1
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN KLIEN TUBERKULOSIS DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTI TUBERKULOSIS Rini Hardiani Noorhizmah1, Etty Rekawati2 1. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Komunitas, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kegawatdaruratan global, World Health Organization melaporkan terdapat 8,6 juta kasus baru dan 1,3 juta kematian ditahun 2012. Saat ini, Indonesia merupakan negara peringkat kelima dengan beban TB terbesar. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan tingkat pengetahuan klien TB dengan tingkat kepatuhan minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Desain deskriptif korelasional dengan pendekatan penelitian cross sectional didapatkan 43 klien TB yang berobat di Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur. Hasil penelitian menunjukkan responden memiliki pengetahuan tinggi (65.1%) dan responden yang patuh minum OAT (67.4%). Hasil uji chi square menunjukkan hubungan yang positif antara tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum OAT (p=0,033 α=0,05). Promosi kesehatan terkait TB masih perlu ditingkatkan dalam pelayanan keperawatan komunitas. Kata kunci: Pengetahuan, Tuberkulosis, Kepatuhan, Abstract Tuberculosis (TB) is a global emergency problem. World Health Organization reported there were 8.6 million new cases and 1.3 million deaths in 2012. Currently, Indonesia is the fifth largest TB burden country. This study was conducted to determine the relationship of the level of knowledge of the TB clients with the level of Anti Tuberculosis Drugs (ATD) consumption adherence. Descriptive correlational design with cross-sectional research approach obtained 43 TB clients who had treatment in the public health center of Makasar District, East Jakarta. The results showed of the respondents had high knowledge (65.1%) and respondents adhere to drink ATD (65.7%). The results of the chi square test showed a significant association between the level of knowledge and the level of ATD consumption adherence (p = 0.033 α = 0.05). TB-related health promotion needs to be improved in the nursing community service. Keywords: Tuberculosis, Knowledge, Compliance
Pendahuluan Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kegawatdaruratan global (global emergency) dan penyebab kematian setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). World Health Organization menyebutkan tahun 2012 penyakit TB diperkirakan sekitar 8.6 juta kasus
baru diseluruh dunia dan 1.3 juta orang meninggal. Hal ini disebabkan banyaknya klien yang tidak berhasil disembuhkan. Indonesia termasuk dalam negara High-Burden countries (HBCs) dan berada diperingkat kelima sebagai negara dengan kasus TB terbesar setelah India, Cina, Afrika Selatan dan
2
Nigeria (WHO, 2012). Diperkirakan jumlah prevalensi semua tipe TB sebesar 660.000 kasus dan jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 per tahunnya. (PP dan PL Dep Kes RI, 2011). Sejak tahun 1995 Indonesia berhasil menurunkan kasus TB di Indonesia menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short Cases (DOTS) yang dicanangkan WHO (Kemenkes, 2011). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan klien, dengan memprioritas pasien TB BTA positive U PP dan PL Depkes RI, 2011). Walaupun penemuan kasus TB di Jakarta cukup tinggi, akan tetapi angka kekambuhan dan kegagalan pengobatan juga tinggi. Kegagalan pengobatan TB dipengaruhi beberapa faktor antara lain efek samping obat dan resistensi obat, sikap petugas kesehatan termasuk pengetahuan klien TB Paru tentang TB dan kepatuhan minum obat. Kepatuhan klien TB Paru dalam menjalani pengobatan sangat mempengaruhi pencapaian dan tujuan pengobatan TB. Berdasarkan data profil DKI Jakarta (2011) penemuan kasus TB mencapai 9.991.788 dan lebih dari seperempat 2.801.784 tinggal di Jakarta Timur. Total kasus TB yang ditemukan diwilayah Jakarta Timur sebesar 5.291. Data di atas menunjukkan wilayah Jakarta Timur merupakan urutan tertinggi kasus BTA positif, kambuh, default dan gagal pengobatan. Tingginya angka kekambuhan, default dan kegagalan pengobatan di Jakarta Timur dikarenakan berbagai faktor antara lain kurangnya informasi yang didapat klien TB tentang penyakit yang dideritanya dan efek samping obat yang mungkin timbul setelah minum obat anti tuberkulosis seperti mual, pusing, muntah-muntah, mata kabur dan nyeri otot/ tulang yang menyebabkan ketidakpatuhan minum obat.
