Edisi Januari-Februari 2013
DAFTAR ISI
EDITORIAL
2
2 4 10 11
Hukum Tidak Mengerti Penyandang Disabilitas
KATA MEREKA
SURAT PEMBACA
16
LAPORAN UTAMA
23
Kita Musti Sama-sama Sadar (Lagi) Hak Difabel Dirampas! Guru SLB Perkosa Siswanya
WAWANCARA
Nurul Sa’adah: Peradilan Masih Diskriminatif
32 34
Merawat Perjuangan Untuk Sesama
HALLO AKPOL
Menanti Keadilan bagi Perempuan Difabel
RESENSI
Tzu Hsi, Ratu Terakhir Dinasti China
CATATAN PINGGIR
Modernitas, Alteritas (Semu) dan Disabilitas
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penanggung Jawab: Eko Prasetyo, Pemimpin Redaksi: M. Syafi’e Editor: Puguh Windrawan Reporter: Intan Pratiwi, M. Fuad Hasan, Kamil Alfi Arifin, La Arpani. Kontributor: Guntur Narwaya, Kurnia Indasah Layout: Adin
pledoi 11 07 2013
Alamat Redaksi/ Tata Usaha Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No 517 A, Banguntapan, Bantul Yogyakarta 55198 Tlp. 0274-452032, Fax 0274-452158 www.pusham-uii.ac.id email:
[email protected]
Editorial
HUKUM TAK MENGERTI
Penyandang Disabilitas Berikan kepada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik -Taverne-
P
enegak hukum adalah pundak bagaimana hukum bisa merespon persoalan-persoalan masyarakat. Adil atau tidak satu penegakan hukum, salah satunya bergantung kepada para penegak hukum itu sendiri. Satjipto Rahardjo mengatakan, penegakan hukum itu bukan merupakan satu tindakan yang pasti, yaitu sekedar menerapkan satu peraturan hukum pada satu kejadian, sebab penegakan hukum ibarat menarik garis lurus antara dua titik : antara hukum dan manusia. Padsa level hukum yang normatif, penegakan hukum terlihat sederhana dan mudah, tinggal menerapkan satu peraturan. Tapi, penegakan hukum sebenarnya tidak semudah itu, karena penegak hukum harus mengerti tentang konteks sosial masyarakat, keadaan manusia yang bermasalah dengan hukum, dan bagaimana teks hukum harus diterapkan pada sisi yang lain. Para penegak hukum dalam konteks sosial dan kondisi manusia yang kompleks, mereka harus ahli dan adil dalam memutuskan satu hukum. Keahlian disini dimaksudkan bahwa para penegak hukum harus mengerti tentang teks hukum, tapi juga tidak kalah penting adalah mereka ahli untuk menggali persoalan-persoalan sosial dan soal yang menjadi persoalan manusia yang tidak tunggal. Keahlian untuk mengerti dan memahami teks, konteks dan problematika manusia, setidaknya akan menjadi bekal bagaimana mereka menyelesaikan satu persoalan secara adil. Keadilan hukum adalah representasi bahwa hukum tidak semata ditegakkan dengan teks, tapi juga konteks dan untuk memanusiakan manusia. Artidjo Alkostar mengatakan, persoalan pelik para penegak hukum di Indonesia adalah karena mereka masih terbelenggu akibat kapsul positivisme hukum
2
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
eropa kontinental abad 18. Keadilan dalam perspektif rezim hukum kontinental hanyalah kepastian hukum dan tidak ada kaintannya dengan keadilan sosial masyarakat. Berhukum persis eropa kontinental, cukup berbekal hafalan pasal-pasal, dan penegak hukum tidak berkewajiban menggali terhadap persoalan-persoalan sosial yang hidup di masyarakat. Tidak ada kewajiban bagi para penegak hukum untuk mengerti kondisi dan situasi manusia yang berhadapan dengan hukum. Tepatnya, para penegak hukum di Indonesia adalah hanya corong Undang-Undang. Penegak hukum tidak boleh keluar dari teks, dan dituduh melanggar kode etik jika melampuai teks. Situasi itu yang pernah dialami oleh Bismar Siregar, seorang hakim yang disebut Satjipto Rahardjo memiliki paradigma progresif dan responsif. Bismar Siregar dicibir dan dikritik oleh para hakim di masanya. Karena itu, tepat rasanya jika mengatakan bahwa mayoritas penegak hukum di Indonesia adalah robot. Mereka berbuat, menetapkan dan bahkan memutuskan hanya berbekal pasal-pasal. Suasana penegakan hukum yang positivis itulah yang kerap menciderai keadilan dan kemanusiaan. Suasana itu biasa dirasakan oleh kelompok rentan, salah satunya adalah penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Penyandang disabilitas cukup banyak variannya, diantaranya adalah tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, tuna grahita, mental retarted, dan beberapa lainnya. Penyandang disabilitas itu bermacam-macam, dan masing-masing memiliki kebutuhan yang serba khusus. Ketika bermasalah dengan hukum, mereka kerap terdiskriminasi dan tidak terfasilitasi di ruang peradilan. Beberapa contoh nyata itu ialah ketika korban
atau terdakwa tuna rungu atau tuna wicara, para penegak hukum biasanya tidak memfasilitasi bahasa isyarat. Jika korban, terdakwa atau kuasanya menuntut fasilitasi bahasa isyarat, penegak hukum rata-rata tidak menerima, karena hak atas penterjemah bagi mereka hanya berlaku bagi bahasa asing, dan tidak untuk bahasa isyarat. Kondisi itu juga biasa dialami oleh bagi penyandang tuna netra. Karena tidak bisa melihat, kesaksiaanya biasa di tolak para penegak hukum. Sangat wajar, pelaku pencabulan dan pemerkosaan terhadap perempuan penyandang tuna netra lepas dari pertanggungjawaban hukum. Padahal, sudah ada visut et repertum, hamil dan melahirkan anak, korban mengenal pelaku, dan bukti-bukti lain yang memperkuat bukti pemerkosaan. Tapi pelaku pemerkosaan biasa lepas dan korban kerap dipersalahkan karena ia buta. Hal yang sama juga terjadi bagi korban penyandang mental retarded, atau orang-orang yang mengalami keterbelakangan mental. Kasus itu salah satunya terjadi di Sukoharjo. Para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) tidak berani menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak bagi seorang siswi SLB yang dicabuli dan diperkosa gurunya berkali-kali. Umur kalender siswi itu adalah 22 tahun, tapi mentalnya masih 9 tahun. Penegak hukum tidak berani menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dengan alasan aturan hukum positif. Tentu, masih banyak kasus lain yang menimpa penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Para penegak hukum mayoritas tidak mengerti situasi dan kondisi kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Peradilan akhirnya menjadi tidak fair, berjalan sepihak, tidak menggali fakta-fakta yang timbul, dan penyandang disabilitas beserta keluarganya biasa menelan pil pahit karena perlakuan aturan hukum dan penegak hukum yang mempersalahkan mereka. Mayoritas penyandang disabilitas saat ini masih terdiskriminasi dan tidak terfasilitasi secara manusiawi di dunia peradilan. Padahal, mereka adalah manusia yang memiliki harkat dan martabat, memiliki bahasa yang sangat dapat dimengerti, memiliki rasa dan memiliki pengetahuan terhadap hal-hal yang terjadi pada mereka. Persoalannya, aturan hukum yang lampau dan penegak hukum yang ortodoks tidak memanusiakan mereka.
Surat Pembaca
KITA MUSTI SAMA-SAMA SADAR Salam Perjuangan! Hidup di tengah kondisi Negara Indonesia, kita harus mampu membuka mata selebar, dan meruncingkan akal pikiran kita. Karena, bagaimapun Indonesia adalah Negara yang harus kita perjuangakan. Karena, kondisinya saat ini Indonesia masih terus dijajah. Kita memang tidak dijajah secara fisik. Namun, dijajah secara sumber daya alam dan pola pikir. Tentunya hal ini kemudian menjadi hal yang harus diperhatikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Musuh Indonesia kemudian tidak hanya dari luar. Tetapi juga masuk kedalam relung Indonesia sendiri. Kita bisa melihat, bagaimana para koruptor, cukong-cukong kelas kakap, juga para milyader yang menguras bumi Indonesia ini masih berjalan dengan tegak kepala ditengah kehidupan masyarakat yang masih kelaparan. Kita musti sama sama sadar. Dan terus bergerak untuk melawan keadaan ini. Kehadiran Pledoi menjadi bacaan yang sayang untuk dilewatkan, di tengah kondisi media yang semakin tidak independen. Banyak media mainstream yang tidak bisa lagi dipertanggung jawabkan lagi independensinya. Penguasa media saat ini adalah para cukong-cukong. Tentunya ini menjadi miris. Karena media kini tak mampu lagi menhadirkan informasi yang utuh untuk masyarakat. Media mainstream kini tidak mampu menjadi agen perubahan ketika masih dilingkupi banyak kepentingan para pemilik modal. Harapannya, pledoi mampu menjadi media yang tetap independen. Media yang mampu menyuarakan suara-suara rakyat yang tak berdaya melawan. Media yang bisa menjadi pendidik bagi seluruh warga Negara. Maju terus untuk Pledoi.
M. Syafi’e Pemimpin Redaksi
Mugiyo Sugiyanto, Warga Gunungkidul, Yogyakarta.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
3
Foto. dok. istockphoto.com
4
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Liputan Utama
(LAGI) HAK DIFABEL DIRAMPAS ! Pemerkosaan didefinisikan sebagai tindakan mengambil sesuatu dengan paksa, dari seseorang kepada orang lain tanpa keinginan orang tersebut. Pemerkosaan mengandung dua unsur ini : adanya hubungan seksual, dan tidak adanya persetujuan dari korban atas tindakan tersebut. Sebagian besar tindak perkosaan mengikutsertakan tindak kekerasan, baik verbal maupun nonverbal. - Carol C. Nadelson, M.D-
Oleh : Intan Pratiwi
Selasa, 19 Februari 2013, tepat dimana pencarian keadilan dimulai. Tak banyak yang bisa terekam pagi itu. Tampak semua wajah gelisah menanti pembacaan dakwaan. Begitu juga VI (bukan nama sebenarnya), harusnya ia tak ada di pengadilan pagi ini. Harusnya ia bisa belajar seperti biasanya. Namun, cerita 3 bulan silam berujung perih yang tak kunjung usai. VI seorang anak perempuan tuna rungu, adalah korban pemerkosaan dan pencabulan. Seperti kasus kasus yang sering menimpa kaum difabel. Pelaku biasanya adalah orang terdekat, dan paling tahu kebiasaan korban. Begitu juga VI, pelakunya adalah gurunya sendiri. Trauma berkepanjangan akhirnya harus dilalui oleh VI berserta keluarga. Gedung Pengadilan Negeri Sukoharjo menjadi sejarah tersendiri bagi VI dan keluarga. Gedung yang bercat krem kecoklatan ini menjadi saksi bisu proses hak keadilan bagi VI. Ditemani 10 orang teman sekolahnya, siswi SLB negeri Gathak, Sukoharjo ini tak banyak bicara. Ketika tim Pledoi datang ke Pengadilan Negeri Sukoharjo, Pledoi langsung bertemu dengannya. Ia menyalami kami, sembari tersenyum. Pagi ini, sidang seharusnya dimulai pukul 09.00. Hingga jam menunjukan pukul 11 siang, sidang belum juga dimulai. Kami mencoba mendekati Ibunda VI, tak banyak yang ia bisa ungkapkan. Ibunda VI hanya bisa menghela nafas panjang ketika Pledoi menanyakan kabarnya. Tak banyak juga yang bisa ia ceritakan. Perempuan 42 tahun ini tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Sembari memeluk VI, Ibunda VI menceritakan perasaannya kepada kami. “Karena kasus ini, VI sekarang kurus. Dia stress berat, sering mengeluh pusing. Bapaknya juga jadi sering kumat jantungnya. Saya beberapa kali terpaksa harus meninggalkan pekerjaan,” tutur Ibu VI sembari menyeka air
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
5
Liputan Utama matanya yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Tiba-tiba VI histeris, ia menangis dan meronta tak bersuara. Ia bersembunyi di pelukan ibunya, ketika Ia berpapasan dengan Farida Nugrahani, istri dari pelaku. Ruang Pengadilan Negeri memang tak begitu luas. Pintu utama hanya ada satu. Hal ini sempat di khawatirkan oleh tim advokasi. Karena, apabila pintu utama hanya satu. Kemungkinan VI bertemu dengan pelaku sangat besar. Hal ini akan berdampak pada kondisi VI. Benar saja ketakutan itu muncul. Budiawan memang memasuki ruang tunggu tahanan, tidak melewati pintu utama. Namun, ternyata Ida. Istri Korban, memasuki kantor pengadilan negeri melewati pintu, tepat dimana VI dan kami menunggu proses pesidangan. Kontan saja, VI langsung histeris. Ditemani kuasa hukumnya, Ida melewati kami dengan mata yang memincing. Mengenakan baju berwarna kuning dengan celana dan kerudung berwarna hitam, ia berlalu begitu saja menghampiri pelaku. Oktober Budiawan di ruang tahanan pengadilan. VI ketakutan bukan main. Ini terlihat dari tangis tak bersuaranya, tubuhnya gemetaran, dan air matanya bercucuran. “Bapak ibu bisa lihat! ini adalah trauma berkepanjangan! Ini akibat perbuatan bejat Budi,” ungkap Nanik Sumarni, Guru SLB Gathak, Sukoharjo, yang menjadi tempat curhat VI. ***
K
asus pemerkosaan dan pencabulan yang harus diterima oleh kaum rentan seperti kaum difabel, memang sering terjadi. Sayangnya, kasus kasus seperti ini seringkali tak banyak diketahui oleh masyarakat. Stigma masyarakat yang masih meminggirkan kaum difable. Beberapa kasus yang serupa dengan VI, malah tak selesai sampai pada putusan. Sekalipun sampai putusan, hukuman pun tak sebanding dengan trauma dan olokan yang harus diterima korban. Mulanya, VI tak mampu menceritakan apa yang menimpa dirinya. Ia memang berumur 22 tahun. Namun, ia memiliki keterbatasan, potensi kemampuan verli menunjukan suspect IQ sebesar 40-50, angka ini menunjukan bahwa VI tergolong mentalretardasi sedang. Sehingga, meski umurnya 22 tahun. Ia setara dengan anak usia 9 tahun 2 bulan. VI diselimuti ketakutan. Ia di ancam dibunuh, juga di pukul oleh Oktober Budiawan, pelaku pemerkosaan dan pencabulan. Mirisnya, Budiawan adalah guru kesenian dan komputernya sendiri. VI harus menelan pil pahit. Tercatat 4 kali pemerkosaan, dan 2 kali pencabulan. Sepanjang kurun waktu dari Juli hingga September 2012. Kehormatan VI harus direnggut paksa oleh kelakuan biadab Budiawan. Kasus ini terungkap dari kegelisahan Nanik, ketika video mesum beredar di hp murid SLB Gathak, Sukoharjo. Ia melaporkan hal ini ke pihak sekolah. Lalu, pihak sekolah menindak lanjuti hal ini dengan merazia HP murid murid. Ketika ia sedang melakukan razia, seorang murid bernama Anik Setiyowati bercerita padanya bahwa Anik pernah melihat Oktober Budiawan sengaja memperlihatkan video rekaman pornografi itu pada VI.
