Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
PENELITIAN SEJARAH HUKUM SIPIL DI INDONESIA D. Khumarga (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan) ABSTRACT The Indonesian Civil Law - which was derived from the Dutch one-is supposed to be the lee generalis of the (Indonesian) Commercial Law Respectively is supposedly the Business Law to the Civil Law as well Commercial Law. Take as example for instance the Law of contract. Which is the main source of the Business Law. Therefore it's no eraggeration to say that a Business Law scholar thould be a "civilist" as prerequisite. Indonesia, which historically belongs to the Roman Civil Law Tradition Country, is best to make every effort in tracing the historical background of the Legal System concerned. On the other hand it is also expected that the "counterpart", e.g. the Common Law Tradition should be made a study as well, which secently has been influencing the development of the Indonesian has system quite significantly, especially in the field of Business Law. By having the knowledge of the history of the Roman Civil Law, hopefully it will be of much benefit to the Business Law scholars and observers. Keywords : civil law, commercial law, business law, law of contract, prerequisite, legal system, common law.
SEJARAH HUKUM SIPIL DI INDONESIA
PENDAHULUAN 1. Sipil sit mi Perdata Predikat "sipil" pada ilmu pengetahuan hukum di Indonesia berasal atau merupakan pengindonesian dari kata civiel
bahasa Belanda atau kata civil dalam bahasa Inggris atau Perancis, serta zivil dalam bahasa Jerman. Kata civiel dalam bahasa Belanda diperkirakan merupakan pembelandaan dari kata civil dari Code Civil-nya Napoleon. Belakangan Belanda lebih banyak menggunakan kata burgerlijk daripada kata civiel untuk
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
199
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
menyebutkan Hukum Perdata atau Hukum Sipilnya. Nampaknya Belanda melakukan hal itu guna menghapuskan bekas-bekas masa penjajahannya oleh Perancis. Dengan melakukan hal itu Belanda berpaling pada Jerman yang lebih suka menggunakan predikat burgelich daripada zivil untuk menyebutkan Hukum Perdata mereka. Kata zivil hingga sekarang masih dipergunakan di Swis. Bagaimana keadaannya di Indonesia ? Di sini burgerlijkrecht terjemahannya masih belum baku. Istilah Hukum Perdata lebih banyak dipergunakan daripada Hukum Sipil. Namun bukan berarti bahwa tidak ada altematif lainnya. Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, SH, umpamanya lebih suka terjemahan Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) dalam mengindonesiakan B.W. (Burgerlijk Wetboek). Hal ini dapat kita baca dari bukunya yamg berjudul "Pengantar Tata Hukum Di Indoensia" jilid I tentang Hukum Perdata . Sudiman menggunakan predikat "perdata" untuk apa yang kita kenal sebagai Hukum Perdata dalam arti luas, yaitu Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
200
Prof. Subekti, SH., seorang "civilist" Indonesia terkemuka, lebih senang menggunakan terjemahan "perdata". Mengenai hal itu dikemukaannya dalam bukunya ,"Pokok-pokok Hukum Perdata" sebagai berikut. "Perkataan 'hukum perdata' dalam arti yang luas meliputi semua hukum 'privat materiir yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan . Dalam arti yang luas itu perkataan 'perdata' juga lazim dipakai sebagai lawan dari 'pidana'. Ada juga orang memakai perkataan 'hukum sipil' untuk hukum privat materiil itu, tetapi oleh karena perkataan 'sipil' itu juga lazim dipakai lawan dari 'militer', maka lebih baik kita memakai istilah 'hukum perdata' untuk segenap peraturan hukum privat materiil". Demikian Subekti. ' Dari apa yang ditulisnya tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa Subekti lebih suka menggunakan istilah 'perdata' untuk terjemahan burgerlijk daripada 'sipil'. Lalu ia menyamakan "hukum perdata dalam arti yang luas" dengan 'hukum privat materiil', sedangkan dalam bukunya yang
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
