PEMIKIRAN PROF. DR. MAHFUD MD TENT ANG HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI ERA TRANSISI DE:MOKRASI
Oleh:
l
-----~--~~~-----~-
PE~PUSTAKAAN UTAMA
UIN SYAHID JAKARTAJ __
Ngasiman (103045228197)
KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYAH PROGRAM STUDI JINA YAH SIYASAH FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDA YATULLAH JAKARTA 1428 H/2008 M
_______
lI
,
PEMIKIRAN PROF. DR. MAHFUD MD TENTANG HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI ERA TRANSISI DEMOKRASI
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dm1 Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Sym·at Mencapai Gelar Smjmia Huktun Islmn (SHI)
Oleh: Ngasiman
(103045228197)
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II
Iding Rasyidin, S Ag, MSi NIP. 150 371 091
Drs. Tabirani Syabirin, M Ag NIP. 150 312 427
KONSENTRASI SIYASAH SYAR'IYAH PROGRAM STUD I JINA YAH SIYASAH FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2008 M
LEMBARPENGESAHAN
Skripsi berjudul: "PEMIKIRAN PROF. DR. MAHFUD MD TENTANG HUBUNGAN SIPIL MILITER DI ERA TRANSISI" telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif J-Jidayatullah Jakarta pada 27 Maret 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Srnjana Hukum Islam (SHI) pada Progran1 Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyyah. Jakarta, 27 Maret 2008 Mengesahkan, ultas Syariah drn1 Hukum
-1'.,)
Prof. DR. H. Mu ammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Asmawi, M. Ag. NIP. 150 282 394
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M. Ag. :()!JP. 150 282 403
3. Pembimbing I : !ding Rasyidin, S Ag, M Si. NIP. 150 371 091
4. Pembimbing II : Drs. Tabrani Syabirin, M.Ag. NIP. 150 312 427 5. Penguji I
6. Penguji II
: Dr. J-lj. Isnawati Rais, MA. NIP. 150 222 235 Sri Hidavati. M. Ag. NIP. 150 282 403
( ..
.
........ ··························)
cL. . -~ . . . . . . . ) Jt;µ~_
,.,.,_,__,•.................... )
( ..........
!/'7
v t/:-17 ~ '----
(.................'.CC:
/~
......................... )
KATA PENGANTAR
Alhamdulil/ah, teriring puji dan syukur sebagai proses munajad kehadirat
Allah SWT., sumber aspirasi kekuatan politik sipil-militer dalam membangun kehidupan berbangsa dan bemegara demi tegaknya NKRI t1;rcinta. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan pengikutnya. Selanjutnya, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini, penulis banyak berhutang budi kepada berbagai pihak yang begitu tulus dan ikhlas membantu, baik berupa motivasi, saran, kritik, gagasan, finansial, dan tenaga kepada penulis pada masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini. Kepada mereka, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang mendalam. Oleh karena itu, tiada kata seindah doa dan ucapan terima kasih penulis sampaikan teruntuk: 1. Kepada Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas
Syari'ah dan I-Iukum. 2. Asmawi, M Ag dan Ibu Sri I-Iidayati, M. Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah. 3. Ors. Tabrani Syabirin, M Ag dar! !ding Rasyidin, S Ag, M. Si selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran clan kritik ..
4. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN SyarifHidayatullah Jakarta yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis. 5. Kepada Prof. Dr. Mahfud MD yang telah bersedia memberikan masukan lewat sms dan telepon genggamnya serta pemikiran-pemikirannya. 6. Kepada kedua orang tua tercinta (Ibu Siti Sawiyah dan Warno Dj. S. Pd.I) yang senantiasi memberikan doa dan motivasi untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Kepada Keluarga Besar IKKP Jakarta di bawah pimpinan Bapak Drs. Hardi, Ak, M. Sc yang telah banyak penulis repotkan, Pak Suhardi orang tua penulis di Jakarta yang sudah membimbing penulis dalarn menghadapi letih dan getimya !bu Kota Jakarta, Mas Wawan H. Purwanto seorang Muda enerjik teman diskusi yang selalu memotivasi penulis untuk go intemasional, Mas Fakhrurrozi, M. Si dan istri terimakasih yang tak terhingga atas semua kebaikan selama ini so pasti doaku selalu kutunggu keponakanuku, Sahabat Lukmanul Hakim, Obud, Cak Habib, Cak Opik, Kaibe so pasti tak lupa Fitri Amalia kalian semua adalah sahabat yang baik, walaupun kadang juga menjengkelkan. 8.
Kepada teman-teman ciputat di lingkar studi Piramida Circle, RR Fans Clab, Formaci, LS-ADI, KOMPAK, CS, Hybrid, FORK.OT, PMII, HM!, HM! MPO, IMM, SIMPATI Jakarta, FORMASI, BEMF clan BEMJ Fak. Syariah dan Hukum UIN Jakarta dan Sahabat-sahabat di Jurusan Siyasah Syar'iyyah.
Mengakhiri kata pengantar ini, penulis berdoa semoga partisipasi aktif semua pihak yang tersebut di atas dan yang tidak sempat disebutkan, benar-benar menjadi bagian dari rangkaian amal saleh mereka. Dan penulis berharap semoga keberadaan skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pribadi dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 15 Februari 2008
Penulis
DAFTARISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................
i
DAFT AR ISi .......................................................................................................
iv
BABI
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........... ... ... .. ....................... .................
I
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................
IO
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
10
D. Met ode Penelitian .... ....... ............ .. ... ...... ..... .......... .. ............. .. ..
11
E. Sistematika Penulisan .............................................................
12
SEKILAS SOSOK MAHFUD MD
-
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan ................................
13
B. Karir dan Jabatan ..... ... ... ... ....... ... ................. ....... .. ............. .....
16
I. Sebagai Guru Besar .............................................................
16
2. Sebagai Menteri Pertahanan ................................................
18
C. Karya Tulis ..............................................................................
43
I. Bnku-buku ..........................................................................
44
2. Tulisan-tulisan di Jurnal Jlmiah dan lain-lain .....................
45
3. Kolom-kolom ilmiah popular .............................................
46
4. Makalah-makalah ...............................................................
46
KERANGKA KONSEPTUAL HUBUNGAN SIPlL-MILITER A. Pengertian Hubungan Sipil-Militer. ............................................ 49 B. Pola Hubangan Sipil-Militer ...................................................... 55 C. Sipil-Militer Dalam Wacana Transisi Demokrasi ....................... 60
BAB IV
PEMIKIRAN MAHFUD MD TENTANG HUBUNGAN SIPILMILITER DALAM TRANSISI DEMOKRASI
A. Sejarah Hubungan Sipil-Militer di Indonesia .........................
70
B. Pemikiran Mahfud MD tentang hubungan Sipil-Militer dalam
BabV
transisi demokrasi di Indonesia................................................
80
C. Masa Depan Hubungan Sipil-Militer Di Indonesia.................
91
PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................
102
B. Saran-Saran ......................................................... ....................
I OS
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
107
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hubungan sipil-militer dalam sebuah negara merupakan faktor yang sangat menentukan arah perjalanan kehidupan berba11gsa dan bernegara, khususnya dalam membangun proses demokrasi dan ketahanan nasional suatu negara. Oleh karenanya hubungan sipil-militer selalu menjadi perhatian, penelitian dan kajian para peneliti, akademisi, pengamat politik dan militer secara terus menerus, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Pola hubungan sipil-militer di berbagai negara juga berbeda-beda. Perbedaan itu terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Secara umum dalam sistem pemerintahan demokratik hberal, hubungan sipilmiliter menganut pola supremasi sipil. Sebaliknya dalarn sistem pemerintahan otoritarian, pola hubungan sipil-militer cendernng menganut pola supremasi mi liter. Pada dekade 1950-an, selepas perang dunia II, banyak negara yang baru lahir memilih menganut sistem pemerintahan yang demokratis daripada yang otoriter. Dengan menempatkan militer berada dibawah kontrol sipil yang demokratis.Tetapi kejayaan demokrasi di negara-negara barn ini tidak berumur panjang. Sejak akhir 1950-an mengalami keguguran satu persatu dan digantikan oleh meluasnya otoritarianisme. Pada dekade 1960-an hingga 1970-an sejarah
2
telah menunjukkan bahwa runtubnya rez1m demokratis dan digantikan pemerintahan
otoritarian yang menganut supremasi militer. Bai1gkitnya
pemerintahan otoritai·ian diawali dengan intervensi dfil1 kudeta militer yang membuahkan dominasi militer atas birokrasi sipil, parlemen, partai politik dan masyarakat sipil. 1 Sejarah telah mencatat kebfil1gkitfil1 otoritarianisme meluas sejak akhir l 950-fil1 terjadi di sebagian besar negara-negara dunia ketiga, kawasan Amerika Latin, Asia dan Afrika. Akan tetapi memasuki akhir dekade 1970-an dan semakin mantap pada dekade 1990-an, dunia menyatakfil1 perfil1g terhadap otoritarianisme dai1 pemerintahan militer. Masyarakat internasional menyaksikan "angin perubahan" yang meruntuhkan rezim otoriter di belahan dunia, dari Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur, sampai pada beberapa negara Asia dfil1 Afrika. Sainuel Huntington merekain peristiwa ini dengai1 menyebutnya sebagai gelombfil1g demokratisasi ketiga, yfil1g menyebabkan demokrasi menjadi sebuah alternatifyfil1g mungkin dan absah atas berbagai bentuk otoritai·ianisme 2• Sedangkfil1 dalam sejarah politik Indonesia, sebagai sebuah negara berkembang, dominasi militer atas sipil kerap kali terjadi dalam praktik hubungan sipil-militer. Keterlibatan militer dalam dunia politik, baik pada masa Orde Laina maupun Orde Barn, tidak hanya menghambat demokratisasi tetapi juga merusak
1 •
Sutoro Eko,"Demiliterisasi san Demokratiwst', dalam Ari Suiito dan Sutoro Eko (editor), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi (Yogyakarta; JRE Press, 2002). Hal. 2, '.Samuel P. Hungtinton, Ge/ombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Grafiti Pers, 1997). Hal 58.
3
profesionalisme militer sebagai alat pertahanan negara. Dominasi militer atas sipil mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. tahun 1948. Selama Orde Baru, TNI merupakan alat intimidasi dan !control terhadap masyarakat sipil dan kekuatan-kekuatan politik yang berseberangan dengan penguasa, baik itu di lakukan oleh Markas Besar TNI (Mabes TNI), Panglima Daerah militer (Pangdam), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa). Dalam konteks ini, kebebasan berbicara, berekspresi, dan berorganisasi merrjadi sesuatu yang mahal harganya, banyak aktifis parpol, Pers, LSM, intelektual, Mahasiswa, 01mas, Tani, Buruh, Nelayan dan Kaum Miskin Kota yang kritis dan dianggap mengancam kedudukan penguasa di cekal, di culik dan di masukkan bui. karena bersuara di luar garis berarti siap di cap subversif mengganggu stabilitas, mengancam persatuan, membahayakan kekuasaan penguasa dan lain-lain. Represitas yang di terapkan pemerintah model inilah yang kemudian membuat sebagian besar rnasyarakat sipil Indonesia menjadi masyarakat yang bisu, terutama jika dikaitkan dengan politik. Kesadaran sebagian besar masyarakat sipil benar-benar terendam dalam aliansi kepentingan negara. Dengan Dwi Fungsi ABRI, TN! lebih dominan dalam menjalankan peran sosial - politiknya daripada peran TNI yang sebenarnya yaitu sehagai alat pertahanan. Salah satu perwujudannya adalah banyaknya anggota TN! yang duduk pada jabatan-jabatan politik seperti Menteri, Gubernur, Bupati, camat, anggota DPR RI, DPRD I, DPRD II, Komisaris dan Dirut BUMN atau
4
Perusahaan serta pada dunia usahalbisnis lainnya. Di sarnping itu TN! bersama Birokrasi menjadi kekuatan utama mesin politik Golongan Karya. Dengan begitu TNI menjadi kekuatan politik yang cukup strategis dan cukup dominan untuk menopang pemerintahan Orde Baru. Kondisi ini relatif berubah, ketika pada tahun ii 997 negara-negara di kawasan Asia seperti Thailand, Malasyia, Korea Selatan dan Indonesia di terpa krisis moneter. Dari sekian negara-negara itu, Indonesia merupakan negara yang paling parah mengalami krisis tersebut, yaitu anjloknya :nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika yang sangat tajam. 3 Pondasi sistem ekonomi Indonesia yang rapuh menyebabkan hancurnya perekonomian Indonesia. Presiden Soeharto yang selama berkuasa bertumpu pada pe1iumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanan, kehilangan legitimasinya di mata rakyat. Hal ini sesuai dengan pendapat R. William Liddle yang menyatakan bahwa krisisi ekonomi (moneter) di Indonesia telah berpengaruh buruk terhadap semua aspek kehidupan masyarakat dan hilangnya legitimasi pemerintahan Orde Baru. 4 Kondisi ini memicu kekuatan Pro-demokrasi melakukan aksi demonstrasi yang dipelopori gerakan mahasiswa dan didukung berbagai elemen masyarakat seperti tokoh masyarakat, intelektual, buruh, petani, LSM dan lain-lain di 3
• Krisis ekonomi Asia berawal pada bulan oktober 1997 dengan rnulai terguncangnya nilai rnata uang Asia Tenggara. Goncangan ini memaksa Indonesia merninta bantuan IMF. Pada bulan itu juga, Bursa Saham Asia kembali goncang, bunga bank naik sebesar 300%. Bulan januari rupiah semakin merosot tajam sampai I 0.000 per dollar AS. Akhir bu Ian itu juga rupiah semakin merosot sampai 16.000 per dollar AS. Mengenai data selengkapnya tentang fluktuasi rupiah dapat di lihat dalam maja\ah D&R, No.20/XXIX/3 Januari 199& dan D&R No. 35/XXIX/ 28 April 1998. 4 • Lihat A. Malik Haramain dan M.F. Nurhuda, Mengawa! 71-ansisi: Rejleksi alas Pemantauan Pemilu '99, (Jakarta: JAMPPJ-PB PMll dan UNDP, 2000), h. 3-4.
5
berbagai daerah, yang akhirnya berhasil menumbangkan Presiden soeharto dari tampuk kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 .. Dengan kejatuhan Soeharto, Indonesia memasuki Jase baru yang dalam literatur politik, di sebut sebagai Jase transisi demokrasi. Mengenai transisi, Guillermo O'Donnell dan kawan-kawannya yang pernah melakukan serangkaian studi tentang fenomena transisi demokrasi yang terjadi di negara Amerika Latin dan Eropa Selatan-yang menghasilkan karya Transitions from Authoritarian Rule (1986) 5-secara sederhana menjelaskan "transisi" sebagai "interval waktu antara satu rezim politik dan rezim politik yang lain" 6 • Secara lebih rinci Juan J. Linz dan Alfred Stepan menjelaskan bahwa transisi demokrasi adalah antara rezim non demokratis (otoriter) menuju rezim politik yang demokratis, yaitu suatu pemerintah yang terpilih melalui pemilu yang bebas di mana pemerintah secara de
facto
memiliki kewenangan menghasilkan kebijakart-kebijakan baru dan
kekuasaan eksekutit: legislatif, dan yudikatif secara de jure dihasilkan melalui sistem demokrasi yang baru7 Proses transisi demokrasi ini, tentu saja memberikan sejumlah harapan tcrbentuknya sistem politik demokratis. Namun demikian, negara-negara yang pernah mengalami transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi, tidak semuanya '. Karya Guillermo O'Donnel,et,al., Transitition from Authoritarian Rule Rule (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1986), di terjemahkan menjadi transisi Menuju Demokrasi, empat jilid (Jakarta: LP3ES, 1993) 6 O'Donncl dan Philippe C. Schi1nitter, Transisi MenHju Den1okrasi: Rangkaian Kemu11gki11a11 dan Ketidakpaslian {Jakai1a: LP3ES, 1993), hal. 113 7 • Lihat Syamsudi Haris," Konjlik Elit Sipi/ dan Di/ema Konsolidasi Demokrasi Pasco Orde Baru", dalam Maruto MD & Anwari WMK, Reformasi Politik clan Kekua/an Masyarakat, (Jakarta: LP3 ES,2002), ha lam an 6.
6
berjalan linier dan diakhiri secara happy ending dengan munculnya suatu sistem politik yang benar-benar demokratis dan terkonsolidasi. Pendulum transisi di beberapa negara yang mengalami transisi demokrasi bisa saja bergerak daii demokrasi menuju suatu otoritarianisme baru. Dengan kata lain, suatu negara yang mengalami transisi bisa saja terjebak ke dalam apa yang di sebut Huntington sebagai pola siklus, dimana negara tersebut secara berselang- seling menganut sistem otoriter, demokrasi, dan kembali lagi ke rezim otoriter.
8
Salah satu persoalan pokok yang dihadapi negara yang baru keluar dari rezim otoriter dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis adalah penataan hubungan sipil-militer. Format hubungan sipil-militer di masa transisi sangat menentukan
keberhasilan
suatu
negara
dalam
membangun
demokrasi.
Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Samuel P .Hungtinton bahwa salah satu problem serius yang dihadapi oleh negara-negara demokrasi baru adalah membatasi kekuasaan politik pihak militer, membuat militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis dan menjadikan angkatan bersenjata suatu badan profesional yang mempunyai komitmen untuk melindungi keaamanan negeri. 9 Penarikan militer dari politik dan penegakan pemerintahan sipil menandai proses konsolidasi di sejumlah negara demokrasi barn seperti proses demiliterisasi di Portugal, Spanyol, Yunani, Turki, Argentina, Guatemala, Peru, Chili dan sebagainya
8 9
•
Samuel P. Hungtinton Op. Cit. Halaman. 51-52
•
Ibid., hal..331.