6
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
“ VI diselimuti ketakutan. Ia diancam dibunuh, juga di pukul oleh Oktober Budiawan, pelaku pemerkosaan dan pencabulan. Mirisnya, Budiawan adalah guru kesenian dan komputernya sendiri. VI harus menelan pil pahit. Tercatat 4 kali pemerkosaan, dan 2 kali pencabulan. Sepanjang kurun waktu dari Juli hingga September 2012. Kehormatan VI harus direnggut paksa oleh kelakuan biadab Budiawan.
”
Liputan Utama
Mulanya VI tidak mengaku. “Anik mengatakan kepada saya bahwa VI berbohong. Anik melihat sendiri bahwa VI pernah diperlihatkan video mesum melalui hp Budiawan. Akhirnya, selang dua hari razia, pada jam istirahat. VI menarik tangan saya ke kelas. Ia bilang bahwa ia takut, dengan bahasa isyarat. Ia meletakan jari telunjuknya ke depan mulutnya. Lalu dengan bahasa isyarat mengusap mukanya yang mengisyaratkan bahwa ia malu, ” papar Nanik. Nanik pun mulai penasaran. Pertanyaan demi pertanyaan mulai hadir dari mulut Nanik kepada VI. Awalnya VI kesulitan untuk menjelaskannya. “Takut dengan siapa?” kata Nanik. VI menjawab dengan bahasa isyarat. Ia takut dengan Budiawan. Nanik pun kaget bukan kepalang. Ia pun menanyakan kepada VI apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hal yang mudah untuk Nanik mendapatkan cerita VI. Mulanya VI kesulitan menjelaskan apa yang telah menimpa dirinya. “Untuk mempermudah mengingat kejadian, VI menjelaskannya menggunakan kalender. Dengan tanggal tanggal. Ia ingat betul, kapan dan dimana ia dipelakukan tidak senonoh oleh Budiawan. Ia lingkari setiap tanggal kejadian,” papar nanik menjelaskan proses komunikasinya dengan VI.
Foto.dok. mantep.com
Sekolah Luar Biasa Negeri Gatak Sukoharjo, Tempat oknum guru pelaku perkosaan dan pencabulan mengajar. Ketakutan seketika menyelimuti Nanik. Ia kebingungan harus berbuat apa. Apalagi untuk menindak lanjuti kasus ini. Hingga akhirnya, salah seorang temannya bernama Menik, memberikan kabar ini kepada Purwanti alias Ipung, Ketua Advokasi SIGAB. Dari sanalah Ipung mulai melakukan investigasi kasus ini. Awal pencarian tak semudah yang dibayangkan. Nanik pun yang semula ingin kasus ini diselesaikan, mengalami ketakutan. Hingga Ipung harus kucing kucingan dengan Nanik. Ipung bercerita, baik Nanik maupun Menik tak mampu mengungkapkan kepadanya tentang kronologi kejadiannya. Hingga akhirnya Ipung mampu meyakinkan Nanik, sebagai saksi kunci kasus VI ini, agar mau bekerjasama untuk mendapatkan keadilan bagi VI. Ipung pun mendapatkan akses ke pihak sekolah. Namun, pihak sekolah mulanya tak mau mengakui bahwa terjadi kasus tersebut. Joko Yulianto, sang kepala sekolah sempat mengelak. Ia tak mau terbuka. Joko selalu mengatakan bahwa VI dalam keadaan baik baik saja. Padahal, pada saat itu, VI sering tidak masuk sekolah, karena sakit. Rasa trauma yang diderita VI juga membuat ia menjadi berubah sikap. Hal ini ditegaskan oleh orang tua VI, bahwa anaknya menjadi lebih pemurung. Saat hal ini di konfirmasi kepada pihak sekolah, Joko berkali-kali sulit ditemui. Untuk mendapatkan alamat rumah VI, Ipung tak bisa mendapatkannya dari pihak sekolah. Padahal, alamat rumah VI dengan sekolah sangatlah dekat. Akhirnya Ipung
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
7
Liputan Utama
berusaha mendapatkan alamat dengan cara menjemput VI dan Nanik sepulang sekolah. Bukan perkara yang mudah bagi Ipung untuk memberikan penjelasan kepada keluarga. “Saya harus bicara pelan pelan, karena bapaknya VI punya penyakit jantung. Ketika kabar tersebut saya sampaikan. Saya sulit menggambarkan bagaimana raut wajah keluarganya,” papar Ipung. Perjuangan tim advokasi pun tak berhenti pada saat itu saja. Ipung harus meyakinkan Winar Mardani, ayah VI, agar ia mau melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian. Winar mengaku ketakutan dan kebingungan saat harus melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum. Akhirnya, pada tanggal 10 November 2012 pukul 15:00 WIB, Winar melaporkan kasus pemerkosaan yang menimpa putrinya ke Polres Sukoharjo. Dalam proses pelaporan, Ipung juga melakukan pendekatan kepada pihak sekolah untuk menindak kasus pemerkosaan ini. Ipung berharap agar Budiawan mampu diproses secara benar. “Saya heran, harusnya pihak sekolah bertanggung jawab dengan kasus ini. Tapi, ternyata kepala sekolah malah hanya menyuruh Budiawan mengajukan surat pengunduran diri,” keluh Ipung, ketika mengetahui bahwa Budiawan malah mengundurkan diri, bukannya dipecat. Selain itu, pihak sekolah seakan akan menutupi kasus ini. Hal ini terlihat dari sikap sekolah yang mengulur ulur dan mempersulit akses bertemu tim advokasi dengan VI. Pihak sekolah selalu mengklaim bahwa VI baik-baik saja. Padahal, kondisinya sangat memprihatinkan. Ia mengalami trauma besar, dan sering tidak masuk sekolah sejak kasus pemerkosaan itu terjadi. Hal ini ditegaskan oleh Nanik, selaku wali kelasnya. “VI memang jadi jarang sekolah, dia sering sakit” ungkap Nanik. Selain itu, ketika tim advokasi mencoba untuk bertemu dengan Joko, selaku kepala sekolah, Ia selalu mengelak. Dalihnya, ada banyak acara di luar. Mengisi ceramah, dan juga kunjungan. Merasa tak mendapatkan jalan dari pihak sekolah, Ipung beserta tim advokasi mengadakan audiensi dengan anggota DPR Komisi IV dan juga Bupati Sukoharjo. Dari sanalah sinyal benderang mulai muncul. Joko Widodo didesak untuk segera mengusut kasus ini, baik oleh pihak tim advokasi, juga dari pihak DPRD dan Bupati. Pada saat sidang perdana, Joko didampingi oleh seorang temannya sesama kepala sekolah beserta perwakilan dari dinas, menyatakan bahwa dirinya sangat terkejut dengan kasus ini. Joko mengatakan, ia tak menyangka bahwa kejadian ini
harus menimpa sekolahnya. “Saya sebut ini sebagai cobaan, agar segala pihak bisa banyak belajar. Saya awalnya tidak percaya. Tapi, biarlah pihak yang berwenang yang menentukan. Karena, mereka yang lebih tahu proses hukum daripada saya,” papar Joko. Akhirnya, pada 10 November 2012, pihak sekolah mengabari keluarga bahwa ada kasus pemerkosaan yang menimpa VI. Keluarga sebenarnya tak begitu kaget, karena mereka sudah tahu terlebih dahulu. Namun, kemarahan dan kekecewaan tak bisa dibendung lagi oleh keluarga korban. Mereka merasa sekolah lambat dalam menangani kasus ini. Dampak kasus ini segera terasa. Penyakit jantung Winar kumat seketika. “Semenjak ada kasus ini, bapaknya jadi suka kambuh kalau malam,” keluh sang istri. Proses hukumnya ternyata tak semulus yang diperkirakan. Kekurangan alat bukti membuat proses peradilan tersendat. Tim advokasi harus bolak-balik polres, karena berkas yang dilimpahkan ke kejaksaan harus dikembalikan ke pihak kepolisian. Hingga, polisi harus melaksanakan reka ulang kasus tersebut. Tentunya pengulangan ini, juga membuat traumatic tersendiri oleh VI dan juga kawan kawannya. Status VI yang menderita tuna rungu dianggap tidak kuat hukum. Dugaan kasus pemerkosaan dan pencabulan diragukan fiktif belaka. Tim advokasipun sampai harus melakukan visum pada VI, sebagai bukti terkuat. Sampai pada akhirnya laporan mampu diproses hingga tingkat kejaksaan. Tim advokasi pun tak lupa mengadakan audiensi terhadap pihak Kejaksaan Negeri Sukoharjo, untuk membangun perspektif HAM dan peduli difabel. Dua bulan lamanya proses panjang yang harus ditempuh dalam merebut keadilan. Hingga, sidang pertama jatuh pada tanggal 19 Februari 2013. Sidang pertama, adalah pembacaan dakwaan. ***
8
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Liputan Utama
T
angis VI belum juga berhenti, ia masih terus meronta pasca berpapasan dengan Ida, istri pelaku. Ida adalah saksi kunci dari kasus ini. Karena, dari 6 kali tindak pelecehan yang menimpa VI, salah satunya melibatkan Ida. Ida diduga kuat ikut menyaksikan apa yang Budiawan lakukan kepada VI. Tercatat pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tertanggal 26 Juli 2012, VI dipaksa untuk menuju kontrakan Budiawan. Tak kuat menahan diri, VI akhirnya diajak keluar oleh Ibunya dan Nanik. Waktu semakin siang, kala itu jam sudah menunjukan waktu 12. Akhirnya, sekolah memutuskan untuk mengajak 10 murid beserta VI untuk pulang, kembali ke sekolah. “Baiknya anak anak di bawa pulang saja, dan tidak perlu ikut persidangan. Bila saatnya tiba, pemeriksaan saksi. Anak anak baru boleh datang lagi bersama VI. Takutnya, kejadian trauma seperti ini terulang lagi,” papar Ipung, pada salah satu guru yang ikut menemani VI dalam persidangan bersama teman teman. Akhirnya, VI dievakuasi kembali ke sekolah, ditemani dengan kawan-kawan dan 2 guru pendamping. Anak-anak diputuskan untuk tidak perlu mengikuti sidang. Ipung pun mengatakan pada salah satu guru pendamping dan anak-anak, bahwa kehadiran mereka sangat diperlukan ketika pemeriksaan saksi. “VI seharusnya tidak usah ikut persidangan, nanti saja. Pada
Foto: Fuad/ PUSHAM
Sejumlah LSM yang membantu advokasi korban VI melakukan audiensi dengan Kejasaan Negeri Sukoharjo
saat pemeriksaan saksi. Dan apabila diperlukan. Hal ini juga untuk menjaga kondisi psikologis anak,” kata Ipung pada nanik dan Ibu VI. Pukul 13.00 WIB, setelah murid-murid kembali ke sekolah, selang beberapa lama sidang perdana mulai digelar. Tim dan keluarga menuju pintu ruang sidang dua. Sayangnya, sifat sidang ini adalah sidang tertutup. Sehingga, para tim dan kelurga tidak bisa mengetahui jalannya sidang. Sidang berlangsung selama 30 menit. Jaksa Penuntut Umum, Suhardi, SH., menyatakan bahwa proses peradilan ini masih panjang, keluarga beserta tim diharapkan bersabar dalam menjalani proses ini. “Tentunya, ini baru tahap awal. Tapi kami akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keadilan. Pada dakwaan tadi, kami kenakan pasal berlapis pada tersangka. Pencabulan (289) juga pemerkosaan dengan ancaman (285). Apabila ada bukti yang mampu mendukung lagi dalam proses ini. Bisa kita bicarakan lagi, ” paparnya, saat bertemu dengan keluarga dan tim advokasi di ruang rehat jaksa. Sidang hari itu diakhiri dengan rencana audiensi dengan pihak majelis hakim dan Pengadilan Negeri Sukoharjo. Juga, pemberitahuan sidang selanjutnya tentang keberatan dari pihak kuasa hukum tersangka atas tuntutan jaksa. Tak banyak yang bisa diekspresikan oleh Ibunda VI yang sedari pagi mengikuti jalannya persidangan. Ia hanya bisa berharap semua bisa cepat selesai. “Saya sudah pasrah kepada semua pihak yang berwenang, agar VI bisa mendapatkan keadilan. Saya sekarang hanya bisa berdoa dan juga menguatkan VI,” pungkasnya.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
9
Liputan Utama
GURU SLB PERKOSA SISWANYA Oleh : Moh. Fuad Hasan
Foto: dok. vhrmedia.com
K
asus kekerasan bagi perempuan difabel sangat penting untuk mulai mendapatkan perhatian khusus. Hal ini dikarenakan sampai dengan saat ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan difabel yang sebenarnya sangat sering terjadi ini justru sangat jarang memperoleh perhatian dari pembela hukum, para penegak hukum maupun masyarakat secara luas. Adanya faktor pemahaman yang salah dari keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat maupun lembaga penegak hukum terhadap difabel juga menjadi tidak terselesaikannya kasus tersebut, atau bahkan kejadian kekerasan yang berulang terhadap perempuan difabel. Menurut Purwanti, biasa dipanggil Ipung, sebagai Office Program di Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), “Rentannya bentuk kekerasan seperti pencabulan maupun pemerkosaan karena memang difabel perempuan dilemahkan secara berlapis”. Sebagai perempuan, yang dalam budaya masyarakat kita selalu ditempatkan
10
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Liputan Utama
sebagai yang lemah dan yang terbelakang dan tak jarang menerima diskriminasi berbasis gender. Sebagai difabel, dengan situasi seperti sekarang ini, akses terhadap berbagai aspek kehidupan masih merupakan tantangan besar. perempuan difabel rata-rata berasal dari keluarga miskin dan tidak beruntung secara ekonomi. Negara Indonesia sendiri mengambil langkah penting dalam memperkuat komitmen untuk memajukan hak asasi difabel dengan menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hakhak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities). Pada 10 November 2011, Pemerintah Indonesia kembali mengukuhkan komitmen untuk melakukan perubahan fundamental bagi perwujudan hak-hak difabel dengan mengesahkan UU No. 19 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagai upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak difabel di seluruh Indonesia. Pada pasal 12 dan 13 konvensi tersebut, ditegaskan bahwa difabel mempunyai kedudukan yang setara di hadapan hukum dan memiliki hak atas akses yang sama terhadap peradilan. Namun sayangnya, kebijakan tersebut belum diimplementasikan dengan baik. Akses terhadap hukum yang berkeadilan masih sangat langka dirasakan bagi komunitas difabel, terutama bagi perempuan difabel. Aneka bentuk diskriminasi terjadi di level keluarga, di level komunitas, aparat penegak hukum bahkan di level negara. Faktanya banyak kasus kekerasan seksual bahkan pemerkosaan yang tidak diproses secara hukum, dengan alasan lemahnya bukti, minimnya aksesibilitas hukum bagi difabel bahkan difabel dianggap tidak mampu memberikan kesaksian dalam proses peradilan. Tindakan asusila seperti ini cukup sering terjadi di kalangan masyarakaat
umum, perempuan yang sering menjadi korban. Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (KDRT) atau di tempat umum lainnya. Apa lagi yang berkemampuan beda, mesti menjadi rawan dan menjadi sasaran tindak kejahatan, apapun bentuknya. Lebih miris lagi perempuan difabel yang menjadi sasarannya. Ketika kasus ini bisa di usut tuntas dan di adili seadiladilnya, bisa menjadi contoh kasus-kasus lain yang tidak bisa diungkap di ranah hukum,” ujar M. Joni Yulianto, Direktur SIGAB Dia menambahkan, hal ini bisa menjadi pemacu kalangan aktivis untuk melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan. Kasus perkosaan seperti halnya gunung es, tidak kelihatan tapi mengeras tinggi. Saking banyaknya kasus perkosaan namun tidak tuntas, terlebih kasus-kasus kriminal yang terjadi dikalangan difabel. Biasanya kurang mendapat perhatian dan undang-undangnya pun menyulitkan. Hal ini berimbas menyudutkan korban, akhirnya seperti tidak ada masalah.