diberi judul "Pokok-pokok Hukum Perdata" tersebut, ia juga membahas Hukum Dagang dalam bab tersendiri, yakni Bab X. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi Subekti, hukum perdata dalam arti luas atau hukum privat materiil meliputi Hukum Perdata (dalam arti sempit) dan Hukum Dagang. Penggunaan istilah "hukum privat materiil" sejajar dengan hukum perdata dalam arti luas sebagai "genus begrip" hukum perdata atau hukum sipil dan hukum dagang, adalah sinkron dengan istilah yang digunakan untuk itu oleh Prof. Mr. J. Van Kan dalam bukunya "Uit De Geschiedenis Onzer Codificatie ". Dalam pembukaan Bab I (Ter Inleiding), ia menulis : De wetgevende arbeid, di aan Indie de codificatie van het privaatrecht gebracht heeft, is in stilte voorbereid, voltooid en uitgevoerd". Dan yang dibahas disitu ialah burgerlijk recht dan handels-recht. Sudiman sebaliknya, menggunakan istilah "hukum perdata" untuk pengertian yang luas yang oleh Subekti dipakai istilah "hukum perdata dalam arti yang luas" atau "hukum privat (materiil)". Untuk hukum perdata
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
(dalam arti sempit) Sudiman menggunakan istilah hukum Sipil. Itulah sekelumit gambaran tentang pemakaian predikat "sipil" di Indonesia yang banyak terpengaruh oleh Hukum Perdata Eropa (Barat). 2. Predikat 'Civil' di Negara Anglo Saxon (10,11) Bagaimana penggunaan kata 'sipil' atau 'civil' di negaranegara Anglo Saxon atau negaranegara yang terpengaruh The British Imperium ? Di negaranegara yang disebut oleh John Henry Merryman dalam bukunya 'The Civil Law Tradition", sebagai negara-negara "The Anglo American World" ini, kita harus hati-hati dalam menggunakan kata 'civil'. Merryman menggunakan kata civil dalam civil law dengan membedakannya dalam hubungannya dengan legal tradition dan legal system. Tentang legal tradition ia memberikan definisi sebagai berikut: "A legal tradition, as the term implies, is not a set of rules of law about contracts, corporations,
Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
201
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
and crimes, although such rules will almost always be in some sense a reflection of that tradition. Rather it is a set of deeply rooted, historically conditioned attitudes about the nature of law, about the role of law in the society and the polity, about the proper organization and operation of a legal system, and about the way law is or should be made, applied, studied, perfected, and taught". Tentang legal system, Merryman menjelaskan sebagai berikut: "The reader will observe that the term used is 'legal tradition', not 'legal system'. The purpose is to distinguish between two quite different ideas. A legal system, as the term is here used, is an operating set of legal institutions, procedures, and rules. In this sense there are one federal and fifty state legal system in the United Sates, separate legal systems in each of the other nations, and still other distinct legal systems in such organizations as the European Economic Community and the United Nations. In a world organized into sovereign states and organizations of states, there are as many legal systems as
202
there are such states and organizations " Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa tradisi hukum (legal tradition) adalah suatu perangkat pranata atau sistem nilai yang telah tertempa secara turunmenurun sehingga telah mengakar secara mendalam dalam masyarakat tentang hakekat hukum, peran hukum dalam masyarakat maupun pemerintahan, mengenai bagaimana pengaturan dan pelanggaran sistem hukum yang baik, dan perihal cara-cara bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dikaji, disempurnakan dan diajarkan. Sedangkan mengenai sistem hukum (legal system) Merryman mengartikan sebagai perangkat pengoperasian lembaga hukum, pengacara hukum dan peraturanperaturan hukum. Bila diambil A.S. sebagai contoh maka disana ada satu sistem hukum federal (Pemerintah Pusat) dan lima puluh sistem hukum negara bagian (state). Merryman menyebutkan sebagai saat kelahiran civil law tradition, sama dengan saat diumumkannya, 'XII Tables' di Roma. "The tradional date of its origin it 450
