HUBUNGAN SIPIL DAN MILITER DALAM PERPOLITIKAN FIJI: 1987-2006 ditujukan untuk memenuhi ujian akhir semester mata kuliah: Militer dan Politik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Jahja A. Muhaimin Sukmawani Bela Pertiwi, MA.
Disusun Oleh: Nius Pranantha
13/345257/SP/25527
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................................ DAFTAR ISI.....................................................................................................................................
ii
BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.............................................................................................................. 1-2 1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................
2
1.3. Landasan Konseptual....................................................................................................
2
1.4. Argumentasi Utama.......................................................................................................
3
BAB II: PEMBAHASAN 2.1. Dinamika Kemelut Perpolitikan Fiji........................................................................ 4-6 2.2. Relasi Sipil-Militer dalam Politik Fiji...................................................................... 6-9 2.3. Keberhasilan Kudeta Militer Fiji..............................................................................
9
BAB III: KESIMPULAN 3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................ 1112
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam upaya menciptakan stabilitas politik yang sempurna di sebuah negara, sepatutnya terjalin kerjasama yang baik antara aktor pemerintah dan non-pemerintah. Namun sayangnya, kekompakan yang diharapkan tercipta antar kedua pihak, dalam beberapa kesempatan justru menghasilkan buah pahit. Cukup banyak fenomena yang menggambarkan bagaimana kemudian terjadi perpecahan akibat perbedaan kepentingan aktor-aktor, yang akhirnya menyebabkan politik di negara terkait terjerat huru-hara besar. Demikian adanya yang terjadi di Fiji. Nihilnya kesamaan nilai yang dijunjung antara pihak pemerintah dan non-pemerintah, serta didukung oleh faktor-faktor internal lainnya, menyebabkan negara ini terjebak dalam krisis politik yang berkesinambungan. Terhitung semenjak tahun 1987 hingga 2006, terjadi setidaknya empat kali kudeta terhadap pemimpin negara yang telah dipilih secara demokratis – tiga diantaranya dilakukan oleh militer. Kudeta militer pertama terjadi pada 14 Mei 1987, yang ditengarai terjadi akibat sentimentil etnisitas oleh etnis Fiji akibat dominansi peran etnis pendatang, yakni IndoFiji. Namun kemudian, timbul kekecewaan militer atas kinerja Jendral Sir Penaia Ganilau yang ia angkat sebagai kepala pemerintahan pasca kudeta Mei 1987. Akhirnya, kudeta militer pun kembali dilancarkan pada 25 September 1987. Selang tiga belas tahun setelahnya, kudeta juga kembali terjadi pada Mei 2000 di bawah pimpinan George Speight yang merupakan seorang nasionalis Fiji beretnis campuran. 1 Hal ini diakibatkan oleh gelombang protes akibat disparitas ekonomi antara etnis Fiji dan etnis pendatang. Alhasil, Perdana Menteri Mahendra Chaudhry yang beretniskan Indo-Fiji yang telah dipilih melalui pemilihan demokratis harus turun dari jabatannya. Speight juga di saat bersamaan mengambil tindakan sewenang-wenang berupa pemecatan terhadap perdana menteri dan presiden menjabat. Guna menstabilisasi politik negara, militer di bawah pimpinan Frank Bainimarama kemudian turun tangan dengan memenjarakan Speight serta melantik seorang bankir beretniskan Fiji asli bernama Laisenia Qarase sebagai perdana menteri. Tetapi ternyata, kinerja Qarase tidak memenuhi ekspektasi militer, sehingga pada 5 Desember 2006, kudeta militer kembali terjadi dengan melahirkan Banimara sebagai penguasa pemerintahan tunggal di Fiji. 1 B. V. Lal, Islands of Turmoil: Elections and Politics in Fiji, ANU E Press, Canberra, 2006, p. 185