Bertitik tolak dari masalah diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti hubungan tingkat pengetahuan klien TB paru dengan kepatuhan minum obat anti tuberculosis di Puskesmas Makasar Jakarta Timur. Bahan Dan Metode Penelitian ini menggunakan desain analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Tujuan penelitian ini untuk menyelidiki hubungan tingkat pengetahuan klien TB Paru dengan kepatuhan minum OAT di Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur dari 4 mei 2014 - 24 mei 2014 sebanyak 43 responden. Penelitian dilakukan pada semua klien TB paru yang berobat di Puskesmas Kecamatan Makasar dan responden yang terpilih akan diikutkan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan sumber data primer dari klien TB paru dan data sekunder meliputi laporan penyakit TB paru di Puskesmas. Variabel yang diteliti ada penelitian ini yaitu tingkat pengetahuan dan kepatuhan minum obat TB. Hasil Hasil penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Kecamatan Makasar didapatkan hasil tentang karakteristik responden, tingkat pengetahuan dan tingkat kepatuhan minum obat. Tabel 1, Karakteristik Responden TB Paru Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan Dan Penghasilan Di Puskesmas Kecamatan Makasar Tahun 2014 (n=43) Variabel Usia Jenis
Kategori
Jumlah
(%)
Produktif
39
90.7
Tidak Produktif
4
9.3
Laki-laki
29
67.4
3
Variabel kelamin Pendidikan
Penghasilan
Kategori Perempuan Pendidikan dasar Pendidikan lanjutan < UMR (Rp 2.441.000) ≥ UMR (Rp 2.441.000)
Jumlah
(%)
14
32.6
38
88.4
5
11.6
24
55.8
19
44.2
Tabel 4, Hubungan Karakteristik Klien TB dengan Kepatuhan Minum OAT di Puskesmas Kecamatan Makasar Tahun 2014 (n=43)
Tabel 1, menjelaskan bahwa sebagian besar klien TB di Puskesmas Kecamatan Makasar berusia produktif (15-55 tahun) berjumlah 90.7%. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (67.4%), berpendidikan dasar (88.4%), memiliki penghasilan berpenghasilan ≥ Rp.2.441.000 (55.8%). Tabel 2, Tingkat Pengetahuan Klien TB di Puskesmas Kecamatan Makasar Tahun 2014 (n=43) Pengetahuan
Jumlah
(%)
Tinggi
28
65.1
Rendah
15
34.9
Total
43
100
Tabel ini menjelaskan bahwa klien TB yang berpengetahuan tinggi (65.1%) dan yang berpengetahuan rendah (34.9%). Tabel 3, Tingkat Kepatuhan Minum OAT Klien TB di Puskesmas Kecamatan Makasar Tahun 2014 (n=43) Kepatuhan
Jumlah
(%)
Patuh
29
67.4
Tidak patuh
14
32.6
Total
43
100
Tabel ini menjelaskan klien TB yang patuh minum OAT (67.4%) dan yang tidak patuh minum OAT (32.6%).
Pembahasan Tingkat pengetahuan klien TB paru tentang penyakit TB Penilaian terhadap pengetahuan responden berdasarkan atas kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit dan pengobatan TB. Pengetahuan klien tentang TB meliputi penyakit TB, tanda dan gejala TB, efek samping TB, pencegahan TB, diagnosis TB, dan pengobatan TB. Meningkatnya pengetahuan dapat menimbulkan perubahan persepsi dan kebiasaan seseorang. Pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo, 2003).
4
Berdasarkan jawaban responden diketahui bahwa Hasil analisa pengetahuan responden tentang TB menunjukkan 65.1% responden memiliki pengetahuan yang tinggi dan 34.9% berpengetahuan rendah tentang TB. Ini menunjukkan sebagian besar responden TB di Puskesmas Kecamatan Makasar sudah memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tinggi. Peneliti menganalisa bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan telah cukup efektif walaupun belum menunjukkan hasil yang optimal. Responden dengan tingkat pengetahuan yang rendah di Puskesmas Kecamatan Makasar menunjukkan sebanyak 34.9%. Perawat khususnya perawat komunitas berperan penting dalam mengatasi masalah ini. Peneliti menganalisa bahwa masalah ini dapat diatasi dengan memberikan informasi yang tepat tentang tuberkulosis, pencegahan, dan dampak ketidakpatuhan berobat ke pelayanan kesehatan. Pemberian informasi dapat diarahkan melalui pendidikan kesehatan klien TB, Pengawas