Law Review, Fakultas Hukum Univt rsitas Pelita Harapan, \fol. 1 Wo. 3, Marti
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
B.C., the supposed date of publication of the XII Tables in Rome". Demikian istilah yang digunakan oleh Merryman sebagai orang Amerika. Lain lagi istilah yang dipakai oleh R.W. Lee, dalam bukunya "The Elements of Roman Law with a Translation of the Institutes of Justinian". Orang Inggris ini menyebutnya dengan istilah Roman Law. Dalam bukunya tersebut ia menulis bahwa: "The first certain landmark in the history of Roman Law is the Law of the Twelve Tables ". Meskipun mereka menggunakan istilah yang berbeda, namun keduanya memuji tradisi hukum yang berasal dari Romawi itu sebagai hukum yang lebih unggul dari tradisi hukum mereka sendiri yang disebut oleh Merryman sebagai 'the common law tradition', yakni tradisi hukum yang tersebar di antara negara-negara the Anglo American World. Merryman mengakui bahwa "the civil law tradition is older, more widely distributed, and more influential than the common law tradition". R.W. Lee lebih terperinci lagi dalam memuji Roman Law. Ia berkata :
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
"The reasons which justify it, particularly for students who breathe a Common Law atmosphere, are principally these: 1. Roman law is one of the great things which have happened in the world. It is part of a liberal education to know something about it. 2. Roman Law is an introduction to the study of the sciences of law, or as we call it, Jurisprudence. For many centuries the Science of Law was Roman Law. If in modern times it has widened its outlook and improved its methods its debt to Roman Law remains unquestioned. 3. Roman Law is a key to the terminology and, to a great extent, to the substance of foreign systems. 4. Roman Law enlarger the mind. The study of Roman Law liberalizes the mind by expanding the range of vision." Mengenai Merryman berikut:
pengaruhnya, menulis sebagai
"/? is today the dominant legal tradition in most of Western Europe, all of Central and South America, many parts of Asia and
Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
203
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
Africa, and even a few enclaves in the common law worlds (Louisiana, Quebec, and Puerto Rico)". Merryman juga mengemukaan bahwa hingga pecahnya Revolusi Oktober, negara-negara Eropa Timurpun didominasi oleh civil law tradition ini. Merryman secara "gentlemam" mengakui keunggulan-keunggulan tradisi hukum Roman Law sebagai lebih tua, penyebarannya dan pengaruhnya lebih luas dari pada tradisi Common Law. Disebutnya pula sebagai karya besar dunia, sebagai pengantar untuk studi ilmu pengetahuan hukum (jurisprudence), sebagai sumber peristilahan hukum dan sebagainya. Pengaruhnya menyebar dari Eropa Barat, Amerika Latin, banyak negera Asia dan Afrika dan celacela negara Common Law, seperti Louisiana dan Puerto Rico di A.S. dan Quebec di Canada. Dengan demikian, kata Merryman, kalau kita mau mengerti socialist law maka kita harus lebih dahulu mengerti civil law tradition. Mengenai apa yang disebut oleh Merryman sebagai enclaves tadi, R.W. Lee bahkan
204
menyebutkan lebih banyak lagi. Dalam paragraf tentang "Roman Law in the British Empire" ia menyebutkan Channel Islands, Skotlandia, Quebec, St. Lucia di Hindia Barat (West Indies), di Mauritius dan Sycheles, di Afrika Selatan dan Srilanka yang terpengaruh oleh Roman-Dutch Law, di Malta, dsb. Lalu bagaimana hukum sipil atau civil law sebagaimana diartikan oleh negara-negara yang tergolong ke dalam common law tradition ? Mengenai ini Merryman memakai istilah "Roman Civil Law", sebagaimana ditulisnya : "Civil Law is still fundamental law to most civil lawyers. Hence a problem of terminology. Common lawyers use the term 'civil law' to refer to the entire legal system in nations falling within such a jurisdiction uses 'civil law' to refer to that portion of the legal system just described. The problem will be dealt with in this book by using the term 'Roman Civil Law' to refer to this part of the Law". Sekarang, telah jelas kiranya dimana tempat 'civil law' menurut pengertian pihak