Untuk membahas lebih lanjut mengenai isu dinamika sipil-militer di Fiji, dalam risalah ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai kilas umum militer Fiji dan kronologis peristiwa kudeta terhitung semenjak tahun 1987 hingga 2006. Penulis juga akan memaparkan bagaimana kemudian para militer bertindak dan mengambil keputusan pasca diturunkannya pemimpin menjabat. Selanjutnya, penulis akan menganalisa menggunakan beberapa landasan konseptual guna memahami lebih dalam bagaimana dinamika hubungan sipil-militer ini di Fiji berjalan hingga kudeta militer yang terjadi menunjukkan sebuah pola keteraturan. 1.2 Rumusan Masalah Pemaparan-pemaparan di atas mengantarkan penulis pada sebuah pertanyaan, “Bagaimana relasi antara sipil-militer di Fiji hingga kudeta militer sering kali terjadi?” 1.3 Landasan Konseptual 1.3.1 Profesionalisme Militer Konsep profesionalisme sendiri, jikalau ditelaah secara seksama, dapat dimaknai sebagai sebuah paham dimana seorang individu atau instansi tertentu, melakukan sesuatu yang menjadi tugasnya, dan tidak mengintervensi hal lain di luar dari tugas atau fungsi yang ia miliki. Dalam kaitannya dengan militer, profesionalisme mengacu kepada tindakan militer untuk mau fokus bergerak hanya di bidang yang diamanahkan – yakni keamanan dan pertahanan. Dengan menggunakan konsep profesionalisme militer dalam mengaji fenomena instabilitas politik di Fiji, diharapkan nantinya dapat ditemui jawaban atas rumusan masalah yang telah tertulis di atas. Proses analisis akan dilakukan berdasar pada definisi profesionalisme militer yang diusung oleh Samuel P. Huntington. Beranjak dari pemahaman beliau, keprofesionalitasan tersebut dapat tercapai ketika militer mau untuk tetap fokus mengurus masalah keamanan dan pertahanan, dan tidak melakukan intervensi pada bidang politik. Huntington selanjutnya menjabarkan tiga aspek yang perlu dijadikan fokus dalam militer yang profesional, yaitu: keahlian (expertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), lembaga (corporateness).2 Ketiga aspek tersebut kemudian dikenal dengan istilah the military mind yang menjadi dasar bagi hubungan militer dengan negara. 1.3.2 Intervensi Militer 2 S.P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil Military Relations, Belknap Press, New York, 1957, pp. 11-18.
Keterlibatan militer Fiji dalam bidang politik penulis rasa juga dapat dipahami melalui pengkajian menggunakan konsep intervensi militer sebagai kerangka berpikir dalam menganalisis. Mengacu pada asumsi Samuel P. Huntington, intervensi militer dalam politik disebabkan oleh ketiadaan institusi politik yang efektif dalam memediasasi, mengatasi, ataupun mengendalikan tindakan-tindakan kelompok politik. 3 Asumsi tersebut diperoleh melalui kenyataan bahwa dalam sebuah sistem politik, akan selalu terdapat tuntutan dari berbagai macam pihak, yang mana tidak semua tuntutan yang ada dapat direalisasikan. Akibat keterbatasan kekuatan dalam memenuhi kebutuhan tersebutlah, dibutuhkan sebuah lembaga yang mampu menjembatani atau menghubungkan setiap tindakan kekuatan politik yang ada, menyaring tuntutantuntutan yang masuk guna selanjutnya dapat ditentukan tuntutan mana yang akan diangkat menjadi isu politik dan mana yang tidak, serta untuk melunakkan tuntutantuntutan yang dinilai ekstrim agar nantinya semua potensi kemunculan pemberontakan oleh kelompok tertentu dapat diredam. 1.3 Argumentasi Utama Terjadinya kudeta beberapa kali oleh militer terhadap pemerintahan yang menjabat di Fiji membuktikan bahwa tidak adanya kontrol sipil yang berarti atas militer. Keputusan militer untuk mengintervensi politik negaranya, semata-mata dilakukan untuk kepentingan rakyat, bukan entitasnya sendiri. Hal ini terjadi akibat kenihilan institusi politik yang bekerja secara efektif dalam menengahi permasalahan yang ada di Fiji. Permasalahan yang terjadi berlarut-larut ini yang kemudian memaksa militer untuk mengintervensi – akibat adanya social responsibility yang merupayak satu dari tiga military mind.
