Helmi Kamal
HUKUM KELUARGA DI KUWAIT: STUDI WASIAT WAJIBAH Abstract: There is a number of family law reform carried out in a number of countries, including the one country in the Middle East (West Asia), namely Kuwait. Kuwait against British protectorate status ended since independence on June 19, 1961. Then the constitution was enacted in 1962 (Basic Law / Constitution) states that made shariah (Islamic) law as the basis in Kuwait. The Constitution declared Islam as the state religion and sharia as the main source of law. The Constitution further states, "The family is the foundation (establishment) that society is built on the basis of religion, morality and patriotism. Therefore, the laws concerning family relations and property rights should be governed by sharia law.
Keywords: Family law, was borrowed, Kuwait Constitution. I.
Pendahuluan Hukum keluarga dalam masyarakat Islam kontemporer, baik di negara-negara Islam itu sendiri maupun di negara-negara yang mayoritas berpenduduk beragama Islam merupakan bidang utama dari hukum Islam yang mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan umat Islam. Begitu pentingnya posisi hukum keluarga dalam pencaturan dunia, maka tercatat ada 3 (tiga) tahapan di dalam pengembangan hukum keluarga yang selaras dengan perkembangan zaman dan tempat. Tahir Mahmood dalam bukunya Personal Law in Islamic Country, mengemukakan 3 (tiga) tahapan tersebut. Tahap pertama, tahun 1925-1950 dimana Turki menjadi pelopor di dalam membaharui hukum keluarganya, yang kemudian diikuti oleh negara-negara seperti Yordania, Libanon, Palestina dan Syria. Tahap Kedua, tahun 1950-1971 yang ditandai dengan merdekanya sejumlah negara-negara di Afrika dan Asia bahkan sebagian dari negara tersebut mendaulatkan Islam sebagai agama
44
resmi negara. Tahap ketiga, tahun 1971 sampai sekarang.1 Pada tahap ini tercatat sejumlah reformasi hukum keluarga dilakukan di sejumlah negara, termasuk salah satu negara yang ada di Timur Tengah (Asia Barat) yaitu Kuwait, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini. II. Pembahasan A. Sepintas Sejarah Negara Kuwait Salah satu negara Arab yang berbentuk emirat adalah Kuwait, Kuwait bermakna kumpulan rumah-rumah kecil atau kemah-kemah tempat menetap sementara beberapa bulan ketika musim penghujan datang yang searti dengan “bukan berpenduduk menetap” wilayah Kuwait sebelah Selatan berbatasan dengan Arab Saudi yang berada di sudut Barat laut Teluk Arab, sebelah Utara berbatasan dengan Irak serta sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Persia.2 Daerahnya terdiri dari pasir lembut dan diselingi sedikit dataran tinggi. Al-Zur adalah nama gunung yang paling dikenal, disebelah gunung tersebut adalah teluk Kuwait dan alLayah; diantaranya terdapat dataran tinggi Kara Al-Murw, dan yang paling terkenal adalah Al-Bathin yang berada pada daerah perbatasan Irak-Kuwait. Adapun daerah perairanya diliputi beberapa jazirah yaitu Pabian, Pelkan, Maskan, Ummu AlMaradim dan Ummu Al-Naml. Keadaan daerahnya yang lain merupakan wilayah netral yang seluas 5.700 km, yang dikuasai bersama Kuwait dan Arab Saudi 1922-1966. Adapula daerah padang pasir Al-Dahna seluas 130.000 km persegi merupakan padang pasir paling luas di dunia.3 1
M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-kitab Fiqih, Cet. I (Jakata: Ciputat Press, 2003), h. 153. 2
Riza Sihbudi dkk, Negara-negara Timur Tengah, Cet. 1 (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), h. 123. 3
Sir Tram Thomas, seorang kebangsaan Inggris telah menjelajahi daerah tersebut (padang pasir Al-dahna) yang diikuti Abdullah Filiph pada tahun 1932, sehingga rahasia padang pasir tersebut terbuka dengan ditemukannya bahwa sebagian pasirnya berwarna merah karena mengandung banyak oksida besi. Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia