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Miret 2002
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
"common law tradition". Dengan telah dibahasnya segala terminologi itu, maka kiranya makin jelaslah untuk membicarakan "hukum sipil" yang mana yang dimaksud di dalam judul buku ini yang berbunyi "Sejarah Hukum Sipil di Indonesia " 3. Predikat 'Sipil' dalam Judul Buku ini (1,9,13) Setelah berkelana untuk menelaah bagaimana pemakaian kata 'sipil' di dalam peta bumi ilmu hukum, maka kiranya dapat disepakati bahwa yang dimaksud dengan kata 'sipil' dalam makalah ini adalah apa yang sekarang lebih populer dengan sebutan "perdata" sebagaimana juga dipergunakan di lingkungan perguruan tinggi, termasuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia Di sini hukum perdata merupakan terjemahan dari burgerlijk recht dalam bahasa Belanda, buergerliches Recht sebagaimana dipakai di Jerman atau Zivilrecht sebagaimana dipergunakan di Swis, droit civil sebagaimana disebut orang di Perancis. Kalau kita menempatkan diri di negara Anglo America maka kita jumpai istilah Roman Civil Law
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
sebagaimana telah dibahas di muka. Kalaupun ada yang mengartikan sebagai hukum perdata dalam arti luas, yang meliputi hukum perdata (dalam arti sempit) dan hukum dagang sebagaimana yang dianut oleh Prof. Sudiman Kartohadiprodjo, SH., masih bisa diterima. Namun sebaliknya dihindari penggunaan kata 'privat' yang biasa ditafsirkan sebagai lawan 'publik'. Dengan adanya 'kesepakatan' tersebut di atas, maka dapat pula diberikan judul alternatif kepada buku ini : "Sejarah Hukum Perdata Barat di Indonesia ". SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM SIPIL DI INDONESIA Pengantar Sebelum kita memasuki pembahasan tentang sejarah perkembangan hukum sipil di Indonesia, ada baiknya kalau kita merekapitulasi berbagai hal yang mengawali dimulainya kodifikasi (kitab undang-undang) hukum sipil di Indonesia, sekaligus membuat 'kesepakatan' bahwa istilah 'hukum sipil' akan dipakai
Harapan, Vol. I, No. 3, Maret 2002
205
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
sebagai terjemahan 'burgerlijk recht', sehingga untuk terjemahan Burgerlijk Wetboek kita pergunakan Kitab Undang-undang Hukum Sipil, disingkat KUHS. Mengenai pemakaian kata 'sipil' untuk terjemahan 'burgerlijk' dan 'civil' itu, akan diberikan pertanggungjawabannya dalam bab Penutup nanti. Mengenai rekap keadaan yang mendahului usaha kodifikasi hukum sipil Hindia Belanda ketika itu, dimaksudkan di sini keadaan di negeri Belanda yang bersangkut paut dengan hukum sipil-nya. Hal ini disebabkan karena sumber pokok KUHS dengan singkat B.W., termasuk mereka yang tidak mengetahui apa kepanjangan singkatan yang terdiri dari dua huruf tersebut. Sumber utama B.W. Belanda adalah hukum sipil Perancis, yakni Code Napoleon (1811-1838), sebagai akibat pendudukan Perancis di Negeri Belanda sebagaimana dipaparkan di muka. Sebagaimana dijelaskan di bab IV, sebelum bernama Code Napoleon, kitab Undang-undang ini bernama Code Civil, dan isinyapun sebagian besar memang hukum sipil. Code Civil sendiri dalam penyusunannya banyak dipengaruhi oleh para ahli hukum
206
bangsa Perancis yang menekuni hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada jaman dulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga hukum Kanonik dan hukum (kebiasaan) setempat turut berpengaruh. Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketahui oleh Mr. J.M. Kemper dengan tugas menyusun rancangan kodifikasi hukum perdata Belanda. Dengan menggunakan sebagai sumber sebagian (besar) Code Napoleon dan sebagian (kecil) hukum Belanda kuno, rancangan dimaksud selesai disusun pada tahun 1830. Namun sebagai akibat timbulnya pemberontakan di propinsi-propinsi bagian selatan dengan berakhir pada pemisahan dan bergabung dengan Belgia, maka sebagai kitab undangundang, baru bisa diresmikan pada tahun 1838, yang meliputi: 1. Burgerlijk Wetboek, biasa disingkat B.W. (KUH Sipil); 2. Wetboek van Koophandel, biasa disingkat W.v.K. (KUH Dagang). Berdasarkan asas konkordansi, hasil kodifikasi hukum perdata Belanda ini menjadi pedoman
