HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS DI WILAYAH CIPUTAT TAHUN 2014
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S. Kep)
Oleh: DESY FITRI MAULIDIA 1110104000030
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan judul
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS DI WILAYAH CIPUTAT TAHUN 2014 Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Disusun Oleh: Desy Fitri Maulidia NIM: 1110104000030
Pembimbing I
Pembimbing II
Nia Damiati, S.Kp., MSN NIP: 19790114 200501 2 007
Karyadi, PhD NIP: 19710903 200501 1 007
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi dengan Judul
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TUBERKULOSIS DI WILAYAH CIPUTAT TAHUN 2014 Telah disusun dan dipertahankan dihadapan tim penguji Desy Fitri Maulidia NIM: 1110104000030
Pembimbing I
Pembimbing II
Nia Damiati, S.Kp., MSN NIP: 19790114 200501 2 007
Karyadi, PhD NIP: 19710903 200501 1 007
Penguji I
Penguji II
Ernawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB NIP:19731106 200501 2 003
Karyadi, Ph.D NIP: 19710903 200501 1 007
Penguji III
Nia Damiati, S.Kp., MSN NIP: 19790114 200501 2 007
LEMBAR PENGESAHAN SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Ns. Waras Budi Utomo, SKp. MKM NIP: 19790520 200901 1 012
Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. DR. (hc) dr. M. Kamil Tajudin, Sp. And
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, Juli 2014
materai
Desy Fitri Maulidia
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Desy Fitri Maulidia
Tempat/Tanggal Lahir
: Pontianak, 21 Agustus 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
Alamat
: Parit Bunga Baru Desa Madusari RT 002/RW 001 Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat
Telepon
: 085772475953
Email
:
[email protected] [email protected]
Riwayat Pendidikan 1. 2. 3. 4.
:
1998-2004 : MI Miftahul Huda 2004-2007 : MTs Miftahul Huda 2007-2010 : SMA Darul „Ulum 2 BPPT Jombang 2010-2014 : S-1 Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Halaman Persembahan Bagai sebuah gelas kosong, aku datang ke dunia baru ini, Bagai bayi yang baru lahir aku hadir ditengah-tengah orang hebat, Kurang dari sedikit bekal aku bawa, sebagai bekal modal awal aku meminta ilmu yang lebih pada guruku. Kini aku tau apa yang tak aku tau Aku mengerti apa yang tak ku mengerti Dan aku memahami apa yang aku tidak pahami Karena tanpamu apa jadinya aku Satu keyakinanku, guruku takkan membiarkanku sama seperti aku dulu. Satu keyakinanku, ridho’ doa orang tuaku takkan putus kepadaku. Hanya Terima kasih yang bisa aku berikan teruntuk orang tuaku dan guruku.
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES SCHOOL OF NURSING OF STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Undergraduated Thesis, July 2014 Desy Fitri Maulidia, NIM: 1110104000030 Relationship between Family Support and Medication Adherence in Tuberculosis Sufferers in Ciputat Area Year 2014 xvii + 80 pages + 9 Tables + 4 Charts + 1 image + 6 Attachments
ABSTRACT Introduction: High number of tuberculosis (TB) cases and low number of medication achievement which one of cause is drop out makes the treatment longer. Besides, the number of Multi Drug Resistance (MDR) and complication of TB will high. Methods: This quantitative cross sectional study was taken from 69 respondent by total sampling at two health centers under the Department of Health South Tangerang in June 2014. The data was collected through two questionnaires, they are Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) and family support questionnaire. Analyze: Analyze was used univariate and Chi Square test for bivariate. Result: Persentage of respondents with good family support are 60.9%, respondents with bad family support are 39.1%. Persentage of respondents with good medication adherence are 73.9%, and bad medication adherence are 26.1%. The data result obtained p value = 0.00 which is less than 0.05. Discussion: there is significant relationship between the variables of family support to variable medication adherence. However, involving the family within the treatment is best recommend on medication treatment. Keyword: Family Support, Medication Adherence, Tuberculosis Reference: 72 (year 2003-2013)
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juli 2014 Desy Fitri Maulidia, NIM: 1110104000030 Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014 xii + 80 halaman + 9 Tabel + 4 bagan + 1 gambar + 6 lampiran
ABSTRAK Latar Belakang: Tingginya kasus tuberkulosis (TB) dan rendahnya angka capaian pengobatan yang salah satunya diakibatkan putus obat menyebabkan pengobatan memakan waktu yang lebih lama. Selain itu, dapat menyebabkan tingginya kasus Multi Drug Resistance (MDR) dan komplikasi lebih lanjut. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif cross sectional pada 69 responden dengan teknik total sampling di dua Puskesmas dibawah Dinas Kesehatan Tangerang Selatan pada bulan Juni 2014. Pengumpulan data menggunakan dua instrumen, yaitu kuesioner kepatuhan Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) dan kuesioner dukungan keluarga. Analisis: Analisis data menggunakan analisis univariat dan uji Chi Square pada analisis bivariat. Hasil: Persentase responden yang memiliki dukungan baik sebesar 60,9%, dukungan buruk sebesar 39,1%. Persentase responden yang patuh sebesar 73,9%, dan tidak patuh sebesar 26,1%. Hasil uji Chi Square didapatkan nilai p value = 0,00 yakni lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan: hitungan statistik bermakna atau ada hubungan antara variabel dukungan keluarga terhadap variabel kepatuhan minum obat. Sehingga disarankan untuk melibatkan keluarga dalam pengobatan. Kata kunci: Dukungan Keluarga, Kepatuhan Minum Obat, Tuberkulosis Daftar Bacaan: 72 (tahun 2003-2013)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil‟alamin, puji syukur Kehadirat Allah Azza wa Jalla atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014” ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kesulitan namun berkat pertolongan dari Allah SWT serta bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak sehingga kesulitan tersebut dapat diatasi. Untuk itu, tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. (hc) dr. M. Kamil Tajudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S. Kep., MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Nia Damiati, S.Kp., MSN selaku dosen pembimbing I dan Bapak Karyadi, PhD selaku dosen pembimbing II, yang telah bersedia membimbing penulis serta sabar, tekun, tulus, ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Ibu Ns. Uswatun Khasanah, MNS selaku dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberi arahan dari awal perkuliahan hingga saat ini.
5. Seluruh dosen dan
staff
akademik
yang
telah membantu
penulis
menyelesaikan skripsi ini. 6. Abah (H. Abd. Qodir Albas) dan Umi (Sya‟diah Saiman), Yu Lail, Yu Ubai, Icha, dan Ari yang selalu memberi dukungan meski jarak memisahkan kami. 7. Masyayikh Pondok Pesantren Darul „Ulum yang mengajarkan penulis tentang dunia dan setelahnya. 8. Kementrian Agama yang sudah memberi saya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di tingkat perguruan tinggi hingga akhir masa studi. 9. Teman CSS PTN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta baik pengurus maupun anggota yang mendampingi penulis selama masa perkuliahan. Teman CSS Nasional baik pengurus maupun anggota yang menjadi keluarga besar penulis di CSS. Sahabat-sahabat PMII yang mengenalkan penulis tentang arti sebuah perjuangan. 10. Unconditional friendship “My (Fidah, Fitri, Naila dan Nina) Rainbow” yang selalu menyemangati serta menemani penulis dalam suka dan duka. Neighbourhood kost Nok Adel dan Mamih Alif yang mendorong penulis untuk selalu bangkit. Teman-teman PSIK angkatan 2010 yang selalu memberi semangat dengan jargon “compaq”nya. 11. Seluruh pihak yang telah mendukung kelancaran skripsi ini hingga selesai. Ciputat, Juli 2014 Penulis
DAFTAR ISI COVER............................................................................................. . LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................. LEMBAR PENGESAHAN ............................................................. LEMBAR PENGESAHAN ............................................................. LEMBAR PERNYATAAN ............................................................. RIWAYAT HIDUP ......................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................... ABSTRACT ...................................................................................... ABSTRAK ......................................................................................... KATA PENGANTAR....................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................ DAFTAR BAGAN ........................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................ DAFTAR LAMPIRAN..................................................................... BAB I : PENDAHULUAN............................................................ A. Latar Belakang ................................................. B. Rumusan Masalah ................................................ C. Tujuan Penelitian ................................................ 1. Tujuan Umum ................................................ 2. Tujuan Khusus ................................................ D. Manfaat Penelitian ................................................ BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ................................................ A. Tuberkulosis ............................................................ 1. Pengertian Tuberkulosis .................................... 2. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis ............ 3. Patofisiologi Tuberkulosis.................................... 4. Pengobatan Tuberkulosis .................................... B. Keluarga .................................................................... 1. Pengertian Keluarga.............................................. 2. Fungsi Keluarga ................................................ 3. Dukungan Keluarga.............................................. C. Kepatuhan ............................................................ 1. Pengertian Patuh ................................................ 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan.... D. Kerangka Teori......................................................... E. Penelitian Terkait ..................................................... BAB III : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL ............................................................ A. Kerangka Konsep .................................................... B. Hipotesis .................................................................... C. Definisi Operasional ................................................ BAB IV : METODE PENELITIAN .............................................. A. Desain Penelitian ......................................................
i ii iii iv v vi vii viii ix x xii xiv xv xvi xvii 1 1 8 10 10 10 10 12 13 13 15 17 20 27 27 30 31 34 34 36 41 43 45 45 45 46 49 49
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................. C. Populasi dan Sampel ................................................ 1. Populasi ................................................................ 2. Sampel .................................................................. D. Pengumpulan Data ................................................ E. Alat Pengumpulan Data .......................................... F. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian .................................................................. G. Pengolahan Data ...................................................... H. Analisis Data Statistik ............................................. I. Etika Penelitian ........................................................ BAB V : HASIL PENELITIAN .................................................. A. Gambaran Umum Populasi ................................... B. Analisis Univariat ................................................... 1. Data Demografi .................................................. 2. Tabulasi Silang Variabel Demografi dengan Kepatuhan ........................................................... 3. Variabel Dependen dan Independen ................... C. Analisis Bivariat ...................................................... 1. Tabulasi Silang Variabel Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan ............................................ BAB VI : PEMBAHASAN ............................................................. A. Analisis Data Demografi ........................................ 1. Gambaran Jenis Kelamin terhadap Kepatuhan ......................................................... 2. Gambaran Usia terhadap Kepatuhan .................. 3. Gambaran Pekerjaan terhadap Kepatuhan ......... 4. Gambaran Pendidikan Terakhir terhadap Kepatuhan ........................................................... B. Analisis Variabel Dependen dan Independen ...... 1. Gambaran Dukungan Keluarga Penderita Tuberkulosis ....................................................... 2. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis ....................................................... C. Analisis Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat .......................... D. Keterbatasan Penelitian ......................................... BAB VII : KESIMPULAN DAN SARAN ..................................... A. Kesimpulan .............................................................. B. Saran ........................................................................ DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... LAMPIRAN
49 49 49 50 51 51 52 54 55 56 58 58 59 59 61 62 63 63 65 65 65 66 67 68 68 68 70 71 72 73 73 74 75
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 3.1 Tabel 5.1
Sistem Klasifikasi TB ........................................................ Farmakoterapi yang umum digunakan pada pasien TB .... Panduan 2 OAT Kategori 1 ............................................... Panduan 2 OAT Kategori 1 ............................................... Definisi Operasional .......................................................... Distribusi Frekuensi Responden Menurut Data Demografi di Wilayah Ciputat Juni 2014 ............................................ Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Demografi dengan Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni 2014 ........................................................................... Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Sampel Menurut Dukungan dan Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni 2014 ................................................................................... Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni 2014 ...............................................................
14 22 23 23 47 59
61
63
64
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Patoflow patofisiologi Tuberkulosis .................................. Bagan 2.2 5 dimensi interaksi ketidakpatuahan ................................. Bagan 2.3 Kerangka Teori ............................................................. Bagan 3.1 Kerangka konsep .............................................................
20 38 42 45
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Paket OAT KDT/FDC ...................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1: Surat izin penelitian Lampiran 2: Informed Consent Lampiran 3: Kuesioner Dukungan Keluarga Lampiran 4: Kuesioner Kepatuhan Lampiran 5: Hasil uji validitas dan reliabilitas Lampiran 6: Hasil analisis penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. TB juga terbagi atas dua macam yakni TB paru dan TB ekstra paru (Ormerod dalam Gough, 2011). Peningkatan insiden TB diketahui sebanyak 2 milyar orang (1/3 populasi di dunia) dan kejadian kasus baru TB didunia sebanyak 8,6 juta (Lewis dkk, 2007). Pada tahun 1999, World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB dengan kematian karena TB sekitar 140.000. Di Amerika, ras Asia memiliki angka TB paling tinggi dibanding ras lainnya yakni 29,3% (Centers for Disease Control in US dalam Lewis dkk, 2007). Selain itu, penyakit TB juga menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah. Semenjak tahun 2000, TB dinyatakan oleh WHO sebagai reemergencing disease, karena angka kejadian TB yang telah dinyatakan menurun pada tahun 1990-an kembali meningkat. Sebagaimana telah dilaporkan dalam laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, bahwa angka insidensi TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. Sedangkan angka capaian kasus yang ditetapkan dalam Millenium Development Goal‟s (MDG‟s) ialah sebesar 222 kasus /100.000 penduduk. Demikian pula dengan dengan Indonesia, dimana angka insiden TB pada tahun 2011 masih mencapai
1
2
angka dibawah standar MDG‟s yakni sebesar 289 kasus /100.000 penduduk, sebagaimana dalam laporan internasional menyatakan pula bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TB terbesar ketiga setelah Cina dan India (Muttaqin, 2007). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, penyakit TB paru di Indonesia merupakan penyebab kematian nomor dua terbesar setelah penyakit jantung. Sebagian besar penderita TB paru berasal dari kelompok masyarakat usia produktif dan berpenghasilan rendah (Muttaqin, 2007). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB adalah penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi pada semua kelompok usia. Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru menurut Riskesdas (2013) oleh tenaga kesehatan adalah 0,4%, tidak berbeda dengan 2007 Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua (0,6%), DKI Jakarta (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%) dan Papua Barat (0,4%). Meskipun begitu harapan untuk hidup bisa diperkirakan sebanyak 22 juta sejak tahun 1995 hingga 2012 (WHO, 2013). Ini terjadi dikarenakan manajemen pengobatan yang baik. Penanggulangan di Indonesia dalam memecahkan masalah ini, yakni dengan melakukan pembagian obat anti tuberkulosis (OAT) secara cumacuma hanya saja terdapat beberapa masalah yang dijumpai seperti kesulitan penemuan penderita TB paru BTA (+), drop out pengobatan dan ketidakteraturan berobat. Apabila masalah-masalah ini tidak teratasi, maka penderita tersebut akan terus menjadi sumber penularan (Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis
Indonesia,
2012).
Sedangkan
panduan
3
pengobatan TB dari WHO menyatakan bahwa untuk pengobatan efektif dan terapuetik dibutuhkan waktu selama 6 bulan (dengan syarat tertentu) dimana tidak diperbolehkan ada kelalaian saat menjalani pengobatan tersebut (WHO, 2013). Berdasarkan data dari Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIMKMI) tahun 2009, angka capaian Indonesia dalam pemberian obat ialah sebesar 91%, namun angka temuan kasus baru sekitar 71%, maka pada tahun 2012 angka capaian pengobatan menurun menjadi 87% dengan temuan kasus baru 40,47% (Departemen Kesehatan, 2013). Ini menandakan bahwa Indonesia bisa melakukan pengobatan namun masih kurang terhadap controlling. Salah satu tantangan dalam pengobatan ini ialah kurang patuhnya penderita dalam minum obat itu sendiri akibatnya angka Multi Drug Resistance akan semakin tinggi (BIMKMI, 2012). Angka capaian pengobatan yang lengkap dan sembuh di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 6,6%, sedangkan di Banten yang merupakan provinsi yang membawahi cakupan populasi peneliti sebesar 6,1% (Kemenkes RI, 2012). Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa hampir setengahnya dari responden patuh (37,3%) menjalani pengobatan TB baik fase intensif maupun fase lanjutan, sedangkan sebagian besar responden (62,7%) tidak patuh menjalani pengobatan TB (Nursiswati, 2013). Sejalan dengan Drug resistant survey (DRS) TB yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah tahun 2006 menunjukkan bahwa estimasi TB Multi Drug Resistance (MDR) diantara kasus TB Baru sebesar 1,8% dan pada kasus pengobatan ulang sebesar 17,1%.
