BAB II PESAWAT MILITER SEBAGAI PESAWAT SIPIL UNTUK TRANSPORTASI SIPIL
D. Sejarah Penerbangan Sipil dalam Hukum Internasional Sejarah penerbangan sipil internasional dapat dilihat dari perkembangan lintas udara terkait dengan kedaulatan negara di ruang udara, yaitu di mulai dari tahapan perkembangan konsep kedaulatan, yakni: 1. Tahap sekitar tahun 1910, tahap Konperensi mengenai Navigasi di Ruang Udara pada tahun 1910 di Paris, Perancis, sampai tahap Konperensi Perdamaian Versailles, Perancis, pada tahun 1919. 2. Tahap Konperensi Perdarnaian Versailles tahun 1919. 3. Tahap Konperensi Komisi Internasional mengenai Navigasi di Ruang Udara, di Paris, Perancis, pada tahun 1929. 4. Tahap Konperensi Internasional rnengenai Penerbangan Sipil di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1944. 5. Tahap setelah peluncuran sputnik oleh Uni Soviet pada tahun 1957. 15 Dari tahapan-tahapan tersebut yang secara langsung membahas tentang penerbangan sipil internasional adalah Konperensi di Chicago tahun 1944. Pembahasan mengenai penerbangan sipil yang telah dimulai pada Konvensi Paris, yang dinilai para pihak banyak kekurangan. Akan tetapi, ”walaupun Konvensi Paris mengandung banyak kekurangan, namun hal itu harus diakui sebagai salah
15
Fans Likadja, Masalah Lintas Di Ruang Udara, Jakarta: Binacipta, 1987, hal. 1-2.
20
21
satu usaha untuk merumuskan suatu peraturan yang uniform mengenai hukum udara bidang publik”. 16 Sejalah dengan adanya perkembangan keberadaan pesawat udara, pembangunan di bidang hukum udara juga mulai menjadi perhatian sejak tahun 1784, peraturan pertama dalam bidang hukum udara dibuat pada tahun tersebut oleh Lenoir seorang berkebangsaan Perancis, yang melarang penerbangan dengan balon udara tanpa izin. Kemudian peraturan dalam hal keselamatan penerbangan pertama kali pada tahun 1819 oleh Count d’Anglés, yang mengharuskan balon udara dilengkapi dengan parasut dan melarang percobaan-percobaan dengan balon udara selama musim panen. Terdapat dua jenis klasifikasi pesawat udara, pertama pesawat udara yang lebih berat dari udara disebut aerodin, misalnya adalah helikopter, girokopter, pesawat bersayap tetap, dan kedua pesawat udara yang lebih ringan dari udara disebut aerostat, misalnya balon dan kapal udara. Pesawat yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali oleh Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) dengan menggunakan pesawat rancangan sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada tahun 1903 di Amerika Serikat. Sedangkan untuk pesawat yang lebih ringan dari udara sudah terbang jauh sebelumnya, penerbangan pertama kalinya dengan menggunakan balon udara panas yang ditemukan seorang berkebangsaaan Perancis bernama Joseph Montgolfier dan Etiene Montgolfier terjadi pada tahun 1782. 17
16
Ibid Seelawman.blogspot.com/2010/03/normal-0-false-false-false.html, diakses tanggal 1 April 2015. 17
22
Hukum udara yang sekarang kita kenal merupakan cabang ilmu yang baru berkembang pada permulaan abad ke-20, setelah Wilbur Wright dan Orville Wright berhasil terbang dengan sebuah pesawat yang lebih berat dari udara. Hukum Udara, menurut Goedhuis dan Diederiks Verschoor diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan”. 18 Definisi tersebut merupakan pengertian luas dan sebagai pengertian atau definisi hukum udara yang umumnya sekarang dikenal, mengingat jika pengertian hukum udara diartikan sebagai “hukum yang mengatur objek udara” maka sejak jaman Romawi sudah dikenal adanya prinsip “coius est solum” yang berarti siapa memiliki tanah, memiliki juga udara di atasnya sampai ke langit. Namun ungkapan demikian (coius est solum) tentunya sudah tidak relevan lagi, mengingat bahwa langit yang dimaksud juga ada batasnya. Karena mulai tahun 1901 telah mulai dikenal bidang ilmu hukum baru yaitu “Droit Aérien” atau hukum udara oleh Prof. Nys dari Universitas Brussel, hingga pada tahun 1919 ketika Konvensi Paris mengenai penerbangan internasional ditandatangani, yang diatur hanya “I’espace atmospherique”, demikian juga dalam Konvensi Chicago 1944, hanya mengatur “airspace” atau ruang udara. 19 Menurut N. Mateesco, istilah “Droit Aérien” akhirnya yang kemudian lebih populer dalam perkembangan di massa selanjutnya, dibandingkan istilahistilah lain yang muncul kemudian misalnya “Law of Civil Aviation”, “Law of Flight” dan “Recht der Lufthahrt”, yang secara umum semua istilah (law of civil 18
E. Suherman, Hukum Udara Idonesia & Internasional Bandung : Alumni, 1999 hal.
19
E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara Bandung : Alumni, 1994 hal. 30
101
23
aviation, law of flight dan recht der lufthahrt) lebih menekankan pada kegiatan penerbangan. Sementara itu di Indonesia, E. Suherman mendefinisiskan hukum udara sebagai “keseluruhan ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang mengatur ruang udara, pesawat udara, pemanfaatannya untuk penerbangan dan prasarana penerbangan”. 20 Hukum udara sebagai ilmu semakin mendapat perhatian sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan dunia, maka ketika tahun 1957 Sputnik I diluncurkan, spekulasi bidang hukum baru akhirnya menjadi kenyataan yaitu hukum angkasa (space law) dan lebih lanjut pengaturan ruang angkasa secara internasional ditetapkan dalam “Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outerspace, including the Moon and Other Celestial Bodies” pada tahun 1967. 21 Hal ini semakin menegaskan pentingnya kajian di bidang hukum udara, karena ternyata kualifikasi teknologi buatan manusia telah mampu menjangkau hingga menembus dan melewati batas ruang udara. Namun demikian hingga saat ini belum ada aturan internasional yang secara jelas dan tegas merumuskan batas antara ruang udara dan ruang angkasa.