45
Sehingga minyak merupakan aset sumber kekayaan negara. Produksi minyak datangnya dari area Burqan, Raudhatain, Munaqaisy dan Ummu Qadir. Kuwait terkenal sebagai negara yang kaya dengan Gross Domestic Product (GDP), pada tahun 1993 sebesar, 7,3 milyar Dinar atau sebesar US $ 24 milyar, pendapatan perkapita negaranya pada tahun yang adalah US $ 15.400 dengan tingkan inflasi sebesar 8 persen. Perekonomian Kuwait terutama disandarkan pada hasil eksport minyak yang sangat melimpah. Deposito minyak yang ada terutama terletak di kota Ahmadi yang berdekatan dengan wilayah Irak. Dengan produksi mencapai 985.000 barel perhari. Disamping minyak dan gas sebagai kekayaan alam terbesar, kekayaan alamnya juga berasal dari hasil perikanan (udang, ikan) dan hasil Industri (pupuk dan bahan bangunan).4 Luas negara Kuwait 17.818 km2 atau 6.178 mil persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 733.096 jiwa berdasarkan catatan tahun 1970, dan mengalami peningkatan pada tahun 1990 dengan jumlah 2.143.000 jiwa dengan kepadatan penduduknya 120 per km2, ibu kota negaranya adalah Kuwait dengan mata uang dinar, bahasa resminya adalah Bahasa Arab selain Inggris. Mayoritas dari penduduk Kuwait, sekitar 90% adalah Muslim.5 Islam datang ke negara ini sejak masa khalifah Umar ibn Khattab (15-30 H) yang penduduknya mayoritas menganut aliran sumni bermazhab Maliki dan Hambali dengan sedikit menganut aliran sy’ah. Diperkirakan penganut syi’ah di negara ini mencapai 10%, diantaranya adalah asli penduduk Kuwait sedangkan mayoritsa penganut Syi’ah berasal dari keturunan Persia.6 Sejarah Kuwait dimulai pada abad XIX setelah pertempuran dengan kerajaan Usmaniyah (Ottoman Empire) yang ingin Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Cet. I (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada , 2004), h. 239. 4
Hafish Dasuki, et.al Ensiklopedi Islam, Jilid III (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), 86. Riza Sihbudi dkk., op.cit, h. 123 5
Riza Sihbudi dkk., op. cit, h. 123.
6
Ibid, h. 122.
46
memperluas daerah jajahan. Dengan bantuan Inggris,7 atas kesepakatan dari isi kerjasama antar kedua negara tersebut yang berisikan antara lain: “Kuwait dibantu melepaskan diri dari Turki menjadi negara merdeka, sebaliknya Inggris akan diberi hak atas Kuwait dalam mengontrol hubungan luar negerinya. ”Dan sebagai puncak kerjasama Kuwait-Inggris, akhirnya pada Januari 1899, Kuwait berhasil direbut oleh Inggris dari kekuasaan Turki. Sejak saat itu terjadi “Assosiasi” antara penguasa Kuwait dengan pemerintah Inggris sampai masa kemerdekaannya pada tanggal 19 Juni 1961.8 Namun, baru enam hari menikmati kemerdekaannya, Irak mengklemnya sebagai bagian dari wilayahnya. sehingga pada tahun 1962, demi keutuhan sebuah negara, Kuwait melahirkan sebuah konstitusi yang bernama konstitusi Kuwait yang menjadi Undang-undang Dasar Kuwait yang berdasarkan Syari’at Islam. Sejak itu pula negara-negara tetangga dalam liga Arab mengakui kemerdekan Kuwait. Setelah itu hubungn Irak-Kuwait menjadi pulih kembali. Meski Irak sempat melancarkan agresi keduanya pada tanggal 2 Agustus 1990 yang harus mundur lagi atas bantuan desakan Amerika dan sekutunya. Selain kesepakatan kerjasama Kuwait–Inggris di atas, Kuwait pun harus menerima sistem hukum dan administrasi Barat. Maka dengan beberapa perubahan, hukum Inggris (British– Indian–Law), termasuk Indian Penal Law 1860 diterapkan penduduk non–Arab di negara Kuwait. Sedangkan untuk penduduk Arabnya masih diberlakukan hukum Islam, khusunya bidang Hukum Keluarga.