4
Hasil sementara DRS yang sedang berjalan di Provinsi Jawa Timur juga menunjukkan hasil yang mendekati. Pengobatan yang tidak teratur atau kelalaian dalam mengkonsumsi obat, pemakaian OAT yang tidak atau kurang tepat, maupun pengobatan yang terputus dapat mengakibatkan resistensi bakteri terhadap obat. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu pun, juga diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR). Hal ini yang harus dicegah dan ditanggulangi di Indonesia. Besarnya masalah resistensi terhadap obat TB dan permasalahan multidrug-resistant tuberculosis tuberculosis (MDR-TB) hingga saat ini masih tercatat pada level tertinggi. Fakta tersebut mengacu pada laporan terbaru dari World Health Organization (WHO) yang menampilkan temuan tersebut berdasarkan survey mengenai resistensi terhadap obat TB. Demikian seperti dikuti dari situs resmi badan kesehatan dunia tersebut. Laporan Anti-Tuberculosis Drug Resistance in the World, didasarkan pada informasi yang dikumpulkan antara tahun 2002-2006 pada 90.000 penderita TB di 81 negara. Laporan tersebut juga menemukan bahwa extensively drugresistant tuberculosis (XDR-TB), salah satu yang hampir tidak dapat diobati dari penyakit saluran pernapasan, telah tercatat di 45 negara. TB MDR adalah kasus TB yang sudah resisten terhadap 2 komponen obat utama TB lini pertama yaitu Rifampicin dan Isoniazid, sedangkan TB XDR adalah kasus TB yang sudah resisten MDR ditambah resisten terhadap 1 atau lebih obat TB lini kedua. Pengobatan TB MDR menggunakan obat TB lini
5
kedua yang penggunaannya diawasi oleh WHO dengan ketat selama 18-24 bulan. Estimasi jumlah penderita TB MDR kasus baru dan pengobatan ulang adalah 6100 (WHO, 2013). Indonesia menempati urutan ke 16 diantara 22 negara yang mempunyai beban tinggi untuk MDR TB, sedikitnya sudah ada ditemukan 8 kasus TB XDR di Indonesia (WHO, 2013). Komplikasi tuberkulosis yang serius dan meluas saat ini adalah berkembanganya basil tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai kombinasi obat yang dapat menyebabkan keparahan bahkan tuberkulosis ekstra paru seperti efusi pleura, TB perikarditis, pneumotorax, TB meningitis, TB spodilitis, TB pencernaan, dan TB saluran kemih (Mbata, 2013). Sehingga siapapun yang terpajan dengan galur basil ini, juga dapat menderita TB resisten multi-obat, yang dalam beberapa tahun dapat mengakibatkan morbiditas bahkan kematian. Jika sudah demikian, akan memerlukan terapi yang lebih banyak dan mahal dengan kecenderungan mengalami kegagalan (Corwin, 2008). Resistensi terhadap obat dikarenakan perilaku penderita yang tidak patuh saat pengobatan. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut ialah adanya dukungan dari lingkungan termasuk sosial dan tenaga kesehatan sebagai penyampai informasi kepada penderita (WHO, 2003). Perawat sebagai tenaga kesehatan amat berperan saat menjelaskan pada klien tentang pentingnya berobat secara teratur sesuai dengan jadwal sampai sembuh. Selain usaha pencegahan dan menemukan penderita secara aktif-pun seharusnya juga perlu lebih ditingkatkan dalam rangka memutuskan rantai penularan (Muttaqin, 2007).
6
Penelitian oleh Ahsan dkk., tahun 2012 menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan pada penderita dengan penyakit kronik ialah adanya dukungan keluarga yang baik. Dukungan keluarga sangat diperlukan terutama pada penderita TB yang juga merupakan penyakit kronik dan mengharuskan ia mengkonsumsi obat dengan jangka waktu yang lama, karena keluarga merupakan lini pertama bagi penderita apabila mendapatkan masalah kesehatan atau meningkat kesehatan itu sendiri. Merupakan salah satu fungsi keluarga untuk mendukung anggota keluarga yang sakit dengan berbagai cara, seperti memberi dukungan dalam mengkonsumsi obat (Plos Medicine, 2007). Begitu pula penelitian oleh Warsito (2009) yang mengatakan bahwa dukungan keluarga berpengaruh pada kepatuhan minum obat pada pasien TB dalam fase intensif. Berbeda dengan penelitian kali ini dimana kedua fase, baik intensif maupun lanjutan akan dilihat bagaimana tingkat kepatuhannya. Kecenderungan penderita untuk bosan dan putus obat saat pengobatan karena sudah memakan waktu lama merupakan salah satu faktor ketidakpatuhan itu sendiri. Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak, sanak keluarga, teman, tim kesehatan, atasan, dan konselor. Beberapa pendapat mengatakan kedekatan dalam hubungan merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting (Rodin dan Salovey dalam Smet dalam Nursalam, 2007).
7
Secara fungsional dukungan sosial mencakup dukungan emosional dengan mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi nasihat atau informasi, dan pemberi bantuan material (Ritter dalam Smet dalam Nursalam, 2007). Dukungan sosial juga terdiri atas pemberian informasi baik dengan memberi nasihat verbal dan atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima (Gottlieb dalam Smet dalam Nursalam, 2007) Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan dengan menggunakan pengambilan data primer dengan cara deep interview di Puskesmas Ciputat Timur didapatkan bahwa dari 4 orang yang sedang menjalani pengobatan kategori 1, 1 diantaranya sadar akan pentingnya patuh, dan 3 lainnya cenderung untuk tidak patuh. Kemudian 2 dari 3 yang memiliki kecendrungan tidak patuh, memiliki dukungan keluarga yang kurang baik, 1 lainnya memiliki dukungan keluiarga yang baik. Salah satu alasan penderita untuk tidak patuh ialah bahwa penderita yang meski tinggal dengan suami sebagai keluarga terdekatnya, kurang memberikan dukungan dalam hal pengobatan sehingga kekonsistenan penderita dalam mengkonsumsi obat dalam sehari tidak terkontrol. Ini menandakan bahwa masih banyak penderita yang tidak patuh terhadap pengobatan TB, meskipun sudah dicanangkan secara nasional dan cuma-cuma. Pada penelitian Glick et. al (2011), dari 10 penderita yang tidak memiliki keluarga tidak ada yang berhasil dalam pengobatannya dibandingkan dengan penderita yang memiliki keluarga, artinya secara tidak langsung keberadaan
8
keluarga menjadi sangat diperlukan bagi penderita yang dengan pengobatan jangka lama. Namun yang menjadi konsen peneliti ialah apakah keluarga benar-benar mendukung proses pengobatan penderita baik yang sedang dalam fase intensif maupun fase lanjutan, kategori 1 maupun kategori 2 sehingga tidak hanya keberadaan keluarga yang dilihat, namun dukungan serta kepedulian keluarga akan menjadi salah satu pertimbangan saat penderita akan memulai rencana pengobatan. Beradasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin meneliti pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum OAT pada penderita TB dengan judul “Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis di Wilayah Ciputat Tahun 2014”.
B. Rumusan Masalah Angka insiden TB pada tahun 2011 sebesar 289 kasus /100.000 penduduk, angka ini masih mencapai angka dibawah standar MDG‟s yakni 222 kasus /100.000, sebagaimana dalam laporan internasional menyatakan pula bahwa Indonesia merupakan penyumbang kasus TB terbesar ketiga setelah Cina dan India (Muttaqin, 2007). Hasil Riskesdas (2013) menyatakan prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru adalah 0.4%, begitupula hasil Riskesdas tahun 2007 bahwa Banten memilik prevalensi penduduk dengan TB sebesar 0.4%. Sedangkan capaian pengobatan yang lengkap dan sembuh di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 6,6%, wilayah Banten yang merupakan provinsi yang membawahi cakupan populasi peneliti hanya sebesar 6,1% (Kemenkes RI, 2012).
9
Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu pun, juga diduga telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR). Hal ini yang harus dicegah dan ditanggulangi di Indonesia. Dengan terjadinya MDR, basil tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai kombinasi obat yang dapat menyebabkan keparahan bahkan tuberkulosis ekstra paru seperti efusi pleura, tuberkulsis perikarditis, pneumotorax, TB meningitis, TB spodilitis, TB pencernaan, dan TB saluran kemih (Mbata, 2013). Hasil dari studi pendahuluan menyimpulkan bahwa dari 3 penderita dengan kecendrungan tidak patuh, 1 memiliki dukungan keluarga yang baik dan 2 lainnya memiliki dukungan yang kurang baik. Hal ini mencerminkan bahwa dukungan dapat mempengaruhi kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan jangka panjang. Dari paparan tersebut didapatkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran demografi jenis kelamin, usia, pekerjaan dan pendidikan terakhir penderita TB di wilayah Ciputat? 2. Berapa perbandingan penderita yang patuh dan tidak patuh dalam menjalani pengobatan? 3. Bagaimana gambaran dukungan keluarga terhadap penderita TB di wilayah Ciputat? 4. Apakah ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB?
10
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan minum obat anti TB pada penderita TB. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi demografi jenis kelamin, usia, pekerjaan dan pendidikan terakhir penderita TB di wilayah Ciputat. b. Mengidentifikasi perbandingan penderita yang patuh dan tidak patuh dalam menjalani program pengobatan. c. Mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga terhadap penderita TB di wilayah Ciputat. d. Mengidentifikasi hubungan antara dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan pengobatan penderita TB
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Perawat Memberikan informasi pentingnya dukungan keluarga terhadap kepatuhan pengobatan. Meningkatkan peran perawat khususnya dalam meningkatkan kepatuhan penderita yang dapat digunakan untuk panduan dalam upaya pencegahan penderita kambuh dengan memberikan konseling kepada keluarga sehingga mengetahui cara merawat keluarga mereka yang mengalami Tuberkulosis.
11
2. Bagi Puskesmas Sebagai masukan dalam penyusunan program khususnya penderita kambuh terkait dengan pengoptimalan peran keluarga dalam merawat keluarga yang sakit dalam upaya penanggulangan TB. 3. Bagi Penderita dan Keluarga Sebagai saran dan gambaran kepada penderita tentang pentingnya kepatuhan
dalam
memberitahukan
program keluarga,
pengobatan bahwa
jangka
dukungan
yang
panjang.
Serta
positif
dapat
meningkatkan kepatuhan penderita sehingga tujuan pengobatan dapat tercapai. 4. Bagi Penelitian Selanjutnya Dapat dijadikan sebagai data dasar bagi peniliti lain untuk kepentingan pengembangan ilmu berkaitan dengan kepatuhan minum obat pada penderita TB.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh agen infektif spesifik (organisme dan mikro-organisme) serta manifestasi kliniknya merupakan karakteristik penyakit tertentu. Penyakit ini dapat menular baik langsung maupun tidak langsung dari satu orang ke orang lain atau dari hewan ke orang (Van Den Berg dan M. J. Viljoen, 2007). Selain merupakan penyakit menular, TB juga digolongkan sebagai penyakit kronik karena jangka waktu yang diperlukan untuk sembuh dengan pengobatan secara farmako membutuhkan waktu minimal 6 bulan (WHO, 2013). Ketidakpatuhan terhadap pengobatan penyakit kronik memberikan dampak negatif baik secara klinis maupun finansial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pengobatan merupakan penyebab utama terjadinya hospitalisasi, morbiditas dan mortalitas di berbagai populasi dan penyakit (Botelho, RJ, Fam Pract, 1992; Wu, DK, Chung, Lennie, 2008 dalam Scheurer, 2010). Beberapa penelitian dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, namun hanya beberapa yang efektif. Salah satunya dukungan sosial yang memiliki hubungan dalam meningkatkan status kesehatan salah satunya kepatuhan pengobatan (Centers of Disease Control’s Noon Conference, 2013). Salah satu dukungan sosial ialah dukungan keluarga, dimana hal tersebut menjadi fokus penelitian pada kali ini.
12
13
A. Tuberkulosis 1. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) merupakan airborne infection yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, pada umumnya menyerang bagian paru dengan cara penularannya secara inhalasi/droplet (yaitu pada saat orang yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, bernyanyi atau bernafas) serta ditandai oleh beberapa gejala saat fase aktif (Centers of Disease Control’s Noon Conference, Javis dalam McLafferty, 2013; Gough, 2011; Gordon dan Mwandumba dalam Mc Lafferty, 2013; WHO, 2013). Gejala yang timbul pada penderita TB pada saat bakteri tersebut aktif, dimana pada orang yang sehat (memiliki sistem imun yang baik) infeksi Mycobacterium tuberculosis tidak menimbulkan gelaja apapun, namun pada orang yang positif terinfeksi TB paru biasanya ditandai dengan batuk (disertai sputum atau darah), haemoptosis, susah nafas, letargi, malaise, nyeri dada, kelemahan, hilang berat badan, demam dan berkeringat di malam hari (WHO, 2013; Health Protection Agency dalam Gough, 2011). Apabila terdapat gejala tersebut pada satu penderita yang mengindikasikan TB, maka dapat dilakukan pemeriksaan X-Ray dan kultur sputum (Jarvis dalam McLafferty, 2013). Penyakit tuberkulosis dapat menyerang manusia mulai dari usia anak sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara lakilaki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada penderita yang tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari kedalam rumah sangat minim. Tuberkulosis
14
pada anak dapat terjadi di usia berapa pun, namun, usia paling umum adalah antara 1-4 tahun. Angka kejadian (prevalensi) TB paru-paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja dimana TB paru-paru menyerupai kasus pada penderita dewasa (sering disertai kavitas pada paru-paru) (Somantri, 2007). Terdapat 2 jenis penderita dengan TB: 1) Penderita dengan infeksi TB namun tidak ada tanda dan gejala yang muncul, dikarenakan bakteri belum aktif (dorman) biasa disebut masa laten. 2) Penderita yang terinfeksi dan sakit, ditandai dengan adanya tanda dan gejala yang muncul dikarenakan bakteri sudah aktif menyerang (CDC, 2012; Gough, 2011). Secara terperinci klasifikasi TB ditampilkan pada tabel 2.1 berikut. Tabel 2.1: Sistem Klasifikasi TB (CDC, 2000 dalam Price dan Lorraine, 2005) Kelas Tipe Keterangan 0 Tidak ada pajanan TB Tidak ada riwayat terpajan Tidak terinfeksi Reaksi terhadap tes kulit tuberkulin negatif 1 Terpajan TB Riwayat terpajan Tidak ada bukti infeksi Reaksi tes kulit tuberkulin negatif 2 Ada infeksi TB Reaksi tes kulit tuberkulin positif Tidak timbul penyakit Pemeriksaan bakteri negatif (bila dilakukan). Tidak ada bukti klinis, bakteriologik, atau radiografik TB aktif 3 TB, aktif secara klinis Biakan M. Tuberculosis (bila dilakukan) Sekarang terdapat bukti klinis bakteriologik, atau radiografik penyakit 4 TB, tidak aktif secara klinis Riwayat episode TB, atau Ditemukan radiografi yang abnormal atau tidak berubah; reaksi tes kulit tuberkulin positif; dan Tidak ada bukti klinis atau radiografik penyakit sekarang
15
Kelas Tipe 5 Tersangka TB
Keterangan Diagnosa ditunda; pasien seharusnya tidak boleh berada di kelas ini lebih dari 3 bulan
2. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis Hiswani dalam Sahat (2010) mengatakan pada penelitiannya bahwa keterpaparan penyakit TB pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya. a. Faktor Sosial Ekonomi Faktor ini sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan. b. Status Gizi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. c. Umur Penyakit TB paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun. Terjadinya transisi demografi saat ini
16
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB. Penyebab penyakit pada lanjut usia (lansia) pada umumnya berasal dari dalam tubuh (endogen), sedangkan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh (eksogen). Hal ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan fungsi dari berbagai organ-organ tubuh akibat kerusakan sel-sel karena proses menua, sehingaa prodeksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan untuk kekebalan tubuh menjadi berkurang. Dengan demikian, lansia akan lebih mudah terkena infeksi. Sering pula, penyakit dari satu jenis (multipalogi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling berkaitan dan memperberat (Maryam, R.S dkk., 2008). d. Jenis Kelamin Penderita TB cenderung lebih, tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru. Public Health Agency of Canada (2010) menyatakan bahwa selain faktor diatas, gaya hidup merokok juga dapat memperparah penyakit TB dikarenakan asap rokok dapat menyerang paru-paru dalam 3 cara: 1) Asap rokok merusak paru-paru dan dapat membuat perokok lebih rentan terhadap infeksi TB.
