ISSN: 1693-8925
HUMANIORA
Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora Volume 7, Nomor 2, Desember 2010
DAFTAR ISI (CONTENTS) Halaman (Page)
1. Analisis Supply Chain Management Komoditas Ayam Buras untuk Mendukung Industri Jasa Kuliner (Studi Rantai Pasok Komoditas Ayam Buras di Kabupaten Pasuruan) (Local Chicken Commodity management Supply Chain Analysis to Support Culinary Services Industry (Supply Chain Commodity Study of Local Chicken in Pasuruan District)) Mohammad Imsin........................................................................................................................
35–48
2. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Keefektifan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Sampang (The Influence of Emotional Intelligence toward Headmasters’ Leadership Efficacy at State Elementary Schools in Sampang Regency) M. Amirusi....................................................................................................................................
49–56
3. Menilik Urgensi Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atas Biota Laut Akibat Aktivitas Pertambangan Emas Kabupaten Banyuwangi (Considering the Urgency of Province Government Policy Againts Analysis Invorenment Impact of Sea Biota in a Result from Gold Mining Activity in Banyuwangi District) Susintowati....................................................................................................................................
57–61
4. Pengaruh Perilaku Kerja, Motivasi dan Lingkungan Kerja terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pabrik Rokok di Kota Surakarta (Work Behavior, Motivation and Work Environment Effect Againts Cigarret Factory Employees Work Achievement on Surakarta) Musriha.........................................................................................................................................
62–66
5. Techniques and Appropriateness of the Techniques of the Indonesian Translation of Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie (Pemilihan Teknik dan Kepatutannya dalam Terjemahan Novel Karangan Mitch Albom yang Berjudul ‘Tuesdays with Morrie’) R.A.Vitria Pawitrasari.................................................................................................................
67–73
6. Pengembangan Pembelajaran Biologi Berorientasi Model Pemaknaan untuk Mengajarkan Kemampuan Akademik dan Sensitivitas Moral (Learning Biology Development Signification Model Oriented Towards Academic Ability and Moral Sensitivity Teaching) Habibi............................................................................................................................................
74–78
7. Penumbuhan Minat Berwirausaha Melalui Pelatihan Pembuatan Kertas Komposit (Entrepreneurship Interest Growth Through Composite Paper Making Training) Ery Susiany Retnoningtyas dan Antaresti..................................................................................
79–84
Dicetak oleh (printed by) Airlangga University Press. (187/12.10/AUP-B1E). Kampus C Unair, Jln. Mulyorejo Surabaya 60115, Indonesia. Telp. (031) 5992246, 5992247, Telp./Fax. (031) 5992248. E-mail:
[email protected]. Kesalahan penulisan (isi) di luar tanggung jawab AUP.
PANDUAN UNTUK PENULISAN NASKAH
Jurnal ilmiah HUMANIORA adalah publikasi ilmiah enam bulanan yang diterbitkan oleh Kopertis Wilayah VII Jawa Timur. Untuk mendukung penerbitan, selanjutnya redaksi menerima artikel ilmiah yang berupa hasil penelitian empiris dan artikel konseptual dalam bidang ilmu Sosial dan Humaniora. Naskah yang diterima hanya naskah asli yang belum pernah diterbitkan di media cetak dengan gaya bahasa akademis dan efektif. Naskah terdiri atas: 1. Judul naskah maksimum 15 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris tergantung bahasa yang digunakan untuk penulisan naskah lengkapnya. Jika ditulis dalam bahasa Indonesia, disertakan pula terjemahan judulnya dalam bahasa Inggris. 2. Nama penulis, ditulis di bawah judul tanpa disertai gelar akademik maupun jabatan. Di bawah nama penulis dicantumkan instansi tempat penulis bekerja. 3. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak lebih dari 200 kata diketik 1 (satu) spasi. Abstrak harus meliputi intisari seluruh tulisan yang terdiri atas: latar belakang, permasalahan, tujuan, metode, hasil analisis statistik, dan kesimpulan, disertakan pula kata kunci. 4. Artikel hasil penelitian berisi: judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, materi, metode penelitian, hasil penelitian, pembahasan, kesimpulan, dan daftar pustaka. 5. Artikel konseptual berisi: judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, analisis (kupasan, asumsi, komparasi), kesimpulan dan daftar pustaka. 6. Tabel dan gambar harus diberi nomor secara berurutan sesuai dengan urutan pemunculannya. Setiap gambar dan tabel perlu diberi penjelasan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar. Gambar berupa foto (kalau ada), disertakan dalam bentuk mengkilap (gloss). 7. Pembahasan berisi tentang uraian hasil penelitian, bagaimana penelitian yang dihasilkan dapat memecahkan masalah, faktor-faktor apa saja yang memengaruhi hasil penelitian dan disertai pustaka yang menunjang. 8. Daftar pustaka, ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, disusun berdasarkan urutan kemunculannya bukan
berdasarkan abjad. Untuk rujukan buku urutannya sebagai berikut: nama penulis, editor (bila ada), judul buku, kota penerbit, tahun penerbit, volume, edisi, dan nomor halaman. Untuk terbitan berkala urutannya sebagai berikut: nama penulis, judul tulisan, judul terbitan, tahun penerbitan, volume, dan nomor halaman. Contoh penulisan Daftar Pustaka: 1. Grimes EW, A use of freeze-dried bone in Endodontic, J. Endod, 1994: 20:355–6 2. Cohen S, Burn RC, Pathways of the pulp. 5th ed., St. Louis; Mosby Co 1994: 127–47 3. Morse SS, Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis (serial online), 1995 Jan-Mar, 1(1): (14 screen). Available from: URL: http//www/cdc/gov/ncidod/EID/eid.htm. Accessed Desember 25, 1999. Naskah diketik 2 (dua) spasi 12 pitch dalam program MS Word dengan susur (margin) kiri 4 cm, susur kanan 2,5 cm, susur atas 3,5 cm, dan susur bawah 2 cm, di atas kertas A4. Setiap halaman diberi nomor halaman, maksimal 12 halaman (termasuk daftar pustaka, tabel, dan gambar), naskah dikirim sebanyak 2 rangkap dan 1 disket (CD). Redaksi berhak memperbaiki penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua data, pendapat atau pernyataan yang terdapat pada naskah merupakan tanggungjawab penulis. Naskah yang tidak sesuai dengan ketentuan redaksi akan dikembalikan apabila disertai perangko. Naskah dapat dikirim ke alamat: Redaksi/Penerbit: Kopertis Wilayah VII Jawa Timur d/a Sub Bagian Kelembagaan dan Kerja sama Jl. Kertajaya Indah Timur No. 55 Telp. (031) 5925418-19, 5947473, Fax. (031) 5947479 E-mail:
[email protected] Homepage: http// www.kopertis7.go.id, SURABAYA
- Redaksi -
35
Analisis Supply Chain Management Komoditas Ayam Buras untuk Mendukung Industri Jasa Kuliner (Studi Rantai Pasok Komoditas Ayam Buras di Kabupaten Pasuruan) (Local Chicken Commodity management Supply Chain Analysis to Support Culinary Services Industry (Supply Chain Commodity Study of Local Chicken in Pasuruan District)) Mohammad Imsin Universits pesantren tinggi Darul Ulum Jombang abstrak
Ayam lokal mewakili salah satu tipe unggas yamg memiliki potensi yang dicari oleh produsen daging dalam industri kuliner. Sistem yang dipakai masih tradisional sehingga masih rendah dengan harga yang tinggi. Tetapi meskipun permintaan tinggi dan juga harga stabil, tetap hanya mampu memenuhi 50% permintaan pasar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan menemukan Management Supply Chain/ Manajemen Studi Rantai Pasok (MSC), dengan membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan menggunakan model yang menguntungkan, berprospek, serta keberadaan komoditas ayam lokal untuk industry di propinsi Pasuruan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan sumber data melalui observasi, dokumentasi dan interview. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Supply Chain Management (SCM) dari ayam lokal belum bisa memenuhi kebutuhan pasar. Untuk menutup kekurangan ini dan menaikkan keuntungan membutuhkan strategi penambahan pertumbuhan. Ayam lokal ini jika dilakukan metode intensif akan lebih menguntungkan dibandingkan ayam maskulin. Petani sebagai jaringan rantai suplai yang berkedudukan di sektor jalur atas, menghadapi permasalahan utama dalam pengadaan sarana produksi peternakan juga competitor yang tidak sebanding serta pembagian margin yang tidak adil di dalam menghubungi pedagang di SCM, dan rumah pemotongan hewan yang selalu pada jalurnya karena bisa mengakomodasi semua harga, dan untuk mengindustrikan kuliner terdapat dua pilihan, yaitu tetap pada harga tinggi atau mengganti peralatan. Budaya dari ayam lokal ini dimana masih dibawa nilai ekonomis (BEP = 53 jika masih mengikuti pola intensif)
Kata kunci: Manajemen rantai pasok, ayam buras, kuliner abstract
Chicken of local represent one of local poultry type which have potency to as producer of flesh which is very required by industry of kuliner. Because system have conducting to generally still traditional so that low productivity and priced highly. But although high request and stable price and not make balance to with highly to until 50% just able to fulfill. This research aim to analyze and find to supply chain management, with partner model woke up in profitability contact, prospect and availability of chicken commodity of local chicken in requirement of industry in sub-province of Pasuruan. This research by using descriptive method and data source use the way of observation, documentation and interview. Result of research indicate that supply chain management (SCM) of local chicken which not yet earned to fulfill requirement of market. To close over lacking of request of market and exploit to opportunity require to add growth strategy. That local chicken conducting with intensive method still more is beneficial compared to masculine chicken. Farmer as network enchain supply residing in upstream sector face the problem of principle levying of medium produce ranch also uneven competitor and division of unjust margin in SCM contect merchant and animal slaughtering house always peaceful on course because can accomodate any price, and to industry of culinery there is two choice stay at the price of highly or changes to substitution goods. This cultural of local chicken which still below economic number (BEP = 53 go with the tide intensive pattern)
Kata kunci: Manajemen rantai pasok, ayam buras, kuliner
pendahuluan
Pelaku usaha untuk menyediakan produk yang murah, berkualitas, dan cepat, tidak cukup dengan melakukan perbaikan di internal perusahaan saja. Namun, juga membutuhkan peran serta semua pihak, mulai dari pemasok yang menyediakan bahan baku, perusahaan transportasi yang mengirimkan bahan baku dari pemasok ke industri, serta jaringan distribusi yang menyampaikan produk ke
tangan pelanggan. Kesadaran dan pentingnya peran semua pihak dalam menciptakan produk yang murah, berkualitas, dan cepat inilah yang kemudian melahirkan konsep baru, yaitu supply chain management (SCM).1 Untuk mempertahankan pertumbuhan dan kinerja industri, pelaku industri tidak bisa hanya mengandalkan integrasi secara internal saja. Apabila pelaku industri hanya fokus pada lingkungan internal tanpa mempertimbangkan keadaan di luar, maka ia tidak akan bisa berkembang yang
36
akhirnya dapat terlindas oleh pesaingnya.1 Salah satu kerangka analisis yang sangat populer digunakan akhirakhir ini dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas perunggasan dan jaringan pemasarannya adalah supply chain management (SCM).2 Budi daya unggas khususnya ayam buras/kampung masih sebagai alternatif usaha sampingan untuk sumber pendapatan dan tabungan, tetapi belum mengarah pada pola industri.3 Untuk jasa industri kuliner/rumah makan, daging ayam buras/kampung adalah sebagai bahan baku utama. Maka dalam melaksanakan proses bisnis, bahan pokok dan inti sebuah industri apapun termasuk industri kuliner/rumah makan harus memastikan ketersediaan bahan baku yang cukup sebagai kompetisi inti.4 Berdasarkan populasi, produksi dan konsumsi daging ayam buras/kampung di Jawa Timur dalam kurun waktu lima tahun ke belakang, (sejak tahun 2004–2008, selalu mengalami kekurangan pasokan/populasi. Kekurangan tersebut rata-rata antara 45–50% dari kebutuhan. Di Kabupaten Pasuruan, selalu mengalami kekurangan populasi di atas 50% atau dengan populasi hanya 1.002.860 ekor, sementara pemotongan mencapai 1.764.877 ekor yang menghasilkan 1.588.399 kg daging.5 Kerangka analisis SCM yang memiliki cakupan tinjauan dari hulu sampai hilir, dan di dalam penelitian ini supply chain management (SCM) sebagai alat analisis dalam mengamati perjalanan rantai pasok ayam buras/kampung, yang merupakan bahan baku utama untuk industri jasa kuliner di Kabupaten Pasuruan dan sekitarnya, yang di Kabupaten Pasuruan lebih dikenal dengan istilah rumah makan lesehan, dan dijadikan salah satu icon wisata kuliner yang menjanjikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis supply chain management (SCM) komoditas ayam buras/kampung di Kabupaten Pasuruan dan mengoptimalkan supply chain management (SCM) komoditas ayam buras dalam mendukung kebutuhan industri kuliner di Kabupaten Pasuruan. Supply chain adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. supply chain biasanya ada 3 macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir dari hulu (uptream) ke hilir (downtream). Kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu. Ketiga adalah informasi yang bisa terjadi dari hulu ke hilir ataupun sebaliknya. Perusahaan-perusahaan yang berada pada suatu supply chain pada intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, mereka harus bekerja sama untuk membuat produk yang murah, mengirimkannya tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Semangat kolaborasi dan koordinasi juga didasari oleh kesadaran bahwa kuatnya supply chain tergantung pada kuatnya seluruh elemen yang ada di dalamnya. Sebuah industri yang sehat dan efisien tidak akan banyak berarti apabila pemasoknya tidak mampu menghasilkan bahan baku yang berkualitas atau tidak mampu memenuhi pengiriman tepat waktu. Jadi dalam
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48
supply chain, industri perlu memberikan bantuan teknis dan manajerial kepada pemasok-pemasoknya karena pada akhirnya ini akan menciptakan kemampuan bersaing keseluruhan supply chain.1 SCM tidak hanya sebagai fungsi teknis atau pusat biaya, Bahwa semua kegiatan yang terkait dengan aliran material, informasi dan uang disepanjang supply chain adalah kegiatan-kegiatan dalam cakupan supply chain management (SCM). Salah satu bentuk penerapan SCM adalah kemitraan yang merupakan jalinan kerja sama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan. Dalam kerja sama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan, hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya.6 Maka di dalam pelaksanaan SCM ada tambahan tugas yang dibebankan pada fungsinya, yaitu: Pengelolaan mutu, biaya, waktu, teknologi dan kelangsungan pasokan. SCM sebagai evolusi manajemen pembelian dan merupakan strategi yang mencakup bidang yang lebih luas, yaitu menyangkut pembelian yang dilakukan tidak hanya oleh perusahaan sendiri, tetapi juga oleh perusahaan lain yang terkait dalam rantai pasokan. Pengembangan strategi pembelian ke strategi SCM, dan salah satu pilihan kebijakan yang bisa dilakukan untuk menjamin ketersediaan bahan baku adalah dengan melakukan kemitraan. Dalam membangun sebuah kemitraan, harus terbangun dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Yang bertujuan untuk menghasilkan tingkat efisiensi dan produktivitas yang optimal. Yaitu diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal yang kuat, teknologi maju, manajemen modern, dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan lahan. Kerangka kerja jaringan tersebut sangat dibutuhkan pula untuk industri kuliner. Kuliner yang berasal dari bahasa inggris ”culinary” yang didefinisikan sebagai sesuatu yang terkait dengan masakan atau dapur. Culinary lebih banyak diasosiasikan dengan tukang masak yang bertanggung jawab menyiapkan masakan agar terlihat menarik dan lezat. Institusi yang terkait dengan kuliner adalah restoran, fast food franchise, rumah sakit, perusahaan, hotel dan catering,7 Salah satu bahan baku kuliner yang sangat familier di masyarakat Indonesia adalah ayam buras/kampung. Ayam buras merupakan salah satu unggas lokal yang umumnya dipelihara petani di pedesaan sebagi penghasil telur tetas, telur konsumsi, dan daging. Selain dapat diusahakan secara sambilan, mudah dipelihara dengan teknologi sederhana, dan sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan mendesak,8,9 unggas ini mempunyai prospek yang sangat menjanjikan, baik secara ekonomi maupun sosial, karena merupakan bahan pangan yang bergizi
Imsin: Analisis supply chain management komoditas ayam buras
tinggi,10 serta permintaannya cukup tinggi.11 Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam buras masing-masing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat medorong peternak kecil dan menengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai penghasil daging12 dan telur.13 Keterbatasan ayam buras yang berdampak pada harga menjadi perhatian untuk di kaji dalam kerangka suplly chain management. Untuk merancang sistem pengukuran kinerja SCM yang berdasarkan proses, Chan & Li dalam Pujawan (2005) menyarankan tujuh langkah berikut: (a) Identifikasi dan hubungkan semua proses yang terlibat baik yang terjadi di dalam maupun di luar organisasi. (b) Definisikan dan batasi proses inti. Definisi dan batasan ini diperlukan karena tidak semua proses yang ada pada supply chain membutuhkan perhatian yang sama dari manajemen. (c) Tentukan misi, Tanggung jawab, dan Fungsi dari proses inti. Misi, tanggung jawab, dan fungsi dari setiap proses harus jelas. (d) Uraikan dan identifikasi setiap subproses. Setiap proses inti biasanya merupakan agregasi dari sejumlah subproses. (e) Tentukan tanggung jawab dan fungsi subproses. Sama halnya seperti proses-proses inti, tanggung jawab dan fungsi masing-masing subproses juga perlu terdefinisi dengan jelas. (f) Uraikan lebih lanjut subproses menjadi aktivitas. (g) Hubungkan target antar hierarki mulai dari proses sampai ke aktivitas. Manajemen puncak biasanya memiliki target yang umum. Evaluasi dan pengawasan terutama ditujukan pada hasil kinerja setelah implementasi strategi. Ada beberapa metode atau cara untuk mengukur hasil kinerja, antara lain dengan analisis kembalian, analisis keuntungan dan analisis risiko. (a) Analisis kembalian berupa perhitungan kembalian yang didapat setelah menambah investasi tertentu sehubungan dengan pelaksanaan strategi, yaitu analisis ROI (Return on investment), ROE (Return on equity) ROA (Return on asset). (b) Analisis keuntungan menghitung tambahan keuntungan yang didapat karena menempuh suatu strategi tertentu. Analisis tambahan keuntungan dapat menggunakan analisis pengurangan biaya, analisis penghematan dan analisis pertambahan perputaran yang menunjukkan peningkatan efisiensi. (c) Analisis risiko, yaitu menganalisis setiap risiko penting yang mungkin timbul dengan melakukan strategi tertentu. Yaitu analisis titik impas/BEP, analisis arus kas, serta solvabilitas dan likuiditas.14
metode penelitian
Lokasi penelitian dipilih di wilayah Kabupaten Pasuruan karena di wilayah ini memiliki icon wisata kuliner yang lekat di masyarakat Kabupaten Pasuruan dan wisatawan lain daerah, yaitu rumah makan dengan model lesehan yang menu utamanya masakan ayam buras/kampung dengan berbagai tampilan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2009 sampai selesai. Karena kajian utama penelitian ini tentang supply chain management (SCM), dan yang menjadi objek kajian adalah komoditas pertanian ayam buras atau ayam
37
kampung, bahwa cakupan SCM itu meliputi kegiatan yang terkait dengan aliran material, informasi dan uang.1 Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif survei, sesuai dengan tujuan penelitian deskriptif survei menurut Consuelo G. Sevilla et al (1993), adalah untuk mencari informasi faktual yang mendetail yang mencandra gejala yang ada, untuk mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung, Untuk membuat komparasi dan evaluasi, serta untuk mengetahui apa yang dikerjakan oleh orang-orang lain dalam menangani masalah atau situasi yang sama, agar dapat belajar dari mereka untuk kepentingan pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa depan. Kajian dan analisis budi daya komoditas ayam kampung sudah banyak dilakukan, namun untuk analisis bidang sosial ekonomi masih sangat terbatas. Apalagi analisis Supply chain management untuk komoditas ayam buras/ayam kampung belum pernah dilakukan penelitian yang khusus membahas tentang manajemen rantai pasok dengan analisis manajemen keuangan.15 Salah satu kerangka analisis yang sangat populer digunakan akhir-akhir ini, dan sekaligus untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri perunggasan adalah Supply Chain Management (SCM). Dan jika manajemen rantai pasok (SCM) yang berjalan dengan baik akan berpengaruh secara siknifikan untuk meningkatkan keuntungan dan ketersediaan ayam buras di Kabupaten Pasuruan. Dalam penelitian ini, karena setiap populasi dari hulu sampai hilir memiliki karakteristik yang sangat berbeda, maka pengambilan sampel populasinya menyesuaikan keadaan dan karakteristik jenis populasi yang diambil datanya dan menggunakan teknik sampling random sederhana. Penelitian ini pengelompokan populasi menjadi lima kelompok besar yang terdiri dari kelompok petani peternak, kelompok pedagang pengepul yang sekaligus sebagai pemasok, kelompok pedagang besar dan sekaligus sebagai pemasok daging siap masak, kelompok rumah makan dan kelompok konsumen. Masing-masing populasi di dalam menentukan sampel penggalian data ada yang menggunakan populasi sampel total karena jumlahnya terbatas ada yang menggunakan teknik purposive sampling. Metode pengumpulan data terdiri dari data primer dan data skunder. Data Primer adalah data yang diperoleh dan dikumpulkan langsung dari sumber pertamanya, yang diamati dan dicatat untuk pertama kalinya melalui pengamatan terhadap objek. Pengamatan langsung ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dan informasi tentang keadaan bisnis komoditas ayam kampung dan proses perjalanan rantai pasok sampai ke tingkat konsumen akhir. Untuk menggali data primer ini dilakukan dengan cara observasi dan wawancara (Milles, B. dan A.M. Huberman 1992). Data sekunder adalah data pendukung yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen, misalnya data mengenai keadaan demografi Kabupaten Pasuruan, potensi lokal
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48
38
bidang peternakan, dan program-program dalam peningkatan peternakan daerah. Data-data tersebut berasal dari laporan atau catatan arsip-arsip yang diperoleh secara langsung yang dapat mendukung data primer. Sumber data sekunder yang merupakan data pendukung diambilkan dari penggalian dokumentasi dari Pusat informasi agrobisnis Kabupaten Pasuruan, Dinas ketahanan pangan daerah Kabupaten Pasuruan, Dinas peternakan, BPPS Kabupaten Pasuruan dan Jawa Timur, rumah potong Ayam, pedagang ayam keliling, toko pakan dan obat ternak, rumah makan sekala menengah yang menyediakan berbagai menu (bukan hanya menu ayam saja) yang tergabung dalam paket wisata di wilayah Kabupaten Pasuruan. Dan karena data deskriptif yang dianalisis menurut isinya, analisis semacam ini juga disebut analisis isi (content analysis). Maka metode yang digunakan untuk menganalisis data tersebut, di awali dengan mengidentifikasi seluruh permasalahan rantai pasok ayam buras yang ditemukan dilapangan dengan menggunakan alat analisis diagram Ishikawa (diagram sebab akibat). Tujuannya untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan masalah. Dari data yang teridentifikasi di analisis menggunakan SWOT(4-K). Analisis SWOT dijadikan alat analisis dalam penelitian ini karena untuk menggambarkan dan memotret secara deskriptif potensi yang dimiliki komoditas ayam buras dari kekuatan internal dan eksternal. Sebagai penajaman dari hasil penelitian ini, yang sekaligus sebagai alat analisis untuk data yang diperoleh berupa data kuantitatif yang ada hubungan dengan masalah keuangan pada masing-masing variabel yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Langkah pertama menyusun laporan keuangan untuk budi daya, Laporan laba/rugi (R/L), Laporan Neraca keuangan, Analisis arus Kas dan Analisis arus modal. Untuk mengetahui tingkat produksi yang mampu membiayai seluruh biaya operasional atau mengalami impas break even point (BEP) dan melakukan peramalan dengan metode analisis trend, optimasi liniar programming.
Segmen pasar komoditas hasil peternakan ayam buras Kabupaten Pasuruan tahun 2008 adalah 2.667.920 kg (50% lokal, dan 50% luar daerah). Struktur pasar komoditas hasil peternakan ayam buras Kabupaten Pasuruan tahun 2008 menunjukkan struktur pasar persaingan sempurna. Di Kabupaten Pasuruan ada beberapa perusahaan besar yang langsung menangani bidang peternakan dari mulai pembibitan, produksi pakan ternak, budidaya dan kebutuhan peternakan tersusun pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. Perusahaan yang bergerak di bidang peternakan No.
Jenis Perusahaan
Jumlah
1.
Pembibitan ayam petelur
5 unit
2.
Pembibitan ayam pedaging
2 unit
3.
Makanan ternak
5 unit
4.
Pengolahan susu
2 unit
5.
Obat-obatan ternak
3 unit
6.
Cold Storage
16 unit
Tabel 2. Selisih antara populasi dan pemotongan komoditas ayam buras di Provinsi Jawa Timur. No. Tahun
Selisih (ekor)
%
Keterangan
1.
2003
27.995.088
42% Kekurangan pasokan
2.
2004
28.438.200
42% Kekurangan pasokan
3.
2005
28.740.884
42% Kekurangan pasokan
4.
2006
29.342.835
42% Kekurangan pasokan
5.
2007
32.398.952
44% Kekurangan pasokan
6.
2008
32.884.936
44% Kekurangan pasokan
Tabel 3. Selisih antara populasi dan pemotongan komoditas ayam buras di Kabupaten Pasuruan. No. Tahun
Selisih (ekor)
%
Keterangan
1.
2003
896.832
86%
Kekurangan pasokan
hasil dan pembahasan
2.
2004
1.146.502
140%
Kekurangan pasokan
Secara administratif Kabupaten Pasuruan terbagi dalam 24 kecamatan, 341 desa, dan 24 kelurahan, serta mempunyai penduduk tahun 2008 sebanyak 1.447.930 orang (terdiri dari 716.627 laki-laki 731.303 perempuan). Sedangkan jumlah penduduk menurut mata pencaharian bidang peternakan ayam buras adalah 147.948 rumah tangga peternak (RTP). Data populasi produksi dan ratarata produksi usaha tani ternak ayam buras adalah 987.891 ekor (1.540.020 kg daging). Komoditas hasil pertanian dan peternakan Kabupaten Pasuruan sampai dengan tahun 2008 menunjukkan pasar yang cukup menggembirakan dan menjanjikan. Hal ini ditandai dengan tren komoditas, segmen pasar, struktur pasar dan rantai pemasaran yang cukup baik, tiga tahun berturut-turut 1.309.132 kg (2005), 801.354 kg (2006), dan 2.667.920 kg (2007).
3.
2005
740.484
76%
Kekurangan pasokan
4.
2006
775.243
80%
Kekurangan pasokan
5.
2007
849.009
89%
Kekurangan pasokan
6.
