterances is not a simple thing because every person has his own brain and he/she thinks in his or her own point of view. As a result, both the speaker and the hearer should be careful in uttering something to communicate their intended message. As Hatch (1992:121) declares that there is no utterance which is completely context free in terms of meaning or function. Consequently, as a communicator in daily communication, every person has to able to interpreted the intended meaning from the context of the utterances this utterances below can be viewed as example: “Hey, Michele, you’ve passed the exam.” (Brown and Yule, 1998:232) According to brown and Yule, In this case, it is assumed that the speaker of the utterances above is doing several things at once. He can be simultaneously congratulating or apologizing (for his doubt), on one hand, the speaker wants to congratulate the hearer, Michele, who has passed the examination. On the other hand the utterance can also express the meaning of apologizing. The speaker apologizes because at first he doubts that Michele will be able to pass the examination. Hence, the utterances “Hey. Michelle, you’ve passed the exam” can be understood in many ways, depending on the context of the conversation. If the speaker doubts about Michele’s ability in doing the test, the speaker is conveying an apology upon his utterance. If the speakers just want to congratulate Michele because she has passed the test, the utterance is a pure congratulation Sometimes, speaker says something that does not represent what they really want to put into words. This mean that the speaker’s intended meaning is not explicitly stated in the utterance. Occasionally, the speaker says something that is completely different or even in reverse from the real message they really want to express. In others words they communicate their message through illocutionary meaning. That is why the context of utterance is absolutely needed in attempt to take hold of the intended meaning of an utterance. Moreover, cook (1989: 24) says that to understand other’s utterances, it is essential to know the intended meaning behind the literal meaning of utterances,
85
to consider the utterances the information that the speaker wants to communicate and to understand its function. For that reason, it is important to know the function of language and the context of a conversation in order to understand other’s utterances successfully. One of the approaches in analyzing the language function and contextual meaning is the speech Act theory. The British philosophy, JL. Austin declares for the first time that there are many different things which the speaker can do with words. Austin’s theory is then well-known as speech act theory. At first, this theory is given in a series of lecture at Harvard in 1995. Then, it is published in 1962 entitled “how to do things with word.” in this theory, Austin claims that every utterance that people say is equivalent to an action. Austin (in Richard and Schmidt 983:28) declares that the notion of speech Act is related to the acts that someone performs through speaking. Beside Austin’s point of view, there some definitions of speech act. Akmajian (1995:376) states that speech act is the act performed in uttering expressions. Mey (1993: 110) defines speech act as words that do things. Based on all quotation above, it can be concluded that speech Act is Someone’s ways to do something through utterances. In daily communication, a speaker tries to communicate the messages to a hearer by starting the utterances. According to Austin, making a normal utterance in communication involves a hierarchy of acts. There are three types of acts. There are three types of acts namely locutionary act, illocutionary act, and perlocutionary act. Therefore, it is important for the participant of communication to be aware of those acts because a communication is successful not when the hearers recognize the linguistics meaning of the utterance, but when they are able to infer the speaker’s intention from it. In relation to three types of acts, Austin (in Coulthart. 1985:18) explains in detail about the three types of acts. The first type is a locutionary act. A locutionary act is defined as the basic literal meaning of an utterance conveyed by the particular words and structures which the utterance contains. In other words, a locutionary act is the act of saying something in the full sense of “say” so, a locutionary act is the real meaning of the words in an utterance. It is also known as the utterance itself which means that the utterances are artificially separated from their social context. The second type of act is an act illocutionary act. It is an act that is actualized in saying something. Austin (in Coulthart, 1985:18) says that an illocutionary act is an act that is performed by saying something. In line with Austin’s Idea, Lyons (1995:730) emphasizes that an illocutionary act is an act performed in saying something; making a statement or promise, issuing a command or request, asking a question, christening a ship, and so forth. In this case, Hurford and Heasley (1983:244) say: “The Illocutionary act (or a simply the Illocution) carried out by a speaker in making an utterance is the act viewed in terms of the utterance’s significance within a conventional system of social interaction. Illocutions are acts defined
86
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 83–89
by social convention, acts such as accounting, accusing, admitting, apologizing, challenging, complaining, condoling, congratulating, declining, deploring, giving permission, giving way, greeting, mocking, naming, offering, praising, promising, proposing, marriage, protesting, recommending, thanking, toasting” From those ideas, it can be concluded that the utterance produced by the speaker may constitute an act instead of just assigning information to a hearer. In conclusion, it can be said that an illocutionary act is the real intention or the real message a speaker wants to communicate. The last type is a perlocutionary act. This kind of act can be regarded as an effect of an utterance. Austin (in Coulthart, 1985:19) defines that this act doesn’t have certain linguistically convention as the illocutionary act does. In other words, we can say that a perlocutionary act is the intended effect of an utterance. However, this act cannot be performed without performing locutionary and illocutionary in hierarchy. In another expression, a perlocutionary act is the last act performed upon an utterance. Furthermore, a perlocutionary act can be successfully performed when the locutionary act has been understood because a perlocutionary act contains the intended effect of an utterance. Consequently, if the locutionary and illocutionary act is not successfully completed, the perlocutionary act will not successfully be carried out. In addition to the explain about the three kinds of acts above, Austin (in Levinson, 1983:236) gives explanation about the three basic kinds of act in which in saying something one is doing something. Here are the acts that are simultaneously performed when somebody in saying an utterance: 1) Locutionary act: the utterance of a sentence with determinate sense and reference; 2) Illocutionary act: the making of statement, offer, promise, etc. in uttering a sentence, by virtue of the conventational force associated with it (or with it’s explicate perfomative paraphrase); 3) Illocutionary acts the bringing about of effects on the audience by means of uttering the sentences, such effects being special to the circumstances of utterance.” (Austin (in Levisson, 1983:236). To make a clear illustration, the example below will describe those three kinds of act. I wonder where I put today newspaper.” (Hatch, 1992:135) Through this utterance, it is assumed that the speaker informs the hearer that he forget where he put the news paper. In another expression, he can express his felling by saying the utterance ‘oh no. I’ve lost it again.” So, the locutionary act of the utterance is that he conveys the meaning of asking help. He is asking help to find the news paper. He wants to the hearer helps him to find the news paper instead of just knowing the information that the speaker has forgotten where he puts the news paper. In other words, the speaker wants to say; “please, help me to find the news paper!” whereas, the
perlocutionary act of the utterance is that the hearer helps the speaker to look for today news paper. Illocutionary Force and Felicity Conditions In performing an illocutionary act, there is a force that makes the hearer does the action based on the utterance. The force is then called an Illocutionary force. Austin (in levinson, 1983:236) proposes that all utterances, in addition to meaning whatever they mean, will perform a specific action (or ‘do thing’). Through having specific forces. While, Alan (1986:176) notes that the illocutionary force is what the utterance indicates that the speaker wants the hearer to recognize him to do something in uttering a sentence. This means that the speaker is not only telling something or transferring information but also performing an act through words. So, when the hearer realizes that the speaker wants him to do something instead of only receiving the information, the illocutionary force is working. In order to get the hearer to do the speaker’s intention, it needs some conditions that are called as felicity conditions. Felicity conditions are the requirements that should be completed in order to perform the speaker’s intension successfully. Another way of speaking, felicity conditions are absolutely needed to be accomplished in performing the illocutionary act. As it is stated by Austin (in Cook, 1989:35) that by having felicity conditions, an illocutionary acts will be ‘felicitous’ or ‘happy’ or successfully performed. Accordingly, if the felicity conditions of a certain utterance are not perfectly fulfilled, the speaker’s intention or the illocutionary act will also be not successfully performed. As an example, Austin (in cook, 1989:36) formulates the felicity condition for an order as follows: 1) The sender believes he action should be done; 2) the receiver has the ability to do the action; 3) the receiver has the obligation to do the action; 4) the sender has the right to tell the receiver to do the action. The example below will give a clear illustration of the use of felicity conditions for an order above. “I order you to clean you boots” (Austin (in Cook, 1989:36)) The utterance, I order you to clean your boots, should meet the four requirements oof an order as stated above. Whenever any one of those conditions is not fulfilled, the utterance above will fail to meet the function as an o0rder. For instance, if the utterance is uttered by a speaker who doesn’t really believe that the order should be done, and consequently the order will not be successful (first condition). Then a speaker can order a hearer to clean the boots but not to eat the Eiffel tower or to swallow a car. This means that the hearer should be able to do the utterances (second condition). As a result, if the hearer should.
Tjendani: How speech act applied in daily life; The revelation of mark sway’s characteristics DISCUSSION
Data 2 I don’t know. The young man was`amussed by this kid needing a lawyer. I will tell her you’re here. Maybe she can see you for a minute.” “It is very important.”(Page 79) The conversation above happened in Reggie love’s office at around 9 a.m. it was the conversation between the Clint van Hoser and mark. Clint was amused by a kid let mark a lawyer. Then, Clint let mark to have a seat and he asked some question. Clint told mark that Reggie was busy at moment and mark had to wait for some time. The locutionarry act of the utterance “it’s very important,” was that Mark’s problem was very important. By saying the utterances, mark told Clint that he had a very serious problem. Event though he was only an eleven year–old kid but he really needed help. The illocutionary act of the utterance was that mark argued Clint to inform Reggie that mark had a serious problem. This was because Clint seemed reluctant to go to Reggie’s room since mark was only a kid. Whereas, mark supposed to meet FBI at noon and it was 9 a.m already. Client asked many questions instead of telling Reggie. The conversation between mark and Clint on page 79 showed that Clint asked many question instead of informing Reggie soon and it made Mark little bit impatient (see appendix 5). The perlocutionary act of the utterance was that Clint talked to Reggie that mark had very important matter and needed help (see appendix 5). From the analysis above, it revealed that mark was a brave boy. This was because mark was brave to urge Clint to tell Reggie. Data 3 “Then why don’t you give it to me as a retainer.“ Reggie said Mark pulled out a one dollar bill from his pocket and handed it to her “This is all I’ve got“ (Page 84) The conversation above happened between mark sway and Reggie love. Mark was going to hire Reggie and his lawyer. Then, Reggie asked Mark to pay her some money as a retainer because it was such as an ethic of hiring a lawyer. Actually, mark did not have enough money to hire a lawyer for his complicated problem because he was just an eleven years old kid. He only had a dollar in his pocket. The locutionary act of the utterance “This is all I’ve got) was that it was the last money mark had. The utterance above literally showed that mark did not have more money, but he had only a dollar The illocutionary act of the utterance was that mark sway asked Reggie love to be his lawyer. In another expression, Mark wanted to say “Be my lawyer!” even thought he did
87
not have much money but he really needed help. It could be seen on page 79 that mark supposed to meet FBI at noon and he did not know what to do and he really needed a lawyer’s help (see appendix 5) The Perlocutionary act of the utterance was that Reggie took mark as her client even though he did not have much money to pay her From the analysis above, it revealed that mark was a brave a boy. This was because he was brave to ask Reggie as his lawyer without having much money. Moreover, he was an eleven years old kid who was brave to come to the lawyer’s office alone. Data 4 Momma love was silent until she heard Reggie’s car start then he said, “What on earth did you boys see out there?’’ Mark took a bite, chewed forever as he waited, then took a long drink of tea. Nothing, how do you make this stuff? It’s great.”(Page 184) The conversation above happened in momma love’s house. It was the conversation between momma love and mark. Momma love was Reggie’s mother. Momma loved asked mark many question about his little brother, about the suicide and about the case. Mark was`sickof those question. The locutionary act of the utterance “nothing. How do you make this stuff? It’s great” was that mark did not see anything. Special. Then marked asked momma love how to make the delicious lasagna. Mark also praised the delicious lasagna made by momma love. The Illocutionary act of the utterance was that Mark shifted the topic of the conversation from what he witnessed to the recipe of lasagna. This was because Mark did not want to answer Momma love’s questions moreover, momma love had asked too many question about what hat Mark witnessed. It could be found on page 182. Momma love asked many question about what Mark witnessed and mark got bored with those questions (see appendix 5). Consequently, he tried to shift the topic of the conversation The perlocutionary act of the utterances was that momma love talked about the recipe of lasagna and she no longer talked about Mark’s case. From the analysis above, it revealed that mark was a smart boy. This was because he was able to avoid answering the question by changing the topic of their conversation. Data 5 “Why didn’t you give your name 911?” “I don’t know.” “Come on, mark, there must be reason.” I really need to go home; my mom’s probably looking for me.” (Page 36)
88
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 83–89
The conversation above happened between mark and sergeant Milo Hardy. It happened in the woods after Mark told Memphis Police Department about Mr. Clifford’s suicide.ppoli9cement came to the place where Mark found the dead body of Mr. Clifford. Mark did not give his name when he called the police. He only told the police about the location. He did not tell his identity. When the police investigated the location, Mark saw from a distance and hided from the police. Unfortunately, he was caught. Then, he was asked some questions by the police The locutionary act of utterance” I really need to go home. My mom’s probably looking for me” was that mark had to go home because maybe his mom was looking for him. The illocutionary act of the utterance was that mark asked permission to Sergeant Hardy to let him go and asked him to stop asking question. This was because Sergeant Hardy had asked him many question that he actually did not want to answer. It could be found in their conversation on page 35. Sergeant Hardy asked many question about where he lived. His brother and what he did in the woods when he found the dead body (see appendix 5). The perlocutionary act of the utterance was that Sergeant Hardy let Mark home even he gave Mark ride to go home by using his car. It could be found on page 36(see appendix 5) From the analysis above, it revealed that mark was a smart boy. He was able to refuse answering the question and was able to ask permission to go home. He found a good reason not to answer the question and asked the permission to go home Data 9 “So you don’t think it’s really there?” she asked, seeking reassurance “We won’t know until we look. If it’s not there, I’m of the book and life returns to normal.” “But what if it’s there?”(Page 34) The conversation above happened between Reggie and Mark on their run way. Mark run Away from detention Centre and Reggie helped him. Unfortunately, they didn’t where to go to New Orleans but Reggie disagreed because it was very dangerous. The locution act of the utterance “we won’t know until we look” was that they would not know where the dead body was until they proved it by themselves. Mark also was not sure whether the dead body was really in Mr.Chiffod’s house like Mr.Chifford told him before the suicide. The Illocutionary act of the utterance was that mark insisted Reggie to go to New Orleans with him to find the dead body. Indirectly by saying “ we won’t know until we look “ mark said to Reggie “ let’s go to new Orleans !” mark asked Reggie to go to New Orleans because he wanted to prove whether Mr. Clifford’s story was right or just bullshit. Mark wanted to see whether the dead body of the senator Boyd Boyette was really in Mr. Clifford’s house. It could be
seen on page 346 that mark proposed Reggie to go to New Orleans to prove Mr. Clifford’s story about the dead body (see appendix 5) The perlocutionary act was that Reggie drove to New Orleans to prove where the dead body was located. Even though they had along debate, finally, Reggie followed Mark’s idea to go to New Orleans. It could be found on page 348 that they made a deal to go to New Orleans to find the dead body (see appendix 5) From the analysis, it revealed that Mark was a brave boy. This was because he was brave to ask Reggie to go to New Orleans to prove the location of the dead body. It was very dangerous because the dead body of the senator of Boyyete dealt with the crime of a group of mafia in New Orleans. Data 10 “That was scares me. I think maybe I need a lawyer too, you know protect my right and all.” “You have been watching TV too much, kid.” “The names Mark, okay?” “Sure, sorry but you don’t need a lawyer.” (Page 94) The conversation above occurred between FBI agents (Trumman and Mc Thune) and Mark. It happened in saint peter hospital. FBI agents tried to interrogate Mark about Mr. Clifford Suicide and the Boyd Boyette case. They interrogate mark, an eleven year-old kid without the presence of Mark’s parent or lawyer. Mark tried to ask a lawyer’s help but rejected The locutionary act of the utterance “the name’s Mark, okay? Was that the name was mark Sway. Mark told the FBI agents that his name was Mark. This was because the FBI agents always called him kid. Then, mark wanted to let them know that his name was mark. The Illocutionary act of the utterances was that Mark asked the FBI agents not to call him anymore. In another expression, Mark tried to ask the FBI agents “call me Mark!” even though he was only an eleven year-old but he wanted to be respected at least not to be called kid. The perlocutionary act of the utterance was that FBI agents called Mark by his name instead of kid. It could be found on page 95 that the FBI agents called Mark by his name (see appendix 5) From the analysis above, it revealed that mark was a brave boy. He was brave to ask the FBI agents to call him by his name. Moreover, he was brave to talk to FBI without his parents. He also dared to ask his right to get protection from a lawyer.
CONCUSSION AND SUGGESTION
The chapter presents the conclusion from the result of the analysis and suggestion.
Tjendani: How speech act applied in daily life; The revelation of mark sway’s characteristics
Conclusion Based on the result of the analysis in chapter IV, the 6 data had revealed the characteristic of Mark Sway in Grisham’s The Client. The characteristic of Mark Sway were revealed by using Austin’s Speech act theory. After the 6 data had been analyzed. They revealed that Mark Sway was a brave, smart, and mature boy. However, mark was also a selfish boy who sometime did not care to others. Among the 6 data, Mark was a brave boy in data number 2, 3, 9, 1; Mark was a smart boy in data number 4 Suggestion Based on the result of this study, some suggestion those are given: a) To the university student. It is important for the university students to learn about the pragmatic aspect in English so that they can understand English material not only on the literal meaning but also the contextual meaning; b) To the English teachers. The English teachers need to encourage learning Austin’s speech Act Theory. By doing this, hopefully, the students will understand the English material not only on the literal meaning but also the contextual meaning; c) To other studyer. It is important for other studyer to conduct further study on similar topic without different focus. For example, analyzing jokes and advertisement by using speech Act Theory.
REFERENCES
Akmajian A, An introduction to language and communication Cambridge, Cambridge University Press. 1995.
89
Allan K, Linguistic Meaning: Volume II. London: Routhledge. 1986. Arikunto S, Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktek (edisi V), Jakarta: Rineka Cipta. 2002. Bieger RG and Gerlack J, Educational Study: A practical Approaches, New York: Delmar Publisher. 1996. Brown G and Yule G, Discourse analysis. Cambridge: Cambridge University Press. 1998. Bryman A and Burgess RG, Qualitative study: Volume II. London: sage Publication Ltd. 1991. Cook G, Discourse, Oxford: Oxford University Press. 1989. Coulthard M, An introduction to discourse Analysis, New edition. London: Longman. 1985. Depdiknas, Penyempurnaan penyesuain kuriklum 1994 SLTP (supplement GBPP) Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jakarta: Depdiknas RI. 2000. Dey I, Qualitative data analysis: A user friendly guide for social scientist. London: Routledge. 1993. Fraenkel RJ, and Wallen NE, How to design and evaluate study in education, fourt Edition. Boston: McGraw-Hill. 2000. Grisham J, The Client, New York: Doubleday. 1993. Hatch E, Discourse and language Education. Cambridge: Cambridge University Press. 1992. Koesnosubroto SB, The anatomy of prose fiction. Jakarta: Dekdikbud. 1988. Levinson SC, Pragmatics. Cambridge. Cambridge University Press. 1983. Lyons J, Linguistics semantics: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press. 1995. McMillan JH, Educational study: Fundamental for the consumer, New York: Harper Collins Publisher. 1992. Mey JL, Pragmatics: an introduction. Oxford: Blackwell. 1993. Mitchell John Grisham, Mississippi state University Libraries. 2004. http://www.press.msu.education/books/missisisipistateuniversity. Richards J Richards S, Language and communication. Cambridge: Cambridge University Press. 1983. Shaw H, Dictionary of literary terms. New York: McGraw-hill Inc. 1972. Strauss Al, Qualitative analysis, for qualitative scientists. Cambridge: Cambridge University Press. 1987.
90
Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan (Legal Protection of Deposits Coustomers to Pass Deposit Guaranty Program by Deposit Guaranty Institution) Ratnaningsih Dosen Kopertis Wilayah VII Jawa Timur Dpk pada Fakultas Hukum Universitas Lumajang Lumajang ABSTRAK
Pada prinsipnya pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mencegah bank runs, turunnya kepercayaan deposan serta dapat meminimalkan krisis pada bank. Upaya yang dilakukan Pemerintah sesuai amanat UU No. 10 Tahun 1998, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Ada 2 pembahasan untuk menjawab rumusan permasalahan dalam penulisan artikel ini yang pertama tentang urgensi perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada lembaga perbankan, dan perbaikan pengaturan lembaga penjamin simpanan agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan dana. Penulisan ini menggunakan tipe penulisan hukum yuridis normatif. Latar Belakang lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang LPS karena didasari urgensi perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada lembaga perbankan diperlukan sebagai upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank, sebagai upaya menghindari financial distress, dan urgensi yang terpenting adalah untuk upaya menjaga stabilitas ekonomi nasional, secara khusus untuk menjaga gejolak moneter dan menekan tingkat inflasi. Pengaturan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan kurang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana apabila bank mengalami kegagalan. Dengan adanya persyaratan bahwa simpanan tersebut tercatat di bank, dan nasabah tidak menerima bunga diatas nilai simpanan yang dijamin.