E. Pengaturan Penerbangan Sipil Hukum Internasional Pengaturan
tentang penerbangan
adalah
penting guna menjamin
penyelenggaraan penerbangan yang mencerminkan penerbangan yang aman sertaberkualitas. Pengaturan itu menjadi dasar hukum dan pelaksanaan 20
Ibid., hal 30 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internsional Bandung : Alumni, 2003, hal. 197 21
24
penerbangan yang ada baik perusahaan penerbangan milik pemerintah maupun swasta. Pengaturan penerbangan ini hendaknya memperhatikan berbagai bidang atau
aspek
yang
berhubungan
dengannya
mengingat
penerbangan
ini
mempunyaikaitan yang sangat luas dengan aspek lainnya. Keseluruhan pengaturan itu membutuhkan adanya pengaturan yang terpadu, menyeluruh, up to date, sistematis dan memperhatikan kepentingan umum menghendaki suatu multi airlines sistem yang efektif serta efesien Menurut E. Suherman, Hukum Penerbangan (Hukum Udara dalam artisempit) merupakan suatu lapangan hukum tersendiri, mengingat bahwa lapangan hukum ini mengatur objek yang mempunyai sifat yang tersendiri. Namun di samping itu, pendapat penulis lain yang mengatakan bahwa hukum penerbangan tidaklah lebih dari pada umpulan norma-norma yang diambil dari lapangan hukum lain, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, dan Hukum Antarnegara, yang diberlakukan dalam hukum penerbangan, menurut E. Suherman pendapat yang negatif ini sulit untuk dibenarkan. 22 1. Konvensi Chicago 1944 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory” mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 yang berbunyi “The high contracting States recognize that ever power has complete and exclusive over the airspace above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan
22
Ibid
25
kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat Konvensi Paris 1919 ditandatangani. Setelah Perang Dunia Pertama berakhir disepakati bahwa tiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagaima diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang diambil kembali dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam hubungan ini, pengakuan kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944. Hal ini jelas dengan adanya istilah every state. Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk keperluan Konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah batas wilayah Negara (state territory). Dengan demikian, secara tegas bahwa berlaku juga terhadap bukan negara anggota. Lebih lanjut walaupun tidak secara tegas disebutkan semua Negara mengakui bahwa tidak ada negara manapun yang berdaulat di laut lepas (high seas). Lebih lanjut Konvensi Chicago 1944 juga tidak membuat pengertian apa yang dimaksudkan dengan wilayah udara (airspace), namun demikian, pengertian tersebut dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional (Permanent Court of International Justice) dalam kasus sengketa Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan “The natural meaning of the term is its geographical meaning,” yaitu ruang dimana terdapat udara (air). Lingkup yurisdiksi teritorial suatu Negara diakui dan diterima oleh negara
26
anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi sepanjang dapat dieksploitasi 23 Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah dituangkan dalam berbagai SARPs (Standart and Recommended Practicengas). keamanan dan keselamatan transportasi. 24 Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan konvensi Paris 1919, demikian juga konvensi Inter Amerika Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000. Konvesi Chicago 1944 adalah instrument hukum internasional khususnya hukum internasional Publik 25 . Konvensi Chicago 1944 termasuk sebagai instrument hukum internasional serta hubungan antar lembaga dan lembaga yang dibentuk oleh Konvensi Chicago 1944. Selain itu Konvensi Chicago merupakan sumber hukum untuk Penerbangan Sipil internasional maupun penerbanagan Sipil Nasional. 2. Hak Prerogatif Hak prerogatif negara anggota dilakukan untuk menghindari konsekuensi prinsip kedaulatan di udara sebagaimana diuraikan di atas. Sepanjang menyangkut 23
K. Martono, Op. Cit., hal. 18. http://eezcyank.blogspot.com (diakses tanggal 12 Mei 2015) 25 Mochtar Kusumaadmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung 1996 24
hal 1
27
hak penerbangan (traffic right), Konvensi Chicago 1944 membedakan antara penerbangan internasional tidak berjadwal dengan penerbangan initernasional berjadwal. Kepada penerbangan internasional tidak berjadwal diberi sedikit kelonggaran, sedangkan untuk penerbangan internasional berjadwal tetap harus memperoleh izin lebih dahulu. Mengenai penerbangan internasional berjadwal, pesawat udara asing diberi hak yang sama dengan perusahaan penerbangan nasional dalam penggunaan fasilitas bandar udara dan navigasi penerbangan, sedangkan daerah terlarang (prohibited area) berlaku terhadap pesawat udara nasional, pesawat udara asing baik berjadwal maupun tidak berjadwal 26 3. Angkutan Udara Internasional Sepanjang menyangkut teknis dan operasional penerbangan, pembahasan di dalam konferensi penerbangan sipil internasional berjalan dengan lancar, kecuali pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara. Sepanjang pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara, mengalami banyak kesulitan dibandingkan dengan pembahasan di bidang teknis dan operasi penerbangan internasional. Sepanjang menyangkut ekonomi angkatan udara, pendapat di dalam sidang terpecaya menjadi empat kelompok masing-masing pendapat Amerika Serikat serta pendukungnya pendapat lnggris beserta pendukungnya Pendapat Kanada dan usul gabungan (joint proposal) antara Australia dengan Selandia Baru. Sepanjang menyangkut angkutan udara internasional khususnya mengenai pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara,
26
Ibid., hal 20
28
kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, pemerintah jangan mencampuri. Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, dan tarif angkutan udara diatur sendiri oIeh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum pasar (supply and demand). Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya. Posisi Amerika Serikat demikian, di samping memang filosofi liberal di Amerika Serikat, didukung dengan adanya kesepakatan tidak tertulis antara Amerika Serikat dengan Inggris pada saat Perang Dunia Kedua. Semasa Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dengan Inggris mempunyai kesepakatan bahwa Amerika Serikat menyediakan pesawat udara transport jarak jauh, sementara Inggris menyediakan pesawat udara tempur (fighter). Akibat perjanjian tidak tertulis tersebut, sesudah Perang Dunia Kedua berakhir armada Inggris lumpuh (cipple) sementara itu armada Amerika Serikat dengan mudah diubah menjadi pesawat udara komersial sehingga Amerika Serikat tidak takut dan khawatir menghadapi armada nasional Inggris. Sebaliknya Inggris tidak memiliki jalan lain, kecuali harus melindungi armada nasionalnya untuk bersaing dengan armada Amerika Serikat. 27 Sepanjang menyangkut ekonomi angkutan udara internasional, posisi Inggris dalam konferensi penerbangan sipil di Chicago tahun 1944 mengenai rute