7
Hal senada juga diungkapkan oleh Rahadi T. Wiratarna, dalarn kasus di Indonesia, militer adalah kekuatan politik yang cukup " pe:nting," institusi militer masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh interplay dan prosesproses politik pelik di masa transisi ini, baik pada era Habibie, Abdun-ahman Wahid maupun megawati Soekarno Putri. Lebih dari itu, keberhasilan transisi menuju demokrasi mengandaikan sebuah upaya sistematis yang ditujukan bagi reposisi subtansial posisi sentral militer dalarn format negara. Ini berarti bahwa persoalan militer perlu di tempatkan secara khusus dalam hubungannya dengan tantangan demokrasi 10 • Apalagi belum adanya platform bersarna mengenai format hubungan sipil-militer di kalangan anggota TNI dan masyarakat sipil, maupun antar masyarakat sipil, juga menjadi kendala serius bagi upaya demokratisasi. Untuk itulah timbul pertanyaan di benak kita, bagaimana seharusnya pola hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi di Indonesia?. Menurut Prof. DR. Mahfudz MD, MA Militer seharusnya menjaga tiga pilar pendukung negara, yakni teritorial, rakyat dan pemerintah. Peranan militer yang hanya mengabdi pada pemerintah akan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Dengan kata lain, peranan militer hanya untuk menjaga pertahanan dan keamanan, dan bukan pada peran politik. 11 Untuk itu reposisi peran militer dan supremasi sipil harus di terapkan. Namun perlu di mengerti, bahwa yang di maksud Prof. DR. Mahfudz w. Rahadi T. Wiratama, "Reformasi Politik Indonesia : Transisi Berkepanjangan'', dalam E. Shobirin Nadj, (Editor), Suprerr.asi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional : Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru (Jakarta,: LP3ES, 2003). Hal. 355. 11 Lihat A. Malik Haramain, Gus dur, Militer, dan Politik (Yogyakarta: LkiS, 2004), Hal. 8788).
8
MD, bukanlah dominasi sipil atas militer, melainkan suatu pembagian peran yang seimbang antara militer dan sipil. Menurutnya Indonesia ticlak mengenal dominasi sipil atas militer. Oleh karena itu hubungan sipil-militer di Indonesia, tidak bisa di samakan dengan hubungan sipil-militer di negara-negara barat yang sistem demokrasinya telah terkonsolidasi dengan baik. Ia mengatakan" meskipun saya sepakat dan tidak ada masalah dengan prinsip supremasi sipil, namun prinsip ini tidak bisa di terapkan di negara kita secara persis dan mutlak seperti di negaranegara barat yang sistem demokrasinya telah kuat dan tumbuh dengan baik". 12 Lebih lanjut Prof. DR. Mahfudz MD, mengatakan bahwa jika pada masa lalu posisi militer lebih banyak menjadi alat penguasa untuk mengintimidasi masyarakat sipil dan menghambat demokratisasi karena kolaborasinya dengan pemerintah otoriter, maka ha! itu perlu direposisi. Reposisi peran militer harus di lakukan dengan bertahap, kebiasaan militer merebut peluang sipil untuk berkarya harus di hilangkan. Militer tidak lagi harus bermain politik, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan bangsa dalam menghadapi serangan musuh dari luar, clan menjaga stabilitas di dalam. Reposisi militer bisa di lakukan manakala di militer
terdapat
prinsip-prinsip
profesionalisme
yang
baik. 13
Prinsip
profesionalisme adalah tidak membiarkan TN! selalu berada dalam jeratan politik, atau proses politisasi atas TN! itu sendiri. 14 Hal ini di sebabkan karena TN! selama ini hanya menjadi pengabdi kekuasaan, clan bukan pengabdi negara dan 12
.A. Malik Haramain, Ibid Hal. 190. ". Lihat Suara Pembaruan (5 Oktober 2000) ' Presiden: Pegang Teguh Profesionalisme". ,.,, Lihat Kompas (6 Oktober 2000)" Presidrn: Polilisasi TN/ .Jangan Diteruskan".
9
masyarakat. 15 Profesionalisme itulah menurut Prof. DR. Mahfudz MD sebagai jalan untuk menciptakan keseimbangan peran yang proporsional sebagaimana konsepsinya tentang supremasi sipil dalam konteks hubungan sipil-militer. Untuk itulah dalam skripsi ini, kami akan mengkaji pemikiran Prof. DR. Mahfudz MD tentang hubungan sipil-militer, meskipun studi hubungan sipilmiliter di Indonesia sudah banyak di lakukan, Seperti oleh. Jahja A. Muhaimin, 16 Ulf Sundhausen 17 , Herbert Feit 18 , Harorld Crouch, 19 Britton,20 Salim Said21 , Arif Yulianto22 , A. Malik Haramain, 23 dan lain-lain. Studi ini di lakukan selain karena ·ketertarikan penulis terhadap pemikirannya, juga atas pertimbangan posisi dan sosok Mahfudz MD sebagai intelektual, politisi dan pakar Hukum Tata Negara, serta penulis belum menemukan karya dan literatur yang secara utuh memuat gagasan-gagasan beliau tentang hubungan sipil-militer di Indonesia. Melainkan kebanyakan mengenai praktik hubungan sipi-militer pada masa pemerintahannya. Ten tu penulis berharap bahwa hasil skripsi ini dapat di gunakan untuk melihat peluang dan kemungkinan mengupayakan penyelerasan sudut pandang ataupun terbangunnya alternatif pemikiran dalam upaya membangun format hubungan 15
.Lihat Republika (6 Oktober 2000)" Presiden: TN! Bl'kan Abdi Kekuasaan). Jahja A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1971). 17 .Ulf Sundhausen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI,(Jakm1a LP3ES, 1988). 18 .Herbert Feith, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Te1pimpin, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan,200 I). '" .Harorld Crouch, Mil it er don !'olitik Indonesia, (Jakarla, Pustaka Sinar l-larapan, 1992). 20 .Peter Britton, Profesionalisme dan Jdeologi Militer Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1996). 21 • Said Salim, Militer Indonesia dan Politik.,( Jakarta: sinar l-larapan, 2001). 22 ArifYulianto, Hubungaa Sipil-Militer Pasca Orba, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). 23 A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer dan Politik, (Yogyakarta, LKiS, 2004). 16
•
10
sipil-militer dalam rangka membangun pemerintahan yang demokratis di negeri In!.
B. Perumusan dan Pembatasan masalah.
Studi dalam skripsi ini dilakukan bertitik tolak dari anggapan bahwa penentuan pola hubungan sipil militer dalam negara yang mengalami transisi demokrasi sangat menentukan sebuah negara dalam membangun proses demokrasi dan ketahanan nasional suatu negara. Da:lam studi ini penulis membatasi pada pemikiran Prof. DR. Mahfudz MD tentang hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi Pasca Jatuhnya Presiden Soeharto. Sedangkan konsep hubungan sipil-militer dan transisi demokrasi secara umum serta lainnya akan dibahas sesuai dengan kebutuhan studi. Dari pembatasan masalah tersebut, agar fokus studi ini bisa terjaga. Maka penulis mernmuskan permasalahan pokok yang akan di jawab dalam skripsi ini adal>!h sebagai berikut: I. Bagaimana pemikiran Mahfudz MD tentang hubungan sipil -militer dalam transisi demokrasi?. 2. Bagaimana masa depan hubungan sipil-militer di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian yang penulis lakukan ini, berlujuan untuk mengungkap dan menemukan sejumla!1 pemikiran penting Mahfudz MD tentang hubungan sipil-
11
militer dalam transisi demokrasi di Indonesia pasca jatuhnya Presiden Soeharto. Harapannya, penelitian ini dapat memberi wacana altematif dan rangsangan baru bagi lahirnya pemikiran baru hubungan sipil-militer di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi syarat akhir, guna memperoleh gelar Strata Satu (S 1) pada Program Studi Siyasah Syar'iyah pada Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan demikian penelitian ini sesungguhnya memiliki kegunaan akademis dan praktis. Kegunaan akademis yaitu memperkaya pergulatan wacana tentang hubungan sipil-militer yang sampai saat ini belum ada titik temu dikalangan para akademisi. Sedangkan kegunaan praktis dari penelitian ini di harapkan dapat di jadikan format baru hubungan sipil-militer dalam sistem politik pemerintah Indonesia.
D. Metodologi Penelitian Metodologi dalan1 penelitian pada sebuah karya ilmiah merupakan ha! yang harus dip<:gang untuk mencapai basil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud diatas, maka Secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Penggunaan metode deskripif di perlukan untuk menggambarkan pemikiran Mahfudz MD tentang hubungan sipil-militcr dalam transisi demokrasi pasca jatuhnya Soehm-to
12
secara lebih detail. Sedangkan analisis di butuhkan untuk menjelaskan keterkaitan pemikiran beliau dengan masa depan hubungan sipil-militer Indonesia. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui riset kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan dan studi dokumen dengan membaca dan meneliti literatur-literatur yang sesuai tema-tema studi.
E. Sistematika Pembahasan Pembahasan materi skripsi ini akan di bagi dalam lima bah. Bab pertama berisi pendahuluan yang membahas latar belakang masalan, rnmusan dan batasan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, meteclologi penelitian clan sistematika pembahasan. Bab keclua berbicara singkat tentang sosok Mahfuclz MD yang meliputi latar belakang sosial-intelektual, penclidikan, pengalaman, karir dan karya-karyanya. Bab ketiga berisi seputar kerangka kon:;eptual hubungan sipilmiliter yang meliputi clefinisi sipil, clefinisi militer dan pola hubungan sipil-militer clan clefinisi transisi demokrasi. Bab keempat berisi tentang hubungan sipil-militer clalam transisi demokrasi yang membahas Indonesia dan transisi clemokrasi pasca Orcle Baru, pemikiran
Mahfudz MD tentang hubungan Sipil-Militer dalam
transisi clemokrasi clan masa clepan hubungan sipil militer di Indonesia. Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan clan saran.
BABU SEICTLAS SOSOK MAHFUDZ MD
A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan Mohammad Mahfud dilahirkan di Omben, Sampang (Madura), Jawa Timur, dari ayah bernama Mahrnodin dan ibu bernama Siti Chadidjah, pada tanggal 13 Mei 1957. inisial MD di belakang adalah singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin. Malnnodin berasal dari Pamekasan namun, karena pekerjaannya sebagai pegawai negeri, maka keluarganya harus sering berpindah tempat, sesuai dengan pemindahan tempat tugas oleh pemerintah daerah setempat. Mahfud dilahirkan ketika Mahmodin bertugas sebagai pegawai rendahan di kantor Kecaniatan Omben. Ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin pindah ke daerah asalnya yaitu Pamekasan. Nama Mahmodin kemudian lebih dikenal dengan panggilan Pak Emmo (suku kata kedua dari namanya, Mah-mo-din), yang ditambah dengan awalan Em) yang kemudian diberi nama lengkap baru oleh pemerintah, di dalam beslit pengangkatannya sebagai pegawai negeri, dengan nama Emmo Prawiro Truno. Mahfud adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang hidup yang sekarang hampir semuanya bekerja sebagai pegawai negeri, seperti guru, dosen, dan pegawai di kantor departemen di berbagai tempat. Ketiga kakaknya masing-
14
masing bernama Dhaifah, Maihasanah, dan Zahratun; sedangkan ketiga adiknya masing-masing bernama Siti Hunainah, Achmad Subki, dan Siti Marwiyah. 1 Mahmud menikahi Zaizatun Nihayati (Yatie), teman kuliahnya di Fakultas Hukum UII, pada tahun 1982. Dari pernikahannya itu, Mahfud dan Yatie dikarunia tiga orang anak. Anak pertama Muhammad lkhwan Zein (lahir pada 15 Maret 1984), kini mahasisswa di Fakultas Kedokteran UGM; Anak kedua, putri, Vina Amalia (lahir 13 Juli 1989) kini pelajar kelas 1 SLTP V Yogyakarta; Anak ketiga, Royhan Akbar (lahir 8 Pebruari 1991) kini kelas 6 di SD Sapen Yogyakarta. Yatie sendiri pernah bekerja sebagai guru tetapi, ketika Mahfud diangkat menjadi menteri dan harus berpindah ke Jakarta, pekerjaannya sebagai guru ditinggalkannya sampai sekarang. Moh. Mahfud MD memulai pendidikannya dari surau dan madrasah diniyyah yang ada di desa Waru, sebelah utara kota pemekasan. Di surau dan madrasah diniyyah tersebut Mahfud belajar agama Islam. Ketika memasuki usia tujuh talmn, Mahfud oleh orang tuanya dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri (pagi) sambil merangkap belajar di madrasah ibtida'iyyah (sore), dan belajar agama di surau (malam sampai pagi). Pada saat sekolalmya di SD memasukli kelas V, Mahfud dikirim ke sebuah pondok pesan!i·en, di desa Tagangser Laok, untuk mendalan1i agama. Statusnya sebagai murid di SD Waru dipindahkan ke SD Tagangsor Laok yang memiliki pondok Pesantren bernama Somber Lagah. 1
Moh. Mahfud MD; Setahun Bersama Gusdur; Kenangan Menjadi Mcnteri Pertahanan di Saal Suli1 (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 312.
15
Pondok Pesantren Sombar Lagah adalah pondok pesantren salaf yang diasuh oleh Kyai Ardhiyyan, seorang kyai keluaran pondok pesantren Temporejo atau Temporan. Oleh orang tuanya, Mahfud diharapkan dapat menjadi gum agama sehingga setamat dari SD (1971) dia langsung dimasukkan ke Pendidikan Gum Agama (PGA) Negeri Pamekasan, meskipun hasil ujiannya membuka peluang baginya untuk masuk di SMPN favorit. Setelah lulus dari PGA 4 Tahun (1974), Mahfud terpilih untuk masuk ke Penddidikan haklim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuman unggulan milik Departemen Agan1a di Yogyakarta. • Setamat dari PHIN (1978), Mahfud menemskan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indobnesia (UII) yang dirangkapnya dengan Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM) untuk Jumsan Sastra Arab. Ketika mahasiswa, ia aktif di berbagai organisasi mahasiswa tetapi yang paling ditekuni adalah Lembaga Pers Mahasiswa. Majalah mahasiswa Muhibbah yang dipimpinnya dibredel oleh Menteri Penerangan, Ali Moertopo, pada tahun 1982 karena sangat kritis terhadap pemerintah Orde Barn. Pada tahun 1983, dia dapat merampungkan gelar SI di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Setelah menyelesaikan program SI dia melanjutkan program S2 di UGM mengambil jurusan ilmu politik. Pada almamater yang sama dia juga mengambil program S3 dalam il;mu hokum dan dapat meraih geiar doctor pada tahun 1993 dengan disertasi "politik hukum".
16
Setamat dari S2 pada tahun 1985, Mahfud bekerja sebagai dosen di almamatemya
dengan
status
Kekecewaannya pada hokum,
sebagai
Pegawai
Negeri
Sipil
(PNS).
yang menurutnya selalu dikalahkan oleh
keputusan-keputusan politik, menyebabkan Mahfud ingin belajar ilmu Politik. Oleh sebab itu, ketika ada kesempatan memasuki program S2, Mahfud masuk ke Program Pasca Sarjana S2 dalam bidang ilmu politik di UGM (1985). Dan, setelah lulus dari Program S2 Ilnrn Politik UGM, Mahfud kemudian mengikuti pendidikan doctor (S3) dalam limn Hukum di Progran1 Pasca Sarjana UGM, sampai akhimya lulus sebagai doctor (1993). Disertasi doktomya tentang "politik hukum" cukup fenomenal, dan menjadi bahan bacaan pokok di progran1 pasca sarjana bidang
ketatanegaraan
pada berbagai
perguruan
tinggi,
karena
pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hokum dan ilmu politik.