2008
762.017
76%
Kekurangan pasokan
Peternak Ayam Buras/Kampung dengan Model Kelompok Tani Berdasarkan data Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan 2009 dan hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa khusus ayam buras/kampung belum ada pengusaha atau pemodal besar yang melakukan kemitraan. Sebagai rantai jaringan hanya kelompok tani yang berada di wilayah Kabupaten Blitar, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten Kediri sebagai pemasok terbesar kebutuhan ayam di
Imsin: Analisis supply chain management komoditas ayam buras
daerah sentra pemotongan, kurang lebih 80% dari seluruh kebutuhan. Sumber data diperoleh dari tiga kelompok tani dan tiga anggota dari masing-masing kelompok, yaitu kelompok Mekar Sari yang berlokasi di Desa Bajang kecamatan Talun Kabupaten Blitar, Kelompok petani peternak di Desa Ploso, Solokura Blitar dan kelompok tani di Desa Petuk Rejo Kabupaten Kediri. Kapasitas budi daya maksimal yang bisa dilayani oleh anggota kelompok karena keterbatasan jumlah bibit (DOC) kondisi normal per anggota 1.000 ekor, kondisi ramai pesanan hanya 750 ekor dengan harga bibit (DOC) untuk anggota kelompok Rp3.250,- – Rp3.500,- per ekor umur satu hari. Diperkirakan tingkat kematian antara 2–7% dalam per seribu serta membutuhkan kandang dengan ukuran 2×10 m persegi untuk sampai panen. Budi daya ayam kampung dengan model intensif atau semi intensif dapat dipanen pada umur antara 60–90 hari dengan bobot mencapai rata-rata 6 ons – 1,5 kg dengan pangsa pasar: – 6–7,5 ons untuk pasar daerah Surabaya, Gresik. – 8–9 ons untuk pasar daerah Sidoarjo, Pasuruan dan Malang – 1 kg ke atas untuk rumah makan selain lesehan (soto ayam, warung makan biasa), dan harga jual dengan antara Rp 22.000,- – Rp25.000,- per kilogram, untuk ayam buras/kampung, ukuran/bobot berapapun di pasar hewan tidak pernah ada penolakan, karena masingmasing sudah ada pangsa pasar yang siap menampung. Sedangkan untuk rumah makan dan ayam goreng yang paling laku dengan bobot 6–8 ons Profil Pedagang Pengepul Dalam hal ini model kemitraan dilakukan oleh koordinator peternak yang berperan sebagai inti atau penangung jawab program. Pedagang pengepul atau sebagai inti kemitraan melakukan kegiatan berdasarkan fungsi dan tanggung jawabnya. (a) Melakukan terobosan pemasaran, komunikasi pemasaran ke pelanggan tetap; (b) Menghimpun hasil ayam dari peternak/plasma berdasarkan jadwal atau umur/masa panen yang telah ditetapkan antara inti dan plasma; (c) Melakukan pengelompokan berdasarkan umur, jenis dan bobot serta melakukan penimbangan secara kelompok, sebagai dasar penetapan total harga ke pelanggan atau konsumen yang memesan; (d) Melakukan karantina sementra jika dalam kondisi tertentu antara lain, pemesanan khusus yang butuh perlakuan tersendiri, kelebihan pengambilan dari peternak, kandang peternak yang terlalu jauh dengan kantor inti; (e) Melakukan pengiriman ayam ke pelanggan/pedagang pemotong berdasarkan permintaan/pesanan yang telah di order minimal 1× 24 jam. Kelompok inti di samping melakukan fungsi pokoknya sebagaimana dalam kontrak dan poin-poin yang tergambar di atas, penanggung jawab/inti juga memberlakukan tarif lebih ke pihak plasma berupa selisih lebih dari bibit, pakan, obat-obatan dan hasil penjualan ke pedagang besar dan pemotong.
39
Profil Pedagang Pemotong Besar dan Kecil Spesifikasi ayam yang dibutuhkan oleh rumah makan diklasifikasikan berdasarkan bobot bersih siap masak dengan spesifikasi: (a) Ukuran 8,5 ons menjadi 6–6,5 ons; (b) Ukuran 7 ons menjadi 5–5,5 ons; (c) Ukuran 6,5 ons menjadi 4–4.5 ons. Ukuran daging bersih tersebut memiliki pasar masingmasing sesuai dengan permintaan rumah makan yang bersangkutan. Untuk penyiasatan ukuran berdasarkan bobot bersih tersebut bisa di lakukan pengoplosan sesuai dengan keadaan pasar daging ayam. Harga yang diterima dari pemasok ke pemotong dalam kondisi apa adanya per kilo gram Rp22.500,- – 23.500,- untuk ayam buras/kampung. Harga yang dikenakan ke rumah makan untuk pelanggan dengan partai besar menggunakan harga kontrak yang tetap (tanpa mempertimbangkan harga di pasar dalam kondisi mahal/murah) seperti dengan rumah makan Lesehan Pak Sholeh, yaitu Rp15.000,-/ ekor untuk ayam pejantan/arab dengan kondisi bersih siap masak, bobot bersihnya antara 5–6 ons. Sedang untuk ayam buras/kampung dalam kondisi bersih siap masak bobot antara 5–6 ons harga yang ditetapkan Rp18.000,- – 20.000,- per ekor. (harga Juli – Agustus 2008). Problem yang paling memberatkan pihak pedagang pemotong adalah keterbatasan pasokan khusus ayam buras/ kampung. Maksimal yang bisa dilayani untuk memenuhi kebutuhan ayam kampung ke pedagang pemotong di desa Tunggul Wulung Tenggulunan hanya satu mobil atau kapasitas 2000 ekor saja, sementara kebutuhan yang harus terpenuhi di desa tersebut mencapai kurang lebih 10.000 ekor. Dari keterbatasan saat permintaan normal atau hari biasa, menjadi semakin kesulitan saat permintaan tinggi di hari raya. Sejarah usaha di daerah sentra mulai dikenalkan di Kabupaten Pasuruan sejak tahun 1977, bersamaan dikenalnya kawasan wisata di pegunungan Tretes Kecamatan Prigen. Munculnya fasilitas wisata seperti perhotelan dan rumah makan. Rumah makan yang mempelopori dan mengenalkan ayam goreng di wilayah Kabupaten Pasuruan adalah Rumah makan “SRI“, dan akhirnya memberi inspirasi munculnya rumah makan lain termasuk rumah makan Pak H. Sholeh yang memberi tambahan sentuhan lebih menampakkan suasana kampung dengan persawahannya atau lebih dikenal dengan istilah “LESEHAN”. Sejak tahun 1977 itulah pak Haji Amin memulai dan sebagai perintis desa sentra dengan menjadi pedagang ayam kampung keliling ke desa-desa, salah satu pelanggan tetapnya adalah rumah makan “SRI”, dari 10 ekor per hari. Seiring dengan terus berkembangnya Kabupaten Pasuruan menuju kota industri dan pariwisata, permintaan daging ayam buras juga meningkat. Maka pada tahun 1986 memulai kerja sama dengan pedagang pengepul dari Kabupaten Blitar. Saat ini kebutuhan ayam Buras/kampung, pejantan dan arab sudah mencapai 5000 ekor per minggu per pedagang pemotong, jadi rata-rata perminggu ayam yang masuk ke Desa Tunggul wulung mencapai kurang lebih 50.000–70.000 ekor.
40
Pedagang pemotong dalam kategori sedang dan kecil ini tidak melakukan persediaan hidup dengan jumlah besar, kecuali berdasarkan pesanan pasti yang sudah terjadwal. Atau melakukan persediaan harian di mana jumlahnya disesuaikan pesanan yang sudah pasti di tambah 25% sebagai antisipasi permintaan mendadak. Maka kelompok pedagang pemotong sedang dan kecil ini tidak biasa memenuhi permintaan jumlah besar dan mendadak. Kerja sama yang dilakukan oleh para pedagang dalam satu wilayah sentra: (1) Pengangkutan ayam dari luar kota seperti dari Kabupaten Blitar. Pedagang pemotong bisa menekan biaya transportasi dengan sistem berkelompok, dengan menggunakan kendaraan berukuran besar, dan pembagiannya berdasarkan jumlah bobot barang yang diangkut dengan kendaraan tersebut menurut jumlah pesanan. (2) Pembagian wilayah dan daerah pemasaran, seperti Rumah makan besar dan super market lebih banyak diisi oleh pedagang pemotong besar dan sedang. Pasar tradisional serta rumah makan/warung kecil dan kaki lima diisi oleh pedagang pemotong kecil. (3) Saling memenuhi jika terjadi kekosongan barang di antara para pedagang pemotong di mana pada saat mendapat pesanan mendadak tetapi persediaan tidak mencukupi. Profil Rumah Makan di Kabupaten Pasuruan Profil rumah makan “SRI”. Sebagai rumah makan pelopor dan perintis yang mempopulerkan ayam goreng sejak tahun 1977 di Kabupaten Pasuruan dan menjadi inspirasi rumah makan yang lain. Karena rumah makan SRI salah satu rumah makan yang masih eksis dan tetap bertahan sampai sekarang hanya menggunakan ayam kampung. Rumah makan “SRI”, beralamat di JL. Dr. Soetomo no. 3–4 Pandaan Pasuruan. Sejarah berdirinya rumah makan “SRI”, bersamaan dengan mulai dikenalnya kawasan wisata di pegunungan Tretes Kecamatan Prigen dan munculnya fasilitas wisata seperti perhotelan dan rumah makan. Rumah makan yang berkembang memberi sentuhan yang berciri khas masing-masing, seperti menampakkan suasana kampung dengan persawahannya, atau lebih dikenal dengan istilah “Lesehan”. Harga dasar per ekor dari pemasok dengan spesifikasi bobot bersih siap masak antara 5–6 ons ditetapkan Rp20.000,- – 25.000,-. Dan harga jual siap saji ke konsumen dengan berbagai jenis resep masakan per ekor Rp41.000,– 45.000,-. Masalah yang dihadapi dalam pengadaan bahan baku yaitu ketersediaan ayam buras/kampung yang sangat terbatas jumlahnya, dan faktor harga dasar per ekor. Karena secara otomatis berdampak pada harga jual ke konsumen. Akhirnya disepakati antara kedua belah pihak melakukan komunikasi sangat terbuka untuk mencari kesepakatan jikalau terjadi kelangkaan bahan baku. Aliran dana dari hilir ke hulu untuk rantai pasok ayam buras dimulai dari aliran dana konsumen melalui rumah makan, mengalir ke koordinator/pemegang kontrak,
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48
diteruskan ke penjual daging ayam/pedagang besar, mengalir ke pengepul lapangan atau koordinator kelompok tani/kemitraan, baru masuk ke petani. Aliran dana ini melalui 4 pelaku yang terlibat dalam aliran perjalanan ayam buras sampai ke rumah makan.
Profil rumah makan lesehan Pak SHOLEH Profil rumah makan Pak Sholeh adalah gambaran profil rumah makan generasi kedua dengan tambahan sentuhan yang menonjolkan suasana desa. Dengan menyediakan ayam goreng/panggang sebagai pilihan faforit utama yang di tawarkan dengan suasana yang lebih santai dan harga terjangkau, Rumah makan Pak Sholeh terus berkembang bahkan sudah buka di 2 cabang Malang dan Probolinggo. Manajemen pengadaan bahan baku untuk memberikan jaminan kelancaran pasokan ayam, yang diterapkan yaitu bekerja sama dengan empat pemasok semuanya ada ikatan kekeluargaan. Masing-masing pemasok diberi jatah sesuai dengan kemampuan untuk menyediakan ayam siap masak setiap harinya. Karena pengadaan dipercayakan sepenuhnya kepada pemasok tersebut, komunikasi tentang rantai pasok ke jenjang di atasnya dipercayakan sepenuhnya kepada pelaku pemasok, bahkan saling menjaga dan membatasi sistem komunikasi jaringan masing-masing. Hal ini dilakukan karena sudah ada jaminan ketersediaan bahan baku dari pemasok, mengontrol harga dan keseimbangan dalam berbagi keuntungan dengan para pemasok termasuk untuk memenuhi di dua cabangnya. Semua pemasok berlokasi di sentra pemotongan ayam Dukuh Tenggulungan, Desa Tunggulwulung Kecamatan Pandaan Pasuruan. Harga dasar per ekor dari pemasok untuk jenis ayam pejantan dengan spesifikasi bobot bersih siap masak antara 4–5 ons (kelompok B) ditetapkan Rp15.000,- (harga kontrak bulan Juli–Agustus 2009). Harga jual siap saji ke konsumen dengan berbagai jenis resep masakan per ekor Rp28.000,-. Masalah yang dihadapi dalam pengadaan bahan baku yaitu ketersediaan ayam buras/kampung yang masih sangat terbatas dan harga dasar per ekor secara otomatis akan berdampak pada harga jual ke konsumen. Akhirnya disepakati bersama antara pemasok dan rumah makan Pak Sholeh dengan menggunakan ayam pejantan, di mana harganya lebih murah antara Rp2.500,- – Rp3.000,per ekor dibandingkan dengan ayam buras/kampung. Ini dilakukan karena jumlah ayam pejantan ada jaminan ketersediaan yang cukup. Untuk membangun komunikasi dengan pihak pemasok sebagai mitra strategis dalam penyediaan bahan baku, Pak Sholeh lebih menekankan pada sikap keterbukaan dan musyawarah untuk menetapkan harga dasar. Yang mana tujuannya agar para pemasok tetap mendapatkan keuntungan memadai. Jikalau sudah terjadi kesepakatan harga, spesifikasi dan jumlah pasokan per hari, baru ditetapkan sistem harga tetap dalam kurun waktu 2–6 bulan. Dengan kepastian harga ini pihak rumah makan menjadikan dasar menetapkan harga ke konsumen dalam kurun waktu tertentu dengan tarif harga yang tetap/stabil.
Imsin: Analisis supply chain management komoditas ayam buras
Konsistensi pengadaan bahan baku berdampak pada konsistensi mempertahankan ukuran/bobot ayam per ekor dan dapat ditetapkan pula harga penjualan per ekor ke konsumen akhir. Profil Rumah Makan Menengah Rumah makan yang dalam kategori menengah dan kecil ini tumbuh dengan sangat pesat setelah tahun 1995, dan terinspirasi oleh rumah makan Pak Sholeh model lesehan dan dilengkapi dengan berbagai tambahan yang ditonjolkan menurut ciri khas masing-masing. Daftar rumah makan yang menyediakan masakan ayam dengan berbagai menu di Kabupaten Pasuruan Tabel 4.
41
rantai pemasaran yang cukup baik dalam lima tahun berturutturut. Populasi, hasil peternakan dari petani lokal yang masuk daerah sentra, masuknya ayam buras dan ayam pengganti dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pasar komoditas ayam buras Kabupaten Pasuruan tahun 2004–2008 , arus barang dalam lima (5) tahun terangkum dalam Gambar 1.
Tabel 4. Daftar rumah makan No
Rumah makan dan alamat
Kebutuhan (ekor)/ HR
1.
RM. Parahayangan, Jl. Melati 12. Pelintahan Pandaan
2.
RM. Cianjur. Jl. Karangjati Pandaan Pasuruan
3.
Mandarin Restaurant. Jl. Tretes 72 Prigen
100
4.
RM. Kartikasari Jl. Bundaran tol Gempol Pasuruan
50
5.
RM. ABADI. Jl. Limas 7 Prigen Pasuruan
100
6.
RM. Canada. Jl. Raya prigen no. 8
7.
RM. Karangjati. Jl. Raya Karangjati no. 7. Pandaan
100
8.
RM. Minang Jaya. Jl. Raya Kasri Pandaan Pasuruan
150
9.
RM. Tengger Jl. Raya Rejoso Pasuruan
10. RM. Sri Kediri Jl. Ngopak Grati Pasuruan 11. RM. Tlogo Tengah Jl. Ngopak Grati Pasuruan
125 50
Gambar 1. Arus barang komoditas ayam buras dalam lima tahun
Arus Uang Jaringan Rantai Pasok Ayam Buras Kabupaten Pasuruan Aliran keuangan dari hilir ke hulu yang dalam lima tahun 2004 dan 2008 didasarkan pada harga komoditas ayam buras per kilo/per ekor, yang dihitung berdasarkan dari daftar harga Gambar 2.
50
75 50 125
12. RM. Gempol Asri Jl. Raya Gempol Km. 37 Pasuruan
75
13. RM. Putri Sunda Jl. Raya Surabaya Pandaan Km 40
75
14. RM. Pring kuning lesehan Jl. Raya Purwosari 36. Pasuruan
50
15. RM. Pak Jaelani Jl. Perempatan Sengon Agung Pasuruan
50
16. RM. BU Anis JL. Raya Warung Dowo 142 Pasuruan
150
17. RM. Berran Jl. Perempatan Berran Pandaan
50
Populasi dan Arus Ayam Buras di Kabupaten Pasuruan Secara umum komoditas hasil pertanian dan peternakan di Kabupaten Pasuruan sampai dengan tahun 2008 menunjukkan pasar yang cukup menggembirakan dan menjanjikan (Dinas pertanian dan ketahanan pangan, 2008). Hal ini ditandai dengan tren komoditas, segmen pasar, struktur pasar dan
Gambar 2. Harga ayam buras dalam lima tahun per kg
Gambar 3. Harga ayam buras dalam lima tahun per ekor
Dari harga yang berdasarkan per kilogram atau per ekor
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48
42
dalam keadaan kotor dapat ditampilkan arus uang yang berdasarkan kelompok jaringan rantai pasok. Berdasarkan arus uang per jaringan rantai pasok dan komposisi pembagian arus uang dalam jaringan terangkum dalam tabel batang pada Gambar 4.
Analisis Break Even Point (BEP) Budi daya Analisis break even point merupakan suatu teknik analisis untuk mempelajari hubungan antara penjualan, biaya opeasional dan laba. Tujuan analisis BEP untuk memungkinkan suatu jenis usaha untuk menentukan tingkat operasi yang harus dilakukan agar semua beban biaya dapat ditutup dengan penghasilan yang didapatkan (titk impas) dan untuk mengevaluasi tingkat-tingkat penjualan tertentu dalam hubungannya dengan tingkat keuntungan. Rp.206.239,9 Rp.15.750 – Rp. 12.049 Rp.206.239,9 Rp.3.701 BEP = 55,72 ekor
Gambar 4. Komposisi pembagian arus uang jaringan rantai pasok ayam buras dalam lima tahun
BEP Grafis untuk Komoditas Ayam Kampung/buras
Aliran dan komposisi selisih keuntungan tersusun pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi pembagian arus kas ayam buras/ kampung No
Unsur komposisi
1
Harga pokok operasional
2 3
Nilai (rupiah) Persentase 14.836,-
36,18
Selisih petani peternak
3.164,-
7,71
Selisih pedagang pengepul
1.500,-
3,65
4
Selisih Pedagang besar/ pemotong
1.500,-
3,65
Gambar 5. Grafis BEP komoditas ayam buras
5
Selisih rumah makan
15.900,-
38,78
6
Pajak
7
Jumlah total
Angka BEP 55,7 ekor, Jika peternak menginginkan keuntungan harus membudidayakan dalam satu siklus lebih dari 57 ekor. Realitas di lapangan bahwa peternak ayam kampung sangat jarang terjadi.
4.100,45.000,-
10 99,97
Analisis Arus Kas Aliran dana dan modal usaha Aliran dan komposisi pembagian arus kas/selisih keuntungan tersusun pada tabel sebagai berikut: Tabel 6. Komposisi pembagian arus kas ayam buras/ kampung No
Unsur komposisi
1
Harga pokok operasional
2 3 4
Selisih Pedagang besar/pemotong
5
Selisih rumah makan
6
Pajak
7
Jumlah total
Nilai rupiah Persentase 14.836,-
36,18
Selisih petani peternak
3.164,-
7,71
Selisih pedagang pengepul
1.500,-
3,65
1.500,-
3,65
15.900,-
38,78
4.100,41.000,-
10 99,97
Analisis Keuangan dan Modal Usaha Dalam penyusunan laporan keuangan yang diintisarikan dari keterangan beberapa kelompok tani di Kabupaten Blitar, yang merupakan pemasok terbesar kebuhan ayam kampung di Kabupaten Pasuruan yang mencapai 80%. Komposisi keuangan untuk budi daya dan penerimaan petani terangkum dalam Tabel 7. Analisis keuangan budi daya ayam buras/kampung untuk kapasitas per 1000 ekor, dengan pola intensif serta beban bunga budi daya 18% per tahun, dapat disimpulkan bahwa arus pengembalian modal pokok dan bunga dilunasi pada tahun kedua siklus ke-8, dengan total keuntungan Rp19.168.760,-, apabila keuntungan tersebut untuk modal tahun ketiga, petani sudah mampu beternak mandiri dengan kapasitas yang sama, pada akhir tahun ketiga keuntungan mencapai Rp20.520.290,-. Keuntungan dapat ditingkatkan apabila beban bunga lebih rendah.beban bunga yang hanya 1% per bulan atau
Imsin: Analisis supply chain management komoditas ayam buras
43
Tabel 7. Laporan Laba/rugi ayam buras/kampung Tahun II
Tahun III
Pendapatan penjualan
Keterangan
69.330.770,-
Tahun I
70.945.460,-
71.327.650,-
Harga pokok
(46.471.300,-)
(47.111.750,-)
(47.382.400,-)
Laba kotor
22.860.470,-
23.833.710,-
23.945.000,-
Biaya air dan listrik
Biaya tenaga kerja
2.100.000,-
2.400.000,-
2.400.000,-
Biaya penyusutan
824.959,- +
824.960,- +
824.959,- +
( 3.462.107,-)
( 3.844.960,-)
( 3.844.960,-)
Laba operasional
19.398.360,-
19.988.750,-
20.100.290,-
Pendapatan lain
480.000,- +
480.000,- +
480.000,- +
19.878.360,-
20.468.750,-
20.520.290,-
Biaya angsuran dan beban bunga
(10.589.350,-)
(10.589350,-)
Pendapatan bersih
9.289.010,-
9.879.750,-
Biaya operasional 537.148,-
620.000,-
620.000,-
20.520.290,-
12% per tahun, keuntungan yang didapat dengan pola dan waktu yang sama bisa mencapai Rp40.602.550,- . Peramalan Peramalan dilakukan terhadap jumlah populasi, penyediaan dan distribusi dari populasi ke daerah sentra, penyediaan dan distribusi dari luar kota sebagai jaringan, harga per ekor/kilogram, Kebutuhan ayam buras dalam setahun bersifat musiman, artinya fluktuasi kebutuhan ayam dalam 12 periode akan berulang lagi pada tahun berikutnya. Teknik peramalan dipilih menggunakan metode Winter karena dalam analisis ini mengakomodasi unsur musiman. Berikut hasil-hasil analisis yang berkaitan dengan peramalan yang mengacu pada kejadian tahun 2004–2008 untuk peramalan tahun 2009–2013 tersajikan dalam Gambar 6,7,8 dan 9.
Gambar 6. Hasil peramalan kebutuhan ayam (ribu ekor)
Gambar 7. Hasil peramalan populasi ayam (ribu ekor)
Gambar 8. Hasil peramalan pasokan ayam dari Populasi (ribu ekor)
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48
44
Tabel 9. Total biaya usaha ternak buras (Rp) Tahun I II III
Siklus ke-1 Siklus ke-2 Siklus ke-3 Siklus ke-4 11.447.314 11.790.750 13.736.750 12.820.100 11.776.250 12.129.550 14.131.500 13.189.400 11.776.250 12.129.550 14.131.500 13.189.400
Tabel 10. Total kebutuhan ayam buras hasil peramalan (ribu ekor) Tahun Gambar 9. Hasil Peramalan Pasokan Ayam Dari Luar kota (ribu ekor)
Optimasi dengan Linier Programming Optimasi jumlah ternak yang direkomendasikan pada setiap siklus untuk 3 tahun ke depan didasarkan pada hasil perhitungan linier programming (LP). LP ini bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dari usaha ternak dengan dibatasi oleh beberapa fungsi kendala seperti modal usaha ternak, luas lahan ternak, tingkat kebutuhan ayam buras, dan hasil peramalan produksi minimal yang bisa dipasok dari peternak lokal Kabupaten Pasuruan. Berikut ini adalah tingkat keuntungan dari usaha ternak pada setiap siklus selama 3 tahun ke depan (mengacu hasil budi daya dalam tiga tahun oleh petani peternak yang tergabung dalam kelompok tani jaringan rantai pasok untuk daerah sentra).
Siklus ke-2
Siklus ke-3
Siklus ke-4
Total
933.70 1127.64 1321.58
833.16 1027.10 1221.04
1758.17 1952.11 2146.05
1183.41 1377.35 1571.29
4708.44 5484.20 6259.96
Keterangan: Tahun I = 2009; tahun II = 2010; tahun III = 2011
Tabel 11. Total populasi ayam buras hasil peramalan (ribu ekor) Tahun
Siklus ke-1
Siklus ke-2
Siklus ke-3
Siklus ke-4
Total
I II III
251.00 358.48 465.97
260.90 368.39 475.87
523.66 631.14 738.62
343.94 451.43 558.91
1.379.51 1.809.44 2.239.36
Keterangan: Tahun I = 2009; tahun II = 2010; tahun III = 2011
Tabel 12. Total pasokan ke sentra ayam buras hasil peramalan (ribu ekor)
Tabel 8. Keuntungan Usaha Ternak Buras (Rp) Tahun
I II III
Siklus ke-1
Siklus ke-1 Siklus ke-2 Siklus ke-3 Siklus ke-4
I
2.056.750
2.118.450
2.468.100
2.303.560
II
2.084.000
2.146.520
2.500.800
2.334.050
III
4.731.250
4.873.200
5.677.500
5.299.000
Tahun
Siklus ke-1
Siklus ke-2
Siklus ke-3
Siklus ke-4
Total
I II III
102.73 146.71 190.69
104.94 148.93 192.91
210.30 254.28 298.26
138.61 182.60 226.58
556.58 732.51 908.44
Keterangan: Tahun I = 2009; tahun II = 2010; tahun III = 2011
Linier Programming (LP) Tahun Pertama Tabel 13. Matriks LP optimasi jumlah ayam buras tahun pertama Fungsi tujuan Zmax Fungsi kendala modal usaha ternak Luas lahan Kebutuhan Ketersediaan dari sentra siklus ke-1 Ketersediaan dari sentra siklus ke-2 Ketersediaan dari sentra siklus ke-3 Ketersediaan dari sentra siklus ke-4 K���������� eterangan: X1 = jumlah ayam di siklus I (ribu ekor) X2 = jumlah ayam di siklus II (ribu ekor) X3 = jumlah ayam di siklus III (ribu ekor) X4 = jumlah ayam di siklus IV (ribu ekor�)
X1
X2
X3
X4
2,057 11,447 50 1 1 0 0 0
2,119 11,791 50 1 0 1 0 0
2,468 13,737 50 1 0 0 1 0
2,304 12,820 50 1 0 0 0 1
RHS
10.000 50.000 4708.44 102,73 104,94 210,30 138,61
Imsin: Analisis supply chain management komoditas ayam buras
Analisis LP dimodelkan pada setiap tahun secara terpisah. Luas lahan dibutuhkan pada setiap 1000 ekor ayam buras adalah 50 m2 sedangkan lahan yang tersedia dari anggota jaringan yang tergabung dalam tiga kelompok tani kurang lebih adalah 50.000 m2 pada berbagi wilayah. Jumlah petani peternak ayam buras potensial yang diperkirakan akan mencapai 100 orang. Bantuan dana yang bisa dipinjamkan kepada pihak peternak ayam buras untuk 3 tahun dari pihak perbankan adalah 10 miliar untuk tahun pertama, 15 miliar di tahun kedua dan 20 miliar di tahun ketiga. Berikut hasil analisis LP pada setiap tahun perencanaan. Hasil perhitungan LP pada tahun pertama, merekomendasikan untuk jumlah ternak sebanyak 102,73 ribu ekor ternak pada siklus pertama, 104,94 ribu ekor ternak pada siklus kedua, 422,925 ribu ekor pada siklus ketiga dan siklus keempat sebanyak 138,61 ribu ekor, sehingga total ayam buras pada tahun pertama adalah Tabel 14. Hasil Optimasi Jumlah Ayam Buras Tahun Pertama Fungsi Tujuan
X1
X2
X3
X4
Zmax
2,057
2,119
2,468
2,304
Hasil Optimasi
102,73
104,94
422,925
138,61
Zmax = 1.839,113 Total ayam buras = 769,205
45
Tabel 16. Hasil optimasi jumlah ayam buras tahun kedua Fungsi tujuan
X1
X2
X3
X4
Zmax
2,084
2,147
2,501
2,334
Hasil Optimasi
146,71
148,93
521,76
182,6
Zmax = 2.356,61 Total ayam buras = 1000,0
769,205 ribu ekor. Hasil perhitungan forcasting dengan metode Winter memperkirakan bahwa kebutuhan ayam buras di tahun pertama akan mencapai 4.708 ribu ekor, sehingga berdasarkan optimasi ini pemenuhan kebutuhan baru mencapai 16,34%. Linier Programming (LP) Tahun Kedua Hasil perhitungan LP pada tahun kedua, merekomendasikan untuk jumlah ternak sebanyak 146,71 ribu ekor ternak pada siklus pertama, 148,93 ribu ekor ternak pada siklus kedua, 521,76 ribu ekor pada siklus ketiga dan siklus keempat sebanyak 182,61 ribu ekor, sehingga total ayam buras pada tahun kedua adalah 1000,0 ribu ekor. Hasil perhitungan forcasting dengan metode Winter memperkirakan bahwa keutuhan ayam buras di tahun kedua akan mencapai 5.484,2 ribu ekor, sehingga berdasarkan optimasi ini pemenuhan kebutuhan baru mencapai 18,23%.