Penahanan Pelaku Setelah mendapatkan laporan dari warga (bapak korban) yang bernama Winar Mardani. Polisi menindak lanjuti kasus perkosaan tersebut. Oktober Budiawan yang diduga sebagai pelaku ditahan di Polres Sukoharjo. Pelaku tidak lain merupakan guru SLB Negeri Gatak. Sudah barang tertentu untuk melengkapi BAP bolak-balik guna untuk melengkapi berkas atau bukti yang di butuhkan. Kini polisi mudah di ajak kerjasama dengan lantaran negosiasi yang intensif. Dikarenakan begitu banyak berkas-berkas baik itu barang bukti maupun saksi yang di butuhkan. Belum lagi hasil vorensik dari korban, disitu terkesan lama. Namun semuanya bisa terlewatinya karena adanya audiensi dan saling kerjasama ditingkatan lembaga-lembaga lain yang terkait guna untuk mendukung dan menuntaskan kasus perkosaan terhadap korban. Tergabung dari beberapa pemerhati difabel dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri dari SIGAB Yogyakarta, LBH Yogyakarta, ICM Yogyakarta, Lembaga SPEKHAM Surakarta, Lehhamas ‘Aisiyah Surakarta, PUSHAM UII Yogyakarta, Forum LSM Yogyakarta, Gerkatin Solo dan Rifka Annisa Yogyakarta, bersama dengan seluruh stakeholder. Setelah berkas penyidikan di kepolisian terkumpul dan dinyatakan cukup bukti, kemudian di limpahkan ke kejaksaan. Selanjutnya pelaku menjadi tahanan kejaksaan. Dwi Samudji, Kepala Kejari Sukoharjo saat diwawancara pada Selasa, 5 Februari 2013 mengatakan, saat ini penanganan kasusnya menjadi kewenangan Jaksa. Hal tersebut dilakukan setelah kejaksaan menerima pelimpahan berkas dari penyidik Polres Sukoharjo.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
11
Liputan Utama
Foto: Fuad/ PUSHAM
Sejumlah LSM melakukan audiensi dengan Bupati Sukoharjo H. Wardoyo Wijaya terkait kasus yang menimpa VI siswa SLB Negeri Sukoharjo
Sidang Perdana Pemerkosaan Sidang pencabulan dilakukan di Pengadilan Negeri Sukoarjo pada hari selasa, 19 Februari 2013 merupakan sidang perdana. Sidang perdana ini dilakukan secara tertutup. Hanya terdiri dari Ketua Hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan penasehat hukum Oktober Budiawan. Tidak ada Seorang pun boleh masuk dalam ruangan persidangan tersebut, kecuali para petugas PN sendiri. Sidang dipimpin ketua majelis hakim, Agus Darmanto didampingi hakim anggota, Evi Fitriastuti dan Diah Tri Lestari. Waktu itu Sidang perdana itu molor lima jam dari jadwal sidang yang direncanakan dimulai pukul 08.00 WIB. Keterlambatan itu dikarenakan jaksa sedang memeriksa kasus lain. Sembari menunggu sidang di gelar, pendamping korban dan para aktifis yang lain menunggu di ruang aula depan yang biasa untuk menunggu. Tepat ketikata masuk di Pengadilan Negeri Sukoarjo, ada ruangan besar dan ada banyak kursi yang berjejer. Disitulah kami menunggu prosesi sidang digelar. Meski suasana sedikit agak mencekam, karena melihat kasus ini tidak biasanya, bisa di bilang cukup rumit. Awalnya VI datang ke pengadilan negeri, dan ditemani teman-teman dimana dia bersekolah dan memberikan dukungan pada VI. Sembari menunggu di ruang tunggu persidangan, seketika VI melihat istri terdakwa melintas, dengan sketika korban menangis akibat trauma dan ketakutan dari kejadian yang dialaminya beberapa bulan silam. “Korban VI dibawa pulang oleh teman-teman karena masih trauma. Melihat istri terdakwa,” ujar Ipung di sela-sela persidangan.
12
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Di sisi lain, penasehat hukum Oktober Budiawan, Kadi Sukarman tertarik dengan kasus ini karena kasus yang dihadapi ini kasus yang tidak seperti kasus yang lain. Dia berharap bisa membantu menyelesaikan kasus yang telah ditanganinya. Dia sangat yakin bahwa kalau tuduhan yang di lemparkan kepada kliennya, tidak benar. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Suhardi dalam persidangan perdana tersebut, Oktober Budiawan didakwa melanggar Pasal 285 KUHP dan Pasal 289 KUHP tentang Pemerkosaan dan Pencabulan dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. Persidangan kali ini, terdakwa didampingi pengacara Kadi Sukarna. “Kami akan mempelajari dakwaan dan mengajukan eksepsi atau nota keberatan pada sidang pekan depan,” kata Kadi Sukarna. Dia mengungkapkan, kasus ini merupakan kasus yang biasa. Sebab itu, dalam sidang berikutnya akan menghadirkan keterangan saksi yang akan meringankan terdakwa. “Kami sudah membaca dakwaan jaksa penuntut umum. Kami melihat barang bukti dalam kasus itu sangat kurang. Saya optimis, hukuman terdakwa akan diringankan. Bahkan, langsung bisa dibebaskan,” harapnya. Sementara itu, tim advokasi korban dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta, Purwanti menjelaskan bahwa tindakan pencabulan dan pemerkosaan yang dilakukan guru itu diketahui oleh saksi kunci yang juga merupakan siswa SLB lainnya. “Saat guru melakukan tindakan pencabulan, ada salah satu siswa SLB yang mengintipnya. Siswa itu yang menjadi saksi kunci,” tegas dia.
Wawancara
Peradilan adalah lembaga hukum dimana keadilan dipertaruhkan. Proses persidangan harus terbuka dan berjalan fair. Namun, proses itu seringkali tidak dimiliki oleh para penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Bagi mereka, peradilan masih menjadi tempat menakutkan, tidak fair dan tidak aksesibel. Peradilan bagi mereka seringkali menjadi tempat dimana pelaku tindak kriminal dibebaskan. Berikut adalah wawancara Pledoi dengan Nurul Sa’adah, Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda), Yogyakarta.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
13
Wawancara Penyandang disabilitas adalah kelompok rentan, dan ia memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang harus diafirmasi, termasuk dalam proses peradilan. Apa pendapat Anda terkait penyandag disabilitas yang berhadapan hukum selama ini?
Bisa disebutkan, peraturan apa saja yang mendiskriminasi penyandang disabilitas itu?
Jadi aturan itu menjadi bagian penting dari proses diskriminasi itu terjadi?
Dalam proses hukum dan perilaku aparat bagaimana?
14
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
P
astinya selama ini penyandang disabilitas masih diperlakukan dengan diskriminasi ketika berhadapan dengan hukum. Baik ketika berlangsung persidangan, ataupun dalam proses-proses sebelumnya. Mereka seringkali mendapatkan hak-haknya secara adil. Di antara kasus yang seringkali menimpa mereka adalah hak dalam pernikahan, hak atas harta benda, dan lain-lain. Hak-hak itu biasa terlanggar berawal dari stigma yang hidup dalam sosial masyarakat, yaitu bahwa penyandang disabilitas tidak memiliki kecakapan, biasa hidup tergantung dan tidak mandiri. Stigma itu berdampak terhadap banyak regulasi yang kemudian menempatkan penyandang disabilitas berada di bawah pengampuan. Padahal, kita harus tahu bahwa tidak semua penyandang disabilitas dapat diklaim berada di bawah pengampuan. Banyak di antara mereka yang memiliki kecakapan.
S
alah satu aturan itu adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu pasal dalam Undang-Undang ini menyebutkan bahwa seorang laki-laki telah memenuhi syarat untuk berpoligami jika istrinya memiliki cacat. Salah satu syarat untuk berpoligami adalah persetujuan dari istri yang awal. Dalam kasus poligami karena istri cacat, tidak ada syarat untuk permintaan idzin terlebih dahulu. Hal ini otomatis boleh. Artinya, persoalan ini dari awal sudah jelas bahwa penyandang disabilitas dianggap tidak memiliki kecakapan. Kalau pun penyandang disabilitas menggugat alasan poligami tersebut, dalam proses hukum pun pasti kita dikalahkan. Sebab aturan hukumnya sudah jelas seperti itu. Aturan diskriminasi lainnya ialah KUHP dan KUHAP, keduanya adalah aturan yang memandang penyandang disabilitas adalah orang-orang yang tidak cakap secara hukum.
B
etul. Aturan-aturan itu menjadi basis yang mendorong terhadap proses diskriminasi kepada para penyandang disabilitas. Logikanya, aturannya saja sudah seperti itu apalagi prakteknya. Tentu tidak akan jauh-jauh. Kaitannya juga dengan aturan hukum keperdataan, seperti pembuatan perjanjian, kontrak, perikatan, waris mewarisi, perkawinan dan lainnya, penyandang disabilitas dianggap tidak memiliki kecakapan hukum. Mereka misal tidak bisa berkontrak dengan bank. Penyandang disabilitas seringnya digeneralisasi atas ketidakcakapannya. Padahal, tidak semua penyandang disabilitas dapat disebut tidak cakap. Dampaknya, penyandang disabilitas harus selalu di bawah pengampuan orang tua atau saudaranya, tidak bisa menikah, tidak bisa menerima hak waris, dan lainnya.
P
ara pihak yang tahu hukum juga bermasalah. Notaris misalnya, ketika mengurus perikatan jelas-jelas menafikan hak penyandang disabilitas. Salah satu teman kami yang berurusan dengan hak waris dipersalahkan mentah-mentah. Melapor ke polisi juga bermasalah. Ketika yang bermasalah misal tuna rungu, polisi tidak mengerti penyelesaiannya. Polisi tidak mengerti apa yang ia harus lakukan dengan kondisi penyandang disabilitas yang tuna rungu. Di persidangan, penyandang disabilitas juga menghadapi masalah serius, salah satunya berkait dengan hak untuk penterjemah. Hakhak itu biasanya tidak dipenuhi karena hak itu dianggap sebagai terjemah bahasa asing, bahasa isyarat tidak dianggap hak.
Wawancara
S
Selama ini ada tidak tidak penegak hukum, baik polisi, jaksa dan hakim yang mencoba progresif dan membela hak-hak penyandang disabilitas?
K
Bagaimana pandangan Anda terkait institusi peradilan saat ini sehingga mereka cukup rumit untuk membela hak-hak penyandang disabilitas?