B. Karir dan Jabatan
1. Guru Besar Meloncat Setelah selesai S 1 dia sempat menga1ar sebagai dosen pada almamaternya dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan jabatan guru besar (Profesor) dalam Ilmu Politik Hukum (yang merupakan bagian dari studi Hukum Tata Negara) diperoleh oleh Mahfud pada tanggal 1 November 1999 berasarkan SK Mendiknas No.84193/A2.IV.1/KP/1999. Mahfud adalah guru besar Ilmu Politik Hi.1kum yang pertama dan satu-satunya
17
di Indonesia. Ilmu politik hokum adalah bagian khusus dari studi Hukum Tata Negara yang dialami Mahfud sejak tahun 1990 ketika dia menyiapkan disertasi doktornya untuk itu. Dalam meraih jabatan guru besar itu pun Mahfud dapat meraihnya dengan dua loncatan jabatan akademik, tidak melalaui tangga jabatan satu per satu. Oleh sebab itu tidak seperti umumnya dosen lai:n yang biasanya meraih jabatan professor setelah usia tua, Mahfud meraih jabatan itu dalam usia hanya barn melewati usianya yang ke 40. Mula-mula Mahfod diangkat sebagai Asisten ahli Madya pada tahun 1987, setelah lulus doctor tahun 1993 langsung meraih jabatan Lektor Madya (melompati jabatan asisten ahli dan lector muda), dan setelah itu langsung meloncat ke guru besar (professor) tanpa harus singgah
18
memperoleh derajat guru besar termuda dalam bidang ilmu hokum. Setelah itu disusul oleh generasi-generasi yang lebih muda seperti Hikmahanto Juwana dan Satya Arinanto, keduanya adalah dosen Fakultas Hukum UL 2. Sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) Pengangkatan Mahfud sebagai Menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid hampir tak dapat dipercaya bukan saja oleh masyarakat tetapi oleh Mahfud sendiri. Ketika itu Mahfud bukanlah politisi yang terkenal. Dia hanya dikenal baik sebagai akademisi terutama diberbagai Fakultas Hukum. Bahkan dia dosen dan pengamat. Dia sendiri tak tahu kalau 'Presiden Gus Dur benarbenar mengenal dirinya. Pasalnya Mahfud berkenalan Hecara langsung dengan Gus Dur hanyalah kira-kira 16 tahun sebelum pengangkatannya sebagai menteri, tepatnya pada tahun 1983, dan dalam 16 tahun terakhir sejak itu Mahfud tak pernah lagi ada kontak, apalagi bertemu dengan Gus Dur. Kisahnya dimulai pada tahun 1983 ketika Mahfud lulus dari Fakultas Hukum UII dan mulai membantu-bantu Fakultasnya sebagai asisten dosen. Pada saat itu Mahfud mengundang Gus Dur beberapa kali kekampus UII untuk memberikan kuliah umum atau menjadi pemprasaran beberapa diskusi. Mahfud memang sangat mengagumi kecemerlangan otak dan langkahlangkah Gus Dur sebagai tokoh Muda NU, bahkan ulasan-ulasan tentang Gus Dur selalu diikuti dengan cermat. Kekaguman yang luar biasa itu kemudian mendorong Mahfud untuk mengundang Gus Dur ke UII. Apalagi UII dulu didirikan oleh tokoh-tokoh Islam lintas organisasi dan perseorangan termasuk
19
kakek dan ayah Gus Dur yang tokoh NU yaitu KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahid Hasyim. Kalau Gus Dur ke UII Mahfud-lah yang menjemput ke bandara, mengantarkan ke Hotel, dan menemaninya makan. Tetapi sejak 1983/1984 itu Mahfud tak pernah lagi berhubungan langsung dengan Gus Dur dan Mahfud mengira bahwa Gus Dur sudah lupa pada dirinya. Oleh sebab itu sangatlah mengejutkan
ketika,
setelah
menjadi
Presiden,
tiba-tiba
Gus
Dur
memanggilnya dan memberinya jabatan Menteri Pertahanan didalam Kabinet yang dipimpinnyll. Gus Dur bukan hanya ingat pada Mahfud tetapi juga cukup tahu perjalanan karier dan posisi Mahfud di kalang;m akademisi terutama untuk bidang hukum. 2 Mahfud sendiri terus meyakini bahwa Gus Dur adalah seorang pejuang demokrasi dan tokoh Islam inklusif dan sangat moderat yang memang anti KKN dan sangat mandiri dalam menentukan keputusan. Buktinya dia mengangkat para menterinya dengan berani dan tanpa kolusi atau persyaratan yang aneh-aneh kecuali meminta janji untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Setelah tidak menjadi menteri, di samping aktif di partai politik, dia juga mengajar di berbagai perguruan tinggi ternama di. Indonesia yang antara lain program pasca sarjana UII (Yogyakarta), UI (Jakarta) Universitas Udayana 2
(Denpasar),
Universitas
Jenderal
Sudirman
(Purwokerto),
Moh. Mahfud MD, Poire/ Akademisi don Po/itisi (Jogjaka.-ta, Ull Pres, 2006), h. 12.
20
Universitas Mataram (Mataram), UMS (Surakarta), Uniska (Kediri), Unisda (Lamongan), Unilak dan UIR (Pekanbaru) serta menjadi oponen ahli serta penguji untuk program doctor di Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, IAIN Ar Raniry dan Universitas of Malaya. Untuk menjadi dosen tidak harus menjadi p1;gawai negeri. Banyak guru besar yang sudah tidak menjadi pegawai negeri, misalnya karena pensiun, tetapi masih aktif mengajar karena kewenangan sebagai guru besar terns melekat', jawab Mahfud ketika ditanya alasannya untuk terns mengajar. Mahfud mengaku menikmati profesi gandanya sebagai akademisi dan politisi, bukan karena uang yang diperolehnya, melainkan karena keasyikan mempertemukan teori di kampus dengan kenyataan praktis dilapangan. Dari kedudukan sebagai akademisi dia bisa bergelut dengan teoriteori dan kajian-kajian bersama para mahasiswa, ta.pi kedudukan sebagai politisi Mahfud dapat menggali dan mengenali tuntutan riil di lapangan. Jabatan
21
f.
Anggota Panelis dan Asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (1997-1999)
g. Pit. Staf ahli dan Deputi Menteri Negara Urusan HAM (1999-2000) h. Menteri Pertahanan, kemudian Menteri Kehakiman-HAM (2000-2001) 1.
Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz OPP Partai Kebangkitan Bnagsa (2002-2005)
J.
Rektor Universitas Islam Kediri (2003-2006)
k. Anggota DPR-RI, duduk di komisi II dan Baleg (2004-Sekarang) I.
Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN) Depkum-HAM Republik Indonesia (sekarang) Di samping dia tergolong orang yang sukses, baik dalam bidang
akademisi, maupun politik, dia juga dapat dikatakan sebagai salah satu pejuang demokrasi. Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan pasang naik secara bergantian antara yang demokratis dan yang otoriter (termasuk variasinya yaitu non otoriter dan non Demokratis. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi perioritas utamanya ternyata periode Orde Baru dalam pe1jalanannya sampai dewasa ini menampilkan watak yang otoriter Birokratis. Orde Baru telah tampil sebagai negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada di dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi yang demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pembatasan. Obsesi untuk
22
menciptakan stabilitas nasional pada awal Orde Barn dapat diterima sebagai alasan bagi adanya pengetahuan atas hak-hak demokrasi rakyat itu, sebab pembangunan ekonomi harus ditopang oleh "stabilitas nasional" itu. Adalah tidak dapat dibantah bahwa strategi pembangunan nasional yang dipilih oleh Orde Barn telah menunjukkan hasil yang sangat mengesankan bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial
kemasyarakatan
lainnya. Pembangunan Orde Baru telah membawa dampak yang sangat besar terhadap perubahan sosial di Indonesia, sesuatu yang dapat dilihat dari peningkatan pendapatan, literacy rate, mas media exposure, urbanisasi dan sebagainya. Hal itu berakibat pula pada semakin besamya porsi masyarakat yang mempunyai kapasitas politik yang semakin baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya yang pada gilirannya akan membawa lahimya tuntutan terhadap kualitas pelaksanaan demokrasi. Semenjak reformasi bergulir, diskusi tentang demokrasi di Indonesia seakan tidak pernah ada habisnya. Lantaran itu bukan wacana baru dalam panggung perpolitikan Indonesia. Mulai dari yang disebut Indonesia masih dirumuskan oleh para pendiri negara ini hingga terbentuknya pemerintahan baru di bawah Prsiden Susilo Bambang Yudhoyono, de:mokrasi telah panjanglebar diperbincangkan. Namun, sekalipun telah melewati fase sejarah yang cukup panjang, demokrasi tetap merupakan topik yang hingga kini belum menjadi sesuatu yang anakronisme untuk dibicarakan.
23
Berkah langsung yang bisa dipetik sejak rezim otoriter jatuh tahun 1998 lalu, adalah dilangsungkannya liberalisasi politik dan kebebasan media. Itu berarti belum menjamin kepastian penerapan demokrasi secara otentik di Indonesia. Biasanya, fase transisi dianggap rawan karena selalu dihantui te1jadinya kegagalan kembali tergelincir ke watak neo-otoriterisme, meskipun ia beroperasi secara sistematik. 3 Proses itu sangat dipengaruhi kelangsungan kemampuan konsolidasi politik oleh kekuatan reformis ketika menghadapi sejumlah kelompok konservatif-slatus quo. Terlebih juga dihadapkan pada sulitnya membanguii kesepahaman baru dalam membuat agenda dan prioritas perubahan dalam koridor demokrsi. Mengisi perubahan pasca otoriterisme di Indonesia saat ini, salah satu agenda krusial yang belum terselenggara adala11 melakukan penataan ulang hubungan sipil militer dalam kerangka demokrasi, dengan meminjam Huntington (1957) sebagai militer profesional yang dikontrol secara objektif oleh supremasi sipil. Sebagaimana pengalaman berbagai negara, gelombang demokratisasi temyata juga diikuti demiiiterisasi. Biasanya, salah satu problem serius negam·negara demokrasi baru itu adalah membendung kekuasaan dan pengaruh politik militer, memposisikan militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis, lalu menjadikan angkatan bersenjata suatu badan profesional berkomitrnen melindungi keamanan negeri. Disanalah,
3
Arie Sujito, Rejleksi dan Aksi untuk Rakyat.( IRE Press, 2004), h. 107.
24
sebenarnya penarikan militer dari politik sebagai bentuk demiliterisasi dikerangkakan
pada penegakan pemerintaban sipil
menandai
proses
konsolidasi. Kita memang belum memiliki pengalaman mengenai relasi sipil militer yang ideal itu. Pengalaman panjang sejak Soeharto memelihara intervensi militer dalam struktur politik secara membabi buta, telah menyulitkan gerak bandul mengarab pada supremasi sipil. Babkan kerusakan total kian terasa, seperti, (I) lahirnya rezim politik yang berwatak otoriter; (2) lemahnya kekuatan
rakyat karena tidak tersedia ruang kontrol dan partisipasi; (3) hilangnya profesionalismenya militer. Ketiga akibat itu mengalami pelembagaan secara permanen, dimana kenyataan rezimentasi militer dalam kehidupan sosial, (politik dan ekonomi kian bergeser dari dominasi menjadi hegemoni. tak pelak lagi jika militerisasi sebagai penyakit menahun ini akhirnya mentransformasikan diri dalam bentuk militerisme, yakni sebagai karakter, kultur dan ideologi yang bekerja efektif dalam ranah politik Indonesia. Fakta mengenai dominasi militer alas birokrasi (Santoso,2000), kendali terhadap parpol dan parlemen, penguasaan pada ormas (Sutoro Eko, 2002), maraknya premanisme ekonomi (Jswandi, 1998 dan Samego, 1998), bisnis kekerasan serta membelukarnya institusi teritorial (Wahyono, 2001), bahkan sampai penguasaan pada arena pendidikan tidak bisa dielakkan sebagai fakta-fakta objektif mengenai problem militerisasi dan militerisme itu. Muncuinya tradisi kontemporer scbagai efek langsung militcrisme adalah reproduksi konflik dan
25
kekerasan horizontal, yang ditandai oleh menjarnurnya milisi sipil bergerak dalam setiap sengketa di masyarakat. Melintasi kepahitan fakta itu seua, demiliterisasi sebagai rumusan normatif untuk membangun supremasi sipil menandai demokrasi tentunya menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Bagaimana proses itu berjalan hingga saat ini? Bertemunya dua sumber kehancuran substansial politik Indonesia oleh militerisasi dan militerisme seperti ini memang terasa berat untuk melakukan rehabilitasi secara cepat. Saat situasi politik yang Jabil, merupakan kondisi terberat saat dimana legitimasi negara hancur yang ditandai oleh ketidakpastian arah politik, sistem hukum yang goyah dan lahirnya distrust massal yang menstimulasi konflik horisontal berlarut-larut. Kondisi ini menghadapkan diri pada situasi dilematis. Antara memilih "stabilitas" dengan berarti mengundang kembali militerisasi untuk mengendalikan keadaan, atau membiarkan proses politik terkonsolidasi secara alami padahal hegemoni praktik kekerasan masih menyelimuti kesadaran masyarakat. Jika ditinjau dari tingkat resiko yang paling minimal, pilihan visible adalah mengurangi ruang beroperasinya kembali militer dalam arena politik. Problemnya adalah, langkah-langkah membendung bertahan dan bercokolnya rezim "serdadu" selalu berbenturan dengan kelompok status quo yang masih eksis dalam struktur politik kita. Jalan demiliterisasi pernah Mahfud tempuh ketika waktu membantu dalam kabinet persatuan indonesia
26
era pemerintahan Gusdur melalui tindakan nyata dengan mengurangi jabatanjabatan politik oleh militer. Mengurangi porsi menteri yang dimonopoli tentara, jabatan-jabatan eksekutif di daerah seperti Gubemur dan Bupati, serta institusi-institusi ekonomi strategis yang dikuasai militer, lalu diberikan kepada sipil. Demikian halnya kebijakan pemisahan militer dan kepolisian yang dilandasi oleh pembedaan antara peran pertahanan dan keamanan. Pemisahan kelembagaan keduanya secara tegas tentu penting dipahami sebagai bagian reformasi hubungan sipil militer di Indonesia dalam rezim demokratik. Semangatnya adalah, agar keduanya bisii profesional, serta mengurangi derajat kekacauan peran mereka, sebagaimana pengalaman masa lalu. Sayangnya langkah itu berhadapan dengan bongkahan batu sandungan. Yang menarik adalah, sejumlah kebijakan radikal ditempuh Mahfud yakni upaya pembubaran institusi komando teritorial (Koter), beberapa tingkat dibawah Kodam seperti Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. (Wahyono, 200 I, ope it). Dengan langkah itu akhimya surut dan tidak mendapatkan dukungan di parlemen yang konon mayoritas dihuni oleh golongan konservatif. Akhirnya, jalan perubahan itu hanya dialirkan pada bentuk penataan baru kelembagaan militer, yang seolah-olah merupakan respon atas arus reformasi. Muncullah paradigma baru peran TNI profesional yang dirumuskan dari seminar TN! beberapa tahun lalu, tidak lain merupakan politik TN! untuk enggan melakukan perubahan substansial sebagaimana tuntutan
'kekuatan
rezim
sipil.
Mengenai
pembubaran
Koter,
kian
27
berkembang kontroversi yang mengarah pada pengalihan peran lembaga militer AD di daerah itu dalam kewenangan pemerintah daerah (Pemda). Tentara hernial menyerahkan urusan pembinaan teritorial yang selama ini menjadi urusan TNI kepada pemerintah (daerah). Alhasil, perubahan mendasar sebagai tuntutan publik tidak pernah terwujud, karena eksistensi dan fungsi Koter pun masih ada. Artinya, praktis di era Gusdur beberapa kebijakan demiliterisasi tidak berhasil secarn operasional. Apalagi kebijakan demiliterisme. Semenjak surutnya peran formal serdadu bersenjata, ttdak otomatis mengurangi kadar kultur militeristik di kalangan sipil, yang nyatanya masih sangat hegemonik. Ideologi militer yang diadopsi oleh kelompok-kelompok mi!isi sipil masih merajalela dan semakin menguat. Di sejumlah daerah muncul ragam kasus unjuk kekuatan "serdadu tiruan" sebagai agen bersenjata, bernaung dibawah paqji-panji keormasan clan parpol.
Mereka
selalu
hadir
melalui
show of force,
menunjukkan
kesombongannya dengan mengenakan instrumen-instrumen kekerasan di berbagai tempat (Suriawidjaja & Maruto (ed), 2001 ). Itulah, kekentalan praktik militerisme yang demikian terasa sepanjang orde baru, dan terwariskan pada pemerintahan Habibie dan Gusdur. Adakah perubahan mendasar dai-i rezim Megawati? Pada era Megawati, nampaknya, justeru mi liter mendapat keleluasan untuk mengembalikan citra, semenjak dijinakkan Gusdur. Pada awal-awal Megawati berkuasa (pemerintahan koalisi antar kelompok dengan kekuatan
·-------PERll"USTJl.KAAN
------, UTJ,MA
28
I
l
UIN SYAHID JAKARTA ______ J
dominan fraksi PDI-P) ini berupaya agar mendapatkan legitimasi kuat dari tentara. Bercermin pengalaman "burnk" masa lalu Gusdur yang selalu mengendalikan kekuatan TNI yang tidak menguntungkan dirinya, maka ditempuhlah jalan pragmatis dengan mencari dukungan dalam bentuk rekrutmen jabatan kabinet Megawati berposisi antagonistik terhadap militer jelas beresiko besar, dimana rezim ini dimungkinkan akan mendapatkan serangan dari militer garis konservatif yang anti pernbahan.politik akomodasi atas militer berlanjut, hingga lahir kebijakan-kebijakan barn untuk menangani kasus kekerasan yang sebagian besar berwatak represi (banyak contoh untuk memperkuat penilaian ini). Sejumlah langkah pemerintah dalam penanganan gerakan "separasi" di Aceh dan Papua, masih terlekat model-model militeristik. Sekadar contoh, meskipun Nangroe Ace:h Darussalam (NAD) ditetapkan oleh pemerintah da!am bentuk UU, sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat Aceh, tetapi saat bersamaan diikuti pula pendirian komando daerah militer (KODAM) lskandar Muda. Kebijakan sepe1ii dianggap beberapa kalangan merupakan langkah mundur dan tidak populer. Demikian pula mengenai kasus Theys (Papua), dimana ketika tuduhan menguat tentang keterlibatan Kopassus, ternyata pemerintah tidak segera mengambil inisiatif atau memiliki kekuatan dan ketegasan untuk menindak para pelakunya secara cepat dan adil. Rangkaian praktik pelanggaran HAM yang mulai dibongkar dalam masa pemerintahan Megawati sebagai resiko gcrakan reformasi, toh
29
mengalami hambatan luar biasa. Inisiatif pelaksanaan pengadilan HAM dimotori oleh KPP HAM yang bernpaya menyeret para Jenderal agar bertanggung jawab atas sejumlah tragedi Tanjung Priok, Semanggi I dan II, Timor-timur,
dan
Papua,
ternyata
sangat
alot.