27
Ibid., hal 21
29
penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, maupun tarif angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tidak ada penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan dari pemerintah Inggris. Posisi demikian memang disadari oleh Inggris. Tidak ada jalan lain selain harus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada negara lain, terutama Amerika Serikat. 28 Posisi Kanada yang berkaitan dengan angkutan udara internasional adalah mengusulkan dibentuk International Air Authority yang akan menentukan pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara internasional. Menurut Kanada, rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh perusahaan penerbangan seperti usul Amerika Serikat, tetapi diatur oleh International Air Authority. Demikian pula Kanada juga berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh pemerintah seperti usul Inggris, tetapi diatur oleh International Air Authority. 29 Usul gabungan (joint proposal) yang disampaikan oleh Australia dan Selandia Baru dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamnya dimiliki oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dibentuk dan perusahaan penerbangan internasional tersebut melakukan rute-rute 28 29
Ibid., hal 22 Ibid
30
penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan yang ada di daerah bersangkutan. Usul gabungan yang diajukan oleh Australia dengan Selandia Baru rersebut ditolak oleh konferensi, tetapi usul tersebut mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago 1944.28 Di dalam Pasal tersebut dikatakan tidak ada larangan pembentukan perusahaan penerbangan internasional yang dioperasikan bersama (international joint operation agency). 30 Semua usul yang dikemukakan oleh Amerika Serikat, Inggris, Kanada maupun usul gabungan Australia dengan Selandia Baru ditoIak oleh konferensi penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal tersebut tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat dilakukan ke negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional timbale balik. Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan tersebut secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, oleh karena itu, konferensi penerbangan sipil internasional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan “International Air Services Transit Agreement dan International Air Transport Agreement” yang telah dibahas di atas. Di samping itu, konferensi penerbangan sipil internasional juga mengesahkan dokumen tentang “International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, Interim Agreement on International Civil Aviation” yang melahirkan “Provisional
30
Ibid., hal 23
31
International Civil Aviation Organization” dan “Chicago Standard Form Agreement” yang akan digunakan sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian angkutan udara internasional timbal balik. 4. Operasi Penerbangan Sebagaimana disebutkan di atas, sepanjang menyangkut keselamatan penerbangan, khususnya ketentuan yang berkenaan dengan operasi penerbangan, konferensi penerbangan sipil internasional sepakat hampir semua ketentuan yang pernah diatur dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Havana 1928 disetujui untuk diatur kembali dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuanketentuan operasi penerbangan tersebut antara lain penerbangan tanpa penerbang (pilotless), terbang di daerah terlarang, pendaratan di bandara yang ditetapkan, peraturan yang berlaku untuk operasional, lalu lintas udara, pencegahan wabah kolera, tipes, cacar air, penyakit kuning, dan lain-lain, pencarian dan pertolongan pada kecelakaan pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, pesawat udara dalam bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara, dokumen penerbangan, sertifikasi awak pesawat udara dan pesawat udara, peralatan, dan lain-lain. 31 5. Daerah Terlarang (Prohibited Area) Pesawat udara nasional maupun asing dilarang terbang di atas daerah terlarang (prohibited area) atau daerah terbatas (restricted area) untuk menjamin keselamatan
penerbangan
(aviation
safety),
ekonomi
nasional
(national
prosperity), maupun keamanan nasional (national security). Larangan tersebut
31
Ibid., hal 24
32
berlaku umum terhadap pesawat udara mana pun juga, tidak boleh diskriminasi. Bila pesawat udara asing dilarang terbang di daerah tersebut, pesawat udara nasional juga harus dilarang. Penentuan daerah terlarang hanya didasari atas pertimbangan keamanan nasional (national security), keselamatan penerbangan (aviation safety) maupun kemakmuran nasional (national prosperity. Tidak boleh penentuan daerah terlarang atas pertimbangan politik seperti pernah dilakukan oleh India, di mana pesawat udara milik Pakistan dilarang terbang dari Pakistan Barat ke Pakistan Timur (sekarang bernama Bangladesh), melalui rute penerbangan
yang
biasanya
digunakan,
tetapi
pesawat
udara
tersebut
diperintahkan terbang melalui jalur penerbangan yang sangat jauh sehingga memakan biaya operasi yang sangat besar. Bila pesawat udara asing maupun nasional terlanjur berada di daerah terlarang, pesawat udara tersebut segera diinformasikan agar pesawat udara segera meninggalkan daerah terlarang. Namun demikian, bila mereka tidak menyadari posisinya, pesawat udara tersebut dikejar dan dipaksa untuk mendarat di bandar udara (airport) atau pangkalan udara (airbase) yang berdekatan. Pesawat udara tersebut tidak boleh ditembak, karena penembakan pesawat udara sipil bertentangan dengan semangat keselamatan yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, bertentangan dengan ajaran hukum (doctrine) tentang bela diri maupun bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Semangat konvensi Chicago 1944 adalah keselamatan penerbangan (safety first), sedangkan ajaran hukum tentang bela diri mengatakan bahwa tindakan penembakan pesawat udara terhadap pesawat udara sipil, tidak seimbang dengan
33