Kata kunci: nasabah penyimpan dana, perlindungan, hukum, penjaminan ABSTRACT
In principle forming of the Institute of Deposit Guarantor to prevent bank runs, lowering of trust of depositor and minimization of crisis can at bank. Effort done by the Government according to commendation of Law No. 10 the year 1998, hence formed the Institute of Deposit Guarantor by virtue of invitors No. 24 the year 2004 about the Institute of Deposit Guarantor. Hereinafter purpose of which wish to be reached in research of this artikel is: 1. to study and analisys protection of law for depositor by deposit guarantee institution; and 2. to study and analisys the consequences of law from limited guarantee under act number 24 year 2004. method in this research by using juridical method, As for Protection urgency of law to depositor client of fund at banking institute required as effort to take care of trust of public to bank that is that public still have confidence in save fund owned in bank. Other urgency is as effort avoids financial distress, As for all important urgency is to strive takes care of national economics stability, peculiarly to take care of distortion of monetary and depress inflation rate. Arrangement of Law No. 24 the year 2004 about The Institute of Deposit Guarantor unable to can give protection of law to depositor client of fund if bank experience failure. that the deposit is noted in bank, and client doesn’t receive interest to deposit value is guaranteed.
Key words: deposit, protection, law, guaranteed
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Industri Perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industri perbankan sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan agar krisis moneter dan Perbankan yang pernah terjadi pada tahun 1998 tidak terulang lagi. Berkaitan dengan 1
jaminan terhadap dana masyarakat yang ada pada bank, diatur dalam ketentuan pasal 37 B ayat 1 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Lebih lanjut pada pasal 37 B ayat 2 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dikemukakan bahwa untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.1 Pada prinsipnya pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mencegah bank runs, turunnya kepercayaan deposan serta dapat meminimalkan krisis pada bank. Upaya
M. Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 hal. 137
Ratnaningsih: Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana
91
yang dilakukan Pemerintah, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut Undang-Undang LPS). Undang-Undang No. 24 tahun 2004 akhirnya dilakukan sedikit perubahan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya perubahan pada pasal 11 yang kemudian Perpu ini ditetapkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 2009. Diberlakunya undang-undang tentang LPS ini, maka setiap bank yang beroperasi di Indonesia baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan. Pada awalnya dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2004 jumlah simpanan nasabah penyimpan dana yang dijamin hanya maksimal seratus juta rupiah tetapi melalui Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 2/PLPS/2010 tentang Program Penjaminan Simpanan, Jumlah simpanan nasabah penyimpan dana yang dijamin hingga mencapai dua miliar rupiah.
ini dilakukan untuk memecahkan permasalahan hukum yang timbul sedangkan hasil yang akan di capai adalah preskripsi mengenai apa yang seyogianya dilakukan. Metode Pendekatan: Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan ini menggunakan beberapa teknik sebagai berikut. a) Pendekatan Undang-Undang (Statute Aproach) yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Penelitian hukum dalam level dogmatika hukum tidak dapat melepaskan diri dari pendekatan perundang-undangan karena pokok bahasan yang ditelaah berasal dari peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.2 b) Pendekatan konseptual (Conseptual Aproach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, agar menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, dan asas-asas hukum atau argumentasi hukum yang merupakan sandaran peneliti untuk membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.3
Rumusan Masalah
Kerangka Landasan Teoritik
Berdasarkan uraian di atas masalah pokok yang dalam penulisan ini: 1. Apakah urgensi perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada lembaga perbankan? 2. Bagaimanakah pengaturan lembaga penjamin simpanan agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan dana?
Konsepsi Perlindungan Hukum. Menurut Phipipus M. Hadjon, Hukum merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, hukum mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan bersama. Sebagai konsekuensinya, maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan hukum bagi manusia yang berujung pada kepastian hukum. Penghormatan dan perlindungan hukum untuk manusia ini tidak lain merupakan pencerminan dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.4 Secara filofofis perlindungan hukum bermuara pada suatu bentuk kepastian hukum yang diberikan oleh pemerintah.5 Bank dan Fungsinya. Menurut Pasal 1 angka 2 UndangUndang No. 10 Tahun 1998 yaitu: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai “Financial intermediary” dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran.6 Simpanan Dana Nasabah pada Lembaga Perbankan di Indonesia. Dana bank yang berasal dari masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting bagi kegiatan Perbankan. Sedangkan yang dimaksud dengan simpanan dari masyarakat itu adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
Manfaat Penulisan Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Penulisan ini diharapkan dapat menemukan konsep baru atau argumentasi baru sebagai bahan untuk menyempurnakan atau penyusunan peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap simpanan dana nasabah melalui program penjaminan. 2. Untuk memberikan kontribusi dan referensi bagi para pihak dalam rangka memperkaya wacana akademis dalam lapangan ilmu hukum Perbankan dari segi perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana melalui program penjaminan pada lembaga perbankan. Metode Penulisan Tipe Penulisan: Penulisan ini menggunakan tipe penulisan hukum yuridis normatif yaitu mengkaji dan menganalisis bahan-bahan serta isue-isue hukum. Penelitian
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, 2005 hal 96–97 Ibid., hal. 95 4 Philipus M. Hadjon et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002 hal. 13 5 Ahmad Ali. Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hal. 94–95 6 Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada media, Jakarta, 2005, hal. 19 2 3
92
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 90–95
dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.7 Fungsi, Tugas dan Wewenang Lembaga Penjamin simpanan. Menurut pasal 4 Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan fungsi dari lembaga LPS terdiri atas dua hal: pertama Menjamin simpanan nasabah penyimpan. Yang kedua turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya. Sedangkan tugas LPS sebagaiman diatur dalam pasal 5 Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut: Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan, melaksanakan penjaminan simpanan, merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik, melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik. Wewenang LPS diatur dalam pasal 6 Undang-Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagai berikut: Menetapkan dan memungut premi penjaminan, menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta, melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS, mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank, melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/ atau konfirmasi atas data tersebut pada angka, menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim, menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu, melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan, serta Menjatuhkan sanksi administratif.
PEMBAHASAN
Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Dana pada Lembaga Perbankan Perlindungan hukum bagi para nasabah penyimpan dana memiliki posisi yang sangat urgen dalam menjamin kelancaran kegiatan ekonomi pada suatu Negara. Urgensi Perlindungan hukum terhadap nasabah yaitu: a) Upaya Menjaga Kepercayaan terhadap Bank; Pada prinsipnya bank memerlukan kepercayaan masyarakat agar mau menjadi nasabah dan menyimpan dananya dalam lembaga tersebut. Dengan demikian jumlah dana yang dapat diserap oleh lembaga perbankan sangat dipengaruhi oleh kredibilitasnya di mata masyarakat, semakin tinggi kepercayaan masyarakat
akan semakin banyak penempatan dana yang dilakukan nasabah dalam bentuk simpanan.8 b) Upaya Menghindari Financial Distress; Financial distress memiliki hubungan erat dengan kepailitan dan fluktuasi makroekonomi, di mana penurunan kepercayaan masyarakat yang bermuara pada fiancial distress akan berujung pada kepailitan lembaga perbankan terkait. Oleh karenanya pembentukan hukum kepailitan dan peraturan lain yang berkaitan dengan kelembagaan perbankan sudah seharusnya berorientasi pada perlindungan hukum kepada nasabah. Dalam hal ini ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan menghindari terjadinya financial distress. c) Upaya Menjaga Stabilitas Ekonomi; Bank sebagai lembaga kepercayaan yang merupakan bagian dari sistem moneter merupakan sarana untuk pembentukan dana alokasi tabungan masyarakat, maka peranan kebijakan moneter dalam suatu perekonomian sangat penting dalam menciptakan dan memelihara suatu tingkat kestabilan ekonomi. Telaah perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana dilakukan dengan mencermati hubungan hukum yang terjadi antara nasabah dengan pihak bank. Timbulnya hubungan antara bank dan nasabah didasarkan dua unsur yang saling terkait yaitu hubungan hukum dan kepercayaan.9 Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan mengembangkan usahanya apabila masyarakat percaya untuk menempatkan uangnya pada produk-produk yang ada pada bank tersebut berdasarkan kepercayaan, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada bank, selanjutnya bank akan memberikan jasa-jasa perbankan. Pada sistem hukum perbankan Indonesia perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana/ deposan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:10 1. Perlindungan secara implisit (implisit deposit protection) yaitu: Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. 2. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection) yaitu: Perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat. Perbaikan Pengaturan Lembaga Penjamin Simpanan untuk Peningkatan Perlindungan Hukum terhadap Nasabah Penyimpan Dana Harus disadari sepenuhnya oleh masyarakat pada umumnya dan para nasabah penyimpan dana bahwa program penjaminan, bahwa LPS hanya sebatas membayar sejumlah simpanan para nasabah setelah memenuhi persyaratan. Dalam pasal 19 UU No. 24 Tahun 2004 tidak dirinci syarat sebuah klaim yang layak dibayar, tetapi lebih menegaskan
Ibid., hal. 43–46 William Tompson, dalam Sukarela Batunanggar, Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, Penebar Swadaya, Jakarta, 1998 hal. 17 10 Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Masalah Hukum Perlindungan Nasabah, Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia, Majalah Hukum Tahun XII No. 136 Januari 1997 hal. 136 7 8 9
Ratnaningsih: Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana
kepada ketentuan klaim yang tidak layak dibayarkan. Ada tiga kriteria yang berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 dikategorikan sebagai simpanan tidak layak bayar, yaitu: (a) apabila data simpanan tidak tercatat pada bank; (b) penyimpan merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar dan atau; (c) penyimpan merupakan pihak yang menyebabkan bank menjadi tidak sehat. Berdasarkan pengalaman semasa program penjaminan dilaksanakan oleh BPPN, UP3, dan LPS, banyak kasus klaim yang tidak dibayarkan karena adanya rekayasa oleh pengurus sekaligus pemilik bank untuk melakukan rekayasa transaksi sedemikian rupa sehingga simpanan menjadi tidak tercatat di bank yang bersangkutan. Hal lain yang sering dijumpai dalam praktik mengapa klaim tidak dapat dibayarkan adalah memberikan kompensasi yang tidak wajar kepada nasabah penyimpan. Termasuk dalam kategori ini adalah bentuk pemberian suku bunga simpanan di atas suku bunga penjaminan dan pemberian semacam insentif khusus dalam bentuk tunai (cash gift) secara rutin.11 Terdapat dua modus operandi yang biasanya dilakukan bank dalam memalsukan catatan pembukuan. Modus pertama, nasabah diberi bilyet asli tapi palsu (aspal), atau simpanan benar tercatat tapi di pertengahan jalan catatan itu dikeluarkan dari data bank. Hilangnya sebuah pencatatan dari data bank merupakan faktor kesengajaan pihak pengelola, baik itu direksi maupun pemiliknya. Motifnya adalah ingin mengeruk untung dengan cara yang cepat. Dengan memanipulasi simpanan nasabah, pihak bank tidak perlu membayar premi ke LPS. Modus kedua yang juga sering ditempuh, yakni dengan menciptakan nasabah fiktif. Secara teknis, simpanan seorang nasabah yang berjumlah besar dipecah dalam beberapa nama. Pemiliknya tetap satu, tapi yang dilaporkan ke BI dan LPS jumlahnya sudah dibagi-bagi dalam satuan yang lebih kecil. Modus yang sedemikian memiliki motif untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Nasabah tentu saja tidak tahu simpanannya telah dibuat demikian rupa. Pensyaratan bahwa simpanan hanya akan dibayarkan apabila data simpanan tidak tercatat pada bank, pada satu sisi dapat memberikan perlindungan hukum kepada Lembaga Penjamin Simpanan agar tidak membayar klaim dari tabungan fiktif. Akan tetapi disisi lain hal tersebut tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.12 Secara teknis suatu simpanan akan dinyatakan tercatat oleh LPS pada bank apabila: a) Dalam pembukuan bank terdapat data mengenai
93
simpanan tersebut, antara lain nomor rekening/bilyet, nama nasabah penyimpan, saldo rekening, dan informasi lainnya yang lazim berlaku untuk rekening sejenis; dan/atau b) Terdapat bukti aliran dana yang menunjukkan keberadaan simpanan tersebut. Apabila simpanan nasabah ternyata tidak dicatat oleh bank, nasabah tidak akan dapat mencairkan klaim simpanannya. Dengan demikian nasabah tidak mendapatkan perlindungan hukum atas simpanan yang ada pada pihak perbankan. Persoalan pencatatan dana simpanan nasabah oleh bank merupakan permasalahan internal bank itu sendiri, dalam hal ini sangat erat kaitannya dengan rahasia bank. Oleh karenanya dapatlah dipastikan bahwa seorang nasabah penyimpan tidak akan bisa memastikan ataupun mengetahui apakah simpanannya dicatat ataukah tidak. Pada setiap lembaga perbankan pastilah memiliki standart operational procedure yang hanya diketahui oleh pihak internal saja. Nasabah sebagai pihak luar tidak bisa melakukan intervensi atas kebijakan internal perbankan sebagaimana dimaksud. Aturan tersebut membuat nasabah suatu bank memiliki posisi yang tidak menguntungkan, pada satu sisi nasabah tidak dapat mengetahui apakah simpanannya dicatat oleh bank ataukah tidak, sedangkan pada sisi yang lain nasabah akan mendapatkan dampak dari kegiatan tersebut. Oleh karenanya aturan tersebut tidak sejalan dengan tujuan dari keberadaan UU LPS yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan menjaga stabilitas keuangan nasional. Revisi atas subtansi pengaturan mengenai pencatatan ini seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Perbaikan dapat dilakukan dengan menghilangkan pensyaratan tersebut untuk pengajuan klaim simpanan. Dapat pula dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan perimbangan, dalam hal ini dilakukan dengan pemberian kewajiban kepada bank untuk mencatat seluruh transaksi atas setiap simpanan nasabah. Apabil bank terbukti tidak melakukan pencatatan, bank akan dikenakan sanksi oleh otoritas pengawasan yang berwenang. Akan tetapi kebijakan tersebut haruslah diimbangi dengan peningkatan fungsi pengawasan oleh Bank Indonesia, sehingga proses pencatatan simpanan nasabah akan terus terpantau. Dengan demikian masyarakat akan merasa aman dalam menyimpan dananya dalam sebuah bank. Ketentuan lain yang berlaku adalah: klaim penjaminan nasabah penyimpan dinyatakan tidak layak dibayar apabila nasabah tersebut merupakan pihak yang diuntungkan secara
11 Contoh kasus BPR Mranggen, Bank yang mengelola DPK Rp 962 juta itu sama sekali tidak memiliki aset material. Gedungnya masih mengontrak, dan sejumlah aset yang masih mungkin dicairkan sebagian sudah dibawa kabur pengurus dan nasabah. Padahal, dana yang dikeluarkan LPS untuk menyelesaikan likuidasi BPR tersebut sudah melampaui total premi yang disetor dan aset. Akibatnya, LPS menjadi pihak yang dirugikan. Sebabnya, setiap nasabah yang memiliki bukti setoran ke bank dan ternyata benar ketika dilakukan verifikasi, klaimnya harus dibayar. Tak peduli setoran itu masuk ke dalam pembukuan bank atau digelapkan pengurus BPR. 12 Contohnya seperti yang terjadi pada penutupan lima bank perkreditan rakyat (BPR) di beberapa daerah selama kurun Januari-Oktober 2006. Setelah bank-bank tersebut masuk dalam proses likuidasi, barulah terkuak fakta yang memprihatinkan. Ternyata, oleh pengelola BPR banyak dana nasabah yang tidak dimasukkan ke dalam program penjaminan. Akibatnya, karena masuk dalam kategori tidak layak bayar, sebagian dari simpanan itu tak bisa dicairkan. Lima bank yang dilikuidasi itu adalah BPR Tripilar Arthajaya di Yogyakarta, Mitra Banjaran di Bandung, BPR Cimahi, Mranggen Mitra Niaga di Semarang, dan BPR Samandhana di Sukabumi. Tanpa memasukkan BPR Samandhana (karena sejak lima tahun lalu berhenti beraktivitas), dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun oleh empat BPR tadi tercatat mencapai Rp 37,9 miliar. Belum jelas benar berapa total nominal dana nasabah yang ”hangus” karena masuk dalam kategori tak layak dibayarkan. Namun, secara kualitatif dari 3.530 rekening, terdapat 326 rekening (9,2%) yang berstatus tidak layak bayar.
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 90–95
94
tidak wajar.13 Dimaksud tidak wajar adalah apabila nasabah tersebut memperoleh tingkat bunga melebihi maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Pada prinsipnya pengaturan ini sangat merugikan nasabah, karena nasabah memiliki posisi yang kurang menguntungkan. Sebagai penyimpan dana, nasabah bukanlah pihak yang menentukan tingkat bunga yang diterimanya. Tingkat bunga yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah ditentukan secara sepihak oleh bank, bahkan perubahan tingkat bunga tersebut tidak informasikan kepada nasabah. Di sisi lain, batas maksimum bunga dijamin yang ditentukan oleh LPS selalu bergerak dinamis, maksimum tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan oleh LPS berubah sesuai dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai suatu ilustrasi sekiranya Nasabah menyimpan uang di sebuah bank kemudian ditawari suku bunga deposito per bulannya adalah 13,25% sementara tingkat suku bunga penjaminan adalah 13%. Sekalipun hanya berbeda 0,25%, maka seluruh deposito tersebut termasuk yang tidak dijamin oleh LPS. Artinya di saat nasabah mendapatkan suku bunga sebesar itu dan bank nya harus dilikuidasi, maka LPS tidak akan membayar klaim. Dapat dikatakan semakin tinggi suku bunga simpanan suatu bank dapat diindikasikan bahwa bank tersebut dalam posisi memerlukan likuiditas tambahan.14 Para nasabah penyimpan tidak akan mungkin bisa menentukan tingkat bunga yang akan diterima dari pihak bank. Demikian pula tidaklah mungkin nasabah akan memantau pergerakan fluktuasi batas maksimum bunga dijamin yang ditentukan oleh LPS untuk disesuaikan dengan tingkat bunga yang diterima dari bank setiap bulannya. Akhirnya nasabah menjadi pihak yang paling dirugikan dengan adanya pensyaratan mengenai batas maksimum tingkat bungan dijamin tersebut. Pengaturan yang sedemikian akan mengurangi kualitas perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah, karena nasabah penyimpan harus bertanggung jawab atas persoalan yang berada diluar kuasanya. Penjaminan simpanan secara terbatas melalui konsep LPS merupakan sebuah instrument yang baru dikenal di Indonesia, oleh karenanya menurut Krisna Wijaya harus ada beberapa pembenahan pemahaman mengenai LPS.15 Pertama, keberadaan LPS merupakan jawaban perlunya reformasi sistem penjaminan yang semula berisifat blanket guarantee menjadi limited guarantee. Alasan yang paling mudah dapat diterima mengapa program penjaminan menjadi dibatasi adalah untuk menghindari adanya moral hazard (baca; tindakan tidak terpuji yang di sengaja) para oknum pemilik dana besar yang sekaligus mempunyai bank. Dengan model seperti itu, oknum-oknum tersebut bisa saja membangkrutkan banknya dengan memberikan pinjaman
kepada groupnya, sementara simpanannya tetap terjamin. Kedua, diperlukannya adanya reformasi dalam proses berfikir (paradigma) bahwa pembatasan penjaminan simpanan bukan berarti simpanannya menjadi sama sekali tidak terjamin. Ketiga, keberadaan LPS merupakan bagian dari kelengkapan instrumen pemerintah dalam menciptakan jejaring pengaman perbankan (bangking safety net) sekaligus juga pengamanan sistem keuangan (financialsafety net). Keempat, dengan adanya LPS, maka bank dapat menjadi terlindungi karena semuanya telah menjadi peserta LPS. Artinya ada jaminan yang jelas dan pasti kepada nasabah simpanan bahwa uang aman disimpan di bank. Kelima, industri perbankan akan menghadapi berbagai permasalahan yang relatif lebih berat dibandingkan waktu sebelumnya. Selain ancaman peningkatan NPL, bank juga masih harus menghadapi berbagai ketidakpastian baik suku bunga, inflasi maupun situasi politik. Namun demikian tetap ada optimisme yang perlu dijaga kalau saja perbankan nasional bisa mengemas persaingan yang elegan, sehat dan transparan, maka dampak negatif dari persaingan dapat dieliminir. Keberadaan LPS merupakan amanat dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Sebagaimana diatur dalam pasal 37B UU Perbankan sebagai berikut: 1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. 2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. 3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia. 4) Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Telah jelas bahwa pada prinsipnya dasar hukum pembentukan LPS diamanatkan cukup dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), bukan undang-undang (UU). Dapatlah disimpulkan keberadaan UU LPS berdampak pada struktur peraturan perundang-undangan menjadi tidak sinkron, secara khusus dengan UU Perbankan. Dimana amanah UU Perbankan mengatur keberadaan LPS dengan bentuk peraturan pemerintah, akan tetapi direalisasikan dengan bentuk UU LPS. Pengatura LPS dalam suatu Undang-Undang merupakan salah satu bagian sebagai upaya terbentuknya kelembagaan penjamin simpanan yang tangguh dan berkesinambungan bagi sektor perbankan. Selain itu, pada saat yang sama juga dapat berperan aktif menjadi salah satu pilar kokoh dari sebuah jaring pengaman sektor keuangan di negeri ini, bersama-sama dengan otoritas perbankan, otoritas moneter, dan otoritas fiskal.16 Menurut Pontas R. Siahaan, Lembaga Penjamin Simpanan merupakan salah satu otoritas
Pasal 19 UU LPS Krisna Wijaya. Prospek Perbankan dan Keberadaan LPS Beorientasi Kepada Penciptaan Stabilisasi. Malakah Disampaikan pada acara Seminar Banking Outlook 2006, Majalah Infobank, Graha Niaga, Jakarta 14 Desember, 2005 15 Krisna Wijaya. Op. Cit. 16 Amerta Marjono. Meninjau Kelembagaan Penjaminan Simpanan. Kompas 24 April 2004 13 14
Ratnaningsih: Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana
yang menangani keuangan, jadi lebih cocok LPS diatur dalam bentuk Undang-Undang. Selain lebih mempunyai kekuatan hukum untuk perlindungan deposan Indonesia akan memiliki jaring sektor keuangan yang kokoh.17 Merujuk UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Amandemen UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, LPS adalah merupakan bagian dari elemen Indonesia Finansial Safety Net (IFSN). Oleh karenaya, pengaturan LPS dalam suatu peraturan perundang-undangan seyogianya tidak mendahului UU IFSN. Untuk menciptakan legal order (ketertiban hukum) seharusnya UU IFSN dibentuk terlebih dahulu karena merupakan aturan induk dari jaring pengaman sektor keuangan di Indonesia dan keterkaitannya dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). LPS yang diatur dalam UU LPS seharusnya juga diajukan setelah adanya UU mengenai IFSN dan OJK tersebut.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Urgensi perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana pada lembaga perbankan diperlukan sebagai upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank yaitu agar masyarakat tetap memiliki keyakinan dalam menyimpan dana yang dimiliki di bank. Urgensi yang lain adalah sebagai upaya menghindari financial distress. Adapun urgensi yang terpenting adalah untuk upaya menjaga stabilitas ekonomi nasional, secara khusus untuk menjaga gejolak moneter dan menekan tingkat inflasi. 2) Pengaturan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan kurang dapat memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana apabila bank mengalami kegagalan dengan adanya persyaratan bahwa simpanan tersebut tercatat di bank, dan nasabah tidak menerima bunga diatas nilai simpanan dijamin. Untuk dapat meningkatkan perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana pengaturan mengenai lembaga penjamin simpanan perlu dibenahi dalam hal pemahaman lembaga penjamin simpanan, sinkronisasi UU LPS dengan peraturan perundang-undangan lainnya secara khusus UU Perbankan dan UU BI. Saran Diperlukan revisi atas Undang-Undang Perbankan secara khusus pada pasal 37 yang mengatur mengenai lembaga penjamin simpanan agar sesuai dengan Undang-
17
95
Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Perlu melakukan revisi atas UU LPS secara khusus pada pasal 19 yang mengatur pensyaratan penjaminan demi untuk memberikan perlindungan hukum kepada nasabah penyimpan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta; 1979. hal. 39. Badudu, Zain, Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 1994, hal. 71. Rony Sautma Bako, 1995. Hubungan bank dan nasabah terhadap produk tabungan dan deposito (suatu tinjauan hukum terhadap perlindungan deposan di indonesia dewasa ini), Citra Aditya Bakti, Bandung; hal. 40–51. Ahmad Ali, Menguak takbir hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta; 1996. hal. 84, 94–95. Marulak Pardede, Likuidasi bank dan perlindungan nasabah, Penebar Swadaya, Jakarta: 1998, hal. 17. Philipus M. Hadjon et al, Pengantar hukum administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta; 2002. hal. 13. Muhammad Djumhana, Hukum perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003, hal. 137. Gunarto Suhardi, Usaha perbankan dalam perspektif hukum, Kanisius, Yogyakarta; 2003, hal. 56. Rahmadi Usman, Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta; 2003. hal. 24. Hermansyah, Hukum perbankan nasional Indonesia, Prenada media, Jakarta; 2005, hal. 19. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian hukum, Prenada Media, 2005. hal. 96–97.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 2/PLPS/2010 tentang Program Penjaminan Simpanan
Jurnal Marulak Pardede, Likuidasi bank dan masalah hukum perlindungan nasabah, varia peradilan, Ikatan Hakim Indonesia, Majalah Hukum Tahun XII No. 136 Januari 1997. Pontas R. Siahaan. Penutupan bank tidak bisa sembarangan. Buletin Warta Pengawasan Vol. XIII/No. 1/Januari 2006
Internet/Media Amerta Marjono. Meninjau Kelembagaan Penjaminan Simpanan. Kompas 24 April 2004 Krisna Wijaya. Prospek perbankan dan keberadaan LPS beorientasi kepada penciptaan stabilisasi. Malakah Disampaikan pada acara Seminar Banking Outlook 2006, Majalah Infobank, Graha Niaga, Jakarta; 14 Desember, 2005.