B. Konstitusi Kuwait Sebelum melanjutkan lebih jauh tentang bagaimana hukum keluarga di Kuwait, sebelumnya akan dikemukakan sistem pemerintahan Kuwait yaitu Monarkhi Konstitusional, Sebab emirat 7
Dengan bantuan Inggriss, pada tahun 1914, Kuwait bisa mempertahankan wilayahnya, maka sejak itulh Kuwait menjadi wilayah kekuasaan Inggris sebagai negara profektorat M. Atho Muzdhar dan Khairuddin Nasution, op. cit, h. 165 8
Mustolah, Wawasan Sistem Politik Islam, Cet.I (Jakarta: Pustaka alKausar, 1996), h. 107
47
diwariskan secara turun temurun. Pewaris emirat adalah harus keturunan dari almarhum Mubarak al-Sabah.9 Mukaddimah konstitusi Kuwait diawali dengan pernyataan بسم هللا الرحمن الرحيم. dari mukaddimah ini, paling tidak dapat diperoleh cerminan bahwa kalimat basmalah itu sendiri merupakan pangkal tolak segala jiwa dari konstitusi tersebut. Yaitu Islam. Warna Islam ini lebih dipertegas lagi dalam pasal 2 bagian 1 yang menyatakan bahwa kuwait adalah sebuah negara Islam yang sumber segala hukum dan perundang-undangannya adalah syari’at Islam. The religuion of the state is Islam and the Islamic Sharia Shall be a main source of legislation.10 Dalam pasal 7 dari konstitusi tersebut, telah menyebutkan tentang prinsip-prinsip persamaan, yang jika ditelusuri lebih jauh, ditemukan dasar-dasarnya di dalam al-Qur’an yakni QS. AlHujurat (49) : 13.11 Lebih jauh lagi, negara memberikan jaminan perlindungan atas moral pisik dan spiritual yang termaktub dalam pasal 10 bagian II jaminan-jaminan lain adalah jaminan perlindungan warisan Islam dan Arab, jaminan pendidikan, penggalakan sastra, seni dan ilmu pengetahuan, atas hak milik pribadi (pasal 11-15 bagian II)12 Juga dijelaskan secara tegas dalam pasal 35 bagian-bagian III, dikatakan menyangkut kebebasan beragama yang tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain sebagaimana yang 9
S. Prajudi Atmosudiro, op. cit, h. 10.
10
QS. Al-Hujurat (49): 13
ُ اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم مِ ْن ذَك ٍَر َوأ ُ ْنثَى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم َّ َارفُوا إِ َّن أ َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْند اَّللِ أَتْقَا ُك ْم ُ َّيَاأَيُّ َها الن َ َشعُوبًا َو َقبَائِ َل ِلتَع َّ إِ َّن علِي ٌم َخ ِبير َ َاَّلل Terjemahnya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengena”l 11
S. Prajudi Atmosudiro, op.cit., h. 62-64.
12
Ibid
48
termaktub dalam al-Qur’an. The State Protects The Freedom of Practising Riligion in accordance with established custom13. Suatu hal yang menarik dari pasal 40 bagian III, yang menyatakan bahwa; pendidikan merupakan suatu hak bagi orang orang Kuwait, dijamin oleh negara sesuai dengan Undangundang.14 Pasal ini secara tegas menunjukkan kesadaran pemerintah Kuwait akan pentingnya pendidikan sebagai jaminan sumber daya manusia. Dengan memperhatikan pasal-pasal tersebut di atas, yang telah dijalankan secara murni dan konsekuen, maka boleh dikatakan tingkat pengangguran di Kuwait adalah nol persen dan hal ini mempunyai implikasi lebih baik terhadap penegakan hukum (hukum Islam) dalam masyarakat. C. Pembaruan dan Pasang Surut Hukum di Kuwait 1. (Tahun 1951-1962) Pada masa kekuasaan Syaikh Abdullah al-Salim al-Sabah banyak hukum baru disusun. Diantaranya : a. Hukum syari’ah tentang waqf 1951 yang menjadikan wakaf keluarga dilarang pada keadaan tertentu (terminable in certain specified circumstance); b. Civil and Commercial Procedure Code 1960; c. Civil Code 1961; d. Criminal Procedure Code; e. Commercial Code 1961; f. Law on Damage 1961.15 Adapun undang-undang yang lahir sejak tahun 1960 adalah karena hasil bantuan ahli hukum Arab yang terkenal, “Abd al-Razaq al-Sanhuri” yang mulai berkarya di Kuwait sejak tahun 1959. selanjutnya pada tahun 1959, Amir Kuwait mendapat fasilitas untuk membuat kodifikasi hukum, maka selama dua tahun
13
Ibid.