17
2) Asap rokok merusak sistem imun tubuh, yang berarti perokok kurang mampu melawan infeksi TB. 3) Asap rokok mengurangi efektifitas pengobatan TB yang dapat memperlama periode infeksi atau memperparah infeksi. Curry (2007), menyebutkan bahwa dalam mengendalikan infeksi TB diperlukan pula pengendalian lingkungan, dengan beberapa anjuran yaitu: (a) Menggunakan ventilasi untuk mengurangi risiko penyebaran TB. (b) Ventilasi alami dan kipas angin. (c) Menggunakan aliran udara mengarah keluar untuk mengurangi risiko penyebaran TB. (d) Sistem ventilasi pusat. (e) Menggunakan tekanan negatif untuk mengurangi risiko penyebaran TB. (f) Menggunakan Ultraviolet Germicidal Irradiation (UVGI) untuk mengurangi risiko penyebaran TB; dan (g) Upper Air UVGI And High-effi ciency Particulate Air (HEPA) Filter Units.
3. Patofisiologi Tuberkulosis Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh sekelompok bakteri yang disebut Mycobacterium. Mikobakteria yang menyebabkan TB pada manusia adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan Mycobacterium africanum. TB dapat menyerang bagian tubuh manapun. Jika menyerang sisi tubuh, termasuk paru-paru, maka disebut TB milier (Ormerod dalam Gough, 2011). Sedangkan TB yang menyerang selain paru disebut TB extra-pulmonal. TB pulmonal ditemukan hampir 60% dari kasus penyakit (Departement of Health dalam Gough, 2011) dan
18
penularannya karena transmisi infeksi (Gordon and Mwandumba dalam Gough, 2011). Mycobacterium tuberculosis merupakan mikobakteria kecil tidak berspora, bentuk batang (agak cembung) yang disebut basil, organisme gram positif asam, yang memiliki dinding sel kaya lipid (Grange dalam Gough, 2011). Merupakan organisme aerob, sehingga lebih suka menyerang
paru-paru
(Pratt
2003
dalam Gough,
2011).
Selain
mikobakteria di atas, ada mikobakteria yang tidak dapat menyebabkan TB. Mikobakteria ini terdapat di tanah, air, debu, dan binatang. Namun dapat menyebabkan keparahan jika ada kerusakan paru sebelumnya karena mengalami immunocompremise seperti HIV (Banks and Campbell dalam Gough, 2011). Ketika basil masuk kedalam alveoli akan ada reaksi inflamasi lokal dan fokus primer infeksi. Perpaduan keduanya ini disebut Ghon, dimana selanjutnya akan berkembang menjadi granuloma dan isi penuh dengan mikobakteria (Schwander and Ellner dalam Gough, 2011). Peradangan ini jika terus-menerus terjadi maka akan terjadi pneumonia akut yang selanjutnya akan berkembang menjadi infeksi tuberkulosis yang ditandai gejala umum pada TB (Sylvia, 2005). Selama infeksi primer beberapa bakteri melewati nodus limfe regional pada hilum, yang merupakan tempat pembuluh darah dan syaraf menuju paru-paru. Dari sinilah yang nantinya akan menjadi asal terjadinya TB sekunder atau TB ekstra paru-paru. Secara kolektif, nodus limfe yang membesar dan Ghon disebut kompleks primer (Pratt dalam Gough, 2011). Pembentukan granuloma merupakan
19
mekanisme pertahanan alami dari tubuh yang bertujuan untuk mengisolasi infeksi. Sehingga lingkungan seperti ini diharapkan akan menghambat replikasi basilus dan menghentikan infeksi (Lucas dalam Gough, 2011). Infeksi primer pada penderita dewasa imunokompeten yaitu penderita dengan imunitas host yang tinggi, mikobakteria terbunuh atau tidak dapat bereplikasi (Gordon and Mwandumba dalam Gough, 2011). Sehingga mayoritas orang yang terserang TB tidak akan mengalami tanda dan gejala, 70% orang yang imunokompeten dapat membasmi basil keseluruhan. Sedangkan sisa bakteri yang masih ada disebut sebagai infeksi TB laten dimana bakteri tidak terbunuh, tetapi mengalami dormansi. Namun, 5-10% penderita dengan TB laten dapat menjadi aktif kembali (Health Protection Agency dalam Gough, 2011). Individu dengan infeksi TB laten tidak terlihat sakit dan terinfeksi. Namun jika bakteri mulai mengganda selama beberapa bulan atau tahun kemudian, maka dapat menjadi aktif dan gejala sakit serta infeksi mulai terlihat (National Institute for Health and Clinical Excellence dalam Gough, 2011). Jika digambarkan, patofisiologi terjadinya infeksi tuberkulosis sebagaimana pada bagan 2.1:
20
Mycobacterium bovin
Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium africanum
Bagan 2.1: Patoflow patofisiologi Tuberkulosis (kombinasi Sylvia, 2005 dan Gough, 2011)
4. Pengobatan Tuberkulosis Pengobatan TB berupa pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi. Menurut ATS (Price, 2005), tiga prinsip dalam pengobatan TB yang berdasarkan pada: (a) Regimen harus termasuk obat-obat multipel yang sensitif terhadap mikroorganisme. (b) Obat-obatan harus diminum secara teratur; dan (c) Terapi obat harus dilakukan terus menerus dalam waktu
21
yang cukup untuk menghasilkan terapi yang paling efektif dan paling aman dalam waktu yang paling singkat. Dan faktor penting untuk keberhasilan pengobatan adalah ketaatan penderita dalam meminum regimen obat. Menurut Connolly et al. (2007), penggunaan obat dengan jangka waktu yang lama ini didasarkan pada sifat bakteri, dimana Mycobacterium Tuberculosis memiliki: antibiotic indifference, biofilms, dormancy, latency, persisters, dan phenotypic antibiotic resistance. Masing-masing sifat ini dijelaskan dibawah ini: a. Antibiotic indifference adalah sub tipe resistensi bersifat fenotip terhadap antibiotik, yang dikarenakan terjadi penurunan atau tidak adanya pertumbuhan
bakteri
pada koloni
bakteri.
Umumnya
merupakan respon terhadap kondisi lingkungan yang merugikan, seperti adanya reaksi pertahanan host terhadap antibiotik. b. Biofilms adalah pembungkus bakteri yang berbentuk multiseluler yang bertujuan untuk mencegah antibiotik merusak gen bakteri. c. Dormancy adalah kata lain dari saat tidak bereplikasi (nonreplicating). Tujuannya untuk bisa menetap di dalam host, sehingga tidak dapat dikenali baik oleh sistem imun maupun antibiotik. Karena pada saat tidak bereplikasi antibiotik tidak akan bereaksi, dengan kata lain antibiotik dapat berfungsi ketika ada replikasi atau pergerakan dari bakteri. d. Latency adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis tanpa adanya gejala secara klinis.
22
e. Persisters adalah kejadian dimana bakteri dapat meningkat dalam jumlah banyak dan menurun atau bahkan tidak berkembang. f. Phenotypic antibiotic resistance merupakan istilah umum untuk fenomena dimana bakteri memiliki gen yang homogen dengan antibiotik sehingga antibiotik tidak sensitif terhadap bakteri. Pada dasarnya standar yang digunakan untuk pengobatan TB aktif membutuhkan waktu selama 6 atau 9 bulan (CDC, 2012; Gough, 2011; WHO, 2013) dengan beberapa macam farmakoterapi. Berikut 4 obat yang umum digunakan untuk pengobatan TB beserta dosisnya, sebagaimana tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2: Farmakoterapi yang umum digunakan pada pasien TB Obat Kategori Dosis Rifampicin Bakterisid < 50 kg = 450 mg/hari > 50 kg 600 mg/hari Isoniazid Bakterisid 300 mg/hari Pyrazinamid Bakterisid < 50 kg = 1,5 g/hari > 50 kg = 2 g/hari Etambutol Bakteriostatik 15 g/kgBB
Selama pengobatan, terdapat 2 fase pengobatan; pertama yaitu pengobatan dengan menggunakan isoniazid, rifampicin, pyrazinamid dan etambutol selama 2 bulan. Kedua ialah pengobatan hanya menggunakan isoniazid dan rifampicin selama 4 bulan (British National Formulary dalam McLafferty, 2013). Hal ini dilakukan secara kontinu diharapkan baik bakteri yang aktif maupun yang dorman dapat musnah (McLafferty, 2013). Secara terperinci berdasarkan berat badan, pengobatan tuberkulosis dijelaskan pada tabel 2.3 berikut.
23
Tabel 2.3: Panduan 1 OAT Kategori 1 Berat Badan Terapi Intensif Terapi Lanjutan 30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT ≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT *keterangan: RHZE = Rifamphicin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol RH = Rifamphicin, Isoniazid KDT = Kombinasi Dosis Tetap Penggunaan dosis obat selain berdasarkan pada berat badan, juga didasarkan pada lama pengobatan yang terbagi menjadi 2 tahap, sebagaimana tabel 2.4 berikut. Tabel 2.4: Panduan 2 OAT Kategori 1 Pengobatan Dosis per hari/kali isoniazid rifampisin pirazinamid Tahap Lama @300 mgr @450 mgr @500 mgr Intensif 2 Bulan 1 1 3 Lanjutan 4 Bulan 2 1 -
etambutol @250 mgr 3 -
a. Tahapan Pengobatan Tuberkulosis (Depkes RI, 2006) 1. Tahap Awal (Intensif) Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. 2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu 4 bulan. Tahap
Jumlah obat 56 48
24
lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
b. Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (Depkes RI, 2006) 1. Panduan
OAT
yang
digunakan
oleh
Program
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: a. Kategori 1 = 2(HRZE)/4(HR)3. b. Kategori 2 = 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. c. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) d. Kategori Anak: 2HRZ/4HR 2. Panduan OAT kategori -1 dan kategori -2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) atau fix dose combination (FDC). Penderita hanya mengkonsumsi satu tablet obat anti TB dalam satu hari ditambah dengan pemberian vitamin B6 10 mg. Baik tahap intensif maupun lanjutan tetap memiliki jangka waktu sama masing-masing 2 bulan, yakni 24 kali pengobatan dan 4 bulan, yakni 44 kali pengobatan (Depkes RI, 2007).
Paket untuk tahap intensif
Paket untuk tahap lanjutan
Gambar 2.1: Paket OAT KDT/FDC
25
3. Paket Kombipak: Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT.
c. Panduan OAT dan Peruntukannya (Depkes RI, 2006) 1. Kategori -1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk penderita baru: a. Penderita baru TB paru BTA positif b. Penderita TB paru BTA negatif foto toraks positif c. Penderita TB ekstra paru 2.
Kategori -2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3) Panduan OAT ini diberikan untuk penderita BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
3.
Penderita kambuh
Penderita gagal
Penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default) OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Panduan OAT Sisipan Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada penderita baru tanpa
26
indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu, dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
d. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB (Depkes RI, 2006) 1. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. LED hanya melihat tingkat inflamasi dan sebagai screening test adanya inflamasi dalam tubuh, sehingga tidak bisa menentukan jenis infeksi. LED biasanya meningkat pada infeksi TB (Ukpe, I S. dan L. Southern, 2006). Untuk menentukan diagnosa dan memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. 2. Hasil Pengobatan Penderita TB a. Sembuh: Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya
27
negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya b. Pengobatan
Lengkap:
Adalah
penderita
yang
telah
menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. c. Meninggal: Adalah penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. d. Pindah: Adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. e. Default (Putus Berobat): Adalah penderita yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. f.
Gagal: Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
B. Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah dua atau lebih individu yang saling bergantung satu sama lain baik dukungan secara emosional, fisik, finansial dan anggota keluarga mengakui dirinya (Stanhope dan Jeanette, 2004). Menurut KBBI, keluarga adalah: (a) Ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah. (b) Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; dan (c)
28
Sanak saudara beserta kerabat. Dalam Suprajitno (2004), beberapa pengertian keluarga yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: a. Friedman (1998) Menurut Friedman (1998) keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. b. Sayekti (1994) Pakar
konseling
keluarga
di
Yogyakarta,
Sayekti
(1994)
mendefinisikan keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga. c. UU No. 10 tahun 1992 UU No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera menyatakan pengertian keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Di Indonesia sendiri menekankan bahwa keluarga harus dibentuk atas dasar perkawinan sebagaimana dalam PP No. 21 tahun 1994 bahwa keluarga dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah. Sedangkan dalam Ali (2009) beberapa pengertian keluarga sebagai berikut:
29
a. Duval (1972): Sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial individu yang ada didalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum. b. Departemen Kesehatan RI (1988): Unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dalam keadaan saling bergantung. c. Bailon dan Maglaya (1989): Dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya. d. Burgess dan kawan-kawan (1963): 1) Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi. 2) Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama dalam satu rumah tangga atau jika hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. 3) Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan yang lainnya dalam peran sosial. 4) Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
30
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan satu kesatuan akibat adanya ikatan baik perkawinan, darah, ataupun adopsi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi baik dari segi emosional, fisik, dan finansial. Ciri-ciri keluarga menurut Robert Maclver dan Charles Morton Page (Ali, 2009): a) Keluarga merupakan hubungan perkawinan. b) Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara. c) Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (nomenclatur), termasuk penghitungan garis keturunan. d) Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggotaanggotanya
berkaitan
dengan
kemampuan
untuk
mempunyai
keturunan dan membesarkan anak. e) Keluarga mempunyai tempat tinggal bersama, rumah, atau rumah tangga.
2. Fungsi Keluarga Menurut Hanson dalam Stanhope dan Jeanette (2004), terdapat 6 fungsi pokok keluarga yaitu: a. Keluarga bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan finansial. b. Keluarga berungsi dalam sistem reproduksi, yakni memiliki keturunan sesuai yang diinginkan. c. Keluarga memberikan perlindungan dari rasa permusuhan.
31
d. Keluarga mengajarkan kebudayaan, termasuk keyakinan beragama, adalah fungsi penting untuk keluarga. e. Keluarga menagajarkan dan mensosialisasikan anak-anaknya terhadap lingkungan. f. Keluarga memberikan status dalam masyarakat. Menurut Friedman (Suprajitni, 2004), fungsi keluarga sebagai berikut: a) Fungsi afektif: Fungsi internal keluarga sebagai dasar kekuatan keluarga. Didalamnya terkait dengan saling mengasihi, saling mendukung dan saling menghargai antar anggota keluarga. b) Fungsi sosialisasi: Fungsi yang mengembangkan proses interaksi dalam keluarga. Sosialisasi dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar bersosialisasi. c) Fungsi reproduksi: Fungsi keluarga untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya manusia. d) Fungsi ekonomi: Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarganya meliputi sandang, pangan, dan papan. e) Fungsi perawatan kesehatan: Fungsi keluarga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan dan merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.