kesalahan yang dilakukan oleh pesawat udara sipil yang terlanjur terbang di daerah larangan terbang. Pesawat udara sipil yang ditembak jelas bertentangan dengan hak-hak asasi manusia karena pesawat udara sipil tidak dipersenjatai, padahal pesawat udara yang menembak dipersenjatai. 32 6. Hukum dan Regulasi Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, baik untuk operasi penerbangan nasional maupun internasional yang berasal atau ke Negara tersebut. Namun demikian, peraturan tersebut harus berlaku terhadap semua pesawat udara nasional maupun internasional. Bila negara tersebut mengeluarkan peraturan harus mempertimbangkan keselamatan penerbangan sipil. Hukum dan regulasi penerbangan yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut, kecuali pesawat udara yang terbang di atas laut lepas akan berlaku hukum internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan pelaksanaannya. 33 7. Customs Immigration Quarantine, dan Wabah Penyakit Pesawat udara nasional maupun asing, kecuali melakukan, pendaratan darurat hanya dapat diizinkan melakukan pendaratan pada bandar udara yang dilengkapi dengan petugas bea cukai (customs), imigrasi (immigration) dan karantina (quarantine) baik karantina tumbuh-tumbuhan hewan maupun
32 33
Ibid., hal 25 Ibid., hal 26
34
kesehatan. Semua penumpang maupun barang yang diterima maupun yang akan dikirim harus mematuhi hukum dan regulasi negara tersebut. 34 Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional, khususnya harus bebas dari wabah penyakit kolera, tipus, cacar air, penyakit kuning, dan flu burung. 35 Oleh karena negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional harus bekerjasama erat, saling menjamin terselenggaranya penerbangan internasional yang bebas dari wabah penyakit tersebut. Konsultasi terus menerus berlangsung tanpa ada kecurigaan yang tidak baik terhadap negara anggota lainnya. Dalam hal-hal tertentu di suatu negara melarang penumpang turun dari pesawat udara sebelum diadakan disinsektisasi oleh negara tersebut. 8. Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara Di dalam hukum internasional setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan (nationality and registration mark). 36 Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip pendaftaran tunggal. Tidak ada pesawat udara secara resmi diakui mempunyai pendaftaran ganda (dual registration), 37 Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari
34
Pasal 13 Konvensi Chicago 1944. Pasal 14 Konvensi Chicago 1944. 36 Pasal 20 Konvensi Chicago 1944 37 Pasal 18 Konvensi Chicago 1944 35
35
negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang telah sehingga pesawat udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus menampilkan (display) tanda pendaftaran dan kebangsaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago 1944. Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919. Menurut konvensi Chicago 1944 prosedur dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat terjadi perbedaan persyaratan pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara yang lain. Persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat udara yang telah memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan bila melakukan penerbangan dalam negeri maupun penerbangan internasional. Sebaliknya pesawat udara tersebut
36
mempunyai kewajiban mematuhi semua hukum dan regulasi penerbangan nasional maupun internasional. Sebagai warga negara dari negara tempat didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, pesawat udara juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam hal pesawat udara melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut dapat disita oleh negara yang bersangkutan. Pesawat udara harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Demikian pula pesawat angkasa maupun kapal laut. Hal ini berbeda dengan kendaraan darat. Kendaraan darat tidak wajib mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Dahulu sebelum tahun 1926 ada konvensi internasional yang mengharuskan pendaftaran dan kebangsaan kendaraan darat, tetapi sesudah tahun 1926, tidak ada konvensi yang mengharuskan kendaraan darat mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Pendaftaran kendaraan darat yang sekarang ada bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan, tetapi untuk keperluan statistik kriminal, dan administrasi bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan. 38 Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat udara didaftarkan di negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara lain, negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga mempunyai kewajiban untuk memberi tahu pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan international harus dilengkapi
38
Ibid., hal 29
37
sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration mark). Dalam hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi dengan sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, merupakan pelanggaran hukum nasional maupun hukum internasional. 39 9. Pencarian dan Pertolongan Kecelakaan Pcsawat Udara Dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara, negara tempat kecelakaan pesawat udara terjadi mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk memberi pertolongan pesawat udara yang menghadapi bahaya atau mengalami kecelakaan. Negara tempat pesawat udara menghadapi bahaya wajib mengizinkan pemilik pesawat udara atau pejabat negara tempat pesawat udara didaftarkan untuk memberi bantuan atau langkah-langkah yang mungkin diperlukan oleh pesawat udara yang menghadapi bahaya. Dalam hal pesawat udara hilang, perlu ada kerja sama dalam pencarian dan pertolongan terhadap pesawat udara yang menghadapi bahaya. Pelaksanaan pencarian dan pertolongan tersebut diatur lebih lanjut dalam Annex 12 Konvensi Chicago 1944. Pencarian dan pertolongan pesawat udara dalam hukum nasional Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pada tataran regional telah diatur dalam perjanjian secara multilateral di antara Negaranegara Asean. 10. Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara Investigasi kecelakaan pesawat udara diatur dalam Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara di wilayah negara
39
Ibid., hal 30
38