14
Ibid h. 70,
15
Mushtofa dalam M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin nasution, op. cit, h.
166-7
49
banyak tersusun hukum yang didasarkan pada materi Anglo Egyption dan French Legal. 16 Status protektorat Kuwait terhadap Inggris berakhir sejak kemerdekaannya pada tanggal 19 Juni 1961. Maka pada tahun 1962 diundangkan konstitusi (Undang-undang Dasar/UUD) negara yang menjadikan syari’at (Islam) sebagai dasar hukum di Kuwait. UUD ini menyatakan Islam sebagai agama negara dan syari’ah sebagai sumber hukum utama. Lebih lanjut UUD ini menyatakan, “Keluarga adalah dasar (pembentukan) masyarakat yang dibangun atas dasar agama, akhlak dan patriotisme. Oleh karenanya, hukum-hukum tentang hubungan dan hak milik keluarga harus diatur berdasarkan hukum syari’at. 17 Pada tahun 1963, Komite Nasional Kuwait berdasarkan ketetapan UUD tersebut berhasil menyusun sejumlah hukum baru dan mengubah beberapa hukum yang berlaku di Kuwait sebelum merdeka. Terlebih sejak tahun 1965. Amir (pemerintah) memberi peluang kepada para ahli untuk mengadakan perubahan hukum dalam bidang yang lebih luas, diantaranya adalah ketetapan tentang warisan (succession). 18 2. Setelah tahun 1971 Pembaruan hukum di Kuwait sempat terhenti pada tahun 1976 ketika terjadi ketegangan di parlemen yang menghendaki agar kepala negara mengundurkan diri. Baru pada Pebruari 1978, Amir, (Kepala Negara) membuat deklarasi, bahwa sistem hukum Kuwait secara berangsur-angsur akan disesuaikan dengan syari’at sebagai hasilnya tiga tahun kemudian sejumlah hukum baru dapat diselesaikan, diantaranya Undang-undang Hukum Keluarga (Code on Personal Law atau Qanun Ahwal al-Syakhsinya). Hukum ini didasarkan pada doktrin yang dipilih dari prinsip hukum Islam dan ketetapan hukum serupa dari Mesir dan Maroko.19 16
Ibid, h. 167
17
Ibid, h.167-8
18
Ibid, h.168
19
Ibid, h. 173
50
Pembaruan Hukum Keluarga di Kuwait boleh dikata terlambat bila dibandingkan negara-negara lainnya. Hal ini diakibatkan oleh karena kemerdekaan Kuwait baru tercapai 19 Juni 1961 yang relatif terlambat, sehingga penyusunan hukum baru mengalami pembaruan sejak tahun 1971 dengan diundangkannya hukum tentang Wasiat Wajibah. 3. Hukum Tentang Wasiat Wajibah tahun 1971 Istilah Wasiat Wajibah dipergunakan pertama kali di Mesir melalui hukum waris 1946, guna menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Hukum wasiyat wajibah (Law on Obligatory Bequest/Qanun Wasiyyah al-Wajibah) Kuwait tahun 1971, yang diundangkan tanggal 4 April 1971 dengan hanya memuat empat pasal. Pembaharuan hukum sejenis ini telah terjadi sebelumnya di negara-negara Arab: Mesir, Maroko, Syria dan Tunissia, selanjutnya setelah Kuwait memberlakukan hukum ini beberapa negara berbuat hal serupa; Algesia, Irak dan Yordania.20 Wasiat wajibah di Mesir diatur pada