3. Dukungan Keluarga Keluarga sebagai sumber dukungan sosial dapat menjadi faktor kunci dalam penyembuhan klien. Walaupun keluarga tidak selalu
32
merupakan sumber positif dalam kesehatan klien, mereka paling sering menjadi bagian penting dalam penyembuhan (Kumfo dalam Videbeck, 2008). Studi terdahulu mengemukakan bahwa jenis dari tiap dukungan sosial memiliki peran yang berbeda-beda. Contohnya, dukungan keluarga sangat berguna pada perawatan jangka lama keluarga dengan penyakit kronik. Sedangkan, kelompok manusia dapat berguna saat berhadapan dengan masalah-masalah sosial dan tetangga dapat berguna pada saat membutuhkan pertolongan segera ke dokter. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa dukungan keluarga sangat berhubungan dengan manajemen penyakit kronik, kepatuhan dalam medikasi dan beradaptasi dalam gaya hidup (Oakes dalam Fitzpatrick, 2005).
Umumnya,
penderita
yang
berisiko
tinggi
membutuhkan
dampingan dari pemberi asuhan keluarga terhadap regimen pengobatan mereka, termasuk mencari dan bertukar informasi, mengatur jadwal, keamanan dan risiko polifarmasi. Pemberi asuhan keluarga biasanya butuh mendesain prosedur pemberian obat-obatan, mengembangkan jadwal pengobatan, memonitor resep yang diberikan akan terjadinya efek samping (Kao dan Travis, 2005). Dukungan sosial terkelompok menjadi 4 fungsi yaitu struktural, fungsional, emosional dan campuran (Scheurer, 2012). Sedangkan individu yang mendapatkan dukungan emosional dan fungsional terbukti lebih sehat daripada individu yang tidak mendapatkan dukungan (Buchanan dalam Videbeck, 2008). Untuk itu peneliti hanya memusatkan pada dua fungsi tersebut, dengan menghilangkan fungsi struktural karena
33
responden yang peneliti ambil terbatas pada responden yang memiliki keluarga. Kedua fungsi dukungan sosial utama ini (baik fungsional maupun struktural) memiliki beberapa contoh/komponen sebagai berikut (Scheurer, 2012): a. Practical/Instrumen: Membayar obat Mengambil resep Membaca dosis Mengisi kotak pil Transportasi Pendampingan fisik b. Emotional Dorongan Mendengar Kasih sayang/cinta Pemenuhan nutrisi Memberi penghargaan Mencontohkan Dukungan
informasi
(manfaat
kepatuhan
dan
risiko
ketidakpatuhan) Dukungan spiritual Dukungan keluarga merupakan salah satu jenis dari dukungan sosial dan penting bagi seorang penderita, dukungan keluarga yang baik atau yang kurang dapat membantu kestabilan medikasi (Chambers et al.,
34
2010), karena mereka dapat memberikan pengaruh dalam perawatan diri penderita terutama dalam pengobatan (Yi dan R.Sok., 2012). Dukungan keluarga juga merupakan dukungan yang kontinu karena dapat mengontrol lebih inten, disamping itu keluarga juga merupakan komponen paling dekat dengan penderita sehingga hubungan saling percaya akan terjadi dan sikap terhadap pengobatan dapat dirubah atau dipengaruhi.
C. Kepatuhan 1. Pengertian Patuh Menurut WHO dalam konferensi bulan Juni, 2001 menyebutkan bahwa patuh atau kepatuhan merupakan kecendrungan penderita melakukan instruksi medikasi yang dianjurkan (National Institute for Health and Clinical Excellence dalam Gough, 2011). Kepatuhan diartikan sebagai riwayat pengobatan penderita berdasarkan pengobatan yang sudah ditetapkan. Kepatuhan minum obat sendiri kembali kepada kesesuaian penderita dengan rekomendasi pemberi pelayanan yang berhubungan dengan waktu, dosis, dan frekuensi pengobatan selama jangka waktu pengobatan yang dianjurkan. Sebaliknya, “ketekunan” mengacu pada tindakan untuk melanjutkan pengobatan untuk jangka waktu yang ditentukan sehingga dapat didefinisikan sebagai total panjang waktu penderita mengambil obat, dibatasi oleh waktu antara dosis pertama dan terakhir (Petorson dalam Agency for Healthcare Research and Quality, 2012).
35
Tidak patuh, tidak hanya diartikan sebagai tidak minum obat, namun bisa memuntahkan obat atau mengkonsumsi obat dengan dosis yang salah sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR). Perbedaan secara siginifikan antara patuh dan tidak patuh belum ada, sehingga banyak peneliti yang mendefinisikan patuh sebagai berhasil tidaknya suatu pengobatan dengan melihat hasil, serta melihat proses dari pengobatan itu sendiri. Hal-hal yang dapat meningkatkan faktor ketidakpatuhan bisa karena sebab yang disengaja dan yang tidak disengaja (Clifford, Barber, & Horne dalam Chambers, 2010). Ketidakpatuhan yang tidak disengaja terlihat pada penderita yang gagal mengingat, atau dalam beberapa kasus yang membutuhkan pengaturan fisik, untuk meminum obat yang sudah diresepkan. Ketidakpatuhan yang disengaja berhubungan dengan keyakinan tentang pengobatan, antara manfaat dan efek samping yang dihasilkan. Beberapa penelitian tentang pengobatan mengatakan bahwa ketidakpatuhan berfokus pada pengobatan itu sendiri (Pound et al., dalam Chambers, 2010). Pound et al. (2010), juga menekankan bahwa penderita dimotivasi oleh harapan untuk meminimalisir obat-obat yang mereka minum dengan harapan tubuh tidak terlalu bekerja keras untuk memetabolisme dan mengurangi efek samping. Faktor risiko besar terhadap kejadian vaskular berulang atau kematian adalah ketidakpatuhan dalam pengobatan (Bailey, Wan, Tang, Ghani, & Cushman dalam Chambers, 2010). Menurut Gough (2011), ketidakpatuhan juga akan meningkatkan terjadinya drug resistance (Onorato dan Risdzon dalam
36
Gaugh, 2011) dimana bakteri basil tidak akan sensitif terhadap antibiotik tertentu. Jika hal ini terjadi pada beberapa obat maka terjadi Multi-Drug Resistance yang bila terjadi pada seorang penderita membuat pengobatan akan lebih sulit dan kemungkinan besar dalam prognosis penyakit. Kepatuhan dalam pengobatan akan meningkat ketika penderita mendapatkan bantuan dari keluarga (Ramirez dalam Glick et al., 2011). Disamping itu, penderita yang tidak memiliki keluarga atau memiliki nonsupportive/ nonavailable/ conflicted family
akan mempengaruhi
terminasi pengobatan lebih awal dan hasil yang tidak memuaskan (Glick et al., 2011).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ialah sesuatu yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan kepatuhan penderita terhadap pengobatan. Ada beberapa faktor yang mendukung sikap patuh penderita diantaranya: pendidikan, akomodasi, modifikasi faktor lingkungan dan sosial, perubahan model terapi, interaksi profesional, faktor sosial dan ekonomi, faktor sistem kesehatan, faktor kondisi, faktor terapi dan faktor klien juga mempengaruhi kepatuhan (Stein dalam Niven dalam Ahsan dkk., 2012; WHO, 2003). Selain itu, beberapa alasan mengapa seseorang tidak patuh dalam pengobatan, diantaranya: lupa untuk mengkonsumsi, biaya yang mahal, kemiskinan, efek samping, durasi yang lama dan stigma (Haynes dalam Gough, 2011).
37
Permatasari dalam Sahat (2010) mengemukakan selain faktor medis, faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di bawah ini: a. Faktor Sarana: (1) Tersedianya obat yang cukup dan kontinu. (2) Dedikasi petugas kesehatan yang baik. (3) Pemberian regiment OAT yang adekuat. b. Faktor Penderita: (1) Pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru. Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat. (2) Cara menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. Cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alkohol atau merokok. (3) Cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. (4) Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. (5) Kesadaran dan keinginan penderita untuk sembuh. c. Faktor Keluarga dan Masyarakat Lingkungan: Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat.
38
Kepatuhan dipengaruhi oleh 5 dimensi sebagaimana yang dijelaskan dalam buku panduan WHO tahun 2003 mengenai pengobatan jangka lama yang tergambar pada bagan 2.2:
Health care system/ team factors Patient-related factors
Social and economic factors
Conditions-related factors
Therapy-related factors
Bagan 2.2: 5 dimensi interaksi ketidakpatuhan Meskipun oleh sebagian orang mengatakan bahwa kepatuhan ialah tentang bagaimana individu yang bersangkutan mengatur dirinya agar selalu patuh, namun tidak bisa dihilangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan individu tersebut. Berikut dijelaskan faktor yang dianggap sebagai 5 dimensi dimaksud ialah: a. Faktor Sosial dan Ekonomi (Social and Economic Factors) Meskipun status ekonomi sosial tidak konsisten menjadi prediktor tunggal kepatuhan, namun di negara-negara berkembang status ekonomi sosial yang rendah membuat penderita untuk menentukan hal yang lebih prioritas daripada untuk pengobatan. Beberapa faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi kepatuhan ialah: status ekonomi sosial,
kemiskinan,
kebutahurufan,
pendidikan
yang
rendah,
pengangguran, kurangnya dukungan sosial, kondisi kehidupan yang
39
tidak stabil, jarak ke tempat pengobatan, transportasi dan pengobatan yang mahal, situasi lingkungan yang berubah, budaya dan kepercayaan terhadap sakit dan pengobatan, serta disfungsi keluarga. b. Faktor Penderita (Patient-Related Factors) Persepsi terhadap kebutuhan pengobatan seseorang dipengaruhi oleh gejala penyakit, harapan dan pengalaman. Mereka meyakini bahwa dari pengobatan akan memberikan sejumlah efek samping yang dirasa mengganggu, selain itu kekhawatiran tentang efek jangka panjang dan ketergantungan juga mereka pikirkan. Pengetahuan dan kepercayaan penderita tentang penyakit mereka, motivasi
untuk
mengatur
pengobatan,
dan
harapan
terhadap
kesembuhan penderita dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Sedangkan faktor penderita yang mempengaruhi kepatuhan itu sendiri ialah: lupa, stres psikososial, kecemasan akan keadaan yang lebih parah, motivasi yang rendah, kurangnya pengetahuan dan ketidakmampuan untuk me-manage gejala penyakit dan pengobatan, kesalahpahaman ketidakpercayaan
dan terhadap
ketidakterimaan diagnosis,
terhadap
kesalahpahaman
penyakit, terhadap
instruksi pengobatan, rendahnya harapan terhadap pengobatan, kurangnya kontrol pengobatan, tidak ada harapan dan perasaan negatif, frustasi dengan petugas kesehatan, cemas terhadap komplektisitas regimen pengobatan, dan merasa terstigma oleh penyakit. Motivasi penderita untuk patuh dalam pengobatan dipengaruhi oleh nilai dan tempat dimana mereka berobat (baik biaya maupun
40
kepercayaan terhadap pelayanan). Sehingga, untuk meningkatkan tingkat
kepatuhan
penderita,
maka
petugas
kesehatan
perlu
meningkatkan kemampuan manajerial, kepercayaan diri, serta sikap yang meyakinkan kepada penderita. c. Faktor Terapi (Therapy-Related Factors) Ada banyak faktor terapi yang mempengaruhi kepatuhan, diantaranya
komplektisitas
regimen
obat,
durasi
pengobatan,
kegagalan pengobatan sebelumnya, perubahan dalam pengobatan, kesiapan terhadap adanya efek samping, serta ketersediaannya dukungan tenaga kesehatan terhadap penderita. d. Faktor Kondisi (Conditions-Related Factors) Faktor kondisi merepresentasikan keadaan sakit yang dihadapi oleh penderita. Beberapa yang dapat mempengaruhi kepatuhan ialah: keparahan gejala, tingkat kecacatan, progres penyakit, adanya pengobatan yang efektif. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut tergantung bagaimana persepsi penderita, namun hal yang paling penting ialah penderita tetap mengikuti pengobatan dan menjadikan yang prioritas. e. Faktor Tim/ Sistem Kesehatan (Health Care System/ Team Factors) Penelitian yang menghubungkan antara sistem kesehatan dan kepatuhan penderita sendiri masih sedikit. Meski demikian hubungan yang baik antara tenaga kesehatan dan penderita dapat meningkatkan kepatuhan penderita dalam pengobatan. Beberapa faktor yang dapat memberi pengaruh negatif antara lain kurangnya pengembangan sistem
41
kesehatan yang dibiayai oleh asuransi, kurangnya sistem distribusi obat, kurangnya pengetahuan dan pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang me-manage penyakit kronik, jam kerja yang berlebih, imbalan biaya yang tidak sepadan terhadap tenaga kesehatan, konsultasi yang sebentar, ketidakmampuan membangun dukungan komunitas dan manajemen diri penderita, kurangnya pengetahuan tentang kepatuhan dan intervensi yang efektif untuk meningkatkannya.
D. Kerangka Teori Kerangka
teori
berisi
prinsip-prinsip
teori
yang
mempengaruhi
pembahasan yang berguna untuk membantu gambaran dan langkah kerja (Arifin, 2008), sehingga kerangka teori berisi seluruh teori yang dipaparkan oleh peneliti. Berdasarkan paparan teori di penelitian ini, bahwa infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis akan menimbulkan manifestasi klinis yang dikenal sebagai gejala TB kemudian tata laksana yang harus diberikan secara farmakologi membutuhkan waktu yang lama sehingga harus ada faktor dari luar penderita yang dapat membantu penderita dalam melakukan rencana pengobatan ini. Secara ringkas, kerangka teori pada penelitian ini digambarkan pada bagan 2.3:
42
Infeksi Bakteri Mycobacterium tuberculosis
5 dimen si yang memp engar uhi kepat uhan (WH O: 2003)
Pemeriksaan
Manifestasi klinis
Positif
Tata laksana farmakoterapi
Gagal
Kategori 1
resistensi
Kategori 2
Tim kesehatan Faktor terapi Faktor pasien
Kepatuhan
Faktor kondisi Sosial ekonomi: Ekonomi Sosial Dukungan Sosial: Dukungan Keluarga
Keterangan : Variabel yang diteliti Bagan 2.3: Kerangka Teori (Chambers, et al., 2010; Price, 2005; Depkes RI, 2006; WHO, 2003)
Tuntas
43
E. Penelitian Terkait 1. Teuku Fakhruddin (2012) dalam Thesis: Hubungan
Dukungan Sosial
dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Skizofrenia di Kabupaten Aceh Barat Daya. Dukungan sosial sebagai variabel independen dan kepatuhan minum obat sebagai variavel dependen menggunakan desain crosssectional kuantitatif dengan instrumen Social Support Questionnaire (SSQ) dan Medication Adherence Rating Scale (MARS). Sampel pada penelitian ini ialah penderita skizofrenia yang sedang menjalani pengobatan. Hasilnya kepuasan dukungan sosial merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat penderita skizofrenia di Kabupaten Aceh Barat Daya. 2. Warsito (2009) dalam penelitian “Hubungan dukungan sosial keluarga
dengan kepatuhan minum obat pada fase intensif pada penderita TB di puskesmas Pracimantoro Wonogiri Jawa Tengah”. Dukungan sosial keluarga sebagai variabel dependen dan kepatuhan minum obat sebagai variabel independen. Menggunakan desain cross sectional dan instrumen kuesioner dukungan sosial yang berjumlah 17 pertanyaan dan kuesioner kepatuhan minum obat berjumlah 10 pertanyaan. Jumlah sampel 40 orang yang dalam pengobatan fase intensif. Hasilnya ada hubungan yang positif dan bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan minum obat. 3. Alfrina Ahsan dan Putu Ari Sadhu Permana Hany (2012) dalam “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Hipertensi di Poli Jantung RSSA Malang”. Kepatuhan minum
44
obat penderita hipertensi sebagai variabel dependen dan dukungan keluarga sebagai variabel independen. Menggunakan desain crosssectional, kuesioner Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) dengan 83 responden. Hasilnya semakin tinggi dukungan keluarga semakin patuh penderita.