Tabel 15. Matriks LP optimasi jumlah ayam buras tahun kedua X1
X2
X3
X4
Zmax
Fungsi tujuan
2,084
2,147
2,501
2,334
Fungsi KendalaModal usaha ternak
11,776
12,130
14,132
13,189
Luas Lahan
50
50
50
Kebutuhan
1
1
1
Ketersediaan populasi siklus ke-1
1
0
0
Ketersediaan populasi siklus ke-1
0
1
0
RHS ≤
15.000
50
≤
50.000
1
≤
5484,2
0
≥
146,71
0
≥
148,93
Ketersediaan populasi siklus ke-1
0
0
1
0
≥
254,28
Ketersediaan populasi siklus ke-1
0
0
0
1
≥
182,60
X2
X3
X4
Tabel 17. Matriks LP optimasi jumlah ayam buras tahun ketiga Fungsi tujuan
X1
RHS
Zmax
4,731
4,873
5,678
5,299
Fungsi Kendala Modal Usaha Ternak
11,776
12,130
14,132
13,189
≤
50.000
20.000
Luas Lahan
50
50
50
50
≤
Kebutuhan
1
1
1
1
≤
6259,96
Ketersediaan populasi siklus ke-1
1
0
0
0
≥
190,69
Ketersediaan populasi siklus ke-1
0
1
0
0
≥
192,91 298,26 226,58
Ketersediaan populasi siklus ke-1
0
0
1
0
≥
Ketersediaan populasi siklus ke-1
0
0
0
1
≥
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48
46
Linier Programming (LP)Tahun Ketiga Hasil perhitungan LP pada tahun ketiga, merekomendasikan untuk jumlah ternak sebanyak 190,69 ribu ekor ternak pada siklus pertama, 192,91 ribu ekor ternak pada siklus kedua, 389,92 ribu ekor pada siklus ketiga dan siklus keempat sebanyak 226,58 ribu ekor, sehingga total ayam buras pada tahun ketiga adalah 1000,10 ribu ekor. Hasil perhitungan forcasting dengan metode Winter memperkirakan bahwa keutuhan ayam buras di tahun ketiga akan mencapai 6.259,96 ribu ekor, sehingga berdasarkan optimasi ini pemenuhan kebutuhan baru mencapai 15,98%.
komoditas ayam buras/kampung diseyogiakan untuk mengimplementasikan strategi pertumbuhan. Secara fisual dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10 tersebut di atas dapat diketahui, untuk komoditas ayam buras/kampung menunjukkan sebagai komoditas unit bisnis strategis (UBS) yang berada pada posisi kuadran I yang seyogianya menerapkan strategi pertumbuhan, sesuai dengan kekuatan yang dimiliki oleh komoditas ayam kampung tersebut dan besarnya peluang bisnis yang masih tersedia. Dengan demikian komoditas ayam buras/kampung sangat patut dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan bersaing untuk semaksimal mungkin.
Tabel 18. Hasil optimasi jumlah ayam buras tahun ketiga
Analisis Diagram Ishikawa (Diagram Tulang Ikan) Keunggulan kompetitif dapat terwujud melalui keunggulan nilai dan keunggulan produktivitas. Keunggulan nilai dapat dicapai melalui karakter produk bernilai tinggi yang diinginkan konsumen. Indikator dominan nilai pada komoditas ayam buras adalah pada cita rasa yang khas, fanatisme konsumen, nilai yang lebih mahal dan sebagai komoditas asli dalam negeri. Beberapa keunggulan dan kelebihan ayam buras tidak seiring dengan produktivitas yang bisa menyediakan kebutuhan dengan cukup. Diagram Ishikawa merupakan diagram yang digunakan
Fungsi tujuan
X1
X2
X3
X4
Zmax
4,731
4,873
5,678
5,299
Hasil Optimasi
190.69
192.91
389.92
226.58
Zmax = 5.256,25 Total ayam buras = 1000,1
Hasil optimasi dalam tiga tahun yang mencapai 16,34%, 18,23% dan 15,98% memberi gambaran bahwa jika tidak ada upaya penambahan jumlah populasi yang disertai penambahan modal dari lembaga keuangan, lokasi pengembangan dan penambahan jumlah petani, akan terjadi kekurangan pasokan untuk memenuhi industri kuliner di Kabupaten Pasuruan. Analisis SWOT SWOT-4K (4 kuadran) dengan pendekatan kuantitatif yang selisih nilai tertimbang untuk komoditas ayam buras/ kampung. Karena kedua selisih nilai tertimbang adalah positif, yakni 1,65 dan 1,35, maka rantai pasok untuk
Gambar 11. Keunggulan kompetitif ayam buras/kampung
Gambar 12. Masalah budidaya ayam buras/kampung
Gambar 10. Posisi komoditas ayam buras/kampung berdasarkan selisih nilai tertimbang dalam Matrik SWOT-4K
Gambar 13. Produk pesaing/barang pengganti
Imsin: Analisis supply chain management komoditas ayam buras
Gambar 14. Permasalahan koordinasi dan komunikasi budi daya
untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab suatu permasalahan. Dari temuan di lapangan teridentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada komoditas ayam buras/ kampung dan pemetaan permasalahan tersaji lebih terinci pada Gambar 11, 12, 13 dan 14.
47
menyediakan modal usaha dengan bunga ringan, melindungi dan menjembatani petani kecil dengan pihak peternak besar dalam alih teknologi, sehingga dapat dijadikan alternatif lapangan pekerjaan dengan sistem industri yang berbasis usaha masyarakat menengah ke bawah. Menghadapi tantangan pelaku usaha besar, sepatutnya dirubah menjadi “sebuah peluang” untuk kerja sama menyediakan bibit (DOC), pakan dan obat. Dalam berbudi daya seharusnya sudah memperhitungkan nilai dan angka ekonomi yang menutupi seluruh biaya (BEP), menekan tingkat kematian di bawah 5%, serta melakukan improfisasi jenis makanan yang menggunakan potensi lokal agar menekan biaya dan memiliki daya saing Perlu penelitian lanjutan tentang formulasi berbudi daya yang ekonomis agar meningkatkan daya saing dan menekan harga, Tingkat pengetahuan dan fanatisme konsumen tentang daging ayam buras dan pesaingnya serta sejauh mana ayam pejantan menjadi penekan keberadaan ayam buras/kampung.
simpulan dan saran
Simpulan Supply chain management komoditas ayam buras di Kabupaten Pasuruan untuk aliran barang masih sangat terbatas, yaitu adanya kesenjangan antara jumlah populasi, kebutuhan dan pasokan dari luar kota. (rata-rata kekurangan pasokan di atas 70%) per tahun, aliran pembagian uang yang kurang proporsional dan aliran informasi yang tidak merata. Di samping itu, Jaringan SCM belum terbangun dengan baik, tidak ada koordinasi hulu sampai hilir, pelaku rantai pasok hanya berkomunikasi dalam satu jenjang, kondisi di hulu/peternak menghadapi permasalahan keterbatasan bibit, modal, sistem beternak tradisional, sistem beternak di bawah angka BEP dan pembagian keuntungan yang belum mencerminkan rantai jaringan yang saling membutuhkan. Untuk menutupi kekurangan pasokan tersebut dipenuhi dengan barang substitusi (ayam pejantan) dari luar kota Pasuruan. Hasil perhitungan forcasting dengan metode Winter memperkirakan kebutuhan ayam buras di tahun pertama akan mencapai 4.708.000 ekor, tahun kedua 5.484,200. ekor, dan di tahun ketiga 6.259,960 ekor, sedangkan hasil optimasi pemenuhan kebutuhan baru mencapai 16,34%. untuk tahun pertama, mencapai 18,23% untuk tahun kedua serta mencapai 15,98% pada tahun ketiga, yakni akan terjadi kekurangan pasokan ayam buras/kampung dalam tiga tahun ke depan untuk memenuhi kebutuhan industri kuliner di Kabupaten Pasuruan. Saran Peluang pasar ayam buras untuk industri kuliner di Kabupaten Pasuruan yang masih sangat menjanjikan, perlu penerapan SCM yang terbuka, adil dan tidak tersekat-sekat, sehingga seluruh jaringan hulu sampai hilir bisa berperan maksimal dan ikut menentukan pembagian margin yang lebih proporsional. Perlunya keterlibatan pihak pemerintah
daftar pustaka
1. Pujawan I, Supply Chain Management. Cetakan Pertama. Surabaya; Guna Widya. 2005. 2. Arief Daryanto, 2007. 3. Rahmat R, Ayam Buras (Intensifikasi dan Kiat Pengembangan). Edisi Kelima. Jogjakarta; Kanisius. 2003. 4. Kotler P, dan Kotler K, Manajemen Pemasaran. Edisi Keduabelas. Jakarta; PT Macanan Jaya Cemerlang. 2007. 5. Dinas Peternakan Prov. Jatim, 2008. 6. Eko Indrajid, 2008. 7. Departemen Pendidikan Nasional. Dirjen Dikti. 1981. Metodologi Penelitian. 8. Matz A, Milton F. Usry, dan Lawrence H. Hammer, Akuntansi Biaya (Perencanaan dan Pengendalian). Jakarta; Erlangga. 1992. 9. Milles B, dan Huberman AM, Analisis Data Kualitatif, Cetakan Pertama. Jakarta; UI Press. 1992. 10. Sevilla CG, dkk., Pengantar Metode Penelitian. Edisi Pertama. Jakarta; UI Press. 1993. 11. Muhammad S, Manajemen Strategik. Edisi kedua. Jogjakarta; Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen. 1994. 12. Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian. Cetakan Keempat. LP3ES Jakarta, 1995. 13. Soekartawi, Analisis Usaha Tani. Cetakan Pertama. Jakarta; UI Press, 1995. 14. Juran JM, Merancang Mutu. Edisi Pertama. Jakarta; PT Pustaka Binaman Presindo, 1996. 15. Cakraatmadja JH, Manajemen Teknologi. Edisi Pertama. Bandung; PT Rosda. 1997. 16. Halim A, Dasar-dasar Akuntansi Biaya. Edisi Keempat. Yogyakarta; BPFE-Yogyakarta, 1999. 17. Robbins SP, Perilaku Organisasi. Edisi Kelima. Jakarta; Gelora Aksara, 1999. 18. Sudjana, Statistik Deskriptif untuk Ekonomi dan Niaga. Cetakan Kelima. Bandung; Tarsito, 1999. 19. Syamsudin L, Manajemen Keuangan Perusahaan, Model Kerja dan Kapital Budgeting. Cetakan Keempat. Yogyakarta; PT Hanindita Graha Widya. 1999. 20. Hani H, Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Ketigabelas. Jogjakarta; BPFE. 2000. 21. Basu S, Pengantar Bisnis Modern. Edisi Kesepuluh. Jogjakarta; Liberty. 2002. 22. Soekartawi, Agroindustri dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Cetakan Pertama. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2000.
48 23. Subagyo P, Manajemen Operasi. Edisi Pertama. BPFE Jogjakarta. 2000. 24. Said GE, dan Harizt Intan. Manajemen Agrobisnis. Edisi Kedua. Ghalia Indonesia. 2001. 25. Triharyanto B, Beternak Ayam Arab. Edisi Keenam. Jogjakarta; Kanisius. 2001. 26. Yamit Y, Manajemen Produksi dan Operasi. Cetakan kedua. Jogjakarta; CV Adipura. 2002. 27 . Al-Bary MD, Kamus Induk Istilah Ilmiah. Cetakan Pertama. Surabaya; Target Press. 2003. 28. Ariani DW, Manajemen Kualitas. Edisi Pertama. Jakarta; Ghalia Indonesia. 2003. 29. Bambang M, Tujuh Langkah Beternak Ayam Buras. Edisi Pertama. Arkola Surabaya. 2003. 30. Jusuf A, Dasar-dasar Akuntansi. Cetakan Ketiga. YKPN Jogjakarta. 2003. 31. Murtijo AB, Pemotongan dan Penanganan Daging Ayam. Edisi Kelima. Jogjakarta; Kanisius. 2003. 32. Thoha M, Perilaku Organisasi. Cetakan Keempatbelas. Jakarta; Fajar Offset. 2003. 33. Furqon, Statistika Terapan untuk Penelitian. Cetakan Kelima. Bandung; Alfabeta. 2004. 34. Nurgiantoro N, Statistik Terapan. Cetakan Ketiga. Jogjakarta; UGM Press. 2004. 35 . Damiri J, Manajemen Pembelian, Penerimaan, dan Penyimpanan. Cetakan Pertama. Graha Ilmu Yogyakarta. 2005. 36. Sayafa’aat N, dkk., Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional. Cetakan Pertama. Jogjakarta; Lapera Pustaka Utama. 2005. 37. Indrajit RE, dan Pranoto J, Strategi Manajemen Pembelian dan SCM. Edisi Pertama. Jakarta; PT Grasindo. 2005. 38. Priatna D, dan Rony Setiawan, Pengantar Statistik. Cetakan pertama. Yogyakarta; Graha Ilmu. 2005. 39. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Ed.). Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2005/2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan. Pasuruan. 2006.
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 35–48 40. Sabarguna BS, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif. Edisi Pertama. Jakarta; UI Press. 2005. 41. Sayafa’aat N, dkk., Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional. Cetakan Pertama. Jogjakarta; Lapera Pustaka Utama. 2005. 42. Soekartawi. Agrobisbisnis. Cetakan Kedua. Jakarta; Raja Grafindo Persada. 2005. 43. Tahir H, Sistem Manajemen HACCP. Edisi Pertama. Sinar Grafika Offset. 2005. 44. Nursakbani P, Manajemen Kualitas. Edisi pertama. Jogjakarta: Ekonisia. 2006. 45. Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Ed.). Kabupaten Pasuruan dalam Angka 2005/2006. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan. Pasuruan. 2006. 46. Soetriono, Daya Saing Pertanian dalam Tinjauan Analisis. Cetakan Pertama. Malang; Bayumedia Publishing. 2006. 47. Usman H, dan Setiadi Akbar P, Metodologi Penelitian Sosial. Edisi Keenam. Jakarta; Bumi Aksara. 2006. 48. Prawirosentono S, Manajemen Operasi. Edisi Pertama. Jakarta; PT Bumi Aksara. 2007. 49. Alamsyah Y, Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional. Jakarta; PT Elex Media Komputindo. 2008. 50. Boediono, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 1 Ekonomi Mikro. Cetakan keduapuluh empat. Yogyakarta; BPFE-Yogyakarta. 2008. 51. Dudung AM, Memelihara Ayam Kampung Sistem Baterei. Edisi Ketujuhbelas. Jogjakarta; Kanisius. 2008. 52. Lina A, dan Ellitan L, Supply Chain Management. Cetakan Kesatu. Alfabeta Bandung. 2008. 53. Prianto A, Ekonomi Mikro. Cetakan Pertama. Malang; Stara Press. 2008. 54. Rangkuti F, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. 55. Tim Penyuluh Pertanian. 2008/2009. Program Penyuluhan Pertanian Kabupaten Pasuruan. Penda Kab. Pasuruan, Kantor Ketahanan Pangan. Pasuruan.
49
Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Keefektifan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Sampang (The Influence of Emotional Intelligence toward Headmasters’ Leadership Efficacy at State Elementary Schools in Sampang Regency) M. Amirusi STKIP PGRI Sampang abstrak
Tujuan penelitian ini: (1) mengetahui tingkat kecerdasan emosional dan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang, (2) menganalisis seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) secara parsial terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang, (3) menganalisis seberapa besar pengaruh kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) secara simultan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan berjenis penelitian korelasional. Analisis menggunakan uji statistik deskriptif dan statistik inferensial dengan analisis regresi sederhana dan analisis regresi ganda. Hasil analisis menunjukkan: (1) tingkat kecerdasan emosional dan tingkat keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang rata-rata berkategori tinggi, (2) kesadaran diri dan pengaturan diri secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah; (3) motivasi, empati, dan keterampilan sosial secara parsial berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah; dan (4) kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial secara simultan berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan koefisien korelasi bersama (R) sebesar 0,729 dan koefisien determinasi atau R Square (R2) sebesar 53,2%.
Kata kunci: kecerdasan emosional, keefektifan, kepemimpinan, kepala sekolah abstract
The aim of this research were (1) to find out the level of emotional intelligence and headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools in Sampang regency; (2) to analyze how big the influence of emotional intelligence (self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skill) partialously toward headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools in Sampang regency; and (3) to analyze how big the influence of emotional intelligence (self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skill) toward the headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools in Sampang regency simultaneously. This research employed a quantitative descriptive approach which type of correlational research. Analysis uses descriptive statistic and inferential statistic testing with simple regression analysis and double (multiple) regression analysis. Result of analysis show that (1) the level of emotional intelligence and headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools in Sampang regency is in the high category, (2) self-awareness and self-regulation partialously does not significantly affect headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools; (3) motivation, empathy, and social skill partialously significantly affects headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools; and (4) self-awareness, self-regulation, motivation, empathy, and social skill simultaneously significantly affects headmasters’ leadership efficacy at state elementary schools in Sampang regency with correlation coefficient (R) of 0.729 with determination correlation or R Square (R2) is 53.2%.
Key words: emotional intelligence, efficacy, leadership, headmaster.
pendahuluan
Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 dinyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti di atas maka perlu adanya guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan yang profesional. Sejalan dengan era desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 49–56
50
daerah diharapkan mampu meningkatkan mutu sekolah di daerahnya. Dengan demikian peranan kepala sekolah sangat berpengaruh dalam mengenali kebutuhan dan kemampuan yang ada dalam sekolah. Dalam keadaan inilah kerangka school-based management atau manajemen berbasis sekolah (MBS) tampil sebagai paradigma baru manajemen dan pembangunan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah. Malen, Ogawa dan Kranz (dalam Abu-Duhou 3 ) mengemukakan tentang manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai berikut: Manajemen berbasis sekolah (MBS) secara konseptual dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya peningkatan dapat didorong dan ditopang. Dengan demikian, kepala sekolah akan berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik serta mampu melaksanakan peranan sekolah sebagai seorang yang bertanggung jawab untuk memimpin sekolah. Kepala sekolah haruslah memahami dan menguasai peranan organisasi dan hubungan kerja sama antara individu yang ada dalam lingkup sekolah yang ujungnya untuk keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuannya. Di sinilah peran kepala sekolah sebagai leader (pemimpin) harus membuktikan kepemimpinannya. Menurut Kaluge4 kepala sekolah sebagai pemimpin mempunyai tugas yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sekolah (lembaga) yaitu membantu guru dalam mengembangkan daya kesanggupannya, dapat menciptakan iklim organisasi lembaga yang sangat menyenangkan, dan mendorong guru, siswa, serta orang tua siswa agar dapat menyatukan tekad dan kehendak untuk bertindak dalam kegiatan-kegiatan bersama secara efektif demi tercapainya maksud-maksud sekolah (lembaga). Mengelola organisasi berarti mengelola sumber daya manusianya, karena diperlukan sekali prinsipprinsip ataupun teori-teori, baik mengenai manajemen (management) maupun kepemimpinan (leadership). Untuk dapat memahami prinsip ataupun teori mengenai manajemen dan kepemimpinan diperlukan Kecerdasan Intelektual (Inteligence Quotient). Sedang mengelola sebuah organisasi sama juga seperti mengelola kehidupan para anggotanya beserta kegiatannya yang tentunya tidak pernah lepas dari adanya masalah akibat dari adanya kedinamisan yang selalu terjadi di dalam setiap organisasi, apalagi sifat manusia selalu berkaitan dengan emosi. Di sinilah dibutuhkan kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) atau Emotional Quotient (EQ) pemimpin agar menghasilkan kepemimpinan yang efektif dan berhasil. Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah harus menghadirkan nilai-nilai spiritual karena pada dasarnya
nilai-nilai spiritual merupakan pendorong (spirit) yang utama dalam setiap aktivitas. Hal tersebut sebagai wahana pengontrol dan penyeimbang terhadap jalannya kepemimpinan di sekolah. Dengan kata lain sangat diperlukan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Jadi, kepala sekolah sebagai leader di sekolah harus memiliki kecerdasan yang komprehensif, minimal tiga kecerdasan paling populer yaitu: IQ,EQ,dan SQ yang saling bersinergis. Secara analitis, Goleman1 mengemukakan bahwa aspekaspek kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI) meliputi hal-hal sebagai berikut: Kesadaran diri (self awareness): Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengaturan diri (self regulation): Menangani emosi kita sedemikian berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan. Motivasi ( motivation ): Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Empati ( empathy ): Merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Keterampilan sosial (social skill): Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk memengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Sedangkan definisi kepemimpinan kepala sekolah adalah cara atau usaha kepala sekolah dalam memengaruhi, mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan guru, staf, siswa, orang tua siswa, dan pihak yang terkait untuk bekerja/berperan serta, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.2 Mantja18 mengemukakan bahwa sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah harus: (1) membina kerja sama yang harmonis dengan stafnya; (2) membantu para guru untuk memahami
Amirusi: Pengaruh kecerdasan emosional terhadap keefektifan kepemimpinan
kurikulum yang berlaku dan menjabarkannya lebih rinci; (3) membina hubungan yang baik antara sekolah dan masyarakat; dan (4) menyelenggarakan pendidikan dan membina staf sekolah. Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, khususnya pada poin B tentang kompetensi Kepala Sekolah/Madrah, baik mencakup: aspek kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial yang meliputi 33 kompetensi. Beberapa kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah tersebut dapat disederhanakan menjadi: 1. Menyusun perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan 2. Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional 3. Menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik 4. Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal 5. Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah. Kaitannya dengan EQ dalam kepemimpinan, menurut Goleman, et al,9 Kecerdasan Emosional menyumbang 80–90% pada kompetensi-kompetensi yang membedakan pemimpin menonjol dengan pemimpin biasa. Goleman (dalam Ngermanto7, Darwis16) dan Dryden dan Vos (dalam Darwis16) mengemukakan temuannya bahwa peran IQ sedikit sekali dalam menunjang kesuksesan seseorang yakni 20%. Sedangkan 80% disebabkan faktor lain di antaranya kecerdasan emosional atau EQ yang berperan dalam kesuksesan pribadi maupun karier. Yoenanto8 menyatakan hasil penelitiannya bahwa kecerdasan emosi memberikan sumbangan 36,1% terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah, sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Hal yang hampir sama dikemukakan Sugiyanto17 yang menyatakan kecerdasan emosional memberikan kontribusi sebesar 33,0% terhadap keberhasilan sekolah.
51
Jadi, peran kepala sekolah cukup strategis dan signifikan sebagai leader pendidikan dalam rangka mewujudkan keefektifan sekolah sebagai mana dipaparkan di atas, maka diharapkan kepala sekolah memiliki Kecerdasan Emosional yang mencukupi di samping juga IQ dan SQ. Pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional akan dapat menghasilkan kepemimpinan yang efektif, begitu juga sebaliknya. Hal ini sebagaimana disampaikan Goleman (dalam Dubrin10) bahwa: Para pemimpin yang paling efektif memiliki kesamaan dalam satu hal: mereka punya kecerdasan emosional yang tinggi. Kecerdasan umum (IQ) dan keahlian teknis adalah hal penting, menjadi persyaratan dasar bagi keberhasilan eksekutif. Tetapi, tanpa kesadaran emosional yang tinggi, seseorang tidak akan menjadi pemimpin yang efektif. Pemimpin yang menonjol memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Kaitannya dengan kecerdasan emosional tersebut akan semakin relevan dan urgen mengingat penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sampang, salah satu kabupaten di Madura tempat banyak muncul pernyataan-pernyataan stereotype mengenai orang Madura. Stereotype ini meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam, dan suka melakukan tindakan kekerasan.13 Dengan demikian akan sangat menarik untuk mengkaji dan meneliti lebih mendalam tentang pengaruh kesadaran diri (self awareness), pengaturan diri (self regulation), motivasi (motivation), empati (emphaty), dan keterampilan sosial (social skill) sebagai faktor dari Kecerdasan Emosional terhadap Keefektifan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Sampang.
materi dan metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan jenis penelitiannya adalah penelitian korelasional (correlation research). Dalam desain
Gambar 1. Model desain penelitian tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah (desain awal penelitian).