pasal 76-79 Undangundang Wasiat Nomor 71 Tahun 1946. Wasiat Wajibah berlaku terhadap cucu dan cucu-cucu, yang ayah atau ibunya meninggal lebih dahulu daripada atau bersamaan waktunya dengan pewaris (kakek/nenek mereka),21 dengan ketentuan : a. Kalau dari garis keturunan laki-laki maka berlaku seterusnya sampai ke bawah, tetapi kalau dari garis keturunan anak perempuan terbatas pada anak atau anak-anak dari anak perempuan dari pewaris saja. b. Pewaris pada masa hidupnya belum pernah memberikan harta kepada yang berhak menerima wasiyat wajibah tersebut sesuai hak wasiyat wajibahnya. c. Besarnya wasiyat wajibah hanya sepertiga harta, apakah itu yang berhak menerima wasiyat wajibah banyak atau sedikit, atau campuran antara laki-laki atau perempuan maupun tidak. Kalau yang berhak menerima wasiyat wajibah tersebut campuran 20
Ibid, h. 168-169. 4.
21
Ahmad Kamil al-Khudary, Al-Mawarits al-Islamiyah ( Mesir: al-Majlis al-A’la li al-Su’un al-Islamiyah), 1966 M/1386 H, h.132-133.
51
antara laki-laki dan perempuan , maka bagian mereka adalah dua berbanding satu. d. Wasiyat wajibah didahulukan daripada wsiat biasa. Kalau pewaris telah membuat wasiat kepada mereka yang berhak menerima wasiyat wajibah tetapi jumlahnya kurang dari sepertiga, maka dicukupkan sampai jumlah sepertiga, tetapi bila melebihi maka sampai kelebihan itu dianggap wasiat biasa. Kalau yang berhak menerima wasiat itu lebih dari seorang, ada yang diberi wasiat biasa dan ada yang tidak, maka yang belum diberi itu berhak mendapat bagian hak wasiat wajibah. Kalau pewaris membuat surat wasiat dan ada pula meninggalkan bagi mereka yang berhak menerima wasiat wajibah, maka wasiat wajibah dibayar dahulu dalam batas sepertiga kemudian baru diambilkan untuk wasiat biasa juga dalam batas sepertiga. Demikian jelasnya konsep wasiyat wajibah yang diatur di Mesir, sebagaimana pula yang dilaksanakan di Kuwait. Sedangkan konsep pengganti ahli waris dalam pasal 185 KHI belum demikian. Untuk lebih jelasnya menyangkut wasiat wajibah ini, selanjutnya hal ini akan dibandingkan secara singkat dengan konsep wasiyat wajibah dengan negara-negara di Suriah, Maroko dan Tunisia serta pengganti ahli waris di Pakistan. Menurut pasal 257-288 Undang-undang Personal Status Suriah tahun 1953 di Suriah berlaku wasiyat wajibah bagi keturunan langsung mlalui garis laki-laki yang meninggal lebih dahulu daripada ayahnya (pewaris) dan tidak berlaku bagi keturunan langsung melalui anak perempuan. Besarnya wasiyat wajibah adalah sepertiga.22 Menurut pasal 266-269 Undang-undang Personal Status Maroko tahun 1957, di Maroko berlaku wasiyat wajibah seperti yang berlaku di Suriah.2323 Sedangkan menurut pasal 192 Undang22
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), h.146. 23
Ibid, h.154.
23
Ibid, h.154.
24
Ibid, h.163.
25
Ibid.