Bahkan,
tindakan
pembangkangan atas proses hukum dengan cara tidak rnemenuhi pemanggilan pemeriksaan oleh KPP HAM te1jadi. Kontroversi sepe1ti ini memang terns terns berlarut-larut. Adakah terjadi kebuntuan melakukan reformasi di tubuh TN!? Mungkinkah kecendernngan hubungan sipil··militer menjadi kian memburuk? Ini memang pertanyaan yang sulit untuk dijawab, terutama jika dikaitkan dengan kecenderungan ketidakpastian
politik yang sedang
berkembang. Tidak bisa dipungkiri bahwa muncul gejala kemerosotan kualitas hubungan sipil militer jika dikaitkan ke arah demokrasi. Di luar hambatan itu semua, nampaknya menurnnnya tensi perbaikan tata hubungan sipil militer di era transisi demokrasi Indonesia ini juga terkait dengan perkembangan ekonomi politik internasional. Semenjak kasus Word Trade Centre (WTC-USA), perhatian internasional dalam melanjutkan reformasi di
tubuh TN! kian berkurang.
Alasan-alasan
kepentingan USA untuk memburu "sang teroris" melalui pembentukan jaringan militer di sejumlah negara di beberapa kawasan, termasuk Asia telah dimanfaatkan oieh kalangan militer sebagai momentum konsolidasi barn. Hal ini memang logis, saat dimana tuntutan reformasi mulai menurnn di tingkat nasional, terutama berkaitan dengan masih terns membengkaknya konflik-
30
konflik dan kekerasan di Indonesia, posisi militer kian menguat. Bahkan pula mengenai
persoalan-persoalan keamanan, khususnya berkenaan
peran
kepolisian dan partisipasi masyarakat sipil. Kita tahu, bahwa independensi dan profesionalisme kepolisian sebagai institusi penge!lola keamanan masih banyak dipertanyakan dengan merujuk pada ragam kasus yang melibatkan aparat kepolisian. Apakah benar, reformasi politik nasional ini secara makro dan substansial berpengaruh pada perbaikan pada institusi kepolisian? Memang masih teka-teki. Dalam konteks semua itulah, tantangan mendasar bagi reformasi hubungan sipil militer, dan persoalan kean1anan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan besar. Apa yang mesti dilakukan? Salah
satu
prioritas
strategi
dasar
demiliterisasi
untuk
menghilangkan hegemoni di tingkat bawah adalah bagaimana membatasi ruang instrumen militer itu sendiri, yang sampai saat ini masih beroperasi secara efektif (Anggoro, 2002). Ada beberapa ha! penting; Pertama, keberadaan Komando Teritorial (Koter) sebagai basis
kekuasaan tentara (AD) di wilayah bawah yang merasuk secara birokratis dalam kehidupan bermasyarakat sipil perlu dihapuskan. Oleh orba struktur teritorial
31
Kedua, membangun organ kontrol efektif terhadap militer oleh masyarakat sipil. Ketidakpercayaan publik pada militer yang terus menguat di masa transisi seperti saat ini, tampaknya belum bisa metJjadi modal kuat untuk merubah militer praotoritarian menjadi militer profesional, dan sekaligus membawa militer dari arena sosial-ekonomi-politik ke arena pertahanan yang semestinya ditandaskan dalam sistem demokrasi. Di sisi lain, sebagai penopang utama demokrasi, elemen-elemen masyarakat sipil dan masyarakat politik dalam kenyataannnya masih lemah, cenderung cerai-berai sehingga mereka belum cukup ktiat melakukan kontrol efektif terhadap sepak terjang militer. Dengan kata lain, kendatipun saat ini militer mengalami delegitimasi oleh masyarakat sekaligus tuntutan supremasi sipil mulai menguat, tetapi militer sebenarnya masih powerful! dan hegemonik (PAU-Sosial UGM, 2001) yang secara riil relatif sulit dikontrol institusi demokrasi dan masyarakat sipil secara umum.
Ketiga, dilakukan radikalisasi kesadaran sipil da!am proses politik berkenaan hubungan sipil militer dalam sistem demokrasi. Jika politisi sipil yang lemah dan tidak cfektif terns bergantung dan selalu mengundang intervensi militer, maka diperlukan institusi politik yang kuat menyatu untuk tujuan demokrasi
diantara elit politik sipil-tentunya dengan support
masyarakat, akan dapat mendorong agar menghilangkan kembali hak prerogatif
dari
militer.
Sebaliknya
jika
ternyata
militer
kembali
mengendalikan langkah
32
tugas untuk menciptakan supremasi sipil dalam kerangka demokrasi jelas menjadi lebih berat nantinya. Dalam konteks itu, untuk membangun supremasi sipil dalam sistem politik yang demokratis maka selain dilakukan reformasi mendasar dalam tubuh militer sebagai prasyarat (tentu dengan desakan politik parlemen), di sisi lain juga tergantung dari kemampuan mendasar masyarakat sipil secara radikal untuk tidak tergantung, tetap mandiri dan menjaga aturan berdemokrasi secara nyata. Kesemua itu ditempuh
untuk
mengikis
dalih "konstruksi
objektif'
militer untuk
mengoperasikan kepentingan agar bisa kembali mendominasi dalan1 arena politik.
Radikalisasi
lebih
dipahami
dalam
arti
perjuangan
untuk
mempraktikkan nilai berdemokrasi oleh kaum sipil. Pada fase transisi demokrasi, semestinya rezim sipil berkuasa hendaknya memanfaatkan momentum, mengelola potensi dan mengatasi hambaitan dalam konsolidasi demokrasi. Inilah tantangan terberat dan, semestinya menjadi agenda yang harus dipikirkan saat ini clan ke depan. Bagi Mahfud, demokratisasi dan penegakan HAM yang berintikan pada perombakan pola hubungan antara Pusat dan Daerah harus terns dilaksanakan. Demi masa depan negara, kita hams menerima gagasan otonomi luas bagi daerah-daerah agar daerah merasa betah dan nyaman untuk menjadi bagian dari negara Republik Indonesia. Hal yang sama juga berlaku bagi upaya pengembangan demokrasi di bidang-bidang lain, seperti kinerja partai politik, legislatif, pers, LSM, clan sebagainya. Demokratisasi merupakan
33
keniscayaan dan tidak akan bisa dibendung oleh stapa pun karena ia merupakan salah satu dari lima hati nurani global (global conciousness). Lima hati nurani yang takkan bisa dibendung di era globalisasi adalah, Demokratisasi, Perlindungan HAM, Pemeliharaan Lingkungan Hidup, Ekonomi Pasar Bebas, dan Pengembangan Sosial. Dalam rangka demokratisasi ini, maka Indonesia hams membuka lebar peluang bagi masyarakat untuk mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan politiknya tanpa tekanan. Hanya saja, untuk melindungi kelangsungan bangsa Indonesia yang bersatu dan berdaualat, gerakan demokratisasi
harus
dibatasi
oleh
dua
hal:
Pertama,
tidak
boleh
mempersoalkan ideologi negara yang telah final disepakati oleh bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Negara Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara kebangsaan yang menyatukan berbagai ikatan primordial. Kompetisi
demokrasi
harus
menjamin kelangsungan
Indonesia yang
berkesatuan ideologi Pancasila itu. Kedua, tidak boleh melakukan kegiatankegiatan yang mengarah pada pecahnya Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh kedaulatan dan batas-batas teritorialnya. Departemen
Pertahanan
haruslah
mampu
merumuskan
kebijaksanaan pemerintah yang sanggup mengawal proses demokratisasi dan yang dapat tetap menjamin terpeliharanya kesatuan ideologi dan kesatuan wilayah teritori. ltulah yang dimaksud dengan pernyatan bahwa konsepsi dan visi pertahanan kita harus mampu berdaulat ke luar dan ke dalam. Ke luar,
34
Indonesia harus dapat duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, dan ke dalam, Indonesia hams berwibawa untuk melakukan tindakan-tindakan pengawalan atas keutuhan ideologi dan wilayah teritori yang dapat ditaati oleh seluruh rakyatnya tanpa mengurangi hak-hak politik rakyat itu sendiri. Pemahaman dan sikap Mahfud tentang bidang pertahai-ian, yang menekankan pada keutuhan dan kedaulatan negara baik ke dalam maupun ke luar, didasarkan pada pemahaman dan sikap Mahfud tentang visi hidup bernegara. Bagi Mahfud, negara Indonesia ini harus dipertahaukan sebagai negara kebangsaan yang terikat pada dasar dan ideologi negara, Pancasila. Indonesia harus dijaga sedemikian rupa agar tetap bersatu dan tidak pecah karena ikatan-ikatan primordial. Ikatan primordial, yang terdiri dari ikatan adat-istiadat, agama, suku, ras, daerah, dan bahasa yang sangat beragam di Indonesia, harus dipertalikan secara kuat oleh satu ideologi yang betul-betul bisa menyatukan yakni Pancasila. Setiap ikatan primordial diperbolehkan untuk menghimpun aspirasi dan
mengartikulasikan kepentingan, sesuai
dengan kebutuhim ikatan
primordialnya, tetapi tetap hams dalam ikatan sebagai satu bangsa. Tidak boleh sebuah ikatan primordial bempaya memisahkan diri dari ikatan ideologi maupun kewilayahan hanya karena berdasarkan kepentingan primordialnya. Tidak boleh satu kelompok agama mengupayakan agamanya untuk dijadikan ideologi negara yang menyebabkan warga bangsa lainnya,
35
yang agamanya berbeda, merasa terikat secara terpaksa atau tidak ikhlas. Tidak boleh pula suatu daerah yang merasa kuat secara ekonomis atau dihuni oleh penganut agama tertentu secara mayoritas berupaya melepaskan diri dari ikatan negara Indonesia, karena ingin mendirikan negara berdasarkan kesamaan agama atau berdasarkan ikatan kesukuan dan kedaerahan. Jadi, ikatan primordial boleh diorganisasikan tetapi harus tetap dalam batas ikatan kebangsaan. Dalam kaitan dengan yang dikemukakan di atas, kita memang dihadapkan pada masalah dilematis yang harus dikelola clengan baik, yakni dilema antara demokrasi dan integrasi. Pahan1 negara kebangsaan seperti yang dianut Indonesia harus mengembangkan demokrasi dan menjaga kokohnya integrasi sekaligus, padahal dua hal itu memiliki watak yang bertentangan. Demokrasi berprinsip memberikan kebebasan dan mengharuskan kita
membiarkan setiap ikatan primordial
mengartikulasikan
kepentingannya,
untuk
berdasarkan
mengagregasi
ikatan
dan
primorclialnya
sekalipun, sedangkan integrasi berprinsip menyatukan yang dalam praktiknya sering harus membatasi kebebasan untuk menjaga agar ikatan kebangsaan pandai mengelola dan menjaga keseimbangan antara beke1janya demokrasi dan terjaganya integrasi. Clifford Geert pernah mengatakan bahwa kebutuhan dilematis antara demokrasi dan integrasi sering gaga! dikelola oleh sebuah pemerintahan, sehingga negara bisa pecah (misalnya lahirnya Pakistan sebagai pecahan dari
36
India), atau pemberontakan di dalam negara bisa lahir {sepe1ii adanya PRRI, Permesta, RMS, dan DI/III di Indonesia). Tetapi, berdasarkan kenyataan, tidak sedikit negara, yang bangsanya terdiri dari ikatan primordial, bisa hidup berdemokrasi secara baik dan menjaga integrasinya secara kokoh pula, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Jadi, bukan tidak mungkin dua kebutuhan yang wataknya bertentangan dapat dikelola dengan baik sehingga negara bisa hidup berdasarkan prinsip dan mekanisme demokratis tetapi sekaligus bisa mengawal integrasi dari ancaman perpecahan. Dengan berfikiran seperti itu, sejak jauh sebdum menjadi Menteri Pertahanan pun, Mahfud sudah menolak upaya menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara, mengingat kita mendirikan Indonesia ini tidak sebagai negara agama. Mahfud juga tidak setuju upaya mengganti sila pertama Piagam Jakarta sehingga "Ketuhanan Yang Maha Esa" menjadi ''Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemelukpemeluknya". Upaya memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan atau Batang Tubuh UUD 1945 melalui proses amandemen, menurnt Mahfod, hanya akan menimhulkan konflik dan menghambat pelaksanaan
agenda
reformasi
lainnya,
termasuk
agenda
untuk
mengamandemen UUD 1945 itu sendiri. Jika upaya memasukkan Piagam Jakarta itu dipaksakan, maka kita akan berkutat dalam perdebatan pro dan kontra sehingga tidak akan ada waktu untuk mengerjakan agenda reformasi yang lain.
37
Pada tahun 1998, tak lama setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, bersama teman-teman dari Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) di Yogyakarta, Mahfud terlibat dalam upaya-upaya mengusulkan amandemen atas UUD 1945. Bahkan, sebuah naskah usulan amandemen telah pernah mereka lahirkan. Di dalam usulan itu, mereka menolak jika amandemen atas UUD akan mencakup Pembukaan UUD 1945 yang memuat dasar dan ideologi negara. Istilah amandemen di sini dimaksudkan sebagai pembahan dalam arti yang umum, bukan dalam arti khusus seperti di Amerika Serikat, yang amandemennya dilakukan dengan membuat lampiran perubahan atas setiap pasal yang diamandemen. Dalam sebuah diskusi yang diseienggarakan oleh CIDES di-Jakarta, pada bulan April 1999, Mahfud kembali mengatakan bahwa amandemen atas UUD 1945 menjadi keharusan, tetapi upaya mengganti sila pertama Pancasila dengan sila pertama Piagam Jakarta tidak Mahfud setujui sama sekali. Berdasarkan pengalaman sejak tahun 194 5, kehidupan bernegara kita tidak pernah demokratis ketika menggunakan UUD 1945. kita pernah hidup secara demokratis, tentu dengan segala efekya, sejak tahun 1945 sampai engan tahun 1959, saat kita menggunakan UUD l945 (1945 - 1949), Konstitusi RIS 1949 (1949-1950), dan UUDS (1950-1959). Tetapi, kita pernah hidup di bawah sitem yang sangat tidak demokratis sejak tahun 1959, saat Soekarno memberlakukan demokrasi terpimpin, sampai dengan 1998,
38
saat Soehaiio dengan rezim Orde Barunya dijatuhkan, yang saina-sama menggunakan UUD 1945. Berdasarkan periodisasi berlakunya UUD di Indonesia itu, mungkin ada yang berpendapat bahwa temyata Indonesia pemah juga demokratis di bawah UUD 1945 yakni pada periode pertama ia berlaku (1945-1949). Nainun, pendapat seperti itu bisa dibantah k:ai·ena, dalain kenyataannya demokratisnya Indonesia pada periode itu justru dimulai dengan tidak diberlakukannya UUD 1945. Seperti diketahui, sejak bulan Oktober 1945, UUD
1945 tidak diberlakukan dalain praktik ketatai1egaraiin melalui
Maklumat No. X yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, Mohainmad Hatta. Dengan Maklumat itu, maka UUD 1945, meskipun tidak secara resmi dicabut, tidak diberlakukan dalain praktik, terutaina dalain ha! sistem pemerintahan dan pembatasan atas kekuasaan Presiden. Jadi, demokratisasi pada awal kemerdekaan itu justru dimulai dengan cara tidak memberlakukan UUD 1945. Ada juga yang mengatakan bahwa munculnya otoriterisme di bawah UUD 1945 disebabkan oleh kesalahan orangnya, bukan oleh sistem konst1tusinya. lni pun tidak sepenuhnya benar. Jika dilihat dari materi UUD 1945, justru kelemahan UUD 1945 itu sendiri yang membuka peluang bagi munculnya otoriterisme. Oleh sebab itu, pembenahannya bukan hanya pada penggantian orang, tetapi juga pada pembenahan sistem konstitusi itu sendiri.
39
Ada, paling tidak, empat alasan yang menyebabkan munculnya keharusan agar UUD 1945 diamandemen. Pertama, UUD 1945 membangun sistem pemerintahan yang executive heavy, yakni meletakkan sebagian terbesar kekuasaan pada badan eksekutif yang dipimpin oleh Presiden. Mekanisme cheks and balances tidak diberi tempat yang memadai di dalam UUD 1945. Kedua, UUD 1945 memuat pasal-pasal yang multi interpretable, yakni bisa ditafsirkan ke dalam lebih dari satu tafsir tetapi yang kemudian harus dianggap benar adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden karena kekuasaannya yang luas. Ketiga, UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi kewenangan
kepada pembuat UU untuk mengatur kembali hal-hal penting yang ada di dalam UUD melalui UU, padahal UU itu dibuat ole DPR bersama Presiden yang kekuasaannya sangat besar. Dalam membuat UU, Presiden biasanya memaksakan asumsi-asumnya untuk diterima sehingga muncullah banyak UU yang sebenarnya lebih merupakan legalisasi atas pandangan-pandangan Presiden. Selain melalui UU, kewenangan atribusi ini bisa didapat lagi oleh Presiden melalui Peraturan Pemerintah (PP), sebab tidak jarang UU itu sendiri mendelegasikan lagi kewenangan-kewenangan tertentu untuk diatur lebih lanjut oleh Presiden melalui PP. Atribusi kewenangan yang bertingkat-tingkat seperti ini biasanya menyebabkan tertutupnya prinsip-prinsip yang digariskan oleh UUD, dengan produk peraturan yang dibuat berdasarkan atribusi kewenangan tersebut.