M
Terkait aksesibilitas layanan di tempat peradilan, pandangan Anda bagaimana?
elama ini saya tidak banyak menemukannya. Rata-rata mereka mempersalahkan penyandang disabilitas. Saya tidak tahu, apakah mereka mempersalahkan penyandang disabilitas tidak tahu, tidak progresif atau masalah lainnya. Yang pasti mereka banyak yang memberlakukan penyandang disabilitas tidak berdasar hak-haknya. Tapi saya pernah menyaksikan seorang polisi progresif di Bantul. Dia menangani pemerkosaan yang korbannya adalah perempuan tuna rungu dan mental retardasi. Perempuan penyandang disabilitas itu hamil, dan melapor ke polisi meminta pertanggungjawaban pemerkosanya. Saat itu polisi kekurangan bukti karena sudah hamil duluan. Tapi polisi itu tetap berkeyakinan bahwa proses pemerkosaan itu terjadi, dan berlanjutlah ke persidangan. Di persidangan hak saksi untuk mendapat penterjemah dipenuhi dan untuk buktinya dilakukanlah tes DNA. Dan, itu akhirnya menjadi media kebenaran bahwa perempuan penyandang disabilitas itu memang diperkosa oleh pelaku. Dan di peradilan, pelaku itu akhirnya di vonis dengan hukuman penjara. Polisi itu mengatakan bahwa penyandang disabilitas itu adalah sama sebagai subyek hukum, penyandang disabilitas ialah manusia, dan hakhaknya sebagai manusia harus dilindungi. Saya tidak banyak menemukan penegak hukum yang seperti polisi di Bantul itu, kebanyakan para penegak hukum adalah mendiskriminasi penyandang disabilitas. ita harus tahu bahwa peradilan itu berjenjang. Mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Itu tidak mudah, dan seringkali berbelitbelit. Di kepolisian saat ini sudah lumayan sudah ada unit khusus perlindungan perempuan dan anak, tapi itu juga tidak mudah, karena proses di kepolisian juga harus disetujui kejaksaan terkait penyelidikannya. Biasanya itu bolak-balik, dan tak mudah mengkualifikasi kasus dan merumuskannya dengan peraturan. Di kejaksaan misal, ketika kita audiensi soal hak-hak penyandang disabilitas, mereka bilang tidak bisa bertindak sendiri, mereka harus melaporkan kasusnya ke atasan. Nuansa itu juga terjadi di kehakiman. Jadi, selain soal perspektif hak-hak penyandang disabilitas yang lemah, tapi juga soal struktur peradilan yang bertingkat dan rumit. Aparat penegak hukum berada dalam kerumitan-kerumitan itu. enurut saya itu yang juga kami sering keluhkan. Pandangan saya, di Indonesia belum ada tempat peradilan yang akses bagi penyandang disabilitas. Akses itu bukan hanya ada ram saja ya. Itu salah satunya. Tapi masih banyak yang lain, misal, selain ram, bagaimana pintunya, ruang kamar mandinya, petunjuk bagi tuna rungu dan tuna netra, dan beberapa kepentingan khusus lainnya. Saya belum pernah melihat tempat peradilan yang akses di Indonesia. Padahal, tempat peradilan bagi saya harus didesain sesuai kebutuhan manusia yang universal. Penyandang disabilitas mungkin dilihat hanya satu-dua, atau tidak banyak yang berhadapan dengan hukum tapi toh dia manusia yang harus dipenuhi hak-haknya di tempat peradilan.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
15
Kata Mereka
Merawat Perjuangan Untuk Sesama
D
ua aktivis senior gerakan difabel di Yogyakarta, Setia Adi Purwanta dan Nuning Suryatiningsih menceritakan kisah pengalaman mereka melakukan pendampingan terhadap kaum difable.
Memakai baju putih lengan panjang yang dilipat dan dipadu dengan setelan celana berwarna abu-abu. Siang itu, Setia Adi Purwanta mempersilahkan Pledoi masuk ke ruangan kantornya di Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Bantul, Yogyakarta.
Oleh: Kamil Alfi Arifin
Setia tampak bersahaja, meski tidak kehilangan selera humornya. Di awal-awal pembicaraan, Setia berbicara ringan seperti bertemu dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya. Padahal kami adalah orang baru dalam daftar koleganya, yang sudah pasti bejibun jumlahnya. Suasana pertemuan wawancara menjadi guyub, akrab, dan mengurangi kesungkanan. Ada ceria. Ada tawa yang lepas dari Setia, di awal wawancara siang itu …
Mula Perjuangan untuk Difable Foto: dok. Antara.com
Berbeda dengan di waktu beberapa puluh tahun yang silam, di sekitar tahun 1980-an. Saat itu, Setia harus menerima nasib yang tak pernah dikehendaki dalam hidupnya; kecelakaan serius yang kemudian menyebabkan ia menjadi tuna netra! Dunia bagi dirinya tiba-tiba menjadi ‘kiamat’ dan gelap. Kenyataan itu benarbenar tak mudah diterima oleh Setia. Ia memberontak terhadap Tuhan. Mengalami krisis diri berkepanjangan. Ceria hidup dan senyumnya hilang. Muncul keputusasaan yang besar. Waktu itu, Setia masih berumur 24 tahun. Muda dan gagah; baru menikah, baru punya momongan dan bekerja di sebuah rumah sakit di Surabaya. Ia tidak pernah
16
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Kata Mereka Setia terus menggugat Tuhan dengan kebingungan dan kekecewaannya yang dalam. “Kenapa saya yang harus buta, kenapa tidak yang lain?” “Apa salah saya selama ini?” Setia merasa, ia tidak lebih nakal dan kurang ajar dibandingkan teman-temannya yang lain. Kenapa harus dirinya yang diberikan ujian seberat ini oleh Tuhan? Setia sampai pada kondisi yang benar-benar krisis. Ia meninggalkan semua bentuk ritual keagamaan. “Saya sampai nggak sholat. Saya sampai tidak percaya dengan kebenaran Tuhan,” kenang Setia. Tapi badai persoalan hidup selalu pasti berlalu. Krisis yang dialami Setia memang seperti sebuah lorong yang pekat, hitam dan gelap. Segelap kebutaan yang menimpa kedua matanya. Tapi sudah janji tuhan, bahwa akan selalu ada cahaya di ujung lorong sana. Bergulirnya waktu, pelan-pelan, krisis Setia mulai mereda. Seorang teman karibnya dari Australia banyak memberikan masukan dan dukungan kepada Setia. Teman itu meminta Setia untuk belajar menerima kenyataan, meski sangat berat. “Coba, deh kamu masuk ke sebuah realita, ke orientasi kawan-kawan tuna netra, ke lembaga ketunanetraan. Kemudian, kamu belajarlah di sekolah guru untuk itu,” ujar Setia, sembari mengenang saran kawan karibnya itu.
menyangka kebahagiaannya itu akan luruh lenyap begitu cepat. Kecelakaan yang menimpanya membuat semua keadaan berubah. Benturan kepala yang cukup keras membuat matanya berdarah. Mata kiri Setia— dua jam setelah kecelakaan itu—mengalami kebutaan dan harus dioperasi. Sayang, operasi yang dijalani Setia gagal. Mata kanan Setia ikut robek retinanya. Ia mengalami kebutaan permanen pada kedua matanya. Sontak, jiwa Setia goncang. Ia beranggapan, Tuhan sedang berlaku tidak adil terhadap dirinya. Bagaimana dia menghadapi masa depannya; masa depan keluarga; masa depan rumah tangga yang dibangunnya? Selama dua tahun, Setia mencari dirinya. Ia bertanyatanya, “Mengapa Tuhan membuat saya buta?” gugatnya dalam hati.
Saat itu Setia tidak langsung mengiyakan saran sahabatnya. Kesangsiannya masih merebak. Bagaimana mungkin orang buta jadi guru? pikirnya. Tapi akhirnya Setia mencoba juga. Setia masuk dan belajar di pendidikan SLB. Nah, pada saat praktik mengajar, Setia melihat banyak hal: kondisi anak-anak yang senasib dengannya, yang semakin meneguhkan bahwa ia tak sendirian; metode pengajaran dan tetek bengek pendidikan di SLB yang dianggapnya cukup bermasalah dalam konteks pendidikan untuk ‘membantu hidup’ kaum difable. “Mau jadi apa anak-anak ini kalau begini?” Setia membatin. Semenjak itu, mulai ada setitik cahaya yang menerangi kembali jiwa dan mata hatinya. Setia merasa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat dengan kasat mata, saat berada di jarak yang sangat dekat dengan teman-teman difable di SLB. Ia sadar dan mulai berterima kasih kepada Tuhan. “Jadi kebutaan yang diberikan kepada saya justru
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
17
Kata Mereka sebenarnya pembukaan mata saya,” ujar Setia. Jika di awal-awal krisis, Setia meminta kepada Tuhan dua hal, yaitu Tuhan membuatnya bisa melihat kembali, dan kalau tidak bisa melihat lagi, lebih baik mati saja. Tapi Tuhan menjawab doa Setia dengan jawaban yang berbeda, jauh lebih baik dari yang ia minta. Ia merasa sangat malu dan kerdil di hadapan Tuhan. Akhirnya, Setia bisa ikhlas penuh menerima realitas kebutaan dirinya. “Kebutaan ini, saya terima sebagai instrumen yang diberikan kepada saya, untuk menjalankan kehidupan saya. Jadi saya tidak bisa menjalankan kehidupan saya ini tanpa kebutaan,” ujarnya, tegar. Pada titik itulah, Setia menentukan diri. Memasrahkan hidupnya untuk perjuangan bagi sesamanya: para kaum difable itu … *** Berbeda dengan Setia, rekan aktivisnya, Nuning Suryatiningsih, memiliki cerita awal yang berbeda. Nuning, begitu ia sering disapa, memang difable sejak lahir. Di hari yang berbeda, saat kami menemuinya di kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah Sleman, tempat ia bekerja. Nuning bercerita tentang awal mula ia bersentuhan dengan dunia difable. Sejak sekolah dari taman kanak-kanak (TK) hingga kuliah di perguruan tinggi, belum pernah bersama-sama dengan teman-teman difable. “Karena sekolah saya selalu di umum gitu, ya,” akunya. Baru di sekitar tahun 1990-an, Nuning dekat dengan teman-teman difabilitas dan mulai menaruh perhatian pada persoalan perjuangan hak-hak mereka, khususnya dalam hubungannya dengan pemerintah. Pada waktu itu, Nuning mendapat tawaran bekerja untuk disabilitas di Solo. Nama lembaganya Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM). Lembaga ini, kata
18
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Nuning, sebenarnya milik Yayasan Penyandang Cacat (YPAC), tapi sudah menjadi badan otonom. Lembaga ini sudah mandiri, punya lembaga donor khusus, serta punya wilayah sendiri. Bentuk kegiataannya juga berbeda. Kalau YPAC rehabilitasinya ada di panti, PPRBM rehabilitasinya ada di masyarakat. Namun, Nuning belum tegas memutuskan menerima tawaran itu. Antara iya dan tidak. Masih menggantung. Pasalnya, Nuning sudah bekerja di salah satu lembaga penelitian di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mengkaji masalah pedesaan. Ada juga pertimbangan lain darinya. Ia juga mesti ke Solo. Itu yang membuatnya berat. Tapi akhirnya, Nuning memutuskan untuk mengambil tawaran itu dan menetap di Solo. Setelah bergabung dengan PPRBM, Nuning masuk ke desa-desa untuk kegiatan pemberdayaan sebagaimana orientasi lembaganya. Pada waktu itu, kata Nuning, ada lima kabupaten yang ia dampingi. Semuanya di Jawa Tengah. Bekerja dengan masuk ke desa-desa pelosok (diantaranya di Banyumas, Boyolali, Klaten dan Karanganyar), Nuning melihat banyak penyandang difabilitas yang belum tersentuh sama sekali. Ia melihat realitas dan persoalan difabilitas dari jarak yang sangat dekat. “Disitulah saya mulai tergugah, karena dengan kondisi saya yang seperti ini ternyata saya sangat dibutuhkan disana,” kenangnya. Nuning melihat banyak masyarakat yang tidak tahu harus diapakan anak-anak mereka yang difable. Ada yang digeletakkan begitu saja di rumah. Kalau anak-anak mereka bisa jalan kesana-kesini, sudah dibiarkan begitu saja. Mereka tidak tahu bagaimana memperlakukan anak-anak difable dengan baik. Itu yang membuat Nuning tersentuh dan memutuskan untuk bersama-sama mereka. Apalagi perhatian pemerintah, kata Nuning, belum sampai kesana. “Sehingga saya mempunyai keinginan berat, saya harus bersama mereka. Kalau bukan saya siapa lagi yang akan membantu mereka,” tekadnya, mengulang keputusannya beberapa tahun silam.
Pandangan Mereka dan Perjuangan Yang Belum Selesai Di ruangan kantornya yang tak terlalu lebar, Setia merefleksikan dengan luas persoalan-persoalan difable dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis. “Pertama sekali, adalah bagaimana kita mesti memahami masalah-masalah prinsip, masalah-masalah pokok. Mengapa difable itu miskin, mengapa
Kata Mereka
difable itu harus dibantu. Difable itu harus didampingi, harus diperjuangkan,” terang Setia. Menurutnya, itu semua karena ada ketidakadilan terhadap kaum difable. Terjadi pelanggaran hak asasi, yang berupa tidak diberikannya, tidak dilindunginya, dan tidak dihormatinya hak-hak difable oleh yang memiliki kekuataan: negara!
“
Negara, kata Setia, masih memiliki paradigma dan cara pandang yang psikopatik terhadap kaum difable. Negara memandang para difable tidak memiliki kontribusi terhadap negara, terhadap pembangunan nasional yang dicanangkan. Hal itu bisa dilihat dari hasil pembangunan yang hanya dilihat dari sudut materi, dari sudut kapital, dari sudut modal.
Setia merefleksikan dengan luas persoalan-persoalan difable dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis. “Pertama sekali, adalah bagaimana kita mesti memahami masalahmasalah prinsip, masalah-masalah pokok. Mengapa difable itu miskin, mengapa difable itu harus dibantu. Difable itu harus didampingi, harus diperjuangkan,”
“Jadi para difable ini tidak memiliki kontribusi dalam proses akumulasi modal yang dimiliki para pemilik modal. Sebab, negara pun sekarang dikuasai oleh para pemilik modal. Begitu. Sehingga negara menjadi kepanjangan tangan dari para pemilik modal,” ujarnya. Negara, lanjut Setia, meyakini bahwa kemajuan itu kapital. Sehingga manusia pun dimaknai dan diposisikan sebagai entitas untuk mendatangkan kapital yang sebesar-besarnya. “Maka, negara menggunakan human capital, human resources, human invesment. Negara tidak pernah mengakui, atau tidak pernah menggunakan istilah human being,” pungkas Kepala Pusat Sumber Pendidikan Inklusif DIY itu.