anggota Organisasi Penerbangan Sipil internasional, negara tersebut mempunyai kewajiban untuk mengadakan investigasi penyebab kecelakaan pesawat udara. Sepanjang hukum nasional mengizinkan, prosedur dan tata cara investigasi kecelakaan pesawat udara mengacu kepada rekomendasi yang diberikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti kedudukan hukum nasional lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan hukum internasional negara tempat pesawat udara didaftarkan (negara pendaftar) diberi kesempatan untuk mengirim perwakilan resmi guna menyaksikan proses investigasi kecelakaan pesawat udara. Hal ini diperlukan karena sebagian besar catatan mengenai dokumentasi pesawat udara yang bersangkutan ada di negara tempat pesawat udara didaftarkan. Sebagai implementasi ketentuan Pasal tersebut telah dikeluarkan Annex 13 Konvensi Chicago 1944 tentang Aircraft Accident Investigation sebagai panduan bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara. Dalam hukum nasional Indonesia, investigasi kecelakaan pesawat udara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun demikian perlu dicatat di sini bahwa tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan pesawat udara dengan sebab yang sama, bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. 11. Dokumen Penerbangan Setiap penerbangan internasional harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum internasional, dalam hal ini Konvensi Chicago 1944.
39
Menurut Pasal 29 Konvensi Chicago 1944 setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dokumen penerbangan yang terdiri dari; (a) sertifikat pendaftaran dan kebangsaan (certificate of registration) pesawat udara; (a) sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness); (b) sertifikat kecakapan (certificate of competency) semua awak pesawat udara; (c) buku perjalanan penerbangan (log book); (d) bila pesawat udara tersebut dilengkapi dengan peralatan radio, harus dilengkapi dengan sertifikat stasiun radionya; (e) bila pesawat udara mengangkut penumpang harus dilengkapi dengan daftar penumpang (passenger’s manifest), baik nama dan tempat keberangkatannya; (f) bila pesawat udara mengangkut kargo, harus dilengkapi dengan daftar barang (cargo manifest) beserta perinciannya; (g) deklarasi umum (general declaration). 40 12. Amunisi Kecuali atas persetujuan dari negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan, tidak ada pesawat udara yang mengangkut amunisi atau bahanbahan yang digunakan untuk perang, diangkut melalui ruang udara negara anggotaOrganisasi Penerbangan Sipil Internasional Iainnya. Setiap negara berhak
40
Ibid., hal 32
40
mengatur pengangkutan amunisi atau barang-barang yang digunakan untuk perang melewati wilayah udara mereka. Pengaturan tersebut bersifat seragam sesuai dengan rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. Dalam hukum internasional pengaturan bahan-bahan berbahaya tersebut direkomendasikan dalam Annex 18 Konvensi Chicago 1944. Setiap negara berhak untuk menolak pengangkutan tersebut atas pertimbangan keselamatan (aviation safety) dan keamanan nasional (national security). Larangan pengangkutan tersebut berlaku baik untuk penerbangan pesawat udara nasional maupun pesawat udara asing (nondiscrimination treatment). 13. Sertifikasi Pesawat Udara dan Awak Pesawat Udara Semua pesawat udara yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) Sertifikat kelaikan udara tersebut dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Dalam hal pesawat udara dioperasikan bersama secara internasional (joint international operation), salah satu negara harus ditunjuk sebagai Negara pendaftar pesawat udara yang berhak mengeluarkan sertifikat kelaikan udara. Sertifikat kelaikan udara tersebut dapat diakui sah oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan (over flown state), bilamana persyaratan untuk memperoleh sentifikat kelaikan udara tersebut minimum sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pensyaratan yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Dalam hal sewa guna usaha (leasing) pesawat udara tanpa diikuti dengan awak pesawat udara (dry lease), negara pendaftar sebagai negara lessor dapat
41
mendelegasikan kepada negara perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara (lessee state) untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) awak pesawat udara. Misalnya Garuda Indonesia menyewa pesawat udara Martin Air registrasi PH (Belanda). Maka pemerintah Belanda mendelegasikan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara tempat perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara tanpa awak pesawat udara untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara. Pendelegasian wewenang untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia tersebut tidak berlaku terhadap negara ketiga karena pendelegasian tersebut hanya bersifat bilateral antara Belanda dengan Indonesia, kecuali Belanda dan Indonesia meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944. Bila Belanda maupun Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944, pendelegasian tersebut dapat diakui oleh negara selain Belanda dan Indonesia, sepanjang negara tersebut juga meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944. 41 Setiap sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness) maupun sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang secara sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan wajib diakui sah oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lainnya. Pengakuan tersebut dapat dilakukan bila persyaratan untuk memperoleh sertifikat kecakapan tersebut sama
41
Ibid., hal 34
42
atau di atas persyaratan minimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagaima disebutkan di atas, yang secara terus menerus ditumbuhkembangkan. Setiap kapten penerbang atau awak pesawat udara lainnya yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan sertifikat kecakapan (certificate of competency) yang sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Namun demikian, negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan internasional tersebut berhak untuk tidak mengakui sertifikat yang dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Semua sertifikat pendaftaran pesawat udara (aircraft registration), sertifikat kelaikan udara (certificate of airworthiness), sertifikat kecakapan semua awak pesawat udara (certificate of competency) harus dibawa dalam penerbangan internasional. Disamping itu, selama penerbangan internasional juga harus dilengkapi dengan buku harian perjalanan (log book) yang berisikan terutama pesawat udara beserta awak pesawat udara dalam formulasi yang terus menerus ditumbuhkembangkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. 42 Tidak ada sertifikat kelaikan udara atau sertifikat kecakapan awak pesawat udara yang ditandatangani (endorsed) otomatis dapat berlaku untuk penerbangan internasional kecuali telah memperoleh persetujuan dari negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan. 43 ICAO merupakan suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkedudukan di Montreal. Badan ini secara resmi mulai berdiri pada tanggal 4 April 1947, sebagai kelanjutan dari PICAO (Provisional International Civil 42 43
Pasal 33 Konvensi Chicago 1944 Pasal 40 Konvensi Chicago 1944.