Menelan Obat (PMO) dan kader, sehingga klien TB yang berpengetahuan rendah tidak menjadi sumber penularan bagi anggota keluarga maupun masyarakat. Responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang TB dapat diberikan motivasi untuk menyelesaikan pengobatan sampai tuntas. Tingkat kepatuhan minum obat klien TB paru Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 67.4% klien TB di Puskesmas Kecamatan Makasar patuh minum OAT. Sebesar 32.6% menunjukkan responden yang tidak patuh minum obat. Klien TB yang patuh menjalani pengobatan baik fase intensif maupun fase lanjutan selama 5-6 bulan pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian klien TB di Puskesmas Kecamatan
Makasar menjalankan proses pengobatan secara teratur. Peneliti mengamati salah satu faktor kepatuhan minum obat anti tuberkulosis adalah adanya dukungan dari PMO yang mengingatkan klien TB Paru untuk minum obat, adanya kerjasama dari puskesmas dengan RT dan RW setempat, kader yang aktif, dan kunjungan rumah yang dilakukan oleh petugas puskesmas. Pelayanan yang sudah baik dan terpadu terlihat bahwa saat klien TB tidak datang mengambil obat maka petugas kesehatan atau kader akan memberikan informasi kepada klien ataupun keluarga untuk segera mengambil obat ke puskesmas. Seluruh responden dalam penelitian ini memiliki PMO yang merupakan anggota keluarga. Hubungan tingkat pengetahun klien TB Paru dengan kepatuhan minum obat antituberkulosis Berdasarkan hasil analisis, proporsi respoden yang memiliki pengetahuan yang baik lebih banyak yang patuh dibandingkan yang tidak patuh. Hal ini berdasarkan hasil analisa bivariat pada penelitian ini bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan klien TB dengan kepatuhan minum OAT yang ditunjukan dengan hasil uji statistic p value = 0.048 (α=0.05). Nilai OR = 3.482 responden yang berpengetahuan baik mempunyai peluang patuh minum OAT sebesar 3.482 kali dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang. Hal ini dapat dilihat dari persentase responden dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki tingkat kepatuhan minum OAT yang tinggi sebesar 68.2% sedangkan responden berpengetahuan rendah mempunyai tingkat kepatuhan yang rendah yaitu 38.1%. Peneliti berasumsi bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi kemungkinan besar akan lebih memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada, sehingga informasi tentang
5
kesehatan akan mudah didapatkan. Tingginya pengetahuan seseorang terhadap penyakit akan mempengaruhi seseorang terhadap perilaku kesehatan. Seseorang yang berpengetahuan tinggi memiliki kesadaran diri yang tinggi akan kesehatan dan memiliki motivasi yang tinggi untuk sembuh. Penelitian ini sesuai dengan teori Notoatmojo (2010) bahwa tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan pada dasarnya akan dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap masalah tersebut. Dalam hal ini semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki klien TB maka semakin tinggi pula kepatuhan klien tersebut untuk melakukan pengobatan. Semakin rendah pengetahuan maka semakin tidak patuh klien TB untuk minum OAT.
1.
2.
3.
Kesimpulan Penelitian yang dilakukan terhadap klien TB Paru yang berobat di Puskesmas Kecamatan Makasar Jakarta Timur menggambarkan bahwa sebesar 65.1% klien TB Paru memiliki tingkat pengetahuan tinggi mengenai TB dan 34.9 % klien TB Paru memiliki tingkat pengetahuan rendah. Klien TB Paru yang patuh minum OAT sebanyak 67.4% dan klien TB Paru yang tidak patuh minum OAT sebanyak 32.6%. Berdasarkan analisa statistik menggunakan chi square dengan α=0.05 diperoleh p value 0.048 (α=0.05) bahwaterdapat hubungan antara tingkat pengetahuan klien TB dengan kepatuhan minum OAT. Nilai OR=3.482 yang berarti responden dengan tingkat pengetahuan tinggi mempunyai peluang patuh minum OAT 3.482 kali dibandingkan dengan responden dengan tingkat pengetahuan rendah. Saran
4.
5.
6.