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 49–56
52
penelitian ini variabel bebas (X) adalah Kecerdasan Emosional (EQ) dan variabel terikat (Y) adalah Keefektifan Kepemimpinan Kepala Sekolah. Mengingat Kecerdasan Emosional (X) masih mencakup sub-sub variabel atau kompetensi-kompetensi yaitu: Kesadaran Diri (X 1), Pengaturan Diri (X2), Motivasi (X3), Empati (X4), dan Keterampilan Sosial (X5). Adapun desain penelitian ini terlihat pada Gambar 1. Populasi dalam penelitian ini adalah semua Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Sampang yang tersebar pada 14 kecamatan dengan jumlah keseluruhan 559 kepala sekolah. Sedangkan teknik pengambilan sampel adalah area proporsional random sampling dengan besar 25% sehingga diperoleh sampel 41 orang kepala sekolah. Hal tersebut sebagaimana pendapat Arikunto12 yang menyatakan bahwa ”Jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10–15% atau 20–25%, bahkan lebih tergantung setidak-tidaknya (a) kemampuan peneliti dari segi waktu, tenaga dan dana, (b) sempit luasnya wilayah pengamatan dan (c) besar kecilnya risiko yang ditanggung peneliti...”. Hal itu bisa tergambarkan seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang yang menjadi sampel No
Wilayah
Sampel Kecamatan
Jumlah SDN
Sampel Kepala Sekolah (pembulatan)
1
Pesisir (pantai) Camplong
46
46 × 25% = 11
2
Perkotaan
Sampang
70
70 × 25% = 18
3
Pedesaan
Kedungdung
47
47 × 25% = 12
Jumlah sampel (kepala sekolah)
41
Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Sampang 2009, dan diolah
Adapun metode pengumpulan data digunakan 2 (dua) metode, yaitu Metode angket (kuesioner) dan dokumentasi. Metode angket (kuesioner) digunakan untuk mengungkapkan aspek kecerdasan emosional
dan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Sampang yang dilaksanakan di Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang dan di 3 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan. Untuk validitas instrumen dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor jawaban yang diperoleh pada setiap item dengan skor total dari keseluruhan item instrumen melalui rumus Product Moment dari Pearson yang dilakukan terhadap 30 orang kepala sekolah (responden) yang merupakan anggota populasi tetapi bukan sampel penelitian. Pengujian reliabilitas instrumen dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach. Sebelum menganalisis data secara statistik deskriptif dan inferensial terlebih dahulu melakukan uji persyaratan analisis dengan: 1) uji normalitas, 2) uji linearitas, 3) uji multikolinearitas, 4)vuji heteroskedastisitas, dan 5) uji autokorelasi. Selanjutnya dilakukan analisis statistik deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data yang diperoleh dan menemukan nilainilai yang diperlukan dalam analisis statistik inferensial. Sedangkan analisis statistik inferensial yang digunakan adalah analisis regresi linear sederhana (simple linear regression) dan regresi linear berganda (multiple linear regression). Semua analisis menggunakan program SPSS for windows versi 12.00.
hasil penelitian
Berdasarkan data variabel kesadaran diri dapat disimpulkan bahwa tingkat kesadaran diri kepala sekolah dalam kategori tinggi dengan frekuensi sebesar 78,1%, bahkan 12,2% termasuk dalam kategori sangat tinggi, dan 9,7% dalam kategori sedang. Data tingkat pengaturan diri kepala sekolah cenderung tinggi dengan frekuensi sebesar 60,9%, selebihnya 19,5% termasuk dalam kategori sangat tinggi, 17,2% dalam kategori sedang dan hanya 2,4% dalam kategori rendah. Berdasarkan data tingkat motivasi kepala
Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat kecerdasan emosional (X1,X2,X3,X4,X5) kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang No
Kelas Interval
X1
X2
X3
X4
X5
F
(%)
F
(%)
F
(%)
F
(%)
F
(%)
Kategori
1
54–60
5
12,2
8
19,5
6
14,6
3
7,3
6
14,6
ST
2
39–53,99
32
78,1
25
60,9
28
68,2
33
80,5
27
65,8
T
3
33–38,99
4
9,7
7
17,2
7
17,2
5
12,2
7
17,2
S
4
24–32,99
0
0
1
2,4
0
0
0
0
1
2,4
R
5
0–23,99
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
SR
Jumlah
41
100
41
100
41
100
41
100
41
100
Keterangan: X1: Kesadaran Diri, X2: Pengaturan Diri, X3: Motivasi, X4: Empati, X5: Keterampilan Sosial F: Frekuensi, %: Persentase, ST: Sangat Tinggi, T: Tinggi, S: Sedang, R: Rendah, SR: Sangat Rendah. Sumber: Data Primer Statistik Deskriftif diolah (2009)
Amirusi: Pengaruh kecerdasan emosional terhadap keefektifan kepemimpinan
sekolah cenderung tinggi dengan frekuensi sebesar 68,2%, selebihnya 14,6% termasuk dalam kategori sangat tinggi dan hanya 17,2% dalam kategori sedang. Sementara data tingkat empati kepala sekolah cenderung tinggi dengan frekuensi sebesar 80,5%, selebihnya 7,3% termasuk dalam kategori sangat tinggi dan hanya 12,2% dalam kategori sedang. Berdasarkan data tingkat keterampilan sosial kepala sekolah cenderung tinggi dengan frekuensi sebesar 65,8%, selebihnya 14,6% termasuk dalam kategori sangat tinggi, 17,2% termasuk kategori sedang dan hanya 2,4% dalam kategori rendah. Hal tersebut dapat tergambar dalam Tabel 2. Berdasarkan data variabel tingkat keefektifan kepemimpinan kepala sekolah cenderung tinggi dengan frekuensi sebesar 80,5%, selebihnya 9,8% termasuk dalam kategori sangat tinggi, 7,3% termasuk kategori sedang dan hanya 2,4% dalam kategori rendah. Hal tersebut dapat tergambar dalam Tabel 3. Tabel 3. Distribusi frekuensi tingkat keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang No Kelas Interval Frekuensi Frekuensi (%) 1 2 3 4 5
81–90 58,5–80,99 49,5–58,49 36–49,49 0–35,99
4 33 3 1 0
9,8 80,5 7,3 2,4 0
Jumlah
41
100
Kategori Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
Sumber: Data Primer Statistik Deskriftif diolah (2009)
Uji hipotesis X1 terhadap Y diperoleh koefisien korelasi (rx1-y) sebesar 0,137 dengan nilai sig. atau taraf signifikan (P) = 0,197. Hal ini berarti nilai sig = 0,197 lebih besar dari nilai a = 0,05 atau bisa ditulis sig = 0,197 > a = 0,05 sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Kesadaran diri tidak berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Koefisien determinasi (R Square) atau sumbangan efektif X1 terhadap Y sebesar 1,9%. Uji hipotesis X2 terhadap Y diperoleh koefisien korelasi (rx2-y) sebesar 0,229 dengan nilai sig. atau taraf signifikan (P) = 0,075. Jadi, nilai sig = 0,075 lebih besar dari nilai a =
53
0,05 atau bisa ditulis sig = 0,075 > a = 0,05 yang berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengaturan diri tidak berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Sedangkan koefisien determinasi X2 terhadap Y sebesar 5,2%. Uji hipotesis X3 terhadap Y diperoleh koefisien korelasi (rx3-y) sebesar 0,490 dengan nilai sig. atau taraf signifikan (P) = 0,001. Jadi, nilai sig = 0,001 lebih kecil dari nilai a = 0,05 atau bisa ditulis sig = 0,001 < a = 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Sedangkan koefisien determinasi X3 terhadap Y sebesar 24,0%. Uji hipotesis X4 terhadap Y diperoleh koefisien korelasi (rx4-y) sebesar 0,563 dengan nilai sig. atau taraf signifikan (P) = 0,000. Jadi, nilai sig = 0,000 lebih kecil dari nilai a = 0,05 atau bisa ditulis sig = 0,000 < a = 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima . Maka, kesimpulannya bahwa empati berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Koefisien determinasi X4 terhadap Y sebesar 31,7%. Uji hipotesis X5 terhadap Y diperoleh koefisien korelasi (rx5-y) sebesar 0,522 dengan nilai sig. atau taraf signifikan (P) = 0,026. Hal ini berarti nilai sig = 0,026 lebih kecil dari nilai a = 0,05 atau bisa ditulis sig = 0,026 < a = 0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Kesimpulannya bahwa keterampilan sosial berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Koefisien determinasi X3 terhadap Y sebesar 27,3%. Hal tersebut tergambar pada Tabel 4. Berikutnya menguji hipotesis Pengaruh Kecerdasan Emosional (X 1,X2,X3,X4,X5) secara simultan terhadap keefektifan Kepemimpinan Kepala Sekolah (Y) dengan menggunakan analisis regresi ganda. Dengan bantuan SPSS for windows versi 12.00 didapat nilai F = 7,950 dan taraf signifikansi (P) = 0,000. Hal ini berarti nilai sig = 0,000 lebih kecil dari nilai a = 0,05 atau bisa ditulis sig = 0,000 < a = 0,05 yang artinya signifikan. Dengan kata lain F hitung lebih besar dari F Tabel (7,950 > 2,49) dengan probabilitas kesalahan F hitung, yaitu sebesar 0,000 atau lebih kecil dari taraf kesalahan kesalahan yang ditetapkan (a = 0,05). Sesuai dengan kriteria, yaitu probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kecerdasan Emosional (kesadaran diri,
Tabel 4. hasil penelitian tingkat signifikansi variabel X1,X2,X3,X4,X5 terhadap Y secara parsial Variabel Bebas Variabel Terikat X1
Y
r
R Square Sig. (P)
Sig a
Keputusan Perbandingan Sign. (P) dan Sign a = 0,05
Keterangan
0,137
0,019
0,197
0,05
Tidak signifikan (0,197 > 0,05)
Ho diterima
X2
0,229
0,052
0,075
0,05
Tidak signifikan (0,075 > 0,05)
Ho diterima
X3
0,490
0,240
0,001
0,05
Signifikan (0,001 < 0,05)
Ho ditolak
X4
0,563
0,317
0,000
0,05
Signifikan (0,000 < 0,05)
Ho ditolak
X5
0,522
0,273
0,026
0,05
Signifikan (0,026 < 0,05)
Ho ditolak
Sumber: Data Primer Statistik Inferensial diolah (2009)
54
pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan koefisien korelasi bersama (R) sebesar 0,729 dan koefisien determinasi atau R Square (R2) sebesar 53,2%. Artinya kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial) dapat menjelaskan korelasi sebesar 53,2% terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang. Sementara sisanya sebesar 46,8% menandakan masih ada variabel lain di luar pembahasan penelitian yang mampu berpengaruh atas keefektifan kepala sekolah. Jika dilihat dari hasil analisis regresi ganda yang menghasilkan persamaan garis regresi yaitu: Y = 2,019 + 0,128X1 + 0,018X2 + 0,393 X3 + 0,591 X4 + 0,366 X5. Persamaan tersebut menunjukkan koefisien regresi yang bertanda positif (+) pada semua variabel, menunjukkan bahwa semua variabel-variabel dalam penelitian ini memiliki hubungan (pengaruh) terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Hanya saja ada yang kecil (lemah) sehingga tidak signifikan dan ada yang pengaruhnya besar sehingga signifikan. Konstanta sebesar 2,019 menyatakan bahwa jika tidak ada variabel kecerdasan emosional (Kesadaran Diri (X1), Pengaturan Diri (X2), Motivasi (X1), Empati (X4), dan Keterampilan Sosial (X5), maka keefektifan kepemimpinan kepala sekolah sebesar 2,019. Dengan demikian, berarti bahwa keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang cukup rendah jika tidak didukung oleh variabel kecerdasan emosional.
pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Kesadaran Diri tidak berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Yoenanto 8 yang menyatakan bahwa “ada hubungan yang positif dan signifikan antara kesadaran diri dengan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah”. Namun hal ini bisa saja terjadi dan amat dimungkinkan karena perbedaan lokasi dan karakteristik populasi dan sampel penelitian. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Pengaturan Diri tidak berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Yoenanto8 yang menyatakan bahwa “tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara kemampuan mengelola diri (kesadaran diri, pen) dengan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah”. Ditolaknya variabel-variabel kesadaran diri (X1) dan pengaturan diri (X2), di samping berbagai argumen di atas mungkin juga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1) faktor sistem perekrutan dan seleksi kepala sekolah yang belum profesional dan terstandarisasi, atau 2) faktor perekrutan kepala sekolah yang mengabaikan jalur yang telah disepakati/diprogramkan, misalnya: telah ada calon
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 49–56
kepala sekolah yang telah melalui pendidikan dan pelatihan serta memiliki sertifikat calon kepala atau ”cakep”, tetapi tidak bisa diorbitkan karena masih berlaku budaya kolusi (persengkongkolan dengan cara kedekatan dengan pimpinan dan nepotisme (mengangkat saudara/kerabat tanpa mempertimbangkan prestasi dan kualitas kerjanya), 3) faktor kepribadian kepala sekolah, dan 4) faktor-faktor lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Motivasi berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Hasil temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Yoenanto8 bahwa “tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dengan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah”. Hasil tentang motivasi (X3) yang berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah (Y), hal ini sejalan dengan temuan penelitian Maria11 yang menyatakan bahwa hubungan antara motivasi dan kompetensi kepemimpinan sangat signifikan. Diperoleh pula bahwa Empati berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Hasil temuan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Yoenanto8 bahwa “tidak ada hubungan yang positif dan signifikan antara empati dengan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah”. Hal ini bisa saja terjadi dan amat dimungkinkan karena perbedaan lokasi dan karakteristik populasi dan sampel penelitian. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Azwar (dalam Maria8) bahwa perilaku manusia itu komplek dan perilaku manusia itu sendiri bisa dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternalnya, tergantung dari bagaimana individu tersebut meresponinya. Pemimpin yang berhasil tentunya karena bisa memengaruhi orang lain (bawahannya). Pada posisi yang berhubungan dengan banyak orang mereka lebih sukses bekerja karena mereka lebih berempati dan komunikatif. Hal itulah kelebihan orang-orang ber-EQ (Emotional Quotient) tinggi di dalam dunia kerja.6 Jadi hasil temuan ini membuktikan bahwa empati berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinan sesuai dengan pendapat Goleman, et al, 9 yang menyatakan bahwa: Pemimpin yang memiliki empati mampu mendengarkan berbagai tanda emosi, membiarkan diri merasakan emosi yang dirasakan. Pemimpin ini juga mampu untuk mendengarkan dengan cermat dan bisa menangkap sudut pandang orang lain. Empati membuat pemimpin bisa berelasi baik dengan orang-orang dari berbagai latar belakang atau dari budaya lain. Jadi, kepala sekolah yang memiliki empati yang tinggi akan memudahkan ia dalam kepemimpinannya. Para guru (bawahan) akan merasa segan dan semakin yakin kepada pimpinannya yang akhirnya bahu-membahu bekerja secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Keterampilan Sosial berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Temuan ini yang mengungkap keterampilan sosial berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah,
Amirusi: Pengaruh kecerdasan emosional terhadap keefektifan kepemimpinan
tentunya sesuai dengan pendapat Goleman, et al, 9 bahwa: “Keterampilan sosial atau pengelolaan relasi tentunya sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan, apalagi memimpin berhubungan dengan memengaruhi dan berinteraksi dengan banyak orang atau juga hubungan antarpribadi (interpersonal)”. Sedangkan Kecerdasan Emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Temuan ini telah membuktikan bahwa kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Jadi, makin tinggi tingkat kecerdasan emosional kepala sekolah, akan semakin efektif kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang. Hal ini sejalan dengan pendapat Pidarta 14 yang mengemukakan bahwa “..makin tinggi EQ seseorang makin mampu dia menyesuaikan diri pada lingkungannya dan makin berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kedamaian hati”. Dengan demikian akan semakin jelas bahwa kepala sekolah yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, akan semakin berhasil dan efektif dalam pekerjaannya sebagai pemimpin dan manajer di sekolah termasuk di komunitas seprofesinya. Adapun hasil akhir desain penelitian ini terlihat pada Gambar 2. Dengan demikian nampak bahwa paradigma hubungan atau pengaruh variabel-variabel kecerdasan emosional dengan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang masih relevan dan benar adanya. Meskipun terdapat 2 variabel (kesadaran diri dan pengaturan diri) yang hasilnya sangat lemah sehingga tidak signifikan memengaruhi keefektifan kepala sekolah. Akan tetapi terdapat 3 variabel (motivasi, empati, dan keterampilan sosial) dari 5 variabel kecerdasan emosional yang memiliki pengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini semakin dimantapkan dengan variabel-variabel kecerdasan emosional yang secara
55
simultan berpengaruh secara signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah.
simpulan dan saran
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa: (1) Tingkat kecerdasan emosional (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial) kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang rata-rata berkategori tinggi, yaitu: kesadaran diri (78,1%), pengaturan diri (60,9%), motivasi (68,2%,), empati (80,5%), dan keterampilan sosial (65,8%); sedangkan tingkat keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang rata-rata juga berkategori tinggi, yaitu 80,5%; (2) Kesadaran diri dan Pengaturan diri secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan koefisien korelasi sebesar 0,137 dengan sumbangan efektif sebesar 1,9% dan koefisien korelasi sebesar 0,229 dengan sumbangan efektif sebesar 5,2%; (3) Motivasi, Empati, dan Keterampilan Sosial secara parsial berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan masing-masing: motivasi (koefisien korelasi sebesar 0,490 dan sumbangan efektif sebesar 24,0%); Empati (koefisien korelasi sebesar 0,563 dan sumbangan efektif sebesar 31,7%); dan keterampilam sosial (koefisien korelasi sebesar 0,522 dan sumbangan efektif sebesar 27,3%); dan (4) Kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial secara simultan berpengaruh signifikan terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang dengan koefisien korelasi bersama (R) sebesar 0,729, sedangkan koefisien diterminasi (R2 atau R Square) atau sumbangan efektif sebesar 53,2%. Saran disampaikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang, untuk mempertimbangkan rekrutmen dan seleksi calon kepala sekolah dasar negeri dari aspek kecerdasan emosional selain aspek lainnya yang sudah terstandarisasi sesuai peraturan yang berlaku. Di samping itu berupaya
Gambar 2. Model akhir desain penelitian tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
56
meningkatkan kualitas kompetensi kepala sekolah termasuk peningkatan kecerdasan emosionalnya dengan berbagai pendidikan dan pelatihan, workshop, dan sebagainya. Sedangkan untuk Kepala Sekolah, mengingat tingkat kecerdasan emosional dan keefektifan kepemimpinan kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang yang cenderung tinggi, maka perlu dipertahankan, jika mungkin bahkan ditingkatkan. Hal ini merupakan modal yang bagus bagi kepala sekolah dasar negeri di Kabupaten Sampang untuk terus mengefektifkan kepemimpinannya termasuk dalam menerapkan manajemen berbasis sekolah.
daftar pustaka
1. Goleman, Daniel. Working With Emotional Intelligence. London: Clays Ltd. 1999; 318. 2. Depdikbud. Kepemimpinan Sekolah. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar, 1999; 8. 3. Abu-Duhou, Ibtisam. School Based Management. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002; 16. 4. Kaluge, Lauren. Sendi-sendi Manajemen Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press. 2003; 35. 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 6. Martin, Anthony Dio. Emotional Quality Management: Refleksi, Revisi, dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Arga. 2003; 26. 7. Ngermanto, Agus. Quantum Quotient (Kecerdasan Kuantum): Cara Cepat Melejitkan IQ, EQ, dan SQ Secara Harmonis. Bandung: Nuansa. 2003; 208.
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 49–56 8. Yoenanto, Nono Henry. Kontribusi Kecerdasan Emosi terhadap Keefektifan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Negeri di Kota Surabaya. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs Universitas Negeri Malang. 2003; 69,70,71,74. 9. Goleman, Daniel, et al. Primal Leadership: Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005; 301,305. 10. Dubrin, Andrew J. The Complete Ideal’s Guide: Leadership. Second Edition. Alih Bahasa oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Prenada Media. 2005; 26. 11. Maria, Margaretha. Hubungan Antara Tingkat Kecerdasan Emosi dan Tingkat Kompetensi Kepemimpinan pada Para Kepala Sekolah SMA di Surabaya. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. 2005; 98. 12. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi). Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 2006; 134. 13. Wiyata, A. Latief. Carok: Konflik, Kekerasan, dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. 2006; 18. 14. Pidarta, Made. Wawasan Pendidikan. Surabaya: Unesa Universty Press. 2007; 214. 15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah 16. Darwis, Muhammad. Model Pembelajaran Matematika yang Melibatkan Kecerdasan Emosional. Ringkasan Disertasi. Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. 2007; 13–18. 17. Sugiyanto. Kontribusi Gaya Kepemimpinan, Iklim Sekolah, dan Kecerdasan Emosional Kepala Sekolah terhadap Keberhasilan Sekolah menurut Persepsi Guru SMK Negeri dan Swasta Se Kota Blitar. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPs Universitas Negeri Malang. 2008; 135. 18. Mantja, Williem. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi. Terbitan kedua. Malang: Penerbit Elang Emas. 2008; 7.
57
Menilik Urgensi Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atas Biota Laut Akibat Aktivitas Pertambangan Emas Kabupaten Banyuwangi (Considering the Urgency of Province Government Policy Againts Analysis Invorenment Impact of Sea Biota in a Result from Gold Mining Activity in Banyuwangi District) Susintowati Dosen FKIP Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi abstrak
Sumber daya alam di daerah Banyuwangi tidaklah sedikit, baik pada wilayah darat maupun wilayah lautnya. Mulai tahun 1995 geliat usaha eksplorasi dan ekpoitasi Tambang Emas di wilayah Banyuwangi sudah mulai tampak, bahkan sampai dengan tahun 2000-an tarik ulur tentang arah kebijakan Pemerintah Daerah, Perusahaan Pengelola dan masyarakat semakin santer dan berakibat pada kontroversi dan demonstrasi terhadap arah kebijakan Pemerintah Daerah Banyuwangi. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah preaudit yang diperuntukkan bagi perencana program dan proyek. Bagaimana urgensi peran pihak independen terkait telaah AMDAL Perusahaan pemegang hak kelola, sebagai barometer kebijakan Pemerintah Daerah terutama kajian Biota Laut yang ditimbulkan oleh proses eksplorasi/eksploitasi pertambangan emas, perlu dikaji lebih serius disertai pembuktian secara ilmiah. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian didapatkan ada perbedaan signifikan dalam hal jumlah taxa selain itu juga menunjukkan nilai indeks diversitas Benthos cenderung menurun dibandingkan nilai indeks diversitas Benthos yang sudah dihitung Tim AMDAL Pengelola setelah 2 tahun tahapan ekplorasi emas berlangsung. Hasil tersebut mengarahkan pada Kebijakan Pemerintah Daerah Banyuwangi atas pengelolaan pertambangan emas harus lebih: komprehensif, integratif, aspiratif, dan aplikatif, terutama memberikan peran pengkajian yang lebih independen bagi praktisi akademik di lingkungan Kabupaten Banyuwangi.
Kata kunci: Kebijakan Pemerintah Daerah, AMDAL, tambang emas, indeks diversitas benthos abstract
Banyuwangi have a large natural resources, both on the land and sea areas. Since in 1995 the business of exploration and ekpoitasi stretching Gold Mine in Banyuwangi region already started to appear, even until the 2000s tug on the policy direction of Lokal Government, Management Company and the community getting stronger and result in controversy and protests against the policy direction of the Lokal Government Banyuwangi. Environmental Impact Assessment (EIA/AMDAL) is intended for planners preaudit programs and projects. How the urgency associated with an independent review of the role of EIA (AMDAL) Company franchise holders, as a barometer of lokal government policies, especially the study of Marine Life is generated by the process of exploration/ exploitation of gold mining, should be studied more seriously with scientific evidence. Based on the results of observation and showed no significant differences in the number of taxa in addition it also shows the value of diversity index of benthos tends to decrease compared to the value of diversity index of benthos was calculated EIA Team Manager after 2 years of gold exploration phase takes place. These results lead to Banyuwangi Lokal Government Policy for the management of gold mining should be: comprehensive, integrative, aspirational, and applicable, especially to provide a more independent assessment role for practitioners in the academic environment Banyuwangi.
Key words: Governance Wishdom, AMDAL, Gold Mining, Benthos Index Diversity
pendahuluan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, sering disingkat dengan AMDAL, lahir dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat, National Environmental Policy Act (NEPA), pada tahun 1969. NEPA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970.1 AMDAL kini sudah membaku. Peraturan Pemerintah yang menyangkut pengaturan dan pelaksanaan AMDAL termaktub dalam PP no. 51 tahun 1993. Pelaksanaan ADL
(Analisis Dampak Lingkungan) atau AMDAL di Indonesia telah dimulai jauh lebih awal daripada Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang dibuat. Segala aktivitas yang diperkirakan akan memengaruhi dan menimbulkan perubahan lingkungan baik perubahan mikro maupun perubahan makro, baik lingkungan darat, air maupun udara harus dilengkapi dengan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebelum aktivitas tersebut dimulai. Di Indonesia, perkembangan aspek sosial AMDAL berkaitan erat dengan penerapan AMDAL yang diatur
58
melalui Undang-Undang no. 4 tahun 1982 tentang Pokokpokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah nomor 29 yang kemudian diganti dengan PP no. 51 tahun 1993.2 Baik dalam Undang-undang no. 4 1982 maupun NEPA 1969, dampak diartikan sebagai pengaruh aktivitas manusia dalam pembangunan terhadap lingkungan. Hal tersebut kaitannya dengan tujuan Undang-undang tersebut yaitu untuk melindungi lingkungan terhadap pembangunan yang tidak bijaksana. 1 Untuk memaknai hal tersebut konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan harus diperluas. Artinya yang harus dipelajari bukan saja dampak pembangunan terhadap lingkungan, melainkan juga dampak lingkungan terhadap pembangunan. Dengan demikian usaha kita di dalam proses pembangunan tidak saja melindungi lingkungan, melainkan juga menyelamatkan pembangunan. Dari sini jelas bahwa yang berperan paling penting adalah Pemerintah Daerah sebagai pemegang wewenang terdepan mengenai ide dasar, konsep dan arah pembangunan di wilayahnya sekaligus pengambil kebijakan pembangunan Daerah. Jika pemerintah daerah dalam segala aspek pembangunan melalui kewenangan pengelolaan berdasarkan asas Otonomi Daerah, mempunyai komitmen tinggi melakukan pembangunan secara bijaksana, maka arti dampak yang mengarah pada kerugian tidak akan terjadi. Banyuwangi sebagai salah satu daerah di ujung Timur Pulau Jawa, merupakan daerah maritim yang hampir semua daerahnya berbatasan dengan perairan laut. Sumber daya alam di daerah Banyuwangi tidaklah sedikit, baik pada wilayah darat maupun wilayah lautnya. Mulai tahun 1995 geliat usaha eksplorasi dan eksploitasi Tambang Emas di wilayah Banyuwangi sudah mulai tampak, bahkan sampai dengan tahun 2000-an tarik ulur tentang arah kebijakan Pemerintah Daerah, Perusahaan Pengelola dan masyarakat semakin santer dan berakibat pada kontroversi dan demonstrasi terhadap arah kebijakan Pemerintah Daerah Banyuwangi.3 Dalam kasus ini diharapkan ada kebijakan yang bertanggung jawab dan selalu berorientasi pada konservasi serta dampak lingkungan akibat aktivitas tersebut. Tambang emas selalu berbenturan dengan dampak negatif terhadap lingkungan karena pencemaran, yang terutama adalah biota laut karena pembuangan limbah selalu bermuara di laut. Permasalahan yang timbul dari pemahaman ini adalah Bagaimana urgensi peran pihak independen terkait telaah AMDAL Perusahaan pemegang hak kelola, sebagai barometer kebijakan Pemerintah Daerah terutama kajian Biota Laut yang ditimbulkan oleh proses eksplorasi/ eksploitasi pertambangan emas? Adapun manfaat pengkajian ”Menilik Kebijakan Pemerintah Daerah terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Pesisir dan Laut Akibat Aktivitas Pertambangan Emas di Kabupaten Banyuwangi” adalah, membantu Pemerintah Daerah Banyuwangi melaksanakan pembangunan daerah yang berorientasi pada keselamatan dan perlindungan lingkungan, terutama membantu dalam
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 57–61
hal mengkaji AMDAL yang telah dibuat oleh Perusahaan pemegang hak kelola pertambangan emas, sehingga independensi makna risiko pengelolaan tambang emas benar-benar mendukung hasil AMDAL yang telah dibuat. Sedangkan tujuan dari kegiatan pengkajian ini adalah: ”Menguak urgensi peran pihak independen terkait telaah AMDAL Perusahaan pemegang hak kelola, sebagai barometer kebijakan Pemerintah Daerah terutama kajian Biota Laut yang ditimbulkan oleh proses eksplorasi/ eksploitasi pertambangan emas”.
metode penelitian
Lokasi kegiatan adalah di Pantai Pulo Merah Blok Tumpang Pitu Desa Sumber Agung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Penelitian ini mengkaji tentang urgensi kebijakan Pemerintah Daerah terhadap aktivitas proyek pertambangan yang memungkinkan berdampak negatif terhadap lingkungan. Kajian utama adalah terhadap sajian AMDAL yang dibuat oleh pengelola proyek dikomparasikan dengan hasil penelitian oleh peneliti di pesisir laut daerah pertambangan emas (Blok Tumpang Pitu). Dalam penelitian diambil data biota laut terutama Indeks Keanekaragaman (Shannon Weaver Index) di sepanjang pesisir pantai Pulo Merah dengan metode Transek kuadrat terbagi dalam 3 Stasiun Pengamatan. Pada akhir pembahasan disajikan peta konsep pentingnya peran pihak independen terutama praktisi akademis dalam penelaahan AMDAL pengelola proyek, tanpa mengurangi nilai penting tujuan pembangunan daerah.