”
Hal tersebut, bagi Setia, merupakan kata kunci yang semakin menunjukkan bahwa relasi antara negara dengan warga negaranya itu adalah relasi pasar. Dalam konteks pasar, siapa yang memberikan kontribusi kepada pasar yang besar, dia akan mendapatkan keuntungan yang besar, dan mendapatkan hak yang besar juga. Kaum difable, yang dianggap tidak memiliki kontribusi yang besar sebagai instrumen akumulasi modal tidak mendapat apa-apa. Sekalipun mendapat bagian, itu hanya sekedar “sedekah” dan “santunan”. “Pola ini, sekarang benar-benar sangat kuat,” kritik Setia. Setia menolak dogma yang mengatakan bahwa negara akan sejahtera apabila tiga pilar bernama negara, civil society dan korporasi bisa berinteraksi dengan serasi dan selaras satu sama lain. Gagasan ini, kata Setia hanyalah desain intelektual yang dilakukan PBB untuk menjinakkan negara, mengingat PBB sendiri adalah instrumen internasional pemilik modal. Maka oleh sebab itu, kata Setia, Soekarno dulu pernah memilih keluar dari PBB. “Dalam UUD 1945 sebelum amandemen, relasi utama negara adalah negara dengan warga negara, tidak ada korporasi,” pungkas Setia. Karena melihat persoalan besar itu, perjuangan gerakan difable harus dilakukan pertama-tama untuk merubah paradigma. Setia menilai, sampai sekarang negara belum sama sekali mengubah paradigma tersebut secara sungguh-sungguh.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
19
Kata Mereka
Sejak tahun 1991 bersama rekan-rekannya di Driya Manunggal (salah satu gerakan difable di Yogyakarta) dan sejumlah tokoh gerakan (seperti Mansour Fakih, Hartono Nadjamuddin, Dimyati, Sutomo dan yang lain), Setia sudah gencar melakukan agenda advokasi. Mengkritisi sejumlah undang-undang dan kebijakan yang dianggap tidak memihak kaum difable. Mereka bersama-sama membuat counter draft untuk terwujudnya kebijakan-kebijakan augenic. Perjuangan Setia dan kawan-kawannya di “ruang perebutan struktural” dalam proses penentuan kebijakan bagi kaum difabel di Senayan terekam dalam buku “Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah-kisah Advokasi Indonesia” (Insist, 2002) dalam subjudul “Membongkar Belenggu: Kisah Advokasi Difable dalam Mewujudkan Aksesibilitas Fasilitas Umum untuk Sesama”. Meski pada akhirnya, menurut Setia, kawan-kawannya kecewa. Sebabnya, para pengambil kebijakan memang memakai draf tandingan yang dibuat teman-teman aktivis gerakan difable dari Jogja. Tapi kemudian ditambahi “ekor-ekor” yang tak ada dalam draf tandingan tersebut. “Banyak diberi ekor-ekor, jadi pasal berekor, ayat berekor, muncul ayat-ayat siluman yang muncul di luar diskusi dengan kita,” jelas Setia yang sejak 2001 menjadi ketua Driya Manunggal menggantikan ketua pertama Driya Manunggal, Sukaharto yang meninggal. Peraturan perundangan tentang kaum difable, kata Setia, hanya dibuat sekedar lipstik agar negara telah dianggap melindungi kaum difable. Padahal faktanya, justru peraturan perundangannya meretriksi, bahkan mungkin menghindari dari pemenuhan hak asasi. Setia misalnya mencontohkan UU No T.ahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Di dalamnya, dikatakan bahwa setip penyandang cacat berhak atas pendidikan di semua satuan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Tapi kata Setia, ada ekornya, yaitu “sesuai dengan derajat kecacatannya”. Pertanyaannya, siapa yang berhak menetapkan derajat kecacatan? Kalau tidak ada lembaga yang berhak menetapkan, semua sekolah akan mengatakan “kecacatanmu tidak sesuai untuk menjadi siswa atau mahasiswa disini”. Kritik Setia. Senada dengan Setia, Nuning juga memberikan kritik terhadap pemerintah soal kebijakan untuk kaum difable. “Pemerintah kalau bikin kebijakan enggak pernah diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan disabilitas. Mereka membuat, membuat aja. Tapi enggak pernah diimplementasikan. Karena mereka enggak merasakan. Nah kita yang merasakan, seharusnya jika pemerintah buat kebijakan kita dibawalah. Kita diajak ngobrol,” pinta Nuning yang juga menjadi Ketua Center for Improving Qualified Activity in The Life of People with Disabilities (CIQAL).
20
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
“ Setia misalnya mencontohkan UU No T.ahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Di dalamnya, dikatakan bahwa setip penyandang cacat berhak atas pendidikan di semua satuan jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Tapi kata Setia, ada ekornya, yaitu “sesuai dengan derajat kecacatannya”. Pertanyaannya, siapa yang berhak menetapkan derajat kecacatan?
”
Kata Mereka
Hanya saja, lain dengan Setia yang concern di “perjuangan struktural” dengan menjadikan proses penentuan kebijakan sebagai ruang perebutan kekuasaan, Nuning lebih bergiat di lapangan, belusukan mendampingi langsung kaum difable di desa-desa pelosok. Banyak hal yang dilakukan Nuning, memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu Keluarga Bencana tentang pencegahan kecacatan; memenuhi dan mengupayakan kebutuhan-kebutuhan (termasuk alat bantu dan terapi) teman-teman difable. “Saya memberikan motivasi pada keluarga-keluarga itu bahwa anak seperti ini (difable) adalah anugerah tuhan. Ada kelebihan di balik anak itu yang ibu-bapak tidak tahu. Kalau ibu-bapak ibu meninggal, siapa yang akan memfasilitasi? Akankah hanya hanya didiamkan begitu saja? Justru mumpung bapak ibu masih ada, tolong bantu anak ini untuk bisa beraktifitas ke luar dengan cara apapun,” ujar Nuning, mengenang ucapannya ketika memberikan penyuluhan dulu. *** Tapi perjuangan belum selesai. Mereka berdua masih merawat perjuangan untuk sesamanya. Setia dan Nuning kini masih berkutat dengan masalah-masalah difable meski dengan strategi dan pendekatan tertentu yang relatif beda dengan sebelumnya. Jika Nuning memperjuangkan teman-teman difable lewat
Foto: dok. harianjogja.com
Drs. Setia Adi Purwanta disela aktifitasnya sebagai guru pengajar di SLB Negeri Bantul
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sleman, Setia fokus di bidang pendidikan, meski tetap menyasar soal peraturan perundang-undangan. “Akhir-akhir ini memang banyak bergerak untuk persoalanpersoalan pendidikan,” ujar Setia. Menurutnya, pendidikan merupakan lingkup yang tak banyak diurus oleh gerakan difable karena tak ada foundingnya. Lembaga donor tidak mau lagi membantu pendidikan karena di dalam undang-undang dasar kita 20% anggaran negara dialokasikan untuk pendidikan. Sehingga yang menjadi persoalan dan pekerjaan rumah, kata Setia, bagaimana yang 20% itu digunakan untuk sebagaimana mestinya dan untuk pembangunan hak pendidikan teman-teman difable. “Kita main di wilayah itu,” lanjut Setia. Ia mencontohkan dirinya menjadi tim penyusun peraturan daerah, dan kemudian menyusun peraturan gubernur. “Ada yang menyusun draf peraturan daerah, kita serahkan yang benar, kita tandingkan,” pungkasnya. Sementara Nuning lewat KPUD, memperjuangkan hak-hak difable dalam Pemilu, tidak hanya hak kepesertaan melainkan juga alat-alat bantu yang mempermudah teman-teman difable dalam pencoblosan. Selain itu, Nuning juga membantu memperjuangkan anggaran yang berpihak kepada kaum difable melalui lobying kepada anggota-anggota dewan di daerah.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
21
Hallo Akpol Maklum, di KPUD Sleman, Nuning menjabat sebagai Ketua Divisi Pencalonan, sehingga kenal dan cukup dekat dengan para calon anggota dewan. “Saat mereka jadi anggota dewan, saya lakukan lobying. Lobying bukan untuk saya, tapi untuk teman-teman. Misalnya, gimana alokasi anggaran untuk difabilitas. Saya yang selalu sampaikan, karena mereka sudah merasa kenal dengan saya,” ujar Nuning.
Advokasi Ke Depan; Harus Kenyang dan Pakai Hati Ujung dari kegiatan gerakan-gerakan difable memang seharusnya adalah advokasi. Sebab advokasi merupakan elemen penting dari praksis perjuangan. Tapi bagaimana advokasi yang ideal? Atau mungkin lebih gamblang, bagaimana advokasi tetap berjalan di tengah-tengah gempuran pragmatisme gerakan yang merebak seperti sekarang? Bagaimana nafas advokasi tetap hidup di dalam diri subjek-subjek gerakan, yang sudah banyak mulai tergoda bekerja di NGO-NGO dan untuk semata-mata bekerja mencari uang? Setia dan Nuning memberikan sedikit pandangan mereka. Menurutnya, yang penting dilakukan gerakan sekarang adalah gerakan ekonomi. Dalam arti, membangun “kemandirian ekonomi” gerakan. Tidak boleh lagi bergantung sepenuhnya pada lembaga donor. Sebab, dana lembaga-lembaga itu, sudah digiring ke Indonesia Timur untuk proses pengembangan ekonomi disana. Sehingga, gerakan difable harus tetap kreatif untuk mencari uang sendiri untuk menghidupi kegiatan-kegiatan mereka, termasuk kegiatan advokasi. “Kalau mau berjuang, ya kita harus kenyang. Kita harus self standing dengan kekuatan pangan kita. Jadi kita mesti mengubah strategi kita melalui strategi penguatan pangan. Sehingga bisa up together,” kata Setia. Kedua, gerakan difable harus tetap membangun aliansi/koaliasi dengan yang lain. Misalnya, lembaga bantuan hukum, organisasi perempuan dan anak dan serta yang lainnya. Sehingga advokasi yang dilakukan semakin tajam, kuat dan kokoh. “Munculnya penguatan-penguatan gerakan-gerakan difable itu ketika mereka mampu beraliansi dengan kawan-kawan yang lain,” ujar Setia. Sementara yang terakhir, bekerja dengan hati. Konsep pendampingan yang baik itu tidak ada, yang terpenting bekerja dengan hati. “Kita bekerja dengan hati saja-lah. Bekerja dengan hati. Dan kita serahkan semuanya pada yang Kuasa bahwa kita melakukan ini sebagai ibadah. Jangan mengharapkan sesuatu dengan sesama. Harapan itu hanya kepada Allah sajalah,” terang Nuning. Meski Nuning tetap sepakat, jika bicara dalam konteks gerakan, beberapa konsep dan pendekatan tentang advokasi itu tetap penting diperhatikan. Tetapi dalam level individual, yang terpenting itu, menurutnya, bekerja dengan hati. Bekerja dengan hati mengindarkan diri dari sikap hipokrisi yang potensial merusak prinsip dan orientasi gerakan.
22
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
“ “Kalau mau berjuang, ya kita harus kenyang. Kita harus self standing dengan kekuatan pangan kita.... Kedua, gerakan difable harus tetap membangun aliansi/koaliasi dengan yang lain.... Sementara yang terakhir, bekerja dengan hati....
”
Hallo Akpol
Menanti Keadilan Bagi Perempuan Difabel
Oleh: La Arpani Foto: dok. plus.google.com
G
ender dan disabilitas adalah masalah yang belum banyak mendapat perhatian baik oleh pemerintah, Non Government Organization (NGO), maupun kelompok organisasi lain yang ada di Indonesia. Selama ini, masalah disabilitas di Indonesia masih dipandang sebagai masalah individu, yang penyelesaiannya lebih ditekankan kepada penyelesaian kebutuhan praktis seperti pemberian ketrampilan, modal usaha, dan alat-alat bantu. Sementara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat strategis seperti pemberdayaan -agar mampu memberi kontribusi terhadap pembangunan di segala aspek kehidupan- belum banyak dilakukan. Padahal secara kuantitas, jumlah difabel yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia cukup besar, dengan beragam problematika yang dihadapi, terlebih bagi kelompok perempuan. WHO mencatat, rata-rata 10% dari jumlah penduduk di negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengalami disabilitas. Maka, Indonesia yang jumlah penduduknya sekarang mencapai 200 juta orang, sekitar 20 juta orang penduduknya adalah disabel. Apabila mengacu perbandingan laki-laki perempuan (1:3), maka kira-kira akan terdapat angka 13,7 juta orang perempuan disabel.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
23
Hallo Akpol Dikutip dari http://difabelperempuan. blogspot.com/2010/01/keadilan-bagi-perempuan-diffabel.html, Beng Lindqvist, seorang pelapor mengenai masalah-masalah disabilitas, memprediksikan sekitar 5 % disabel di dunia mendapat pelayanan rehabilitasi dan dari jumlah itu, hanya 5 % yang melek huruf. Apabila mengacu pada prosentase yang dibuat Beng Linqvist, maka dari 13,7 juta orang perempuan disabel di Indonesia, sekitar 2,7 juta orang saja yang mendapat rehabilitasi dan hanya sekitar 685 ribu orang yang melek huruf.