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
kodifikasi hukum perdata (Eropa) di Hindia Belanda. Hasil kodifikasinya diumumkan pada tanggal 30 April 1847 (S:23) dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. 3. Penugasan Mr. Hageman dan Kegagalannya Setelah selesainya kodifikasi di negeri Belanda, maka dengan Koninkklijk Besluit (K.B) no.96, pada tanggal 30 Juli 1930 diangkatlah Mr. G.C. Hageman sebagai Ketua Mahkamah Agung (President van het Hoog Gerechtshof) Hindia Belanda, dengan tugas khusus mempersiapkan perundangundangan baru bagi Hindia Belanda berasaskan perundangundangan negeri Belanda (in aansluiting bij de Nederlandse: J. van Kan). Meskipun ia mengemban tugas khusus untuk mempelajari seberapa jauh peraturan perundang-undangan negeri Belanda dapat dijalankan di Hindia Belanda, namun hingga tahun 1835 ia belum berbuat apapun sehubungan dengan itu. Pada tanggal 10 bulan Agustus 1835 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud terpaksa menegur Hageman akan
tugas khusus yang diembannya tersebut. Gubernur Jenderal J.C. Baud menulis : "Ik acht deze gelegenheid zeer dienstig om den Heer Hageman officieel afte vragen hoe ver hij is goverderd met het travail, hetwelk het hoofddoel zijner zending is geweet". Ditanyakan oleh Baud sejauh mana karya yang ditugasi telah dilaksanakan ? Tiga bulan kemudian pada bulan Desember 1835 Hageman memberikan jawaban atas teguran tersebut dengan mengakui bahwa selama itu ia tidak melakukan apapun sehubungan dengan tugas khusus dimaksud. Sebagai alasan ia mengemukaan bahwa setelah perundang-undangan baru di negeri Belanda dijalankan, di Hindia Belanda peraturanperaturan lama masih tetap berlaku, sedangkan hingga tahun 1835 sebagai akibat pemberontakan Belgia, kodifikasi Belanda masih juga belum berlaku. Mr. Hageman berdalih bahwa overmacht-lah yang mengakibatkan ia berhalangan menunaikan tugas khususnya itu. Mengenai ini Prof. Mr. J. van Kan menulis : "Op de gegevens, welke hij aon dien gang van zaken ontleende,
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
207
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
boutwt Mr. Hageman zijn betoog op, dat overmacht hem heeft verhinderd, een aanvang te maken met het hem opgedragen werk ". Sebagai alasan sebagaimana dikutip oleh van Kan dalam bukunya "Uit De Geschiedenis Onzer Codificatie", Hageman mengemukaan sebagai berikut: "Na de omwenteling van zaken in Augustus 1830 begreep ik echter dadelijk, dat aan dat gegeelte mijner taak niet zoo schielijk gevolg zou kunnen worden gegeven en dat waarschijnlijk ook de toen reeds gearresteerde Nederlandse wetboeken voor Nederland, nog voor derzelver invoering, eene herziening zouden ondergaan. Voor ieder, die de geschiedenis der wetgeving in ons vaderland had nagegaanen had opgemerkt wat al ter comtemplatie der ZuidNedelanders daarin was moeten worden veranderd, kan dite niet twiffelachtig zijn ". Sebagai alasan keterlambatan, Hageman mengemukakan bahwa suatu keadaan force majeure atau overmarcht-lah penyebabnya. Terjadinya pemberontakan di negeri Belanda bagian Selatan
208
pada bulan Agustus 1930 yang kemudian bergabung dengan Belgia, berakibat juga terhadap kitab-kitab undang-undang bagi negeri Belanda yang telah siap diberlakukan, harus mengalami peninjauan kembali. Demikianlah alasan Mr. Hageman sehingga ia tidak dapat berbuat banyak dalam menunaikan tugasnya (aan het travail weinig is kunnen worden gedaan). 4. Prakarsa Mr. Scholten v. Oud-Haarlem Pada tahun 1836 Hageman pulang ke negeri Belanda, Sebagai pengganti Hageman diangkatlah Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem sebagai Ketua Mahkamah Agung (President van het Hoog Gerechtschof). Berlainan dengan terhadap Hageman, kepada Scholten van Oud-Haarlem Pemerintah Belanda tidak memberikan tugas khusus sebagaimana pernah diberikan kepada Hageman. Namun demikian, karena merasa terpanggil untuk mengusahakan adanya kodifikasi di Hindia Belanda, Mr. Scholten van OudHaarlem justru mengambil prakarsa ke arah itu.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