43
Aviation Organization), yang mulai berfungsi setelah konvensi Chicago 1944, maksud dan tujuan dari ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik navigasi udara internasional dan membina perencanaan dan perkembangan angkutan udara internasional. 44 Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus-menerus diperbarui melalui amandemenamandemen adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan berdasarkan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu kebenaran-kebenaran ilmiah yang diperoleh
dari
berbagai
penelitian
dan
pengembangan
(Research
and
Development) dari berbagai disiplin ilmu yang terkait baik dalam bentuk teori maupun model-model analisis. Kebijakan-kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya melalui keputusan yang diambil dalam sidang Umum dan Sidang Council, adalah kebijakan-kebijakan berlandaskan kebenarankebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. 45 Delapan belas Annex Konvensi Chicago 1944 pada dasarnya merupakan standart kelayakan yang ditunjukkan kepada seluruh anggota ICAO untuk menjamin keselamatan penerbangan internasional, namun dalam prakteknya SARPs ini juga ditujukan untuk standar kelayakan kelayakan udara pada penerbangan internasional. Annex ini juga menjadi landasan-landasan ICAO untuk
membentuk
International
Standart
and
Recommended
Proctices
(ISRPs/SARPs) adapun delapan belas Annex tersebut adalah Convention On 44
Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang,2012, hal.1 45 Ibid
44
International Civil Aviation Annex 1 to 18 International Civil Aviation Organization. 46 Annex1 - Personal Licensing: memuat pengaturan tentang izin bagi awak pesawat mengatur lalu lintas udara dan personil pesawat udara. 2.Annex2 - Rules of The Air: aturan-aturan yang berkaitan dengan penerbangan secara visual dan penerbangan dengan menggunakan instrument. 3.Annex3 - Meterological Service for International Air Navigation: memuat ketentuan mengenai layanan meteorology cal bagi navigasi internasional dan pemberitahuan hasil observasi meteorology dari pesawat udara. 4.Annex4 - Aeronautical Charts: pengaturan tentang spesifikasi peta aeronautical yang digunakan dalam penerbangan internasional. 5.Annex5 - Units of Measurement to be Used in Air and Ground Operation: ketentuan mengenai satuan-satuan ukuran yang digunakan dalam penerbangan. 6.Annex 6 - Operation Aircraft: mengatur tentang spesifikasiyang akan menjamin dalam keadaan yang sama, penerbangan diseluruh dunia berada pada tingkat keamanan diatas tingkat minimum yang telah ditetapkan. 7.Annex 7- Aircraft Nationality and Registration Marks: membuat persyaratanpersyaratan umum untuk pendaftaran dan identifikasi pesawat udara. 8.Annex8 - Airworthiness of Aircraft: pengaturan tentang standar kelayakan udara dan pemeriksaan pesawat udara berdasarkan prosedur yang seragam.