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL A. KERANGKA KONSEP Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2008). Sedangkan menurut kerangka konsep adalah model pendahuluan dari sebuah masalah penelitian, dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-variabel yang diteliti (Swarjana, 2012). Menurut Danim (2003) Variabel terbagi menjadi variabel independen dan variabel dependen, dimana variabel independen merupakan dukungan keluarga dan variabel dependen berupa kepatuhan. Variabel-variabel ini yang nantinya akan dihubungkan.
Dukungan Keluarga
Kepatuhan
Bagan 3.1: Kerangka konsep
B. HIPOTESIS Hipotesis adalah suatu perumusan sementara mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat menuntun/mengarahkan penelitian selanjutnya (Umar, 2005). Dari penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut: H0 : “Tidak ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat anti TB (OAT) pada penderita TB di Ciputat”
45
46
H1 : “Ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat anti TB (OAT) pada penderita TB di Ciputat”
C. DEFINISI OPERASIONAL Definisi operasional adalah batasan pengertian yang dijadikan pedoman untuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan, misalnya penelitian. Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang memiliki definisi operasional terkait peneletian sebagaimana yang tercantum pada tabel 3.1 yaitu:
47 47 Tabel 3.1: Definisi Operasional No. 1.
Variabel Jenis
Definisi Operasional Perbedaan individu yang
Cara Ukur Mengajukan
kelamin
didasarkan
pertanyaan
Usia
pada
seks
atau
Alat Ukur Kuesioner
Hasil Ukur 1. Laki-laki
Skala Ukur Nominal
2. Perempuan
gender.
melalui kuesioner
Rentang usia mulai dari lahir
Mengajukan
hingga ulang tahun terakhir.
pertanyaan
2. Dewasa
melalui kuesioner
3. Lansia
Kuesioner
1. Remaja
Ordinal
(Depkes, 2009) Pekerjaan
Kegiatan tetap yang dilakukan
Mengajukan
sehari-hari.
pertanyaan melalui kuesioner
Kuesioner
1. Bekerja 2. Tidak Bekerja
Nominal
48 No.
2.
Variabel Pendidikan
Definisi Operasional Pendidikan formal yang
Cara Ukur Mengajukan
Terakhir
ditempuh dan dinyatakan lulus
pertanyaan
2. Tinggi
melalui kuesioner
(Sisdiknas, 2003)
Dukungan
Persepsi
Keluarga
dukungan diukur
pasien
terhadap
keluarga
yang
berdasarkan
aspek
Alat Ukur Kuesioner
Mengajukan
Kuesioner
pertanyaan
pertanyaan,
median sebagai cut
melalui kuesioner
menggunakan skala likert
of point, yaitu 70:
dengan rentang skala 1-3.
< 70 = Tidak Baik
Nilai tertinggi = 75
≥ 70 = Baik
emosional dan fungsional.
dengan
Hasil Ukur 1. Rendah
25
Menggunakan
Skala Ukur Nominal
Nominal
Nilai terendah = 25 3.
Kepatuhan
Tingkat perhatian pasien dalam
Mengajukan
Kuesioner
dengan
melaksanakan
pertanyaan
pertanyaan
baku
melalui kuesioner
Morinsky, menggunakan
kategori, yaitu:
skala guttman.
>2 = Rendah
Nilai tertinggi = 8
≤ 2 = Baik
instruksi
pengobatan
berdasarkan
Morinsky
Medication
Adherence Scale (MMAS).
Nilai terendah = 0
8
Hasil dari variabel
dari
ini dibagi menjadi 2
Nominal
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yakni penelitian dilakukan pada satu waktu dengan melihat bagaimana dukungan keluarga yang diberikan saat sedang menjalani pengobatan terhadap kepatuhan penderita.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi yang dipilih pada penelitian kali ini ialah di Ciputat, dengan mengambil wilayah kerja Puskesmas di area Ciputat. Sedangkan untuk waktu yang dibutuhkan kurang lebih 2 minggu pada bulan Juni 2014.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah universum dapat berupa orang, benda, gejala, atau wilayah yang ingin diketahui oleh peneliti. Populasi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu populasi target (target population) dan populasi survei (survey population). Populasi target adalah seluruh “unit” populasi, sedangkan populasi survei adalah subunit dari populasi target yang selanjutnya menjadi sampel penelitian (Darmin, 2003). Populasi pada penelitian ini ialah seluruh penderita TB dengan kategori 1 atau 2 yang berada di Puskesmas wilayah kerja Ciputat.
49
50
2. Sampel Sampel atau contoh adalah subunit populasi survei atau populasi survei itu sendiri, yang oleh peneliti dipandang mewakili populasi target. Dengan kata lain, sampel adalah elemen-elemen populasi yang dipilih atas dasar kemampuan mewakilinya (Danim, 2003). Pada dasarnya ada dua syarat yang harus dipenuhi saat menetapkan sampel, yaitu representatif (mewakili) dan sampel harus cukup banyak (Nursalam, 2008). Dalam penentuan sampel ini, peneliti menggunakan kriteria sampel baik inklusi maupun eksklusi yang bertujuan untuk membantu mengurangi bias hasil penelitian, khususnya jika terhadap variabel-variabel kontrol ternyata mempunyai pengaruh terhadap variabel yang kita teliti (Nursalam, 2008). Kriteria inklusi dari sampel pada penelitian ini sebagaimana berikut:
Penderita TB yang sedang dalam pengobatan kategori 1 dan 2.
Tinggal bersama keluarga.
Kriteria eksklusi sebagaimana berikut:
Penderita TB yang menolak untuk diminta menjadi responden.
Penderita TB yang tidak mengisi kuesioner secara lengkap. Pada penelitian kali ini jumlah sampel diambil dengan teknik total
sampling, dan seluruh populasi sesuai dengan kriteria inklusi maka responden yang didapat sebanyak 69 orang.
51
D. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengisi pernyataan dari kuesioner terkait dukungan keluarga yang sudah penderita terima dan kepatuhan dalam minum obat, sebelum itu peneliti melakukan prosedur di bawah ini: 1. Pembuatan surat izin yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2. Permohonan izin mengambil data dan studi pendahuluan di Puskesmas terkait. 3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen di Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan Puskesmas Pisangan. 4. Pengolahan data uji validitas dan reliabilitas. 5. Melakukan briefing kepada asisten penelitian sebanyak dua orang. 6. Pengambilan data melalui kuesioner. 7. Pengolahan hasil penelitian.
E. Alat Pengumpulan Data 1. Instrumen pertama berupa pertanyaan mengenai data demografi penderita, yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan terakhir. 2. Instrumen kedua adalah dukungan keluarga, dengan memberikan pernyataan yang terdiri dari 2 kelompok pernyataan yakni dukungan instrumental dan dukungan emosional, dimana kedua kelompok ini sudah mencakup dukungan yang lain. Dengan rincian pertanyaan: dukungan instrumental sebanyak 12 soal yaitu pertanyaan nomor 1, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 19, 21, 22, dan 25. Dukungan emosional sebanyak 13 soal yaitu
52
pertanyaan nomor 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 18, 20, 23, dan 24. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan Skala Likert; dimana jawaban responden memiliki gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif dengan menggunakan rentang skala 1-3 yaitu jarang, kadang-kadang dan selalu. Skor tertinggi diberikan pada jawaban sangat positif. Dalam menentukan cut of point pada variabel dukungan keluarga dilakukan uji distribusi terlebih dahulu menggunakan kolmogrov-smirnov karena jumlah sampel yang besar yakni > 50 (Dahlan, 2010) dan didapat hasil uji distribusi tidak normal, sehingga penggunaan cut of point dengan menggunakan nilai median. 3. Instrumen ketiga adalah kepatuhan, dengan memberikan pernyataan dari kuesioner baku Morinsky Medication Adherence Scale (MMAS) yang terdiri dari 8 pernyataan yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Penentuan jawaban kuesioner menggunakan skala Guttman; dimana yaitu jawaban responden hanya terbatas pada dua jawaban, ya atau tidak. Nilai tertinggi 8 dan terendah 0. Variabel kepatuhan mengadopsi dari interpretasi kuesioner asli oleh Morinsky yang dimodifikasi yakni dengan 2 kategori, dimana 2 sebagai cut of point. Semakin sedikit total nilai yang dijumlah menandakan kepatuhan yang baik.
F. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Instrumen yang baik harus memenuhi dua syarat penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 2006). Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen, suatu instrumen
53
dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto, 2006). Uji validitas menggunakan korelasi pearson product moment dan dikatakan valid apabila tiap pernyataan mempunyai nilai positif dan nilai t hitung (Hidayat, 2007). Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan pada tingkat kepercayaan dan dapat diandalkan (Arikunto, 2006), yakni menggambarkan bahwa instrumen yang digunakan dapat digunakan berulang dengan karakteristik responden yang berbeda. Pengukuran realibilitas menggunakan software computer dengan rumus Alpha Cronbach pada variabel dukungan keluarga dan suatu variabel dinyatakan reliabel jika memberikan nilai Alpha Cronbach > 0,60 (Hidayat, 2007). Namun pada variabel kepatuhan menggunakan software computer dengan rumus K-R20 dengan nilai akhir >0,7 (Sulkind, 2010). Pada penelitian ini, uji valid dan reliabilitas instrumen dilakukan pada dua tempat yakni Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan Puskesmas Pisangan di Ciputat, dimana kriteria populasi memiliki kesamaan dengan kriteria responden yang akan diteliti. Hasil uji pada instrumen dukungan keluarga didapatkan Alpha Cronbach 0,906 dan setelah dilakukan uji validitas didapat 6 pertanyaan yang tidak valid yakni pertanyaan nomor 1, 4, 15, 18, 20, dan 23. Selanjutnya, dilakukan perubahan redaksi pada pertanyaan yang tidak valid dan dilakukan uji ulang kepada 20 responden dan didapatkan nilai Alpha Cronbach 0,928 dan terdapat pertanyaan yang tidak valid pada nomor 2, 10, 13, 16, 17, dan 18. Kemudian untuk memperkuat hasil validasi dilakukan uji
54
ulang pada penelitian sebenarnya dan didapatkan nilai Alpha Cronbach 0,934 dengan validitas seluruh pertanyaan valid. Hasil uji pada instrumen kepatuhan didapatkan nilai K-R20 0,844 dengan validitas soal, terdapat 1 pertanyaan yang tidak valid pada nomor 5 dengan nilai negatif. Sehingga dilakukan perubahan redaksi menjadi kalimat positif dan dilakukan uji ulang pada 20 responden didapatkannilai K-R20 0,78 dengan 2 pertanyaan tidak valid. Kemudian untuk memperkuat hasil validasi dilakukan uji ulang pada penelitian sebenarnya dan didapatkan nilai K-R20 0,8 dengan validitas seluruh pertanyaan valid.
G. Pengolahan Data Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan baik dan benar. Menurut Budiarto (2002) dalam pengolahan data mencakup beberapa hal berikut: 1. Editing Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali data yang telah dikumpulkan baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul. 2. Coding Coding merupakan kegiatan pemberian kode atau simbol pada data yang telah terkumpul, baik dengan menggunakan penomoran atau kode lain di pojok kanan atas data.
55
3. Tabulating Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga data sudah di-coding, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dianalisis. Proses pengolahan data dilakukan dengan cara memindahkan data dari kuesioner ke paket program komputer pengolahan data statistik.
H. Analisis Data Statistik Analisis yang digunakan pada penelitian ini ialah analisis univariat dan bivariat, dimana pada analisis bivariat terdapat dua variabel yang dilihat yakni variabel kepatuhan yang berupa data kategorik, dan variabel dukungan keluarga yang juga berupa data kategorik, sehingga uji yang digunakan ialah uji chi square (Hastono, 2011). Responden yang sedang melakukan pengobatan, akan dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan dukungan keluarga yang diberikan dan kepatuhan penderita itu sendiri. Peneliti menggunakan derajat kepercayaan 95% sehingga jika nilai p ≤ 0,05 berarti hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dan apabila nilai p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen (Setiadi, 2007). Sedangkan untuk melihat kekuatan hubungan antara kedua variabel, maka dilihat dari nilai phi dimana interpretasi nilai phi disesuaikan dengan nilai pearson (Jeffrey, 2012), yaitu: (a) 0,0-0,2 = sangat lemah. (b) 0,2-0,4 = lemah. (c) 0,4-0,6 = sedang. (d) 0,6-0,8 = kuat dan; (e) 0,8-1,0 = sangat kuat.
56
I. Etika Penelitian Etika penelitian sangat diperlukan, tidak hanya dari sisi metode, design, dan cara penulisan (plagiarisme), namun bagaimana cara memperoleh data juga harus atas persetujuan responden. Menurut Polit dan Beck dalam Ketut (2012), prinsip-prinsip etika dalam penelitian sebagai berikut: 1. Menghormati otonomi kapasitas dari partisipan penelitian, partisipan harus bebas dari konsekuensi negatif akibat penelitian yang diikutinya. 2. Mencegah dan meminimalisir hal yang berbahaya. 3. Dalam penelitian, peneliti tidak hanya respek kepada partisipan tetapi juga pada keluarga dan kerabat lainnya. 4. Memastikan bahwa benefits dan burdens dalam penelitian sudah dipertimbangkan. 5. Memproteksi privasi partisipan semaksimal mungkin. 6. Memastikan integritas proses penelitian. 7. Membuat laporan tentang hal-hal yang bersifat suspected, alleged, atau known incidents of scientific misconduct in research. Hal ini sejalan pula dengan prinsip yang dikeluarkan oleh American Nursing Ascosiation (ANA), dimana terdapat 6 item, yaitu: azas hak menentukan pilihan sendiri (Autonomy), azas kemanfaatan (Beneficience), azas tidak mencederai (Nonmaleficience), azas kerahasiaan (Confidentiality), azas kejujuran (Veracity), dan azas keadilan (Justice). Pada penelitian ini, peneliti melakukan beberapa prosedur untuk tetap menjalani etika penelitian yaitu:
57
1. Pengisian Informed Consent dimana responden menyetujui untuk diminta menjawab dan mengisi kuesioner dengan suka rela. 2. Kerahasiaan dimana kerahasiaan tentang data dan kuesioner yang sudah diisi oleh responden tidak disebarkan kepada khalayak umum; dan 3. Anonimity
yaitu
kerahasiaan
mencantumkan inisial nama.
identitas
responden
dengan
hanya
58
BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Populasi Populasi diambil diwilayah Ciputat, tepatnya di Puskesmas Ciputat dan Ciputat Timur. Kedua puskesmas ini berada di bawah naungan dinas kesehatan yang sama sehingga penelitian yang dilakukan oleh peneliti berada di program yang sama yaitu pengembangan wajib puskesmas program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL). Pengambilan data responden dan pengisian kuesioner dilakukan di ruang TB yang dibuka pada hari selasa dan kamis. Program TB yang direncanakan berupa konsultasi penderita, pemeriksaan dahak, tes mantoux dan pembagian obat secara cumacuma. Namun, untuk fasilitas rontgen masih belum ada. Program pemberantasan TB ini dilakukan dengan sangat teliti dan hati-hati karena sudah menjadi program nasional dimana paket obat pada penderita baik anak maupun dewasa sudah dikemas dalam satu paket, sehingga kesalahan dan missing dalam pengobatan dapat terkontrol. Total penderita TB yang terdaftar hingga Juni minggu pertama menurut jumlah kartu berobat penderita yang peneliti dapat ialah sebanyak 69 penderita, 34 penderita di puskesmas Ciputat Timur dan 35 penderita di puskesmas Ciputat. Seluruh penderita memenuhi kriteria inklusi peneliti, sehingga responden diambil dari seluruh penderita. Hal ini sesuai dengan keinginan peneliti yang menggunakan teknik total sampling.