Dalam surat tertanggal 24 September 1837, ia mengusulkan kepada Gubernur Jenderal agar dibentuk panitia untuk mengerjakan kodifikasi dan ia sendiri bersedia untuk mengetuainya. Dengan surat kepeutusan Gubernur Jenderal de Eerens no. 1 tertanggal 31 Oktober 1837 diangkatlah panitia (commissie) yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van OudHaarlem dan Mr. A.A. van Vloten serta Mr. P. Mijer masing-masing sebagai anggota. Dalam surat konfidensialnya kepada Gubernur Jenderal tersebut Scholten van OudHaarlem menulis : "Hoezeer Zijne Majesteit mij, bij mijne benoeming tot president in de hoogste rechterlijke collegien in Indie, Hoogstderzelver begererte niet uitdrukkelijk heeft geopenbaard omtrent de invoering eener wetgeving in Nederlandsch-Indie, acht ik mij niet minder dan mijn voorganger ambsthalve gehouden, met alle mijne krachten te arbeiden aan een werk, hetwelk mijns inziens zooveel zal toebrengen om den maatschappelijken toestand van Nerlandsch-Indie te verbeteren en tevens een einde zal maken aan dien staat van onzekerheid en
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
verwarring, waaronder de wetgeving in Indie zucht, en dit nog te meer omdat dusver in Indie nog zeer weinig is gedaan geworden om het weldadig doel des Konings, zooals hetzelfde bij art. 4 van Hoogsstdeszelfs besluit van den 30en Juli 1830 no.96, is uitgedrukt, volkomen te bereiken. Men heelt nog nimmer eenig opzettelijk onderzoek aangevangen, ten doel hebbende om de algemeene wetten, voor het Koninkrijk der Nederlanden vastgesteld, zooveel moglijk ook op de Nederlandsche bezittengen in Indie toe te passen; voor de invoering van eene wetgeving in Indie is nog niets volkomen voorbereid". Dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Scholten van OudHaarlem menyampaikan harapannya agar melalui kodifikasi dan diundangkannya peraturan perundang-undangan bagi Hindia Belanda, ia bisa turut mengusahakan selain diakhirinya ketidak-pastian dan keadaan tidak tertib, pada pikirannya akan pula memperbaiki keadaan sosial di Hindia Belanda. Untuk itu ia berjanji kepada Gubernur Jenderal
Harapan, Vol. I, No. 3. Maret 2002
209
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
untuk mengusahakannya sekuat tenaga. Itulah awal prakarsa Mr. C.J. Scholten van Oud-Haarlem. Sehingga Gubernur Jenderal dengan senang hati dan spontan pula, langsung mengabulkannya dengan SK-nya tertanggal 31 Oktober tersebut.
5. Dilanjutkan di Negeri Belanda dan Tantangan Van der Vinne Panitia di bawah pimpinan Scholten van Oud-Haarlem sebenarnya bekerja sangat giat (volijverig), namun sebelum menghasilkan sesuatu yang berarti, akhirnya harus bubar. Van Vloten dipindahkan ke Tegal dan Scholten van Oud-Haarlem karena alasan kesehatannya harus kembali ke negeri Belanda. Kegagalan pada prakarsa pertama ternyata tidak membuat Scholten van Oud-Haarlem patah semangat. Sekali lagi ia menulis surat konfidensial (vertrouwelijk schrijven) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar dibentuk panitia baru yang akan bekerja di negeri Belanda. Ia antara lain menulis : "deze gewesten niet te mogen verlaten,
210
zonder alvorens de aandacht van Uwe Exelentie opnieuw te vestigen op het zoo belangrijke onderwerp der wetgeving". Ia menyediakan diri lagi duduk dalam panitia tersebut, kalau perlu sebagai ketua. Gubernur Jenderal De Eerens kemudian meneruskan saran Scholten van Oud-Haarlem tersebut ke Menteri Penjajahan (Minister van Kolonien) di negeri Belanda disertai rekomendasinya. Pemerintah Belanda terlebih dahulu meminta nasihat anggota Staten Generaal J. Chr. Baud yang pernah menjabat sebagai Pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Hasilnya ialah dibentuk panitia baru dengan Scholten van Oud-Haarlem sebagai ketua dan para anggotanya Mr. I. Schneither dan Mr. I.F.H. van Nes, dengan Koninklijk Besluit no. 102 tertanggal 15 Agustus 1839. Belakangan ditambahan pula Mr. Rinia van Nauta sebagai anggota. Patut ditambahkan sebagai catatan bahwa Mr. Schneither adalah bekas Sekretaris Pemerintahan Hindia Belanda sedangkan van Nes adalah bekas hakim Hoog Gerechtshof dan pula bekas Residen Pasuruan. Diantara yang dihasilkan oleh Panitia Scholten van Oud-