hasil dan pembahasan
Menurut Gossel dan Bricker (1984) dalam Darmono,4 ada 5 logam yang berbahaya pada manusia, yaitu Arsen (As), cadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe). Mendasar pada ANDAL PT IMN pemegang kuasa kelola ekplorasi di wilayah Tumpang pitu sekitarnya, Evaluasi Dampak secara Holistik terutama pada tahap Konstruksi sudah menunjukkan akan adanya dampak penurunan kualitas perairan laut terutama plankton, benthos dan nekton dengan kategori bervariasi berdasar pada aktivitas konstruksi yang dilaksanakan.5 Selain itu dampak dengan kategori negatif besar dan penting terhadap lingkungan pesisir laut terutama bagi plankton, benthos dan nekton terjadi pada tahapan Operasi. Kegiatan Operasi yang dimaksud adalah: penambangan bijih, penirisan air tambang, pengolahan bijih, pengoperasian base camp, pengoperasian genset. Dan tampak pada prioritas pengelolaan dampak, lingkungan perairan laut merupakan prioritas I yang pengelola utamakan.5 Upaya pengelolaan dampak terhadap penurunan kualitas air laut masih belum mengarah pada keberadaan plankton dan benthos, tampak hanya mengarah pada kebijakan melalui program Community Development (CD) dengan
Susintowati: Menilik urgensi kebijakan pemerintah daerah
59
alternatif bantuan budi daya ikan pada tempat yang memungkinkan dengan sistem keramba terapung dan bantuan alat penangkap.5 Sepanjang observasi dan pengambilan data tentang benthos di Pantai Pulo Merah, wilayah kaki Gunung Tumpang Pitu, peneliti mengambil satu objek yang sangat, penting yaitu keberadaan Gastropoda sebagai benthos indikator penting tentang penurunan kualitas perairan pantai/pesisir. Hasil pengujian benthos dengan daerah kajian 100 m dari garis pantai (LS.08°36’13” BT 114°01’45,5”) lokasi Pantai Pulo Merah oleh Tim ANDAL PT IMN pengelola tampak pada Tabel 1. Berdasarkan hasil penelitian Gastropoda selama dalam status tahapan ekplorasi tambang emas oleh PT IMN berlangsung, tepatnya pengambilan data pada bulan Maret–Mei 2009 menggunakan metode sampling Transek Kuadrat dengan Stasiun Pengamatan di lokasi yang sama, tampak pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan Gastropoda pada bulan Maret–Mei 2009 tahap ekplorasi emas oleh PT IMN
Tabel 1. Benthos hasil pengujian PT IMN selama waktu penelitian Oktober–November 2007 di wilayah pantai No
Individu
Jumlah
No
Individu
Jumlah
1 Chicoreus rubigunosus
5
2 Conus sp 1
3
3 Conus sp 2
1
4 Conus ebraeus
12
5 Cypraea annulus
15
6 Cypraea moneta
3
7 Cypraea caputserpentis
1
8 Cypraea asellus
1
9 Cypraea erosa
1
10 Haliotis rugosa
16
11 Litorina aspera
124
12 Litorina litorea
132
13 Litorina scutulata
43
14 Natica fasciata
9
15 Nerita chamaleon
152
16 Nerita guardicolor
89
17 Nerita picea
139
18 Nerita plicata
212
19 Nerita polita
89
GASTROPODA 1 Cypraea sp
1
20 Neritidae (sp 1)
1
2
Patella sp
1
21 Planaxis sulcatus
2
3
Siphonaria sp
1
22 Rhinoclavis vertagus
2
4
Trochus sp
1
23 Strombus muculatus
3
5
Cerithidae (sp 1)
1
24 Turbo agyrostomos
18
6
Cerithidae ( sp 2)
1
25 Turbo albofasgiastus
28
7
Pleurotomariidae
2
26 Turbo undosa
4
Jumlah Individu sampel
8
27 Turbinidae (sp 1)
12
Jumlah Taks
7
28 Trochidae (sp 1)
5
Indeks Diversitas (Shannon Weaver) H’ = -E Pi Log Pi
2,75
29 Trochidae (sp 2)
1
30 Chiton sp
5
31 Clypeomorus sp
40
32 Cerithium sp
10
33 Morula margin alba
10
34 Collumbelidae (sp 1)
1
35 Collumbelidae (sp 2)
1
36 Tereberidae (sp 1)
1
Jumlah Individu Sampel
1191
Jumlah Taxa
36
Indeks Diversitas (Shanonn Weaver) H’ = -E Pi Log Pi
1,37
(Sumber: ANDAL PT. IMN, 2007)
Ada perbedaan antara hasil pengujian lapang oleh pengelola dengan hasil penelitian individu peneliti, hal yang paling nyata tampak berbeda adalah pada diversitas atau keanekaragaman jenis khususnya jumlah taksa yang ditemukan. Minimal dengan metode yang digunakan selama pengamatan, dijumpai 38 taksa Gastropoda yang hidup di sepanjang daerah intertidal Pantai Pulo Merah yang bersambungan dengan kaki Gunung Tumpang Pitu. Selain itu dengan pembagian 3 stasiun pengamatan dijumpai jumlah individu sampel yang lebih banyak. Jika diasumsikan bahwa saat sampling Tim Pengelola adalah waktu di mana stadium ekplorasi masih dalam tahap awal, maka seharusnya didapati minimal jumlah individu sampel dan jumlah taksa lebih banyak, dibandingkan saat pengamatan dilakukan yaitu 2 tahun berjalannya tahap eksplorasi emas di lokasi tersebut.
Menurut Nybakken,6 bahwa pantai dengan tipe berbatu mempunyai indeks diversitas yang sangat tinggi. Pantai Pulo Merah adalah salah satu contoh pantai berbatu yang ada di Banyuwangi. Berdasarkan pemahaman, pada
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 57–61
60
Indeks Diversitas terdapat klasifikasi tertentu sehingga mampu mencirikan kualitas lingkungan perairan tertentu, seperti yang dituliskan oleh Thomas et al., 1973 dalam Dharmawan, et al.,7 pada Tabel 3. Tabel 3. Derajat pencemaran perairan berdasar pada hasil pengukuran indeks diversitas/ keanekaragaman (sumber: Thomas et al., 1973 dalam Dharmawan7) Indeks Diversitas/ Keanekaragaman
Derajat Pencemaran Perairan
< 2,0 1,6–2,0 1,0–1,6 < 1,0
Tidak tercemar Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat
Jika dilihat dari tabel derajat pencemaran Perairan berdasar pada nilai Indeks Diversitas di atas, maka saat pengkajian dan penelitian Indeks Diversitas yang dilakukan oleh PT IMN (2007), menunjukkan lingkungan pesisir pantai saat itu tidak tercemar. Sedangkan dari hasil pengamatan peneliti (2009), Indeks Diversitas menunjukkan lingkungan perairan pesisir pada derajat tercemar sedang. Hasil ini diperoleh setelah eksplorasi oleh pihak Pengelola PT IMN berjalan 2 tahun. Keanekaragaman jenis banyak dipakai sebagai indikasi kondisi lingkungan suatu ekosistem, menurut Odum, 1971 dalam Dharmawan7 menyatakan bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan suatu ekosistem, yaitu jika keanekaragaman suatu ekosistem relatif tinggi maka kondisi ekosistem tersebut cenderung stabil. Tetapi jika pada kasus lingkungan ekosistem tercemar maka keanekaragaman jenis cenderung rendah. Perbedaan baik jumlah taksa maupun penghitungan indeks diversitas memang sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor ekologis. Beberapa jenis hewan dapat ditemukan dalam suatu tempat dan dalam waktu tertentu saja, tetapi ada juga jenis hewan yang dapat ditemukan setiap saat pada lingkungan tertentu. Jenis yang kedua adalah jenis yang dapat digunakan sebagai hewan indikator di mana lingkungan mempunyai kualitas yang menurun. Salah satu contohnya adalah Gastropoda. Perbedaan dan penurunan nilai Indeks Diversitas Gastropoda yang ada di pesisir pantai Pulo Merah dimungkinkan karena dampak aktivitas ekplorasi emas oleh Pengelola. Terutama point-point aktivitas Tahap Konstruksi, Operasi yang mempunyai nilai dampak negatif dan penting, khususnya terhadap keberadaan biota laut. Menurut Gossel dan Bricker (1984) dalam Darmono,4 ada 5 logam yang berbahaya pada manusia yaitu Arsen (As), cadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan besi (Fe). Limbah Merkuri (Hg) yang masuk dalam lingkungan perairan laut adalah salah satu sumber pencemar dari aktivitas pertambangan emas. Menurut Polii et al., 8
pencemaran logam berat semacam Merkuri, Arsen, Kadmium, Besi dapat mengkontaminasi 3 komponen laut di antara adalah akumulasi dalam jaringan Biota laut, di antaranya adalah ikan dan kerang (termasuk Gastropoda). Selain itu Widowati et al.,9 menunjukkan bahwa efek toksik merkuri terhadap manusia menempati posisi teratas di antara efek toksik logam berat lainnya. Toksisitas merkuri meliputi toksisitas anorganik dan toksisitas organik, semua berdampak mematikan bagi manusia apabila dalam tubuhnya terkontaminsai logam berat ini. Hal mendasar yang perlu dikaji lebih awal adalah validitas ANDAL yang dibuat oleh pengelola. Kunci ������ utama keberhasilan dalam konsep pemanfaatan sumber daya alam serta dampak dari pemanfaatan tersebut sepenuhnya tanggung jawab pengambil keputusan dan kebijakan. Jika para pengambil keputusan dan kebijakan atas kegiatan ekplorasi dan ekploitasi sumber daya alam dilakukan secara bertanggung jawab maka akan berdampak positif, tetapi jika pengambilan keputusan dan kebijakan dilakukan secara sembrono, maka dampak negatif akan cenderung lebih merusak tatanan lingkungan daerah sekitar. Oleh karena itu, dapat dipastikan pembangunan daerah tidak akan berhasil dengan baik, sebaliknya justru akan berakibat menurunkan kualitas pembangunan itu sendiri. Orientasi kebijakan dalam pemanfaatan kekayaan dan sumber daya alam seyogyanya diimbangi dengan kajian tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang ditimbulkan. Pengkajian tersebut tentunya tidak cukup sebatas menyerahkan utuh pada hasil kerja Tim Pembuat AMDAL Perusahaan atau Penyelenggara Proyek, tetapi Pemerintah daerah sendiri harus mempunyai Tim khusus yang dapat memantau kebenaran dan validitas AMDAL yang dibuat dari Perusahaan. Lebih baik lagi pengkajian AMDAL harus melibatkan Lembaga atau pihak lain yang bersifat independen sehingga dari segala aspek tentang makna konservasi lebih di pertimbangkan sebelum kegiatan ekplorasi atau ekploitasi sumber daya alam benar-benar dilakukan. Sepakat dengan apa yang ditulis oleh Mukhtasor,10 Kebijakan yang diharapkan adalah kebijakan yang diupayakan untuk komprehensif (dalam konteks persoalan pokok pembangunan), integratif (dalam konteks peruntukan atau fungsi perairan laut/pantai), aspiratif (dalam konteks kepentingan yang terakomodasi), dan aplikatif (dalam konteks penerapan di lapangan atau enforcement-nya). Untuk itu, pendekatan dalam pengendalian pencemaran laut melibatkan berbagai bidang, meliputi pendekatan kelembagaan, hukum, teknologi, ekonomi, dan sosial budaya. Manajemen limbah dan struktur penanganan lanjut akan menjadi lebih kompleks ketika sumber-sumber pencemaran laut yang dihasilkan oleh pelaku tradisional juga diperhitungkan. Penambang emas tradisional (liar) di lingkungan Banyuwangi juga sudah mulai menggeliat beberapa tahun terakhir ini.11 Aktivitas penggunaan merkuri sebagai zat ekstraksi emas digunakan secara sembarangan dan dibuang langsung pada aliran badan sungai. Walaupun AMDAL
Susintowati: Menilik urgensi kebijakan pemerintah daerah
61
Gambar 1. Peta konsep
telah dilakukan sebagai upaya penanggulangan dampak, tentunya hal itu tetap akan memakan waktu dan biaya yang sangat besar dibandingkan dengan pencegahan. Urgensi Kebijakan Pemerintah daerah yang selalu berorientasi pada dampak lingkungan adalah hal yang paling utama. Peta konsep independensi kajian AMDAL proyek kegiatan yang menyertakan pihak independen semisal praktisi akademis dapat disimak di Gambar 1.
simpulan
AMDAL adalah hal yang sangat penting dilakukan sebelum adanya Kebijakan Pemerintah Daerah atas izin pengelolaan pertambangan emas di Banyuwangi. Sebagai barometer sejauh mana peran pihak independen dibutuhkan, hasil pengkajian peneliti menunjukkan ada perbedaan nyata dari hasil analisis dan pengamatan Indeks Diversitas terhadap biota laut (Benthos/Gastropoda) di pantai Pulo Merah dengan hasil pengkajian ANDAL pengelola. Lingkungan perairan laut di sekitar Gunung Tumpang Pitu berstatus tercemar ringan, dibaca dari hasil perhitungan Indeks Diversitas Gastropoda di Pantai Pulo Merah. Kebijakan Pemerintah Daerah Banyuwangi atas
pengelolaan pertambangan emas diharapkan: komprehensif, integratif, aspiratif, dan aplikatif, terutama memberikan peran pengkajian yang lebih independen bagi praktisi akademik di lingkungan Kabupaten Banyuwangi.
daftar pustaka
1. Soemarwoto O, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta; Penerbit UGM Press, 2007. 2. Hadi, 2005. 3. Rosdi, 2008. 4. Darmono, Lingkungan Hidup dan Pencemaran: hubungannya dengan toksikologi senyawa logam. Jakarta; Penerbit UI Press, 2008. 5. Anonim, ANDAL Rencana Penmbangan luas 11.621 Ha Emas di Desa Sumber Agung Kec. Pesanggaran Kab. Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Jakarta; PT IMN. 2007. 6. Nybakken, 1992. 7. Dharmawan A, et al., Ekologi Hewan. Malang; Penerbit UM Press, 2005. 8. Polii B, Pencemaran Logam & Sianida di perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya, Provinsi Sulawesi Utara, tahun 1999. Jurnal Ilmiah. 1999, Diakses Tanggal 2 Februari 2009. 9. Widowati W, et al., Efek Toksik Logam: Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Yogyakarta; Penerbit Andi. 2008. 10. Mukhtasor, Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta; Penerbit PT Pradnya Paramita. 2007. 11. Radar Banyuwangi, 2009.
62
Pengaruh Perilaku Kerja, Motivasi dan Lingkungan Kerja terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pabrik Rokok di Kota Surakarta (Work Behavior, Motivation and Work Environment Effect Againts Cigarret Factory Employees Work Achievement on Surakarta) Musriha Fakultas Ekonomi Universitas Bhayangkara Surabaya abstrak
Perilaku kerja merupakan rencana tindakan individu termasuk strategi karyawan dan usaha yang dilakukan. Perilaku pekerja menentukan hasil, prestasi ������������������������������������������������������������������������������������������������������������� kerja merupakan hasil dari perilaku kerja. Prestasi dapat menghasilkan prestasi jangka panjang yang positif dan pertumbuhan diri atau sebaliknya, prestasi jangka panjang yang jelek atau kurang berkembang. Hasil yang dikehendaki dari perilaku pekerja adalah prestasi kerja yang optimal, Penelitian ini merupakan penelitian Exploratory risert karena di dalamnya menghubungkan antarvariabel dan ada test of hipotesis, penelitian ini dilakukan pada perusahaan pabrik rokok yang ada di kota Surakarta, adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut . Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang pertama yang dilakukan dapat diketahui bahwa hipotesis yang diajukan yaitu bahwa Perilaku kerja, Motivasi, dan Lingkungan kerja mempunyai pengaruh serempak dan signifikan terhadap Prestasi karyawan dan variabel Lingkungan kerja mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap Prestasi kerja dapat diterima kebenarannya.
Kata kunci: perilaku kerja, motivasi, lingkungan kerja, prestasi kerja abstract
Work behavior is an individual action plan, including employees and business strategy are made. Determine the outcome of worker behavior, job performance is the result of work behavior. Achievements can produce positive long-term achievement, and self-growth or vice versa, a bad long-term achievements or less developed. The desired outcome of the behavior of workers is optimum performance, exploratory study was risert because in it there are links between all variables and tests of hypotheses, this study conducted at the company’s existing cigarette factory in the city of Surakarta, as for the results of this research are as follows. Based on the results of testing the first hypothesis could be identified that the hypothesis is that the behavior of employment, motivation, and work environment has the effect of simultaneous and significant influence on employee performance and work environment variables have the most dominant influence on job performance acceptable.
Key words: work behavior, motivation, work environment, job performance.
pendahuluan
Menurut data BPS pada tahun 2004 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp23.59 triliun, tahun 2005 meningkat lagi menjadi Rp 30.07 triliun bahkan pada tahun 2006 penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp35.14 triliun, tahun 2007 melonjak lagi menjadi Rp39.54 triliun, dan tahun 2008 meningkat menjadi Rp42.02 triliun. Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup dikenal. Pada ������������������������� tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu PT HM Sampoerna Tbk, PT Gudang Garam Tbk, dan PT Djarum, selalu masuk dalam jajaran “Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik” di antara 200 Top Companies di Asia yang disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di tengah krisis ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 2002 perusahaan terbaik di
kawasan Asia. Menariknya, ���������������������������������������������� di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa rokok kretek Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro 1 tentang sumbangan tenaga kerja pada industri rokok tahun 1996 paling besar diberikan oleh daerah (provinsi) Jawa Timur, yaitu 65% dari sumbangan industri rokok kretek Indonesia terhadap industri manufaktur. Sumbangan tenaga kerja industri rokok kretek Jawa Timur pada tahun 1996 terhadap tenaga kerja industri manufaktur adalah sebesar 2,798%. Pada tahun 1999 mengalami peningkatan menjadi 3,1% (meningkat sebesar 0,302%). Jawa Tengah merupakan daerah industri rokok kretek yang memberikan sumbangan terbesar kedua setelah Jawa Timur terhadap tenaga kerja industri manufaktur di Indonesia. Industri rokok kretek di Jawa Tengah memberikan sumbangan tenaga kerja 31,88% industri rokok kretek Indonesia terhadap industri manufaktur pada tahun 1996. Sumbangan tenaga kerja di Jawa Tengah mengalami peningkatan dari 1,33% pada tahun 1996 menjadi 1,55% pada tahun 1999 (meningkat
Musriha: Pengaruh perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja
sebesar 0,22%). Bukan hanya tenaga kerja yang mengalami peningkatan tetapi juga nilai tambah industri rokok kretek di Indonesia juga mengalami peningkatan terhadap nilai tambah industri manufaktur di Indonesia. Steers2 menyatakan, perilaku kerja merupakan rencana tindakan individu termasuk strategi karyawan dan usaha yang dilakukan. Perilaku pekerja menentukan hasil, seperti� yang dikatakan oleh Gibson,3 prestasi kerja merupakan hasil dari perilaku kerja. Prestasi dapat menghasilkan prestasi jangka panjang yang positif dan pertumbuhan diri atau sebaliknya, prestasi jangka panjang yang jelek atau kurang berkembang. Hasil yang dikehendaki dari perilaku pekerja adalah prestasi kerja yang optimal. Di dalam organisasi variabel individu dan lingkungan berpengaruh tidak hanya pada perilaku tetapi juga pada prestasi kerja. Perilaku yang berhubungan dengan prestasi kerja langsung diasosiasikan dengan tugas-tugas kerja yang perlu diselesaikan untuk mencapai tujuan kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Kreitner and Kinicki4 yang menyatakan, perilaku manajer secara signifikan memengaruhi kesediaan seorang karyawan untuk menampilkan perilaku anggota organisasi yang baik. Hubungan ini penting untuk diketahui karena perilaku anggota organisasi yang baik berhubungan secara positif dengan prestasi kerja. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Apakah terdapat pengaruh secara serempak perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja terhadap prestasi kerja karyawan pabrik rokok di Kota Surakarta. (2) Apakah terdapat pengaruh parsial perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja terhadap prestasi kerja karyawan pabrik rokok di Kota Surakarta. (3) pengaruh manakah yang dominan perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja terhadap prestasi kerja karyawan pabrik rokok di Kota Surakarta. Hersey dan Blanchard 5 menyatakan perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan, atau dengan bahasa lain, dapat dikatakan bahwa perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Sigmond Freud (Dalam Hersey and Newstrom, 1990: 4) menjelaskan bahwa perilaku manusia dalam organisasi agaknya tidak dapat diperkirakan seperti yang dibayangkan, karena timbul dari kebutuhan dan sistem nilai yang terkandung dalam diri manusia. Dalam pandangan ahli lainnya bahwa perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Hal ini berarti bahwa seorang individu dengan lingkungannya menentukan perilaku keduannya secara lansung.6 Demikian pula seperti yang dikatakan oleh Siagian7 bahwa terdapat beberapa faktor pembentuk perilaku manusia di antaranya adalah faktor genetik, faktor pengalaman, faktor lingkungan dan faktor pendidikan. Beberapa pendapat di atas agak berbeda dengan pendapat yang disampaikan oleh Schein (1996: 9) yang menyatakan bahwa: ” Human behavior is complex result of the purposes and perception of the current situation, and the
63
assumption or belief in the situation and the people in the situation. On the turn those assumpstions is based on the experience in the past, culture norm and what being expected by other people theory.” Dari pengertian maka perbedaan yang disampaikan oleh Schein tersebut terletak pada perilaku yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar manusia, bukan faktor dari dalam diri manusia. Walaupun mempelajari perilaku terasa agak rumit namun melalui pemahaman perilaku manusia justru merupakan pangkal tolak dapat memahami bagaimana suatu organisasi dapat berfungsi. Setiap pekerja mempunyai motivasi atau dorongan yang berbeda-beda agar mau bekerja dengan baik. Pada dasarnya setiap manusia bekerja didorong untuk memenuhi kebutuhannya. Motif bekerja dan tingkat kebutuhan para pekerja adalah tidak sama. Ada pekerja yang bekerja sematamata untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan fisiknya dan keluarganya, namun ada pula pekerja yang bekerja bukan hanya untuk memperoleh penghasilan, akan tetapi juga untuk mengejar prestasi atau penghargaan. Motivasi penting dalam usaha mendorong para pekerja agar bekerja dengan baik, namun pengertian motivasi sendiri banyak ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan tempat dan keadaan masing-masing ahli tersebut. Campbell dalam Gibson 3 mengemukakan bahwa motivasi berhubungan dengan: (1) ��������������� Arah perilaku, (2) Kekuatan respons (yakni usaha) setelah karyawan memilih, mengikuti tindakan tertentu, (3) Ketahanan perilaku atau berapa lama orang itu terus-menerus berperilaku menurut cara tertentu. Wexley dan Yukl9 mengemukakan bahwa motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja, jadi kuat dan lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasi kerjanya. Dari berbagai pengertian di atas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada suatu motivasi apabila tidak dirasakan adanya suatu kebutuhan dan kepuasan serta keseimbangan. Rangsangan-rangsangan terhadap hal-hal di atas akan menumbuhkan motivasi, dan motivasi yang telah tumbuh akan merupakan dorongan untuk mencapai tujuan guna memenuhi kebutuhan atau mencapai keseimbangan. Motivasi berhubungan erat dengan perilaku dan prestasi kerja, oleh karenanya perlu diarahkan guna mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian motivasi dapat dipandang sebagai bagian integral managemen personalia dalam rangka proses pembinaan, pengembangan dan pengarahan tenaga kerja, karena manusia merupakan unsur terpenting dan paling menentukan bagi kelancaran proses manajemen. Hal-hal yang berhubungan dengan motivasi perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari setiap pimpinan yang berkepentingan terhadap keberhasilan suatu organisasi dalam mewujudkan kerja sama antara individu. Motivasi mempunyai peranan penting bagi penanggung jawab organisasi untuk menggerakkan, mengerahkan dan mengarahkan segala daya dan potensi tenaga kerja yang ada ke arah pemanfaatan yang paling optimal.
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 62–66
64
Lingkungan kerja merupakan suatu sarana atau tempat yang sangat berperan dalam suatu perusahaan. Karena apabila tidak memiliki atau mengadakan pembentukan terhadap lingkungan kerja, biasanya perusahaan hanya mengambil tindakan yang sangat sederhana dalam penanganan lingkungan kerja, yang mengakibatkan aspekaspek tersebut berdampak pada psikologi pekerja. Sehingga secara tidak langsung akan menimbulkan hambatanhambatan dalam pencapaian prestasi kerja karyawan. Menurut Nitisemito9 lingkungan kerja dapat didefinisikan “segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat memengaruhi dirinya dalam menjalankan tugastugas yang dibebankan”. Kemudian dijelaskan pula oleh Sarwoto10 bahwa lingkungan kerja adalah “suasana yang memengaruhi pekerja dalam melakukan aktivitas kegiatan yang dibebankan di suatu tempat tertentu”. Selanjutnya menurut Hasibuan 11 lingkungan kerja merupakan “lingkungan yang konkrit dan abstrak yang meliputi atau mengelilingi kerja seseorang”. Dari pendapat beberapa ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah keadaan tempat kerja seorang karyawan yang meliputi lingkungan fisik dan non fisik yang dapat memengaruhi karyawan tersebut dalam menjalankan aktivitas dan tugas yang dibebankan.
berpengaruh dominan terhadap prestasi kerja karyawan pabrik rokok di kota Surakarta.
metode penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan pabrik rokok yang ada di kota Surakarta berjumlah sebanyak 1337 orang. Sedangkan sample yang diambil dalam penelitian ini adalah 100 orang secara acak random. Perilaku pekerja adalah tanggapan responden mengenai perilaku yang pada dasarnya berorientasi pada tujuan, atau dengan bahasa lain, dapat dikatakan bahwa perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.12 Adapun variabel perilaku kerja diukur dengan indikator: dapat mengelola diri sendiri (self management); ������������������������������������ loyal/komitmen terhadap organisasi; mempunyai kemampuan untuk membangun kompetensi diri; bersifat jujur, berani mengungkapkan pendapat dan bertanggung jawab. Motivasi adalah kondisi (energi) yang menggerakkan dalam diri individu yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi.13 Sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja, jadi kuat dan lemahnya motivasi kerja seorang tenaga kerja ikut menentukan besar kecilnya prestasi kerjanya. Adapun variabel motivasi diukur dengan indikator: kebutuhan fisiologi; kebutuhan rasa aman; kebutuhan sosial; kebutuhan penghargaan; kebutuhan aktualitas diri. Lingkungan kerja adalah lingkungan fisik tempat kerja dalam arti semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat kerja yang akan memengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung, Sarwoto,1 dengan indikator: pewarnaan yang tepat di tempat kerja; kebersihan di tempat kerja adalah; penerangan di tempat kerja; pertukaran udara yang baik di tempat kerja; keamanan di tempat kerja; Kebisingan ��������������������������� di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan uji Validitas dan Reliabilitas sebelum dianalisis dengan Regresi Linier Berganda. Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 Y = Prestasi kerja X1 = Perilaku verja X2 = Motivasi kerja X3 = Lingkungan kerja
Hipotesis dalam penelitian ini adalah (1) Bahwa terdapat pengaruh secara serempak perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja terhadap prestasi kerja karyawan pabrik rokok di kota Surakarta. (2) Bahwa terdapat pengaruh parsial perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja terhadap prestasi kerja karyawan pabrik rokok di kota Surakarta. (3) bahwa perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja
Tabel 1. Hasil analisis regresi Coefficientsa Model 1. (Constant) Perilaku Motivasi Lingkungan a.
Unstandardized Coefficients B
Std. Error
.249 .128 .188 .650
.216 .110 .055 .097
Dependent Variable: Prestasi
Standardized Coefficients
t
Sig.
1.156 1.165 3.446 6.700
.250 .247 .001 .000
Beta .112 .207 .649
Correlations Zero order
Partial
Part
.822 .711 .885
.118 .332 .564
.051 .152 .295
Musriha: Pengaruh perilaku kerja, motivasi dan lingkungan kerja
65
Ho diterima karena nilai P Sig 0,247 lebih besar dari 0,05. Adanya penerimaan Ho berarti Perilaku kerja (X1) tidak berpengaruh signifikan terhadap Prestasi kerja (Y)
hasil penelitian
Data yang dimasukkan dalam program SPSS diolah dengan analisis regresi linier berganda. Berdasarkan hasil perhitungan SPSS persamaan regresinya menjadi sebagai mana terlihat pada Tabel 1.