52
undang Personal Status Tunisia berlaku wasiyat wajibah bagi keturunan langsung melalui garis laki-laki atau perempuan yang meninggal lebih dahulu daripada ayahnya (pewaris). Besarnya wasiat tersebut adalah sepertiga.24 Adapun menurut pasal 5 Undang-undang Moslem Personal Pakistan tahun 1962, di Pakistan berlaku konsp pengganti ahli waris kepada cucu atau cucu-cucu, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan pewaris. Besarnya bagian adalah sepertiga untuk ayah atau ibu mereka (bagian ayah atau ibumereka).25 Dari perbandingan tersebut, baik Mesir,Suriah, Maroko dan Tunisia memakai konsep wasiyat wajibah sedangkan Pakistan dan Indonesia dengan konsep pengganti ahli waris. Antara Pengganti ahli waris dengan ahli waris pengganti dapat dibedakan, bahwa pengganti ahli waris berarti sejak dari semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan dan pertimbangan tertentu memungkinkan menerima warisan namun tetap dalam status bukan ahli waris. Pengganti ahli waris ni, misalnya apa yang dikenal dalam istilah Bulgelijk Wetboek (BW) dengan bahasa Belandanya bij plaatsvervulling atau dalam istilah fikih mawarisnya sebagai wasiyat wajibah.24 Adapun ketetapan hukum Wasiyat Wajibah di Kuwait ini dimaksudkan agar bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja (tidak berlanjut sampai ke generasi selanjutnya), pemberian wasiyat ini harus tidak melebihi dari sepertiga harta yang ditinggalkan si mati. Ketentuan ini meskipun menderivasi dari Undang-undang Mesir, pada hakikatnya berangkat dari penafsiran QS. Al-Baqarah (2):180. صيَّةُ ِل ْل َوا ِلدَي ِْن َ ب َعلَ ْي ُك ْم إِذَا َح َ ُِكت ِ ض َر أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ إِ ْن ت ََركَ َخي ًْرا ْال َو )180( ْ َ ْ ر ع م ال ب ب ر ق َوف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين َين ِ ُ ْ َ ِ ِ َ َو ْاْل
26
Jurnal Dua Bulanan, Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 23 Tahun VI (November-Desember 1995), Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1995, h. 54.
53
Terjemahnya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Namun sebagian ahli hukum Islam memandang ayat ini dinasakh, dalam arti di-tabdil-kan atau digantikan oleh QS. AnNisā’ (4):7 tentang waris dan oleh hadis-hadis Rasulullah Saw yang maksudnya tidak sah berwasiat kepada ahli waris. ٌَصيب ِ س ِ اء ن َ ِان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َو ِللن ِ ان ِل ِلر َجا ِل ن ِ ََصيبٌ ِم َّما ت ََركَ ْال َوا ِلد ِ َت ََركَ ْال َوا ِلد )7( َصيبًا َم ْف ُروضًا ِ ِم َّما َو ْاْل َ ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أ َ ْو َكث ُ َر ن Terjemah: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Dasar hukum wasiyat wajibah adalah karena menganggap ayat di atas masih muhkam dengan berpendapat bahwa sah berwasiat kepada ahli waris, seperti Mesir dan Kuwait. Yang masih menganggap sah berwasiat kepada ahli waris, sebagaimana tercantum dalam pasal 37 Undang-undang Wasiat Nomor 71 Tahun 1946. Karena, wasiyat wajibah Menurut ayat di atas diperintahkan untuk ibu bapak (walidain) dan karib kerabat (aqrabin). namun karena kebutuhan, maka hal ini dibenarkan atas dasar ijma ulama, sehingga wasiat tidak hanya diberikan kepada orang yang bersangkutan dan keluarga dekat yang menjadi ahli waris. Bagi KHI memilih pendapat yang maksudnya tidak sah berwasiat kepada ahli waris, sepert yang termuat dalam pasal 195 ayat (3) yang berbunyi :”Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”. Karena KHI tidak mengakui sah wasiat kepada ahli waris kecuali apabila disetujui oleh ahli waris, maka hal tersebut sesuai pasal 185 yakni perihal konsep 54