40
Keernpat, UUD 1945 lebih percaya pada semangat orang daripada kepada sistem, padahal orang yang baik bisa rusak jika bekerja dalam sistem yang tidak baik. Di dalam Penjelasan UUD 1945 (yang ketika itu masih dijadikan bagian dari UUD tidak akan beratii apa-apa jika tidak didukung oleh semangat penyelenggara negara. Pernyataan ini benar, tetapi ada pernyataan yang juga benar namun tidak diungkapkan yakni bahwa penyelenggara yang semangatnya baik akan menjadi tidak baik jika sistemnya tidak baik. Jadi, orang dan sistem harus sama-sama dibenahi. Seperti dikemukakan diatas, bagi Mahfud, amandemen atas UUD 1945 merupakan tuntutan dan kebutuhan reformasi, t•etapi saya tidak setuju jika amandemen itu harus mencakup pula perubahan atas dasar negara, yakni perubahan sila pertama dalam Pancasila yang ada sekarang menjadi sila pertama Piagam Jakarta. Alasannya jelas, otoriterisme yang muncul dari berlakunya UUD 1945 bukan disebabkan oleh isi Pembukaan atau Pancasila melaiukan disebabkan oleh materi 'lluatan yang ada di dalam Batang Tubuh UUD 1945 sebagai dasar implementasi teknis pemerintahan. Selain itu, upaya mempersoaikan kembali Pancasila yang ada di dalam l?embukaan UUD 1945 sangat berpotensi untuk menutup kemungkinan te1j ad in ya anrnndemen atas Batang Tubuh UUD itu sendiri, karena konflik ideologis yang dapat muncul bisa sangat keras. Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran kepada kita tentang itu.
41
Banyak pertanyaan yang dilontarkan pada Mahfud, sebagai orang Muslim
kenapa
tidak
memperjuangkan
Islam
dengan
menyetujui
diberlakukannya Piagam Jakarta. Bagi Mahfud, memperjuangkan syari'at Islam tidak harus dengan formal kelembagaan, melainkan bisa dengan pemasyarakatan substansinya. Bagi Mahfud, memperjuangkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta itu adalah mempe1juangkan amanah, demokratis, menghormati HAM dan sebagainya, sedangkan formalitas kelembagaannya tidak menjadi keharusan. Ada dalil yang berbunyi bahwa patokan dasar dalam perjuangan Islam adalah substansinya dan bukan simbol-simbol formalnya: Al 'ibrah fil Islam bi! jauhar, laa bi! madzhar. Dalam konteks hidup bemegara, tugas setiap muslim dalam menjalankan amar ma'ruf dan nahi mungkar bukanlah mendirikan negara Islam melainkan membangun masyarakat yang Islami, yakni masyarakat yang jujur dan adil antar warganya, demokratis dan amanah para pemimpirmya. Formalitas kelembagaan dan hukumnya tidak terlalu penting, apalagi jika itu dapat memancing timbulnya konflik, baik antara golongan Islam dan golongan non-Isiam maupun di antara orang-orang di dalam internal golongan Islam sendiri. Konflik di dalam internal umat Islam sendiri bukan tak mungkin ada sebab, jika negara menyatakan bahwa syari'at Islam w2ijib dilaksanakann oleh pemeluk Islam, maka konflik bisa timbul pada saat pelaksanaan cabang syari 'at yang disebut fiqh. Fiqh &dalah hasil ijt!had rnanusia atas ketentuan
42
syari'at. Syar'at Islam itu sendiri mempunyai banyak cabang fiqhnya yang tidak jarang, antara yang satu dengan yang lain saling betentangan. Jika syari'at Islam diwajibkan pemberlakuannya, lalu cabang syari'at yang mana yang harus diberlakukan dari sekian banyak cabang? Jika jawabannya adalah yang mana saja asal masih diakui sebagai bagian dari syari'at, maka ha! itu berlawanan dengan kehendak dari
adanya hukum negara yang menuntut
kepastian tentang yang mana yang berlaku. Ada kekhawatiran lain. Umat Islam yang mencapai 87% dari sekitar 225 juta warga negara Indonesia bisa berkurang drastis karena masih sangat banyak pemeluk Islan1 yang abangan dan tidak mau dibelenggu oleh keharusan-keharusan yang ketat. Mereka ini bisa saja memilih keluar dari Islam daripada dibelenggu sedemikian rupa dengan aturan-aturan fiqh yang ketat. Ingat,
43
kesederaj atan
manusia
kelembagaannya,
utuk
semisal
diperjuangkan. mengideologikan
Memperjuangkan Islam,
Mahfud
formal tidak
menyetujuinya. Tetapi Mahfud tidak pemah melarang mereka yang mau melakukan itu. Di dalam demokrasi, berbeda pendapat dan tidak menyetujui pendapat orang lain itu sangat dibolehkan. Mari kita berbeda dan tentukan kemenangan melalui cara yang demokratis. C. Karya Tulis Ilmiah Moh. Mahfud MD dikenal luas sebagai dosen muda yang sangat produktif menulis baik dalam karya ilmiah muini maupun karya ilmiah popular. Dia pemah dinobatkan sebagai penulis paling produktif selanla tiga tahun berturut-turnt di lingkungan UII Yogyakarta (1996, 1997, 1998) sehingga pada tahun keempat dan seterusnya tidak lagi diikutkan dalam pemilihan para penulis paling produktif. Tulisan-tulisannya sangat bervariasi, ada yang ditulis dalam bentuk buku ilmiah (buku teks), tulisan di jurnal-jurnal ilmiah, artikel dan kolom di berbagai Koran harian atau majalah mingguan, tulisan ilmiah untuk ulang tahun para pakar hokum, sampai pada academic appraisal dalam bentuk "pengantar" untuk bukubuku yang akan diterbitkan orang lairi. lsi tulisan-tulisannya pada umumnya berkisar pada masa!ah hokum, politik dan keagamaan. lni sesuai dengan latar belakang keilmuannya dibidang ilmu hokum (lulusan A-1 UII dan S-3 UGM), ilmu politik (lulusan S-2 UGM), ilmu agama (lulusan pondok pesantren-pesantren clan sekolah-sekolah islam sampai SLTA). Dibawah ini gambaran tulisan yang berhasil diinventarisir oleh penerbit.
44
1. Buku-buku
Buku-buku yang pernah ditulis oleh Mahfud MD antara lain: a. Setahun Bersama Gus Dur (Memoar Politik), Penerbit LP3ES Jakarta, 2003 b. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konst:itusi, Penerbit LP3ES Jakarta, 2006 c. Politik Hukum di Indonesia, Penerbit LP3ES Jakarta, 1998, 2001, 2003 d. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Ri1meke Cipta, Jakarta 2001, edisi pertama diterbitkan oleh Liberty, Yogyakarta. e. Amandemen Konstitusi dalam Rangka Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, 1999.
f.
Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rinneke Cipta, Jakarta 2001, edisi pertama diterbitkan oleh Liberty, Yogyakarta.
g. Politik dan Hukum Zaman Hindia Belanda, UII Press, Yogyakarta. h. Pergulatan Politik dan Hukum, Gama Media dan the Ford Foundation, Jakarta, 1999. t.
Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media dan the Ford Foundation, Jakarta, 1999.
J.
Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Libe1ty Yogyakarta, 1988.
k. Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1998. l.
Selayang Pandang tentang HTN dan HAM, (editor), UII Press, Yogyakarta, l 999.
45
m. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (editor), FH-UII, Yogyakarta, 1999. n. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (editor), UII Press, Yogyakarta, 1994. Adapun buku yang akan diterbitkan sampai akhir 2006 adalah Serangkum
Gagasan Masalah Politik dan Hukum dan Hukum Tata Negara Baru PascaAmandemen UUD 1945. 2. Tulisan-tulisan di Jurnal Ilrniah dan lain-lain Jurnal Filsafat Pancasila (UGM), Mimbar Hukum (UGM), Analisis (CSIS), Prisma (LP3ES), Seni (ISI), Unisia (UII), Al Mawarid (UII), Jurnal Hukum (UII), Jurnal Hukum Magister (PS-UII), Jumal Al Jami'ah (IAIN Suka), Jurnal Ilmu Pendidikan (LPTK, ISPI, IKIP/UNM Malang), Civility (Forum Indonesia Satu), Gerbang (LSAD, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi-the Asia Foundation), dan lain-lain. Ada juga artikel-artikel ilmiah yang dibuat khusus untuk buku peringatan ulang tahun untuk pakar hokum, seperti buku 70 tahun Prof. dr. sri Soemantri (Unpad, Bandung), buku Mengenang Prof. komar Kantaatmaja (Unpad, Bandung), buku ulang tabun Prof. Zaini Dahlan (UII, Yogyakarta) dan untuk bunga rampai seperti Nasionalisme: Refleksi Kaum Jlmuan (Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1996) dan buku Hukum dan Kekuasaan (FHUJI, 1998). Juga ada artikel-artikel ilmiah yang khusus dibuat untuk ulang tahun Institusi-institusi ternama, sepeti buku Untaian ?emikiran dari
46
Bulaksumur (setengah abad UGM, 1999). Buku ulang tahun Mahkamah Konstitusi (MK, 2006), dan buku ulang tahun Komisi Yudisial (KY, 2006). Selain itu banyak juga tulisan academic appraisal yang dibuat khusus sebagai penilaian dan 'Pengantar" atas buku-buku ilmiah yang dibuat oleh penulis-penulis lain seperti buku karya sejumlah dosen Universitas Negeri Semarang tentang Politik dan Hukum, buku karya Nur Cahaya (dosen Universitas Hasanuddin) tentang pandangan kenegaraar1 Gus Dur, buku karya Ni'matul Huda (dosen Universitas Indonesia) tentang Perkembangan Hukum tata Negara, buku karya Malik Haramain (dosen Universitas Indonesia) tentang Gus Dur, Politik dan Militer, dan buku karya Martinus Amin (Pegiat LSM dan Penegakan hokum) tentang Hukum dan Neokolonialisme di Indonesia.
3. Kolom-kolom ilmiah Populer (dihimpun sejak
tahun 1993 lebih dari 130 atiikel/kolom) yang
tersebar diharian KOMPAS, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, SUARA KARYA, Rakyat Merdeka, BERNAS, Jateng Pos, Yogya Pos, Majalah GATRA, Majalah TEMPO, majalah FORUM, majalah D&R, dan lain-lain seperti berbagai Tabloid yang terbit menjamur pada awal Reformasi tahun 1998.
4. Makalah-makalah Sejak berkarir sebagai dosen sudah menulis lebih dari 125 makalah untuk presentasi pada berbagai perjamuan ilmiah seperti seminar, symposium,
47
lokakarya, diskusi-diskusi, bedah buku dan sebagainya baik untuk karnpuskarnpus dan instansi pemerintah maupun untuk ormas dan LSM. Kapan Menulisnya; Dengan tulisan yang begitu banyak padahal masih harus aktif mengajar dan sibuk di DPR kemudian banyak yang bertanya: kapan menulisnya? Mahfud mengaku bahwa dirinya tak mengalolkasikan waktu khusus untuk menulis, misalnya harus memilih waktu dan tempat khusu. Dirinya sudah biasa menulis dimana saja diin kapan saja. Bahkan kalau sedang rapat dan dirinya tidak ikut bicara dia biasanya menulis. Kebuiasaannnya ini didukung oleh kegemarannya membaca. Bahkan hamper tiap hari dia menulis data berita penting di dalarn HP "Commicator'nya yang begitu sampai dirumah langsung di insert kedalarn komputemya. Kalau menunggu di bandara dia menulis; apalagi sekarang di lounge Garuda disediakan computer, sehingga dia tinggal bawa flasdisk. Kalau tugas ke daerah pada malarn hari dan pagi harinya dia manfaatkan kesempatan istirahat di hotel untuk membaca dan menulis. Semua tulisan itu kalau sudah sampai dirumah tinggal disisipi dengan footnotes dan penyebutan sumber yang harus dicek langsung ke buku-buku aslinya. Kalau sedang dirumah pun Mahfud tak terus-terusan duduk di depan computer atau bergelut dengan buku-buku. Dia masih sering melakukan kegiatan santai atau rekreasi dengan istri dan anak-anaknya, misalnya duduk-
48
duduk di Mc Donald untule minum kopi atau makan ke rumah makan Tojoya bahkan sangat sering ke warung makan leaki lima depan IAIN atau lee warung SGPC (Segopecel) di dekat kampus UGM. Untuk keperluan santai Mahfud juga sering berkaraoke bersama keluarga di rumah. Lagu-lagu kesukaannya adalah sentimental dan relegius seperti lagu-lagu Iwan Abdurrahman yang banyak dibawakan oleh Trio Bimbo dan lagu-lagu lembutnya Rafika Duri dan Ermy Kulit. Dia juga sangat menyukai lagu-lagu lembutnya Barbara Streisand, Memory, la gun ya Andi Williams, Love Story, dan lagu-lagu ·Amerika Latin seperti Besame Mucho. Kalau acara santai dengan leeluarga di rumah sudah selesai dirumah barulah Mahfud mulai duduk di depan computer untuk menulis atau meresume buku-buku baru yang biasanya dibeli seminggu sekali. Dalam kaitan ini Mahfud mengaku bahwa ketajaman menulusnya semakin kuat dan kornprehensif setelah konsentrasi di dunia akademik, dirinya merambah lee dunia politik, aletif di partai dan menjadi anggota DPR. Selain kemampuan membeli buku semakin bertambah, hamper setiap hari dirinya mendapat kiriman buku-buku baru dari banyak lealangan, ada yang mengirim sebagai leenang-leenangan, ada yang meminta untuk dibaca dan substansinya disuarakan di DPR, ada yang minta diresensi, ada yang usu! dijadilean bahan bacaan dalam kuliah-kuliah dan sebagainya.
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL HUBUNGAN SIPIL-MILITER DAN TRANSISI DEMOKRASI
A. Pengertian Hubungan Sipil-Militer Dalam studi hubungan sipil-militer, di antara para pengarnat politik, militer dan peneliti, terdapat perbedaan-perbedaan dalarn memaknai hubungan sipil-militer, atau dengan kata lain, diantara mcreka tidak ada kesepakatan tunggal perihal definisi hubungan sipil-militer. Perbedaan makna itu pada umumnya mengenai persepsi siapa sipil dan siapa militer, peran dan pola hubungan keduanya serta sistem pemerintahan yang dianut. Tak heran, apabila studi hubungan sipil-militer selalu menarik untuk dikaji, diteliti dan diperbincangkan, terutama di negara-negara yang barn mengalami masa transisi demokrasi pasca jatuhnya rezim otoriter. Dalan1 memahami pengertian hubungan sipil-militer, tentu saja, kita tidak bisa lepas dari pengertian sipil dan militer. Istilah sipil dalam bahasa lnggris "civilian" yakni "(person) not serving with armedforces" 1 berarti seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata. Dengan demikian, sipil dapat diartikan sebagai semua orang dengan segala macam profesi yang bekerja di
1 •
AS Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictiona1}' of Current Engglish, Oxford University Press, 1974, Halaman 151.
50
instansi pemerintah maupun swasta namun di luar organisasi struktur militer, termasuk polisi. Alfred Stephan, memberikan pengertian sipil ke dalam dua golongan, yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. 2 Sementara Letjend (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, memberi pengertian sipil sebagai semua lapisan masyarakat3 • Hal ini berbeda dengan Suhartono yang mengartikan sipil sebagai masyarakat politik yang diwakili oleh partai politik4 • Sedangkan Eliot A. Cohan, mendefinisikan sipil sebagai sekelompok masyarakat yang dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, s•erta para politisi tlan 5 negarawan..
2
.Menurut Alfred Stephan, masyarakat sipil adalah arena tempat gerakan sosial (seperti himpunan ketatanegaraan, kelompok perempuan, kelompok keagamaan, dan kelompok intelektual serta kelompok sipil dari semua kelas) yang berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan sehingga mereka mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan pelbagai kepentingan mereka. Masyarakat sipil sebenarnya dapat meruntuhkan rezim otoriter. Namun demikian, sebuah transisi kearah demokrasi harus melibatkan masyarakat politik dan untuk konsolidasi menjadi sebuah masyarakat yang demokratis perlu melibatkan lembaga-lembaga inti dalam masyarakat politik, Partai politik, Pemilihan umum, aturan pemilihan umum, kepemimpinan politik, aliansi partai politik, badan pembuat undang-undang sebagai saluran masyarakat sipil sehingga mereka dapat menyatakan dirinya secara politis untuk memilih dan memantau pemerintahan yang demokratis (Lihat Alfred C.Stepon, Militer dan De1nokratisasinya, Pengala111an Brazil clan Negara fain, Pen·~rbit Grafitti, Jakarta 1996, halan1an 14 ). 3
.Sayyidiman Suryohadiorojo, Hubungan Sipil-Mi/iter di Indonesia: Suatu Penibahasan, Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jurusan Jlmu Politik, FIS!P UI, 24-25 Mei I 999. 4
• Suhartono, H11b1111ga11 Sipil-Militer Tinja11a11 Historiografi 1945-1998, Pola dan Perspektif, Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer Jurusan llmu Politik, FISIP UI, 24-25 Mei 1999 5
.Lihat Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh /nternasional da/am Hubungan Sipil-Militer, Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer Jurusan llmu Politik, FISIP Ul, 24-25 Mei 1999.
51
Sedangkan pengertian militer, dalam bahasa Inggris "Military" adalah "
the soldiers; the amry, the armed forces" 6 yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan darat; angkatan bersenjata. Mereka terdiri dari beberapa angkatan, yakni; darat, laut dan marinir serta udara. Di negaranegara modern, yang disebut militer adalah angkatan bersenjata yang biasanya terdiri dari 3 atau 4 angkatan perang, yakni darat, laut, udara dan atau marinir. Sedangkan polisi, meskipun diberi kewenangan memegang senjata, tidaklah termasuk di dalamnya. Di Indonesia, pengertian militer · mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada masa Orde Lama, militer disebut Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang terdiri alas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pada talmn 1959, sebutan APRI diubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Melalui UU No. 13 I 1961 Pasal 3, Keppres Nomor: 225/ 1962, Keppres Nomor: 290/1964, menetapkan Kepoi.isian Negara Republik Indonesia Adalah ABRI. Dengan demikian, ABRI meliputi Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU) dan Kepolisian Negara RI. Pada masa Orde Baru, militer Indonesia masih menggunakan sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terdiri dari TN! AD, TN! AL, TN! AU dan POLRI, terhitung sejak di berlakukannya Keppres No. 290 tahun 1964 tanggal 12 Januari !964. Di mana Angkatan Kepolisian RI ditetapkan sebagai 6
AS Homby, Oxford Advanced Learner's Dictionmy of Current Engglish, Oxford University Press, 1974, Halaman 536.