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
Haarlem tersebut, dapat disebutkan peraturan tentang susunan badan peradilan di Hindia Belanda (Reglement op de Rechterlijke Organisatie in Nederlands Indie) dan rancangan KUH Sipil. Rancangan perundang-undangan tersebut kemudian dikirim ke Hindia Belanda untuk dimintakan pendapat / nasihat Gubernur Jenderal Merkus. Merkus kemudian meminta pendapat para ahli terdiri dari empat orang, antara lain J. van der Vinne. Mengenai diri Van der Vinne sendiri, sebetulnya ia termasuk orang yang sering berganti jabatan, dari perwira zeni, kemudian ia beralih ke jabatan sipil dan kemudian sebagai direktur 'Slands middelen en domein, Pj. Direktur Jenderal Keuangan, bahkan pernah menjabat sebagai Jaksa Agung (Procureur Generaal) untuk beberapa bulan lamanya. Bersama dengan Mr. Hoogeveen, Van der Vinne dalam notanya tertanggal 7 Pebruari 1847 mengusulkan diubahnya rancangan perundang-undangan hasil karya Panitia Scholten van Oud-Haarlem. Van der Vinne juga menulis Raad van State tentang hal itu, sehingga khususnya
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
mengenai rancangan R.O. dan B.W. dijadikan bulan-bulanan perdebatan yang cukup sengit. 6. Pertentangan Tentang Asas Konkordansi dan Penyelesaian Akhir KUHS Selain menghadapi tantangan dari Van der Vinne, Scholten van Oud-Haarlem juga hams menghadapi permasalahan asas konkordansi. Asas konkordansi yang bagaimanakah yang akan dipakai oleh KUH Sipil di Hindia Belanda ? Penerapan (asas konkordansi) secara luas atau sempit (ruimere of engere toepassing van het concordantiebeginsel) ? Bagi Scholten v.O.H. sesuai dengan dituangkannya di dalam nota penjelasannya (Nota van Toelichting) berbunyi : "het burgerlijk en handelsrecht voor Europeanen of daarmede gelijk gestelde personen met dat ini Nederland thans van kracht zooveel eenigszins doenlijk te laten overeeenstemmen". Scholten v.O.H. juga mendasarkan diri pada Koninklijk Besluit yang memberinya tugas untuk itu, yang antara lain berbunyi : "de heilzame bedoelingen des Konings om de
Harapan, Vol. I, No. 3, Maret 2002
211
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
beide wetgevingen zooveel mogelijk te doen overeenstemmen". Dari situ kita bisa menarik kesimpulan bahwa Scholten v.O.H. mengikuti cara penerapan asas konkordansi secara sempit (engere toepassing). Yang menentang pendirian Scholten v.O.H. tersebut antara lain Menteri Kehakiman Belanda sendiri, Mr. De Jonge van Campens-Nieuwland. Dalam laporannya kepada Raja dengan suratnya no. 146 tertanggal 17 Juni 1844, ia mengusulkan agar untuk menjamin pelaksanaan asas konkordansi yang lebih luas daripada yang diinginkan dan akan diwujudkan oleh Scholten v.O.H. dan kawan-kawan (het concordantie-beginsel eene toepassing te verzekeren ruimer dan die, welke Mr. Scholten en de zijnen hadden nagestreefd en verwezenlijkt). Kali ini, kembali muncul J.C. Baud, bekas Pejabat Gubernur Jenderal jaman Hageman, muncul sebagai dewa penolong Mr. Scholten v.O.H. Ia, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri urusan Jajahan (Minister van Kolonien) berpendapat "dat de Indische wetgeving ...zooveel de omstandingheden dit zullen toelaten, op den voet van die van
212