BAB II ISI 2. 1 Dinamika Kemelut Perpolitikan Fiji Pasca memperoleh kemerdekaannya dari koloni Inggris, Fiji harus menghadapi banyak konflik internal terutama permasalahan seputar politik berbasis etnis antara penduduk asli Fiji dengan Indo-Fiji (India). Tingginya intensitas konflik yang terjadi di 3 S. P. Huntington, Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven, 1968, p.196.
Fiji membuat kehidupan politik dan demokrasi negara ini menjadi sangat lemah. Hal ini diperparah dengan adanya intervensi politik yang dilakukan pihak militer dalam bidang pemerintahan. Campur tangan oleh pihak militer ini menyebabkan pemerintahan sipil di Fiji mengalami kudeta hingga beberapa kali. 14 Mei 1987 merupakan kudeta pertama yang dilakukan oleh junta militer Fiji. Kudeta ini berjalan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka dengan melakukan penyerangan terhadap gedung parlemen yang saat itu berada di bawah kekuasaan Timochi Bavadra. Kudeta ini disebabkan oleh sentimentil etnisitas dimana mereka beranggapan bahwa pemerintah terlalu didominasi oleh Indo-Fiji.4 Pasca dilaksanakannya coup d’etat, Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka yang merupakan anggota dari Fijian Political Party (Soqosoqo Vakavuleva ni Taukei) menyerahkan kekuasaan atas pemerintahan kepada Gubernur Jendral Sir Penaia Ganilau dengan harapan mampu mengakomodir kepentingan etnis yang ada di Fiji. 5 Namun sayangnya, kekuasaan Ganilau hanya bisa bertahan beberapa bulan saja, sebab pada tanggal 25 September 1987, Rabuka kembali melakukan kudeta akibat ketidakpuasannya terhadap kinerja Ganilau. Pemerintahan sementara kemudian dibentuk pada 5 Desember 1987 dengan melantik Kamisese Mara sebagai perdana menteri. Rabuka pun kemudian mendeklarasikan Fiji sebagai sebuah negara republik.6 Menjelang 1990, Fiji mengalami kesulitan ekonomi yang disebabkan atas konstitusi baru yang ia terapkan. Konstitusi tersebut menyebabkan terjadinya emigrasi besarbesaran karena isinya secara tidak langsung telah memaksa sekitar 12.000 etnis IndoFiji meninggalkan Fiji.7 Dalam konstitusi tersebut dikatakan bahwa kursi legislatif
4 S. Shinaga, “Fiji, Negeri Langganan Kudeta”, detikNews (daring), 5 Desember 2006,
, diakses 10 Juni 2015. 5 S. Sherlock, “Constitutional and Political Change in Fiji”, Parliament of Australia (online), 11 November 1997, , diakses 10 Juni 2015. 6 N. Dieter, Kamus Dunia Ketiga, Grasindo, Jakarta, 1994, p. 186. 7 U.S. Department of State, “Fiji (10/07)”, U.S. Department of State (online), , diakses 11 Juni 2015.