52
Angkatan Bersenjata yang berkedudukan sama dan sederajat dengan ketiga angkatan lainnya, serta dengan garis-garis herarki komando yang utuh dan bulat. Namun, pada tanggal 27 Juni 1969, melalui Keppres Nomor 52 Tahun 1969, terjadi perubahan nama Angkatan Kepolisian RI (AKRI) menjadi Kepolisian RI (POLRI) dan tetap di bawah ABRI dan kedudukannya secara organisasi tetap berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Abri (Dephankam/ Pangab). Kemudian, melalui Keppres Nomor 13711967, Keppres Nomor 80 tahun 1969, dan Keppres Nomor 7/1974, ditetapkan bahwa ABRI terdiri dari 3 angkatan yaitu TN! AD, TNI AL, TN! AU dan 1 (satu) POLRI, yang selanjutnya dikukuhkan melalui UU Nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Hankamnegeri, yang salah satunya menyebutkan bahwa ABRI adalah inti TNI yang dipimpin oleh Panglima ABRI yang berkedudukan di bawah Presiden sebagai Kepala Negara. Pasca-Orde Baru (era Reformasi), terhitung sejak 1 April 1999, yang disebut militer adalah bukan ABRI, melainkan TN! yang terdiri dari TN! AD, TN! AL, dan TN! Alf. 7 Bagus A. profesional 8•
Hardito, mendifinisikan militer adalah perw1ra militer
Sementara
Letjen
TN!
(Purn)
Sayidiman
Suryohadiprojo,
mendefinisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata, yaitu TN! sebagai 7
.Arif Yulianto, Hubungan Sipil-Militer Pasca OREA, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 27-28. 8
.Bagus A. 1-lardito, "F'aktor A1i/iter dalan1 taransisi dr;1nokrasi di Indonesia'\ disunting oleh Rizal Sukma dan J. Kristiadi, dalam Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia , CSIS, Jakarta, 1999, halaman 144.
53
organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas men1aga kedaulatan negara9 • Sedangkan pengarnat politik dari luar negeri, Eliat A. Cohan, menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personel militer, lembaga militer atau para perwira senior 10 . Berbeda dengan ketiga pendapat di atas, Amos Permutter mengatakan, bahwa militer adalah semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasinya bersifat politik, tidak memandang apakah ia perwira tertinggi, menengah atau pertama. 11 Perbedaan pengertian tentang siapa sipil dan siapa militer tersebut, pada gilirannya membawa pengertian yang berbeda pula tentang hubungan sipilmiliter. Dengan mengacu pada James Gow, dalam Legitimacy and The Military The Yugoslav Crisis, Sutoro Eko memberikan pengertian hubungan sipil-militer
adalah hubungan antara masyarakat, yang di dalarnnya berbicara tentang peran militer dan legitimasi militer di hadapan masyarakat. Secara konvensional, militer mengemban tugas negara untuk mengelola sarana kekerasan bagi terciptanya law and order, keamanan, ketertiban, serta memberikan perlindungan pada warga
negara. Sedangkan elemen-elemen sipil (yang terdiri dari birokrasi sipil, partai politik, parlemen, organisasi masyarakat sipil, dan sektor bisnis) mempunyai ".Sayyidin1an Suryohadiorojo, Op. Cit 0
Lihat EHiot A. Cohen , "Civil-Militmy Relation in the Contempormy World' dalam Soesilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh fnlernasional daiam Hubungan Sipil-Militer, Makalah Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan- Sipil Militer Jurusan llmu Politik, FI SIP UI jakarta, 24-25 Mei 1999. '
11
.Lihat Almost Palmuter, Militer dan Politik, terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Saha! PT RajaGrafindo Persada, jakarta, 2000, hala1nan 25.
Sin1a111ora,
54
tugas mengelola proses politik dan kebijakan, mengelola barang-barang publik, serta memberikan pelayanan publik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 12 Hampir senada dengan pendapat di atas, Bagus A. Hardito dalam esainya yang berjudul Faktor Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, berpendapat bahwa hubungan sipil-militer mencakup interaksi yang luas antara kalangan perwira profesional dengan berbagai segmen dalam masyarakat. 13 Begitu juga Letjen TN! (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Dalam makalahnya Hubungan Sipil-militer dalam Suatu Pembahasan, ia berpendapat bahwa hubungan sipilmiliter adalah hubungan antara pihak militer yang meliputi semua jenjang pangkat dalam organisasi tersebut dengan semua lapisan masyarakat tidak hanya masyarakat politis. 14 Sedangkan Suhartono dalam makalahnya Hubungan Sipilmiliter Tinjauan Historiograji 1945-1998 Pola, Arah dan Perpektif. lebih menekankan bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer dengan masyarakat politk yang direpresentasikan oleh partai politik. 15 Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam makalahnya Pengaruh lnternasional Dalam Hubungan Sipil-Miliier yang mengacu pada tulisan Elliot A.
12
Jan1es Go\V, Legilitnac;1 and The Milita1y: The Yugoslav Crisis( London: Printer Publishers, 1992) dalam Sutoro Eko Demiliterisasi dan Demokralisasi, Lihat Ari Sujito dan Suloro Eko (editor), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi (IRE Press Yogyakarta;2002). 13
.Bagus A. Hardito, Op. Cit, halaman 144.
" Sayyidiman Suryohadiorojo, Op. Cit 15
Suhartono, Op. Cit.
55
Cohan Civil-military Relation in Contemporary worla: berpendapat bahwa hubungan sipil-militer dapat berupa; I) hubungan milit•er dengan masyarakat secara keseluruhan; 2) lembaga militer dengan lembaga lain, baik pemerintah atau masyarakat; 3) para perwira senior dengan politisi dan negarawan. 16
B. Pola Hubungan Sipil-Militer Apabila pengertian hubungan sipil-militer diatas
kita
lihat dari
penge1ompokan siapa pihak sipil dan siapa pihak militer yang terlibat, maka substansi dari hubungan sipil-militer itu seni:liri mempunyai pola dan peran yang berbeda pula. Secara umum, dalarn sistem pemerintahan demokratik liberal, hubungan sipil-militer menganut pola supremasi sipil. Sedangkan pada sistem otoritarian, pola hubungan sipil-militer bervariasi derajat perbedaannya. Di satu sisi, adakalanya menganut pola hubungan supremasi militer, tetapi pada sisi lain menganut pola hubungan yang setara. Namun demikian, hubungan sipil-militer dalarn sistem pemerintahan otoritarian dalarn praktiknya kebanyakan menganut pola supremasi militer. Hubungan yang lebih menonjol sisi supremasi sipilnya, jelas hanya akan memberi peran militer sebagai alat negara yang mengurusi masalah pertahanan saja, atau militer subordinat dari pemerintalian sipil. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, supremasi militer, maka peran militer akan meluas tidak hanya
'" .Soesilo bambang Yudhoyono, Op. Cit
56
berfungsi sebagai alat negara tetapi JUga sebagai alat kekuasaan yang mendominasi semua peran, termasuk peran sipil. Sedangkan hubungan yang bersifat kemitraan atau kesetaraan, sangat tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak, sipil-militer, dalam proses penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Adakalanya, militer di depan dalam keselarasan dan adakalanya militer di belakang dalam keselarasan 17 . Ada beberapa analisis militer yang mengamati pola-pola hubungan sipilmiliter dengan sedikit perbedaan dan bervariasi. Menurut Bagus A. Hardito, pola hubungan sipil militer dapat berupa dominasi sipil atas militer atau sebaliknya, maupun kesejajaran antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara 18 • Hampir sama dengan pendapat Bagus, Ikrar Nusa Bakti mengartikan hubungan sipil milter dalam dua modei 19 : Pertama, model negara-negara Bara!, yaitu hubungan sipil yang menekankan "supremasi sipil atas militer" (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinal dari pemerintahan
sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kedua, model negara-negara berkembang yang menganggap bahwa dikotomi sipil-militer (model demokrasi liberal) tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Hal
17
18
19
•
ArifYulianto, Op. Cit, halan1an 39.
.
Bagus A. Hardito, Op, Cit 144
•
lkrar Nusa Bhakti, "Hubzmgan Baru Sipi/-lvfiliter", Kompas, 28 Juni 2000.
57
ini dikarenakan keduanya beranggapan bahwa dikotomi sipil-militer hanya mengakibatkan konfrontasi antara keduanya. Alfred Stephan melihat pola hubungan sipil-militer dari konstelasi militer dan hak istimewa militer, yaitu sejauh mana sipil mampu mengurangi hak istimewa militer dan sejauhmana militer mampu mempertahankan hak istimewanya. 20 Adapun Samuel P. Huntington, melihat hubungan sipil-militer dari kontrol sipil. Dalam ha! ini, ia memperkenalkan dua model: 21 • Pertama, kontrol sipil subyektif (subjective civilian control), yaitu memaksirnalkan kekuasaan sipil. Pola ini bisa diartikan sebagai upaya memperbesar kekuasaan sipil (maximing
civilian power) dibanding dengan kekuasaan militer. Cara ini, menurut Huntington, dapat menimbulkan hubungan sipil-militer kurang sehat karena merujuk pada upaya untuk mengontrol militer dengan mernpolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat ke sipil (civilianizing the militwy).
Kedua, kontrol sipil obyektif (objective civilian control) dilakukan dengan sebalilmya, yaitu cara Militarizing The
cara
Military untuk mencapai
pengendalian sipil obyektif dengan cara memperbesar profesionalisme kaum militer, kekuasaannya akan diminimkan, namun tidak sarna sekali melenyapkan kekuasaan militer; melainkan tetap menyediakan dalam batas tertentu yang
20
21
•
Alfred Stephan, halaman, 127
•
Samuel P. Huntington.
58
diperlukan untuk melaksanakan profesinya. Cara ini oleh Huntington dianggap yang paling mungkin menghasilkan hubungan sipil-militer yang sehat. Menurut Huntington, istilah objective civilian control mengandung: 1) profesionalisme yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2) Subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3) Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; 4) Akibatnya, meminimalisasi intervensi milter dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer22 • Berbeda dengan Huntington, Michael C. Desch23 melihat pola hubungan sipil- militer dari munculnya persoalan internal atau eksternal suatu negara. Desch mencatat, negara yang menghadapi tantantangan militer tradisional, yaitu ancaman dari luar, tampaknya lebih mungkin memiliki hubungan sipil-militer yang stabil. Ia mempertegas, sebaliknya jika negara mengalami ancaman berbahaya dari dalam, institusi dan otoritas sipil mungkin akan sangat lemah dan
22
• Lihat samue1 P. Huntington, Mereforn1asi Hubungan Sipil-Militer dalam Larry Diamond and Marcb F. Plattner (ed) Hubungan sipil-militer dan Konso/idasi Demokrasi, terjemahan dalam Bahasa Indonesia, Penerbit PT RajaGrafindo, Jakarta, 2000, halaman 12). 23
. Michael C Desch."Anca111an Lingkungan dan Afisi !vfiliter" dalam Larry Diamond d'1.n March F. Plattner, Hubungan Sipi/-Militer dan Konso/idasi Den1okrasi., Jakarta, Rajawali Presss.
halaman 20-21.
59
terpecah belah, dan menyulitkan mereka mengontrol militer. Situasi seperti ini membuat hubungan sipil-militer terganggu dan tidak sehat. 24 Elliot A. Cohan mengklasifikasikan pola (patterns) hubungan sipil-militer Ice dalam 4 model, yaitu; Pertama, The Traditional Model. Militer dibangun menjadi kelompok profesional, secara sosial terisolasi, memusatkan perhatian pacla masalah-masalah teknis dan hanya berorientasi kepada ancaman dari luar.
Kedua, The "Constabulary" Model. Pacla dasarnya, tentara berfungsi sebagai kekuatan kepolisian di mana para pemimpinnya lebih bertinclak sebagai
"managers" daripada "warriors", dengan orientasi ke luar maupun ke dalam negeri dan lebih melihat pada pentingnya kete1tiban (order) daripada berperang menghadapi musuh. Ketiga, The Military as Reflection of Society. Sebuah sistem nasional di mana militer memainkan peran penting dalam membangun civil
society yang dilaksanakan melalui dinas militer secara luas dengan pendidikan clan indoktrinasi yang positif (conscious). Keempat, The Guardian Military. Sebuah sintesa dimana militer melindungi orde politik clan sosial namun tidak melibatkan diri clalam politik praktis (day to day intervention in politics)2 5•
24
Ibid ha/. 2 I
25
Soesilo Bambang Yudhoyono, Op Cit.
60
C. Transisi Demokrasi
Transisi merupakan istilah yang sangat lazim dalam studi-studi yang mempelajari situasi politik pasca rezim otoriter. Sebagai se:buah kerangka berpikir dalam penelaahan terhadap masalah transisi pasca rezim otoriter kearah demokrasi, maka istilah transisi sebagai sebuah konsep ataupun teori, dewasa ini sangat penting, tidak saja bagi para ilmuwan tetapi juga bagi kalangan aktivis sosial dan politik. Mengenai transisi, Guillermo O'Donnell dan kawan-kawaimya, yang pemah melakukan serangkaian studi tentang fenomena transisi demokrasi yang terjadi di negara Amerika Latin dan Eropa Selatan-yang menghasilkan karya Transitions From Authoritarian Rule (1986) 26 , secara sederhana menjelaskan "transisi" sebagai "interval waktu antara satu rezim politik dan rezim politik yang lain" 27 . Atau dengan kata lain, transisi biasanya didefinisikan sebagai suatu era-antara (interval-period) dari suatu orde otoriter yang tidak jelas sosoknya. Ketidakjelasan
tersebut
dipahami
sebagai
"rangkaian
sejumlah
kemungkinan" bentuk orde politik. Seperti dikatakan O'Donnell dan Schmitter, bahwa transisi dibatasi di satu sisi oleh mulainya proses perpecahan otoritarian, dan di sisi lain, oleh pengesahan beberapa bentuk demokrasi, kembalinya 26
.Karya Guillern10 O'Donnel,et,al.. Transitition fi·o111 Authoritarian Rule Rule (Baltimore: The John Hopkins University Press,1986), di terjemahkan menjadi Transisi Memlju Demokrasi, empat jilid (Jakarta: LP3ES, J993). 2
'.0'Donnel dan Philippe C. Schimitter, Transisi Memlju Demokrasi: Kemungkinan dan Ketidakpastian (Jakarta: LP3ES, 1993), ha!. I I 3.
Rangkaian
61
beberapa bentuk pemerintaban otoriter atau kemunculan suatu altematif revolusioner. 28 Dengan demikian, Transisi demokrasi adalah suatu pembaban rezim dari otoriter ke demokrasi. Hal senada diungkapkan oleh Samsudin Haris. Dengan mengutip pendapat Juan J. Linz dan Alfred Stepan, peneliti LIPI ini menjelaskan, bahwa transisi demokrasi adalah antara rezim non-demokratis (otoriter) menuju rezim politik yang demokratis, yaitu suatu pemerintab yang terpilih melalui pemilu yang bebas di mana pemerintab secara de facto memiliki kewtmangan menghasilkan kebijakan-kebijakan baru serta kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara de jure dihasilkan melalui sistem demokrasi yang baru 29 Dalam pandangan O'Donnell dan Schmitter, proses transisi demokrasi mencakup tahap liberalisasi politik dan demokratisasi, yang bisa berlangsung secara gradual -liberalisasi lebih dabulu kemudian berlanjut demokratisasiatau secara bersama-sama atau sekaligus, atau bisa juga suatu transisi tanpa demokratisasi sama sekali. Menumt kedua pakar politik tersebut, liberalisasi politik hanya mencakup perluasan serta perlindungan hak-hak clan kebebasan individu maupun kelompok dari kesewenangan negara atau pihak lain, tanpa perubahan stmktur a.tau pemerintah clan akunrabilitas penguasa terhaclap
28
29
Ibid, halaman 6.
• Lihat Syamsudin Haris,"Konflik Elit Sipil dan Di/ema Konso/idasi Demokrasi Pasco Orde Ba/'11", dalam Maruto MD & Anwari WMK, Reformasi Polilik da11 Kekua/an Masyarakat (Jakarta: LP3ES,2002}, halaman 6.