Mengurai Permasalan Ketidakadilan Bagi Perempuan Difabel Kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran sering dialami oleh perempuan disabel. Ini belum banyak penanganannya. Belum ada data yang pasti tentang berapa banyak perempuan difabel yang mengalami kekerasan di dalam rumah tangga, keluarga, lingkungan maupun masyarakat. “Kalau soal kasus difabel, mohon maaf saya tidak bisa berkomentar. Selama ini untuk di Polsek kotagede belum pernah menangani ataupun menerima laporan tentang kasus ini,” ujar Aiptu Bambang Sutrisno, SH, Kasi Humas Polsek Kotagede, Yogyakarta. Hal senada juga diungkapkan oleh Wiwi, Kanit PPA Polda DIY. “Sepengalaman saya selama ini sama sekali belum perna kami menangani kasus yang melibatkan difabel,” ujarnya. Kondisi perempuan difabel yang terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan maupun akses informasi menjadi kendala utama bagi perempuan difabel untuk menikmati hak-haknya. Terutama hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Ini juga sangat dipengaruhi juga oleh kemiskinan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan difabel. Apalagi masih ada masyarakat yang masih menyembunyikan keberadaan difabel, karena dianggap sebagai hal yang memalukan bagi keluarga dan masyarakatnya. Seperti kasus yang dialami oleh Tug se-
24
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
orang difabel mental misalnya. Saat Tug berusia 35 tahun, dia diperkosa oleh seorang tetangganya yang tergolong sebagai orang kaya dan terpandang di desanya. Perkosaan yang membuat Tug hamil dilakukan melalui bujuk rayu pelaku kepada Tug. Ia awalnya diminta pelaku untuk mencari air, kemudian pelaku menyuruh Tug untuk mandi agar badannya tidak berbau. Sesudah mandi pelaku kemudian memperkosa Tug dan mengancam akan membunuhnya jika Tug menceritakan apa yang dialaminya kepada orang lain. Terbukanya kasus Tug berkat usaha ketua RW yang membujuk Tug dengan memberikannya uang Rp. 20 ribu, agar dia mau menceritakan peristiwa yang dialaminya. Sayangnya, kondisi Tug yang mengalami disabilitas mental terlanjur dianggap sebagai orang gila oleh masyarakat di lingkungannya. Penjelasan Tug tidak pernah dihiraukan oleh masyarakat, sehingga Tug tidak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai korban. Peristiwa kekerasan yang sama juga dialami oleh Sol hampir sama dengan apa yang dialami oleh Tug. Sol mengalami tiga kali perkosaan yang tidak diketahui siapa pelaku sebenarnya. Perkosaan pertama dialami Sol saat dia berusia 25 tahun. Sol mengalami difabilitas mental sejak lahir. Sol lahir di Jakarta, namun difabilitas yang dialaminya membuat ayahnya tidak mampu merawat Sol sehingga dia diasuh oleh neneknya di
Hallo Akpol agi tidak pernah ada orang yang diminta untuk bertanggung jawab atas kehamilan Sol. Dua contoh kasus kekerasan terhadap difabel di atas memperlihatkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi perempuan difabel. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh anggota keluarga ternyata tidak berlaku bagi difabel. Keberadaan difabel dalam sebuah keluarga masih dianggap sebagai beban bagi keluarga tersebut. Maka tidak mengherankan bila banyak difabel ditelantarkan atau dibuang. Beberapa kasus yang ditemukan PPRBM di lapangan keberadaan difabel yang berada di rumah, kondisinya tidak lebih baik dari orang yang terlantar. ***
Foto: dok. shnews.co
desa. Sepeninggal neneknya, Sol diasuh oleh pamannya. Kehamilan Sol membuat pamannya marah dan mengusir Sol dari rumahnya. Sol akhirnya tinggal bersama ibunya hingga melahirkan anak pertamanya. Masyarakat di sekitar rumah Sol sering bertanya kepada Sol tentang siapa pelaku yang membuatnya hamil. Namun jawaban Sol sering berubah sehingga menyulitkan masyarakat untuk mengusut kasusnya ke hadapan hukum. Selang beberapa tahun kemudian Sol diketahui hamil untuk yang kedua kalinya, sayang Sol tetap tidak mau mengakui siapa yang telah memperkosanya. Kelahiran anak kedua Sol membuat beban Ibu Sol yang tidak memiliki pekerjaan tetap semakin berat. Apalagi biaya hidup anak pertama Sol berasal dari belas kasih para tetangganya. Hal ini membuat seorang perangkat desa mengusulkan untuk mencari orang yang mau mengadopsi anak Sol. Akhirnya anak kedua Sol benar-benar dipisahkan dari ibunya untuk diadopsi oleh orang lain. Kisah Sol berlanjut dengan kehamilan ketiganya –yang saat validasi dilakukan masih berada dalam kandungan- yang lagi-lagi tidak pernah diketahui siapa pelakunya. Tiga kali berturut-turut kehamilan yang dialami oleh Sol membuat ibu Sol bingung. Seorang perangkat desa yang mencari orang tua bagi anak Sol kemudian berpikir agar Sol disteril saja sehingga tidak menambah beban orang tua dan masyarakat di sekitarnya apal-
Seorang difabel di Klaten yang berinisial ET yang mengalami disabilitas celebral palsy ditempatkan oleh keluarganya dalam sebuah ruang yang terletak di bagian belakang rumah, di dekat kamar mandi, tanpa penerangan apapun. ET juga tidur diatas tempat tidur yang didesain pas badan. ET tidak bisa leluasa menggerakkan badan. Kondisi ruang tidur ET yang gelap dan pengap diperparah dengan bau kotoran yang jarang dibersihkan. Hal tersebut membuat ET sering mengalami gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Kondisi ET merupakan sebuah bentuk kekerasan yang dilakukan oleh keluarga terhadap difabel. Ia tidak diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Rasa aman, nyaman, perhatian dan kasih sayang yang seharusnya dinikmati semua anggota keluarga tidak diperoleh difabel. Namun perlakuan yang tidak manusiawi terhadap difabel dalam keluarga masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar di masyarakat. Pasal 1 ayat (2) UU No. 24 tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan, “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
25
Hallo Akpol
Foto: dok. informasi-dunia.com
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Ketidakadilan bagi difabel tidak hanya berhenti dalam ruang domestik. Ranah publik sebagai ruang bagi setiap orang untuk berpartisipasi, juga turut melanggengkan bentuk-bentuk ketidakadilan bagi difabel. Stigma �������������������������������� sosial yang mendiskreditkan posisi difabel kemudian terformalkan dalam berbagai aturan perundangan yang ada di negeri ini. Meskipun beberapa undang-undang telah mengakomodir hak-hak difabel, namun masih ada beberapa undang-undang dan peraturan yang masih diskriminatif. Akibatnya, memperlemah posisi difabel untuk mendapatkan keadilan. Dalam kasus di atas difabel yang menjadi korban kekerasan tidak bisa mendapatkan keadilan karena sulitnya mendapatkan keterangan yang konsisten dari korban. Padahal korban merupakan salah satu saksi kunci pengungkapan kasus kekerasan seksual. Kondisi korban dengan difabilitas mental seringkali membuat kasus yang dihadapinya berhenti begitu saja, karena sulitnya mendapatkan keterangan dari korban. Hal ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh kepolisian karena mereka di pastikan lalai dalam menyiapkan tim ahli yang mengerti tentang bahasa ataupun mimik korban (difabel) tersebut. Hal ini bisa kita lihat pada kasus yang menimpa kaum difabel di Sragen. Seorang tunarungu bernama Fer. Ia diperko-
26
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
sa sebanyak 6 kali oleh gurunya sendiri dan kasus ini telah di ajukan di Polres setempat. Sampai hari ini sudah masuk fase persidangan. Akan tetapi, ada beberapa kendala. Selama ini korban hanya mengandalkan kesaksian, ataupun keterangan dari pihak korban yang di bantu dengan juru bicaranya. Dalam hal ini guru korban sendiri. Ironisnya, pihak penyidik ataupun kejaksaan menganggap kesaksian korban dan guru korban tidak bisa di jadikan sebagai bukti kuat. Sikap kepolisian ataupun kejaksaan ini telah menunjukan ketidak propesionalan mereka di dalam menangani kasus-kasus yang menimpah kaum difabel. Sebab tidak mungkin terjadi penyeragaman atau penyamarataan penanganan kasus antara difabel dengan yang non difabel. Persoalan ini bisa dicermati dalam pernyataan Aiptu Bambang Sutrisno, Kasi Humas Polsek Kotagede. ”Mengatakan tidak ada perbedaan antara difabel dengan non difabel di hadapan hukum, karena pada dasarnya ada asas equality by for law. Yaitu asas persamaan hak di depan hukum. Cuman kalau masalah penanganan hukum berbeda, difabel
Hallo Akpol lebih secara khusus dalam arti mungkin kita bisa memanggilkan tim ahli atau juru bicara. Karena kita sudah bekerja sama dengan sekolah Luar Biasa (SLB) dan sebagainya sebagai penterjemah,” katanya. Pernyataan di atas memberikan kejelasan bahwa penanganan kasus-kasus yang melibatkan kaum difabel ini memerlukan pola-pola penanganan khusus. Selain aparat penegak hukum, paradigma masyarakat terhadap difabel pun membuat perempuan difabel sulit mendapatkan keadilan. Pada bulan Oktober 2012 lalu, PPRBM mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kekerasan seksual terhadap seorang difabel mental yang tinggal di Wonogiri, yang saat ini tengah hamil 7 bulan. Sehari-hari Kat hidup bersama ayah dan saudaranya. Difabilitas Kat membuatnya sulit berkomunikasi sehingga sulit untuk mengungkap siapa pelakunya. Hanya satu kata yang terucap dari bibir Kat yakni kata “bapak” saat ditanya tentang siapa pelakunya.
“ Ketidakadilan bagi difabel tidak hanya berhenti dalam ruang domestik. Ranah publik sebagai ruang bagi setiap orang untuk berpartisipasi, juga turut melanggengkan bentuk-bentuk ketidakadilan bagi difabel. Stigma sosial yang mendiskreditkan posisi difabel kemudian terformalkan dalam berbagai aturan perundangan yang ada di negeri ini.
Sayangnya perangkat desa dan tokoh masyarakat yang turut hadir pada kunjungan ke keluarga korban enggan mendukung langkah PPRBM yang akan membawa kasus ke ranah hukum. Alasan yang mengemuka pada waktu itu adalah pertama, korban adalah orang gila yang sering tidur di sembarang tempat. Kedua, keluarganya miskin sehingga yang dibutuhkan bukan mencari pelakunya tetapi membutuhkan bantuan ekonomi. Ketiga, mencari orang yang akan mengadopsi anak korban setelah dilahirkan, sehingga tidak menambah beban bagi keluarganya. ***
”
Untuk mencapai kesetaraan dan keadilan hukum bagi difabel, tentunya perlu beberapa strategi yaitu pertama, pentingnya meningkatkan kualitas hidup difabel melalui peningkatan peran keluarga untuk mendorong difabel lebih mandiri. Kesadaran keluarga tentang hak-hak difabel merupakan sebuah hal yang mutlak dipahami oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga difabel. Hal ini penting mengingat rendahnya kualitas hidup difabel dipengaruhi oleh kesadaran keluarga untuk memberikan pendidikan, kesehatan dan perawatan yang layak pada difabel. Kedua, pemahaman tentang hukum bagi difabel dan keluarganya sehingga ketika suatu saat difabel mendapatkan masalah dengan hukum maupun menjadi korban, keluarga tidak panik dan memahami langkah-langkah atau proses hukum yang harus dijalani. Ketiga, mendorong terbentuknya kelompok difabel dan orang tua difabel sebagai pusat informasi dan konsultasi bagi difabel dan keluarganya terkait perawatan difabel dan penanganan korban kekerasan. Kondisi riil yang terjadi di masyarakat, banyak keluarga difabel yang tidak tahu bagaimana memperlakukan difabel secara layak dan bagaimana upaya untuk mendapatkan keadilan bagi korban. Langkah keempat, adalah mendorong mainstreaming isu disabilitas dalam program-program Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), sebagai salah satu lembaga penyedia layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Isu disabilitas belum menjadi perhatian karena minimnya pemahaman pengelola P2TP2A tentang hakhak dan kebutuhan difabel. Padahal sebagai lembaga penyedia layanan bagi korban P2TP2A merupakan lembaga yang strategis bagi difabel untuk mendapatkan hak-haknya.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
27
Hallo Akpol Kelima, merealisasikan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi bagi Perempuan Penyandang Cacat (PIKPPC). PIKPPC ini merupakan sebuah wadah bagi difabel untuk mendapatkan informasi dan konsultasi terkait difabilitasnya. Lembaga ini mendesak untuk segera diwujudkan, karena minimnya lembaga penyedia informasi terkait difabilitas dan permasalahannya. Keenam, sebagai upaya yang berdampak lebih luas tentunya harus ada upaya mengkritisi produk hukum yang tidak berperspektif kepada difabel dan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perubahan terkait produk hukum yang diskriminatif terhadap difabel. Misalnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 ayat (2); “Pengadilan dapat mengijinkan seorang suami untuk memiliki isteri lebih dari satu, jika isterinya menderita sejenis cacat atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.” Bunyi pasal tersebut secara tegas dan jelas bias gender dan disabilitas, karena disabilitas seseorang dijadikan alasan yang sah secara hukum untuk melakukan poligami. Produk hukum yang lain pun masih banyak yang diskriminatif terhadap difabel. Peluang bagi para aktifis difabel semakin terbuka untuk melakukan gerakan percepatan peningkatan kualitas hidup difabel setelah disahkannya UNCRPD sebagai undang-undang. Dengan adanya landasan legal formal yang lebih kuat, tentunya gerakan difabel semakin diperkuat dengan gerakan-gerakan yang berdampak lebih luas dari gerakan yang saat ini dilakukan oleh organisasi difabel yang masih bersifat incidental dan parsial.
Kekerasan terhadap Perempuan Difabel Sampai saat ini penanganan masalah difabel di Indonesia yang masih mengedepankan pemenuhan kebutuhan praktis menjadi salah satu faktor yang menjadikan kelompok difabel, terutama kelompok perempuan, tidak memiliki akses apapun berkaitan dengan masalah yang cukup rentan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu masalah yang dihadapinya berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan difabel. Dari pengalaman di lapangan, kasus kekerasan terhadap perempuan diffabel selalu tidak dapat terselesaikan secara tuntas. Mereka dalam memperjuangkan selalu mengalami hambatan baik secara struktur, kultur, maupun karena kecacatan yang dimilikinya. Sebagai contoh kasus yang menimpa Bunga (bukan nama sebenarnya), seorang siswi kelas V SD yang diperkosa oleh gurunya. Ketika mencoba untuk mencari keadilan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya, dia ditolak oleh kepolisan setempat karena laporannya dinilai terlambat dan bukti-bukti yang diajukan dinilai tidak kuat. Selain itu penolakan oleh pihak kepolisian juga dikarenakan Bunga dianggap cacat sebab ia termasuk anak yang lambat belajar sehingga keasaksiannya tidak bisa dipercaya. Akhirnya kepolisian mengusulkan untuk melakukan tes DNA untuk membuktikan laporannya. Namun karena ia berasal dari keluarga yang tidak mampu, maka tes DNA pun batal. Kasus ini ditutup dengan uluran ‘jalan damai’ dari pemerkosa. Serupa pula yang dialami keluarga Suparjo dari Jawa Tengah, putri ked-
28
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
“ Sebagai contoh kasus yang menimpa Bunga (bukan nama sebenarnya), seorang siswi kelas V SD yang diperkosa oleh gurunya. Ketika mencoba untuk mencari keadilan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya, dia ditolak oleh kepolisan setempat karena laporannya dinilai terlambat dan bukti-bukti yang diajukan dinilai tidak kuat. Selain itu penolakan oleh pihak kepolisian juga dikarenakan Bunga dianggap cacat sebab ia termasuk anak yang lambat belajar sehingga keasaksiannya tidak bisa dipercaya.
”
Hallo Akpol
uanya Mawar (bukan nama sebenarnya) diperkosa oleh tetangganya sendiri. Ketika orang tuanya mengetahui hal tersebut, mereka mencoba mencari keadilan dengan jalan melapor ke kepolisian. Namun ternyata kepolisian menolak dengan alasan karena yang diperkosa adalah seorang anak difabel grahita (cacat mental) yang dianggap tidak dapat memberikan kesaksian. Kemudian dengan didampingi tim gabungan dari berbagai LSM di Solo, keluarga ini melanjutkan gugatan hingga tingkat kasasi. Sayangnya hukuman yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntutan keluarga korban, karena terdakwa hanya divonis untuk kasus pencabulan, bukan perkosaan. Dalam proses persidangan, meskipun sudah banyak mendapat dukungan moral, masih juga terjadi pelecehan terhadap keluarga maupun pendamping korban, baik yang dilakukan oleh lembaga peradilan sendiri maupun masyarakat sekitarnya.