disediakan lebih banyak bagi etnis asli Fiji dan konstitusi ini juga memberi jaminan bagi etnis asli Fiji untuk berkuasa penuh atas Fiji. Permasalahan terkait dengan etnis kesukuan ini kemudian menjadi ciri khas sendiri dalam memaknai perpolitikan Fiji. Isu terkait kepemilikan tanah yang menjadi bahan permasalahan pertikaian antar etnis ini semakin mengantarkan Fiji ke dalam posisi genting. Hal ini semakin terlihat ketika etnis Indo-Fiji melakukan perpanjangan sewa tanah selama 10 tahun pada tahun 1995/1996. Terjadi perbedaan tuntutan di antara kedua kubu, dimana etnis Indo-Fiji meminta adanya perbaharuan sewa hingga 30 tahun sedangkan etnis Fiji asli merasa hal ini berpotensi pada penguasaan etnis Indo-Fiji akan tanah.8 Setelah polemik yang berlangsung cukup panjang, akhirnya konstitusi yang ada ditinjau ulang pada Juli 1997, yang akhirnya menyetujui akan adanya kesetaraan hak antara etnis Indo-Fiji dan Fiji asli. Akibat keberadaan konstitusi yang baru inilah, dilaksanakan pemilihan umum pada Mei 1999 yang melahirkan koalisi Partai Indo-Fiji di bawah pimpinan Mahendra Chaundry sebagai pemenang. Ia selanjutnya terpilih menjadi perdana menteri Fiji pertama yang beretniskan Indo-Fiji. Kudeta pun kembali terjadi pada bulan Mei tahun 2000 dibawah pimpinan George Speight yang merupakan seorang nasionalis Fiji beretnis campuran antara Fiji dan Eropa.9 Speight kemudian bergabung dengan sejumlah penduduk bersenjata ilegal untuk secara bersama-sama menentang dominansi rakyat India di Kepulauan Fiji. Ia dan kawanannya berpendapat bahwa kehadiran etnis Indo-Fiji yang merupakan peranakan dari India hanya bisa merenggut hak pribumi. Mereka melancarkan aksinya dengan menyandera Perdana Menteri Mahendra Chaudhry bersama anggota parlemen lainnya. Speight kemudian memperjuangkan keinginannya untuk dibuatkan sebuah konstitusi yang berisi perihal pengosongan hak politik atas etnis Indo-Fiji. Ia juga memecat perdana menteri dan presiden secara sepihak dan kemudian mengambil sumpah atas dirinya sebagai perdana menteri dan mengangkat Jope Seniloli sebagai presiden. Speight selanjutnya ditahan dan dipenjarakan di Pulau Nukulau oleh Frank Bainimarama yang saat itu merupakan pemimpin militer di Fiji. Demokrasi pun kemudian berusaha dipulihkan oleh kaum militer di penghujung tahun dengan melantik seorang bankir beretniskan Fiji asli bernama Laisenia Qarase sebagai perdana menteri. Qarase dituntut untuk mampu mengatasi krisis yang ada serta 8 N. Dieter, p.189. 9 B. V. Lal, p. 185.
rekonsiliasi hubungan diplomatik dengan negara lain yang kurang begitu baik. Di bawah pemerintahan Qarase lah pengaplikasian demokrasi di Fiji mulai terlihat. Agustus 2005 beliau mendeklarasikan undang-undang tentang perdamaian, toleransi dan persatuan, yang diarahkan pada para pendukung kudeta. Hal ini tentu berimplikasi pada kemunculan kritik, komentar, dan ancaman yang ia terima terutama dari pihak militer. Tuduhan atas tindakan korupsi serta kecaman atas pemerintahan yang terlalu lunak dalam menuntaskan perkara kudeta tahun 2000 dilontarkan oleh Bainimarama terhadap pemerintahan Qarase sebagai upaya menurunkan kekuasaannya.10 Akhirnya, penolakan kembali berujung pada aksi coup d’etat pada 5 Desember 2006.