58
59
B. Analisis Univariat 1. Data Demografi Karakteristik responden di bawah ini adalah karakteristik sampel penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan terakhir. Berikut adalah distribusi frekuensi karakteristik responden penelitian yang didapat dari 69 responden. Tabel 5.1: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Data Demografi di Wilayah Ciputat Juni 2014 (n=69) Demografi Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
n
%
34 35
49,3 50,7
14 38 17
20,3 55,1 24,6
Pekerjaan Bekerja Buruh Petani Bengkel Wiraswasta Karyawan Dagang Supir Tidak Bekerja
36 3 1 1 16 10 3 2 33
52,2 8,33 2,78 2,78 44 27,8 8,33 5,56 47,8
Pendidikan Terakhir Rendah Tinggi
34 35
49,3 50,7
Usia Remaja (≤ 25 tahun) Dewasa (26-45 tahun) Lansia (≥ 46 tahun)
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa persebaran demografi pada penderita TB tidak jauh berbeda pada variabel jenis kelamin, terlihat bahwa penderita TB pada laki-laki sebanyak 34 responden (49,3%)
60
sedangkan pada perempuan sebanyak 35 responden (50,7%). Tidak dengan variabel usia, dimana persebaran tidak merata, hal ini terlihat dari jumlah penderita pada masing-masing tingkatan usia. Pada usia remaja sebanyak 14 responden (20,3%), dewasa sebanyak 38 responden (55,1%), dan lansia sebanyak 17 responden (24,6%). Sedangkan untuk variabel pekerjaan, baik penderita yang bekerja maupun yang tidak bekerja juga tidak ada perbedaan jumlah sebagaimana vvariabel jenis kelamin, penderita yang bekerja ada sebanyak 36 responden (52,2%) dan penderita yang tidak bekerja ada sebanyak 33 responden (47,8%). Persebaran jenis pekerjaan diantaranya responden yang bekerja sebagai buruh sebanyak 3 responden (8,33%), pekerja bengkel sebanyak 1 responden (2,78%), wiraswasta 16 responden (44%), karyawan responden 10 responden (27,8%), petani 1 responden (2,78%), dagang 3 responden (8,33%), dan sebagai supir sebanyak 2 responden (5,56). Begitu pula dengan pendidikan terakhir pada penderita dengan pendidikan rendah sebanyak 34 responden (49,3%), dan penderita dengan pendidikan tinggi sebanyak 35 responden (50,7%).
61
2. Tabulasi Silang Variabel Demografi dengan Kepatuhan Tabel 5.2: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Demografi dengan Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni 2014 (n=69)
Patuh n (%)
Kepatuhan Tidak Patuh n (%)
Jenis Kelamin Laki Perempuan
25 (73,5) 26 (74,3)
9 (26,5) 9 (25,7)
Usia Remaja Dewasa Lansia
9 (64,3) 29 (76,3) 13 (76,5)
5 (35,7) 9 (23,7) 4 (23,5)
Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja
27 (75) 24 (72,7)
9 (25) 9 (27,3)
Pendidikan Terakhir Rendah Tinggi
26 (76,5) 25 (71,4)
8 (23,5) 10 (28,6)
Berdasarkan Tabel 5.2 bahwa proporsi laki-laki menunjukkan sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 25 responden (73,5%), dan menunjukkan tidak patuh sebanyak 9 responden (26,5%). Begitupula proporsi perempuan yang menunjukkan sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 26 responden (74,3%), dan tidak patuh sebanyak 9 responden (25,7%). Proporsi kelompok remaja menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 9 responden (64,3%), dan menunjukkan tidak patuh sebanyak 5 responden (35,7%). Proporsi kelompok dewasa menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 29 responden (76,3%), dan tidak patuh sebanyak 9 responden (23,7%). Proporsi kelompok lansia menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam
62
pengobatan yaitu 13 responden (76,5%), dan tidak patuh sebanyak 4 responden (23,5%). Proporsi responden yang bekerja menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 27 responden (75%), dan tidak patuh sebanyak 9 responden (25%). Begitupula responden yang tidak bekerja menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 24 responden (72,7%), dan tidak patuh sebanyak 9 responden (27,3%). Proporsi responden yang berpendidikan rendah menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 26 responden (76,5%) dan tidak patuh sebanyak 8 responden (23,5). Begitupula responden yang berpendidikan tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar patuh dalam pengobatan yaitu 25 responden (71,4%), dan tidak patuh sebanyak 10 responden (28,6%).
3. Variabel Dependen dan Independen Analisis
univariat
dalam
penelitian
ini
bertujuan
untuk
menggambarkan hasil dari pengambilan data responden. Hal yang dianalisa dalam penelitian ini yaitu mengenai dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat, didapat hasil tabulasi silang sebagaiamana tabel dibawah ini:
63
Tabel 5.3: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Dukungan dan Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni 2014 (n=69) Variabel
n
%
Dukungan Baik Buruk
42 27
60,9 39,1
Kepatuhan Patuh Tidak Patuh
51 18
73,9 26,1
Tabel 5.3 menunjukkan dukungan keluarga pada penderita TB di wilayah Ciputat dengan kategori baik terdapat sebanyak 42 responden (60,9%), dan dengan kategori buruk terdapat sebanyak 27 responden (39,1%). Sedangkan kepatuhan minum obat pada penderita TB yang termasuk kategori patuh sebanyak 51 responden (73,9%), dengan kategori tidak patuh sebanyak 18 responden (26,1%).
C. Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara 2 variabel yaitu variabel dukungan keluarga dengan variabel kepatuhan minum obat. Uji bivariat dilakukan menggunakan uji Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05).
1. Tabulasi Silang Variabel dukungan keluarga terhadap Kepatuhan Untuk mengetahui apakah ada hubungan atau tidak maka diperlukan uji statistik menggunakan Chi Square, karena kedua variabel merupakan data kategorik. Nilai p value yang diharapkan bisa lebih kecil
64
dari 0,05 sehingga uji statistik bermakna. Syarat melakukan uji Chi Square ialah sel yang mempunyai nilai expected lebih kecil dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel (Dahlan, 2010). Sehingga untuk mengetahuinya dilihat nilai expected pada masing-masing sel. Tabel 5.4: Distribusi Frekuensi Responden Menurut Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan Minum Obat di Wilayah Ciputat Juni 2014 (n=69) Kepatuhan Patuh Tidak Patuh n(%) n(%) Dukungan keluarga Buruk Baik
13 (48,1) 38 (90,5)
14 (51,9) 4 (9,5)
p value
0,000
Tabel 5.4 menunjukan bahwa sebagaian besar responden yang memiliki dukungan keluarga baik, menunjukan tingkat kepatuhan yang baik sebesar 90,5% dan hanya 48,1% kepatuhan yang baik ditunjukan dari dukungan keluarga yang buruk. P value sebesar 0,000 menunjukan bahwa dukungan keluarga memiliki pengaruh terhadap tingkat kepatuhan pasien terhadap kelancaran mengkonsumsi obat TB karena p > 0,05. Walaupun hubungan tersebut tidak begitu kuat karena phi sebesar 0,633.
BAB VI PEMBAHASAN A. Analisis Data Demografi 1. Gambaran Jenis Kelamin terhadap Kepatuhan Pada penelitian ini didapat bahwa pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan cenderung sama, karena persentase antara kedua variabel tidak ada perbedaan. Namun pada penelitian Hiswani dalam Sahat (2010) mengatakan ada perbedaan kejadian TB pada jenis kelamin, bahwa lakilaki lebih tinggi dibandingkan perempuan hal ini diakibatkan gaya hidup laki-laki cenderung lebih banyak merokok dimana merokok dapat memperparah penyakit tuberkulosis (Public Health Agency of Canada, 2010). Menurut Riskesdas (2007), prevalensi TB paru pada laki-laki 20 % lebih tinggi dibandingkan perempuan. Perbedaan angka ini dikarenakan pada wilayah penelitian yang dilakukan perempuan cenderung lebih waspada terhadap penyakit yang diderita karena takut menularkan kepada anaknya sehingga mereka akan mencari pengobatan. Dari infromasi yang didapat bahwa beberapa suami penderita yang juga terkena infeksi TB menolak jika dilakukan pengobatan karena akan mengganggu kesibukan mereka saat dilakukan pemeriksaan. Perbedaan frekuensi tidak hanya terlihat pada hubungannya dengan kejadian TB, namun juga dengan kepatuhan responden dalam pengobatan. Hasil persentase dari dua kategori jenis kelamin menunjukkan tingkat kepatuhan yang sama, artinya tidak ada perbedaan diantara keduanya dalam tingkat kepatuhan atau bahkan
65
66
bisa dikatakan sama. Hal ini terlihat pula dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap responden, dimana jawaban responden mengenai hal ini ialah mereka tidak mau menularkan infeksi ini kepada keluarga terutama anak mereka, mengingat seluruh responden telah memiliki keluarga.
2. Gambaran Usia terhadap Kepatuhan Hasil penelitian didapatkan persebaran data terbanyak berada di sekitar usia pertengahan yaitu 26-45 tahun dimana seseorang pada rentang umur tersebut rentan untuk terkena penyakit TB, selain itu pada usia pertengahan seseorang akan cenderung lebih aktif dalam berinteraksi sosial sehingga keterpaparan terhadap infeksi TB akan lebih besar pula. Sebagaimana hasil penelitian Hiswani dalam Sahat (2010) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru ialah usia 15-50 tahun. Usia 26-45 termasuk dalam rentang 15-50 tahun. Kaitannya antara usia dan kepatuhan juga menunjukkan bahwa pada ketiga kategori usia tidak perbedaan dengan tingkat kepatuhan. Dimana persentase usia remaja, dewasa, dan lansia yang patuh memiliki jumlah yang tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut, responden baik usia remaja, dewasa, ataupun lansia memiliki tingkat kesadaran yang tinggi akan pengobatan bisa. Hasil wawancara peneliti mendapatkan pada usia tersebut mereka harus bisa memenuhi kebutuhan keluarga mengingat sosial ekonomi mereka menengah ke bawah sehingga alasan sakit tidak boleh sampai menghalangi pekerjaan mereka.
67
3. Gambaran Pekerjaan terhadap Kepatuhan Hasil penelitian didapatkan bahwa penderita yang menderita penyakit TB lebih banyak pada penderita yang bekerja (52,2%) dari pada yang tidak bekerja (47,8%). Sesuai dengan penelitian Herryanto dalam Sahat (2010) yang menyatakan bahwa terdapat proporsi menurut pekerjaan, sebagian besar penderita yang tidak bekerja 34,9 %. Persebaran pekerjaan pada penderita TB di wilayah Ciputat ini yaitu buruh, pekerja bengkel, wiraswasta, karyawan, petani, dagang, dan supir. Data yang berbeda pada penelitian ini ialah didapatkan bahwa rata-rata pekerjaan yang dilakukan responden ialah pekerjaan yang berada didalam ruangan. Walaupun tidak sesuai dengan hasil studi literatur yang dilakukan Sahat, namun data ini sesuai dengan teori dalam Curry (2007) yang mengatakan bahwa penularan TB akan lebih cepat pada tempat yang sedikit terjadi sirkulasi udara. Kaitannya antara pekerjaan dan kepatuhan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan persentase pada kategori yang bekerja dan tidak bekerja dengan kepatuhan. Tidak adanya perbedaan ini dikarenakan bekerja bukanlah halangan untuk mereka tidak mau melakukan pengobatan, mengingat jadwal yang hanya 2 kali seminggu, sehingga tidak mengganggu rutinitas pekerjaan mereka. Sedangkan yang tidak bekerja, juga banyak yang patuh karena tidak ada aktifitas lain yang terganggu akibat pengobatan.
68
4. Gambaran Pendidikan Terakhir terhadap Kepatuhan Hasil penelitian menunjukkan bahwa persebaran penderita TB cenderung banyak yang berpendidikan tinggi yaitu sebanyak 50,7%. Namun pada penelitian Herryanto dalam Sahat (2010), pendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya TB. Laporan riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 juga menyatakan bahwa prevalensi penyakit TB cenderung meningkat pada pendidikan rendah. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena adanya peraturan wajib pendidikan 12 tahun sehingga kebanyakan responden berpendidikan SMA. Tidak ada perbedaan jumlah persentase antara kedua kategori terkait pendidikan terakhir, yakni rendah dan tinggi dengan tingkat kepatuhan. Sedikitnya selisih pada persentase ini dikarenakan kepatuhan merupakan bentuk perilaku seseorang, sedangkan pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku (Sunaryo, 2004). Pengetahuan tidak selalu sebanding dengan tingkat pendidikan, karena seseorang bisa tahu dengan mencari informasi baik melalui bertanya atau membaca.
B. Analisis Variabel Independen dan Dependen 1. Gambaran Dukungan Keluarga Penderita Tuberkulosis Hasil analisis, didapatkan dukungan keluarga yang diberikan kepada penderita TB di wilayah Ciputat sudah cukup baik, terlihat dari data ada sebanyak 60,9%. Sebagaimana diketahui bahwa keluarga, baik
69
inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota-anggotanya. Menurut Scheurer (2012), pembagian fungsi dukungan sosial keluarga adalah dukungan instrumental, dimana keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit. Bila salah satu anggota keluarga ada yang sakit, secara nyata keluarga harus memberikan pertolongan, dalam hal ini penderita TB memerlukan pertolongan keluarga. Selain itu fungsi keluarga adalah dukungan informasional keluarga berfungsi sebuah kolektor dan desiminator (penyebar) informasi tentang dunia. Dalam kasus ini, keluarga dapat mendukung penderita dengan memberikan informasi yang adekuat. Dan yang terakhir adalah dukungan emosional. Dalam dukungan emosional, keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaaan terhadap emosi. Jadi hal tersebut sangat relevan dengan teori tersebut, responden benar-benar merasakan dukungan keluarga sebagai faktor penunjang kepatuhan mereka untuk minum OAT secara teratur. Sebanyak 40,1% responden mendapatkan dukungan yang tidak baik, dimana hal ini dapat berimbas pada kepatuhan terhadap pengobatan. Hal ini terlihat dari hasil observasi peneliti saat pengambilan data. Masih ada penderita yang merasa kurang dekat dengan keluarga dan takut merepotkan keluarganya. Sehingga saat mereka butuh bantuan, mereka merasa malu untuk meminta bantuan yang pada akhirnya berimbas pada ketidakpatuhan pasien. Diharapkan keluarga untuk aktif dalam pengobatan responden agar kepatuhan dalam pengobatan dapat tercapai.
70
2. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Kepatuhan minum obat pada masyarakat Ciputat juga termasuk dalam kategori baik, karena dari distribusti data didapat lebih dari 70% atau lebih dari separuh populasi termasuk dalam kategori patuh. Dalam penelitiannya, Syakira (2012) juga menyatakan bahwa lebih dari 50% penderita yang patuh dalam pengobatan. Sejalan pula dengan data dari BIMKMI (2009), angka capaian Indonesia dalam pengobatan ialah sebesar 91%, dan mengalami penurunan pada tahun 2012 angka capaian pengobatan menurun. Salah satu alasan dari tidak berhasilnya pengobatan ialah kepatuhan itu sendiri. Penurunan angka ini sangat disayangkan karena tujuan pengobatan ialah diharapkan bisa memberantas hingga 100%. Dari hasil pengamatan saat melakukan pengambilan data 30% responden yang tidak patuh, dikarenakan beberapa hal, yakni: (a) Kurangnya petugas yang dalam hal ini perawat untuk selalu melakukan pendidikan kesehatan mengenai pentingnya kepatuhan minum obat, karena tergesa-gesa saat memberikan obat agar antrian tidak terlalu lama. (b) Masih ada keluarga yang kurang peduli dengan keluarga terlihat dari terdapat salah satu penderita dengan gangguan psikologi mengambil obat sendiri; dan (c) Masih ada responden yang belum tahu aturan pengobatan sehingga saat mereka pindah tempat atau mudik, tidak memberi tahu petugas terlebih dahulu yang berimbas pengulangan pengobatan.