Pontas R. Siahaan. Penutupan Bank Tidak Bisa Sembarangan. Buletin Warta Pengawasan Vol. XIII/No. 1/Januari 2006 hal. 65
96
Hubungan Pola Pengasuhan Ibu dengan Keterampilan Sosial Anak Usia 6 Tahun di TK ABA Kabupaten Jombang (The Relationship between Mothers’ Parenting Style and Six Years Old Children’s Social Skill in Jombang Residency) Pujiani,1 Oedojo Soedirham,2 Windhu Purnomo3 1 Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang 2,3 Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya ABSTRAK
Akhir masa kanak-kanak adalah masa usia sekolah dengan tugas perkembangan utama adalah sosialisasi. Keterampilan anak-anak adalah faktor penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial yang positif dengan masyarakat mereka. Keterampilan sosial yang rendah dapat menyebabkan gangguan perilaku anak. Menurut sebuah studi oleh Kazdin (dalam Carr, 2001) ini menunjukkan bahwa lebih dari 50% anak-anak 4–5 tahun telah menunjukkan gejala gangguan perilaku eksternal yang dapat berkembang menjadi gangguan perilaku permanen. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu dan keterampilan sosial anak-anak usia enam tahun di Kabupaten Jombang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain studi cross sectional. Penelitian ini berlokasi di TK ABA di Kabupaten Jombang. Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak yang belajar di TK ABA di Kabupaten Jombang dan anak itu sudah berusia enam tahun. Jumlah sampel adalah 63 orang. Sampel dikumpulkan dengan menggunakan teknik simple random sampling. Analisis data dilakukan melalui analisis regresi linier ganda dengan ρ = 0,05 dan CI 95%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum semakin tinggi pola asuh ibu semakin tinggi pula keterampilan sosial anak-anak usia enam tahun. Kesimpulan: pada umumnya pola asuh ibu yang lebih tinggi menghasilkan keterampilan sosial yang baik bagi anak-anak enam tahun. Secara tidak langsung pendidikan ibu dan profesi adalah positif berhubungan dengan keterampilan sosial anak melalui pengasuhan ibu.
Kata kunci: pola asuh ibu, kemampuan sosial anak-anak , dan masa kanak-kanak akhir ABSTRACT
Late childhood is a period of school age with a primary developmental task is socialization. Children’s skills are an essential factor to start and have a positive social relationship with their society. Low social skills can lead to children’s behavior disorder. According to a study by Kazdin (in Carr, 2001) it suggests that more than 50% of children 4–5 years of age have shown external behavior disorder symptoms which can develop into permanent behavior disorder. The purpose of the study to know the relationship between mothers’ parenting style and six years old children’s social skill in Jombang residency. The method that was used in this study was Observational Analytic with a cross sectional study design. This study was sited in ABA kindergarten in Jombang residency. The subject of the study was mothers who have a child who study at ABA kindergarten in Jombang residency and the child was six years old. The number of samples was 63 people. Sample was collected using simple random sampling technique. Data analysis was carried out through analysis regression linear double with ρ = 0.05 and CI 95%. The research result showed that in general the higher the mother’s parenting pattern the higher the social skills of children of six years old. Conclusion: in general the higher the mother’s parenting resulted in good social skills of children of six years old children. Indirectly mothers’ education and profession were positively related to children’s social skill through mother’s parenting.
Key words: mothers‘s parenting pattern, children socials skill, and late childhood
LATAR BELAKANG
Masa kanak-kanak akhir (late childhood) merupakan masa yang terjadi pada usia 6–12 tahun (Monks dan Haditono, 2004). Periode tersebut sesuai dengan masa usia sekolah dengan tugas perkembangan utamanya adalah sosialisasi. Menurut Erikson (dalam Graha, 2007). Perkembangan psikososial pada masa tersebut adalah “Industri versus Rendah diri.” Pada masa ini anak mulai berhubungan dengan dunia luar dan melihat lingkungan lain seperti sekolah, sikap egosentris anak sudah mulai berkurang, mempunyai jiwa
kompetitif, mulai berkomunikasi dengan temannya sehingga mereka bisa membentuk kelompok dan bekerja sama. Seorang anak untuk dapat diterima oleh lingkungan sosial, maka anak harus mempunyai kemampuan sosialisasi, kemampuan untuk menghayati tugas-tugas yang harus diselesaikan sebagai anggota masyarakat. Latihan untuk menyesuaikan sosial tersebut harus dimulai pada masa balita, karena pengalaman sosial yang dini mempunyai peranan yang penting dalam menentukan hubungan sosial anak dimasa depan dan pola perilaku terhadap orang lain disekitarnya (Gerungan, 2004).
Pujiani: Hubungan pola pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial anak usia 6 tahun
Ketrampilan sosial bagi seorang anak merupakan faktor penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial yang positif. Lemahnya ketrampilan sosial pada seorang anak dapat menyebabkan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, sehingga menjadi rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku kurang normatif (anti sosial) bahkan bisa lebih ekstrim misalnya gangguan jiwa, kenakalan remaja, kriminal dan kekerasan (Dishion et al., 1984, Eron, 1987, dalam Mu’tadin, 2008). Banyak penelitian yang menyatakan bahwa anak yang memiliki gangguan perilaku memiliki ketrampilan sosial yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Kazdin (dalam Carr, 2001) menyatakan bahwa lebih dari 50% anak usia 4–5 tahun telah menunjukkan beberapa symptom gangguan perilaku external yang dapat berkembang menjadi gangguan perilaku yang menetap. Gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi, misalnya faktor individu (temperamen dan pengaruh hormonal), faktor keluarga (pola asuh dan stabilitas keluarga) dan faktor lingkungan (kualitas hubungan dengan sebaya). Salah satu penyebab interaksi beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya gangguan perilaku adalah rendahnya ketrampilan sosial anak yaitu kemampuan untuk mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain dan lingkungan (Cartledge & Milburn,1995) Bor et al. (2004) menyatakan bahwa penyebab terjadinya perilaku anti sosial adalah karakteristik anak terutama anak yang mengalami masalah perilaku sebelumnya dan anakanak yang orang tuanya mengalami konflik atau berganti pasangan. Di Indonesia meskipun belum ada angka yang pasti, namun dari jumlah anak yang terlibat kejahatan hukum dan kenakalan dapat diprediksikan bahwa cukup banyak anak mengalami gangguan perilaku yang kemungkinan disebabkan karena rendahnya ketrampilan sosial. Moore (dalam Desvi, 2006) menyebutkan bahwa anak yang mengalami gangguan perilaku biasanya memiliki masalah penyesuaian diri dengan lingkungan sosial. Kondisi tersebut tidak terlepas dari rendahnya keterampilan sosial anak. Di Jawa Timur hingga 23 Juli 2005 pada lembaga pemasyarakatan anak Blitar tercatat sebanyak 107 penghuni (Dinas Informasi dan komunikasi Pemprov. Jatim, 2005). Kejahatan yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari pencurian, pemerasan dan pengeroyokan sampai pada penggunaan obat-obatan, pemerkosaan dan pembunuhan. Jumlah ini akan semakin bertambah setiap tahunnya. Keadaan tersebut seperti gunung es dan diduga angka kenakalan dan permasalahan sosial lainnya sebenarnya berjumlah 10 kali lipat (Tambunan, 2003). Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama agar dapat tumbuh dan berkembang baik secara fisik dan mental (Gerungan, 2004). Baik atau tidaknya proses pertumbuhan dan perkembangan anak tergantung pada pengasuhan yang diberikan oleh orang tuanya. Perkembangan anak akan
97
optimal apabila interaksi sosial sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangannya bahkan sejak anak masih dalam kandungan, sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat perkembangan anak (Soetjiningsih, 2006). Pada masa ini peranan orang tua sangat penting dan mempunyai pengaruh kuat khususnya pada perkembangan sosial anak (Djiwandono, 2006). Tingkah laku, cara dan sikap orang tua dalam keluarga akan memengaruhi interaksi keluarga dan dapat mengakibatkan ciri-ciri tertentu pada perkembangan kepribadian seorang anak. Oleh karena itu keterampilan sosial harus dikembangkan sedini mungkin agar dapat memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga anak dapat berkembang secara normal dan sehat (Mu’tadin, 2008).
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan waktu pengambilan data secara cross sectional. Lokasi penelitian dilakukan di TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal) di wilayah Kabupaten Jombang. Teknik pengambilan sampel adalah simple random sampling dengan besar sampel 63 orang yang memenuhi kriteria inklusi: 1) Anak yang sekolah di TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal) Kabupaten Jombang serta berusia 6 tahun.2) Anak dalam keadaan sehat 3) Anak tinggal bersama kedua orang tua 4) Bertempat tinggal di Kabupaten Jombang 5) bersedia untuk ikut dalam penelitian dengan dibuktikan dengan menandatangani formulir inform consent. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan pengisian kuesioner tentang pola pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial anak yang sudah dilakukan uji validitas dan reabilitas. Data yang diperoleh meliputi karakteristik ibu dan anak (jenis kelamin, jumlah saudara, status sosial ekonomi keluarga, pendidikan ibu, struktur keluarga, pekerjaan ibu), pola pengasuhan ibu (ikatan kasih sayang, disiplin, perilaku mendidik, kesejahteraan dan perlindungan umum, responsivitas dan sensitivitas) dan keterampilan sosial anak. Data karakteristik responden diolah dengan menggunakan distribusi frekwensi sedangkan pola pengasuhan ibu dan keterampilan sosial anak dianalisis dengan menggunakan uji regresi liniar ganda yaitu mengetahui hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial anak.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (70%), ibu bekerja (59%), status ekonomi keluarga adalah > UMK Kabupaten Jombang (81%), pendidikan ibu responden adalah tinggi (62%), jumlah saudara responden adalah ≥ dari 2 orang (65%) dan bentuk keluarga responden adalah bentuk keluarga inti (59%).
98
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai ratarata pola pengasuhan ibu adalah tinggi (75,86%) dan pola pengasuhan ibu yang mempunyai nilai rata-rata tertinggi dari keenam variabel adalah sensitivitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata keterampilan sosial anak adalah tinggi. Dari hasil Analisis regresi linear ganda untuk variabel independen yang masuk dalam model regresi adalah ikatan kasih sayang, ibu bekerja, responsivitas dan pendidikan ibu. Hasil regresi linear sederhana untuk mengetahui hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial didapatkan nilai p = 0,00 (p < 0,05) berarti ada hubungan artinya semakin tinggi pola pengasuhan ibu semakin tinggi keterampilan sosial anak.
PEMBAHASAN
Berdasarkan distribusi jenis kelamin responden diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki laki (70%). Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini memengaruhi pula pada ketrampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka ketrampilan sosialnya pada aspek-aspek tertentu juga berbeda. Pada masa kanak-kanak anak laki-laki lebih menyukai permainan yang banyak melibatkan aktivitas fisik dalam berinteraksi dengan sosial. Sedangkan anak perempuan lebih menyukai permainan yang lebih bersifat pasif dan menetap (Whaley dan Wong, 1994). Berdasarkan distribusi pekerjaan orang tua diketahui bahwa sebagian besar adalah ibu bekerja (59%). Ibu yang bekerja di luar rumah pada zaman yang sudah modern saat ini merupakan suatu hal yang biasa dan merupakan tuntutan masyarakat yang sudah maju, karena dengan bekerja mengurangi kejenuhan di dalam mengurus rumah tangga dan dapat menambah penghasilan keluarga dan menambah wawasan serta pengetahuan dalam pergaulan di dalam masyarakat. Keterkaitan pekerjaan orang tua (ibu) dengan keterampilan sosial dapat digambarkan dari hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak. Menurut Gunarsa, (2010) ibu yang terlalu lelah karena pekerjaan baik di luar atau di dalam rumahnya menempatkan ibu pada suatu kedudukan di mana secara tidak sadar ia menjadi tokoh yang kurang sabar dalam menghadapi anak-anaknya. Bila interakasi antara ibu dan anak, tidak maksimal menyebabkan kurangnya komunikasi, anak tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya karena ibu terlalu sibuk dengan pekerjaannya Berdasarkan distribusi status ekonomi keluarga diketahui bahwa sebagian besar status ekonomi keluarga dalam
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 96–100
penelitian ini lebih dari UMK Jombang (81%). Kondisi perekonomian orang tua (keluarga) akan berdampak pada sikap interaksi sosial anak. Secara umum dapat tergambarkan bahwa anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik maka anak akan memiliki kepercayaan yang baik pula, seperti yang dikemukakan oleh Zakiah Darajat (1987:87) Anak-anak orang kaya memiliki berbagai kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda. Berdasarkan latar belakang pendidikan formal yang ditempuh, diketahui bahwa sebagian besar orang tua (ibu) mempunyai pendidikan yang tinggi (75%). Penelitian ini mendukung penemuan yang dilakukan sebelumnya oleh Zevalkink dan Walraven (dalam Nadhiroh, 2008) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat memengaruhi pengasuhan. Pendidikan yang tinggi juga dapat membuat seseorang menjadi lebih terbuka terhadap semua informasi yang ada, termasuk juga informasi tentang pola pengasuhan yang baik untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Pendidikan orang tua yang tinggi atau pengetahuan yang luas maka orang tua dapat memahami bagaimana harus memposisikan diri dalam tahapan perkembangan anak. Orang tua yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang baik, maka akan mendukung anaknya agar bisa berinteraksi sosial yang baik. Pendidikan orang tua juga memengaruhi bagaimana anak bersikap dengan lingkungannya. Ketidaktahuan orang tua akan kebutuhan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya tentunya akan membatasi anak untuk dapat lebih leluasa melakukan eksplorasi sosial di luar lingkungan rumahnya (Desvi, 2000). Berdasarkan distribusi bentuk keluarga diketahui bahwa sebagian besar bentuk keluarga responden dalam penelitian ini adalah keluarga inti (59%). Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home di mana anak tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup maka anak akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya (Davis dan Forsythe, dalam Mu’tadzin 2002). Berdasarkan distribusi jumlah saudara diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai jumlah saudara ≥ 2 orang (65%). Semakin banyak saudara kandung di rumah semakin banyak anak belajar berinteraksi sosial dengan anggota keluarganya. Menurut Downey and Condrom (dalam Mulder, 2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal anak mempunyai pengaruh positif melalui interaksi dengan saudara kandung di rumah dan ketrampilan itu menjadi lebih berguna saat berada di luar rumah. Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung. Sejumlah studi tentang penyesuaian sosial juga telah membuktikan bahwa hubungan pribadi di lingkungan rumah
Pujiani: Hubungan pola pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial anak usia 6 tahun
berupa hubungan antara ayah dan ibu, anak dengan saudaranya dan anak dengan orang tua mempunyai pengaruh yang sangat kuat (Hurlock, 2010: 256). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata pola pengasuhan ibu pada subvariabel sensitivitas adalah tinggi (81,29%). Menurut Mowder (2005) menyatakan bahwa sensitivitas tinggi menunjukkan kemampuan orang tua untuk melihat apa yang sedang dikomunikasikan dan mencocokkan respons orang tua dengan kebutuhan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial anak usia 6 tahun di TK ABA tinggi (75,13%). Keterampilan sosial anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik dalam hal bertingkah laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain Menurut Mu’tadin (2008) proses pembentukan keterampilan sosial tersebut tidaklah lepas dari pengaruh keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seorang anak memulai kehidupan sosialnya di sekolah yang pertama ia masuki. Di sekolah inilah anak akan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain, membina hubungan dengan kelompok, maupun berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu. Pada analisis regresi linear sederhana secara keseluruhan pola pengasuhan ibu berhubungan dengan keterampilan sosial anak, yang dibuktikan dengan nilai ρ = 0,00 dimana nilai ρ < 0,05. Penemuan tersebut menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Chen et al., 1997; Flory, 1999; Taamu 2004; Aunola dan Nurmi, 2005; Nelson et al., 2006 dan Baumrind dalam Yusuf, 2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku anak baik secara emosional, sosial, dan intelektual. Dalam pengasuhan lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan dan perawatan orang tuanya. Oleh karena itu orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. (UNICEF, 2009). Dari hasil penelitian terlihat terlihat bahwa pola pengasuhan ibu yang paling dominan yang memengaruhi keterampilan sosial anak adalah ikatan kasih sayang. Anak yang diasuh dengan kasih sayang akan memiliki ikatan kasih sayang yang kuat dengan ibunya (emotional bonding) sehingga cenderung menjadi anak yang patuh dibandingkan dengan anak yang lemah ikatan emosionalnya (Saputro, 2008). Hal ini memperlihatkan pengasuhan stimulasi psikososial yang diberikan ibu kepada anak tetap memberikan pengaruh positif pada perkembangan fisik dan motorik anak (Hastuti, 2009). SIMPULAN
Secara keseluruhan ada hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial anak artinya semakin tinggi
99
pola pengasuhan ibu semakin tinggi keterampilan sosial anak. Pendidikan dan pekerjaan ibu secara tidak langsung berhubungan positif dengan keterampilan sosial anak melalui pengasuhan ibu.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar S. Penyusunan skala psikologi.Yogjakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Baumrind D. The influence of Parenting style on adolescent competence and substance use. J Early Adoslescent, 1991; 11: 56–95. Baumrind D. The diciplin controversy revisited family relations, 1996; 45(4): 405–14. Bor W McGee TR dan Fagan AA. Early risk factors for adolescent antisocial behavior an Australian longitudinal study. Psychiatry, 2004; 38(5): 365–72. Budi BS. Quo vadis penjara anak. Tersedia dalam http//anak i2 co.id/ berita baru/berita (diakses 04 Februari 2006). 2003. Cardarella P dan Merrel KW. Common dimensions of social skill of children and adolescent. A Taxonomy of positive Behaviors. School Psychology View, 1997; 26(2): 264–78. Carr A. Abnormal psychology. psychology focus East Sussex psychology Press. 2001. Crain W. Teori perkembangan, konsep dan aplikasi. Edisi ketiga. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2007. Cartledge G dan Milburn JF. Teaching social skills to children and youth innovative approaches. 3rd ed. Needham Heights A Devision of Simon and Schuster. 1995. Chen X, Dong Q dan Zhoo H. Authoritative and Authorotarian parenting practices and social and school performance in Chinese children. Int J Behav Dev, 1997; 21(4): 855. Dishion TJ, Loeber R, Stouthhamer-Loeber M, dan Patterson GR. Skills deficits and male adolescent Delinquency. Journal of Abnormal Child Psychology, 1984; 12: 37–54. Djiwandono SEW. Psikologi perkembangan, Edisi Revisi. Jakarta: Grasindo. 2006. Erdiana N. Ibu pencetak generasi unggul. 2008. Nanggroe Aceh tersedia dalam: http://harian-aceh.com/arsip/index.php (diakses 1 April 20011). Flory RE. Children’s prosocial behavior. Relationships with mothers’ parenting style. Dessertation. James Madison University. 1999. Gerungan WA. Psikologi sosial. Bandung: Refika Aditama. 2004. Gunarsa, Singgih. Psikologi perkembangan anak dan remaja, cet. 14, Jakarta: Gunung Mulia. 2010. Graha C. Keberhasilan anak tergantung orang tua. Panduan bagi orang tua untuk memahami perannya dalam membantu keberhasilan pendidikan anak. Jakarta: Gramedia. 2007. Harari B. Parenting characteristic in relation to children’s social skill, dissertation. New York. Departement of Psychology at Pace University. 2005. Hurlock. Perkembangan anak, Edisi keenam, Jakarta, Erlangga. 1978. Hastuti D. Stimulasi psikososial pada anak kelompok bermain dan pengaruhnya pada perkembangan motorik, kognitif, sosial emosi dan moral/karakter anak. Jur. Ilmu Keluarga dan Kons., Vol. 2, No. 1, Institut Pertanian Bogor, 2009. Liza M dan Elvi A. Perbedaan asertivitas remaja di tinjau dari pola asuh orang tua, Psikologia, 2005; Vol. 1, No. 2. Mowder BA dan Sanders M. Parent behavior importance and parent behavior frequency questionnaires Psychometric characteristics. J Child Fam Study, 2008; 17(5): 675–88. Mu’tadin Z. Mengembangkan keterampilan sosial anak pada Remaja. Jakarta: 2008. Tersedian dalam http//www.whandi.net/Index.php. (diakses 2 Maret 2011) Mulder, Sarah. The Domains that influence the development of social competence in children: A literature review. The Graduate School University of Wisconsin-Stout. 2008. Mowder BA dan Sanders M. Parent behavior importance and parent behavior frequency questionares psychometric characteristics. J child for study, 2008; 17(5): 675–88.