Banimarama
kemudian hadir sebagai penguasa tunggal Fiji dengan secara sepihak membentuk kabinet sementara, serta mengangkat Josefa Iloilo sebagai presiden dan Jona Senilagakali sebagai perdana menteri. Namun pada akhirnya, Jona Senilagakali hanya memiliki periode jabatan yang singkat, 5 Desember 2006 – 4 Januari 200711, karena Iloilo secara resmi mengangkat Bainimarama sebagai perdana menteri baru Fiji. Jalannya pemerintahan di bawah Presiden Iloilo tak urung membawa perubahan positif di Fiji. Bahkan posisi konstitusional dihapuskan dan kebebasan pers semakin dikekang di negeri itu. 2. 2 Relasi Sipil-Militer dalam Politik Fiji Hubungan antara sipil dan militer memang merupakan satu dari sekian atribut perilaku suatu negara.12 Pembahasan antar kedua aktor ini tidak saja dilakukan dengan memeriksa interaksi keduanya, tetapi meneliti lebih dalam ke peran militer dalam bingkai politik – dan dimana militer bisa berpartisipasi dalam bingkai tersebut. Mengingat militer dapat bertindak sebagai aktor penekan atau yang bersifat coercive dalam ketatanegaraan, dan juga memiliki struktur organisasi yang lebih baik daripada sipil, sudah selayaknya kemudian bagi militer untuk dijadikan surbordinasi kontrol 10 Admin, “Kudeta Militer Melanda Fiji”, Suara Merdeka-Internasional (daring), 6 Desember 2006, , diakses 10 Juni 2015. 11 J. Fraenkel, the 2006 Military Takeover in Fiji: A Coup to End All Coups?, ANU E Press, Canberra, 2009, p. 157. 12 N. Yamaguchi, dan D. A. Welch, “Soldiers, Civilians, and Scholars : Making Sense Of The Relationship Between Civil-Military Relations and Foreign Policy”, ASIAN Perspective, vol. 29, no.1, 2005, p.213.
sipil.13 Dalam kaitannya dengan peranan militer di Fiji, dapat dipahami bahwa aksi militer kerapkali berjalan di luar kontrol sipil. Tindakan kudeta yang sering terjadi telah menjadi bukti nyata bahwa militer di Fiji tidak lagi berada pada posisi subordinan terhadap kontrol sipil. Melalui asumsi Samuel P. Huntington yang berpandangan bahwa terjadinya intervensi militer ialah tak lain akibat kenihilan institusi politik yang efektif, dapat kemudian dipahami bahwa hal tersebutlah yang sekiranya terjadi di Fiji. Dalam menganalisis bagaimana kemudian institusi politik berjalan di Fiji – terkait dengan keefektivitasannya, penelusuran akan dilakukan pada tiga bentuk cerminan institusi politik utama, yakni: partai politik, parlemen, dan juga kabinet. Sebagai salah satu perwujudan dari institusi politik, partai politik merupakan salah satu indikator dalam melihat bagaimana institusi politik yang ada bekerja di Fiji. Di negara yang etnisitas masyarakatnya banyak, besar tendensi terciptanya institusi politik yang bias terhadap satu identitas etnis tertentu saja.14 Hal tersebut tercermin dalam partai politik Fiji. Walaupun secara teoritis partai politik yang terdapat di negara ini mengakui diri sebagai partai politik multi-etnis, tapi pada praktiknya, mayoritas partai politik secara keanggotaan didominasi oleh satu kelompok etnis tertentu. Dampak dari hal ini dapat dilihat dari para wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan, biasanya berasal dari satu etnisitas yang sama. Hal ini diperparah pula dengan kebiasaan masyarakat Fiji dalam pemilihan umum yang cenderung memilih berdasar pada etnisitas, sehingga perebutan kekuasaan yang terjadi dalam pemilihan umum Fiji terjadi bukan didasari pada perbedaan ideologis, namun perbedaan etnis kesukuan. Selain melalui partai politik, cerminan institusi politik dapat pula dilihat melalui parlemen yang ada di Fiji. Sebagaimana parlemen di negara lain, parlemen di Fiji juga beranggotakan perwakilan dari partai politik yang sudah memenangkan suara dalam memperebutkan bangku pemerintahan. Tak heran, hal ini memicu adanya perasaan waswas dari masing-masing kubu etnis, sebab parlemen berhak untuk menciptakan hukum 13 A. H. Tam, ”Coercion and Governance in China: Analyzing Civil-Military Relations In The Post Deng Era Using Multiah Alagappa’s Analytical Framework”, Lieutenant US Navy, Thesis US NPS, MA in National Security Affairs, 2006, p.19. 14 B. Reilly, Constitutional Engineering and the Alternative Vote in Fiji, National Centre for Development studies, Canberra, 1997, p.209.