Motivasi terhadap Prestasi Kerja Pengaruh Motivasi (X2) terhadap Prestasi kerja (Y) sebesar 0,332 atau sebesar 33,2% sehingga pengaruhnya kecil karena koefisien determinasinya parsialnya di atas 50%. Koefisien regresi X2 sebesar 0,188 adalah bahwa setiap kenaikan Motivasi (X2) sebesar 1 maka akan diikuti dengan kenaikan Prestasi kerja sebesar 0,188. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh nilai P Sig sebesar 0,001 maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak karena nilai P Sig sebesar 0,001 lebih kecil dari 0,05. Adanya penolakan Ho berarti Motivasi (X2) berpengaruh signifikan terhadap Prestasi kerja (Y).
Y = 0.249+0.128X1+0.188X2+0.650X3 Konstanta (a) sebesar 0.249 menunjukkan bahwa setiap Perilaku kerja (X1), Motivasi (X2) dan Lingkungan kerja (X3) ditiadakan atau sama dengan nol maka Prestasi kerja sebesar 0.249. Pengaruh Variabel Perilaku Kerja, Motivasi, Lingkungan Kerja terhadap Prestasi Kerja Perilaku kerja (X1), Motivasi (X2), dan Lingkungan kerja (X 3) mempunyai pengaruh serempak terhadap Prestasi kerja (Y) yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R squared) sebesar 0,814 atau 81,4% yang hal ini berarti kontribusi Perilaku kerja (X1), Motivasi (X2), dan Lingkungan kerja (X3) terhadap Y adalah sebesar 81,4% dan sisanya 18,4% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Apabila variabel tak terkontrol diperhitungkan dalam penelitian ini maka pengaruhnya ditunjukkan dengan Adjusted R Squared sebesar 0,814 atau sebesar 81,4%. Keeratan hubungan antara Perilaku kerja (X1), Motivasi (X2), dan Lingkungan kerja (X3) terhadap Prestasi kerja (Y) ditunjukkan dengan Multipel R sebesar 0,902 atau sebesar 90,2% yang berarti keeratan hubungannya sangat kuat karena mendekati satu. $ Berdasarkan hasil perhitungan dihasilkan nilai P Sig sebesar 0,000 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima karena lebih kecil dari 0,05 Dengan demikian berarti terdapat pengaruh secara serempak yang signifikan antara Perilaku kerja (X1), Motivasi (X2), dan Lingkungan kerja (X3) terhadap Prestasi kerja (Y).
Lingkungan Kerja terhadap Prestasi Kerja Pengaruh Lingkungan kerja (X3) terhadap Prestasi kerja (Y) sebesar 0,564 atau sebesar 56,4% sehingga pengaruhnya besar karena koefisien determinasi parsialnya di atas 50%. Koefisien regresi X3 sebesar 0,650 adalah bahwa setiap kenaikan Lingkungan kerja (X3) sebesar 1 maka akan diikuti dengan kenaikan Prestasi kerja sebesar 0,650. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh nilai P Sig sebesar 0.000 maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak karena nilai P Sig sebesar 0.000 lebih kecil dari 0,05. Adanya penolakan Ho berarti Lingkungan kerja (X3) berpengaruh signifikan terhadap Prestasi kerja pegawai (Y). Uji Pengaruh Dominan Berdasarkan perhitungan menggunakan SPSS dapat diketahui bahwa Variabel Lingkungan kerja mempunyai pengaruh dominan terhadap Prestasi kerja hal ini dapat dilihat dari koefisien betanya sebesar 0,649 lebih besar dari variabel yang lain. Dengan demikian hipotesis yang ketiga yang menyatakan bahwa variabel Perilaku kerja mempunyai pengaruh dominan terhadap Prestasi kerja diterima kebenarannya.
Perilaku Kerja terhadap Prestasi Kerja Pengaruh Perilaku kerja (X1) terhadap Prestasi kerja (Y) sebesar 0,118 atau sebesar 11,8% sehingga pengaruhnya kecil karena koefisien determinasi parsialnya di bawah 50%. Koefisien regresi X1 sebesar 0,128 adalah bahwa setiap kenaikan Perilaku kerja (X1) sebesar 1 maka akan diikuti dengan kenaikan Prestasi kerja sebesar 0,128. Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh nilai P Sig sebesar 0,247, maka dapat disimpulkan bahwa
Pembahasan Perilaku kerja, Motivasi, dan Lingkungan kerja mempunyai pengaruh serempak terhadap Prestasi kerja yang ditunjukkan dengan koefisien determinasi (R squared) sebesar 0,814 atau 81,4% yang hal ini berarti kontribusi
Tabel 2. Pengaruh variabel perilaku kerja, motivasi, lingkungan ���������������������������������������� kerja terhadap prestasi kerja Model Summary Model 1. a.
R
R Square
Beta
Adjusted R Square
0.902a
.814
.808
.24969
Predictors: (Constant), Lingkungan, Motivasi, Perilaku
Change Statistics R Square Change
F Change
df1
df2
Sig. F Change
.814
139.942
3
96
.666
66
Perilaku kerja Motivasi dan Lingkungan kerja terhadap Y adalah sebesar 81,4% dan sisanya 18,4% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Variabel Lingkungan kerja mempunyai pengaruh dominan terhadap Prestasi kerja hal ini dapat dilihat dari koefisien betanya sebesar 0,649 lebih besar dari variabel yang lain. Hasil penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh. Hasibuan11 bahwa lingkungan kerja adalah “suasana yang memengaruhi pekerja dalam melakukan aktivitas kegiatan yang dibebankan di suatu tempat tertentu”, lingkungan kerja merupakan “lingkungan yang konkrit dan abstrak yang meliputi atau mengelilingi kerja seseorang”.
simpulan dan saran
Simpulan Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang pertama yang dilakukan dapat diketahui bahwa hipotesis yang diajukan, yaitu bahwa Perilaku kerja, Motivasi, dan Lingkungan kerja mempunyai pengaruh serempak dan signifikan terhadap Prestasi kerja diterima kebenarannya hal ini dibuktikan dengan uji signifikasi atau uji F pengaruh serempak variabel bebas terhadap variabel terikatnya adalah signifikan karena nilai P Sig sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Motivasi dan Lingkungan kerja mempunyai pengaruh parsial dan signifikan terhadap Prestasi kerja karena memiliki nilai P Sig di bawah 0,05, sedangkan variabel perilaku kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan karena memiliki nilai Sig di atas 0,05. Berdasarkan uji hipotesis secara parsial dapat diketahui bahwa hipotesis yang ketiga yang diajukan, yaitu diduga pengaruh Lingkungan kerja mempunyai pengaruh yang dominan terhadap Prestasi kerja dapat diterima kebenarannya karena pengaruhnya lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh variabel yang lain, yaitu sebesar 0,649.
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 62–66
Saran 1. Berdasarkan penelitian ini, Perilaku kerja, Motivasi dan Lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap Prestasi kerja maka dapat dijadikan dasar bagi pimpinan untuk mengambil keputusan di masa yang akan datang. 2. Motivasi dan Lingkungan kerja mempunyai pengaruh parsial yang signifikan terhadap Prestasi kerja maka pimpinan merasa perlu untuk memperhatikan variabel di atas mengingat variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap Prestasi kerja. 3. Perilaku kerja adalah variabel yang berpengaruh dominan terhadap Prestasi kerja, hendaknya pimpinan mempertahankan variabel tersebut sehingga Prestasi kerja akan lebih meningkat.
daftar pustaka
1. Kuncoro, 1999. 2. Steers, Efektivitas Organisasi, Terjemahan Erlangga, Jakarta, 1995. 3. Gibson, James L, John M Ivancevick, and James H. Donnely, Organization and Management, Behavior, Structure, Process, London: McGraw- Hill Inc, 1992. 4. Kreitner R dan Kinicki A, Organizational Behavior, 3th edition, Richard D. Irwin, USA, 2000. 5. Hersey and Blanchard, Manajemen Perilaku Organisasi: Penggunaan Sumber Daya Manusia, Terjemahan, Jakarta; Penerbit Erlangga, 1992. 6. Thoha, 1993. 7. Siagian Sondang, Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan Ketujuh. Jakarta; Bumi Aksara, 1999. 8. Schein, 1996. 9. Nitisemito, Manajemen Personalia, Cetakan Kelima. Jakarta; Ghalia Indonesia, 1991. 9. Wexley dan Yukl, Perilaku dan Psikologi Personalia, Terjemahan, Jakarta; Bina Aksara, 1995. 10. Sarwoto, Dasar-Dasar Organisasi Manajemen. Jakarta; Ghalia Indonesia, 1991. 11. Hasibuan, Organisasi dan Motivasi, Cetakan pertama. Jakarta; Bumi Aksara, 1994. 12. Kelly L, the ASTD Technical and Skill Training Book, Mcgraw Hill. Inc, 1995. 13. Mangkunegara, Mangkunegara AA Anwar Peabel, 2000, Manajemen Sumber Daya Perusahaan, Bandung; Remaja Rosda Karya, 2005.
67
Techniques and Appropriateness of the Techniques of the Indonesian Translation of Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie (Pemilihan Teknik dan Kepatutannya dalam Terjemahan Novel Karangan Mitch Albom yang Berjudul ‘Tuesdays with Morrie’) R.A.Vitria Pawitrasari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya abstrak
Penelitian ini mengenai ‘Descriptive Translation Studies’ (DTS) antara novel ‘Tuesdays with Morrie’ dengan versi terjemahannya, ‘Selasa bersama Morrie’, yang bertujuan untuk mencari tahu tentang teknik penterjemahan yang digunakan oleh sang penterjemah, Alex Tri Kantjono, dan kepatutan penggunaan teknik tersebut. Dalam penelitian ini, terdapat dua hal yang menjadi permasalahan: (1) Teknik apa yang digunakan oleh penterjemah dalam menterjemahkan novel karangan Mitch Albom ‘Tuesdays with Morrie’? (2) Bagaimana kepatutan teknik yang digunakan tersebut? Peneliti dalam penelitian ini hanya terfokus pada produk dan fungsi yang terdapat dalam DTS milik Holmes, mengingat bahwa proses penterjemahan telah terjadi di tahun 2001. Vinay dan Darbelnet, yang memiliki tujuh prosedur pentejemahan, digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama mengenai teknik yang digunakan. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan kedua, mengenai kepatutan teknik yang digunakan tersebut, digunakan tujuh standar tekstualitas. Berdasarkan data yang didapat, sebagian besar terjemahan menggunakan ‘oblique (indirect) translation’. Dalam hal ini prosedur ‘direct translation’ jarang digunakan. Selanjutnya berdasarkan standar tekstualitas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penterjemah telah memenuhi ketujuh standar tekstualitas yang ada, yaitu: ‘cohesion’, ‘coherence’, ‘situationality’, ‘acceptability’, ‘intertextuality’ dan ‘informativity’. Dapat disimpulkan bahwa, secara tidak langsung, teknik penterjemahan yang digunakan oleh penterjemah adalah tepat. Teknik tesebut telah dapat menyampaikan pesan yang sama, emosi yang sama dan kejujuran yang sama dengan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Kata kunci: peneliti, pengarang, penterjemah, teknik, kepatutan, terjemahan, bahasa asal, teks asal, bahasa terjemahan, teks terjemahan abstract
The researcher did a research on Descriptive Translation Studies (DTS) between the original book, Tuesdays with Morrie, and the translated version, Selasa bersama Morrie, in order to be able to find the techniques that the translator, Alex Tri Kantjono, used in translating the book and its appropriateness in the translation. In this research, the researcher mentioned two research questions: (1) What techniques are used by the translator in translating Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie? (2) How is the appropriateness of the translation techniques used in translating Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie? The researcher used a descriptive study using Holmes’ Descriptive Translation Study concentrating on the product and function. In doing the research, the researcher used Vinay and Darbelnet’s strategies which consist of seven procedures of translation. The researcher only focused on examination of the product and the function, due to the fact that the process of the translation had been done some time in 2001. In order to do the research on the appropriateness, it based on the seven standards of textuality. The data that was studied by the researcher consists of two forms. The first form of the data was in a form of text that collected from the translated book. While the second form of the data was in a form of email discussion between the researcher and the translator. Based on the data collected, the researcher has analyzed that most of the translation used oblique translation instead of direct translation. It is so obvious that the procedures in direct translation were rarely used in translating this book. There is small part of the translation that used the direct translation, such as: borrowing, calque and literal translation. While most of them were translated using the oblique (indirect) translation. Based on the standards of textuality, the researcher concluded that the translator also has fulfilled the seven standards of textuality: cohesion, coherence, situationality, acceptability, intertextuality, and informativity. It means that the techniques, that unconsciously used by the translator, is appropriate; it can deliver the same message, the same emotion, the same excitement and the truth of the original version.
Key words: the researcher, the author, the translator, technique, appropriateness, translation, source language (SL), source text (ST), target language (TL), target text (TT)
introduction
Most people love to hunt for international bestseller books. The problem in this case is that most of the
international bestseller books are written in English. English in Indonesia is still considered as a foreign language, so that is the reason why the translated versions of all those
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 67–73
68
international bestseller books become the most wanted books, such as: Harry Potter, Personality Plus, Chicken Soup Collections, Tuesdays with Morrie, etc. Most of the people consider that reading the book that has been translated into their mother tongue, Indonesian, is easier than reading the original version. Translation, according to Peter Newmark, is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text.1 The researcher has read several of those international bestseller books, both the original version as well as the translated version. After reading some of those translated version, the researcher found that there are some information loss or gain. According to Newmark, translation has its own excitement, its own interest. He further explained that a satisfactory translation is always possible, but a good translator is never satisfied with it. There’s no such thing as a perfect, ideal or ‘correct’ translation, he added. Translation is a science, a skill, an art and a matter of taste.1 Moreover, those books are translated from bestsellers books. A bestselling translation tends to reveal much more about the domestic culture for which it was produced, than the foreign culture for which it was taken to represent;2 it is usually called domestication. However, there are still some times when a translator uses the words or terms from the SL; it is called foreignization. We all know that in comparing the same text in different languages, it is closely related to the theory of equivalence. The theory of equivalence has been interpreted by some of the most innovative theorists in this field, such as: Vinay and Darbelnet, Jakobson, Nida and Taber, Catford, House, and Baker. These theorists have studied equivalence in relation to the translation process, using different approaches, and have provided fruitful ideas for further study on this topic. These theories can be substantially divided into three main groups. In the first there are those translation scholars who are in favour of a linguistic approach to translation and who seem to forget that translation in itself is not merely a matter of linguistics. In fact, when a message is transferred from the SL to TL, the translator is also dealing with two different cultures at the same time. This particular aspect seems to have been taken into consideration by the second group of theorists who regard translation equivalence as being essentially a transfer of the message from the source culture to the target culture and a pragmatic/semantic or functionally oriented approach to translation. Finally, there are other translation scholars who seem to stand in the middle, such as Baker for instance, who claims that equivalence is used ‘for the sake of convenience—because most translators are used to it rather than because it has any theoretical status’ (quoted in Kenny3). In producing an appropriate translation, the translator uses a certain technique in translating the text. The translator of Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie certainly used a certain technique when translating the book, whether he used a certain theory or not. Reading Tuesdays with Morrie and Selasa bersama Morrie, globally, is the same.
However, there are still some differences on the translated version. This fact becomes the researcher’s reaon to do a research on it. The researcher did a descriptive translation studies between the original book, Tuesdays with Morrie, and the translated version, Selasa bersama Morrie, in order to be able to find what kind of exact techniques that the translator used in translating the book and its appropriateness in the translation. Maybe we are not aware that Teaching English is closely tied to teaching translation. Translation is a useful tool to learn grammar, syntax, and lexis in both Source Language and Target Language. The final text of a written translation is a new one; translating is a sort of re-writing. In this sense, the translated work must “stand on its own.” Since the text has its own identity, it must respect the rules which govern its language. When our students translate, they unconsciously follow three steps: analysis, transfer, and restructuring.
analysis
Figure 1.
Research design
As mentioned above, this is a qualitative research in descriptive translation studies. Using Holmes’ Descriptive Translation Study (DTS), one of the branches of ‘Pure’ research on translation studies. In Munday’s book Introducing Translation Studies, he quoted Holmes’ explanation about Descriptive translation studies (DTS); Holmes explained that DTS has three possible foci: examination of (1) the product, (2) the function and (3) the process.4 The researcher concentrated on the product and the function. The researcher used Vinay and Darbelnet’s strategies consisting of seven procedures of translation. Vinay and Darbelnet view equivalence-oriented translation as a procedure which ‘replicates the same situation as in the original, whilst using completely different wording’. They also suggest that, if this procedure is applied during the translation process, it can maintain the stylistic impact of the SL text in the TL text. According to them, equivalence is therefore the ideal method when the translator has to deal with proverbs, idioms, clichés, nominal or adjectival phrases and the onomatopoeia of animal sounds. The
Pawitrasari: Techniques and appropriateness of the techniques of the indonesian translation
two general translation strategies identified by Vinay and Darbelnet are direct translation and oblique translation.5 Firstly the writer analyzed whether it is a direct translation or an oblique translation used as the strategy. In order to identify about the technique, the researcher classified the procedures used by the translator in translating the novel. After gathering all the information from data collection and analysis, the researcher further analyzed it using the checklist that had been made before doing this research. It was used as tool to identify the techniques used in translating the novel. Furthermore, the checklist was classified into Vinay and Darbelnet’s seven methods of translation. In order to help reading the data that has been collected, the researcher put some remarks and signs on the data collection. The words written in red colour represented omission. The words written in blue colour represented addition. The yellow highlighted word represents inappropriate word choice. The blue highlighted word represents appropriate word choice. The techniques used by the translator in translating Mitch Albom’s Tuesday with Morrie From the collected data, the researcher was able to answer those two research questions. The researcher has collected the data from books, both the original and the translated version. The data has been categorized using Vinay and Darbelnet’s method. As mentioned before that in Vinay and Darbelnet’s method there are two strategies: direct translation and oblique/ indirect translation. Furthermore, the researcher has classified the checklist into Vinay and Darbelnet’s seven procedures. Borrowing was only used when the Source Text is some word that was not familiar in the TL. In Source Text “One of the helpers, a stout Italian woman named Connie, cut up bread and tomatoes and brought containers of chicken salad, hummus, and tabouli,” the words ‘hummus’ and ‘tabouli’ are not common in SL; TL has no equal words for hummus and tabouli. As the result the translator borrowed the words to be put in Target Text. Transposition concerns the changes of grammatical categories in translation. The title Tuesdays with Morrie was translated into ‘Selasa bersama Morrie’. In Source Text, the word ‘Tuesdays’ is in plural form, and in Target Text was translated as singular form; this is known as changing of singular to plural form or vice versa. On page 2 of Source Text, the sentence ‘I was the student’ was translated as ‘Mahasiswa itu adalah aku’. The word order was shifted because it sounds better to be translated that way in Source Text. This technique is known as changing of position or word order shift. On page 3 of Source Text, two sentences from Source Text, ‘In the late spring of 1979, a hot, sticky Saturday afternoon. Hundreds of us sit together, side by side, in rows of wooden folding chairs on the main campus lawn’, was
69
translated into one long sentence, ‘Di penghujung musim semi tahun 1979, pada suatu Sabtu siang yang panas, yang membuat badan terasa lengas, bersama ratusan mahasiswa lain aku duduk di kursi lipat dari kayu yang dibariskan berjajar di lapangan utama kampus’. This is called changing of punctuation. In sentence ‘Afterward, I find Morrie Scwartz, my favorite professor, and introduce him to my parents’; it was translated into ‘Seusai upacara itu aku bergegas mencari Morrie Scwartz, profesor favoritku, untuk kuperkenalkan kepada orang tuaku’. It is still appropriate, altought the translator put his own interpretation that at that time Mitch was in a hurry in finding Morrie. The conjunctions changing also did not give a different meaning to the sentence. Choice of word relates to the word that was chosen in the translation. The yellow highlighted words represented the inappropriate choice of words. While the blue highlighted words presented the appropriate choice of words. One sentence using this technique: ‘No one there knew he was a prominent doctor of sociology, with years of experience as a college professor and several well-respected books’ was translated into ‘Tak seorangpun di sana tahu pak tua itu seorang doktor sosiologi yang sangat mumpuni, dengan pengalaman bertahun-tahun sebagai mahaguru dan sejumlah karya tulis yang sangat disegani’. Another sentence is ‘We wear blue nylon robes. We listen impatiently to long speech’ was translated into ‘Mengenakan jubah wisuda warna biru, dengan sabar kami mendengarkan sambutan demi sambutan yang rata-rata cukup panjang’. Modulation is defined as “a change in point of view that allows us to express the same phenomenon in a different way. It is distinguished into two types: recorded modulation and free modulation. Concerning the second type, ‘free modulation’, it is considered to be more practical in cases where “the TL rejects literal translation.”. Negated contrary is also one of the techniques that were used by the translator; as mention on this sentence ‘It was breezy and warm’. It was translated into ‘Udara tak begitu dingin dan angin sepoi-sepoi’. The Source Text mention about ‘warm’, and instead of saying ‘hangat’, the translator chose the words ‘tak begitu dingin’. Equivalence refers to cases where languages describe the same situation by different stylistic or structural means. Equivalence is particularly useful in translating idioms and proverbs. In the sentence ‘I did four or five media jobs in England, juggling them like a clown’; it was translated, using equivalence technique, into ‘Aku menulis untuk empat atau lima majalah di Inggris, dan berusaha memenuhi target yang mereka tentukan sampai aku harus jungkir balik sendiri’. The highlighted words in Target Text, was chosen by the translator as an equivalence of the words ‘juggling them as a clown’. In adaptation, the translator works on changing the content and the form of the ST in a way that conforms to the rules of the language and culture in the TL community.
70
Paraphrase as one of the procedures of adaptation aims to surpass all cultural barriers that the Source Text may present; this procedure is based on explanation. The sentence ‘In light of this, my visits with Morrie felt like a cleansing rinse of human kindness’ was translated into ‘Dalam situasi seperti ini, kunjunganku ke rumah Morrie terasa seperti menikmati siraman air sejuk di tengah kemarau berkepanjangan’ using paraphrasing technique. The other techniques, which were use so often in the translation, were omissions and additions. In ‘The last class of my old professor’s life took place once a week in his house, by a window in the study where he could watch a small hibiscus plant shed its pink leaves’; it was translated into ‘Kuliah terakhir dalam hidup sang professor yang sudah berusia lanjut itu berlansung sepekan sekali di rumahnya, di dekat jendela ruang kerja tempatnya dapat menikmati keindahan kembang sepatu yang bunganya merah jambu’. The words in red colour represented the words omitted and the words in blue colour represented the additional words. In translating the Source Text into the Target Text, the translator mostly combined several techniques. As in the sentence ‘He used to go to this church in Harvard square every Wednesday night for something called “Dance Free”’ was translated into ‘Ia biasa pergi ke tempat ini, di Harvard Square, setiap Rabu malam, sebuah acara yang disebut “Dance Free”’. The word church was omitted, the punctuations were changed, and it borrowed the words ‘Dance Free’ from the Source Text. Most of the translation used the oblique translation. However, there is small part of the translation that used the direct translation, such as: borrowing, calque and literal translation. At first, the researcher thought that the translator, Alex Tri Kantjono Widodo, used a specific technique to translate the book. In the end, based on the information collected from the translator himself through the correspondence between the researcher and the translator himself, it was revealed that the translator never consciously used a specific technique in translating the book. Before translating a book, the translator usually tried to think deeply about the book itself, especially about the message that the author wants to deliver to the readers. After that he would study about the readers market of the book that he was going to translate. After that he would find a way in order to be able to translate the book as effective as possible; he would do his best to deliver the beauty of the message, the emotion, the truth and the excitements of the book in a language that can be accepted easily by the readers. His measurement is the readers’ satisfaction after reading the translated book. In this case, he says that he relies on his instinct. Up to now he never receives any complain neither from his publisher nor his clients. They kept saying to keep his good work. This gives him freedom in translating. The most important thing, according to him, is to know who the readers will be. By knowing it, it will be easier to create a limitation or signs in his work. He said it would be easier to translate a book for specific reader,
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 67–73
because in this case the reader has already known about the term mentioned on the book. When he had to translate a book for general readers, it would not be that easy; just like translating Tuesdays with Morrie. In order to be able to deliver the same meaning sometimes he had to paraphrase the Source Text, to make it easier to grasp the message of the Source Text. Sometimes he did direct translation, but it was very rarely; and sometimes he also had to paraphrase the whole paragraph, just like what he did in some part of the Source Text in Tuesdays with Morrie. The most important that he always exploring the author’s characteristic and language style, as well as to the characters in the books in order to be able to have a deep understanding about it. This would help him to stay on the track and able to translate the text like the original. Comparing the result from the correspondence with the translator and the textual collected data, it can be said that globally the technique used in translating Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie was oblique (indirect) translation using all the four procedure: transposition, modulation, equivalence and adaptation. As mentioned by Alex, that it is the most flexible technique that we can use in translating books for general readers. The appropriateness of the used translation techniques in translating Mitch Albom’s Tuesday with Morrie Furthermore, continuing the analysis on the appropriateness of the used technique, based on the same data collected above, the researcher agreed that the translator used the appropriate technique in translating the book. Most of the Source Text’s were translated appropriately. Most of the Target Texts were translated appropriately and able to deliver the same message, the same emotion, and the same excitement as the original. When the title Tuesdays with Morrie was translated into ‘Selasa bersama Morrie’i; in Source Text, the word ‘Tuesdays’ is in plural form, and in Target Text was translated as singular form. However, the changes did not change the message from the Source Text and it can be considered as appropriate. Moreover, the translation does not lead to a misinterpretation because it still refers to every Tuesday, and not only just one Tuesday. Regarding the fact that the Source Text was in English and the Target Text was in Indonesian, Changing Order was used very often. On page 2 of Source Text, the sentence ‘I was the student’ was translated as ‘Mahasiswa itu adalah aku’. On the sentence ‘A funeral was held in lieu of graduation’; it was translated ‘Upacara wisuda diganti dengan upacara pemakaman’. The word order was shifted because it sounds better to be translated that way in Source Text. However, the changing of position does not change the meaning. On page 3 of Source Text, two sentences from Source Text, ‘In the late spring of 1979, a hot, sticky Saturday afternoon. Hundreds of us sit together, side by side, in rows of wooden folding chairs on the main campus lawn’, was
Pawitrasari: Techniques and appropriateness of the techniques of the indonesian translation
translated into one long sentence, ‘Di penghujung musim semi tahun 1979, pada suatu Sabtu siang yang panas, yang membuat badan terasa lengas, bersama ratusan mahasiswa lain aku duduk di kursi lipat dari kayu yang dibariskan berjajar di lapangan utama kampus’. Although it is two sentences that were translated into one sentence, this did not change the meaning. Negated contrary also one of the techniques that was used by the translator; as mention on this sentence ‘It was breezy and warm’. It was translated into ‘Udara tak begitu dingin dan angin sepoi-sepoi’. The Source Text mention about ‘warm’, and instead of saying ‘hangat’, the translator chose the words ‘tak begitu dingin’. It is also able to represent the message in Source Text. Equivalence and paraphrase are two techniques that were also used in the translation. For example, in the sentence ‘I did four or five media jobs in England, juggling them like a clown’; it was translated, using equivalence technique, into ‘Aku menulis untuk empat atau lima majalah di Inggris, dan berusaha memenuhi target yang mereka tentukan sampai aku harus jungkir balik sendiri’. The highlighted words in Target Text, was chosen by the translator as an equivalence of the words ‘juggling them as a clown’ and it is appropriate. The sentence ‘In light of this, my visits with Morrie felt like a cleansing rinse of human kindness’ was translated into ‘Dalam situasi seperti ini, kunjunganku ke rumah Morrie terasa seperti menikmati siraman air sejuk di tengah kemarau berkepanjangan’ using paraphrasing technique. The previous paraphrase is also appropriate. The other techniques, which were use so often in the translation, were omissions and additions. As mentioned above that there are several omissions and additions. In ‘The last class of my old professor’s life took place once a week in his house, by a window in the study where he could watch a small hibiscus plant shed its pink leaves’; it was translated into ‘Kuliah terakhir dalam hidup sang professor yang sudah berusia lanjut itu berlansung sepekan sekali di rumahnya, di dekat jendela ruang kerja tempatnya dapat menikmati keindahan kembang sepatu yang bunganya merah jambu’. The words in red colour represented the words omitted and the words in blue colour represented the additional words. This translation using techniques of: addition general information, omission of indefinite article, omission of preposition, omission of pronoun, and omission of adjective. In this case, the omissions and the additions did not lead to any misinterpretation, and it can be considered appropriate. The choice of words was also used very often in the translation. However, the translator must be more careful with the choice of words. From the table of analysis in the appendix, the detailed explanation about it is presented. The yellow highlighted words represented the inappropriate choice of words. While the blue highlighted words presented the appropriate choice of words. The sentence ‘No one there knew he was a prominent doctor of sociology, with years of experience as a college
71
professor and several well-respected books’ was translated into ‘Tak seorangpun di sana tahu pak tua itu seorang doctor sosiologi yang sangat mumpuni, dengan pengalaman bertahun-tahun sebagai mahaguru dan sejumlah karya tulis yang sangat disegani’. This translation can be considered appropriate, although the word ‘guru besar’ or even the word ‘profesor’ itself is more common than the word ‘mahaguru’. While the sentence ‘We wear blue nylon robes. We listen impatiently to long speech’ can represent the in appropriateness, because it was translated into ‘Mengenakan jubah wisuda warna biru, dengan sabar kami mendengarkan sambutan demi sambutan yang ratarata cukup panjang’. The two-sentence Source Text was translated into only one-sentence Target Text. The word we was also omitted. However, it is not the reason why the sentence is inappropriate. It is because the translator misinterpreted the word impatiently. Other example of the inappropriateness can be seen in sentence ‘Nurses came to his house to work with Morrie’s withering legs, to keep the muscles active, bending them back and forth as if pumping water from a well’; it was translated into ‘Perawat datang ke rumah Morrie untuk melatih kedua kakinya yang mulai lumpuh, berusaha mengaktifkan kembali otot-ototnya, menekuk-nekuknya ke belakang dan ke depan dengan gerakan seperti memompa air dari sebuah sumur’. It is not appropriate because the words ‘to keep the muscles active’ mean that at that time the muscle was still active, and they tried to keep it that way. However, in the Target Text, it appears that the muscle is no longer active. Those have different meaning. Another example of the inappropriateness can be seen in sentence ‘At the same time, I had my first serious encountered with death’; it was translated into ‘Bersamaan dengan itu, untuk petama kalinya juga aku merasakan peristiwa kematian sebagai sesuatu yang serius’. The translation is not appropriate because in the Source Text it was talking about the first time Mitch encountered with death. While in Target Text, it is said that it was the first time Mitch considered death a something serious. Those are two opposite meaning. There was also other inappropriateness in the translation, which the researcher considers as a human error, for example about the one paragraph missing in Target Text. One paragraph ‘What happen to me? I asked myself. Morrie’s high, smoky voice took me back to my university years, when I thought rich people were evil, a shirt and tie were prison clothes, and life without freedom to get up and go –motorcycle beneath you, breeze in your face, down the streets of Paris, into the mountains of Tibet – was not a good life at all. What happened to me?’ was only translated into ‘Apa yang terjadi padaku?’. Almost the whole paragraph was not translated. It must have been done unconsciously. Although there was very little inappropriateness, but overall the translator was able to bring up the truth about Mitch Albom’s Tuesday with Morrie into the translation Selasa bersama Morrie.