46
AchmadMoegandi, Mengenal dunia Penerbangan Sipil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hal 78
45
9.Annex9 – Facilitation: ketentuan mengenai standar fasilitas-fasilitas Bandar dara yang akan menunjang kelancaran dan masuknya pesawat udara, penumpang dan cargo di Bandar Udara. 10.Annex10 - Aeranutical Communications: mengatur tentang prosedur standar, sistem, dan peralatan komunika Annex11 - Air Traffic Service: memuat tentang pengadaan dan pengawasan terhadap lalu lintas udara, informasi penerbangan dan layanan pemberitahuan serta peringatan mengenai keadaan bahaya. 12.Annex12 - Search and Rescuce: memuat ketentuan tentang pengorganisiran dan pemberdayaan fasilitas dalam mendukung pencarian pesawat yang hilang. 13.Annex13 - Aircraft Accident Investigation: ketentuan tentang keseragaman dan pemberitahuan investigasi, dan laporan mengenai kecelakaan pesawat. 14.Annex 14 – Aerodrome : ketentuan tentang spesifikasi dan desain dan kegiatan dibandar udara. 15.Annex15 - Aeronautical Information: metode untuk mengumpulkan cara penyebaran informasi yang dibutuhkan dalam operasional dalam penerbangan. 16.Annex16 - Enviromental Protectum: memuat ketentuan mengenai sertifikat ramah lingkungan, pengawasan terhadap kebisingan yang ditimbulkan oleh emisi dari mesin udara. 17.Annex 17 - Enviromental Protectum: ketentuan mengenai perlindungan keamanan penerbangan sipil internasional dari tindakan melawan hukum. 18.Annex18 - The Safe Transport of Dangerous Godds by Air: mengatur tentang tanda, cara mengepak, dan pengangkutan cargo yang berbahaya
46
Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu Negara yang berkaitan dengan keselamatan (safety) dan keamanan (security) harus berdasarkan paradigma-paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annexdan berbagai dokumen turunannya. ICAO tidak pernah membuat target zero accident. Zero accident adalah sasaran yang tidak pernah akan tercapai (unachievable goal). Dalam Global Aviation Safety Plan (GASP) target yang ingin dicapai ICAO adalah mengurangi jumlah kecelakaanfatal iseluruh Negara, mengurangi secara signifikan angka kecelakaan (accident rates) terutama dikawasan yang angka kecelakaannya tinggi, berupaya agar pada akhir tahun 2011 tidak ada satu kawasanpun yang angka kecelakaannya dua kali angka kecelakaan seluruh dunia. Yang harus dibuat dan ditetapkan Negara dan dilakukan upayaupaya pencapaiannya adalah an acceptable level of safety, jumalah kecelakaan yang bisa diterima dalam sekian ribu atau juta kali penerbangan. 47 Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai peran yang sangat signifikan bagi perkembangan penerbangan sipil diindonesia, teritama dibidang bantuan teknik. Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 april 1950 juga telah menikmati baebagai bantuan dari organisasi tersebut, walaupun Indonesia juga harus membayar iuran tahunan sebagai anggota. Dalam bidang pendidikan penerbangan, Indonesia telah memperoleh bantuan teknis sejak 20 Agustus 1950 pada saat Menteri Perhubungan Ir.H.Juanda meresmikan pendidikan penerbangan yang pada saat itu
47
Ibid
47
bernama Akademi Penerbangan Indonesia (API) di curug, Tangerang. Bantuan tersebut berupa tenaga ahli dibidang penerbangan, peralatan pendidikan penerbangan maupun peralatan navigasi penerbangan. Dengan bantuan tersebut Indonesia telah mampu mencetak tenaga terdidik dengan instruktur dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, dan Swedia, disamping tenaga Indonesia sendiri yang dikirim ke luar negeri. 48 Organisasi
Penerbangan
Sipil
Internasional
sebagai
organisasi
internasional merupakan badan khusus (special agency) PBB tidak hanya berperan dalam adviser maupun pegawasan pembangunan Bandar udara, pengadaan sistem komunikasi, navigasi penerbangan, desain pesawat udara, modernisasi peralatan penerbangan, menciptakan standar peraturan penerbangan dan berbagai peraturan penerbangan yang ditugaskan kepada Komisi Navigasi Penerbangan (Air Navigation Commision) data tata cara operasi penerbangan. 49 Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundmental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standaryang tercantum dalam Annex 1-8 ICAO beserta dokumen dan sirkulernya (circular). Bila suatu Negara tidak pernah mengirim perbedaan (differences) kepada ICAO maka berarti Negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk Negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO. ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam Pasal-pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular 48
H.K.Martono,S.H.,LLM Dkk, Hukum udara Nasional dan Internasional Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.335. 49 Ibid., hal 336
48
ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di masa lalu ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu Negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil Internasional. Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran. ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga (peran kedua) memonitor kepatuhan (compliance) yaitu memonitor pelaksanaan standar-standar yang telah ditetapkan untuk kemudian (peran ketiga) meminta segera Negara mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak dipatuhi. ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body. Untuk mengetahui kepatuhan Negara terhadap standar-standar yang telah ditetapkan, ICAO membuat program Universal Safety Oversigh Safety Audit (ASOAP). Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat (powerfull) untuk memaksa Negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan sipil. 50
F. Penggunaan Pesawat Militer sebagai Pesawat Sipil Untuk Transportasi Penduduk Sipil Pesawat udara militer mempunyai peran yang sangat penting di dalam dunia kemiliteran. Pesawat angkut ini sangat memudahkan segala kegiatan yang dilakukan oleh dunia militer, baik itu dalam kondisi perang maupun dalam kondisi 50
Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori & Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang, 2012,hal.6
49