sesuai dengan konstitusi. Sehingga terjadi kekhawatiran terutama dari etnis Fiji dalam menyikapi keberadaan etnis Indo-Fiji (India) yang berhasil memenangkan pemilu kala itu. Keberhasilan etnis India menduduki kursi pemerintahan ini dikhawatirkan akan semakin menyulitkan etnis Fiji asli dalam mengakses hak mereka, terutama terkait dengan isu kepemilikan tanah yang sempat membuat suasana panas di tahun 1995/1996. Tak heran, hal ini berujung pada terjadinya kudeta seperti yang berlangsung pada Mei 2000. Sebagaimana disebutkan, kudeta di bawah pimpinan George Speight ini berusaha menolak dominansi rakyat India di Kepulauan Fiji sebab keberadaan mereka hanya bisa merenggut hak pribumi.15 Tuntutan ini secara garis besar menekankan pada pengosongan hak politik etnis Indo-Fiji. Lantas, terjadi pemboikotan parlemen dengan menyandera Perdana Menteri Mahendra Chaudry dan anggota parlemen lainnya. Hal terkait etnisitas ini juga pada kelanjutannya menjadi gambaran akan bobroknya institusi politik yang ada di Fiji. Dari segi kabinet sendiri, terlihat adanya ketidaksempurnaan mekanisme kerja. Sistem kabinet Fiji yang mengikuti gaya Barat yang menempatkan presiden sebagai kuasa eksekutif ini, pada implementasinya justru melenceng. Kekuasaan eksekutif justru berada di tangan menteri kabinet, sedangkan kepresidenan dipegang oleh perdana menteri. Dalam peraturannya, disebutkan bahwa presidenlah yang berhak membentuk menteri kabinet dimana setiap partai politik yang menduduki delapan bangku dalam 71 anggota parlemen harus diberikan posisi dalam kabinet.16 Pelencengan juga terlihat pada penolakan Chaundry untuk memberikan kursi kementerian kepada Fijian Political Party (Soqosoqo Vakavuleva ni Taukei) di tahun 1999. Begitupula selanjutnya di tahun 2001 hingga 2004, dimana Perdana Menteri Laisenia Qarase menyatakan penolakan atas masuknya Fiji Labour Party ke dalam kabinet. Berdasar pada pemaparan di atas pula, dapat ditarik pemahaman general bahwa sistem kabinet di Fiji cenderung menunjukkan adanya kontestasi politik akibat terdapat perebutan kekuasaan antar etnis. 15 B. V. Lal, p. 185. 16 W. Narsey, “Banimarama’s coup and claim of desire for ethnic equality: Separating facts from fiction”, Fiji coupfourpointfive (online), 26 Maret 2012, , diakses 08 Juni 2015.