100 Monks R dan Haditono KSR. Psikologi perkembangan Yogyakarta, UGM Press. 2004. Merrel KW. Behavior, social, and emotional assesment of children and adolescents. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associate, Inc. 1999. Najman JM, Bor W, Anderson MJO, Callaghan M, dan William GM. Preschool Children and behavior problem. Journal childhood, 2000; 7(4): 439–66. Nelson LJ, Hart CH, Wu B, Yang C, dan Roper OS. Relations between chinese mothers parenting practices and social withdrawal in early childhood. J behav Dev, 2006; 30(3): 261–71. Nadhiroh A. Hubungan karakteristik pengasuhan ibu dengan keterampilan sosial anak, Jogjakarta, Universitas Gajah Mada. 2008. Rosner B. Fundamental of biostatics. Sixth edition, Harvard University. 2006. Sutanto PH. Analisis data kesehatan. FKM, Universitas Indonesia. 2007.
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 96–100 Santrock JW. Child development. Eight Edition Boston. Harvard University. 1998. Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak, Jakarta, EGC. 1995. Tambunan AS. Cermin buram anak Indonesia. Jakarta.ICMI. 2003. Tallat R. Development of skills among children at elementary level. Buletin of Education and Research June, 2010; 32(1): 69–78. Whaley dan Wong. Nursing care of infant and Children. Donna L Wong. Contributing editor, David Wilson 5th ed. 1991. Yusuf SLN. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung. 2006. Yanti-desvi pdf. 2005. Keterampilan sosial pada anak menengah akhir yang mengalami gangguan perilaku. http//www.google.com Yanti, Desvi, dan Noor Rochman H. Efektivitas art therapy untuk meningkatkan keterampilan social pada anak yang mengalami gangguan perilaku. Zevalkink J dan Walraven JMH. Parenting in Indonesia inter and intracultural differences mothers. 2001. Zikrayati. Hubungan antara keterampilan sosial dan stress pada anak berbakat. Jakarta, Universitas Gunadarma. 2009.
101
CALL: Material Development Strategies and Student Autonomy Learning (CALL: Strategi Pengembangan Bahan dan Pembelajaran Mahasiswa Mandiri) Rica S. Wuryaningrum Wijaya Kusuma University Surabaya ABSTRACT
Language learning development is supported much by the development of technology is undeniable. Through Computer Assisted Language Learning, both teachers and learners can improve their language proficiency and also their teaching and learning activities. For the teachers, there are some aspects they need to know when they develop the materials such as how to develop the effective materials, how to deal with ‘low-tech’ students who are not familiars with computer using and also how to vary the activity to avoid students’ boredom. Students’ successfulness in applying CALL (Computer Assisted Language Learning) to improve their language learning is also determined by these factors, and learning using this tools can improve their EFL autonomy learning.
Key words: CALL (Computer Assisted Language Learning), material development strategies, effective materials, variation autonomy learning ABSTRAK
Bahasa pembelajaran pembangunan didukung banyak dengan perkembangan teknologi tidak bisa disangkal. Melalui Komputer Belajar Bahasa Assisted, baik guru dan peserta didik dapat meningkatkan kemampuan berbahasa mereka dan juga mengajar dan kegiatan belajar. Untuk guru, ada beberapa aspek yang perlu mereka ketahui ketika mereka mengembangkan bahan seperti bagaimana mengembangkan bahan yang efektif, bagaimana menghadapi ‘teknologi rendah’ siswa yang tidak familiar dengan komputer menggunakan dan juga bagaimana untuk memvariasikan kegiatan untuk menghindari kebosanan siswa. Keberhasilan siswa dalam menerapkan CALL (Computer Assisted Language Learning) untuk meningkatkan pembelajaran bahasa mereka juga ditentukan oleh faktor-faktor ini, dan belajar menggunakan alat ini dapat meningkatkan belajar mereka otonomi EFL.
Kata kunci: CALL (Computer Assisted Language Learning) strategi pengembangan bahan, bahan yang efektif, otonomi variasi belajar
INTRODUCTION
The fact that technology influences the progress of language learning development is something undeniable As computer technology develops, language learning activities also experience some improvements, especially the multimedia technology which is very useful for visual and auditory-oriented learners (Hoshi, 2002) CALL is one of the evidence that language learning activity is supported more by the technology. Computer Assisted Language Learning has given many contributions to the development of language learning. Although, some enthusiasts view CALL as an innovative teaching technique in which computers play a central role; others view CALL as a functional “add-on” to conventional lessons; while still others in the language teaching profession believe that computers make no significant contribution at all to language teaching and learning. (Jonhson, 1999) It can be understood because not all of the teacher and the students can operate the computer. To meet the challenges, teachers are suggested to joined certain computer program or second language teacher education (SLTE) programmes to improve their performance in classroom.
By using this tool (CALL) teachers can create their materials to be done by their students. Not only that, teachers can also make some presentations on subject about language learning so that it becomes more interesting. They can also grade their materials for beginner, intermediate or even advanced. Although, it seems easy for them to develop the materials, teachers have to pay really attention to some points before they develop the materials. They have to be aware about their students’ ability; whether the students are ‘hightech’ or ‘low-tech’ in operating the computer. Some major factors are how to develop effective materials, how to develop the ‘low-tech’ students and how to vary their materials so that the students will not get bored easily. Teachers have to consider all of this aspects in order to get best results of their students; their students can enjoy learning the EFL, understand the subjects and also motivate their autonomy learning. Developing Effective Materials In developing effective materials teacher have to consider some factors such as identifying appropriate materials and their sequencing and also the instructional techniques and methods of organizing student assessment needed to include
102
explicit consideration both of student needs and of issues related to teaching and learning (Johnson, 1999). Appropriate materials mean that the materials given in CALL materials should adjust student needs, if the students are in elementary or intermediate level, then the teachers should give the proper materials to their level otherwise they will get some difficulties in finishing the task. Overlapping materials sometimes happen because certain material should be given to elementary level but then have to be repeated in the intermediate level. But still, there is a difference in the level of difficulty. To overcome the overlapping materials, teachers can evaluate their students’ abilities and results in the previous level and if they find their students can continue to another level, teachers can give a higher level materials. But one thing that teacher should notice in the using of CALL is that students are not only learning the materials intended but also developing knowledge and skills (computer skills) in a variety of approaches to language learning. (Johnson, 1999) Another aspect, that is also important is instructional techniques and methods which is used in the computer assisted language learning. The instructional techniques should be clear because sometimes they have to deal with some items that they do not meet in the writer task for example check box, text box, option button, list box and combo box which are not available in the written task. It needs to be clear so that students can understand the task and do it properly. Unlike the person-to-person way of teaching where teacher can simply apply the teaching method, in computer assisted learning, teacher have to be able put the method and then apply it in the form of e-learning. It is quite difficult because the students do not meet their teachers and they have to interpret the techniques as well as the method by themselves. Simply said, they are autonomous learners. Although it is quite difficult, teachers can still manipulate their presence by making the materials become familiar and not too serious in the language so that students can enjoy it. But in creating CALL materials, teacher does not only involve with knowledge of the subjects but also deal with some devices related to it, for example how to make the subject become more interesting, how to vary the exercise and also how to provide relevant subjects etc (McCarthy, 2003) Dealing with ‘Low-Tech’ Students Applying CALL in language learning needs more patient as sometimes teachers have to deal with ‘low-tech’ students who are less familiar in using and operating the computer. This is not an easy thing to deal with since teachers have to introduce how to operate the computer as well as to introduce the subjects. If it happens then, it will be very helpful for those students if the institution provide an additional computer class to introduce to the low tech students how to operate the computers as Johnson stated that it is important to provide opportunities in the course for students to
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 101–104
participate in locating resources for students to identify and locate resources relevant to their own particular instructional contexts, to contribute to class discussions on an on-going basis, and to work collaboratively. (1999) Because by having this kind of program, teachers and institution does not only improve the students’ language ability but also teach students about computers in language learning by having them use computers to find and evaluate information relevant to their academic and professional needs, and also use it as a tool to encourage and support autonomous learning. Although lowtech students has to join this kind of program but they are expected to be able to follow the development of the hightech students in language learning program. This might be one of the halts in acquiring second language using CALL, but this problem positively can be overcome. Previous study conducted by Toyoda stated that students with extensive experience with technology may find it easy to manage their learning whereas technologically less-experienced students may be bewildered by new technological tools. (2001) But it does not mean that the low-tech student do not have any chance to develop their ability in computer literacy especially which is related to language learning. All they have to do is joining certain additional program to develop their ability. Sometimes it is quite difficult for the teacher to deal with these students as they have to be more patient in assisting them to complete their task while one the aim of CALL itself is autonomous learning, where the students are expected to independent in doing their own task. The findings suggest that technology can have a positive impact on learner autonomy when learners have extensive experience with technology. (Toyoda, 2001) Varying the Materials Having materials in the interactive form like CALL gives another experience and benefit for the students. They can interactively collect the data, certain explanation about certain subject and also different kind of task. It may be different from what they get usually from daily classroom activity where they have to listen all the time to their teacher. Applying CALL in their language learning, they may skip certain subject that they have already understood and they may proceed to the next level subject. They can even do any exercise at home or get any explanation about certain subject at home. It can be done if their teachers publish their own website so that students can still study it at home. The activities also includes activities which built around such things as email exchanges or chat sessions between foreign language students and native speakers, access to web sites with their unrivalled and ever-expanding capacity to supply print, audio and visual foreign language data, electronic distance-education set-ups, word processing, desktop publishing, on-line dictionaries, and automatic translation sites, so that students can easily get knowledge and do the task or assignment (McCarthy, 2003).
Wuryaningrum: CALL: Material development strategies and student autonomy learning
For the teachers, some significant considerations are needed to vary their materials so that their students will not get bored. McCarthy (2001) lists some of the important considerations: 1. The materials must allow the teacher, in the formal context of the lecture theatre and with virtually no upper limit on the number of students, to avoid following what might be considered the line of least resistance and regressing to the counter-communicative pattern of teacher–speak/student–listen. 2. The material must be linguistically graded and relevant to the type of day-to-day communication whose mastery is one of contemporary students of main objectives in learning a foreign language. 3. The resource must be presented in a form that supports both classwork and private study. 4. The resource must have an audio component providing students with spoken models to which they can refer at will. 5. The solution must be technologically realistic and not have any major resource implications for the institution. 6. The medium chosen for a given activity should be the one most appropriate to the learning/teaching task. The temptation should be resisted simply to use technology for technology’s sake. 7. The content must be finite and manageable. University beginner language courses are generally acknowledged by practitioners to be both time-consuming and academically demanding. It is, in the author’s opinion, unfair for teachers to purposely define linguistic objectives in such vague terms that students can never be entirely sure that they have mastered the material. Regular high attrition rates amongst well-motivated students are testimony to the fact that these courses are hard enough without students living in fear of failing because examiners throw curly questions at them in the form of items testing mastery of skills that technically fall within the scope of the course, but which they have never been given the opportunity or resources to practise. A no-traps approach to a substantial proportion of an oral examination provides reassurance and motivation for students as they prepare. This consideration becomes more important as tertiary education comes under increasing pressure to provide clear definition of course objectives and assessment procedures, for grading to be transparent and for staff to be accountable for the marks awarded. 8. As meaning, not form, is the key consideration in communication, provision must be made for a degree of structural variation (but not inaccuracy) in student responses. Simply said, the materials must improve the management of student and teacher time, and optimise the opportunity for student participation in class. (McCarthy, 2001) And teacher
103
have to take a realistic look at who will be able to benefit from teaching materials and for how long, and giving serious consideration to by-passing any processes or devices that have the capacity to reduce the lifespan or currency of the materials is far from wasted effort. It will benefit students by giving them a lasting resource. But more importantly, it will provide a platform on which to build realistic appraisals of the ongoing value of externally-produced materials, and it will do much to protect the teacher-developer from becoming jaded, embarrassed or frustrated by a sense of wasted effort in a climate where an increasingly higher institutional expectation of expertise is paralleled by a reduced tolerance of the process of learning through mistakes. (McCarthy, 2003) Students’ Autonomy Learning Originally, the concept of learner autonomy was a reaction against behaviourism, and usually associated with the notion of learner-centredness and a vision of language as a tool for communication (Gremmo & Riley, 1995). While according to Dickson (1987), the definition of an independent learner involves two concepts; self-direction and self-instruction. Self-direction is an attitude toward the autonomous learning process while self-instruction is a mode of learning. Self-direction is “a particular attitude toward the learning task, where the learner accepts responsibility for all the decisions concerned with his learning but does not necessarily undertake the implementation of those decisions” (Dickson, 1987:11). Littlewood (1996) also stated an autonomous person is one who has the ability (knowledge and skills) an willingness (motivation and confidence) to act independently and decisively. From all of the explanation above we can conclude that an autonomous learner is a person who has responsibility and for all the decision he/she make concerned with his/her learning which is controlled by self-direction and self-instruction, motivation and confidence to act independently to improve their ability (knowledge or skills) It has also been stated above that all of the material development must relate the issues of reflective practice and autonomous learning and this added to the complexity of material developing process. (Johnson, 1999) It takes high discipline to ask the students to read the explanation and then do exercise by themselves. It happens sometimes that they want to do this thing because their teachers ask them to do that, but they still have low motivation to do the CALL activities. Johnson (1999) has proved it in her studies that in many tertiary-level degree programmes (in New Zealand and elsewhere), students are seldom challenged to take responsibility for the direction of their own learning. Although delving more deeply into this issue is not the purpose of this paper, the fact remains that for many of our students, “autonomous learning” is merely a concept they have encountered in course readings, and it does not have much personal relevance. However, the Internet technology
104
now makes it increasingly feasible to individualize and personalize the learning process, which resulting in selfempowerment and autonomy in learning (Warschauer et al., 1996, Murray, 1999). It may take a little process to familiarize the students with this things but the teachers’ efforts has great deal in the success of autonomous CALL learning by having the students done the assignment or task at home as until now most CALL-related materials has been limited to the study of CALL in the classroom. However, independent learners who access the Internet from their homes are benefiting more from internet-based learning which then lead to the autonomous learning. (Hoshi, 2002). To get to the successful of autonomous learning, independence and individual responsibility are needed as the core notions of learner autonomy, where interdependence also takes part in the successfulness of the autonomous learning. (Blin, 1999; Little, 1990; Boud, 1981).
CONCLUSION
The practice of Computer Assisted Language Learning or CALL has been giving a great deal to the development of language learning. It does not only result a good ability in knowledge and skill about the foreign language studied but also improve the students ability in computer literacy and to develop autonomous learning for the students. However, teachers have to consider certain aspects while they are dealing with the materials and also the low-tech students, as they have to take account to the various materials (to avoid students’ boredom) and the ability of their students. Besides that they have to relate all CALL activities to the autonomous learning which is aimed to develop an independent students who are responsible for their own knowledge and skills development.
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 101–104 REFERENCES
Blin F, 1999. CALL and the development of learner autonomy. In R. Debski and M. Levy (Eds.) WorldCALL - Global perspectives on computer-assisted language learning. Lisse: Swets & Zeitlinger, 133–48. Boud D, 1981. Developing student autonomy in learning. London: Kogan Page Ltd. Cotterall, S., 1995. Readiness for autonomy: investigating learner beliefs. System, 23(2): 195–205. Dickson L, 1987. Self-instruction in language learning: New directions in language learning. New York: Cambridge University Press. Gremmo MJ dan Reley P, 1995. Autonomy, self-direction and selfaccess in language learning: The history of an idea. System, 23(2): 151–64. Hoshi, Mayumi, 2002. Practices, beliefs and perception of Japanese EFL self-access toward internet-based language learning. CALLEJ Online Vol. 4, No. 1, June 2002. Taken from: http://www.clec. ritsumei.ac.jp/english/callejonline/7-1/hoshi.html Johnson, Marcia, 1999. CALL and teacher education: Issues in course design. CALL-EJ Online Vol. 1, No. 2, September 1999. Taken from: http://www.clec.ritsumei.ac.jp/english/callejonline/42/johnson.html Littlewood W, 1996. Autonomy: An anatomy and a framework. System. 24(4): 427–35. Little D, 1990. Autonomy in language learning. In. I. Gathercole (Ed.) Autonomy in language learning. London: Bourne Press, 7–15. Murray GL, 1999. Autonomy, technology, and language-learning in a sheltered ESL immersion program. TESL Canada Journal/Revue TESL du Canada. 17(1): 1–15. McCarthy, Brian. 2001. It needn’t be CALL-or-nothing: A case of computers as partners not managers in a multimedia teaching kit. CALL-EJ Online (ISSN 1442-438X) Vol. 2, No. 2, January 2001 Taken from: http://www.clec.ritsumei.ac.jp/english/callejonline/52/mccarthy.html McCarthy, Brian, 2001. Investment and returns in CALL development. ISSN 1442-438X CALL-EJ Online Vol. 4, No. 2, January 2003. Taken from: http://www.clec.ritsumei.ac.jp/english/callejonline/72/McCarthy.html Toyoda, Etsuko, 2001. Exercise of learner autonomy in projectoriented CALL. CALL-EJ Online (ISSN1442-438X) Vol. 2, No. 2, January 2001 Taken from: http://www.clec.ritsumei.ac.jp/english/ callejonline/5-2/Toyoda.html Warschauer M, Turbee L, and Roberts B, 1996. Computer learning networks and student empowerment. System, 24(1): 1–14.