damai. Hal ini sangat berdampak positif bagi kelangsungan kegiatan pihak militer terutama Tentara Nasional Indonesia. Pesawat udara angkut militer dalam hal ini pesawat militer mempunyai berbagai macam fungsi secara umum, yaitu: 51 1. Untuk perpindahan pasukan; 2. Untuk hujan buatan; 3. Untuk dropping pasukan atau terjun; 4. Untuk dropping barang;dan 5. Untuk pengisian bahan bakar Selain fungsi utama yang tercantum diatas, pesawat udara angkut militer juga sering digunakan sebagai pesawat vip/vvip. Fungsi pesawat angkut militer sebagai pesawat vip/vvip ini adalah merupakan fungsi dimana pesawat angkut militer digunakan oleh orang-orang yang tergolong penting di suatu negara. Diantaranya adalah Presiden, Pejabat, dan anggota TNI yang berpangkat Jendral Dalam dunia internasional, pesawat udara militer ini (Hercules) termasuk dalam pesawat udara angkut militer yang dikategorikan sebagai Military Transport Aircraft. Dimana Military Transport Aircraft ini diartikan sebagai: 52 “military transport aircraft are primarily used to transport troops and war supplies, cargo can be attached to pallets which are easily loaded, secured for flight, and quikly unloaded for delivery. Cargo also may be discharged from flying aircraft on parachutes, eliminating the need for landing. Also included in
51
Bernadus Ardian Ricky M, Penggunaan Pesawat Udara Militer (Hercules) sebagai pesawat udara sipil untuk alat transportasi penduduk sipil ditinjau dari segi hukum udara internasional dan nasional, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013, hal 6. 52 http://www.airforce-technology.com/projects/c12-huron/ - diakses pada 17 April 2015
50
this category are aerial tankers; these planes can refuel other aircraft while in flight” Dalam pengertian yang tercantum tersebut dapat diartikan bahwa pesawat angkut militer biasa digunakan untuk transportasi pasukan dan peralatan perang, kargo dapat ditambahkan pada palet yang mudah dimuat, terjamin untuk penerbangan dan dapat dibongkar dengan cepat untuk pengiriman, kargo juga dapat
dikeluarkan/dijatuhkan dari pesawat angkut militer dengan dikaitkan
dengan parasut. Juga termasuk dalam kategori pesawat angkut milter adalah tanker udara yang berfungsi untuk pengisian bahan bakar sementara pesawat lainnya dalam penerbangan. Sebagai catatan bahwa apabila menyebut pesawat udara angkut militer ini dengan sebutan pesawat kargo adalah tidak tepat, karena pesawat udara angkut militer juga mengangkut paratroopers dan anggota militer lainnya. Dalam Konvensi Paris 1919 klasifikasi udara tercantum dalam Pasal 30, 31, 32, dan 33, yang masing-masing Pasal mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer. Pasal 30 Konvensi Paris 1919 berbunyi : Article 30.The following shall be deemed to be State aircraft: (a)Military aircraft, (b)Aircraft exclusively employed in state service, such as Posts, Customs, Police. Every other aircraft shall be deemed to be private aircraft. All state aircraft other than military, customs and police aircraft shall be treated as private aircraft and as such shall be subject to all the provisions of the present Convention. Menurut Pasal 30 ini pesawat udara terdiri atas pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunkan dinas pemerintahan seperti bea cukai,
51
polisi, dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan seperti bea cukai dan polisi harus diperlakukan sebagai pesawat udara sipil (private aircraft) dan pesawat udara tersebut berlaku ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Pasal 31 Konvensi Paris 1919 berbunyi “Every Aircraft commanded by a person in military service detailed for the purposed shall be deemed to be a military aircraft”, yang berarti bahwa setiap pesawat yang diperintahkan oleh seseorang yang bekerja dalam dinas militer dengan tujuan yang khusus dianggap sebagai pesawat udara militer. Dalam Pasal 68 Undang-Undang no.1 Tahun 2009 berbunyi “Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.” Yang dimaksudkan dengan keadaan tertentu adalah apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara negara, Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara negara. Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara negara menjadi pesawat udara sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil. begitu juga sebaliknya apabila pemerintah memerlukan pesawat udara untuk kegiatan negara sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara sipil, maka pesawat udara sipil dapat diubah menjadi pesawat udara negara sesuai dengan persyaratan pesawat udara negara. Mengingat pesawat udara militer merupakan salah satu bagian dari pesawat udara negara, maka penggunaan pesawat udara ini haruslah mendapatkan ijin dari pihak atau instansi yang berwenang. Dalam hal ini penggunaan pesawat udara militer harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Perhubungan Indonesia
52
dan Panglima Komando Operasi (Koops I dan Koops II). Rencana kegiatan angkutan udara yang diselenggarakan oleh pemerintah haruslah memuat data tentang jenis dan jumlah pesawat udara yang dioperasikan; pusat kegiatan operasi penerbangan; sumber daya manusia yang terdiri dari teknisi dan personel pesawat udara; serta kesiapan dan kelayakan operasi. 53 Pesawat udara angkut militer Hercules ini digunakan secara operasional, dalam artian pesawat Hercules akan beroperasi disaat dibutuhkan. Penerbangan dari pesawat Hercules sendiri ada 2 (dua) macam, yaitu penerbangan yang berjadwal dan penerbangan tidak berjadwal. Penerbangan berjadwal dari Hercules terbatas pada latihan terbang dan pengiriman logistic secara rutin untuk keperluan TNI-AU sendiri, sedangkan penerbangan yang tidak berjadwal sesuai kebutuhan, keperluan dan atas perintah dari pemegang Komando. Menjadi sebuah catatan dalam penggunaan sebuah pesawat udara harus memperhatikan beberapa hal yaitu: 1. Status pesawat udara, yakni apakah dimiliki oleh negara, perorangan atau badan swasta; 2. Tujuan penggunaan atau bentuk kegiatan-kegiatan pesawat udara itu sendiri; 3. Kepentingan kegiatannya, yakni apakah digunakan untuk kepentingan negara yang bersangkutan itu sendiri ataukah digunakan untuk kepentingan suatu organisasi internasional;
53
H.K. Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: RajaGrafindo Persada 2012, hal 245.
53
4. Kemudian perlu diteliti pula apakah penggunaan tersebut bersangkut paut dengan kepentingan perdamaian atau kepentingan di luar itu. Dalam penggunaan pesawat udara negara dalam hal ini penggunaan pesawat udara militer juga harus memperhatikan hal-hal tersebut diatas. Dimana semua pesawat udara militer yang akan beroperasi atau digunakan haruslah jelas bentuk tujuan dari penggunaan atau bentuk-bentuk kegiatan pesawat udara militer tersebut, kepentingan dari kegiatan pengangkutan yang kemudian diteliti apakah penggunaan dari pesawat udara militer ini untuk penggunaan kepentingan perdamaian ataupun di luar kepentingan perdamaian itu.