Pemaparan akan polemik yang dihadapi oleh institusi politik yang ada di Fiji telah berhasil mencerminkan ketidakstabilan sosial yang dihadapi negara ini. Institusi politik yang ada dinilai tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam mengakomodasi konflik yang terjadi antar etnis di Fiji. Ketidakcakapan institusi politik ini setidaknya tercermin melalui gelombang protes dan tindak kudeta yang dilakukan sipil terhadap pemerintahan menjabat akibat kekecewaan mereka terkait dengan isu pembagian akses dan kursi kekuasaan. Institusi politik Fiji telah gagal dalam membina relasi dengan pemegang kekuatan politik yang ada, juga gagal dalam upaya penyaringan tuntutan yang masuk, hingga peredaman tensi akan tuntutan berhaluan ekstrim. Maka dari, sesuai dengan asumsi yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, militer kemudian memilih untuk turun tangan menyelesaikan konflik yang ada. Singkat cerita, keterlibatan militer dalam bidang politik ini disebutkan dilakukan semata-mata untuk upaya stabilisasi perpolitikan domestik yang mulai mengalami kekacauan akibat konflik etnis yang ada. Pihak militer yang sangat menjunjung tinggi nilai nasionalisme tentu tidak menginginkan adanya imperialisme model baru oleh kaum imigran terhadap tanah kelahirannya. Maka dari itu kalangan militer Fiji memilih untuk masuk ke ranah politik membenahi sistem yang mulai kacau akibat institusi politik tidak lagi bisa diharapkan. Namun jikalau kita berkaca pada konsep profesionalisme militer, hal ini tentu menyalahi kodrat kalangan militer. Jikalau ditilik sedikit jauh ke belakang, sebenarnya militer Fiji dinilai sudah menunjukkan bahwa mereka cukup expertise dalam bidangnya. Hal ini dibuktikan jauh sebelum tahun 1987 dan bahkan pasca 1987 (kudeta pertama), dimana militer bertindak layaknya seorang teknisi yang bertugas dalam manajemen kekerasan. Dalam setiap tindakan kudeta yang ia lakukan, militer tidak terlihat menggunakan tindak koersif yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa militer Fiji masih menjunjung aspek expertise-nya sebagai pawang kekerasan. Militer Fiji sendiri juga dirasa masih menjunjung tinggi aspek social responsibility. Terlepas dari tindakan kudeta yang ia lakukan, motif yang dimaksudkan untuk menjaga dan mengamankan hak etnis Fiji asli sudah menunjukkan adanya bentuk tanggung jawab dan jiwa nasionalisme yang ia miliki terhadap tanah airnya. Hal ini juga tergambar melalui salah satu tindak kudeta, yakni pada tahun 1987 akibat kekecewaan militer atas kepemimpinan Timochi Bavadra yang cenderung memarginalkan hak etnis Fiji asli. Hanya saja, militer Fiji dirasa belum memenuhi aspek corporateness mengingat ia tidak menunjukkan mereka adalah
organisasi birokrasi yang berbeda dengan perangkat sipil pemerintahan negara. Hal ini dapat dilihat melalui tindakan kudeta yang ia lakukan selama tiga kali (dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun) terhadap pemerintahan menjabat akibat ketidakpuasan militer atas kinerja pemerintah yang ada. 2. 3 Keberhasilan Kudeta Militer Fiji Tentu menjadi pertanyaan besar bagi kita selanjutnya dalam upaya memahami bagaimana kemudian kudeta-kudeta militer yang terjadi di Fiji seolah langgeng sehingga terus berhasil dalam pelaksanaannya. Dalam mencermati hal tersebut, jawaban dapat ditelusuri melalui tiga faktor utama keberhasilan tindak campur tangan militer, yakni: keterlibatan aktif perwira menengah yang menduduki posisi strategis, anggota kompolotan yang jumlahnya cukup memadai untuk menghalau perlawanan, serta arus koordinasi yang sistematik selagi melancarkan kudeta.17 Dalam kasus kudeta militer dapat kita cermati bahwa ada campur tangan aktif dari perwira angkatan bersenjata yakni panglima angkatan bersenjata Fiji, Frank Bainimarama. Selain itu, strategi ataupun taktik yang digunakan dalam melumpuhkan lawan juga sangat cerdik. Pada kasus kudeta 2006 misalnya, blokade dilakukan di sekeliling ibukota pada malam hari dengan mengerahkan lima truk berisikan tentara yang dipersenjatai secara lengkap. Sementara itu, sehari sebelumnya tentara mengambil persenjataan yang dimiliki polisi dengan dalih keamanan dan keselamatan, padahal sebenarnya ialah usaha peredaman potensi pemberontakan. Selain itupula, tindak kudeta dapat dengan mulus dilakukan akibat tidak adanya usaha perlawanan berarti dari kubu sipil maupun militer itu sendiri.