het moederland gebracht worde". Jelas sekali pendirian J.C. Baud yang menginginkan perundangundangan Hindia Belanda ditempatkan di bawah telapak kaki perundang-undangan Belanda, meskipun dengan catatan "sepanjang keadaannya memungkinkan"! Menghadapi pertentangan antara dua Menteri ini, muncullah pendapat Raad van State, Lembaga ini berpendapat: "Dat men zich de meest mogelijke eenvormigheid tusschen de beide wetgevingen heeft ten doel gesteld" dan "Dat het ook werkelijk van groot belong is voor de ingezetenen zoo van het moederland als van Nederlandsch-Indie, dat hetgeen hier recht is, zulks ook voor zooveel de eigenaardigheden van het land zulks gegedoogen, daar ginds zij". Mengenai pendirian Raad van State tersebut, Prof. Mr. J. van Kan dalam bukunya "Hit De Geschiedenis Onzer Codificatie" menulis bahwa Raad van State sudah berpihak pada asas konkordansi yang ketat, demikian ketatnya, sehingga seolah-olah memindahkan perundangundangan yang berlaku di negeri
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
Belanda ke Hindia Belanda (De Raad van State has dus parti] gekozen voor een zeer strikt concordantie-beginsel, zoo strikt, dat het zelfs hoopte de als zoodaning erkende feilen der Nederlandsche wetgeving naar Indie over te brengen "). Demikianlah keadaan KUH Sipil (dan KUH Dagang) Hindia Belanda yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei 1848 dan hingga sekarang belum juga mengalami perubahan secara menyeluruh. Demikian ketatnya atau sempitnya pelaksanaan asas konkordansi, sehingga orang mengatakan bahwa walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, peraturan di Hindia Belanda harus juga mengikutinya. Akhirnya patut dicatat bahwa disebabkan oleh karena kesehatanya yang makin memburuk, Mr. Scholten van Oud-Haarlem tidak dapat menangani hingga tuntas penyelesaian maupun pemberlakuannya di Hindia Belanda. Mr. H.L. Wichers diangkat sebagai Ketua Panitia menggantikan Scholten v.O.H. Namun apa yang dikerjakannya sebenarnya hanyalah merupakan penyelesaian terakhir (finishing touch) saja dari apa yang telah
Law Review, Fakultas Hukum Universitas
dikerjakan dan dihasilkan Panitia Scholten. Karya yang dapat diselesaikan oleh Panitia Scholten v.O.H., yang pada saat-saat terakhir diambil alih oleh Wichers, selain KUH Sipil dan KUH Dagang, adalah juga : - Peraturan Organisasi Peradilan (Reglement op de Rechterlijke Organisatie: R.O.); - Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan (Algemeene Bepalingen van Wetgeving: A.B.); - Peraturan tentang Acara Perdata (Regelement op de Rechsvordering :Rv).
DAFTAR PUSTAKA Apeldoorn, L.J. Van. 1964. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Recht. Zwolle: W.EJ. Tjeenk Willink. Asser, C , bewerkt door Mr. Paul Scholten. 1956. Handleiding to de Beoefening van het Nerderlandse Burgerlijk Recht. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink. , met medewerking van Ph.W., van Heusde. 1996.
Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002
213
Khumarga: Penelitian Sejarah Hukum Sipil Di Indonesia
Handleiding tot de Boefening van het Nederlandse Burgerlijk Recht, Deel I, InleidingPersonenerecht. Zwolle: W.EJ. Tjeenk Willink. Carpentier Alting, J.H. 1956. Grondslagen der Rechtsbedeling in Nederlandsch-Indie. Martinus Nijhoff. Kal, H. Th. Ch. & Den Hartog, V.F.M. 1955 Pandangan Ringkas tentang Hukum di Indonesia. Noordhoff-Kolff. Kan, J. Van. 1957. Uit De Geschiedenis Onzer Codificatie. Batavia: Drukkerij De Unie. Kan, J. Van & Beekhuis, J.H. 1977. Inleiding tot de Rechtswetenshap. PT. Pembangunan-Ghalia Indonesia. Kansil, C.S.T. 1997. Pengantar llmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. PN Balai Pustaka.
Lee, R.W. 1965. The Elements of Roman Law. London: Sweet & Maxwell Ltd. Merryman, John Henry. 1987. The Civil Law Tradition, An Introduction to the Legal Systems of Western Europe and Latin America. California: Stanford Univ. Subekti. 1994 Hukum Perdata. Intermasa. Utrecht, E. 1994. dalam Hukum Jakarta: Ichtisar.
Pokok-pokok Jakarta: PT
Pengantar Indonesia.
Vollmar, H.F.A. 1950. Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Burgerlijk Recht. Zwolle: W.EJ. Tjeenk Willink. 1986. Legal Dictionary, Encyclopaedia of Dictionaries. New York: Ottenheimer Publ.
Kartohadiprodjo, Sudiman. 1975. Pengantar Tata Hukum di Indonesia - jilid I : Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pembangunan-Ghalia Indonesia.
214
Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 1, No. 3, Maret 2002