Klausul Tidak Sehat Sampai saat ini, dunia medis masih memosisikan disabilitas sebagai kondisi yang tidak sehat sesuai dengan Peraturan
Foto: dok. advocacymonitor.com
Menkes No 143/Menkes/Per/ VII/1977. Ironisnya, meski sudah banyak peraturan perundang-undangan menegaskan bahwa disabilitas bukan dan tidak boleh diidentikkan dengan sakit, dalam penerimaan karyawan atau pegawai pada semua sektor masih sering tampak klausul yang menegaskan bahwa disabilitas identik dengan ‘tidak sehat’. Dengan alasan tersebut, penyandang disabilitas tidak memenuhi kualifikasi untuk menggeluti dunia formal. Singkatnya, orang begitu mudah menjustifikasi ketunaan dalam diri kaum difabel untuk menghilangkan kebisaan mereka. Buktinya, jika ada peraturan yang membolehkan penyandang disabilitas dapat berapresiasi dalam suatu hal dan hanya ada satu yang melarang, pihak otoritas cenderung mengambil yang terakhir sebagai pegangan. Padahal dengan kehadiran International Convention on the Rights of Persons With Disabilities (CRPD) dan Indonesi sudah meratifikasinya melalui UU No. 19 Tahun 2011. Hal ini akan merubah ‘stigama’ yang selama ini terkesan mendiskredilkan difabel. Namun sampai saat ini, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap di fabel masih kerap di temukan. Mestinya dengan munculnya pranata hukum tersebut, penyandang disabilitas khususnya di Indonesia diberikan kesempatan yang seluasluasnya untuk melakukan restorasi terhadap paradigma pemberdayaan dan struktur kebibijakan yang selama ini belum berpihak kepada kaum difabel itu sendiri.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
29
Resensi
TZU HSI, RATU TERAKHIR DINASTI CHINA Oleh : Kurnia Indasah
G
ender masih menjadi isu yang sensitif di China pada pergantian abad 18 ke 19. Keberadaan wanita yang “mengerti” politik sering dikaitkan dengan kemunduran sebuah pemerintahan. Belasan selir dari berbagai dinasti dikenai hukuman pancung atau gantung diri, karena ikut campur masalah politik kerajaan. Bahkan, salah satu ramalan negeri tirai bambu ini mengatakan “China akan dihancurkan oleh seorang wanita”.
DATA BUKU
30
PLEDOI
Judul buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal
: Empress Orchid, Cinta dan Ambisi Selir Muda Kaisar Hsien Feng : Anchee Min : Qanita (PT Mizan Pustaka Group) : Collectible Edition (I), 2011 : 620 halaman
Edisi Januari-Februari 2013
Mengambil tokoh utama seorang wanita, buku Empress Orchid ini berkisah tentang perjalanan hidup Yehonala (bergelar Permaisuri Tzu Hsi atau Empress Dowager), gadis anak bupati rendahan yang bernasib baik, terpilih menjadi salah satu diantara tujuh istri Kaisar Hsien Feng dari Dinasti Qing. Dengan sudut pandang orang pertama, Anchee Min berhasil menghadirkan suasana “mewah namun menegangkan” di balik tembok istana Kota Terlarang. Pada masa itu, seorang Kaisar memiliki setidaknya tiga ribu orang wanita sebagai selir, dan hanya tujuh yang dianggap istri resmi. Persaingan dan kecemburuan menghantui ketujuh wanita ini setiap hari, terutama untuk memperebutkan “benih naga”, agar anak yang lahir dari rahim mereka lah yang akan menjadi pewaris takhta. Bahkan, tidak jarang perseteruan ini mengarah pada persekongkolan dan intrik saling menjatuhkan. Dendam semakin membara ketika ternyata Tzu Hsi
Resensi
adalah satu-satunya istri yang berhasil melahirkan anak lelaki, Tung Chih, yang kelak menjadi Kaisar menggantikan ayahnya. Dengan berani, Anchee Min menampilkan Tzu Hsi sebagai sosok wanita berkarakter sangat kuat. Dia digambarkan sebagai selir dengan naluri dan kemampuan untuk memimpin negara, tidak seperti selir-selir lain yang menghabiskan waktu dengan menanam bunga dan menyulam. Berbeda dengan versi resmi pemerintah China yang menyebut Tzu Hsi sebagai wanita berkelakuan buruk, berdarah dingin dan haus kekuasaan. Bersama-sama dengan suaminya, Kaisar Hsien Feng, serta Pangeran Kung (adik Kaisar), Li Hung Chang (menteri luar negeri), dan Yung Lu (panglima perang), mereka berupaya memulihkan kondisi China yang berantakan akibat Perang Candu. Termasuk juga menghadapi politik istana yang licik dan kejam, serta mengadili menteri-menteri korup yang merencanakan kudeta. Karena tindakannya ini, pers-pers Barat menyebut Tzu Hsi sebagai wanita ambisius, penjagal, kepala batu, dan penghisap darah. Buku ini sangat membantu jika kita ingin mendalami sejarah China, terutama detik-detik menjelang berakhirnya era monarki. Layaknya sebuah memoar, buku ini dengan detail menyertakan tanggal dan tahun, serta “behind the scene” peristiwa-peristiwa besar yang tercatat dalam sejarah. Misalnya, sejarah mencatat Perang Candu antara China dan Inggris-Perancis terjadi tahun 1939-1942, namun hanya sedikit yang menyebutkan bahwa pada masa itu terjadi perampokan besar-besaran terhadap kekayaan Kota Terlarang, termasuk makam-makamnya, yang dilakukan tentara Inggris dan Perancis. Sebagaimana buku-buku Anchee Min yang lain, Empress Orchid bersama sekuelnya, The Last Empress, dicekal dan dilarang terbit di China. Pemerintah China menganggap Anchee Min menyebarkan berita bohong mengenai sejarah, dan berlawanan dengan versi resmi pemerintah. Sehingga, buku-buku Anchee Min yang seluruhnya bercerita tentang China, harus ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Inggris, seperti Red Azalea, Becoming Madame Mao, dan Pearl of China. Tentu amat disayangkan masyarakat China tidak diperbolehkan membaca buku ini. Padahal, buku ini menjadi semacam “pelurusan sejarah” tentang wanita yang dengan berani tampil di depan singgasana, di tengah dominasi kaum lelaki. Tidak berlebihan jika kita mengatakan Tzu Hsi adalah kunci kelangsungan hidup Dinasti Qing. Sepeninggal Tzu Hsi, China seperti kue yang siap dipotongpotong oleh beberapa negara: Inggris, Perancis, Rusia, dan Jepang. Tzu Hsi meninggal tahun 1908, dan pada 1912 Dinasti Qing menyerah pada Pemerintah Revolusioner China. Berakhir pula era pemerintahan monarki yang telah menguasai China selama belasan generasi.
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
31
Foto: dok. wissen.allianz.at
32
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Membongkar salah satu jenis ketidakadilan sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang dialami oleh sebagaian warga masyarakat yang sering disebut sebagai ‘penyandang cacat’ justru bermula dari keyakinan ideologis masyarakat, akademisi, birokrat tentang apa yang disebut ‘penyandang cacat’ itu. Dr. Mansour Fakih Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
33
Catatan Pinggir
“Mengidentifikasi dan membedakan membentuk pasangan verba yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengidentifikasi sesuatu, adalah niscaya harus membuat perbedaan, dan dalam membedakan kita mengidentifikasi” (Paul Ricoeur) Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
34
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Catatan Pinggir
B
ayang-bayang ‘utopia kesempurnaan’ dalam setiap nalar berpikir pengetahuan modern masih kental menjangkit dalam kesadaran masyarakat hari-hari ini. Tak sadar ia bahkan masih hinggap pada ruang-ruang terkecil diskursus kita. Konsepsi cita-cita kesempurnaan sejak lahir bahkan kita tasbihkan dalam doa-doa dan kita panjatkan dalam mimpi-mimpi sejak kecil. Sedikit orang yang berharap bahwa dirinya akan mengalami kecacatan dan jauh dari kesempurnaan. Walau kredo kesempurnaan itu juga sering hadir dalam imajinasi yang tidak kongkrit, tetapi ia telah diburu dalam pendulium peradaban ini. Bahkan dalam kitab-kitab suci tertera bagaimana bayangan manusia yang sempurna harus diwujudkan. Yang tak sempurna kemudian dianggap bermasalah, sakit, devian, gila, asing dan bahkan dianggap sebagai korban dari kutukan Tuhan. Tak jarang mereka yang cacat kemudian tidak dianggap sebagai manusia utuh, ditinggalkan dan kemudian tidak terpakai dalam mesin hidup yang berjalan. Kisah ini tentu amat mengerikan. Bagi yang terlahir cacat, bisa jadi konstruksi stigma berpikir ini sangat menakutkan. Mengapa konstruksi biner ‘kesempurnaan’ dan ‘kecacatan’ ini hadir? Ia bahkan hidup menjalar dalam basis berpikir yang kita anut. Sejarah peradaban kita tak jarang dikisahi oleh berbagai epos tentang mimpi manusia sempurna. Dalam konteks modern bahkan ia tak kemudian menghilang. Narasi-narasi kesempurnaan terus dibangun baik dalam cerita fiktif sekalipun.1 Manusia sempurna adalah sosok yang harus dianut, digapai dan dibentuk. Bahkan sejarah telah banyak memberi contoh bagaimana konsepsi-konsepsi pemikiran ini juga pernah terbangun bahkan dalam tata cara pengelolaan warga negara. Nilai kesempurnaan manusia menjadi proyeksi bagaimana “ideologi negara” diletakkan untuk mengatur masyarakatnya. Bahkan setiap pengetahuan, ideologi maupun agama selalu tak luput menampilkan bagaimana konsepsi ideal sebagai sosok manusia. Bagiaman bagi mereka yang terlahir jauh dari hal itu? Bagaimana juga terhadap pribadi-pribadi manusia yang pada perjalanan hidupnya mengalami apa yang disebut sebagai ‘kecacatan’ tersebut? Bagaimana juga dengan peran entitas negara, jika kita meletakkan negara sebagai sebuah entitas yang berperan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi warga negaranya?
“ Sedikit orang yang berharap bahwa dirinya akan mengalami kecacatan dan jauh dari kesempurnaan. Walau kredo kesempurnaan itu juga sering hadir dalam imajinasi yang tidak kongkrit, tetapi ia telah diburu dalam pendulium peradaban ini.
“
Requiem untuk Modernitas! Sebelum masuk pada ranah peran negara, sungguh penting meletakkan problem ini pada jantung konsepsi dan nalar pikir yang mempengaruhi bagaimana ‘ketidaksempurnaan’ baik dalam aspek fisik dan non fisik dilihat dan dihayati. Tentu tulisan ini ingin mengajak sebentar mengkaitkan dengan refleksi filosofis kesadaran kita tentang ban-
Edisi Januari-Februari 2013
PLEDOI
35
Catatan Pinggir gunan pengetahuan terutama alam pikir modern yang saat ini menjangkit. Sengaja kita perlu berhenti sebentar di sini, karena saat kita mengkaitkan dengan peran negara, kita akan sadar benar bahwa problem negara adalah sebuah persoalan yang amat khas dalam tatanan peradaban modern. Bahkan bisa dikatakan, setuju atau tidak setuju saat kita mencari gambaran apa yang dimengerti sebagai peradaban modern, poin kunci negara juga amat krusial diperbincangkan. Dalam dinamika perubahan bagaimana wajah dan tubuh negara terbentuk dan berproses selalu kita akan menemukan beberapa kaitan yang juga amat penting bagaimana manusia dan masyarakat secara umum diletakkan dalam bingkai besar negara. Dalam pengetahuan politik dasar, poin ini yang memberi warna perbedaan apa yang difahami dengan negara dan manusia dalam ruang negara.
“ modernitas sebagai wajah artifisialnya telah menggeser berbagai konsepsikonsepsi mendasar tentang apa yang dimengerti tentang ‘manusia’. Idealitas manusia yang dibangun oleh alam pikir modernitas telah juga membangun penyingkiran atas manusia-manusia lain. Di titik inilah perbincangan tentang disabilitas amat penting dan menarik.
Alam pemikiran modern terutama sejak Descrates menacapkan akan pentingnya rasio otonom subjek modern telah terjadi berbagai perubahan mengenai konsepsi subjek manusia. Manusia kemudian berdiri menjadi pusat. Sejak ‘logosentrisme’ menggusur peradaban mitos, manusia kemudian berdiri menjadi subjek yang menentukan. Setiap keberhasilan perdaban kemudian bisa disejajarkan dengan sebuah keberhasilan akal rasio manusia bekerja. Subjek manusia telah menjadi pusat pengetahuan. ‘Cogito’ telah menjadim keyakinan yang amat mendasar. Dari pangkal ini kemudian muncul berbagai aspek karakteristik dari kesadaran modern diantaranya tentang progresivitas, individuasi, emanispasi dan juga sekularisasi.2 Aspek-aspek inilah yang nanti tentu akan sangat berkait dengan berbagai tuntutan-tuntutan bagaimana ‘manusia modern’ kemudian harus dibentuk dan dikonstruksikan.