pengganti ahli waris sebagaimana ketentuan di Pakistan. Hal ini diilhami oleh pendapat Hazairin dengan menerjemahkan surat anNisā’ (4): 33; ”Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewarispewarisnya,dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” Namun konsep pengganti ahli waris dalam pasal 185 ini masih banyak benturan karena tidak satu pun mufassirin dan mujtahid maupun tejemahan al-Qur’an Departemen Agama, yang menerjemahkan mawali dalam ayat di atas sebagai ahl waris pengganti. Tetapi oleh para ulama Indonesia menerima konsep tersebut berdasarkan pertimbangan tertentu, kasus demi kasus yang ada atau demi kemaslahatan ahli waris itu sendiri. Dengan demikian bukan dilandaskan surat an-Nisa’ (4): 33 melainkan didasarkan pada maqashid al-syari’ah yakni kemaslahatan.25 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, penduduk Kuwait memeluk kepada tiga mazhab Fiqih (Maliki, Hambali dan Minoritas Syi’ah). Menurut Imam Malik, wasiat boleh dilaksanakan bila disetujui oleh ahli waris. Bila yang menyetujui hanya sebagian, wasiat diambilkan dari orang yang membolehkan saja. Sedang menurut Ibn Qudamah, pengikut Mazhab Hambali, wasiat kepada ahli waris apabila dikehendaki boleh. Sedangkan syi’ah imamiyah berpendapat, “wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak bergantung pada persetujuan ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta warisan.28 Adapun defenisi keluarga dekat secara eksplisit dinyatakan nabi dalam sabda ketika menjelaskan ayat “wa anzir ‘asyiratakan al-Aqrabin” (al-Syu’ara:16). Dalam kaitan ini Rasul menunjuk putrinya, Fatimah, termasuk keluarga dekatnya. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa kerabat dari ayah yang tidak menerima warisan
25
Cik Hasan Bisri, et.al., Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 81-90.
55
dapat menerma wasiat. Sedangkan tercatat dari garis ibu meskipun tidak menerima warisan tidak juga berhak menerima wasiat. 26 Kalangan Hanbaliyah menyatakan, wasiyat diberikan kepada keluarga yang paling dekat. Oleh karena itu, ayah atau anak hendaknya lebih didahulukan mendapat wasiat. Menurut Ibn Hazm, kerabat dekat adalah orang-orang yang ada hubungannya dengan mayit dari garis ayah dan ibu, dan Ibn Hazm (dari kalangan mazhab zahiri) menyatakan “wajib bagi setiap muslim wasiat kepada keluarga dekat yang tidak mendapatkan warisan, baik karena warisannya diambil oleh ahl waris yang lebih berhak maupun karena sebenarnya tidak mendapat warisan.27 Pandangan ini berdasarkan al-Baqarah (2) : 180 dengan penjelasan bahwa alQur’an mengakui adanya wasiat bilamana pembagian warisan masih tersisa setelah pembayaran wasiat dan hutang. Para ahli hukum Islam Mesir kontemporer memaksudkan “keluarga dekat” dengan cucu yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu sebelum kakek atau neneknya (cucu yatim), maka cucu yatim itu diberi dengan pemberian wasiat. Dasar pandangan ini adalah karena cucu yatim pada hakekatnya adalah kerabat yang menjadi tanggung jawab pewaris (ayah/ ibu yang meninggal) “Hal ini sesuai dengan prinsip yang paling dekat, sehingga pemberian wasiat kepada cucu yatim sejalan dengan prinsip tersebut. Kutipan butir-butir tentang Wasiat Wajibah dari Undangundang No. 5 Tahun 1977 : 1. Bila seorang yang meninggal (kakek nenek) tidak berwasiat kepada cucu dari anak-anaknya yang meninggal sebelumnya atau meninggal bersaman dengan kakek, bagian (warisan) ayah dari harta yang ditinggalkan kakek saat meninggal akan berpindah kepada anaknya (cucu) sebagai harta wasiat yang harus diberikan kepadanya tapi tidak boleh melebihi dari sepertiga jumlah harta yang boleh diwasiatkan. Cucu tersebut tidak termasuk ahli waris kakek yang meninggal yang tidak memberinya dengan cara lain. Tanpa pertimbangan lain, itulah hak yang harus diberikan kepadanya. 26
Cik Hasan Bisri, et.al., op.cit., h. 94.