72
As mentioned before by the translator that he never consciously used any specific theory in translating a book. His only goal was to deliver the same message, the same emotion, the same excitement and the same truth as the original. Based on the data collected, it is so obvious that he was able to do it well. In sentence ‘He’d do the lindy to Jimi Hendrix’ was ranslated, using more than one technique, into ‘Dari tango atau salsa hingga music Jimi Hendrix yang keras menghentak’. It is appropriate because the term lindy is not a common type of dance in TL culture, so the translator tried to put other type of dancing which are more common. He also gave additional information about the music. As well as in the sentence ‘I would wake up in the morning, brush my teeth, and sit down at the typewriter in the same clothes I had slept in’; it was translated into ‘Aku bangun pada pagi hari, menggosok gigi, langsung duduk di depan mesin tik masih mengenakan pakaian tidurku’. Although a word was omitted, a word was added, and we do not really know whether the same clothes he had slept in was his pajamas; but we still can get the idea that his work is something that he care the most. As mentioned before by the translator that he never consciously used any specific theory in translating a book. His only goal was to deliver the same message, the same emotion, the same excitement and the same truth as the original. It is so obvious that unconsciously, the translator used the oblique translation in order to be able to gain his goal in translating. According to what Alex said during the correspondence with the researcher, he said that sometimes he also learned some translation theory, but he never consciously uses it in translating, because he depends more on his instinct and replacing himself in the readers’ position. However, unconsciously he used it. It can be proved from all the collected data above. When discussing about the standard of textual communication, it is related to the extent to which a text upholds some if not all of the following standards of textuality, which are cohesion, coherence, intentionality, situationality, intertextuality, acceptability and informativity. Based on the data, the researcher concluded that the translator has fulfilled the standards of textuality. By reading the Target Text, there are relations or ties between text by requiring the reader to interpret words and expressions by reference to other words and expressions in the surrounding sentences and paragraphs of Target Text. The coherence of text was also good. The researcher and the triangulator put themselves as the reader and notify the good coherence between sentences. The coherence of a text is a result of the interaction between knowledge presented. While cohesion and coherence are to a large extent text-centred, intentionality is user centred. A text-producer normally seeks to achieve a purpose or goal (e.g. persuasion, instruction, request, information, etc.) based on a given plan. Obviously, cohesion and coherence are taken into consideration while planning and executing one’s plan. As
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 67–73
mentioned above that Alex’s goal in translation is to deliver the message of the original as good as the original novel. In the text and the reader’s own knowledge and experience of the world, the latter being influenced by a variety of factors such as age, sex, race, nationality, education, occupation, and political and religious affiliations. Because it is appropriate, it means that it is also acceptable. Although The Target Text was translated several years after the original novel was published; however, the Target Text is still able to deliver the information of the morale of the story. It means that the standard of informativity has been fulfilled. The target text is also relevant to a particular SL social or pragmatic context. The seventh standard of textuality is called intertextuality. A Target Text is related to other Target Texts. Intertextuality refers to the relationship between a given text and other relevant texts encountered in prior experience. These include textual conventions and textual expectations. In validating all the above findings, the researcher discussed with the triangulator, Kenya. She and the researcher worked separately using the same method. Discussion was held during the process of the research. There were sometimes when they arguing before finally agreeing in one decision. However, none of the argument led to fatal differences. Basically, both agreed on the same things whether on deciding the techniques used by the translator in translating Mitch Albom’s Tuesdays with Morrie, as well as on the appropriateness of the techniques of Mitch Albom’s Tuedays with Morrie.
conclusion
The researcher did a research about techniques and appropriateness of the techniques of the Indonesian translation of Mitch Albom’s Tuesday with Morrie.The writer used a descriptive study using Holmes’ Descriptive Translation Study concentrating on the product. In doing the research, the researcher used Vinay and Darbelnet’s strategies which consist of seven procedures of translation. The researcher only focused on examination of the product and the function, due to the fact that the process of the translation was done in 2001. Alex Tri Kantjono Widodo, the translator, mentioned that he never used any theory consciously in translating. He just mentioned that his only goal was to deliver the message, the emotion, the excitement and the truth as close as the original version. Unconsciously, he used Vinay and Darbelnet’s oblique (indirect) translation in translating Mitch Albom’s Tuesday with Morrie. Direct translation, which consists of three procedures: borrowing, calque and literal translation, was rarely used in the translation. Talking about the appropriateness of the used technique in translating Mitch Albom’s Tuesday with Morrie, the researcher concluded that the translator has done well. The translator was able to fulfil the standards of textuality: cohesion, coherence, situationality, acceptability, intertextuality and informativity. In this case, the researcher
Pawitrasari: Techniques and appropriateness of the techniques of the indonesian translation
put herself and the triangulator as he readers of the novel. Based on the fact, the researcher can conclude that theory was not always used consciously in translating. As what happen here when Alex translated Mitch Albom’s Tuesday with Morrie. He never consciously used a specific technique with specific theory in translating books. He just set a specific goal which relates more to the readers of the book. He said that he depends on his instinct more than a theory. However, it does not mean that Alex never learned about the theory. His background of knowledge is engineering; but his hobby, in reading and writing, and his experiences have taught him a lot. Moreover he also spends a lot of time studying about the theory, as well as studying about the book that he was about to translate and the readers. So although he never arranged to use a specific technique using a specific theory, unconsciously the theory was used. Up to now, he received complains neither from the publisher nor his clients. Whether he realized it or not, but his success and the appropriateness of his translation, actually depends on the technique that he used in the translation process. He was able to deliver the same message, the same emotion, the same excitement and the truth of the books, because he unconsciously applied a specific theory in his work. Moreover, the researcher believes that translation can be used as an aid in teaching ESL. Translation is a useful tool to learn grammar, syntax, and lexis in both Source Language and Target Language. The final text of a written
73
translation is a new one; translating is a sort of re-writing. In this sense, the translated work must “stand on its own.” Since the text has its own identity, it must respect the rules which govern its language. When our students translate, they unconsciously follow three steps: analysis, transfer, and restructuring. Lastly, it also can be used as guidance to anyone who would like do similar research on this topic. The researcher hopes that the finding of this research is used as an input to translators, especially Alex Tri Kantjono Widodo, to make the translation better. That will be better if a publisher has a special team to validate the translation of a book in order to be able to minimize the misinterpretation of the translator. The better the detail of a translation, the better the message of the original book can be delivered.
refferences
1. Newmark Peter, A Textbook of Translation. - UK: Prentice Hall International Ltd., 1988. 2. Venuti Lawrence, The Scandals of Translation. - New York; Routledge, 1999. 3. Kenny Dorothy, Equivalence // Routledge Encyclopaedia of Translation Studies / book auth. Baker Mona. London and New York; Routledge, 1998. 4. Munday Jeremy, Introducing Translation Studies. New York; Routledge, 2006. 5. Vinay JP and Darbelnet J, Comparative Stylistics of French and English: A Methodology for Translation. Amsterdam and Philadelphia; John Benjamins, 1995.
74
Pengembangan Pembelajaran ��������������������������� Biologi Berorientasi Model Pemaknaan untuk Mengajarkan Kemampuan Akademik dan Sensitivitas Moral (Learning Biology Development Signification Model Oriented Towards Academic Ability and Moral Sensitivity Teaching) Habibi Prodi Pendidikan IPA Universitas Wiraraja Sumenep abstrak
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yakni tahap pertama, mengembangkan perangkat pembelajaran Biologi SMA berorientasi Model Pembelajaran Pemaknaan. Metodenya mengacu pada model pengembangan define, design, and develop. Tahap kedua, mengujicobakan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada siswa SMA Negeri 3 Pamekasan. Bertujuan untuk mendeskripsikan aktivitas siswa, respons siswa, hasil belajar siswa berupa kemampuan kognitif dasar, kemampuan berpikir, keterampilan ilmiah dan sensitivitas moral siswa. Rancangan penelitian ini menggunakan one group pretest-posttest design. Hasil Penelitian ini dianalisis dengan statistik deskriptif kuantitatif dan diperoleh beberapa temuan, yakni respons siswa setelah pembelajaran adalah positif dengan persentase positif 94%. Persentase skor siswa dalam tes kemampuan kognitif dasar adalah 90%. Perolehan skor kemampuan berpikir siswa rata-rata sebesar 2,9, berdasarkan rubrik kemampuan berpikir termasuk pada kategori berpikir kritis. Skor keterampilan ilmiah berkategori baik sebesar 3,64. Dalam tes sensitivitas moral secara keseluruhan siswa mendapatkan skor rata-rata 3,8 dengan kategori sensitif. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dideskripsikan secara umum bahwa perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan dapat mengajarkan kemampuan kognitif dasar, kemampuan berpikir, keterampilan ilmiah, dan sensitivitas moral.
Kata kunci: perangkat pembelajaran, model pembelajaran pemaknaan, kemampuan akademik, sensitivitas moral abstract
This study was conducted in two stages. The first stage, developing of senior high school biology teaching materials. The methods based on define, design and develop model. The second stage, implementation of teaching device at SMA Negeri 3 Pamekasan, aimed to describe teaching and learning process, students activity, responsd, student learning outcome including basic cognitive competence, thinking skill, scientific skill and moral sensitivity. This research used one group pretest-posttest design. The result analyzed by quantitative descriptive analysis and revealed that Syntax equivalence of learning and teaching process was 100%. Students responsd after learning and teaching process were positive. Students learning outcomes revealed that category of basic cognitive competence was mastery 100%, category of thinking skill was critical thinking with score 2.9, category of scientific skill was good with score 3.64, and category of moral sensitivity was sensitive with score 3.8. The final description from the result is teaching device which developed can use to teach basic cognitive competence, thinking skill, scientific skill, and moral sensitivity.
Key words: teaching materials, model pemaknaan, academic competences, moral sensitivity
pendahuluan
Tujuan utama pembelajaran biologi antara lain (1) membentuk sikap positif terhadap biologi dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa, dan (2) memupuk sikap ilmiah, yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerja sama dengan orang lain.1 Kedua tujuan tersebut dapat dikategorikan sebagai tujuan moral karena menyangkut nilai-nilai atau sikap yang menuntun manusia pada kebaikan, seperti yang diungkapkan oleh Rachels2 nilai-nilai moral akan mengarahkan manusia pada perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan moral dalam pendidikan, termasuk biologi, sangat penting mengingat bahwa seseorang yang memiliki kemampuan akademik yang tinggi namun dengan budi pekerti yang buruk justru dapat mengakibatkan kerusakan pada masyarakat. Oleh karena itu, proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah seharusnya secara sengaja mencantumkan hasil belajar berupa akhlak mulia, kepribadian, nilai moral dan budi pekerti dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Model pembelajaran yang sesuai untuk tujuan integrasi nilai moral dan budi pekerti dalam mata pelajaran ini telah diteliti dan dikembangkan oleh Ibrahim pada tahun
Habibi: Pengembangan pembelajaran biologi berorientasi model pemaknaan
2008 dengan nama Model Pemaknaan. Dalam model pembelajaran ini pemunculan sensitivitas moral dalam diri siswa diarahkan melalui kemampuan memaknai nilai moral yang terdapat dalam materi pelajaran. Tidak adanya perhatian pada nilai mora���������� l��������� sebagai hasil belajar siswa di kelas memunculkan kekhawatiran akan adanya dampak dalam jangka panjang. Kongres Guru Besar Indonesia pada 16 Mei 2007 dalam Ibrahim,3 menyebutkan 4 dampak besar yang mungkin muncul, yaitu (a) terjadinya erosi budi pekerti, perilaku baik, dan tingkah laku positif, (b) solidaritas dan kesetiakawanan rendah (frekuensi perkelahian dan tindakan anarkis tinggi), (c) banyak anak berhasil menghafal tetapi tidak memahami apa yang dihafalnya, dan pada akhirnya (d) daya saing bangsa menjadi rendah. Dampak negatif yang dikhawatirkan tersebut didukung oleh banyaknya bukti mengenai peningkatan kenakalan remaja. Sebagai contoh, terlihat dari peningkatan kekerasan yang terjadi di sekolah. Sepanjang kuartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 196 kasus.4 Mengajarkan budi pekerti dan sikap positif, akhlak mulia dengan menambah pelajaran khusus di dalam kurikulum sebenarnya tidak menyelesaikan masalah dengan tuntas, oleh karena itulah Kongres Guru Besar Indonesia
75
merekomendasikan hasil belajar ini diajarkan terintegrasi dalam mata pelajaran.3 Berdasarkan uraian di atas sangat mendesak untuk mengembangkan pembelajaran yang mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan siswa terutama aspek sensitivitas moral, di samping aspek akademiknya. Model Pembelajaran Pemaknaan merupakan suatu model pembelajaran yang bertujuan mengembangkan berbagai aspek perkembangan siswa terutama aspekaspek sikap positif dan budi pekerti di samping aspek akademiknya. Hal ini didasarkan pada karakter dari pembelajaran IPA yang penuh dengan gejala/fenomena yang menarik dan dapat dijadikan sebagai model sikap positif, nilai moral dan budi pekerti. Ibrahim 3 menyatakan bahwa alam menyediakan model yang dapat ditiru oleh siswa asalkan guru membantu siswa untuk menangkap makna dan membantu siswa untuk melakukan internalisasi nilai moral yang terdapat dalam gejala tersebut. Keterlaksanaan semua fase dalam model ini akan memunculkan respons dan aktivitas positif siswa selama pembelajaran, untuk kemudian akan memunculkan sensitivitas moral dalam diri siswa terhadap bidang pelajaran, selain kemampuan akademik siswa seperti penguasaan materi (kemampuan kognitif dasar), kemampuan berpikir dan keterampilan ilmiah.
Gambar 1. Tiga tahap pengembangan perangkat: (Diadaptasi dari Ibrahim, 2003)
76
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 74–78
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aktivitas, ����������� respons, kemampuan kognitif dasar, kemampuan berpikir, keterampilan ilmiah dan sensitivitas moral siswa dalam penerapan perangkat pembelajaran biologi berorientasi Model Pemaknaan yang dikembangkan oleh peneliti.
metode penelitian
Desain Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-experimental one group pretest-posttest design. Proses pengembangan perangkat dilakukan dalam tiga tahap yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop). Metode pengembangan perangkat ini diadaptasi dari The Four D Models (Gambar 1) yang dikembangkan oleh Thiagarajaan dan Semmel.5 Subjek penelitian dalam implementasi perangkat pada kelas normal ini adalah siswa SMAN 3 Pamekasan kelas XII. Jumlah siswa pada kelas sampel adalah sebanyak 33 orang. ������������������������������������������������� Penelitian dilaksanakan di SMAN 3 Pamekasan pada semester Ganjil tahun ajaran 2009–2010. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pembelajaran biologi berorientasi model pemaknaan, sedangkan variabel dependen adalah aktivitas, respons, kemampuan kognitif dasar, kemampuan berpikir, keterampilan ilmiah dan sensitivitas moral siswa. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, tes, dan pemberian angket. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan perhitungan persentase aktivitas dan respons, ketuntasan TPK (≥ 75%) untuk kemampuan kognitif dasar, tabulasi skor menggunakan SOLO taksonomi untuk kemampuan berpikir, skor keterampilan ilmiah dan sensitivitas moral berdasarkan rubrik sensitivitas moral yang dikembangkan peneliti.
sebesar 15%, bekerja sama dalam proses percobaan 44%, mengajukan dan menjawab pertanyaan dari guru 10%, mempresentasikan hasil percobaan 9%, diskusi dengan siswa lain 9%, dan terlibat dalam proses pemaknaan sebesar 14%. Berdasarkan persentase keaktifan tersebut dapat diketahui bahwa aktivitas siswa selama pembelajaran terutama didominasi oleh aktivitas mandiri siswa yaitu bekerja sama dalam melakukan percobaan, terlibat dalam proses pemaknaan, berdiskusi sesama teman dan mempresentasikan hasil percobaan. Sedangkan aktivitas yang menunjukkan bahwa bimbingan guru ada namun tidak mendominasi adalah menyimak penjelasan guru dan mengajukan atau menjawab pertanyaan guru. Respons Siswa setelah Proses Pembelajaran Hasil respons siswa dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa materi pelajaran, dan Lembar Kegiatan Siswa memiliki respons mudah atau menarik sebesar 91%. Buku ajar dan suasana belajar memiliki respons mudah atau menarik sebesar 94%. Latihan keterampilan ilmiah memiliki respons mudah atau menarik sebesar 88%. Proses pemaknaan memiliki respons mudah atau menarik sebesar 97%, dan cara mengajar guru sebesar 100%. Rata-rata respons ketertarikan siswa terhadap komponen-komponen pembelajaran dalam lembar angket respons siswa adalah sebesar 94%, sedangkan respons yang negatif adalah sebesar 6 persen. Tabel 2. Respons siswa terhadap pembelajaran berorientasi model pemaknaan Komponen Pembelajaran
No hasil penelitian
Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran Aktivitas siswa selama pembelajaran disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa beberapa aktivitas siswa yang diamati selama proses pembelajaran antara lain menyimak penjelasan guru Tabel 1. Aktivitas siswa dalam pembelajaran berorientasi model pemaknaan No
Aktivitas yang Diamati
Persentase (%)
1
Menyimak penjelasan guru
15
2
Mengajukan, menjawab, dan menanggapi pertanyaan dari guru
10
3
Bekerja sama dalam proses percobaan
44
4
Mempresentasikan hasil percobaan
9
5
Menghormati pendapat orang lain (diskusi sesama siswa)
10
6
Terlibat dalam proses pemaknaan
14
Respons (%) Mudah/ Menarik
Sulit/Tidak Menarik
1
Materi pelajaran
91
9
2
Buku Ajar
94
6
3
Lembar Kegiatan Siswa
91
9
4
Latihan keterampilan ilmiah
88
12
5
Suasana belajar
94
6
6
Cara mengajar guru
100
0
7
Proses pemaknaan
97
3
94
6
Rata-rata
Kemampuan Kognitif Dasar, Kemampuan Berpikir, Keterampilan Ilmiah dan Sensitivitas Moral Siswa Hasil pembelajaran sebelum penerapan pembelajaran berorientasi model pemaknaan (pretest) didapatkan rata-rata sebesar 0,28 untuik kemampuan kognitif dasar, 1,2 (kategori unistruktural) untuk kemampuan berpikir, 1,35 (kategori kurang) untuk keterampilan ilmiah, dan 2,2 (kategori kurang sensitif) untuk sensitivitas moral. Sedangkan hasil
Habibi: Pengembangan pembelajaran biologi berorientasi model pemaknaan
pembelajaran setelah penerapan pembelajaran berorientasi model pemaknaan (posttest) didapatkan rata-rata sebesar 0,9 untuk kemampuan kognitif dasar, 2,9 (kategori berpikir kritis) untuk kemampuan berpikir, 3,6 (kategori baik) untuk keterampilan ilmiah, dan 3,8 (kategori sensitif) untuk sensitivitas moral. Keseluruhan nilai hasil pembelajaran tersebut disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 2.
Tabel 3. Respons siswa terhadap pembelajaran berorientasi model pemaknaan No
Hasil Pembelajaran
Nilai (skor) Pretest
Posttest
1
Kemampuan kognitif dasar
0,28
0,90
2
Kemampuan berpikir
1,20
2,90
3
Keterampilan ilmiah
1,35
3,60
4
Sensitivitas moral
2,20
3,80
Gambar 2. Grafik hasil pembelajaran berorientasi model pemaknaan
pembahasan
Aktivitas Siswa selama Proses Pembelajaran Berdasarkan persentase keaktifan tersebut dapat diketahui bahwa aktivitas siswa selama pembelajaran terutama didominasi oleh aktivitas mandiri siswa, yaitu bekerjasama dalam melakukan percobaan, terlibat dalam proses pemaknaan, berdiskusi sesama teman dan mempresentasikan hasil percobaan. Aktivitas yang menunjukkan bahwa bimbingan guru ada namun tidak mendominasi adalah menyimak penjelasan guru dan mengajukan atau menjawab pertanyaan guru. Keaktifan siswa dalam pembelajaran selaras dengan prinsip dasar dari Model Pemaknaan, yaitu mengarahkan proses pemaknaan nilai moral melalui gejala atau fenomena yang ditemui para siswa dalam kegiatan percobaan yang mandiri. Oleh karena itu, kegiatan percobaan dalam sintaks ini berjalan dengan persentase yang terbesar. Setelah itu baru menyimak penjelasan guru dan kegiatan pemaknaan itu sendiri. Menyimak penjelasan guru menunjukkan peran
77
guru dalam memberikan bimbingan yang tepat dalam prinsip scaffolding untuk mengarahkan siswa melakukan percobaan dan akhirnya melakukan pemaknaan. Prinsip-prinsip dasar Model Pembelajaran Pemaknaan yaitu Prinsip berpusat pada siswa, Prinsip berdasarkan masalah, Prinsip terintegrasi, Prinsip berorientasi masyarakat, Prinsip menawarkan pilihan, dan Prinsip pemaknaan merupakan karakter utama yang sangat menekankan keaktifan siswa dalam menjalankan pembelajaran. Prinsipprinsip tersebut sesuai dengan paradigma konstruktivisme yang menyebutkan bahwa pengalaman dengan dunia luar akan membuat pikiran manusia membentuk prekursor mental dan mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks dalam skemata melalui aktivitas secara mandiri.6 Respons Siswa setelah Proses Pembelajaran Berdasarkan data pada Tabel 2 mengenai respons siswa terhadap beberapa elemen utama dalam Model Pembelajaran Pemaknaan yaitu materi pelajaran, Buku Ajar, Lembar kegiatan Siswa, latihan keterampilan ilmiah, suasana belajar, cara mengajar guru, dan proses pemaknaan dapat diketahui bahwa Model Pembelajaran Pemaknaan mendapatkan respons yang positif dari siswa. Hal tersebut tercermin dari persentase respons positif siswa sebesar 94% dan sedikitnya respons negatif, yaitu 6%. Respons positif merupakan gambaran utama bahwa proses pembelajaran dapat menarik motivasi siswa secara kuat. Motivasi merupakan suatu proses internal dalam diri seseorang untuk terus mempertahankan perilaku tertentu.7 Oleh karena itu, motivasi merupakan satu unsur yang paling penting dalam pembelajaran yang berhasil. Motivasi juga ditingkatkan dalam pembelajaran yang mengorientasikan tujuannya salah satunya pada sensitivitas moral, dalam penelitian ini melalui proses pemaknaan. Hal ������������������ ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Morton dan Testerman8 yang menyebutkan bahwa sensitivitas moral dapat memediasi perkembangan motivasi dan penalaran. Kemampuan Kognitif Dasar, Kemampuan Berpikir, Keterampilan Ilmiah dan Sensitivitas Moral Siswa Berdasarkan data hasil belajar siswa pada Tabel 3 dapat diambil suatu pemahaman bahwa penerapan perangkat pembelajaran berorientasi Model Pembelajaran Pemaknaan dapat mengajarkan kemampuan kognitif dasar, kemampuan berpikir, keterampilan ilmiah, dan sensitivitas moral kepada siswa. Kemampuan kognitif adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk memperoleh (mengingat) dan memahami pengetahuan. Dalam teori, Piaget tidak setuju bahwa pengetahuan langsung didapatkan oleh pikiran yang awalnya kosong. Konstruktivisme pengalaman dengan dunia luar akan membuat pikiran manusia membentuk prekursor mental dan mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks dalam skemata melalui aktivitas secara mandiri.6 Dengan demikian aktivitas mandiri inilah yang dapat memicu aktivitas kognitif. Dalam pembahasan mengenai
78
aktivitas siswa, dapat diketahui bahwa pembelajaran dalam penelitian ini sangat menekankan pada aktivitas mandiri. Aktivitas mandiri dalam menemukan konsep-konsep di balik fakta yang diamati itu juga yang menunjang Model Pemaknaan ini dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan keterampilan ilmiah siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky yang mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir dan ilmiah memiliki empat sifat yaitu: (1) dikontrol oleh diri sendiri, (2) secara sadar dan penuh perhatian, (3) didapatkan dari interaksi dengan lingkungan sekitar, dan (4) menggunakan simbol-simbol (seperti bahasa dan matematika). Siswa yang memutuskan untuk merespons suatu kejadian yang menurutnya memiliki dampak moral, terlebih dahulu harus memiliki suatu kemampuan untuk menginterpretasikan dan suatu dorongan akan keberadaan nilai moral tersebut. Dalam bahasa yang sederhana, orang itu harus memiliki kepekaan terhadap dampak moral pada semua fenomena di sekitarnya. Tingkat kesensitifan tiap siswa berbeda-beda, sebagai contoh terdapat orang yang memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga dalam semua peristiwa yang dialaminya dia dapat merasakan adanya makna dan nilai moral tertentu. Sebaliknya pada orang yang sensitivitasnya rendah sulit untuk mengalami hal tersebut, pada contoh kecil dia mungkin baru tergerak hatinya ketika mengalami peristiwa yang benar-benar hebat seperti melihat pembunuhan yang sadis. Dalam hal ini penelitian Model Pemaknaan ternyata dapat merubah kesensitifan siswa terhadap nilai moral yang terkandung dalam materi pelajaran biologi dari level kurang sensitif menjadi level sensitif. Faktor utama penanaman nilai moral dalam Model Pemaknaan dilakukan melalui fakta-fakta ilmiah yang diamati sendiri dan dikuatkan oleh guru sebagai model. Hal ini sesuai dengan penelitian Bandura dan koleganya mulai dari tahun 1962–1972 (dalam Kurtines dan Gewirtz9) model-model seperti orang tua, guru, teman yang mempraktikkan perilaku moral secara konsisten akan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan moral anak. Dengan demikian “mengajari” moral pada anak-anak memiliki dua dimensi pembelajaran, yaitu melalui verbal dan juga melalui perilaku yang dicontohkan oleh para pengajar itu sendiri. Ketika guru mengajarkan adanya nilainilai moral melalui pelajaran biologi, pada dasarnya terjadi pembelajaran moral secara verbal dan perilaku berupa
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 74–78
kepekaan moral sehingga akan mendorong munculnya sensitivitas moral dalam diri siswa.
simpulan dan saran
Simpulan Sesuai dengan hasil temuan penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa pembelajaran biologi berorientasi Model Pemaknaan meningkatkan aktivitas, respons, kemampuan kognitif dasar, kemampuan berpikir, keterampilan ilmiah dan sensitivitas moral siswa. Saran Penelitian ini menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran biologi berorientasi Model Pembelajaran Pemaknaan dapat mengajarkan sensitivitas moral kepada siswa. Berdasarkan proses internalisasi moral, kesensitifan seseorang akan nilai-nilai moral terhadap berbagai fenomena di sekelilingnya sebenarnya masih merupakan tahap awal bagi penanaman moral dalam diri seseorang. Tahap-tahap yang lain adalah keputusan moral, motif moral, dan Aplikasi moral. Untuk itu diperlukan adanya penelitian yang lebih mendalam mengenai potensi Model Pembelajaran Pemaknaan untuk mengajarkan aspek-aspek moral secara lebih mendalam.
daftar pustaka
1. Permendiknas No. 22 Tahun 2006. 2. Rachels J, Filsafat Moral. Sudiarja, A. Yogyakarta; Penerbit Kanisius. 2004. 3. Ibrahim M, Model Pembelajaran IPA Inovatif melalui Pemaknaan. Surabaya; Universitas Negeri Surabaya, 2008. 4. Media Indonesia 3 Mei 2007. 5. Thiagarajan S, Semmel DS, dan Semmel MI, Instructional Development for Training Center of Exceptional Children. Minepolish: Indiana University. 1974. ? Tuckman BW, Conducting Educational Research. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. 1978 6. Byrnes, 1996. 7. Nur M, Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Surabaya; Pusat Sains dan Matematika Sekolah Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. 2003. 8. Morton K dan Testerman J, Defining Features of Moral Sensitivity and Moral Motivation. Dalam Journal of Moral Education, 2006; 378–406. 9. Kurtines WM dan Gewirtz J, Moral Development, an Introduction. Needham Heights; A Simons and Schuster Company. 1995.