“
Pada sisi lain kemudian aspek aspek modernitas ini kemudian juga bertali simpul dengan berbagai wajah objektivikasi modern termasuk dalamnya perkembangan-perkembangan masyarakat dan negara. Progresivitas yang menjadi salah satu aspek modern ini kemudian pada tataran praktis politis kemudian dimaknai sebagai transformasi bentukbentuk kemajuan seperti yang ada dalam perkembangan teknologi. Tak hanya pada masyarakat, tuntutan aspek modern ini juga mendorong negara kemudian menghimpun segala upaya untuk menselaraskan dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Pembangunan alam artifisial yang menjadi karakteristik modernisasi telah begitu dahsyat mengubah tidak hanya perangkat instrumental masyarakat tetapi juga alam kesadaran manusia modern. Sebagian besar tentu yang luput dari beberapa tafsiran mainstream tentang kemajuan modern, modernitas sebagai wajah artifisialnya telah menggeser berbagai konsepsi-konsepsi mendasar tentang apa yang dimengerti tentang ‘manusia’. Idealitas manusia yang dibangun oleh alam pikir modernitas telah juga membangun penyingkiran atas manusia-manusia lain. Di titik inilah perbincangan tentang disabilitas amat penting dan menarik. Tiang-tiang modernitas telah rapuh! Demikian kritik seruan dari beberapa pemikir kritis seperti Jurgen Habermas, Michel Foucault,
36
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Catatan Pinggir Levinas, Derrida sampai Nietzsche. Rasionalitas modern telah melahirkan banyak patologinya. Krisis modernitas telah bersarang dalam berbagai wajah dari krisis alienasi, perang, ketimpangan sampai kerusakan alam. Namun yang lebih mendasar ingin dikatakan oleh para pengkritik modern adalah bahwa, modernitas telah membukakan kita pada sebentuk alam pikir pengetahuan yang tidak lagi peka terhadap nasib kemanusiaan. Bahkan tak tak tanggung, para pemikir pascamodern melihatkany sebagai wajah peradaban yang tiran penuh dengan totalitas pemikiran yang sangat merepresi. Otonomisasi subjek manusia dianggap hanya ilusi dari cara manusia berkuasa atas yang lain. Modernitas telah menjadi mimpi buruk bagi masa depan kemanusiaan. Bahkan pada dimensi yang lebih serius seperti yang dikabarkan Nietzsche bahwa telah terjadi sebuah keruntuhan nilai-nilai tertinggi dan gagalnya manusia menjawab persoalan ‘untuk apa’.3
Alteritas dan Kritik Ontologi Postmodern Proyek nalar modern yang dikembangkan dalam mesin-mesin pengetahuan positivistiknya telah membuat disparitas penjarakan antara ‘subjek’ dan ‘objek’ pengetahuan. Apa yang dominan terumuskan dalam kebenran pengetahuan selalu harus bisa terukur dan terjawab dalam bingkai nalar akal pengetahuan. Tentu saja di luar itu menjadi tidak benar. Kecenderungan ‘bebas nilai’4 yang menjadi doktrin ilmiah pengetahuan kemudian secara dominjan juga amat mempengaruhi pada nalar sosial pengetahuan. Manusia dan masyarakat tak dilihat sebagai pribadi subjek yang penuh dengan dinamika nilai tetapi semata menjadi objek mati dari proyeksi dan metode pengetahuan. Cogito subjek modern juga sangat asing terhadap perbincangan tentang ‘alteritas’.5 Kalaupun hadir, konsepsi masyarakat modern terhadap relasi subjek dan subjek lain kadang terlalu biner dan determinative. Horison cakrawala penghayatan manusia dengan manusia lain kemudian terbatas. Pragmatisme pengetahuan kemudian kadang meletakan manusia hanya secara artifisial. Secara ontologis memang pengetahuan modern sejak lahirnya tidak dipersiapkan untuk peka terhadap kebutuhan berbicara persoalan moral dan etika.
“ Proyek nalar modern yang dikembangkan dalam mesin-mesin pengetahuan positivistiknya telah membuat disparitas penjarakan antara ‘subjek’ dan ‘objek’ pengetahuan. Apa yang dominan terumuskan dalam kebenran pengetahuan selalu harus bisa terukur dan terjawab dalam bingkai nalar akal pengetahuan.
Sejak awalnya misi pengetahuan modern dilahirkan untuk mencari dan membuktikan kebenaran. Pada ujung sini tentu apa yang ditegaskan oleh Michel Foucault barangkali benar. Pengkatagorian, pengkonsepan dan berbagai metodologi pengetahuan hidup berkelindan dengan apa yang dimengerti sebagai ‘kekuasaan’. Kekuasaan untuk mendefinisikan, kekuasaan untuk membangun abstraksi dan juga kekuasaan untuk memberi batasan-batasan pengetahuan. Nalar ini kemudian pada ranah lebih besar dipaksakan sebagai ranah kesadaran universal. Kebenaran kemudian dimaknai tunggal dan seragam. Padahal dunia pengetahuan tak mungkin bisa melepaskan terhadap dunia pengalaman kongkrit atas realitas yang sejatinya berwajah ‘beragam’, ‘banyak’ dan ‘heteronom’. Pada titik inilah gagasan nalar postmodern memberikan angin gagasan baru tentang pandangannya tentang realitas dan pengetahuan. Bagi pikiran postmodernisme, realitas
Edisi Januari-Februari 2013
“
PLEDOI
37
Catatan Pinggir heteronom tak hanya menjadi istilah untuk membedakan dengan realitas otonom yang menjadi cirikhas kesadaran pengetahuan modern. Realitas heteronom bahkan diyakini sebagai realitas trasenden yang melampui yang ontologis dan fisis-empiris.6 Artinya lebih jauh adalah kesadaran keberagaman atas realitas kebenaran adalah proyeksi atas penghargaan atas ‘Yang Lain’ (liyan) yang jarang ditemukan dalam nalar modern.
“ Bisa dikatakan secara teoritik bahwa gerak kesadaran modern dengan doktrin otonomi kebebasannya justru sejatinya telah melakukan sebuah langkah mereduksi yang lain yang diarahkan untuk ‘yang sama’. Artinya kebenaran diproyeksikan untuk ‘Yang Sama’. Bahkan filsafat subjek modern telah menjadi pangkal dari penolakan ‘Yang Lain’. Yang lain justru telah menjadi ‘pengganggu.
Bisa dikatakan secara teoritik bahwa gerak kesadaran modern dengan doktrin otonomi kebebasannya justru sejatinya telah melakukan sebuah langkah mereduksi yang lain yang diarahkan untuk ‘yang sama’. Artinya kebenaran diproyeksikan untuk ‘Yang Sama’. Bahkan filsafat subjek modern telah menjadi pangkal dari penolakan ‘Yang Lain’. Yang lain justru telah menjadi ‘pengganggu.7 Tentu saja kesadaran ini berimplikasi pada berbagai represi atas yang lain. Yang lain yang tidak masuk dalam katagori yang dipikirkan akan dibuang dan disingkirkan. Rumah-rumah kumuh akan digusur dan disingkirkan demi atas nama ketertiban dan keindahan kota, orang yang tidak sekolah akan tersingkir dari akses pekerjaan atas nama profesionalitas kerja, orang miskin akan tersingkir dalam berbagai akses seperti kesehatan atas nama ketertiban administrasi, orang-orang penyandang cacat (disabilitas) akan tersingkir dalam pranata-pranata modern yang mengatasnamakan percepatan , ketepatan dan kesempurnaan. Itu hanya sebagian implikasi dan konsekuensi dari upaya standarisasi atas kesadaran ‘penyeragaman’. Yang lebih besar ada yang harus menjadi kurban dari aspek kesadaran ini. Konflik dan perang antar manusia hari-hari ini tak jauh dari gambaran bagaimana manusia telah menjadi asing atas manusia lain.
Disabilitas dan Kuasa Pranata Modern
“
Rigoritas modern tentu saja mensyaratkan kondisi ideal atas semua elemen penopaangnya. Pranata modern modernitas dari yang privat dan yang publik telah mengandaikan sebuah bangunan sistem yang terpenuhi oleh berbagai gambaran ideal mengenai masyarakat. Kesempurnaan paling kentara ada pada jantung otonomi subjek yang mengandaikan sebuah dimensi ‘kebebasan’ yang penuh atas manusia. Tentu saja kebebasan yang dimaksud dari sini adalah kebebasan atas prinsip rasio berpikir subjek. Segala yang menghambat otonomi subjek tentu saja akan disingkirkan. Secara sosial prinsip gagasan kebebasan ini menguat seiring dengan lahirnya gagasan liberalisme yang juga bertumbuh dalam nalar ekonomi politik. Gagasan akan ‘kebebasan’ ini tentu aja secara sepintas amatlah ideal,8 namun jika dicermati gagasan kebebasan Cartesian ini masih saja terpusat pada subjek manusia sebagai yang rasional. Ia mengandung ‘kecacatan’ saat untuk melihat gambaran horizon tentang bagaimana manusia menghayati eksistensinya dengan yang lain. Pada dasarnya pranata modern diperuntukan untuk keseluruhan mereka yang normal, sempurna dan tidak mengalami kendala disa-
38
PLEDOI
Edisi Januari-Februari 2013
Catatan Pinggir bilitas pada dirinya. Dalam logika mesin, tubuh yang bergerak haruslah sesuai dengan fungsi yang umum tersedia. Kecacatan menjadi pengganggu. Apa yang dimengerti sebagai disabilitas tentu akan menjadi penghambat dari rancangan proses mesin yang berjalan. Bahkan dalam dimensi-dimensi tertentu, prasyarat normalitas ini secara eksplisit diwajibkan untuk dipenuhi. Contoh untuk menjadi pemimpin atau pejabat tertinggi dalam sebuah institusi baik dalam tataran rendah sampai tataran yang lebih tinggi selalu mensyaratkan atas logika prosedur normalitas dengan syarat rekrutmen yang normal. Jikapun ia diangkat, pembicaraan akan penghargaan disabilitas hanya berhenti pada teks normatif. Apa yang sejatinya berjalan tetap saja terpusat dalam logika kesempurnaan. Yang hadir sebagai disabilitas kemudian menjadi kebijakan minor yang hanya menjadi pelengkap semata, bahkan dalam berbagai hal seringkali hanya menjadi komkoditi ketimbang praktik penghargaan yang sebenarnya. Dalam perjalanan bangsa ini, secara umum masih enggan jika apa yang dimaknai dengan kenormalan harus disejajarkan dan dihargai sama dengan kaum disabilitas. Negara modern bisa menjadi puncak objektivikasi bagaimana nalar modern telah terparktikan secara objektif dalam bangunan-bangunan pranata modern. Negara menjadi ruang konstestasi dari berbagai klaim kesempurnaan. Negara bahkan bisa dikatakan sebagai dari medan bagaimana ketegangan-ketegangan klaim tentang kesempurnaan ini dibentuk. Setiap konstestasi politik selalu menggambarkan sebuah ajang uji unggul atas setiap tawaran kesempurnaan yang ada. Setiap orang, partai atau lembaga-lembaga politik selalu menjanjikan akan janji dan tawaran kesempurnaan. Apa yang cacat (disabilitas) tentu saja dengan sendirinya tidak diberi ruang secara egaliter. Pada sisi lain dia hanya dianggap sebagai residu. Bisa dibayangkan bagaimana sejatinya relasi kuasa negara ini memaknai terhadap problem disabilitas. Negara hari ini tetap masih gagal untuk menghayati dan menghargai secara benar bagaimana problem disabilitas harus dijawab. Negara barangkali tidak sadar bahwa apa yang dimengerti sebagai ‘normalitas’ dan ‘kesempurnaan’ bisa jadi hanyalah imaji semu diskursif yang abriter dan kontingen. Dalam tataran tertentu ia hanya dipakai sebagai utopia dai keberadaan eksistensi peradaban biar berjalan, tetapi sejatinya ia tidaklah sesuatu yang selesai dengan sendirinya. Tak ada yang bisa menyebut dirinya adalah normal, final dan sempurna. Pada titik inilah kegagalan modernitas dan terutama negara modern menjawab problem disabilitas sebagai ‘Yang Lain’. Kegagalan bukan pada ketidakmampuan secara operasioanl dan teknis untuk memberikan perhatian pada mereka yang cacat, tetapi justru hadir dari kerapuhan dan kecacatan nalar pikir masyarakat modern dalam memaknai eksistensi kehidupan, bagaimana hidup berdasar prinsip ‘alteritas’ dengan menghargai sepenuhnya atas ‘Yang Lain’.
“ Kegagalan bukan pada ketidakmampuan secara operasioanl dan teknis untuk memberikan perhatian pada mereka yang cacat, tetapi justru hadir dari kerapuhan dan kecacatan nalar pikir masyarakat modern dalam memaknai eksistensi kehidupan, bagaimana hidup berdasar prinsip ‘alteritas’ dengan menghargai sepenuhnya atas ‘Yang Lain’.
Edisi Januari-Februari 2013
“
PLEDOI
39
Catatan Pinggir
1
Dalam cara yang serupa, banyak kisah tentang sosok-sosok manusia sempurna dan pahlawan-pahlawan super dibuat. Kita mengenal itu dalam kisah dan cerita fiktif tentang manusia dan tokoh heroes yang memiliki kekuatan istimewa untuk menjadi sosok penolong bagi yang lain. Lihat, Paul Heru Wibowo, Masa Depan Kemanusian : Superhero dalam Pop Culture, Penerbhit LP3ES, Jakarta, 2012.
2
Lihat, Frank Budi Hardiman, Melampui Positivisme dan Modernitas : Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2003, hal. 96.
3
Lihat, ST. Sunardi, Nietzsche, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 1999, hal. 15. Konsep keruntuhan nilai-nilai inilah yang disbeut dalam pemikiran Nietzsche sebagai nihilisme, sebuah kondisi kebudayaan barat yang direnungkan oleh Nietzsche sebagai krisis kebudayaan. Dengan sangat apik, Nietzsche menyampaikan aforismenya tentang nihilisme sebagai …”aliran sungai yang hendak mencapai lautan , yang tidak lagi sanggup merenungkan dirinya sendir, yang takut merenungkan.”
4
Doktrin ‘bebas nilai’ ini sebenarnya telah banyak digugat hanya menjadi sarang dari penyembunyian nalar kepentingan yang bterselubung baik dalam hakikat pengetahuan itu sendiri ataupun secara politis dikemabngkan oleh infrastruktur yang memebntuknya seperti kepentingan industtri dan kapitalisme.
5
Bahkan oleh Emmanuel Levinas (1906 - 1995), kesadaran modern adalah akan melahirkan lading subur tumbuhnya benih-benih totalitas. Filsafat vtotalitas adalah filsafat yang mengagungkan kebenaran berpikir pada subjek rasional yang otonom. Lihat, Felix Baghi, Alteritas Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan (Etika Politik dan Potmodernisme), Penerbit Ledalero, Nusa Tenggara Timur, 2012, hal. 18.
6
40
PLEDOI
catatan akhir
Lihat, Felix Baghi, Ibid, hal. 19.
7
Pandangan ini secara detail pernah dijelaskan dalam filsafat Eksistensiualisme Jean Paul Satre. Orang lain sebagai ‘neraka’. Namun berbeda dengan pandangan ini, Levinas justru lebih menawarkan pandangan bahwa ‘yang lain’ justru sebagai keniscayaan atas konstitutif keberadaan manusia. Perhatian total terhadap ‘Yang lain’ membuat subjektivitas manusia terstruktur untuk memberikan dirinya kepada ‘Yang Lain’. Lihat, Thomas Hidya Tjaya, Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2012, hal. 120.
8
Tengok saja gambaran tentang perihak ‘kebebasan’ yang pernah dituliskan oleh F.E. Hayek yang sangat terkenal, “keadaan di mana manusia tidak menjadi sasaran koersi oleh keinginan sewenang-wenang orang atau orang-orang lain”. Lihat, Eugene F. Miller, Kondisi Kebebasan Liberalisme Klasik F.E. Hayek, Penerbit Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta, 2012, hal. 12.
Edisi Januari-Februari 2013