27
Ibid
56
Wasiat itu menjadi hak keturunan generasi pertama dari anak perempuan dari orang yang meninggal. Akan tetapi wasiat itu menjadi hak bagi garis keturunan laki-laki ke bawah yang akan menghalangi keturunannya sendiri, tapi bukan keturunan garis lain (garis perempuan, pen). Bagian anak lelaki dari orang yang meninggalkan dibagi diantara anak-anak (cucu)-nya ke bawah sesuai prinsip kewarisan yang seakan-akan hubungan itu melalui orang yang dihubungkan kepada orang yang meninggal setelah dia dan kematiannya terjadi pada saat generasi itu masih memiliki hubungan dengannya. 2. Jika orang yang meninggal berwasiat kepada cucu yang melebihi harta yang harus diwasyiatkan, pengaruhnya dianggap sebagai wasiat biasa (optional) dan jika dia berwasiat kurang dari batsa itu, kewajiban memenuhi wasiat itu sebatas memenuhi haknya. Jika wasiat itu (mestinya) diberikan kepada beberapa orang akan tetapi si mati hanya berwasiat untuk beberapa orang diantranya, tidak kepada yang lainya, maka wasiat itu harus juga diberikan kepada mereka (yang tidak diberi wasiyat) sesuai haknya. Orang-orang yang diberi wasiat kurang dari jumlah itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang boleh diwasiyatkan. Jika sisa harta itu tidak, cukup, maka wasiat yang diberikan itu menjadi bersifat optional. 3. a. Wasiat wajibah lebih diutamakan daripada wasiat biasa/optional. b. Jika si mati tidak berwasiat kepada cucu-cucu yang seharusnya mendapat wasiat wajibah, tapi justru berwasiat kepada lainnya maka cucu-cucu itu akan mengambil haknya dari sisa sepertiga harta yang diwasiatkan (jika masih ada sisa) atau mengambil harta yang diwasiatkan kepada orang lain itu. III. PENUTUP Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Kuwait dimulai sejak tahun 1971 dengan diundangkan hukum tentang Wasiyat Wajibah, meski pada tahun 1962 terlebih dulu diundangkan konstitusi atau Undang-undang Dasar Negara yang menjadikan Syari’at Islam sebagai dasar hukum di negara tersebut. Wasiat wajibah itu diperkirakan, menurut bagian yang meninggal dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga. Jika 57
ternyata lebih dari sepertiga, maka tidak boleh diberikan kecuali sekitar sepertiga saja. Dengan demikian, berarti selebihnya menjadi wasiat bebas. Perkembangan selanjutnya dalam Undang-undang dasarnya telah dinyatakan, “Keluarga adalah dasar pembentukan masyarakat yang dibangun atas dasar agama. Hal ini juga menjiwai Hukum Syari’ah tentang Waqf, KUH Perdata, Hukum Dagang, KUH Pidana. Maka dengan beberapa perubahan, pemberlakuan hukum Islam pada segala aspek khusunya bidang Hukum DAFTAR PUSTAKA Abdullah Siddiq, Hukum Waris dan Perkembangannya Seluruh Dunia, Jakarta: Wijaya, 1984.
di
Al-San’ani, Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Mesir: al-Majlis al A’lā li al-Su’un al-Islāmiyyah, 1966 M/1386 H. Atmosudiro, S. Prajudi, et.al., Konstitusi Negara Islam, Cet. I; Bisri, Cik Hasan, et.al,. Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama: Dalam Sistem Hukum Nasional, Cet. II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Dasuki, Hafizh et. al., Ensiklopedi Islam, Jilid III ,Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,1994. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1987. Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, nomor 23 Tahun VI (November-Desember 1995), Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam 1995. Musthofa dalam kumpulan tulisan M. Atho Muzdhar dan Khairuddin Nasution dalam buku Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-kitab Fikih, Cet. I Jakarta : Ciputat Press, 2003.
58
Sihbudi, Riza dkk, Negara-negara Timur Tengah, Cet. I, Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995 Tahir Mahmood, Personal in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987. Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Cet.I; Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Zein, Satria Effendi M, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet.I, Jakarta : Kencana, 2004.
59