17 E. A. Nordlinger, Militer dalam Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, p. 152.
BAB III PENUTUP 3. 1 Kesimpulan Kudeta yang dilakukan oleh militer Fiji beberapa kali terhadap pemerintah yang menjabat telah berhasil menjadi bukti nyata atas ketidakprofesionalitasannya. Namun demikian, keputusan militer untuk masuk ke ranah politik tidak semata-mata dilakukan demi kepentingannya, tetapi untuk kepentingan etnis Fiji yang mereka anggap termarginalkan haknya akibat sistem yang ada. Tindakan kudeta dan juga intervensi politik ini juga sekaligus menjadi bukti kebobrokan dari institusi politik yang ada. Ketidakmapanan institusi politik
dalam menyelesaikan permasalahan domestiklah
yang menjadi justifikasi militer untuk campur tangan. Perwujudan dari institusi politik di Fiji sendiri dapat dilihat melalui keberadaan partai politik, parlemen, ataupun kabinet yang cenderung bersifat konfliktual akibat keberadaan isu ketidaksetaraan hak dan distribusi kekuasaan antar etnis di Fiji yang mewarnai pergerakannya. Pada kelanjutannya, tindakan kudeta ini akan terus berpotensi terjadi jikalau pemerintahan sipil terpilih tidak segera berbenah memperbaiki sistem yang ada dan mengembalikan militer pada nilai-nilai profesionalismenya. Jika tidak, potensi terjadinya kudeta militer akan sangat besar terjadi tatkala militer merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah yang menjabat. Supremasi sipil yang masih belum terlihat jelas perlu ditilik ulang pengimplementasiannya dan harus semakin gencar ditegakkan guna membendung pengaruh ataupun kekuatan militer untuk bisa kembali masuk ke sektor politik.
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Dieter, N., Kamus Dunia Ketiga, Grasindo, Jakarta, 1994. Fraenkel, J., the 2006 Military Takeover in Fiji: A Coup to End All Coups?, ANU E Press, Canberra, 2009. Huntington, S. P., Political Order in Changing Societies, Yale University Press, New Haven, 1968. Huntington, S.P. , The Soldier and The State: The Theory and Politics of Civil Military Relations, Belknap Press, New York, 1957. Lal, B. V., Islands of Turmoil: Elections and Politics in Fiji, ANU E Press, Canberra, 2006. Nordlinger, E. A., Militer dalam Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1994 Reilly, B., Constitutional Engineering and the Alternative Vote in Fiji, National Centre for Development studies, Canberra, 1997. Tam, A. H., ”Coercion and Governance in China: Analyzing Civil-Military Relations In The Post Deng Era Using Multiah Alagappa’s Analytical Framework”, Lieutenant US Navy, Thesis US NPS, MA in National Security Affairs, 2006. Yamaguchi, N., dan Welch, D. A., “Soldiers, Civilians, and Scholars : Making Sense Of The Relationship Between Civil-Military Relations and Foreign Policy”, ASIAN Perspective, vol. 29, no.1, 2005. Artikel Online Admin, “Kudeta Militer Melanda Fiji”, Suara Merdeka-Internasional (daring), 6 Desember 2006, , diakses 10 Juni 2015. Narsey, W., “Banimarama’s coup and claim of desire for ethnic equality: Separating facts from fiction”, Fiji coupfourpointfive (online), 26 Maret 2012, , diakses 08 Juni 2015. Sherlock, S.,“Constitutional and Political Change in Fiji”, Parliament of Australia (online), 11 November 1997,
, diakses 10 Juni 2015. Shinaga, S., “Fiji, Negeri Langganan Kudeta”, detikNews (daring), 5 Desember 2006, , diakses 10 Juni 2015. U.S. Department of State, “Fiji (10/07)”, U.S. Department of State (online), , diakses 11 Juni 2015.