79
Penumbuhan Minat Berwirausaha Melalui Pelatihan Pembuatan Kertas Komposit (Entrepreneurship Interest Growth Through Composite Paper Making Training) Ery Susiany Retnoningtyas dan Antaresti Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jl. Kalijudan 37 Surabaya, Telp. (031)3891264, Faks.(031)3891267 E-mail:
[email protected] abstrak
Pelatihan pembuatan kertas komposit di Kelurahan Kalijudan dan Pacar Keling, Kecamatan Tambak Sari, Pemkot Surabaya Provinsi Jawa Timur dilakukan untuk menumbuhkan minat berwirausaha di kalangan remaja dan ibu rumah tangga. Situasi di kedua kelurahan tersebut cukup ramai karena banyak terdapat pertokoan, warung makan dan sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi maka sampah yang dihasilkan juga relatif tinggi. Pemilahan sampah basah dan sampah kering yang berupa kertas merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya untuk mengurangi volume sampah. Sampah kering terutama yang berupa sampah kertas dapat di daur ulang menjadi kertas yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat digunakan untuk peluang usaha. Pemanfaatan kertas bekas yang dicampur dengan pulp non kayu dari serabut kelapa memberikan hasil kertas komposit yang memiliki harga jual yang ekonomis daripada kertas bekas hanya dijual kiloan. Tahap pembuatan kertas komposit terdiri dari 3: (1) pembuatan pulp dari serabut kelapa, (2) pembuatan bubur kertas bekas dan (3) pencetakan kertas komposit. Respons terhadap pelatihan ini cukup baik: sebanyak 67% khalayak sasaran menyatakan ingin mengembangkan keterampilan pembuatan kertas komposit ini menjadi wirausaha dan 33% kurang berminat. Sebanyak 67% khalayak sasaran menyatakan timbul ide baru setelah mengikuti pelatihan ini. Selain itu respon terhadap manfaat pelatihan ini juga sangat menggembirakan, hal ini tergambar dari 78% khalayak sasaran menyatakan bahwa pelatihan ini bermanfaat dan 22% menyatakan sangat bermanfaat. Pencapaian ini dapat disimpulkan bahwa upaya menumbuhkan minat berwirausaha di kedua kelurahan ini cukup berhasil.
Kata kunci: kertas komposit, serabut kelapa, wirausaha abstract
Composite paper production training in Kalijudan and Pacarkembang Sub-District (Kelurahan), Tambak Sari District (Kecamatan), Surabaya, East Java was conducted to develop entreprenuership motivation in youth and housewives community. Kalijudan and Pacarkeling are is relatively crowded area. There are many shopping mall, grocery stores, food stalls, schools and universities in these areas therefore the waste generation is high. Waste separation of wet and dry waste is the first step that must be done to reduce solid waste. Dry waste especially paper can be recycle to increase the economic value. Composite paper from waste paper and coir fiber has higher selling value than selling waste paper as is to the waste collector. Composite paper production consist of 3 steps: (1) pulping process from coir fiber, (2) repulping of waste paper, and (3) composite paper forming. The respond to this training quite good, 67% of the trainees affirm that want to learn more about composite paper production skill and want to use this skill to start home industries. The result of the questionnaire also showed that 67% of the trainees get new ideas from this training. The training is also considered useful for 78% of the trainee and 22% affirm that it is very useful. Based on these result it can be concluded that the effort to develop entrepreneurship motivation in Kalijudan and Pacarkembang is quite effective.
Key words: composite paper, coir fiber, entrepreneurship
pendahuluan
Kelompok remaja dan ibu rumah tangga menjadi perhatian di Kelurahan Kalijudan dan Kelurahan Pacar Kembang, Kecamatan Tambak Sari, Pemkot Surabaya Provinsi Jawa Timur. Dari hasil survei, sekitar 15–20 orang di kedua kelurahan tersebut sangat mengharapkan pelatihan yang dapat digunakan untuk berwirausaha. Situasi di sekitar kedua kelurahan ini cukup ramai, karena banyak terdapat pertokoan, warung makan dan sekolah mulai dari TK,
SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi. Seiring dengan tingginya aktivitas di sekitar kedua kelurahan ini maka sampah yang dihasilkan juga relatif tinggi. Berdasarkan hasil survei, ternyata sampah merupakan masalah di kedua kelurahan ini. Pemilahan sampah basah dan sampah kering yang berupa kertas merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya untuk mengurangi volume sampah. Sampah kering terutama yang berupa sampah kertas dapat didaur ulang menjadi kertas yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat digunakan untuk peluang usaha. Saat ini
80
sampah kering berupa kertas hanya dijual kiloan dengan harga sekitar Rp500,00 per kg, sedangkan apabila diolah menjadi kertas daur ulang (atau kertas komposit) dan diberikan sedikit sentuhan seni, maka harga per lembar kertas ukuran folio dapat dijual dengan harga Rp2.000,00 per lembar. Bahkan apabila kertas daur ulang tersebut dikreasi berbagai asesoris pernak-pernik untuk kado atau bingkisan maka harga jualnya dapat mencapai Rp5.000,00– Rp10.000,00 tergantung pada ukuran dan keunikan dari desainnya. Bila hasil kreasi ini dapat dipasarkan dengan baik melalui pameran maupun dipasarkan melalui tokotoko stationary maupun gift shop maka usaha kertas daur ulang ini dapat dijadikan peluang berwirausaha yang cukup baik. Kewirausahaan pada dasarnya merupakan kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Kreativitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang, sedangkan inovasi adalah kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang. Proses kreatif dan inovatif hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan, yaitu: percaya diri, berinisiatif, memiliki motif berprestasi, memiliki jiwa kepemimpinan dan suka tantangan.1 Faktor pribadi dan lingkungan juga turut memengaruhi jiwa kewirausahaan. Faktor pribadi meliputi motif berprestasi, komitmen, nilai-nilai pribadi, pendidikan dan pengalaman sedangkan dari faktor lingkungan adalah peluang, model peran dan aktivitas.2 Penumbuhan minat berwirausaha dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:2 melalui (1) pendidikan formal, (2) seminar kewirausahaan, (3) otodidak dan (4) pelatihan. Melalui pendidikan formal dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan baik tingkat menengah maupun tinggi dengan dimasukkan dalam kurikulum atau paling tidak dalam mata kuliah kewirausahaan. Seminar kewirausahaan sering kali diselenggarakan dengan mengundang pakar dan praktisi kewirausahaan sehingga melalui seminar ini dapat dibangun jiwa kewirausahaan. Pribadi yang mempunyai kemauan yang kuat dan disiplin yang tinggi dapat belajar sendiri (otodidak) melalui biografi pengusaha sukses dari berbagai media seperti televisi, radio, majalah/koran. Sedangkan pribadi yang lebih nyaman dengan bimbingan dan pendampingan, dapat dilakukan melalui pelatihan. Berbagai simulasi usaha biasanya diberikan melalui pelatihan baik yang dilakukan dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor). Melalui pelatihan ini, keberanian dan ketanggapan terhadap dinamika perubahan lingkungan akan diuji dan selalu diperbaiki dan dikembangkan. Di antara keempat cara penumbuhan minat berwirausaha ini yang paling diminati oleh khalayak sasaran adalah pelatihan. Selain lebih terarah pada materi tertentu juga lebih efisien dari segi biaya dan waktu. Saat ini kebutuhan kertas di Indonesia semakin meningkat akan tetapi ketersediaan kayu semakin menipis
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 79–84
akibat kerusakan hutan yang tidak terkendali. Timbul peluang untuk mencari bahan alternatif untuk membuat kertas, yaitu memanfaatkan bahan-bahan nonkayu. Bahan nonkayu diproses menjadi pulp. Tujuan utama pembuatan pulp adalah untuk menghilangkan lignin sehingga seratserat selulosanya terlepas. Molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan cenderung untuk membentuk ikatanikatan hidrogen intra dan intermolekul. Ikatan hidrogen inilah yang menyebabkan selulosa memiliki kekuatan tarik yang tinggi serta tidak larut dalam sebagian besar jenis pelarut.3 Selulosa merupakan unsur yang penting dalam pembuatan pulp. Semakin banyak selulosa yang terkandung dalam pulp maka semakin bagus kualitas pulp tersebut. Serat dari nonkayu di antaranya ampas tebu (bagas), alangalang, enceng gondok, dan lain-lain.4,5 memiliki kandungan selulosa yang relatif tinggi sekitar 40% sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas. Pembuatan pulp dari nonkayu meningkatkan daya saing produk. Walaupun serat tanaman nonkayu dapat menghasilkan pulp yang kuat, namun kekuatannya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pulp dari kayu karena serat tanaman lebih pendek dan berdinding tipis. Pulp ini biasanya ditambahkan dalam produksi kertas untuk menghasilkan kertas dengan karakteristik tertentu, seperti halus dan lain-lain.6 Pada pelatihan pembuatan kertas komposit ini, digunakan serat nonkayu berupa serabut kelapa. Serabut kelapa memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi, yaitu 50–60%. Proses pembuatan kertas komposit dilakukan dengan mencampur bubur kertas bekas dengan pulp non kayu berupa serabut kelapa yang telah direndam dengan NaOH. Keunggulan dari kertas komposit adalah dalam hal kekuatan. Kekuatan kertas komposit lebih baik dari kertas daur ulang yang dibuat dari satu jenis serat. Tujuan kegiatan penerapan IPTEKS ini adalah memberdayakan masyarakat di Kelurahan Kalijudan dan Kelurahan Pacar Kembang Kecamatan Tambak Sari Pemkot Surabaya dalam hal menumbuhkan minat berwirausaha dengan memanfaatkan sampah kering berupa serabut kelapa yang telah dikeringkan dan kertas bekas untuk diolah menjadi kertas komposit yang bernilai ekonomis. Wirausaha yang sukses pada umumnya adalah orang yang memiliki kompetensi, yaitu seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi nilai serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan/kegiatan.
metode penelitian
Para remaja dan ibu rumah tangga di daerah Kelurahan Kalijudan dan Kelurahan Pacar Kembang Kecamatan Tambak Sari Pemkot Surabaya adalah khalayak sasaran untuk kegiatan ini dengan jumlah 11 orang. Pemilihan khalayak sasaran yang strategis adalah para ketua RT/RW, ketua atau pengurus karang taruna serta ketua atau pengurus PKK di kedua kelurahan tersebut.
Retnoningtyas: Penumbuhan minat berwirausaha
Metode Tahapan pembuatan kertas komposit terdiri dari 3 bagian yaitu: (1) pembuatan pulp dari serabut kelapa, (2) pembuatan bubur kertas dan (3) pencetakan kertas komposit. Tahap (1): Serabut kelapa dipotong dengan ukuran 1–2 cm lalu dikeringkan. Selanjutnya ���������������������������� membuat larutan NaOH dengan perbandingan 150 ml larutan NaOH dengan 1 liter air. Kemudian serabut kelapa direndam dengan larutan NaOH selama 2–3 hari dalam bak tertutup. Setelah �������� itu memisahkan pulp serabut kelapa dari air rendaman dengan menggunakan saringan dan mencucinya dengan air hingga air cucian jernih. Apabila warna pulp terlalu gelap dapat direndam dengan larutan pemutih selama 1 hari. Pulp serabut kelapa selanjutnya dikeringkan dan siap digunakan. Tahap (2): Kertas bekas dipotong kecil-kecil dan direndam dalam air dengan perbandingan 1 bagian kertas bekas: 1 bagian air selama 1 hari. Selanjutnya menghancurkan rendaman kertas hingga menjadi bubur dengan blender. Kemudian bubur kertas dipisahkan dari air dengan saringan dan bubur kertas siap digunakan. Tahap (3): Pembuatan larutan kanji sebanyak 4 liter dengan perbandingan kanji 7,5 bagian per 100 bagian air. Selanjutnya menambahkan campuran pulp sebanyak 40 gram dengan perbandingan pulp serabut kelapa dan bubur kertas 1:9 ke dalam larutan kanji. Campuran pulp yang sudah diaduk rata siap dicetak dengan menggunakan cetakan kertas. Pencetakan kertas dapat dilakukan dengan membalik cetakan kertas yang telah dialasi kertas keras untuk menyerap sisa air. Kertas yang sudah dilepas dari cetakannya dijemur hingga kering. Bila perlu dapat disetrika untuk menghaluskan permukaan kertas. Analisis Data Pengambilan data dilakukan dalam 2 tahap: (1) awal, yaitu pengisian angket tentang pengetahuan dasar yang berhubungan dengan kertas seperti: bahan baku kertas, cara membuat kertas, manfaat kertas bekas selain dijual serta pengetahuan tentang kertas komposit dan (2) akhir, yaitu pengisian angket sehubungan dengan minat berwirausaha seperti: timbulnya gagasan/ide baru tentang bahan baku kertas, keinginan untuk mengembangkan keterampilan ini lebih lanjut menjadi wirausaha, frekuensi mengikuti pelatihan dan manfaat pelatihan ini bagi khalayak sasaran. Minat berwirausaha diukur dalam statistik dengan nilai rata-rata (dalam persen).
hasil dan pembahasan
Pelaksanaan pelatihan ini mendapatkan sambutan yang baik dari khalayak sasaran yang hadir, hal ini tercermin dari keingintahuan mereka lebih mendalam terhadap proses pembuatan kertas komposit, pada saat sesi tanya jawab. Khalayak sasaran yang hadir juga memiliki pekerjaan yang beragam mulai dari pelajar/mahasiswa, pegawai, guru,
81
swasta maupun ibu rumah tangga. Sehubungan dengan latar belakang pekerjaan inilah yang memberikan hasil yang berbeda terhadap pengetahuan dasar maupun motivasi berwirausaha. Pengetahuan tentang Kertas Berdasarkan hasil pengisian angket yang dibagikan dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang kertas mulai dari bahan baku hingga cara pembuatannya sangat beragam, hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Pengetahuan bahan baku kertas 1 = Tidak tahu, 2 = Kurang tahu, 3 = Tahu, 4 = Sangat tahu
Gambar 2. Pengetahuan cara membuat kertas 1 = Tidak tahu, 2 = Kurang tahu, 3 = Tahu, 4 = Sangat tahu
Dari Gambar 1, dapat dilihat bahwa 73% khalayak sasaran menyatakan mengetahui bahan baku kertas sedangkan yang tidak mengetahui bahan baku kertas sama sekali hanya 9% dan kurang tahu 18%. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar khalayak sasaran mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang bahan baku kertas dan pelatihan ini memberikan kontribusi yang positif bagi khalayak sasaran yang sama sekali tidak tahu tentang bahan baku kertas. Gambar 2 menunjukkan bahwa 64% khalayak sasaran kurang tahu cara membuat kertas dan 18% tidak tahu sama sekali sedangkan khalayak sasaran yang tahu cara membuat kertas hanya 18%. Hal ini menunjukkan sebagian besar khalayak sasaran sangat memerlukan informasi cara membuat kertas apabila bidang ini akan dipilih untuk dikembangkan menjadi kewirausahaan. Ketertarikan
82
khalayak sasaran untuk ingin tahu lebih banyak tentang proses pembuatan kertas juga menjadi latar belakang mereka mengikuti pelatihan ini. Berbagai jenis kertas saat ini banyak dijumpai di pasaran, mulai dari kertas hasil industri besar maupun dari home industry. Industri rumahan (home industry) inilah yang paling dapat dikembangkan untuk khalayak sasaran, karena biasanya cenderung padat karya sehingga dapat menambah pendapatan dari masyarakat sekitar yang terlibat. Kegunaan kertas bekas selain dijual telah diketahui oleh sebagian besar khalayak sasaran, yaitu 91% (disajikan pada Gambar 3) dan hanya 9% yang tidak tahu manfaat kertas bekas selain dijual. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar khalayak sasaran mempunyai pengetahuan tentang daur ulang kertas cukup baik meskipun tidak tahu cara membuatnya. Tetapi pengetahuan tentang kertas komposit tidak diketahui oleh 64% khalayak sasaran dan 18% kurang tahu sedangkan hanya 18% saja yang tahu tentang kertas komposit (Gambar 4). Dari data ini dapat diketahui bahwa kertas komposit masih asing di masyarakat sehingga dengan pelatihan ini menjadi salah satu cara untuk mensosialisasikan kertas komposit. Kertas komposit sangat membantu program penyelamatan hutan karena bahan baku kertas yang utama adalah kayu. Tetapi seiring dengan makin berkurangnya hutan serta untuk menjaga kelestarian lingkungan sangatlah bijaksana apabila dilakukan pencarian bahan baku alternatif dalam pembuatan kertas. Salah satu cara adalah memanfaatkan kertas bekas dan bahan nonkayu sebagai bahan dasar untuk membuat kertas.
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 79–84
Motivasi Berwirausaha Timbulnya keinginan untuk mencoba berwirausaha merupakan target yang diinginkan dalam pelatihan ini. Sebanyak 67% khalayak sasaran menyatakan ingin mengembangkan keterampilan pembuatan kertas komposit ini menjadi wirausaha dan 33% kurang berminat (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar khalayak sasaran ingin mencoba berwirausaha dan mereka ingin diberikan pendampingan sehubungan dengan wirausaha kertas komposit ini. Khalayak sasaran yang kurang berminat berwirausaha sebagian besar berprofesi sebagai pegawai sedangkan yang berminat untuk berwirausaha sebagian besar berprofesi sebagai guru dan ibu rumah tangga. Hal ini mengindikasikan bahwa profesi dari khalayak sasaran juga memengaruhi keberhasilan pelatihan ini dalam memotivasi berwirausaha. Khalayak sasaran yang sama sekali tidak mempunyai keinginan berwirausaha maupun yang sangat ingin berwirausaha sebanyak 0%. Hal ini mengindikasikan bahwa khalayak sasaran setelah mengikuti pelatihan ini berada dalam kebimbangan antara ingin mencoba berwirausaha dan sama sekali tidak ingin mencoba berwirausaha. Pelatihan ini berhasil memengaruhi khalayak sasaran untuk mulai memikirkan wirausaha di bidang ini.
Gambar 5. Keinginan mengembangkan keterampilan ini menjadi wirausaha 1 = Tidak, 2 = Kurang, 3 = Ya, 4 = Sangat
Gambar 3. Manfaat kertas bekas selain dijual 1 = Tidak tahu, 2 = Kurang tahu, 3 = Tahu, 4 = Sangat tahu
Gambar 6. Timbul gagasan/ide baru setelah mendapat pelatihan 1 = Tidak, 2 = Kurang, 3 = Ya, 4 = Sangat Gambar 4. Pengetahuan kertas komposit 1 = Tidak tahu, 2 = Kurang tahu, 3 = Tahu, 4 = Sangat tahu
Retnoningtyas: Penumbuhan minat berwirausaha
Dalam pelatihan ini juga sangat diinginkan timbulnya ide atau gagasan baru yang dapat lebih meningkatkan daya kreativitas dari khalayak sasaran. Gambar 6 menunjukkan bahwa 11% khalayak sasaran tidak timbul ide dan 22% kurang timbul ide, hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua khalayak sasaran tipikal orang yang kreatif, tetapi sifat kreatif ini dapat ditumbuhkan dari lingkungan yang berhasil memengaruhinya. Namun sebagian besar, yaitu 67% khalayak sasaran menyatakan timbul ide/gagasan baru setelah mengikuti pelatihan ini. Ide-ide yang dikemukakan lebih tertuju pada pemanfaatan limbah pangan yang ada di sekitar rumah atau pasar untuk digunakan sebagai pulp nonkayu, sebagai contoh limbah buah nanas, yaitu bagian mahkotanya atau limbah jagung yaitu bagian kulitnya yang dikenal dengan nama klobot jagung. Pada dasarnya bahan yang akan digunakan sebagai pulp nonkayu dapat bermacam-macam asalkan mengandung selulosa cukup tinggi yaitu minimal 40%. Hal ini cukup menggembirakan karena khalayak sasaran benar-benar ingin berkreasi sesuai dengan daya imajinasi mereka. Ide mereka ini cukup bagus karena selain dapat mengurangi volume limbah, ide ini juga dapat meningkatkan pendapatan keluarga apabila dikelola dengan baik. Saat ini, industri kreatif sedang berkembang. Pemanfaatan bahan-bahan nonkayu, terutama yang tumbuh liar di lingkungan sekitar maupun limbah pertanian sangat berpotensi digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas, baik kertas tulis komposit maupun kertas komposit untuk kerajinan tangan. Efektivitas dan Manfaat Pelatihan Pelatihan pembuatan kertas di Kelurahan Kalijudan dan Kelurahan Pacar Kembang Kecamatan Tambak Sari, Surabaya ternyata bukan yang pertama. Hal ini dapat dilihat dari 11% khalayak sasaran menyatakan pernah mengikuti pelatihan pembuatan kertas, tetapi 89% menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan ini (Gambar 7). Berarti pelaksanaan pelatihan pembuatan kertas komposit di kedua kelurahan ini sudah tepat sasaran karena sebagian besar memang belum pernah mengikuti pelatihan pembuatan kertas. Bagi khalayak sasaran yang belum pernah mengikuti pelatihan pembuatan kertas, maka materi pelatihan ini sangat menambah wawasan/pengetahuan tentang kertas, sedangkan bagi khalayak sasaran yang sudah pernah mengikuti pelatihan serupa, pelatihan ini dapat digunakan sebagai penyegaran ataupun pendalaman materi. Khalayak sasaran yang termotivasi untuk berwirausaha, juga harus membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar dapat menjadi seorang wiraswasta yang kompeten di bidangnya. Pelatihan ini selain untuk memotivasi keinginan berwirausaha, juga untuk membekali pengetahuan dasar dan keterampilan dasar yang dibutuhkan. Khalayak sasaran dapat terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan keadaan lingkungan masing-masing. Ide ���������������������������������������� atau gagasan baru dapat timbul dari hasil pengamatan di lingkungan. Respons terhadap manfaat pelatihan ini juga sangat menggembirakan, hal ini tergambar dari 78% khalayak
83
Gambar 7. Pernah mengikuti pelatihan pembuatan kertas 1 = Tidak, 2 = Kurang, 3 = Ya, 4 = Sangat
Gambar 8. Pelatihan ini berguna 1 = Tidak, 2 = Kurang, 3 = Ya, 4 = Sangat
sasaran menyatakan bahwa pelatihan ini bermanfaat dan 22% menyatakan sangat bermanfaat (Gambar 8). Manfaat yang dirasakan ini dapat disebarluaskan kepada masyarakat sekitar yang ada dalam lingkungan binaan dari khalayak sasaran. Tidak adanya khalayak sasaran yang menyatakan tidak bermanfaat (0%) dan kurang bermanfaat (0%) mengindikasikan juga bahwa pelatihan ini cukup berhasil dan tidak sia-sia. kesimpulan
Pelatihan pembuatan kertas komposit dalam upaya menumbuhkan minat berwirausaha di kedua kelurahan, yaitu: Kalijudan dan Pacar Kembang cukup berhasil. Selain itu keberhasilan dalam memicu timbulnya ide atau gagasan baru sehubungan dengan keterampilan pembuatan kertas komposit cukup baik. ucapan terima kasih
Pengabdian kepada masyarakat ini dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Pengabdian Kepada Masyarakat Nomor: 153/SP2H/PPM/DP2M/IV/2009.
84 daftar pustaka
1. Suryana. Kewirausahaan: Pedoman Praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses, Jakarta; Salemba Empat, 2003. 2. Herwan. Menumbuhkan Jiwa dan Kompetensi Kewirausahaan, Universitas Padjadjaran, 2007, Available from: URL: http://www.scribd.com/ doc/21682416/Herwan-Makalah-MenumbuhkanJiwa-Dan-Kompetensi-Wirausaha Accessed Pebruari 15, 2010. 3. Sjostrom E. Kimia Kayu, Dasar-dasar Penggunaan, edisi 2. ������������ Yogyakarta; ������������������������������ Gadjah Mada University Press, 1993.
Humaniora, Vol. 7 No. 2 Desember 2010: 79–84
4. Casey JP. Pulp and Paper Chemistry and Chemical Technology. New York; John Wiley and Sons, Inc, 1952, Vol.1. 5. Ullmann. Ullmann’s Encyclopedia of Industrial Chemistry, Weinheim Germany; VCH Verlogsgesselschaft MGH, 1991, vol.A18, edisi 5, 6. Sukundayanto. Pengembangan Kertas Seni Untuk Produk Komersial, Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, 2004, Available from: URL : http://www. bapeda.pemda-diy.go.id/uploads/penelitian/37_IHPFISPRA%2004-Wari.doc?Accessed Agustus 16, 2006.