71
C. Analisis Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Kepatuhan dalam pengobatan akan meningkat ketika pasien mendapatkan bantuan dari keluarga (Ramirez dalam Glick et al., 2011). Disamping itu, pasien yang tidak memiliki keluarga atau
memiliki nonsupportive/
nonavailable/ conflicted family akan mempengaruhi terminasi pengobatan lebih awal dan hasil yang tidak memuaskan (Glick et al., 2011). Hasil analisis bivariat menyimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dan kepatuhan minum obat penderita TB. Pernyataan ini didukung pula oleh penelitian Warsito (2009) dan Handayani (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif dan bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan minum obat. Diperkuat pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Permatasari dalam Sahat (2010) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada penderita TB ialah dukungan keluarga. Penelitian Jojor (2004) yang menemukan bahwa pengobatan pasien TB Paru yang tidak lengkap disebabkan oleh peranan anggota keluarga yang tidak sepenuhnya mendampingi penderita. Akibatnya penyakit yang diderita kambuh kembali dan dapat menular kepada anggota keluarga yang lain. Pada beberapa penelitian yang lain pula menyebutkan bahwa selain pada penderita tuberkulosis, dukungan keluarga mempengaruhi kepatuhan minum obat baik pada penderita HIV, hipertensi, maupun skizofrenia.
72
D. Keterbatasan Penelitian Kurangnya keterlibatan petugas saat pengambilan data sehingga dalam pengisian kuesioner, responden kurang antusias.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Persebaran demografi penderita TB di Wilayah Ciputat tidak terlalu signifikan berbeda karena selisih angka diantara variabel pembandingnya tipis. Meliputi: (a) Usia, dimana persebaran usia berada pada usia 28-45 yakni usia yang rentan untuk terjadi infeksi. (b) Jenis kelamin, persentase pada jenis kelamin laki-laki sebesar 49,3% sedangkan perempuan 50,7%. Tidak ada perbedaan yang signifikan. (c) Pekerjaan, lebih banyak penderita TB yang berstatus bekerja dengan angka 52,2% penderita yang bekerja dan 47,8% penderita yang tidak bekerja. (d) Pendidikan Terakhir, penderita dengan pendidikan rendah sebanyak 34 responden (49,3%), dan penderita dengan pendidikan tinggi sebanyak 35 responden (50,7%). 2. Gambaran tingkat dukungan keluarga penderita TB di Ciputat dikatakan baik karena lebih dari setengah sampel, yaitu 60,9% masuk dalam kategori baik. 3. Tingkat kepatuhan penderita TB dalam melakukan pengobatan juga dikatakan baik karena lebih dari setengah sampel, yaitu 73,9% masuk dalam kategori baik, dengan perbedaan jumlah penderita yang patuh dan yang tidak patuh sebanyak 51 dan 18 responden.
73
74
4. Ada hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat pada penderita TB, dengan hasil p value setelah uji chi square ialah 0,00.
B. Saran 1. Puskesmas Ciputat Pemantauan keluarga diusahakan dengan meminta keluarga untuk menemani penderita yang butuh pendampingan seperti penderita cacat fisik atau cacat mental saat ke Puskesmas karena masih ada penderita yang datang sendiri ke Puskesmas. 2. Puskesmas Ciputat Timur Evaluasi pada setiap penderita yang berindikasi untuk putus obat dilakukan agar infeksi dapat disembuhkan. Bisa dengan melakukan kunjungan rumah penderita sesuai alamat yang tercatat di Puskesmas. 3. Perawat Sebagai seorang perawat, modifikasi pemberian edukasi setiap kali pertemuan dengan penderita melalui media baik cetak maupun elektronik di sekitar ruang tunggu pasien sangat dianjurkan, karena kemungkinan terjadinya kelalaian dan lupa tidaklah sedikit. 4. Peneliti Lain
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan untuk bisa menyeimbangkan faktor dukungan keluarga.
Meminta keterlibatan petugas saat pengambilan data
DAFTAR PUSTAKA Agency for Healthcare Research and Quality. (2012).Medication Adherence Interventions: Comparative Effectiveness Closing the Quality Gap: Revisiting the State of the Science diakses dari http://www.effectivehealthcare.ahrq.gov/ehc/products/296/1248/EvidenceReport20 8_CQGMedAdherence_FinalReport_20120905.pdf tanggal 6 maret 2014 Ahsan, A., dan Putu Ari Sadhu Permana Hany. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Hipertensi di Poli Jantung RSSA Malang. Tesis. Arifin, Zaenal. (2008). Dasar-dasar penulisan karya ilmiah edisi ke 4. Jakarta: Grasindo Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Barker dkk. (2005). Principles of Ambulatory Medicine 7th ed. USA: Lippincott Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (BIMKMI) vol. 1 No 1 Oktober 2012 diakses dari bimkmi.bimkes.org tanggal 14 November Budiarto, Eko. (2002). Biostatistika untuk kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC Centers for Disease Control. (2013). CDC’s Noon Conference Centers for Disease Control and Prevention. (2012). Reported Tuberculosis in the United States, 2011. Chambers, J. A., Ronan E. O‟ Carroll, Barbara Hamilton, Jennifer Whittake, Marie Johnston, Cathie Sudlow, dan Martin Dennis. (2010). Adherence to medication in stroke survivors: a Qualitative comparison of low and high adherence” Connolly L.E., Edelstein PH, & Ramakrishnan L. (2007). Why Is Long-Term Therapy Required to Cure Tuberculosis? PLoS Med 4(3): e120. doi:10.1371/journal. pmed.0040120 diakses dari http://www.plosmedicine.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pmed.0 040120 tanggal 22 April 2014 Corwin, E.J. (2008). Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta: EGC Curry, F.J. (2007). National Tuberculosis Center: Tuberculosis Infection Control: A Practical Manual for Preventing TB, [inclusive page numbers]. Diakses dari https://www.ndhealth.gov/Disease/TB/Documents/Infection%20Control.pdf pada tanggal 4 Juli 2014 Dahlan, M.Sopiyudin. (2010). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan edisi 3. Jakarta: Salemba Medika Danim, Sudarwan. (2003). Riset Keperawatan Sejarah & Metodologi. Jakarta: EGC
75
76
Departemen kesehatan RI. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Ed.2 diakses dari http://tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf tanggal 26 Februari 2014 Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Diakses dari http://www.depkes.go.id/downloads/doen2008/puskesmas_2007.pdf Departemen Kesehatan RI. (2009). Departemen kesehatan RI. (2013). diakses http://www.depkes.go.id/downloads/KUNKER%20MARET% 202013/RE%20Banten.pdf tanggal 14 November 2013
dari
DiMatteo M.R., Giordani PJ, & Lepper HS,. (2002). Patient adherence and medical treatment outcomes: a meta-analysis. Med Care. 2002 Sep;40(9):794-811. PMID: 12218770. Fakhruddin, T. (2012). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Skizofrenia di Kabupaten Aceh Barat Daya. Tesis. Fitzpatrick, R., Stanton N., Tracey R., Suzanne S., Williams, dan Gareth. (2005). Understanding Rheumatoid Arthritis. Routledge: Newyork. Glick, I.D, Anya H. Stekoll, dan Spencer Hays. (2011). The Role of the Family and Improvement in Treatment Maintenance, Adherence, and Outcome for Schizophrenia. Journal of Clinical Psychopharmacology Volume 31, Number 1, February 2011. Gough, A. dan Garri Kaufman (2011) Pulmonary Tuberculosis: clinical features and patient management. Nursing Standard. July 27: vol 25, no 47, page 48-56. Handayani, Meery. (2011). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP dr. M. Djamil Padang. Skripsi Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. (2011).Statistik Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika. Jeffrey, A. Gliner. (2012). Just The Fact 101 textbook Key Facts, textbook outline, highlight & Practice Quizzes. Research Methods in Applied Settings: An Integrated Approach to Design and Analysis 2nd Edition. Study Guide.Cram101: USA. Jojor. (2004). Ketidakpatuhan Pasien TB Paru dalam Hal Pengobatan. Skripsi Journal
of Plos Medicine. (2007). 4(7): e238. Diakses dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17676945 tanggal 27 November 2013
77
Jurnal Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) vol.1 Maret (2012) diakses dari Download PPTI-Jurnal-Maret-2012.pdf tanggal 13 November KBBI diakses dari http://kbbi.web.id/keluarga Kao, H.F., dan Travis, S.S. (2005). Effects of Accultiration and Social Exchange on the Expectation of Filial Piety Among Hispanic/Latino Parents of Adult Children. Nursing & Health Sciences, 7(4), 226-234. Lewis dkk. (2007). Medical-Surgical Nursing Vol 1.USA. Mosby Elsevier Maryam, R.S. dkk., (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika: Jakarta Mbata dan Iroezindu. (2013). Complications of Tuberculosis. Pioneer Medical Journal Vol. 3, No. 5, January - June, 2013. Diakses pada tanggal 12 Juli 2014 dari https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad= rja&uact=8&ved=0CD8QFjAD&url=https%3A%2F%2Fwww.iconceptpress.com %2Fdownload%2Fpaper%2F13030321070582.pdf&ei=sVXBU9LmJ5K1uATzro Ag&usg=AFQjCNFXnbXcM4Yhr303fC1OTNnWqIasog&sig2=H3qkMcORiQ H4huKyDfNoHw&bvm=bv.70810081,d.c2E
McLafferty E, Carolyn Johnstone, Charles Hendry, Alistair Farley (2013). Respiratory System part 1: pulmonary ventilation. Journal of Nursing Standard vol. 27 no 22 Muttaqin, Arif. (2007). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam dan Ninuk. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika Nursalam. (2008). KONSEP DAN PENERAPAN METODOLOGI PENELITIAN ILMU KEPERAWATAN Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Ed.2. Jakarta: Salemba Medika Nursiswati. (2013). Gambaran Kepatuhan Pasien TBC Dalam Menjalani Pengobatan Obat Anti Tuberkulosis Di Tiga Puskesmas, Kabupaten Sumedang. Unpad, diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/archives/79185/ tanggal 26 Februari 2014 Osterberg L, Blaschke T. (2005). Adherence to medication. N Engl J Med. 2005 Aug 4;353(5):487-97. PMID: 16079372. Porche,D.J. (1999). Jounal of pulmonary tuberculosis, diagnosis, and management vol.8. Price A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit Vol.2 Ed.6. Jakarta: EGC Public Health Agency of Canada. (2010). Tuberculosis (TB) and Tobacco Smoking http://www.phac-aspc.gc.ca/tbpc-latb/fa-fi/tbtobacco-tabag-eng.php tanggal 25 Juni 2014
78
Riset Kesehatan Dasar. (2007). Riset Kesehatan Dasar. (2013). Sahat P Manalu, Helper. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2010 : 1340 – 1346. diakses pada tanggal 20 Juni 2014 dari bpk.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/download/1598/pdf. Scheurer, D., Niteesh Choudhry, Kellie A. Swanton, Olga Matlin, dan Will Shrank. (2012). The American Journal Of Managed Care Vol. 18, No. 12 Self
Measure for Social Support. Diakses dari http://www.fetzer.org/sites/default/files/images/ stories/pdf/selfmeasures/Self_Measures_for_Social_Support_INTERPERSONA L_SUPPORT_EVALUATION.pdf tanggal 6 maret 2014
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan-edisi pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu Somantri, Irman. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika Stanhope Marcia and Jeanette Lancaster. (2004). Community & Public Health Nursing sixth ed. USA: Mosby Evolve Sulkind, Neil J.(2010). Encyclopedia of Research Design.California: SAGE Publication Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga:Aplikasi dalam praktik. Jakarta: EGC Suradi,dkk. (2013). Modul Field Lab Semester III P2M TB Swarjana, I Ketut. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET Treatment of tuberculosis guidelines 4th edition. WHO. (2010). diakses dari download 9789241547833_eng.pdf tanggal 13 November Tuberkulosis di Indonesia. diakses dari http://www.tbindonesia.or.id tanggal 28 Februari 2014 Umar, Husein. (2005). Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Ukpe, I S. dan L. Southern. (2006). Erythrocyte sedimentation rate values in active tuberculosis with and without HIV co-infection. SAMJ-LETTERS. May 2006, Vol. 96, No. 5. Diakses dari http://www.samj.org.za/index.php/samj/article/viewFile/1122/574 Van Den Berg, R.H. dan M.J. Viljoen. (2007). Communicable Disease; A Nursing Perspective.Cape Town: CTP Book Printers
79
Videbeck, Sheila L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Walen, Heather R. & Margie E. Lachman.(2000). Social support and strain from partner, family, and friends: Costs and benefits for men and women in adulthood. Journal of Social and Personal. Vol. 17(1): 5–30. [0265–4075 (200002) 17:1; 011279]. Diakses dari http://aging.wisc.edu/midus/findings/pdfs/260.pdf pada tanggal 6 maret 2014 Warsito. (2009). Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Fase Intensif pada Penderita TB di Puskesmas Pracimantoro Wonogiri Jawa Tengah. Tesis WHO. (2003). Adherence To Long-Term Therapies Evid Ence For Action diakses dari http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42682/1/9241545992.pdf pada tanggal 6 maret 2014 WHO. (2013). diakses dari www.who.int/research/en/ tanggal 12 November 2013 WHO. (2013). Countdown to 2015 Global Tuberculosis Report 2013 Supplement report of Global TB Control. Woodward, E.N. dan David W. Pantalone. (2012). The Role of Social Support and Negative Affect in Medication Adherence for HIV-Infected Men who Have Sex with Men. Journal of The Association of Nurses in AIDS Care. Vol. 23, No.5, Spetember/October 2012, 388-396 Yi Choi, Jin dan Sohyune R. Sok. (2012). Relationship among family support, health status, burnout, and the burden of the family caregiver caring for Korean older adults.Journal of Hospice & Palliative care. Vol 14. No 8 York, N.L. dan Christy Kane. (2012). Caring for the critically ill patient with tuberculosis.
80
81
Lampiran 1
83
84
85
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN Dibawah ini, saya: Nama (inisial)
:
Usia
:
Bersedia terlibat sebagai responden dalam penelitian Sdri Desy Fitri Maulidia Mahasiswi PSIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Tuberkulosis Di Wilayah Ciputat Tahun 2014”. Dan sudah dijelaskan manfaat, kerugian, dan konsekuensi yang akan saya terima serta menjamin kerahasiaan identitas saya. Ciputat,
2014 Ttd,
____________________
Lampiran 3
No Responden: LEMBAR KUESIONER HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KEPATUHAN MINUM OAT PADA PASIEN TB 1. Data Demografi Nama (inisial) Jenis Kelamin Usia Pekerjaan Pendidikan terakhir
:................................ :................................ :................................ :................................ :................................
2. Dukungan Keluarga Berilah tanda ceklist (√) pada kolom dibawah ini, sesuai dengan apa yang Anda rasakan. Tidak No Pernyataan jarang pernah Keluarga saya: 1
Mengambilkan obat bila saya tidak bisa ambil sendiri
2
Mendorong saya untuk sembuh dan patuh dalam pengobatan
3.
Ada disaat saya merasa kesepian
4.
Mengantar berobat jika saya tidak bisa datang sendiri
5.
Menginformasikan tentang manfaat dan resiko tidak patuh minum obat
6.
Mengingatkan minum obat bila saya lupa
7.
Memberikan kasih sayang
8.
Mengantarkan saya untuk periksa
9.