105
Tolkien’s Artificial Language in Lord of the Ring the Movie ‘The Fellowship of the Ring’ (Bahasa Buatan Tolkien dalam Film Lord of the Ring the Movie ‘The Fellowship of the Ring’) Rica S. Wuryaningrum Wijaya Kusuma University Surabaya ABSTRACT
When the this film, Lord of the Ring, “The Fellowship of the Ring” firstly launched, the attention of public was focused on it not just because the great effects and acts performed by the actors and the actresses, but more to story and the morality messages implicitly shown in the film. However, for linguist, this film has something more interesting than those above, since in some of its scenes, it performs ‘unfamiliar language’ created by the author of the novel, J.R.R.Tolkien. He created an artificial language used in the film, which tends to be a posteriori rather than a priori, means that the language is derived in some way from existing languages, and they have been constructed by linguist, logicians, priest etc. (Trask, 1999: 21). Although, the Tolkien’s language is not as popular as other artificial languages, still it is interesting to know how Tolkien created such language provided with extensive grammar and large vocabularies in the film.
Key words: artificial language, a posteriori, tolkien’s language, meta linguistic ABSTRAK
Ketika film ini, Lord of The Ring, “The Fellowship of the Ring” pertama diluncurkan, perhatian publik terfokus pada hal itu bukan hanya karena efek yang besar dan tindakan yang dilakukan oleh aktor dan aktris, tapi lebih ke cerita dan pesan moral implisit yang ditampilkan dalam film. Namun, bagi ahli bahasa, film ini memiliki sesuatu yang lebih menarik dari yang di atas, karena dalam beberapa adegan, ia melakukan ‘bahasa asing’ yang diciptakan oleh penulis novel, J.R.R. Tolkien. Dia menciptakan sebuah bahasa buatan yang digunakan dalam film, yang cenderung a posteriori bukan a priori, berarti bahwa bahasa ini berasal dalam beberapa cara dari bahasa yang ada, dan mereka telah dibangun oleh ahli bahasa, ahli logika, imam dll (Trask, 1999: 21). Meskipun, bahasa Tolkien tidak begitu populer sebagai bahasa buatan lainnya, masih menarik untuk mengetahui bagaimana Tolkien menciptakan bahasa tersebut dilengkapi dengan tata bahasa dan kosakata yang luas dalam film.
Kata kunci: bahasa buatan, a posteriori, bahasa tolkien, bahasa meta
INTRODUCTION
The film ‘Lord of the Ring’ has attracted many attentions from its audience not only because great effects and acts performed by the actors and actresses but also the story which carries fantasy and moral messages. And the film also tells a story of glory past and evil encroaching, of humble and homely goodness pressed to extreme acts of heroism and self-sacrifice, of loyalty and betrayal, fortitude and weakness, beauty and horror, tragedy and loss. (Greydanus, 2001). But for the a linguist, this film has something interesting as the author create his own language in it. J.R.R Tolkien creates his artificial language in the film. Although, the language is not as popular as other artificial language like Esperanto or Interlingua, the existence of Elven language has attracted linguist attention. The language which is called an Elven language consists of Quenya and Sindarin language and also Rohirric. The first and two language, which used more in the film are developed most on Latin with Finnish and Welsh pronunciation (Hoyt,
2002). While the last, Rohirric is mostly derived from Old English. It proves that the Tolkien’s language is a posteriori, meaning that the language is derived in some way from existing languages, and they have been constructed by linguist, logicians, priest etc. (Trask, 1999: 21). Tolkien himself is a linguist who develop his own language used in the film and he constructed the Elven words based on the world’s language and blend it with cultural context to make this language become real. Hoyt explained that all the patterns of Elven language is found in world language. Tolkien quilted things together because he believed that language cannot be separated from cultural context. The artificial language that Tolkien creates carries the beauty of poetry as it showed in every words. Ireland stated that the language of J.R.R Tolkien are fabricated as it is the product of one mind over a period of a lifetime. Consequently there arises duplication of forms, gaps of nuances of meaning plus creative leaps for the sake of poesy. (2002). It is clearly shown in the film where the actors speak the language beautifully with certain rhyme and intonation.
106
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 105–107
Furthermore, Hoyt (2002) said that the Tolkien developed the language based on correspondence rules between the two languages; Finnish and Welsh. He relates Welsh phonology to Finnish phonology and they relate each other and when the language is spoken, the same relationship in real language is found. Also the terms and common speech found in the film have been converted by Tolkien into English. The term and common speech of Hobbit is closest to modern English, Hobbit speech reverts to Middle English and Old English Forms and the speech of the Rohirrim and some of the ‘Mannish’ tongues of the vales of the Anduin and the Edain of the First Age can be traced back to Anglo Saxon, Gaelic, Norse and other older sources of English. (Ireland, 2002) Even the names used in the film also have an etymology. He didn’t include a single name without exhaustively going through and determining what the possible etymology might have been, instead, he derived the names from the linguistic histories and also other language for example Old English. For example the name Grima Wormtongue. In Anglo Saxon, Grima means mask, ghost. In the film, he was a sycophant for Saruman; also Wormtongue, it is derived from English. This thing can be easily understood because Tolkien is a philologist –a classical linguist- immersed in Old English and Old Norse as a professor at Oxford University in Great Britain (Hoyt, 2002). The Elven Language Tolkien’s languages, like real languages are based on internal patterns as well as how they relate to other languages and it has attracted the interest of linguist to study more about the language. Tolkien, as a good linguist, is able to reflect his metalinguistic awareness in his language because he put his own speech habits in the language he created, the Elven language. And in creating the language, he relates the overall of linguistic system to the other system of behavior in the associated culture which make the language is bound together with those aspects. The statement is also supported by Crystal (1997) who stated that metalinguistic consist of those three things, linguistic system, system of behaviour and also culture and they are related to each others. In this occasion, the writer would like to analyze more the Elven language deals with the changes of basic verb to imperatives, passive form and present and future verbs used in the language. The writes analyze them from the dialogues and refer them to the available references. To begin her analyzing of Tolkien’s language, the writer only analyzes the language used in the first film, The Fellowship of the Ring.
a. Imperatives The basic verbs changes when they are used in the imperative form. The basic verbs are being added –o ending. For example the short dialogue between Arwen to her horse, Asfaloth: ARWEN: Noro lim, Asfaloth, noro lim! ARWEN: Noro lim! ARWEN: ‘Ride fast, Asfaloth, ride fast!’ ARWEN: ‘Ride fast!’ noro v. imper. ‘ride’; nor- ‘ride’. lim adv. ‘*fast’. The other example is when Elrond shouted to his army during the battle of the Last Alliance: ELROND: Tangado haid! Leithio i philinn! ELROND: ‘Hold [your] positions! Fire the arrows!’ tangado v. imper. ‘make firm, establish!’; *tangada- ‘to make firm’ haid n. ‘places, spots’ leithio v. imper. ‘release!’; leithia- ‘set free, release’ i philinn n. ‘the arrows’ Other examples when Gandalf at Redhorn. Losto Caradhras, sedho, hodo, nuitho i ‘ruith! GANDALF: ‘Sleep Caradhras, be still, lie still, hold [your] wrath’ losto v. imp. ‘sleep’; losta- ‘sleep’, Caradhras n. ‘Redhorn’; from caran ‘red’ + rass ‘horn’. sedho v. imp. ‘be still’; sedh- ‘be quiet, be still, rest, peace’. hodo v. imp. ‘lie still’; hoda- ‘rest, lie at ease’ nuitho v. imp. ‘hold, not allow to continue’; nuitha- ‘to stunt’ i ‘ruith n. ‘the wrath’; gruith ‘wrath, terror’. GANDALF:
b. Passive Form In the passive form, the changes in verbs can be seen in the basic verb which is added by –r after the verbs and then followed aen which has the function as to be in English language. For example the word presta when it is changed into passive, it becomes prestar aen which mean is changed. The other example can be seen in the words of Celeborn to Aragorn in the scene of the farewell in Lórien. CELEBORN: Le aphadar aen. CELEBORN: ‘You are being followed’ le pron. ‘you’. aphadar aen v. pres. passive ‘is/are [being] followed’.
And there are some other examples: Basic Verbs Dartha Leithia Tol Rimma Hoda
Imperatives Dartho Leithio Tolo Rimmo Hodo
Meaning Wait, stay Release Come Flow Lie
Basic Verbs Henia Losta Sedh Nuitha Edra
Imperatives Henio Losto Sedho Nuitho Edro
Meaning Understand Sleep Rest Hold Allow
107
Wuryaningrum: Tolkien’s artificial language in lord of the ring the movie
The other example is the opening words of Lady Galadriel being a motto of the film. GALADRIEL: I amar prestar aen, han mathon ne nen, han mathon ne chae a han noston ned ‘wilith. GALADRIEL: ‘The world is changed; I can feel it in the water, I can feel it in the earth, I can smell it in the air.’ I amar n. ‘the world’. prestar aen v. pass. ‘is changed’; cf. presta- ‘affect, trouble’. han pron. ‘it’. mathon v. pres. ‘I feel’; cf. matha- ‘feel, stroke, handle’ ne, ned prep. ‘in, of’. nen n. ‘water’. cae, mut. chae n. ‘earth’. a conj. ‘and’. noston v. ‘I smell’; *nosta- ‘smell’; ‘wilith n. ‘air as a region’
c. Present and Future Verbs Like English, Tolkien’s language also have different forms for present and future sentences. The differences can be seen in the verbs. The basic verb is added –on ending (for subject I) for the present verb, and future verb is added -thon at the end of the verb. The example can be seen in the opening words of the film by Lady Galadriel GALADRIEL: I amar prestar aen, han mathon ne nen, han mathon ne chae a han noston ned ‘wilith. han pron. ‘it’. mathon v. pres. ‘I feel’; matha- ‘feel, stroke ne, ned prep. ‘in, of’. nen n. ‘water’. a conj. ‘and’. noston v. ‘I smell’; nosta- ‘smell’; Another example is when Arwen and Aragorn talk before the Bruinen Raid. ARAGORN: Dartho guin Beriain. Rych le ad tolthathon. ARWEN: Hon mabathon. Rochon ellint im. ARAGORN: Andelu i ven. ARWEN: Frodo fîr. Ae athradon i hîr, tûr gwaith nîn beriatha hon. ARAGORN: Be iest lîn. ARAGORN: ‘Stay with the Hobbits - I will send horses for you.’ A RWEN : ‘I’m the faster rider - I’ll take him.’ [lit. ‘I will take him. I am the swifter rider.’ ARWEN: ‘The road is too dangerous’ [lit. ‘The road [is] very dangerous.’ ARWEN: ‘If I can get accross the river the power of my people will protect him.’ ‘Frodo dies. If I get across the river, [the] power of my people will protect him.’ ARAGORN: ‘According to your wish’ ad tolthathon v. fut. ‘I will send’; ad adv. ‘again’ + toltha‘fetch, summon, make come’. hon pron. ‘he; him’ mabathon v. fut. ‘I will take’; mab- ‘seize, take away by force, take, grasp’ im pron. ‘I’
andelu adj. ‘more dangerous’; an- + delu ‘hateful, fell, dangerous’. i ven n. ‘the road’; lenited form of men ‘way, road’. athradon v. pres. ‘I cross’; cf. athrada- ‘cross, traverse’ i hîr n. ‘the river’; lenited form of sîr ‘river’. tûr n. ‘*power; mastery, victory’. gwaith n. ‘people’. nîn pron. ‘my’. beriatha v. fut. ‘[it] will protect’; cf. beria- ‘protect’ From the example above, the writer can conclude: Basic Verbs Matha Nosta Athrada Ing
Present Verbs Mathon Noston Athradon Ingon
Meaning I feel I smell I cross I guess
Basic Future Meaning Verbs Verbs Toltha Tolthathon I will send Mab Mabathon I will take
CONCLUSION
The Elven language or Tolkien’s language although is not as familiar or famous as Interlingua or Esperanto or maybe other artificial languages, the existence of this language has attracted the attention of linguists. In this research, the writer, finally can conclude that: 1) Tolkien’s language or Elven language is posteriori. 2) The language is derived from existing language such as Old English, Anglo Saxon, Gaelic, Norse and other older sources of English, Finnish and Dannish. 3) There are some changes in verbs (endings) for imperative, passive forms and also in the present and future sentences. 4) The ending used for imperative is –o. e.g. dartha – dartho, (wait, stay) leithia – leithio (release) and tol – tolo (come). 5) In the passive form, –r are added after the verb and then followed by aen. E.g. Le aphadar aen. – you are being followed and I amar prestar aen – the world is changed. 6) The verb used in the present sentence is different from future sentence. For present sentence –on is added after the verb, while in the future sentence, -thon is added after the verb. E.g. matha – mathon (present, I feel), toltha-tolthaton (future, I will send) REFERENCES
Ireland, Robert, 2002. Tolkien dictionary taken from the indexes of the lord of the rings and the silmarillion. Taken from: http://www. quicksilver899.com/Tolkien/Tolkien_dictionary.html. Gerrow, Robin, 2004. Tolkien and the tounge of middle earth: hobbit, elves, and orcs teach lesson in linguistics. Taken from: http://www.utexas.edu/courses/linguistics/spring03/undergrad. html#312-tolkien. Greydanus, Steven B, 2001. Home reviews commentary ratings about faq links E-mail the lord of the ring: the fellowship of the ring. Taken from: http://www.decentfilms.com/reviews/lordoftherings1. html Galadhorn, 2004. Language in the lord of the ring movie. Taken from http://www.elvish.org/gwaith/movie_elvish.htl. Trask RL, 1999. Key concept in language and linguistics. United States of America. Routledge. Crystal, David, 1997. A Dictionary of linguistics and phonetics. Great Britain. Hartnolls Ltd, Bodmin, Cornwall.
108
Analisis Pengaruh Faktor-faktor Kedisiplinan terhadap Prestasi Kerja Pekerja Operasional pada PT Trimarina Jaya di Surabaya (Analysis of Factors Influence of Achievement Disciplinary Operations Employees Working PT Trimarina Jaya in Surabaya) Ony Kurniawati Universitas WR Supratman Surabaya ABSTRAK
Dalam penelitian ini menggunakan analisis secara kuantitaf. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Regresi Linier Berganda dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Squares). Variabel yang digunakan adalah Prestasi Kerja (Y) sebagai variabel terikat dan Kedisiplinan (X) sebagai variabel bebas dengan indikator sebagai berikut: Ancaman (X1), ketegasan terhadap pelaksanaan kedisiplinan (X2), Tujuan dan kemampuan (X3), keteladanan pimpinan (X4). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Secara simultan keempat indikator dari variabel kedisiplinan mempunyai pengaruh terhadap Prestasi Kerja. (2) Pengujian secara parsial menunjukkan ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan mempunyai pengaruh dominan terhadap Prestasi Kerja.
Kata kunci: ancaman, ketegasan, tujuan dan kemampuan, keteladanan, prestasi kerja ABSTRACT
In this research using the analysis kuantitaf. Model analysis used in this research is the Multiple Linear Regression model using the OLS (Ordinary Least Squares). Variable used is the Work Performance (Y) as the dependent variable and Discipline (X) as the independent variable with the following indicators: Threat (X1), specificity of the implementation of discipline (X2), purpose and capabilities (X3), the leadership ideals (X4). These results indicate that: (1) The simultaneous four indicators of Disciplinary variables have an influence on Work Performance. (2) Tests showed partial rigor in the implementation of the discipline has a dominant influence on Work Performance.
Key words: threats, firmness, purpose and capabilities, modeling, work achievement
PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas dan prestasi kerja sumber daya manusia yang ada di organisasi dapat diperoleh antara lain dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang bersangkutan agar memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pengabdian, kejujuran, tanggung jawab, disiplin, keadilan dan kewibawaan. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatan disiplin kerja, sebab bagaimanapun kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia atau tenaga kerja, namun apabila tidak diimbangi dengan disiplin kerja yang baiki, maka tugas/pekerjaan yang dilaksanakannya tidak mencapai hasil yang maksimal. Sikap disiplin kerja yang baik tersebut mencerminkan besarnya rasa tanggung jawab seseorang terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Semakin baik disiplin kerja seseorang maka semakin tinggi prestasi kerja yang dicapainya. Di samping itu, disiplin kerja merupakan salah satu indikasi adanya semangat dan kegairahan kerja yang dapat mendukung terwujudnya pencapaian tujuan, baik tujuan organisasi/perusahaan, tujuan masyarakat maupun tujuan pribadi seseorang.
Untuk mewujudkan disiplin sumber daya manusia yang baik dalam suatu organisasi, diperlukan adanya suatu peraturan disiplin yang memuat pokok-pokok kewajiban dan sanksi apabila kewajiban tersebut tidak ditaati. Peraturan tersebut sangat diperlukan dan dimaksudkan untuk memberi bimbingan dan penyuluhan serta memperbaiki sikap karyawan yang melakukan pelanggaran agar mereka dapat menciptakan disiplin atau tata tertib yang baik dalam menjalankan tugas di dalam organisasi. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah indikator disiplin kerja yang terdiri dari ancaman, ketegasan dalam pelaksanaan kedisplinan, tujuan dan kemampuan, serta keteladanan pimpinan secara bersamasama mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap prestasi kerja. (2) Indikator dari disiplin kerja mana saja yang mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja. Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Diduga bahwa indikator kedisiplinan kerja yang terdiri dari ancaman, ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan, tujuan dan kemampuan, serta keteladanan pimpinan secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap prestasi kerja. (2) Diduga bahwa dari indikator kedisiplinan kerja
109
Kurniawati: Analisis pengaruh faktor-faktor kedisiplinan
tersebut, indikator ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan mempunyai pengaruh dominan terhadap prestasi kerja.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Handoko (1994: 208) disiplin adalah suatu kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Disiplin dilaksanakan untuk mendorong para pegawai agar mengikuti berbagai standar dan aturan, sehingga penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara suka rela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi dia akan mematuhi/mengerjakan semua tugasnya dengan baik, bukan atas paksaan. Sedangkan menurut T. Hani Handoko (1994: 239) pembinaan disiplin kerja adalah usaha untuk memperbaiki efektivitas kerja pegawai dalam mencapai hasil-hasil kerja yang telah ditetapkan dengan maksud untuk memperbaiki penguasaan keterampilan dan teknik-teknik pelaksanaan pekerjaan tertentu secara terperinci dan rutin. Nitisemito (1980: 269) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat menunjang kedisiplinan kerja antara lain: ancaman, ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan, tujuan dan kemampuan, dan keteladan pimpinan. Prestasi kerja pegawai sangat diperlukan demi terlaksananya program-program yang direncanakan, karena rencana-rencana yang sudah tersusun rapi apabila tanpa prestasi kerja, maka pegawai dianggap tidak dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik. Prestasi kerja pegawai terhadap perusahaan atau organisasi kerjanya tidak terbatas pada kemauan dan kemampuan pegawai untuk melaksanakan program-program perusahaan, tetapi juga dalam mengemukakan ide-ide, dan gagasan-gagasan yang dapat meningkatkan kesejahteraan, baik pegawai maupun perusahaan. Tujuan dan kegunaan penilaian pegawai menurut Handoko (1995: 135) adalah: 1) Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk promosi, demosi, pemberhentian dan penetapan besarnya balas jasa; 2) Untuk mengukur prestasi kerja, yaitu sejauh mana pegawai bisa sukses dalam pekerjaannya; 3) Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja pegawai sehingga dicapai tujuan untuk mendapatkan performance kerja yang baik;
4) Sebagai kriteria di dalam menentukan seleksi dan penempatan pegawai; 5) Sebagai alat untuk mengidentifikasikan kelemahan-kelemahan personal sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan agar bisa diikutsertakan dalam program latihan kerja tambahan; 6) Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan pegawai. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja operasional yang berjumlah 25 orang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja operasional yang berjumlah 25 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program Microstat. Dari hasil pengolahan data dalam penelitian ini dapat diambil suatu rumus persamaan sebagai berikut. Y = 0,1573 + 0,2596 X1 + 0,2379 X2 + 0,2099 X3 + 0,1829 X4 Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa koefisien regresi linier dari keempat variabel bebas bertanda positif, maksudnya adalah variabel bebas tersebut mempunyai hubungan searah dengan variabel tidak bebasnya, yaitu jika variabel bebas ditingkatkan maka akan meningkatkan pula prestasi kerjanya. Analisis Hipotesis Pertama Untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel-variabel bebas secara serentak terhadap variabel tidak bebasnya, dapat dilihat dari koefisien determinasi (R2). Tabel 1 menunjukkan bahwa besarnya koefisien determinasi (R2) = 0,8923 atau 89,23%, berarti bahwa variabel-variabel bebasnya secara bersama-sama mampu memberikan kontribusi pada variabel tidak bebasnya sebesar 89,23% dan sisanya sebesar 10,77% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Besarnya koefisien korelasi (Multiple R) adalah 0,9446 atau 94,46% berarti hal ini menunjukkan adanya indikasi hubungan positif yang erat/kuat antara variabel-variabel
Tabel 1. Hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat No Variabel bebas Koefisien Regresi 1 Ancaman 0,2596 2 Ketegasan pelaks. kedisiplinan 0,2379 3 Tujuan dan Kemampuan 0,2099 4 Keteladanan dari Pimpinan 0,1829 R Squared = 0,8923 F ratio = 41,445 Multiple R = 0,9446 Probabilitas = 2,075E-09 Konstanta = 0,1573 DW – Test = 2,0481 Sumber: data diolah
t hitung 2,659 3,642 2,436 2,384
Prob. 0,01507 0,00162 0,02435 0,02713
r2 parsial 0,2612 0,3988 0,2288 0,2213
110
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 108–111
bebas dengan variabel tidak bebasnya, karena koefisien korelasinya mendekati angka 1 (100%). Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa diduga faktor-faktor kedisiplinan yang terdiri atas ancaman (X1), ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan (X2), tujuan dan kemampuan (X3), serta keteladanan pimpinan (X4) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang bermakna terhadap prestasi kerja pekerja. Hal ini akan dibuktikan dengan menggunakan uji serentak atau uji F. Tabel 1 menunjukkan bahwa besarnya F hitung = 41,445, sedangkan besarnya F tabel = 2,7763 dengan level of signifikan (α) sebesar 5%. Berarti hal ini menunjukkan bahwa Fhitung = 41,445 > Ftabel = 2,7763, sedangkan besarnya angka probabilitas menunjukkan 2,075E-09 < 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa diduga faktor-faktor kedisiplinan yang terdiri atas ancaman, ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan, tujuan dan kemampuan, serta keteladanan pimpinan secara bersamasama mempunyai pengaruh terhadap prestasi kerja, terbukti kebenarannya.