Menyediakan jadwal penyuluhan di Puskesmas sehingga diharapkan masyarakat khususnya klien TB selain berobat juga mendapatkan informasi terkait penyakit TB dari perawat atau petugas kesehatan. Klien TB juga dapat membentuk kelompok diskusi dan berbagi pengalaman dengan klien TB lainnya atau klien TB yang sudah sembuh. Tersedianya media yang memadai dan menarik yang digunakan untuk melakukan pendidikan kesehatan sehingga diharapkan peserta yang mengikuti penyuluhan dapat dengan mudah menangkap informasi yang diberikan. Tersedianya perawat untuk melakukan penyuluhan dan melakukan kunjungan rumah sehingga dirasakan klien TB hal tersebut merupakan motivasi dan dan dukungan baik secara moril dan materil kepada klien TB agar membantu meningkatkan kepatuhan minum obat Memberikan informasi dan edukasi kepada klien mengenai TB, pentingnya keteraturan berobat dan pengawasan langsung oleh tenaga kesehatan, efek samping obat yang mungkin terjadi beserta pentingnya melanjutkan pengobatan meskipun terjadi efek samping obat. Pelatihan bagi perawat puskesmas dan kader-kader TB untuk meningkatkan pengetahuan TB, kemampuan menjaring suspek TB dan membantu meningkatkan kepatuhan minum obat klien TB Pelatihan bagi perawat dan kader-kader TB tentang bagaimana cara melakukan penyuluhan/ pendidikan kesehatan di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Apriani, R.M; Fasich; Athijah, U. (April, 2010). Analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan obat anti
6
tuberkulosis empat FDC (Fixed Dose Combination). Majalah farmasi Airlangga, 8 (1). 27 Mei 2014. http://ff.unair.ac.id/entryfile/mfajournal/mfa_V ol08_no1_artikel01.pdf Barclay, Elysa. (2009, January 3). Text message could hasten tuberculosis drug compliance. The Lancet, 373 (9657), 15-16. Juni 2, 2014. doi:10.1016/so140-6736(08)61938-8 http://www.thelancet.com/journals/lancet/article /PIIS0140673608619388/fulltext?eventId=login Borgroff, MW; Nagelkerke, N; Nunn P. (Februari, 2004).Gender and Tuberculosis; a comparison of prevalence survey with notification data to explore sex differences in case detection. Int tuberculosis lung Dis,4(2), 123-32. Juni 2, 2014. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10694090 Carpenito, Lynda Juall. (2002). Nursing diagnosis; Aplication to clinical practice, 9th ed. USA: Lippincott William & Wilkins Darmawan, A. 2002. Hubungan keberadaan pengawas menelan obat dengan keteraturan minum obat klien tuberkulosis Paru di Kabupaten Kerinci tahun 2002. Program Pascasarjana Study Ilmu Kesehatan Masyarakat UI, Depok, Tesis. Deasy, Dwi. (2010). Analisis perilaku klien TB tentang pencegahan TB dengan pendekatan teori health belief model di desa karangandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Universitas Airlangga: Skripsi Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta; Depkes RI DiMatteo, M.R., dan Martin, L.R. (2002). Health Psycology. Massachussetss: Allyn dan Bacon Erawatingsih, Erni; Purwanta; Subekti, Heru. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada klien Tuberkulosis paru. Berita Kedokteran Masyarakat, 25(3),
117-124. 14 Juni 2014. jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3558/304 Gatchel, R. J., Baum, A., Krantz., D. S. (1998). An Introduction to Health Psycology. Singapore: McGraw-Hill Kaona, F.A., Tuba, M., Siziya, S & Sikaona, L. (2004, December 29). An assessment of factors contributing to treatment adherence and knowledge of TB transmission among patient on TB treatment. BMC Public Health, doi:10.1186/1471-2458-4-68. 23 Maret 2014. http://www.biomedcentral.com/1471-2458/4/68 Kementrian Kesehatan RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Depkes RI Kementrian Kesehatan RI. (2012). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kemenkes RI Kementrian Kesehatan RI. (2012). Profil Pengendalian Penyakit dan Pemyehatan Lingkungan 2011. Jakarta; Depkes RI Nofizar, Dedi., nawas, Arifin., Burhan, Erlina. (2010, Desember). Identifikasi faktor risiko Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TBMDR). Majalah Kedokteran Indonesia, 60 (12), 537-545. 12 November 2013. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/id nmed/article/viewFile/917/914 Notoatmojo, Soekidjo. (2010). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta Tirtana, Berti. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada pasien tuberkulosis paru dengan resistensi obat tuberculosis diwilayah Jawa Tengah. Program Sarjana Fakultas Kedokteran Undip. Semarang. Skripsi Pasek, M.D., Suryani N., Murdani K.P., (2013). Hubungan persepsi dan tingkat pengetahuan klien tuberculosis dengan kepatuhan pengobatan di wilayah kerja puskesmas Buleleng 1. Jurnal Magister Kedokteran
7
Keluarga, Vol 1, No 1 (hal 14-23). http://jurnal.pasca.ins.ac.id Sihotang, Ruth. (2013). Gambaran Klien Tuberkulosis Paru yang berobat menggunakan DOTS di Puskesmas Bahu Malayang I Periode Januari-Desember 2012. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, 1 (1), 68-72. 10 Juni 2014. ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JKKT/article/.../ 2863 WHO. (2006). Tubekulosis, kegawatdaruratan global. 17 November 2013. www.tbcindonesia.or.id WHO. (2013). Global Tuberculosis Report 2013. France. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1 /9789241564656_eng.pdf WHO. (2012). Global Tuberculosis Report 2012. France. http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1 /9789241564656_eng.pdf Zumla, Alimuddin; Raviglione, Mario; Hafner, Richard; & Reyn, von Fordham. (2013, February 21). Tuberculosis. The new England Journal of Medicine, 363, 745-755. doi: 10.1056/NEJMra1200894. 17 November 2013. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1 200894