62
rakyatnya. Sementara itu, demokratisasi harus mencakup struktur perubahan pemerintah (yang otoriter) dan adanya pertangungjawaban penguasa terhadap rakyat (yang sebelumnya tidak ada). Karena itu, proses transisi demokrasi tidak selalu berakhir dengan konsolidasi demokrasi. Bisa saja suatu transisi demokrasi berlangsung tetapi pada tingkat liberalisasi politik belaka, tanpa diikuti fase demokratisasi yang bermuara pada suatu konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi adalah ujung atau muara dari proses transisi demokrasi yang dicirikan oleh berfungsinya rez1m politik baru hasil pemilu demokratis secara terlembaga. Konsolidasi dimulai ketika lembaga-lembaga dan tata pemerintah yang baru sudah diorganisasikan dan mulai bekerja dan berinteraksi menurut aturan-aturan permainan yang baru pula30 • Dal am konteks yang tidak jauh berbeda, Alfred Stepan mengatakan, bahwa. suatu demokrasi yang terkonsolidasi dapat diartikan sebagai rezim politik di mana demokrasi berlaku sebagai suatu kompleksitas dari sistem kelembagaan, a:turan-aturan dan pola pemberian insentif dan disinsentif, sehingga menjadi satu-satunya aturan permainan di dalam kehidupan bersama. Dalam demokrasi yang terkonsolidasi, maka demokrasi merupakanmeminjam bahasa Linz dan Stepan-" The Only Game ;'n Town" bagi semua
30
Jose Maria Marvall dan Julian Santamaria, "Perubahan Politik di Spanyol dan Prospek bagi Demokrast' dalam O'Donnell, et.al., TMD: Kasus Eropa Selatan (Jakarta: LP3ES, 1993), hal. 113
63
unsur di dalamnya, baik secara behaviorally, attitudinally dan constitutionally. 31 Hampir senada dengan Linz dan Stepan, Larry Diamond mengatakan bahwa esensi konsolidasi demokrasi adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elit ataupun massa, yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. 32 Seperti telah dikemukakan di atas, tidak semua kasus transisi dari rezim otoriter menuju dernokrasi selalu diakhiri dengan happy ending dengan rnunculnya suatu sistern politik yang benar-benar dernokratis dan terkonsolidasi. Pendulum dernokrasi bisa bergerak dari dernokrasi rnenuju suatu otoritarianisrne baru. Suatu negara yang rnengalami transisi, bisa saja terjebak pada apa yang disebut Huntington sebagai pola siklus, di rnana negara tersebut secara berselangseling rnenganut sistern otoriter, dernokrasi, dan kembali lagi lee rezim otoriter. 33 Faktor-faktor penyebab proses transisi dan juga "pola" transisi ikut pula menentukan apakah suatu transisi demokrasi bermuara pada konsolidasi, atau justru terjebak pola siklus, yaitu kernbali ke rezim otoriter. Mengenai penyebabnya, hampir semua kasus transisi ditentukan faktor yang sangat beragam, baik politik, sejarah, ekonomi, faktor intemasional, maupun
31
Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Op. Cit., hal. 21-22
32
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation (Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1999), hal. 20. " Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga, (Jakarta: Gratifi Pers, 1997), hal. 5152
64
gabungan dari beberapa faktor sekaligus. Huntington bahkan secara tegas mengatakan, penyebab demokratisasi bervariasi dan signifikansinya cenderung berubah-ubah dari waktu ke waktu. 34 Sementara itu, Alfred Stepan mencatat tiga kecenderungan utama transisi demokrasi yang dialami oleh negara-negara yang berbeda satu sama lain, yaitu; Pertama, transisi yang dilatarbelakangi oleh faktorfaktor ekstemal atau intemasional, baik dalam bentuk peperangan maupun penaklukan atas rezim otoriter. Kedua, redemokratisasi yang diprakasai oleh rezim otoriter. Ketiga, transisi yang didorong oleh tekanan kekuatan oposisi dari luar pemerintahan otoriter. 35 Pada kecenderungan yang terakhir, yaitu perubahan politik yang disebabkan oleh tekanan oposisi, coraknya lebih beragam. Tekanan oposisi dari luar pemerintahan otoriter itu bisa terlembaga melalui partai-partai politik, yang tidak terlembaga atau sporadis melalui demonstrasi rakyat dan mahasiswa. Namun bisa pula merupakan gabungan dari semua itu. Perubahan menuju demokrasi akan lebih signifikan apabila transisi dilatari oleh tekanan oposisional yang terlembaga dan kerjasama antar-komponen masyarakat. 36 Samuel P. Htmtington menyatakan, ada empat jalur proses transisi demokrasi, yaitu; Pertama, transformasi atau transisi menuju demokrasi yang
34
Ibid, hal. 49.
35 Alfred Stepan,"Berbagai Ja/ur Menuju Demokrost';Sejumlah Pertimbangan Teori Komparatif', dalam O'Donnell, et.al., TMD; Tinjauan BerbagaiPerspektif(.lakarta: LP3ES, 1993), hal. 104-143. 36
•
Ibid, halaman I 06-107.
65
dipelopori oleh elit penguasa otoriter. Yang menempuh jalur ini antara lain Taiwan, Meksiko, India, Cile, Turki, Brasil, Peru, Ekuador, Guatemala, Nigeria, Pakistan dan Sudan37 . Kedua, transisi lewat transp/acernent atau transisi demokrasi
dipelopori
secara bersama-sama oleh kelompok oposisi dan
pemerintah yang berkuasa dengan melakukan proses negoisasi seperti Nepal, Nikaragua, Mongolia, Bolivia, Honduras, El Savador, Korea Selatan, dan Afrika Selatan. 38 Ketiga, replacement (pergantian) atau proses transisi demokrasi melalui tekanan kekuatan oposisi dari bawah yang berhasil menjatuhkan rezim otoriter meliputi Filipina dan Argentina. Keernpat, intervensi dari luar seperti yang terjadi di Grenada dan Panama39 . Menurut Huntington, proses transisi yang dialami suatu negara sangat menentukan apakah suatu transisi demokrasi bisa bermuara pada konsolidasi demokrasi atau justru terperangkap pada siklus otoritarian. Atas dasar pengalaman berbagai negara yang mengalami demokratisasi gelombang ketiga, Huntington sampai pada kesimpulan, bahwa negara-negara yang mengalami proses transplacernent lebih berhasil melakukan konsolidasi demokrasi, kemudian diikuti oleh kelompok negara yang mengalami proses transformasi, dan terakhir,
37
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Penerbit Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 200 I, halaman 158-179. 38
Ibid, halaman 180-191
39
Ibid, halaman 191-203.
66
yang relatif kurang mendukung konsolidasi adalah negara-negara mengalami demokratisasi melalui proses pergantian (replacement) dan intervensi 40 • Selain itu, Donald Share mengemukaan empat jalur utama proses transisi yang bervariasi menurut kecepatan (bertahap dan cepat) serta keterlibatan para pemimpin rezim (konsensual dan nonkonsensual). Jalur pertama adalah "demokratisasi secara bertahap," yang kecepatannya bertahap dan melibatkan para pemimpin rezim secara konsensual. Jalur kedua adalah "transaksi" yang berlangsung secara cepat dengan melibatkan para pemimpin rezim secara konsensual. Jalur ketiga adalah "transaksi lewat perjuangan revolusioner" yang berlangsung secara bartahap (gradual) dan nonkonsemual. Sedangkan jalur keempat adalah "transisi lewat perpecahan" (revolusi, kudeta, keruntuhan dan ekstriksi) yang berlangsung cepat tanpa melibatkan peran pemimpin rezim (nonkonsensual). Dari empat varian jalur transisi itu, Share lebih menaruh perhatian serius pada transaksi, yang dinilainya paling aman (damai) dan cepat tanpa menimbulkan perpecahan secara transisi. 41 Kalau Terry Lynn Karl hanya menemukan duajalur transisi: jalur dari atas clan jalur dari bawah 42 , Rostow memetakan tiga jalur transisi: top down (dari
'° Samuel P. Huntington, Ibid 353. 11 •
• Donald Share, "Transition lo De111ocrcy and Transition Through 7i·ansaction'', Comparative Politic, 19/4, 1987.
42
.Terry L. I<arl, "Dilenunas of Den1ocratization in Latin Anierica, Cotnparative Politics, No.
5, Oktober 1990.
67
atas), bottom up (dari bawah), dan negosiasi (transaksi)43 • Sementara, Alfred Stepan memetakan tiga jalur utama transisi, yakni (I) redemokratisasi yang dipralrnrsai oleh rezim otoriter; (2) peperangan dan penaklukan dari luar; dan (3) reclemokratisasi yang dipimpin oleh kekuatan oposisi clari bawah44 . Jalur pertama sama dengan jalur dari atas atau transformasi. Jalur kedua sama dengan jalur intervensi yang clirumuskan Huntington. Sedangkan jalur ketiga sama dengan jalur clari bawah atau replacement. Dari sekian konseptualisasi tersebut, tampaknya, acla sebuah konvergensi bahwa transisi menuju demokrasi berlangsung lewaftiga jalur utama: transisi clari atas (transformasi), transisi dari bawah (pergantian), dan transisi Iewat transaksi (negosiasi). Pertama, jalur transisi dari atas terjadi ketika pihak-pihak yang berkuasa clalam rezim otoriter memelopori dan memainkan peran yang menentukan dalam mengakhiri rezim itu serta mengubahnya menjadi scbuah sistem baru yang demokratis. Proses transisi di Spanyol, Taiwan, Meksiko, Uni Sovyet misalnya, termasuk model jalur transisi dari atas itu. Keputusan rezim memilih demokrasi ini biasanya terjadi karena didasari pertimbangan kelompok elite; bahwa
"- Dankwart A. Rustow, "The Surging Tide Of Democracy, " Journal Democracy, No. I, Januari 19992, hal. 1992-122. 44
.Alfred Stephan, "Paths To}vard Rede111ocratizalion: Theoretical and Con1parative Considerations, dalam Guillermo O'Donnell et, al. (ed), Transtiom from Authoritarian Rule: Comparative Perspective (Baltimore: john Hopkins University Press, 1986), hal. I 03-107.
68
kepentingan-kepentingan jangka panjang mereka akan lebih bisa terjamin bila diperjuangkan dalam lingkungan yang demokratis. Jalur dari atas pada umumnya menghasilkan beberapa kecendernngan. Pertama, proses redemokratisasi bisa saja dihentikan oleh pemegang kekuasaan
karena situasi yang muncul pada masa liberalisasi itu dianggap terlalu mahal biayanya ketimbang biaya represi. Kedua, karena redemokratisasi dari atas itu dikaitkan dengan pemeliharaan kepentingan elite, maka kecendernngan yang terjadi adalah munculnya demokrasi terbatas. Ketiga, kekuatan militer akan terns melakukan usaha-usaha untuk memepertahankan hak-haknya tetap ada, dan ha! ini sangat mengganggu proses redemokratisasi. Kedua, jalur transisi dari bawah yang dipimpin oleh opos1s1 atau
masyarakat. Jalur semacam ini dapat te1jadi lewat proses sosial yang tersebar dari berbagai organisasi akar-rnmput, gelombang pemogokan yang massif, aksi kolektif mahasiswa, tekanan kekuatan oposisi yang memobilisasi massa untuk menekan rezim dan sebagainya. Namun, model jalur dari bawah ini, menurut Alfred Stepan, lebih mernpakan jalur menuju pernbahan pemerintahan ketimbang jalur menuju demokrasi. Hasil yang cendernng dicapai dari krisis tajam rezim otoriter akibat rangkaian tekanan dan kekuatan yang tersebar adalah sebuah pemerintahan otoriter pengganti yang dirancang secarn barn, atau junta militer sementara yang menjanjikan pemilihan umum demokratis di masa depan 45 .
45
.
Alfred Stepan, Op. Cit, halaman 127.
69
Kasus jatuhnya Jenderal Park di Korea Selatan, berkuasanya Jenderal Pinochet pasca-Allende di Chile (1973), dan pergantian Mobutu oleh Kabilla di Zaire, ( 1996) termasuk dalam kasus gagalnya demokratisasi dari bawah terse but. Peristiwa suksesi Soeharto ke Habibie di Indonesia (1998) akibat tekanan dari bawah, juga termasuk dalam konteks gagalnya transisi dari bawah. Tetapi, argumentasi yang didasarkan pada transisi dari bawah tersebut tidak serta merta bisa di tarik menjadi generalisasi yang sahih. Dalam kasus transisi dari bawah lainnya, ternyata menghasilkan transisi demokrasi yang sempu.rna. Kasus people power di Filipina (1986), misalnya, bukan saja berhasil menumbangkan Marcos yang diikuti pergantian pemerintah oleh Aquino, tetapi juga berhasil menggukuhkan demokrasi di negeri itu. Demikian juga dengan penjatuhan Pinochet di Chile (1983) yang ditekan oleh kekuatan oposisi dan massa di bawah pimpinan Patrica Aylwin. Ketiga, jalur transaksi (negosiasi) atau titik temu antara tekanan dari
bawah dan kemauan dari alas; antara pemerintahan otoriter dengan oposisi dan massa yang mendesakkan demokrnsi mengadakan transaksi (negosiasi) untuk melembagakan demokrasi. Gelombang demokratisasi yang melewati jalur transaksi model ini, antara lain terjadi di Nepal, Nikaragua, Mongolia, Bolivia, Honduras, El Salvador, Korea Selatan, Uruguay, Cekoslovakia, dan Afrika Selatan. Berdasarkan pengalaman di negara-negara itu, transaksi (negosiasi ) adalah jalur transisi yang paling aman, cepat dan sukses dalam melembagakan demokrasi ketimbang dua jalur sebelumnya. Sebab, antara pemerintahan otoriter dengan kekuatan oposisi mempunyai kekuatan seimbang, yang pada gilirannya melahirkan kesepakatan melembaga.
BAB IV PEMIKIRAN MAHFUD MD TENTANG HUB UN GAN SIPIL-MILITER DALAM TRANSISI DEMOKRASI
A. Sejarah Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Sebelum membabas pemikiran Mahfud MD mengenai hubungan sipilmiliter dalam transisi demokrasi pasca kejatuhan Soeharto, maka penulis akan menjelaskan lebih
71 lll"ERf'l'USTAKAAN UTP.1.MA UIN SVAHID JAKAR~fA
I
11. I
mengatakan bahwa angkatan bersejatan tunduk pada penguasa sipil. Pendiriannya sebagian besar tumbuh dari pemahamannya mengenai kebiasaan di Jawa pada masa pra-kolonial di mana perbedaan antara kekuasaan sipil dan militer adalah kekuatan politik. Persepsi tentara mengenai dirinya sebagai kekuatan politik berasal dari pcrbedaan yang kabur tentang fungsi militer dan politik dalam masa kemerdekaan melawan Belanda. Sifat perjuangan itu sendiri memiliki sifat politik sekaligus juga militer. Para pemuda yang mengangkat seqjata melawan Belanda tidak didorong oleh keinginan untuk membina karir militernya, tetapi lebih didorong oleh semangat patriotik yang dinyatakan ternadap Republik yang telah di Proklamasi oleh para politisi dari kalangan nasionalis. 1 Ketegangan mempe~juangkan
mengenai
peran
pemerintah
dan
militer
dalam
kemerdekaan dengan menggunakan strategi diplomasi dan
strategi perang sebenarnya akibat sikap sangsi pemerintah dan politisi sipil atas kemampuan rakyat bersenjata dengan TNI sebagai intinya Begitu juga para perwira tentara yang yakin akan keman1puan bertempur untuk meraih kemenangan, kecewa dengan sikap pemerintah dari kalangan
sipil. Nereka
meremehkan orang-orang sipil dan mereka mersa bahwa tindakan-tindakannya tidak dibantu oleh kata-kata kaum politisi Mengenai ha! tersebut, menarik apa yang di utarakan oleh Mahrus lrsyam Guru Besar Ilmu Politik UI bahwa Kesalahan peranan yang memakai strategi
1
Abdoel Fatlah, Demiliterisasi Tentara; Pasang Surut Po/itik Milil'er 1945-2004,(Yogyakarta, LKiS, 2005), h. 207.
72
diplomasi dan perang diinterpretasikan sebagai dua buah konsep yang bertentangan (dikotomis). Kesalahan itu dilakukan baik oleh kalangan sipii maupun kalangan militer Bila dilihat dari kacamata Ilmu Politik atau Ilmu Militer, diplomasi dan perang itu dua buah aktivitas yang saling berhubungan satu sama lain. Kuat tidaknya posisi pemimpin-pemimpin sipil didalam memainkan peranan diplomasi melalui perundingan-perundingan ditentukan oleh kuat tidalmya kaum militer menguasai wilayah-wilayah strategis. Begitu pula sebaliknya kuat tidalmya pihak militer menguasai wilayah ditentukan pula ikut tidaknya peran diplomasi yang dimainkan ole pemimpin-pemimpin sipil. Jadi dalam ha! hubungan sipil -militer yang berlangsung pada kurun waktu 1945 - 1949 sebenarnya adalah hubungan yang saling mengisi atau hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Kedua peranan bertemu pada satu titik yaitu memperjuangkan kepentingan nasional Hal senada juga disampaikan oleh TB. Simatupang dalam mendamaikan klaim-klaim yang beredar di antara politisi sipil clan tentara mengenai siapa yang paling berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan. Ia mencatat bahwa hasilhasil yang telah dicapai hingga kini adalah berkat kombinasi antara cliplomasi dan kekuatan bersenjata, bukan berkat diplomasi saja, dan bukan berkat kekuatan senjata saja .. Sedangka Pengamat politik dari LIP! Ikrar Nusa Bhakti mengatakan bahwa pacla Periocle Revolusi Kemerclekaan tahun 1945-1949, Pola hubungan sipil-militer bersifat kemitraan atau pembagian peran antara sipil clan militer, ha!