(X2) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja (Y), terbukti kebenarannya.
Analisis Hipotesis Kedua
Tabel 3. Matrik koefisien korelasi variabel bebas
Uji t dipergunakan untuk membuktikan kebenaran hipotesis kedua. Hipotesis kedua dalam penelitian ini menyatakan bahwa di duga indikator ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan (X2) memiliki pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja. Hasil analisis statistik terlihat pada tabel 2 di bawah ini.
Variabel Bebas X1 X2 X3 X1 1.00000 X2 .55611 1.00000 X3 .69535 .55054 1.00000 X4 .60863 .53496 .54720 Critical Value (1 – tail,.05) = + or -.33705 Critical Value (2 – tail,.05) = +/-.39521 Sumber: data diolah
Tabel 2. Pengaruh indikator kedisiplinan secara parsial terhadap prestasi kerja Variabel t hitung 2,659 X1 X2 3,642 X3 2,436 X4 2,384 Sumber: data diolah
t tabel 2,086 2,086 2,086 2,086
Prob. r2 Parsial Keterangan 0,01507 0,2612 Diterima 0,00162 0,3988 Diterima 0,02435 0,2288 Diterima 0,02713 0,2213 Diterima
Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa seluruh variabel bebas mempunyai nilai t hitung > t tabel. Hal ini berarti variabelvariabel bebas tersebut pada taraf signifikansi 5% mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kerja. Jika dilihat besarnya thitung dari masing-masing variabel bebas, maka indikator ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan (X2) memiliki thitung = 3,642 yang paling tinggi dan secara parsial mempunyai angka r2 parsial paling besar yaitu 0,3988. Berarti indikator ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan ini mampu memberikan kontribusi terhadap prestasi kerja sebesar 39,88%, sedangkan probabilitasnya sangat kecil yaitu 0,00162 < α = 0,05. Dengan demikian dari ke empat variabel bebas yang digunakan dalam model, maka indikator ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan
Analisis Ekonometrika Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang digunakan bebas dari gangguan tiga asumsi klasik yang dipersyaratkan dalam penggunaan model regresi, sehingga hasil yang diperoleh (besarnya koefisien pengaruh) dapat diakui kebenarannya. Tiga asumsi klasik yang harus diuji adalah multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. 1) Uji Multikolinieritas. Pengujian asumsi ini menggunakan nilai-nilai matrik korelasi yang dibandingkan dengan nilai kritis dua ekor atau menggunakan pendekatan besarnya nilai-nilai koefisien dalam matrik korelasi, dengan ketentuan bahwa jika nilai-nilai tersebut mencapai 0,80, maka terjadi multikolinieritas atau terjadi hubungan yang kuat antara variabel bebas. Sebaliknya, tidak terjadi multikolinieritas jika berada di bawah 0.80 (Emory, 1980: 448). Hasil perhitungan untuk menguji apakah terjadi multikolinieritas atau tidak dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
X4
1.00000
Dari tabel 3 di atas diketahui bahwa antara variabelvariabel bebas tersebut memiliki nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t kritik untuk dua sisi. Berdasarkan pendapat Emory tersebut, maka penelitian ini masih dapat dilanjutkan karena terjadinya multikolinieritas antara beberapa variabel bebas tersebut nilainya masih berada di bawah 0,8. 2) Uji Heteroskedastisitas. Pengujian asumsi ini dilakukan dengan menggunakan metode Spearman Rank Correlation, yaitu mengkorelasikan variabel-variabel bebas dengan residual. Adapun hasil perhitungan Korelasi Rank Spearman tertera dalam tabel 4 berikut. Tabel 4. Koefisien korelasi rank spearman masing-masing variabel bebas No Nama Variabel 1 Ancaman (X1) 2 Ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan (X2) 3 Tujuan dan kemampuan (X3) 4 Keteladanan dari pimpinan (X4) Critical Value (1 tail – 0,05) = + or – 0,33705 Critical Value (2 tail – 0,05) = +/– 0,39521 Sumber: data diolah
r ex1 0.15712 0.23945 0.20750 0.06861
111
Kurniawati: Analisis pengaruh faktor-faktor kedisiplinan
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai kritik untuk dua sisi adalah sebesar +/– 0,39521, dan ternyata nilai r ex1 dari semua variabel bebas lebih kecil dari nilai kritisnya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model regresi linier berganda ini tidak mengandung gejala heteroskedastisitas. 3) Uji Autokorelasi. Pengujian asumsi autokorelasi adalah dengan menggunakan Durbin Watson Test. Adapun pengujiannya adalah dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson dari hasil yang dihitung melalui program microstat dengan nilai kritis. Berdasarkan analisis regresi linier berganda diketahui nilai Durbin Watson Test adalah sebesar 2.0481. Jadi dengan nilai d yang diperoleh sebesar 2.0481 maka dapat dikatakan dalam analisis regresi linier berganda untuk prestasi kerja tidak terjadi autokorelasi, karena nilai d mendekati nilai 2 (dua). Hal ini sesuai dengan pendapat Sumodiningrat (1994: 247) yang menyatakan bila nilai d hitung cukup dekat dengan 2, maka hipotesis nol diterima dan bila mendekati 0 (nol) atau 4 (empat) hipotesis nol ditolak. Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam analisis regresi linier berganda ini tidak terjadi autokorelasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil analisis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1) Hipotesis pertama terbukti kebenarannya, yaitu bahwa indikator kedisiplinan yang terdiri atas ancaman, ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan, tujuan dan kemampuan, serta keteladanan pimpinan secara bersamasama mempunyai pengaruh terhadap prestasi kerja. 2) Hipotesis kedua terbukti kebenarannya, yaitu indikator ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan memiliki pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah diambil, saran-saran yang diajukan dalam usaha
meningkatkan prestasi kerja pekerja operasional pada PT Tri Marina Jaya Surabaya adalah sebagai berikut: 1) Dalam rangka meningkatkan prestasi kerja hendaknya keempat indikator kedisiplinan tersebut harus dibina secara terpadu yang merupakan suatu sistem yang saling terkait dalam arti tidak boleh terpisah antara satu indikator dengan indikator lainnya. Sehingga dengan semakin baiknya keempat indikator kedisiplinan tersebut, diharapkan prestasi kerja perusahaan secara keseluruhan dapat ditingkatkan. 2) Indikator kedisiplinan lainnya yaitu ancaman, tujuan dan kemampuan, serta keteladanan pimpinan meskipun tidak memiliki pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja pekerja operasional pada PT Tri Marina Jaya Surabaya, namun hendaknya faktor-faktor tersebut juga diperhatikan dengan baik oleh pimpinan, karena faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar dan signifikan terhadap peningkatan prestasi kerja para pekerja operasionalnya
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Moh. Seri Ilmu sumber daya manusia – psikologi industri, Edisi keempat, Liberty, Yogyakarta, 1991. BKKBN. Petunjuk teknis pendataan keluarga, Jakarta, 1999. Dharma. Produktivitas, Lembaga SIUP, Jakarta, 1985. Emory C. William. Business research methods. Revised edition, Richard D. Irwin, INC. Home Wood,Ilinois. 60430, 1980. Gujarati, Damodar. Ekonometrika dasar. Terjemahan, Erlangga, Jakarta, 1993. Hamalik, Oemar. Psikologi manajemen, penuntun bagi pemimpin. Cetakan Pertama, Trigenda Karya, Bandung, 1993. Handoko, T. Hani. Manajemen. Edisi kedua, BPEE, Yogyakarta, 1994. Hasibuan, Malayu SP. Manajemen sumber daya manusia, dasar dan kunci keberhasilan, Cetakan keenam, CV Haji Masagung, Jakarta, 1994. Karyadi M. Kepemimpinan (leadership). PT Karya Nusantara Cabang Bandung, Bandung, 1981. Koontz, Harold, Heinz Weihrich. Essential of management. International Edition, McGraw-Hill Book Co., Singapore, 1990. Kossen, Stan. Aspek manusia dalam organisasi. Terjemahan, Edisi Ketiga, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1986. Manullang M. Dasar-dasar manajemen. Cetakan ketigabelas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
112
Analisis Pengaruh Faktor-faktor Pengawasan terhadap Kedisiplinan untuk Peningkatan Produktivitas Kerja Karyawan di PT Trans Moshi-Moshi Surabaya (Analysis of Influence Factors for Control of Improving Productivity Discipline Employees in PT Trans Moshi-Moshi in Surabaya) Hary Frianto Rachmatul Ullah Universitas WR Supratman Surabaya ABSTRAK
Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif persentase dan teknik analisis regresi sederhana dengan menggunakan program statistik SPSS. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Disiplin (Y) sebagai variabel terikat dan Pengawasan (X) sebagai variabel bebas dengan indikator sebagai berikut: (1) Ukuran atau standart pekerjaan, (2) Penilaian pekerjaan, (3) Perbandingan hasil pekerjaan dengan ukuran atau standart pekerjaan, (4) Perbaikan atas penyimpangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengawasan mempunyai pengaruh terhadap disiplin kerja pegawai.
Kata kunci: ukuran, penilaian pekerjaan,perbandingan hasil pekerjaan dengan standart pekerjaan, perbaikan atas penyimpangan, disiplin kerja. ABSTRACT
In this research using descriptive analysis percentages and simple regression analysis techniques using SPSS statistical program. Variables used in this research is Discipline (Y) as the dependent variable and Control (X) as the independent variable with the following indicators: (1) The size or standard of work, (2) Assessment work, (3) Comparison of the results of the work to the size or standard of work, (4) Repair the deviation. These results indicate that the oversight has an influence on the discipline of employee work.
Key words: size, employment assessment, comparison of results with the employment standards work,, repairs on diversion, work discipline., work discipline.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi ini, perusahaan diharapkan dapat merumuskan suatu strategi dan sistem yang tepat serta efektif agar perusahaan tersebut tetap eksis, mampu bertahan dan dapat mencapai tujuan serta dapat bersaing dengan perusahaan- perusahaan yang lainnya. Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi keberhasilan suatu perusahaan/organisasi. Dengan pengaturan manajemen sumber daya manusia secara professional, diharapkan pegawai bekerja secara produktif. Pengelolaan pegawai secara professional ini harus dimulai sejak perekrutan pegawai, penyeleksian, pengklasifikasian, dan penempatan pegawai. Untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan kepegawaian atau sumber daya manusia, perusahaan perlu meningkatkan tenaga ahli dalam bidang hukum, manajemen, dan psikologi. Para ahli tersebut pada umumnya ditempatkan di bagian personalia atau sebagai staf ahli perusahaan. Dengan adanya tenaga ahli dalam bidang manajemen kepegawaian sumber daya manusia di perusahaan, maka dapat diciptakan iklim tenaga kerja yang harmonis. Pegawai-pegawai ditempatkan sesuai dengan
keahlian dan kemampuannya. Prestasi kerja dievaluasi secara kontinyu, pegawai mendapat kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan kariernya secara optimal. Dengan demikian, produktivitas kerja dapat dicapai oleh perusahaan. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: (1) Sejauh mana pengawasan yang dilakukan oleh PT Trans Moshi-Moshi Surabaya; (2) Sejauh mana tingkat kedisiplinan karyawan di PT Trans Moshi-Moshi Surabaya; (3) Adakah pengaruh pengawasan terhadap disiplin kerja karyawan PT Trans Moshi-Moshi Surabaya. Hipotesis penelitian adalah diduga ada pengaruh pengawasan terhadap kedisiplinan dalam peningkatan produktivitas kerja karyawan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawasan bukan hanya untuk mencari kesalahankesalahan, tetapi berusaha untuk menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan serta memperbaikinya jika terdapat kesalahan-kesalahan. Adapun tujuan dari pengawasan antara lain: 1) Melakukan tindakan perbaikan, jika
Ullah: Analisis pengaruh faktor-faktor pengawasan terhadap kedisiplinan
terdapat penyimpangan-penyimpangan. 2) Supaya tujuan yang dihasilkan sesuai dengan rencana. 3) Meningkatkan kelancaran operasional organisasi. 4) Meningkatkan kinerja organisasi. 5) Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan. Menurut Manullang (2004: 1984) mengemukakan bahwa untuk mempermudah dalam merealisasi tujuan, pengawasan harus perlu dilalui beberapa fase atau urutan pelaksanaan yang terdiri dari: 1)Menetapkan alat ukur (standart); 2) Mengadakan penilaian (Evaluate); 3) Mengadakan tindakan perbaikan (corrective action). Disiplin merupakan tindakan manajemen mendorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan tersebut. Menurut Siagian (2000: 305) mengemukakan bahwa pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku karyawan sehingga para karyawan tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para karyawan yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya. Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2009: 130) mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) pendekatan disiplin yaitu: 1)Pendekatan Disiplin Modern; 2) Pendekatan Disiplin dengan Tradisi; 3) Pendekatan Disiplin Bertujuan. Tujuan utama diadakan sanksi disiplin kerja bagi para tenaga kerja yang melanggar norma-norma perusahaan/ organisasi adalah memperbaiki dan mendidik para tenaga kerja yang melakukan pelanggaran disiplin. Pada umumnya sebagai pegangan pimpinan meskipun tidak mutlak, terdapat 3 jenis sanksi disiplin yaitu: sanksi disiplin berat, sanksi disiplin sedang dan sanksi disiplin ringan. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan di PT Trans Moshi-Moshi Surabaya yang berjumlah 84 orang. Sedangkan sampel yang digunakan berjumlah 84 karyawan, dengan perincian sebagai berikut: Karyawan tetap berjumlah 16 orang dan karyawan tidak tetap berjumlah 68 orang. Mengacu pada penjelasan Suharsimi Arikunto (2002: 112), bahwa apabila subyeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Deskriptif Persentase Berdasarkan hasil perhitungan deskriptif persentase menunjukkan bahwa tingkat pengawasan yang diterapkan pada PT Trans Moshi-Moshi Surabaya sudah termasuk dalam criteria cukup baik. Ditinjau dari tiap-tiap indikator pengawasan menunjukkan bahwa indikator ukuran/standart pengawasan masuk kategori cukup baik sebesar 45,24%, indikator penilaian pekerjaan masuk kategori cukup baik
113
sebesar 42,86%, perbandingan hasil pekerjaan dengan ukuran/standart masuk kategori cukup baik sebesar 47,62% dan perbaikan atas penyimpangan standart masuk kategori cukup baik sebesar 30,95%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh indikator pengawasan tersebut telah dilakukan dengan cukup baik oleh pimpinan. Dalam hal pembuatan ukuran/standart kerja, pihak pimpinan telah mewajibkan pegawainya memberikan laporan setiap bulannya sesuai target yang ditetapkan dan pihak pimpinan selalu mengontrol laporan pegawai tersebut. Pada aspek penilaian pekerjaan pegawai, pihak pimpinan telah melakukan pengecekan terhadap pekerjaan pegawai secara berkala minimal 3 kali dalam setiap bulannya, sehingga menjadikan pegawai dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai rencana. Dalam indikator perbandingan hasil pekerjaan terhadap standart/ukuran menunjukkan bahwa pimpinan telah melakukan tindakan perbandingan hasil pekerjaan pegawainya dengan standart yang telah ditentukan secara teratur dengan mewajibkan pegawainya memberikan laporan hasil pekerjaan yang telah diselesaikan. Berdasarkan hasil perhitungan deskriptif persentase menunjukkan bahwa tingkat disiplin kerja pegawai adalah cukup baik. Hal yang mendukung variabel disiplin kerja adalah disiplin waktu masuk kategori cukup baik sebesar 41,67%, disiplin` peraturan masuk kotegori baik sebesar 45,24%, dan disiplin tanggung jawab masuk kategori cukup baik sebesar 38,10%. Dari hasil perhitungan deskriptif persentase disiplin kerja diatas, menunjukkan bahwa melalui target kerja yang ditetapkan oleh pimpinan dapat mendorong pegawai untuk datang tepat pada waktunya, sehingga mereka dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai waktu yang ditetapkan. Pegawai menjadi lebih bertanggung jawab kepada setiap pekerjaan yang dilakukan karena hasil pekerjaan mereka akan dikoreksi dengan baik oleh pimpinan dan akan dikembalikan apabila tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan. Pengawasan yang dilakukan secara baik oleh pimpinan kepada bawahan, mampu mendorong bawahan melakukan pekerjaan dengan kedisplinan kerja yang tinggi. Pengawasan merupakan faktor penting bagi pegawai untuk menjalankan tugas-tugas yang telah menjadi tanggung jawab pegawai. Tanpa adanya pengawasan dari atasan maka pekerjaan tidak dapat berjalan dengan baik. Apabila pengawasan dilakukan secara rutin, maka pegawai dapat bekerja secara maksimal, sehingga dapat menghasilkan tingkat disiplin yang baik pula. Hubungan variabel pengawasan dan disiplin kerja menunjukkan hubungan yang positif, maka dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pengawasan semakin tinggi pula tingkat disiplin kerja pegawai. Analisis Regresi Hasil pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 14.0. Dari hasil pengolahan data tersebut dapat diambil suatu rumusan sebagai berikut.
114
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 112–115
Tabel 1. Hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat Model 1 (Constant) Ukuran (X1) Penilaian Pekerjaan (X2) Perbandingan (X3) Perbaikan (X4) Variabel terikat: Disiplin Kerja
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1.204 0.466 0.301 0.077 0.373 0.094 0.058 0.070 –0.032 0.068
Tabel 3. Hasil perhitungan uji t
Sumber: data diolah
Y = 1,204 + 0,301 X1 + 0,373 X2 + 0,058 X3 – 0,032 X4 Dari persamaan di atas dapat dijelaskan dalam suatu persamaan sebagai berikut. a. Konstanta (α) = 1,204 Variabel bebas dianggap konstan atau sama dengan nol, maka kedisiplinan diprediksikan mengalami peningkatan sebesar 1,705. b. Koefisien regresi X1 = 0,301 Menunjukkan apabila ukuran bertambah 1 satuan, maka dapat menaikkan kedisiplinan (Y) sebesar 0,301 dengan asumsi X2, X3, dan X4 adalah konstan. c. Koefisien regresi X2 = 0,373 Menunjukkan apabila penilaian pekerjaan bertambah 1 satuan, maka dapat menaikkan kedisiplinan (Y) sebesar 0,373 dengan asumsi X1, X3, dan X4 adalah konstan. d. Koefisien regresi X3 = 0,058 Menunjukkan apabila perbandingan bertambah 1 satuan, maka dapat menaikkan kedisiplinan (Y) sebesar 0,058 dengan asumsi X1, X2, dan X4 adalah konstan. e. Koefisien regresi X4 = –0,032 Menunjukkan apabila perbaikan bertambah 1 satuan, maka dapat menurunkan kedisiplinan (Y) sebesar –0,032 dengan asumsi X1, X2, dan X3 adalah konstan. Untuk menguji pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat, maka digunakan uji F, seperti pada tabel 2 di bawah. Tabel 2. Hasil perhitungan uji F Model 1
Regression Residual Total Sumber: data diolah
Sum of Squares 1.641 2.190 3.831
Berdasarkan uji hipotesis secara simultan diperoleh Fhitung = 14.792 > Ftabel = 3.48, maka dapat disimpulkan bahwa Ukuran (X1), Penilaian Pekerjaan (X2), Perbandingan (X3), Perbaikan (X4) secara bersama-sama berpengaruh terhadap Kedisiplinan (Y). Untuk menguji pengaruh variabel bebas secara Parsial terhadap variabel terikat, maka digunakan uji t, seperti pada tabel 3 berikut.
Df 4 79 83
Mean Square 0.410 0.028
F 14.792
Berdasar tabel 2 di atas terlihat bahwa variabel bebas mempunyai nilai Fhitung > Ftabel. Hal ini berarti variabel bebas tersebut pada taraf signifikan 5% mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kedisiplinan.