Mau mendengarkan keluh kesah saya
10. Menemani saya saat minum obat 11. Memberika perhatian
Selalu
87
No
Pernyataan
12. Ada saat dibutuhkan 13. Ada saat saya merasa sendiri 14. Mencontohkan cara minum obat bila saya tidak mampu 15. Memenuhi kebutuhan makan-minum saya dirumah 16. Mengantar saya jika tidak mampu, walau jaraknya dekat 17. Memberikan penghargaan bila saya sedang putus asa 18. Mengingatkan saya untuk pasrah dan bersyukur kepada Tuhan 19. Menanggung biaya bila saya tidak mampu 20. Mencintai saya 21. Membantu membacakan dosis bila saya tidak mampu 22. Membantu memfasilitasi pengobatan bila saya tidak mampu 23. Memberi nasehat saat saya menghadapi masalah 24. Bertemu dan berbicara, saat saya membutuhkan mereka 25. Menyediakan obat dalam sebuah wadah bila saya tidak mampu
Tidak pernah
jarang
Selalu
Lampiran 4 3. Kepatuhan Minum Obat Jawablah pertanyaan berikut sesuai dengan yang Anda rasa dan Anda lakukan selama pengobatan. No
Pernyataan
1.
Apakah Anda terkadang lupa untuk minum obat?
2.
Pernahkah Anda tidak minum obat selain karena alasan lupa?
3.
Pernahkah berhenti minum obat dan tidak memberi tahu dokter Anda?
4.
Pernahkah Anda lupa membawa obat saat dalam perjalanan?
5.
Apakah kemarin Anda minum obat dengan lengkap?
6.
Apakah Anda pernah berhenti untuk minum obat saat tidak ada gejala?
7.
Apakah Anda pernah kesal dengan rencana pengobatan Anda yang lama?
8.
Apakah Anda sering lupa untuk minum obat Anda?
Ya
Tidak
Lampiran 5 1. Instrumen Dukungan Keluarga Tabel: Nilai reliabilitas dukungan menggunakan pearson product (n = 22) Cronbach's Alpha .906
N of Items 25
Tabel: Nilai uji validitas dukungan menggunakan pearson product moment dengan t tabel 0,432 (n = 22) Nilai r Nilai α Pernyataan (pearson correlation) (Sig. 2 tailed) A1 .314 .155 A2 .604 .003 A3 .712 .000 A4 .156 .313 A5 .035 .452 A6 .000 .800 A7 .000 .748 A8 .001 .647 A9 .002 .623 A10 .000 .856 A11 .003 .595 A12 .002 .626 A13 .000 .706 A14 .000 .830 A15 .833 .048 A16 .022 .487 A17 .002 .617 A18 .125 .337 A19 .000 .685 A20 .337 .215 A21 .022 .486 A22 .003 .596 A23 .143 .323 A24 .022 .486 A25 .000 .700 Terdapat 6 pertanyaan tidak valid, sehingga dilakukan perubahan redaksi kalimat namun tidak merusak makna aslinya. Dilakukan uji ulang
90
Setelah dilakukan uji ulang, menghasilkan hasil sebagai berikut: Tabel: Nilai realibilatas dukungan menggunakan alpha cronbach (n = 20) Cronbach's N of Items Alpha .928 25 Tabel: Nilai uji validitas dukungan menggunakan pearson product moment (n = 20) t tabel 0,444 Nilai r Nilai α Pernyataan (pearson correlation) (Sig. 2 tailed) A1 .777 .000 A2 .410 .073 A3 .756 .000 A4 .000 .729 A5 .000 .743 A6 .000 .742 A7 .002 .651 A8 .000 .754 A9 .000 .712 A10 .079 .402 A11 .001 .694 A12 .000 .742 A13 .587 .129 A14 .032 .481 A15 .000 .714 A16 .117 .362 A17 .056 .435 A18 .451 -.179 A19 .044 .455 A20 .002 .651 A21 .001 .685 A22 .003 .819 A23 .000 .713 A24 .000 .761 A25 .000 .720
91
Untuk menguatkan hasil validasi, dilakukan uji ulang pada penelitian sesungguhnya yang disebut test retest, dengan hasil sebagai berikut: Tabel: Nilai realibilatas dukungan menggunakan alpha cronbach (n = 69) Cronbach's N of Items Alpha .934 25 Tabel: Nilai uji validitas dukungan menggunakan pearson product moment (n = 69) t tabel 0,244 Nilai r Nilai α Pernyataan (pearson correlation) (Sig. 2 tailed) A1 .596 .000 A2 .633 .000 A3 .619 .000 A4 .000 .711 A5 .000 .716 A6 .000 .624 A7 .000 .696 A8 .000 .703 A9 .000 .642 A10 .000 .536 A11 .000 .715 A12 .000 .635 A13 .000 .605 A14 .000 .577 A15 .000 .557 A16 .000 .685 A17 .000 .564 A18 .000 .522 A19 .000 .624 A20 .000 .527 A21 .000 .689 A22 .000 .803 A23 .000 .612 A24 .000 .583 A25 .000 .765
92
2. Instrumen Kepatuhan Tabel: Nilai realibilitas instrumen kepatuhan menggunakan K-R 20 (n= 16) B1 B2 B3 B4 P 0.5625 0.0625 0.25 0.125 Q 0.4375 0.9375 0.75 0.875 p*q 0.246094 0.058594 0.1875 0.109375
P Q p*q Sigma p*q n soal n-1 Varian total K-R 20 Ket.
B5 0.9375 0.0625 0.058594 1.261719
B6 B7 B8 0.375 0.1875 0.3125 0.6875 0.625 0.8125 0.234375 0.152344 0.214844
=8 =7 = 4.829167 = 0.844262 = reliable
Tabel: Nilai uji validitas kepatuhan dengan pearson product moment, t tabel 0,497 (n = 16) Nilai r Nilai α Pertanyaan (pearson correlation) (Sig. 2 tailed) B1 .751 .001 B2 .629 .009 B3 .797 .000 B4 .006 .655 B5 .594 -.144 B6 .001 .736 B7 .000 .795 B8 .000 .883 Terdapat 1 pertanyaan tidak valid, sehingga dilakukan perubahan redaksi kalimat negatif menjadi positif, dan tidak merusak makna aslinya. Dilakukan uji ulang.
93
Setelah dilakukan uji ulang, menghasilkan hasil sebagai berikut: Tabel: Nilai realibilitas instrumen kepatuhan menggunakan K-R 20 setelah modifikasi soal (n= 20) P Q p*q sigma p*q n soal n-1 Varian total K-R 20 Ket.
B1 B2 B3 0.2 0.15 0.15 0.8 0.85 0.85 0.16 0.1275 0.1275 1.1125 =8 =7 = 4.3833333 = 0.77986476 = reliable
B4 0.2 0.8 0.16
B5 0.2 0.8 0.16
B6 0.15 0.85 0.1275
B7 0.2 0.8 0.16
Tabel: Nilai uji validitas kepatuhan dengan pearson product moment, t tabel 0,444 (n=20) Nilai r Nilai α Pertanyaan (pearson correlation) (Sig. 2 tailed) B1 .863 .000 B2 .457 .043 B3 .764 .000 B4 .000 .795 B5 .645 .110 B6 .000 .841 B7 .176 .315 B8 .000 .850
B8 0.1 0.9 0.09
94
Untuk menguatkan hasil validasi, dilakukan uji ulang pada penelitian sesungguhnya yang disebut test retest, dengan hasil sebagai berikut: Tabel: Nilai realibilitas instrumen kepatuhan menggunakan K-R 20 (n= 69) P Q p*q
P Q p*q sigma p*q n soal n-1 Varian total K-R 20 Ket.
B1 B2 B3 B4 B5 0.24637681 0.14492754 0.11594203 0.20289855 0.28985507 0.75362319 0.85507246 0.88405797 0.79710145 0.71014493 0.18567528 0.12392355 0.10249947 0.16173073 0.20583911 B6 0.2173913 0.7826087 0.17013233 1.32955261
B7 B8 0.34782609 0.24637681 0.65217391 0.75362319 0.2268431 0.18567528
=8 =7 = 4.39428815 = 0.79706992 = reliable
Tabel: Nilai uji validitas kepatuhan dengan pearson product moment, t tabel 0,244 (n=69) Nilai r Nilai α Pertanyaan (pearson correlation) (Sig. 2 tailed) B1 .714 .000 B2 .682 .000 B3 .652 .000 B4 .752 .000 B5 .306 .011 B6 .772 .000 B7 .511 .000 B8 .823 .000
Lampiran 6 1. Uji Normalitas Data One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Dukungan keluarga N Normal Parameters
a,b
Most Extreme Differences
Kepatuhan
69
69
Mean
66.68
1.75
Std. Deviation
9.444
2.096
Absolute
.189
.249
Positive
.189
.249
Negative
-.174
-.201
1.572
2.069
.014
.000
Valid Percent
Cumulative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
2. Hasil Uji Univariat a. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frequency
Percent
Percent
Valid
Laki-Laki
34
49.3
49.3
49.3
Perempuan
35
50.7
50.7
100.0
Total
69
100.0
100.0
96
b. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Pekerjaan Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
tidak bekerja
33
47.8
47.8
47.8
Bekerja
36
52.2
52.2
100.0
Total
69
100.0
100.0
c. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Pendidikan terakhir Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
rendah
34
49.3
49.3
49.3
tinggi
35
50.7
50.7
100.0
Total
69
100.0
100.0
97
d. Distribusi Frekuensi Usia kat_usia Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
remaja
14
20.3
20.3
20.3
dewasa
38
55.1
55.1
75.4
lansia
17
24.6
24.6
100.0
Total
69
100.0
100.0
Valid
e. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Dukungan Keluarga Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
buruk
27
39.1
39.1
39.1
baik
42
60.9
60.9
100.0
Total
69
100.0
100.0
98
f. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Kepatuhan Minum Obat Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
patuh
51
73.9
73.9
73.9
tidak patuh
18
26.1
26.1
100.0
Total
69
100.0
100.0
g. Tabel Statistik Data Demografi Jenis Kelamin Valid
Pekerjaan
Pend. Terakhir
usia
Dukungan
Kepatuhan
69
69
69
69
69
0
0
0
0
0
Mean
1.51
1.52
3.19
1.96
66.68
1.75
Median
2.00
2.00
4.00
2.00
70.00
1.00
2
2
4
2
75
0
.504
.503
1.004
.629
9.444
2.096
-.030
-.089
-.751
.397
89.191
4.394
.289
.289
.289
.289
-1.683
1.333
-2.060
-2.052
-.511
.960
.289
.289
.570
.570
.570
.570
2.836
.933
Minimum
1
1
1
1
.570
.570
Maximum
2
2
5
4
34
0
104
105
220
135
75
8
25
1.00
1.00
2.00
4601
121
50
2.00
2.00
4.00
62.00
.00
75
2.00
2.00
4.00
70.00
1.00
N Missing
Mode Std. Deviation Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis
Sum
Percentiles
99
3. Hasil Uji Bivariat a. Crosstab Jenis Kelamin vs Kepatuhan Case Processing Summary Cases Valid N JK * kepatuhan
Missing
Percent 69
N
100.0%
Total
Percent 0
N
0.0%
Percent 69
100.0%
JK * kepatuhan Crosstabulation kepatuhan patuh Count
Total
tidak patuh 25
9
34
% within JK
73.5%
26.5%
100.0%
% within kepatuhan
49.0%
50.0%
49.3%
% of Total
36.2%
13.0%
49.3%
26
9
35
% within JK
74.3%
25.7%
100.0%
% within kepatuhan
51.0%
50.0%
50.7%
% of Total
37.7%
13.0%
50.7%
51
18
69
73.9%
26.1%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
73.9%
26.1%
100.0%
Laki-Laki
JK Count Perempuan
Count % within JK Total % within kepatuhan % of Total
Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.943
.000
1
1.000
.005
1
.943
.005 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.000 .005 69
1
.943
.580
100
b. Crosstab Pekerjaan vs Kepatuhan Case Processing Summary Cases Valid N Pek * kepatuhan
Missing
Percent 69
N
100.0%
Total
Percent 0
N
Percent
0.0%
69
100.0%
Pek * kepatuhan Crosstabulation kepatuhan patuh Count
Total
tidak patuh 24
9
33
% within Pek
72.7%
27.3%
100.0%
% within kepatuhan
47.1%
50.0%
47.8%
% of Total
34.8%
13.0%
47.8%
27
9
36
% within Pek
75.0%
25.0%
100.0%
% within kepatuhan
52.9%
50.0%
52.2%
% of Total
39.1%
13.0%
52.2%
51
18
69
73.9%
26.1%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
73.9%
26.1%
100.0%
tidak bekerja
Pek Count Bekerja
Count % within Pek Total % within kepatuhan % of Total
Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.830
.000
1
1.000
.046
1
.830
.046 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.000 .045 69
1
.831
.523
101
c. Crosstab Pendidikan Terakhir vs Kepatuhan Case Processing Summary Cases Valid N PenT * kepatuhan
Missing
Percent 69
N
Total
Percent
100.0%
0
N
0.0%
Percent 69
100.0%
kat_pend * kepatuhan Crosstabulation kepatuhan patuh Count
Total
tidak patuh 26
8
34
25.1
8.9
34.0
% within kat_pend
76.5%
23.5%
100.0%
% within kepatuhan
51.0%
44.4%
49.3%
25
10
35
25.9
9.1
35.0
% within kat_pend
71.4%
28.6%
100.0%
% within kepatuhan
49.0%
55.6%
50.7%
51
18
69
51.0
18.0
69.0
% within kat_pend
73.9%
26.1%
100.0%
% within kepatuhan
100.0%
100.0%
100.0%
Expected Count rendah
kat_pend Count Expected Count tinggi
Count Expected Count Total
Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.633
.041
1
.839
.228
1
.633
.227 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.785 .224 69
1
.636
.420
102
d. Crosstab Usia vs Kepatuhan Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
katusia * kepatuhan
69
N
Total
Percent
100.0%
0
N
0.0%
Percent 69
kat_usia * kepatuhan Crosstabulation kepatuhan patuh Count
Total
tidak patuh 9
5
14
10.3
3.7
14.0
% within kat_usia
64.3%
35.7%
100.0%
% within kepatuhan
17.6%
27.8%
20.3%
29
9
38
28.1
9.9
38.0
% within kat_usia
76.3%
23.7%
100.0%
% within kepatuhan
56.9%
50.0%
55.1%
13
4
17
12.6
4.4
17.0
% within kat_usia
76.5%
23.5%
100.0%
% within kepatuhan
25.5%
22.2%
24.6%
51
18
69
51.0
18.0
69.0
73.9%
26.1%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
Expected Count remaja
Count Expected Count kat_usia
dewasa
Count Expected Count lansia
Count Expected Count Total % within kat_usia % within kepatuhan a
Test Statistics
kat_usia Mann-Whitney U
412.000
Wilcoxon W
583.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-.714 .475
a. Grouping Variable: katgutman2
100.0%
103
e. Crosstab Dukungan Keluarga vs Kepatuhan dukungan * kepatuhan Crosstabulation kepatuhan patuh Count
tidak patuh 13
14
27
20.0
7.0
27.0
% within dukungan
48.1%
51.9%
100.0%
% of Total
18.8%
20.3%
39.1%
-7.0
7.0
38
4
42
31.0
11.0
42.0
% within dukungan
90.5%
9.5%
100.0%
% of Total
55.1%
5.8%
60.9%
Residual
7.0
-7.0
Count
51
18
69
51.0
18.0
69.0
% within dukungan
73.9%
26.1%
100.0%
% of Total
73.9%
26.1%
100.0%
Expected Count buruk
Total
Residual dukungan Count Expected Count baik
Expected Count Total
Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
13.155
1
.000
15.397
1
.000
15.271 b
df
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association
15.050
N of Valid Cases
1
.000
69
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.04. b. Computed only for a 2x2 table Symmetric Measures Value
Approx. Sig.
Phi
.057
.633
Cramer's V
.057
.633
Nominal by Nominal N of Valid Cases a. Not assuming the null hypothesis.
69
.000