Variabel Bebas
Koefisien Regresi
Ukuran (X1) 0.301 Penilaian Pekerjaan (X2) 0.373 Perbandingan (X3) 0.058 Perbaikan (X4) –0.032 Variabel terikat: Disiplin kerja
thitung
ttabel
3.898 3.972 2.825 2.475
2.228 2.228 2.228 2.228
Sumber: data diolah
Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa seluruh variabel bebas mempunyai nilai thitung > ttabel. Hal ini berarti variabelvariabel bebas tersebut pada taraf signifikansi 5% mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kedisiplinan. Berdasarkan uji hipotesis secara parsial diperoleh thitung > ttabel, maka dapat disimpulkan bahwa: ukuran (X1), penilaian pekerjaan (X2), perbandingan (X3), perbaikan (X4) secara parsial berpengaruh terhadap pedisiplinan (Y). Jika dilihat besarnya thitung dari masing-masing variabel bebas, maka indikator penilaian pekerjaan (X2) memiliki thitung = 3.972 yang paling tinggi. Dengan demikian dari keempat variabel bebas yang digunakan dalam model, maka indikator penilaian pekerjaan (X2) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap disiplin kerja (Y).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Berdasarkan hasil analisis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1) Pengawasan berarti mencegah adanya penyimpangan, keterlambatan kerja, kesalahpahaman dan penyelewengan kerja. Tingkat pengawasan yang tinggi menyebabkan pegawai dapat menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan keteladanan dan peraturan yang telah ditetapkan. 2) Disiplin berarti ketaatan pegawai terhadap peraturan, sehingga hubungan variabel pengawasan dan disiplin kerja menunjukkan hubungan yang positif, maka dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pengawasan semakin tinggi pula tingkat disiplin kerja pegawai. 3) Hipotesis terbukti kebenarannya, yaitu pengawasan berpengaruh terhadap kedisiplinan kerja baik secara simultan maupun parsial.
Ullah: Analisis pengaruh faktor-faktor pengawasan terhadap kedisiplinan
115
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Setelah mengamati permasalahan yang ada dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut. 1) Pimpinan perusahaan mempunyai tanggung jawab terhadap keberhasilan/kesuksesan perusahaan. Oleh karena itu, pimpinan lebih meningkatkan pengawasan kepada bawahannya, supaya karyawan lebih disiplin dalam bekerja. 2) Pimpinan hendaknya juga memperhatikan kondisi karyawan dalam arti memberikan posisi yang tepat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan tersebut. 3) Pihak pimpinan hendaknya dapat meningkatkan pemberian teguran lisan maupun tertulis secara tegas kepada para pegawai yang melanggar peraturan, agar pegawai lebih bertanggung jawab atas segala tugas yang telah menjadi kewajibannya.
Anwar Prabu, Manajemen sumber daya manusia perusahaan. Bandung; Remaja Rosdakarya, 2009. Brantas, Dasar-dasar manajemen. Bandung; Alfabeta, 2009. Manullang, Dasar-dasar manajemen. Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2004. Malayu SP Hasibuan, Manajemen personalia. Yogyakarta; BPFE, 2000. Moekijat, Manajemen kepegawaian. Bandung; Mandar Maju, 1989. P. Sondang Siagian, Manajemen sumber daya manusia. Jakarta; Aksara Baru, 2000. R. Lateiner Alfred, Teknik memimpin pegawai dan pekerja. Terjemahan Imam Soedjono, Jakarta; Aksara Baru, 1983. Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung; Alfabeta, 2006. Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta; Rineka Cipta, 2002.
116
Pelaku dan Peristiwa (Dari G30S/PKI sampai Supersemar) Mengkritisi Upaya Pelurusan Fakta Sejarah (Actors and Events (from G30S/PKI to Supersemar) Criticising the Rectification Effort Historical Facts) Surahono Dosen Universitas Dr. Sutomo Surabaya ABSTRAK
Surat perintah 11 Maret 1966 atau sering disebut “Supersemar”, berisi surat perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Pangkonstrad), untuk mengambil langkah penting mengatasi Negara yang sedang bahaya, akibat terjadinya kudeta PKI pada tahun 1965, atau disebut G30S/PKI. Lahirnya Supersemar menjadi tonggak sejarah lahirnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Kegagalan kudeta PKI dimanfaatkan oleh Letjen Soeharto, untuk segera mengambil langkah-langkah kongrit mewujudkan tuntutan rakyat “Tritura”, yaitu pembubaran PKI, perbaikan ekonomi nasional dan membersihkan kabinet dari unsure-unsur komunis. Konfrontasi tentang “Supersemar” dipicu oleh berita hilangnya naskah Supersemar asli (tidak tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia). Sedang yang beredar saat ini ada empat versi naskah Supersemar yang saling berbeda, sehingga sulit memilih mana naskah yang sah. Hal ini terjadi karena cara memperbanyak naskah saat itu dengan cara diketik ulang aau distensil. Kesaksian pelaku G30S/PKI terdapat beberapa macam, tetapi disimpulkan bahwa PKI adalah sebagai dalang kudeta tersebut, sehingga dalam setiap penulisan harus G30S/PKI bukan G30S saja. Hal ini merupakan upaya pelurusan fakta sejarah, agar kemudian hari tidak terjadi penyesatan sejarah pada generasi yang akan datang.
Kata kunci: supersemar, G30S/PKI, kudeta ABSTRACT
The command letter of March 11 1966 or often called as “Supersemar” contained a command letter of President Soekarno to Letjen Soeharto (Pangostrad, to take important measures ini overcoming the State was in the dangerous situation, due to the coup d’etat incident of PKI (Indonesian Communist Party) ini 1965, or called as G30S/PKI. The birth of Supersemar become the milestone of New Orde governmental birth historyini Indonesia. The PKI’s coup d’etat failure was utilized by Letjen Soeharto, in order to immediately too concrete measuresto relize the people demands “Tritura”, namely, the dismissal of PKI, the improvement of national economy and to remove communist elements from the governmental cabinet. The confrontation regarding “Supersemar”was triggered by the lost of the original Supersemar text (did not saved in the National Archives of the Republic Indonesia). While, circulated today are four virsions of the Supermenar text that differ each other, thus, it is difficult to choose which the valid text. This case took plece due to the way to multiply the text at the time was by means of retyped or stenciled. There were some versions of the of the “G30S/PKI” not only G30S. This case constitutes the effort of the historical facts tracking, in order that in the future do not take place the historical misleading on the future generation.
Key words: supersemar, G30S/PKI, Coup d’etat
PENDAHULUAN
Surat perintah 11 Maret 1966 atau yang dikenal dengan Supersemar menjadi tonggak sejarah lahirnya Pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Surat Perintah tersebut berisi perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (Pangkostrad), yang diawali oleh tragedi nasional terbunuhnya 7 puteraputera terbaik bangsa oleh Gerakan 30 September/PKI 1965, yang kemudian dikenal dengan sebutan G 30 S/PKI. Gerakan tersebut diawali dengan dihembuskan isu adanya Dewan Jendral oleh pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) Letkol Untung. Letkol Untung saat itu menjabat Komandan Bataliyon Cakrabirawa, yaitu pasukan khusus pengawal pribadi Presiden. Menurutnya Dewan Jendral merupakan kelompok jendral-jendaral Angkatan Darat (AD), yang akan
malakukan Coup D’etat (kudeta) terhadap pemerintahan yang sah (Presiden Soekarno). Upaya komunis pertamatama dengan melakukan pendekatan terhadap Presiden Soekarno, dengan selalu memuji dan mentaati segala perintah presiden. Setelah Presiden Soekarno berada di atas angin, Letkol Untung dan tokoh-tokoh komunis lainnya mulai bergerak sejak Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Gerakan tersebut dilakukan dengan merekomendasikan penggantian orang-orang yang duduk di lembaga-lembaga Negara (dengan alasan membayakan), seperti: di Kabinet, DPR, MPRS sebagainya, sehingga sebagian besar anggota lembaga tersebut didominasi oleh orang-orang komunis. Gerakan ideologis dan pendekatan PKI terhadap pemerintahan mampu meninabubukkan Presiden Soekarno menjadi terlena, sehingga Sidang Umum
Surahono: Pelaku dan peristiwa (dari G30S/PKI sampai supersemar)
MPRS mengeluarkan ketetapan untuk mengangkat Soekarno menjadi presiden seumur hidup melalui ketetapan No:III/ MPRS/1963 (Muhono, 1966: 525). Kegagalan kudeta G30S/PKI, dimanfaatkan Letjen Soeharto (Pangkostrad) untuk mengambil langkah-langkah kongrit mengatasi situasi Negara yang sedang gawat. Saat itu Presiden Soekarno dalam posisi sulit, disatu pihak harus segera mewujudkan tuntutan rakyat yang dikenal dengan “Tritura”, di pihak lain kedekatan dengan tokoh-tokoh PKI membuat presiden tidak berkutik. Tuntutan lain yang dihadapi dari Corp Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) organisasi mahasiswa anderbow PKI, untuk membubarkan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yaitu organisasi mahasiswa Islam yang anti komunis. Akibatnya presiden tidak segera dapat mengambil keputusan yang tegas. Situasi semakin mencekam, karena sejak meletus gerakan G30S/PKI sampai bulan Maret 1966, Presiden Soekarno tidak segera mengambil langkah kongrit sesuai harapan rakyat. Di samping itu ditambah kondisi kesehatan Presiden Soekarno semakin menurun, serta kondisi ekonomi memburuk, sehingga mengancam keamanan dan stabilitas nasional. Gerakan menentang kepemimpinan Soekarno mulai terlihat sejak tanggal 1 Oktober 1965 (Soekarno menyebut Gestok) terus bergulir. Gerakan mahasiswa, pemuda dan pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) serta didukung Angkatan Darat. Perintah Presiden Soekarno agar Mayjend Pranoto Reksosamudro menjadi Careteker Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letjend Ahmad Yani yang diculik pada peristiwa G30S/PKI, tidak digubris dan ditolak oleh Soeharto dengan alasan karena jabatan tersebut telah diambilalih tanpa persetujuan Presiden Soekarno (Saelan, 2006;244). Tuntutan rakya untuk membubarkan PKI semakin gencar, tetapi tidak direspon juga oleh presiden, dengan alasan peristiwa G30S/PKI adalah persoalan politik, dan penyelesaian harus dengan cara politik. Langkah tersebut membuat masyarakat, mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Laskar Ampera Arif Rahman Hakim semakin marah. Sejak itu kewibawaan Bung Karno berangsur pudar, kondisi fisik/kesehatan yang digerogoti penyakit ginjal semakin parah, dan tidak mendapat pengobatan secara maksimal. Kondisi tersebut berjalan sekitar 7 bulan (September 1965–Maret 1966). Akibatnya situasi politik semakin tidak menentu, kemudian dikeluarkan Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno. Surat Perintah berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil langkah-langkah kongrit, agar tetap terjaga wibawa Presiden Soekarno, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan surat perintah tersebut Soeharto segera mengambil langkah-langkah mengatasi situasi Negara dan situasi politik yang tidak menentu. Tuntutan rakyat untuk membubarkan PKI, membersihkan Kabinet dan Lembaga
117
Tinggi Negara dari unsur-unsur komunis, serta memperbaiki ekonomi disambut baik dan segera dilaksanakan oleh pengenmban Supersemar “Soeharto”. Selanjutnya perlu dicermati dan dikritisi kembali, siapa pelaku peristiwa G30S/ PKI sebenarnya, bagaimana sesungguhnya proses kelahiran Supersemar itu, dimana naskah Supersemar asli sekarang berada dan lain-lain, sebagai upaya pelurusan fakta sejarah bangsa Indonesia, agar tidak terjadi penyesatan sejarah. Itulah latar belakang perlunya artikel ini disajikan.
KONTROVERSI TERHADAP SURAT PERINTAH
11 MARET 1966
(SUPERSEMAR) Fakta sejarah menunjukkan bahwa naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang beredar saat ini terdapat beberapa versi (4 versi) rumusan, lihat Muhono, 1966:1499; Soerojo, 1986: 295; Saelan, 2008: 279; Suryanegara, 2010: 435). Ke empat versi rumusan naskah yang berasal dari beberapa sumber tersebut, menunjukkan bahwa validitas naskah Supersemar patut diragukan. Apalagi isu naskah asli Supersemar telah hilang, sehingga sulit menunjukkan naskah “Supersemar” yang beredar tersebut mana yang sah, karena tidak bisa membandingkan dengan naskah asli. Copy naskah Supersemar yang tersimpan di Pusat Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), juga berbeda dengan yang beredar. Kalau dicermati ke empat bentuk naskah Supersemar tersebut terdapat beberapa perbedaan, baik struktur penulisan, penulisan nama Presiden dan lainnya. Sebagai contoh: tentang nama Presiden Soekarno sebagai pemberi Surat Perintah, ada yang tertulis “Sukarno” ada yang “Soekarno”, pada konsideran ada yang menggunakan angka romawi (I,II,III,IV), ada yang menggunakan angka arab (1,2,3,4), tanda tangan Presiden Soekarno ada yang dengan (ttd), tapi ada juga yang dengan “tanda tangan” langsung. Itulah beberapa perbedaan yang bisa menimbulkan perbedaan interpretasi meskipun secara substantif isinya sama. Hal ini membuktikan kebenaran isu yang beredar tentang ‘Supersemar’ asli itu hilang atau sengaja dihilangkan, karena tidak tersimpan di Pusat Asip Nasional Republik Indonesia. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa naskah asli Supersemar yang merupakan dokumen Negara itu bisa raib. Setelah kami lakukan pelacakan di Pusat Arsip Nasional (ANRI) pada hari Jum’at, tanggal 11 November 2011, di ruang Diorama-ANRI terpampang dua naskah “Supersemar”. Naskah pertama terdiri satu halaman adalah naskah “Supersemar” yang berasal dari Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspenad). Naskah kedua terdiri dua halaman, naskah “Supersemar” berasal dari Jendral NI-AD (Purn) M. Yusuf. Catatan yang terpampang di bawah naskah Supersemar dan sempat kami baca dan copy berbunyi sebagai berkut: Naskah asli Supersemar sampai saat ini belum ditemukan. Pada bagian sebelah kiri 1 (satu) halaman, naskah Supersemar dari Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspenad).
118
Sedangkan pada bagian tengah pada sebelah kanan 2 (dua) halaman, naskah Supersemar dari Jendral TNI-AD (Purn) M. Yusuf. Sampai saat ini Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) masih terus berusaha mendapatkan naskah asli “Supersemar”. Beberapa tokoh nasional yang menyertai dan manjadi saksi kunci kelahiran Supersemar, dan menerima langsung “Supersemar”, ada tiga orang (Basuki Rahmat, Amir Mahmud dan M. Jusuf) belum pernah ada yang memberikan klarifikasi yang memuaskan terhadap keaslian naskah Supersemar yang beredar. Pelaku lain sebagai pengemban Supersemar (Letjen Soeharto) juga tidak pernah memberikan penjelasan. Kini semua tokoh tersebut sudah tiada, sehingga sulit untuk dilacak lagi. Mungkinkah naskah Supersemar asli telah dihanguskan/ dihilangkan dan atau disimpan oleh seseorang, dan diganti dengan naskah lain yang beredar sekarang? Bila hal itu benar, siapa pelakunya, dan apa maksudnya? Bila itu betul terjadi seharusnya meraka patut djatuhi hukuman, berdasar undang-undang No: 7 Tahun 1971 pasal 11 (Undang-Undang Tentang Ketentuan Pokok Kearsipan), yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud pasal 1 (huruf a) undang-undang ini, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun (Adam, 2009:105). Tetapi pasal tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai sekarang, mengapa? Bisa jadi karena otoritas pemerintah saat itu tidak menginginkan adanya pertentangan antar kelompok elit politik, sehingga wajar kalau sering diduga Supersemar “telah dipolitisir”.
PENGGANDAAN NASKAH SUPERSEMAR
Dalam buku “70 tahun Soeharto Menurut Penuturan Soedarmono”, pada tanggal 11 Maret 1966 jam 22 malam menerima telepon dari Mayjen Soetjipto (Ketua G-5 Koti). Soetjipto meminta agar konsep pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan perintah Soeharto (Pangkonsrad) tersebut sempat membuat Soedarmono berdebat dengan Moerdiono, mengenai dasar hukum teks tersebut. Beberapa jam kemudian 11 Maret 1966 pukul 01.00, datang Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat (Brigjen Budiono), membawa dokumen yang kemudian dikenal sebagai “Naskah Supersemar”. Menurut Soedarmono Surat Perintah tersebut kemudian diperbanyak (difotocopy). Persoalan kemudian timbul apakah saat itu begitu mudah mendapatkan mesin fotocopy di Jakarta? Berkaitan dengan proses penggandaan Supersemar, hasil seminar Institute of Policy Student (IPS) di Jakarta pada tanggal 3 Maret 2007 menyimpulkan bahwa; Sugianto anggota Operasi Khusus (Opsus) Kostrad mengakui, naskah Supersemar pernah ada di tangannya sekitar satu jam, kemudian dibawa keliling Jakarta untuk mencari tempat penggandaan (fotocopy). Karena tidak menemukan akhirnya digandakan dengan cara di potret dengan menggunakan kamera Polaroid (Adam,2009;119). Berikutnya kemungkinan
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 116–122
ada fihak lain yang menggandakan ulang dengan cara “distensil” dan atau “diketik ulang”. Cara penggandaan inilah yang memperbesar kemungkinan terjadi naskah Supersemar menjadi beberapa versi.
PENGETIK NASKAH SUPERSEMAR
Muncul pengakuan dari Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, Staf Asisten I Intelejen Resimen Cakrabirawa, bahwa dia yang mengetik naskah Supersemar. Naskah tersebut diketik dalam waktu sekitar satu jam karena berulangkali ada kekeliruan, dan didektekan oleh Bung Karno. Ia mengetik dengan gemetaran, dan ia mengatakan bahwa konsep itu berasal dari Soekarno. Yang diingat surat itu disebut “ajaran, koordinasi”, terus “laporan” yang menyangkut empat pokok, yaitu “soal keluarga, melindungi keluarga yang tidak ada dan soal memberi laporan” (Adam, 2009:120). Ali Ebram adalah seorang tentara yang tidak biasa mengetik, dia mengerjakan dengan gemetar sambil berkata kepada Bung Karno ”Pak, saya mohon ampun keseso”. Sebelum ditanda tangani, dia ketik dulu nama kota, yaitu Bogor (Adam, 2009;120). Sekarang yang tertulis pada naskah Supersemar yang beredar nama kota “Jakarta” bukan “Bogor”. Padahal sejarah kelahiran naskah Supersemar, jelas dibuat di Istana Bogor bukan di Jakarta, karena saat itu presiden dalam keadaan sakit di Istana Bogor, dan didatangi oleh tiga orang utusan Soeharto dari Jakarta (Amir Mahmud, Basuki Rakhmad dan M. Jusuf). Hal inilah yang perlu dipertanyakan, bahwa Kota kelahiran Supersemar adalah kota Bogor bukan Jakarta. Padahal pada naskah yang kami temukan dari empat sumber, serta dua naskah yang kami temukan di ruang Diorama ANRI Jakarta, tertulis: Djakarta, 11 Maret 1966.
PENDAPAT BEN ANDERSON TENTANG SUPERSEMAR
Ben Anderson adalah pakar politik dari Amerika Serikat yang pernah dicekal masuk Indonesia pada rezim Orde Baru. Ia mengutip pengakuan tentara yang waktu itu bertugas di Istana Bogor. Anderson merasa yakin keterangan itu, yaitu bahwa Supersemar yang asli itu sengaja dihilangkan karena diketik dengan kop surat: ”Markas Besar Angkatan Darat (MBAD)”. Jadi jika dipertahankan menjadi lucu, masak Surat Kepresidenan ditulis dengan kop MBAD”. Jadi surat asli Supersemar dihilangkan bukan “karena isi” tetapi karena “kop surat” (Adam, 2009:120). Pertanyaan kemudian adalah, kalau memang demikian (sengaja dihilangkan karena kop suratnya pakai MBAD), terus siapa yang melakukan itu? Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Saelan (2002:271), dengan mengutip tulisan Ben Anderson yang merujuk pengakuan tentara berpangkat rendah, dan mengaku bertugas di Istana Bogor. Kemungkinan “Supersemar” asli sengaja dihilangkan karena diketik dengan kop Surat “Markas Besar Angkatan Darat”. Pernyataan serupa termuat dalam
Surahono: Pelaku dan peristiwa (dari G30S/PKI sampai supersemar)
buku “Kontrofersi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto”, yang diterbitkan oleh Center for Information Analysis, Yogyakarta. Analisis lain tentang hilangnya Supersemar sampai saat ini tidak bisa dijawab dengan pasti, dan jawaban terakhir Supersemar telah dipolitisasi. Salah satu alasan politis, bahwa Supersemar menjadi pegangan Soeharto untuk mengambil langkah-langkah mengatasi akibat peristiwa G30S/PKI. Menurut ketentuan dalam naskah tersebut (baca naskah Suprsemar pada III-3), setelah melaksanakan tugas sebagai pengemban Supersemar, tugas itu harus dipertanggungjawabkan serta diserahkan kembali kepada yang memberikan perintah. Kenyataannya hal itu tidak dilakukan oleh pengemban Supersemar (Soeharto). Supersemar telah disalahgunakan (dipolitisir), karena pelaksanaan Supersemar tidak dipertanggungjawabkan kepada yang memberikan perintah (Presiden Soekarno). Sebaliknya dimanfaatkan Letjen Soeharto menyusun strategi untuk mengambil alih kekuasaan. Melalui Sidang Umum MPRS saat diangkat Pjs. Presiden (Tap No. XXXIII/MPRS/1966), sampai secara definitif ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia melalui ketetapan No. XLIV/MPRS/1968. Alasan kedua, sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa peristiwa G30S/PKI telah diketahui sebelumnya oleh Soeharto (baca laporan Latief), tetapi beliau tidak berusaha mencegahnya. Rangkaian alasan tersebut menunjukkan Soeharto telah memanfaatkan situasi dengan “mengail di air keruh”, dan mulai mengambil langkah strategis menancapkan kekuasaan. Inilah strategi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Kudeta Merangkak MPRS” oleh Soeharto (Adam, 2009:32) Kesimpulan mengenai kontrofersi “Supersemar”, cukup diakhiri di sini dan kalau mungkin memeriksa kembali orangorang sebagai saksi kunci seperti: “Hartini Soekarno” yang ketika itu ada di Istana Bogor, karena saksi-saksi lain yang dianggap pelaku sejarah seperti: “M. Jusuf, Basuki Rahmat, Amir Mahmud, Soedarmono, dan Soeharto” sudah tiada, jadi tidak mungkin dilakukan pemeriksaan dan klarifikasi.
119
adalah Soeharto melalui Kolonel Latief (Komandan Sentral Komando G30S/PKI). Tetapi tidak melaporkan kepada atasannya (A.H. Nasution-KSAD, dan A. Yani-KSAB), dan tidak ada upaya tindakan pencegahan. Karena Soeharto mengaku kecewa kepada AH. Nasution dan A. Yani karena namanya tidak tercantum dalam susunan “Kabinet Inti Dewan Jendral”, padahal beliau Jendral senior (Saelan, 2008:213). Adapun rencana susunan Kabinet Inti Dewan Jendral dimaksud adalah: 1. A.H Nasution: Perdana Menteri 2. A. Yani: Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan. 3. Roeslan Abdulgani: Wakil Perdana Menteri II merangkap Menteri Penerangan 4. Haryono: Menteri Luar Negeri 5. Soeprapto: Menteri Dalam Negeri 6. Sutoyo: Menteri Kahakiman 7. Sukendro: Menteri Perdagangan 8. Dr Sumarno: Menteri Pembangunan 9. Ibnu Sutowo: Menteri Pertambangan 10. Rusli: Menteri Kesejahteran Rakyat 11. S. Parman: Menteri Jaksa Agung (Saelan, 2001;213)
Berbicara tentang kesaksian siapa pelaku/dalang G30S/PKI itu, jawabannya bisa: “(Angkatan Darat, CIA, Soekarno, Soeharto, Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Kudeta Merangkak MPRS)”, baca Adam (2009:140).
Pernyataan lain disampaikan bahwa: “…. kepastian dilanjutkan gerakan tanpa ragu-ragu, setelah Kolonel A. Latief sebagai Komandan Sentral Komando G30S/PKI melaporkan hasil pertemuan selama setengah jam dengan Letjend Soeharto di Rumah Sakit Angkatan Darat “Gatot Subroto” pada tanggal 30 September 1965 pukul 22.30. Latief melaporkan bahwa akan dimulai gerakan kudeta. Menurut Latief, ketika menerima laporan itu Soeharto tidak mengatakan sesuatu selain hanya “manggut-manggut”. Gerakan seperti itu merupakan kebiasaan Pak Harto untuk menyatakan persetujuannya (Saelan, 2008:214). Bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan dan memperkuat kebenaran bahwa Supersemar telah dipolitisir dan disalah gunakan oleh penerima Supersemar (Soeharto). Ini strategi pertama untuk menyusun kekuatan dalam mengambil alih kekuasaan Presdien Soekarno. Itulah sebabnya Supersemar asli tidak diketahui, ada dugaan bahwa Supersemar yang beredar sekarang tidak sama dengan Supersemar asli yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Karena itu banyak naskah Supersemar yang beredar/dicetak dalam bukubuku tidak sama walaupun secara substansi sama. Hal ini juga menguatkan pendapat Anderson, bahwa naskah asli Supersemar sengaja dihilangkan.
Peran Soeharto pada Gerakan G30S/PKI
Peran Angkatan Darat saat Terjadi G30S/PKI
Sumber yang bisa dipercaya mengatakan: Soeharto telah mengetahui tentang rencana kudeta itu. Sumber itu mengatakan, sebelum terjadi G30S/PKI tahun 1965, telah diketahui sebelumnya oleh Letjen Soeharto, dan beliau tidak berusaha mencegah, beliau membiarkan peristiwa itu terjadi. Lebih jelas dapat disimak dalam pernyataan berikut ini: ……”Yang mengetahui sebelum G30S/PKI terjadi,
Pendapat dua ilmuwan dari Cornel University-AS Benedict R Anderson dan Ruth Mc Vey (Adam, 2009:142) menyebutkan bahwa: G30S/PKI merupakan puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat. Pada tahun 1965 Staf Umum Angkatan Darat pecah menjadi dua. Meskipun kedua faksi ini sama-sama anti PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Soekarno. Yang pertama,
KESAKSIAN TENTANG PELAKU G30S/PKI
120
“Faksi Tengah” yang loyal terhadap Presiden Soekarno yang dipimpin oleh Pangad Letjend Ahmad Yani. Kelompok ini hanya menentang kebijakan Soekarno tentang “Persatuan Nasional”, dan PKI masuk didalamnya. Kelompok kedua, “Faksi Kanan” yang bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernapaskan Soekarnoisme. Dalam kelompok ini ada Jendral Nasution dan Mayjend Soeharto (Adam,2009;143). Menjelang tahun 1965, Presiden Soekarno mencium ada faksionisme perpecahan di tubuh Angkatan Darat, dengan dalih menyelamatkan Presiden Soekarno, yang sebenarnya ditujukan kepada para perwira-perwira utama dalam Faksi Tengah. Cara tersebut akan memuluskan jalan perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Syam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih Sekretaris Negara, disebut sebagai Kepala Biro Khusus Central PKI, adalah “Agen Rangkap” yang bekerja untuk Aidit dan Angkatan Darat. Menurut Antonie Dake dan John Hughes, Presiden Soekarno terlibat dalam intrik tersebut. Menurut beliau, G30S/PKI diskenario Soekarno untuk melenyapkan lawan politik (perwira tinggi Angkatan Darat), dan PKI ikut di dalamnya (Adam, 2009;143). Belakangan diketahui Jendral Soeharto ikut andil di belakang gerakan itu, sebagaimana dituturkan oleh bekas anak buahnya (Kolonel Latief). Peran CIA saat Peristiwa G30S/PKI Peristiwa G30S/PKI di Indonesia menjdi berita yang menggembirakan bagi Amerika Serikat dan Inggris, sebagai konsekwensi perang dingin antara blok Kapitalis dan blok Komunis. Saat itu Amerika Serikat menhadapi Vitnam Utara yang dibantu Uni Soviet, dan berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ketangan kelompok kiri (Uni Soviet). Untuk itu CIA membantu berbagai cara, termasuk memberikan kucuran dana. Dalam dokumen tertulis bantuan dana sebesar Rp50.000.000, untuk membantu menghancurkan PKI di Indonesia. Bantuan dana disampaikan lewat Komite Aksi Pengganyangan (KAP) G30S/PKI yang dipimpin oleh M.Subchan Z.E (dari NU) dan Hary Tjan Silalahi (dari Katolik), melalui Adam Malik (Adam, 2009;144). Menurut David T. Johnson (1976), ada enam skenario yang dijalankan Amerika Serikat untuk menghadapi situasi yang sedang memanas di Indonesia tahun 1965. Skenario tersebut adalah: (1) membiarkan saja; (2) membujuk Soekarno mengubah kebijakan; (3) menyingkirkan Soekarno; 4) mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan; (5) merusak kekuatan PKI; (6) Merekayasa kejatuhan PKI sekaligus kajatuhan Soekarno. Ternyata skenario yang terakhir yang dianggap efektif untuk dilaksanakan. Indikasi keterlibatan dinas rahasia Inggris (CIA) dan Australia disinyalir juga ada. Pihak Inggris membantu propaganda untuk menghancurkan PKI. Koresponden BBC yang berkedudukan di Singapura dan sering ke Jakarta menjelang peristiwa G30S/PKI, terungkap bahwa pada tahun 1962 telah terjadi komitmen antara presiden Amerika Serikat (J. F.Kennedy) dengan Perdana Menteri inggris
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 116–122
(Harold Macmilan), bahwa Soekarno mesti di “likwidasi”. Menurut Mike Head (1999), peran Australia sama dengan Amerika Serikat. Telegram yang dikirim ke kedutaan Austria di Jakarta, tercermin sikap memberikan dukungan Soeharto untuk lebih keras lagi menhancurkan PKI. Peran Bung Karno saat Meletus G30S/PKI Sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah berusaha mempolitisasi Presiden Soekarno. Kelihaian PKI itu, ditindaklanjuti Presiden dengan membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Kecuali itu Presiden mengganti anggota MPRS serta anggota Kabinet dengan orang-orang komunis. Akhirnya pada tgl 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta, dengan melakukan penculikan terhadap beberapa Jendral putra terbaik bangsa, dengan alasan menyelamatkan Presiden Soekarno yang akan di kudeta oleh Dewan Jendral. Keterlibatan dan peran Soekarno terhadap gerakan G30S/PKI, dapat disimak hasil wawancara dengan beberapa tokoh berikut: Wawancara antara Sudisman dengan Brigjen Sugandi, beliau sama-sama teman sekolah waktu masih di AMS, dan pada tgl 27 September 1965 mereka bertemu dan berbicara antara lain (Soerojo:249). Sugandhi: Man kok ada kesibukan luar biasa, persiapanpersiapan dan galian- galian di desa-desa, ini mau ada apa? Sudisman: Mengapa kau tidak ikut saja sama kita? Sugandhi: Tidak mungkin Man, aku tidak mungkin ikut PKI, karena aku orang beragama. Sudisman; Kau tidak mau itu karena kau terlalu banyak mendengarkan kata Nasution? Sugandhi: Bukan masalah mendengarkan dia, tapi soal ideologi. Kalau kamu akan melanjutkan rencanamu, PKI pasti hancur. Selama masih ada orang-orang 45 seperti saya, kau tidak mungkin menang. Entah kalau kami sudah tidak ada semua. Sudisman: Menunggu kau sampai tua, aku juga sudah tua nanti, itu tidak mungkin. Kita akan ambil inisiatif, siapa yang ambil inisiatif dulu dan melancarkan serangan dulu pasti menang, percayalah pada kita Sugandhi akhirnya juga ketemu dengan DN Aidit: DN Aidit: Bung apa bung sudah ketemu sama Sudisman? Kita akan mulai dalam waktu singkat, dalam waktu dua atau tiga hari lagi. Bung Karno sudah tahu semua rencana ini, akan lebih baik kalau bung ikut kita. Sugandhi: Sudisman telah bicara dengan aku, tetapi aku tidak mau ikut dengan PKI, katanya PKI mau melancarkan kudeta. Aku punya doktrin sendiri, yaitu: “Saptamarga dan Sumpah Prajurit”. DN Aidit: Bung jangan gunakan kata kudeta, itu jahat. PKI mau melancarkan revolusi yang akan didorong oleh Dewan Jendral. Bung akan ikut kita atau tidak, aku telah memberitahu Bung Karno soal semua ini.
Surahono: Pelaku dan peristiwa (dari G30S/PKI sampai supersemar)
Pengakuannya kemudian setelah Aidit tertangkap, Aidit mengatakan bahwa secara garis besar Bung karno merestui tindakan-tindakannya. Selanjutnya pada waktu Brigjen Soepardjo menhadap Presiden Soekarno pada pagi hari tanggal 1 oktober 1965 setelah aksi G30S/PKI, Bung Karno berkata;. Sambil menepuk bahu berkata presiden dalam bahasa Belanda: “Je hebt goed werk gedaan”, artinya “ kau telah melakukan pekerjaan yang sangat baik sekali” (Soerojo, 1985;267). Wawancara Sugandhi dengan Presiden Soekarno Tiga hari kemudian Brigjen Soegandhi menemui Bung Karno di Istana Negara, waktu itu ada Sayuti Melik dan Pak Hardjo/Kepala Rumah Tangga Istana (Soerojo, 1986:250). Sugandhi: PKI akan melancarkan kudeta, apa bapak sudah tahu hal ini? Saya sudah diberitahu oleh Aidit dan Sudisman. Soekarno: Kau jangan komunisto pobhi, apa kau tidak tahu ada Dewan Jendral? Apa kau tidak tahu bahwa jendraljendral itu payah? Hati-hati kau kalau bicara. Sugandhi: Kalau para jendral itu memang payah, mengapa bapak tidak memberhentikan saja, apa itu bukan wewenang bapak? Tidak ada Dewan Jendral pak, yang ada Wanjakti untuk menilai konduite para kolonel yang akan naik pangkat menjadi Jendral, yang biasa disebut Dewan Jendral dikalangan Angkatan Darat, maksud lain tidak ada. Soekarno: Jangan ikut campur, kau diam. Kau pasti terlalu mendengarkan Nasution. Sugandhi: Itu betul pak, tidak ada Dewan Jendral seperti bapak maksud. Pak Yani mengatakan kepada saya, dan pak Yani seorang perwira yang taat kepada bapak, pribadi yang bisa bapak anggap sebagai tangan kanan. Soekarno: Jangan banyak bicara tutup mulutmu. Apa kau tidak tahu banwa menurut Thomas Carlyle, dalam suatu revolusi seorang bapak bisa makan anak sendiri? Kau tidak tahu? Soegandhi: Kalau begitu bapak sudah ikut PKI? Soekarno: Diam kau, aku tempeleng kau sampai kau mampus, pulang!, dan hati-hati. Selanjutnya, Brigjen Soegandi menghadap Jendral A. Yani dan memberitahukan perihal rencana PKI tersebut. Jendral A. Yani tidak percaya, seraya berkata: “Mana mungkin PKI berani melancarkan kudeta?”, TNIAD sangat kuat dan kompak, dia terlalu percaya diri. Dalam pemeriksaan pada tanggal 13 Februari 1967, Jendral A.H. Nasution menyatakan: “Presiden Soekarno telah memberikan restu dan bantuan kepada kudeta G30S/PKI. Selanjutnya beliau membentuk badan pengusutan, badan itu untuk mengetahui kebenaran dialog antara Sugandhi dengan Presiden Soekarno. Untuk membuktikan Presiden Soekarno telah mengetahui betul tentang rencana gerakan yang disebut peristiwa Gerakan 30 September/PKI tahun 1965 (Soerojo, 1986:250).
121
Berangkat dari berbagai kontrofersi di atas, disimpulkan bahwa G30S/PKI digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang, dengan cara mengadu domba antar angkatan, terutama Angkatan Darat dan Angkatan Udara. Kelihaian PKI melakukan distruktif melalui pendekatan intensif ideologis terhadap Presiden Soekarno, secara tidak langsung Soekarno ikut terseret, jadi tidak ada kesengajaan melainkan karena provakator PKI sehingga Bung Karno ikut terseret. Kelalaian Presiden Soekarno berikutnya adalah dalam menangani kasus (G30S/PKI), beliau tidak segera mengambil langkah tegas penyelesaian masalah sebagai akibat gerakan tersebut. Gerakan rakyat, mahasiswa, pemuda dan pelajar yang didukung oleh ABRI untuk menuntut pembubaran PKI tidak segera direspon oleh Bung Karno, sehingga rakyat marah besar. Waktu terus berjalan sampai sekitar 7 bulan, baru Bung Karno merespon dengan cara memberikan Surat Perintah (Supersemar) kepada Letjen Soeharto untuk menangani segala permasalahan sebagai akibat gerakan G30S/PKI, dimana saat itu Presiden Soekarno sedang sakit di Istana Bogor, setelah sidang Kabinet di Istana Negara Jakarta yang batal.
SIMPULAN DAN SARAN
Berbagai pendapat yang telah kami kemukakan, terkait dengan pelurusan sejarah sekitar G30 S/PKI dan Supersemar, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Telah ditemukan dari beberapa sumber yang memuat naskah Supersemar ada 4 (empat) versi, dan 2 (dua) naskah yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dengan bentuk struktur yang berbeda-beda meskipun secara substansi isinya sama. Naskah-naskah tersebut diduga tidak ada yang sama dengan naskah aslinya (yang hilang), karena naskah asli Supersemar ditulis dengan kop surat “Markas Besar Angkatan Darat” dan bukan kop surat kepresidenan. Yang kedua, naskah “Supersemar” lahir di kota Bogor (baca kesaksian pengetiknya) dan bukan di Jakarta. ANRI sampai saat ini terus berusaha mencari naskah “Supersemar” yang asli. (2) Perbedaan beberapa versi naskah Supersemar tersebut karena proses penggandaan naskah “Supersemar” dilakukan dengan cara distensil dan atau diketik ulang, sehingga terjadi perobahan di sana-sini tidak diketahui, sehingga menimbulkan keraguan para pembaca. (3) Pengemban “Supersemar” (Soeharto) tidak segera mempertanggungjawabkan kepada pemberi perintah Supersemar (Presiden Soekarno), sehingga hal ini dianggab suatu perbuatan “mengambil alih kekuasaan” secara bertahap. Tindakan ini sering disebut dengan: “Kudeta Merangkak MPRS oleh Soeharto”. (4) Dalang peristiwa G30S/PKI adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), meskipun diduga Presiden Soekarno dan Jendral Seharto sudah tahu sebelumnya. Sehingga
122
dalam setiap penulisan istilah Gerakan 30 September harus disertai kata PKI, sehingga tertulis “G30S/PKI” dan bukan “G30S” saja. Hal ini merupakan pelurusan fakta sejarah dan pembenaran sejarah, agar di kemudian hari tidak terjadi penyesatan sejarah. (5) Pengetik pertama konsep “Supersemar“ adalah: Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, Staf Asisten I Intelejen Resimen Cakrabirawa, yang saat itu sedang bertugas di Istana Bogor. Pengakuan beliau ini juga dikuatkan oleh Ben Anderson, seorang pakar politik dari Amerika Serikat yang pernah dicekal masuk Indonesia, dan membenarkan atas pengakuan seorang tentara yang waktu itu bertugas di istana Bogor adalah Ali Ebram. (6) Kontroversi tentang “Supersemar” dan pelaku G30S/PKI cukup diakhiri disini, dan tidak perlu lagi dipertentangkan. Supersemar jelas ada dan peristiwa G30S/PKI pernah terjadi, sebagai salah satu upaya pelurusan fakta sejarah di negeri ini, agar generasi berikutnya tidak tersesat oleh fakta sejarah, meskipun sampai saat ini naskah asli Supesemar belum ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Aswi Warman, Membongkar manipulasi sejarah (kontroversi pelaku dan peristiwa), Penerbit Buku Kompas, Jakarta; 2009. Adams, Cindy, Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia, (Alih Bahasa: Major Abdul Bar Salim), PT. Gunung Agung, Jakarta; 1966.
Humaniora, Vol. 8 No. 2 Desember 2011: 116–122 Anshari, Endang Saifudin, Piagan Jakarta; Jakarta 22 Juni 1945, dan sejarah konsensus nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler”, tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945–1949), CV Rajawali, Jakarta; 1996. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar ilmu politik, PT Gramedia Pustaka, Jakarta; 2008. Mangunwijaya, YB, Soeharto dalam cerpen Indonesia, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta; 2001. Mardjono, Hartono H, Reformasi politik suatu keharusan, Gema Insani, Jakarta; 1998. Mubarok, M. Mufti, Soeharto tak pernah mati, jejak besar sang Jendral Besar, Institute for Development Economic (IDE), Surabaya; 2008. Muhono, Himpunan ketetapan MPRS dan Peraturan Negara yang penting bagi anggota Angkatan Bersenjata, Jakarta; 1966. Notosusanto, Noegroho, Terciptanya konsensus nasional 1966–1969, PN Balai Pustaka, Jakarta; 1985. Padmosugondo, Imam Sudarwo, Lima Undang-Undang bidang pembangunan politik, Penerbit “Indah”, Surabaya; 1988. Suryanegara, Ahmad Mansur, API sejarah 1,II, mengungkap yang tersembunyi dan yang sembunyikan, Salamadani Pustaka Semmesta, Bandung; 2010. Soekarno, Bung Karno dan Pemuda, (Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa dan Sarjana, CV Haji Masagung, Jakarta; 1987. Soerojo, Soegiarso, Siapa menabur angin akan menuai badai (G30SPKI dan peran Bung Karno), Antar Kota, Jakarta; 1989. Saelan, H. Maulwi, Kata Pengantar Dr. Asvi Warman Adam, Kesaksian wakil komandan Tjakarabirawa, dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, Visimedia, Jakarta; 2008. Syafiie, Inu Kencana, Sistem politik Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung; 2009. Widjanarko, Bambang, Sewindu dekat BUNG KARNO, PT Gramedia, Jakarta; 1987.