73
ini tampak keikutsertaan militer dalam menata kehidupan sosial dan administrasi pemerintahan pada masa itu. Pada masa Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal (1949-1957), konstitusi Republik Indonesia yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Dengan undang-undang tersebut, indonesia menganut faham demokrasi liberal dengan menganut pola supremasi sipil dan multi partai. Pada masa ini militer Indonesia benar-benar di bawah pemerintahan sipil, militer melakukan evaluasi, rasionalisasi tentara dan pembentukan ABRI yang profesional serta terintegrasi. Upaya yang dilakukan oleh AH. Nasution dan TB. Simatupang untul( sementara waktu mendapatkan hasil yang baik dan mendapat dukungan pemerintah. Namun demikian, pada perjalanan selanjutnya muncul penolakan
dari
kalangan
internal
tentara
karena
rasionalisasi
tentara
memunculkan kebijakan demobilisasi besar-besaran (penyusutan jwnlah tentara), penolakan yang paling kuat berasal dari tentara didikan PETA dan laskar-laskar yang dekat dengan Presiden Soekarno. lebih dari itu, penolakan ini karena perpecahan dua kelompok tentara yaitu antara kelompok hasil didikan KNIL yang menginginkan profesionalisme dan kelompok hasil didikan PETA dan Laskarlaskar yang menolak profesionalisme. Kelompok penentrmg ini didukung oleh Presiden Soekarno dan sebagian besar aktivis PNI. Kerasnya konflik di internal tentara ditandai oleh sikap Kolonel Bambang Supeno, seorang bekas perwira PETA yang mendesak Presiden Soekarno agar KSAD Kolonel AH. Nasution di ganti. Lebih Janjut, ketika Kolonel Bambang
74
Supeno dalam sebuah pertemuan antara Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) dengan sejumlah komandan teritorial pada tanggal 12 juli, ia keluar ruangan k:arena forum dianggap tidak menguntungkan baginya. Pada tanggal 13 Juli, ia melayangkan surat kepada Menteri Pertahanan dan kepada Komisi Pertahanan Parlemen yang menyatakan bahwa dia tidak lagi menaruh kepercayaan k:epada atasannya karena telah menyimpang dari tujuan perjuangan revolusi. Dan empat hari kemudian ia dipecat dan di berhentikan dari seluruh tugasnya di KSAD. Pada waktu itu Menteri Homengk:ubuwono, Nasution dan :Simatupang kemudian menghadap Presiden. Banyak: k:alangan menilai pertemuan tersebut sarat dengan perdebatan sengit antara KSAP dengan Presiden. Bola k:onflik internal tentara ini kemudian disambut oleh komisi pertahanan parlemen dengan mengadakan sidang menaggapi surat Bambang supeno dan konflik: internal tentara samai 17 kali sidang dimulai sejak tanggal 28 Juli.Klimas persoalan itu adalah munculnya sejumlah mosi di parlemen, antara lain dari ketua komisi Pertahanan Zainal Bharuddin yang berisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan konflik internal tentara dan menuntut diadakannya perubahan di tubuh kementerian pertahanan.dan pimpinan militer. Kemudian muncul mosi Kasimo yang menuntut agar pemerintah membentuk sebuah panitia negara yang beranggotakan wail-wakil dari parlemen. Mosi yang hampir sama juga muncul dari Manai Sophian. Pada akhirnya parlemen mengalami kebuntuan menyelesaikan konflik internal tentara.
75
Adanya campur tangan pemerintahan sipil dan pademen dalam masalahmasalah internal militer pada waktu itu menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan perwira tinggi dan menengah militer. Ini menyebabkan terjadinya "setengah kudeta" (half coup) pada 17 Oktober 1952 yang melibatkan beberapa perwira militer profesional didikan Belanda, yang mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka. Bersamaan dengan aksi sekitar 30.000 ribu massa turun ke jalan menuntut dibubarkannya parlemen dan segera melaksanakan pemilihan um um. Peristiwa diatas telah menyebabkan perpecahan- mendalam di internal TNI, terutama di Angkatan Darat. Menurut Nugroho Notosusanto, secara umum ada dua kelompok yang bertikai yaitu kelompok pendukung gerakan 17 Oktober 1952 terdiri dari Mayjend T.B. Simatupang, Kolonel A.H. Nasution, Letko! Sutoko, Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel M. Simbolon, Kolonel Bachrun, Kolonel Gato! Subroto, Letko! Taswin dan para perwira Staff Umum Angkatan Dara! seperti Letko! Soeprapto, Letko! Azis Saleh, Letko! S. Parman. Sedangkan kelompok penentang adalah Kolonel Bambang supeno, yang di dukung oleh Letko! Sudirman, Letko! kretarto, Letko! Warouw, Letko! Sambas Atmadinata. Penentang yang berdiri sendiri adalah kolonel zu!kifli Lnbis yang menggunakan aparat biro Informasi Angkatan Perang (BISAP). 2
~ Salin1 Said, 1tfiliter Indonesia dan Politik; l)u/u, Kini dan Kelak, (Jakarta, Pustaka Sinar Harnpar., 200 I), h. I 15.
76
AH. Nasution yang dituduh sebagai aktor peristiwa tersebut,akhirnya diberhentikan dan digantikan oleh Bambang Sugeng sebagai KSAD yang baru. Krisis di tubuh tentara ini coba diselesaikan melalui forum rekonsiliasi di Yogyakarta pada Februari 1955 yang menghasilkan piagam Yogya. Pada bulan Mei 1955 Kolonel bambang Sugeng mengundurkan diri dan jabatan KSAD sementara di limpahkan WAKSAD Kol one! Zulkifli Lubis. Untuk mengisi kekosonganjabatan KSAD akhirnya pemerintah Bambang Utoyo sebagai KSAD. Pada masa transisi dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin (1957-1959). militer"mulai mendapat angin segar untuk terlibat dalam bidang politik dan ekonomi Paling tidak, ada tiga peristiwa penting yang menyebabkan tertancapnya kuku-kuku militer di bidang politik, ekonomi dan sosial. Pertama, nasionalisasi perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan Belanda di mana militer berupaya mengambil alih sebanyak mnngkin aset perusahaanperusahaan tersebut agar tidak diambil oleh saingan utamanya, yaitu Pmiai Komunis Indonesia (PKI). Kedua, munculnya pemberontabn-pemberontakan daerah yang menyebabkan pemerintah mengumumkan negara dalam keadaan darurat perang (staat vm1 oorlog en beleg/SOB). Ketiga, belum selesainya konstituante dalam membuat Undang-Undang Dasar baru pengganti UUD 45 dan adanya pertarungan dalam menetapkan ideologi negara, Pancasila atau Islam. Ini menyebabkan Presiden Soekarno, atas desakan militer menetapkan Dekrit 5 Juli 1959 yang disusul dengan pembentukan Dewan Nasional clan kabinet yang terdiri atas berbagai unsm kekuatan sosial-politik, termasuk militer.
77
Namun kenaikan Bambang Utoyo sebagai KSAD mendapat reaksi keras dari Angkatan Darat, karena dianggap menyalahi norma-no1ma penentuan personel TN! dan lebih banyak pengangkata11 tersebut karena faktor politik. Penolakan ini terus berlanjut dengan tidak hadirnya (memboikot) perwira AD dalam pelantikan, selain itu mereka minta pengangkatan Bmnbang Utoyo dianulir. Pada masa inilah, tepatnya 11 November 1958, AH Nasution, pada acara wisuda lulusan Akademi Militer Magelang, mencetuskm1 konsep "Jalan Tengah" (The Middle-Way), yang intinya "ABRI bukan sekadar alat sipil seperti di negaranegara Barat, juga bukan sebuah rezim militer yang mendominasi kekuasaan negara, melainkan merupakan salah satu dari banyak kekuatan dalam masyarakat, kekuatan demi pe1juangan rakyat yang bekerja bahu-membahu dengan kekuatan lain yang dimiliki rakyat". Konsep "Jalan Tengah" inilah yang menjadi cikal bakal dari "Dwifi.mgsi ABRI". Konsep "Jalan Tengah Tentara" (The Army's middle way) ini kemudian dijaharkan oleh Komandan Sekolah Staf dan Komando TN! AD (Seskoad), Brigje!l Soewarto, dan menjadi alat kgitimasi militer untuk berperm1 dalam masyarakat, di luar peran Hankam, khususnya dalam menghadapi PK!. Pada periode 1962-1965, di mana terjadi hubungan segitiga SoekarnoTentara (TN! AD)-PKI, terdapat persaingan yang amat tajam antara TN! AD dan PK! dalam merebut hati Presiden Soekarno. Pada masa ini, muncullah dokrin Tri Ubaya Cakti (Three Sacred Vows) yang merupakan hasil Seminar Angkatan darat I, 2-9 April 1965, masih berbau Soekarnois. Pada intinya dokrin tersebut
78
menyatakan bahwa " kedudukan TNI AD sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu kekuatan sosial politik dan kekuatan militer; adalah bagian dari pada kekuatan progresif revolusioner yang menetapkan sekaligus perannya sebagai alat revolusi, alat demokrasi serta sebagai alat kekuasaan negara, ikut mengambil bagian dalam menentukan dan melaksanakan haluan negara." Doktrin tersebut kemudian disempurnakan!dikoreksi total dalam Seminar AD II di Bandung, 25-31 Agustus 1966, dengan membuang jauh-jauh hal-hal yang berbau Soekamois atau Orde Lama, sejalan dengan menurunnya kekuasaan Soekarno. Melalui dokrin inilah untuk pertama kalinya dirumuskan konsep Dwifungsi ABRI, yang menegaskan bahwa angkatan bersenjata memiliki dua fungsi sebagai "kekuatan sosial politik". Sebagai kekuatan sosial politik, aktivitas tentara meliputi "bidang-bidang ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan". Setelah gagalnya kudeta yang dilakukan sayap komunis tentara pada 30 September I 965, kekuatan Soekarno dan S PKI pun memudar dan kemudiim hilang. Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjadi Pangkostrad secara cepat menggilas PKI dan secara lambat tetapi pasti, menggilas kekuatan Soekarno. Tinggallah TNI AD sebagai kekuatan utama (the first among equals) dalam sistem politik Indonesia. Pada masa transisi politik dari Soekarno ke Soeharto, 1966-1967, terjadilah rekayasa sejarah untuk membenarkan peran sosial politik ABRI. Secara internal dan eksternal, dokrin militer Orde Barn menekankan tema-tema familier,
79
antara lain, ABRI berasal dari rakyat, lahir da.'1 berjuang bersarna-sarna rakyat pacla masa Revolusi Kemerclekaan. ABRI sangat setia pacla ideologi Pancasila dan akan tetap mempertahankan UUD 45. Di masa inilah lahir Dokrin Catur Dharma Eka Karma (Four Mission, One Fate), yang menekankan bahwa jajaran ABRI (Darat, Laut, Uclara, dan Kepolisian) disatukan dalam satu dokrin ABRI. Singkatnya, untuk meningkatkan bobot clan legitimasi Dwifungsi, maka pacla 1982 clikeluarkan UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara, di mana pada pasal 26 dan 28 UU tersebut dengan jelas mengatur fungsi dari nonhankan1 ABRI. Selanjutnya -dikeluarkan UU No. 2/1988 tentang Prajurit ABRI, di mana pada Pasal 6 ditentukan bahwa prajurit
ABRI mengemban tugas Dwifungsi, yaitu sebagai kekuata11 hankarn da11 kekuatan sospol. Peran 11011 hankarn militer semaki11 me11ggurita pada mas Orde Baru (1966-1998. Atas narna stabilitas politik clan pemba11gunan ekonomi, ABRI
membungkam hak-hak rakyat untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat, melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan mencegah pmiisipasi politik rakyat yang ticlak sesuai clengan kepentingan rezim. Me:lalui model penelitian khusus (litsus), ABRI mencegah masuknya unsur-unsur yang berhaluan kiri atau kanan untuk masuk ke jajaran birokrasi sipil clan militer, bahkan ke lembagalembaga swasta yang clianggap strategis. ABR! juga memberikan interpretasi tunggal atas ideologi negara, Pancasila. Selain itu, ABRI juga membangun institusi-institusi teritorial yang merupakan 'pemerintahan bayangan" bagi
80
institusi jaringan pemerintahan dalam negeri, clari tingkat Kodam (Propinsi), Korem (Kabupaten), Kodim (Kecamatan), Koramil (Kelurahan) sampai ke Babinsa/Bintara Pembina Desa (clesa). Melalui "Politik Ketakutan" (The Politics of Fear) dan represi politik, ABRI berupaya untuk menciptakan stabilitas politik melalui penetrasi dari atas. Pada masa ini pula ABRI mendudukkan orangorangnya di jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan, dari menteri, sekretaris jenderal clepartemen pemerintahan, gubernur, bupati, diplomat, sampai ke kepalakepala desa, judikatif clan legislatif. Meskipun ABRI, khususnya 1NI AD, sejak pertengahan 1980-an bukanlah penguasa tunggal melainkan lebih sebagai salah satu alat kekuasaan Presiden Soeharto, jaring-jaring kekuasaan yang meggurita tersebut telah menyebabkan timbulnya kekuasaan miiiter yang berlebihan (military over-reach). Begitu patronnya jatuh, sejalan dengan jatuhnya Presiclen Soeharto, jatuh pula pamor dan kekuasaan ABRI. Kini ABRI yang sejak 1 April 1999 mengubah namanya kembali menjadi 1NI, masih dalam keaclaan yang gelisah karena terus-menerus dikritik clan masih penuh ketidalcp2stian mengenai perannya dalam kehidupan bernegara.
B. Pemikiran Mahfud MD Tentang Hubungan Sipil-Militer Dalam Transisi Demokrasi Pergantian kepemimpinan nasional yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi Presiden pada 21 Mei 1998, te!ah mengantarkan Indonesia memasuki masa transisi demokrasi. Sebagim&na pengalaman di beberapa negara-
81
negara yang memasuki masa transisi seringkali mengalami situasi politik yang penuh dengan ketidakpastian. Situasi ini terutama ditandai oleh gejala liberalisasi politik disatu sisi serta ancaman munculnya kembali bentuk-bentuk politik otoritarian di sisi lain. Dengan kata lain, situasi semacam ini memberikan harapan bagi tampilnya sistem politik demokratis, namun sekaligus tetap membuka peluang bagi munculnya kembali kekuatan-kekuatan dominan yang anti demokrasi. Pemerintahan transisi di bawah Presiden BJ. Habibie dihadapkan pada problem legitimasi politik yang cukup serius. Meski para pendukungnya mengatakan bahwa pengangkatan BJ. Habibie menjadi Presiden RI ke-3 adalah sesuai konstitusi, namun berbagai kalangan lain menilai bahwa BJ. Habibie sesungguhnya tidak lebih dari representasi politik Soeharto sendiri. Namun demikian, dalam pe1jalanan pemerintahannya, upaya menjalankan tuntutan reformasi mulai digulirkan. Beberapa pemenuhan tuntutan itu antara lain dikeluarkannya kebijakan poEtik yang bersifat liberal, antara lain lahirnya UU No. 211999 tentang partai politik, UU No. 3/1999 tentang pemilu, UU No. 4/1999 tentang susunan kedudukan MPR-DPR-DPRD serta UU No. 22/1999 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999, tentang perimbangan keuangan pusat-daerah~
3
Entjeng Shobil in Nadj, ed., Supre111asi 81/Ji/, Pe!en1bagaan Politik dan lntegrasi Nasional; Studi 'li-ansisi Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta, LP3ES, 2003) h. I.
82
Beberapa gejala liberalisasi diatas memberikan harapan dan peluang bagi demokratisasi, ha! ini terlihat dengan munculnya iklim kebebasan politik. Iklim semacam ini pada gilirannya telah mendorong tumbuhnya berbagai organisasi politik dan massa serta tampilnya aneka ragam media massa baik cetak maupun elektronik di hampir semua wilayah di Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya institusi-institusi politik dan sipil semacam ini tidak lagi dihambat oleh berbagai restriksi sebagaimana yang diberlakukan oleh Orde Barn sebelumnya. Disamping berbagai organisasi politik, massa dan profesi relatif bebas mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingannya, media massa juga mengalami hal serupa di mana mereka cukup leluasa untuk menampilkan berita se1ia mengetengahkan opini bernada kritis. Sensor maupun budaya telepon dari negara-sebagaimana yang terjadi pada massa sebelumnya tidak lagi muncul. Disisi lain, kelompokkelompok masyarakat sipil juga lebih leluasa dalam menjalankan agregasi serta merumuskan dan melakukan advoksi untuk kepentingannya Sedangkan peran sosial-politik militer pada masa Orde yang begitu mendominasi. tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Yang timbul bukan hanya dominasi militer dibirokrasi sipil tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan kmbaga-lembaga para militer sebagai bagian dari organisasi massa dan partai politik. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis. Praktek dominasi militer yang berlangsung lama, ditambah dengan pembenaran
83
historis dan ideologis, telah menyebabkan militerisme menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat sipil. Dampak yang negatif dan destruktif seperti ini pulalah yang dapat disimpulkan dari pengalaman negara-negara lain yang militernya memainkan peran yang jauh melampaui batas-batas peran pertahanan. Selain itu keberdaan institusi militer juga terpolitisasi, terfaksionalisasi, dan mengalami demoralisasi berat. TNI tidak dapat bekerja menurut logika pertahanan. Tetapi lebih berdasarkan logika politik. Nilai utama yang dihidupi bukan defence melainkan kepentingan. Strategi diarahkan bukan buat pertahanan melainkan penguasaan. Kekuasaan tidak pernah didistribusi • secara seimbang. Faksionalisme, menyertai politisasi di tubuh militer, meru.pakan gejala yang tak terelakkan. Muncul berbagai faksi militer yang saling berebut akses pada kekuasaan yang lebih besar. Sedangkan, demoralisasi di kalangan tentara merebak ketika gelombang pasang reformasi memporak porandakan kekuasaan Orde Barn. Militer dihujat publik sebagai pembawa petaka. Penistaan militer jadi pemandangan umum bersamaan dengan menggelindingnya bola salju reformasi. Inilah konsekuensi
militer sebagai tulang punggung kekuasaan tiranik.
Fragmentasi dan demoralisasi di tubuh tentara berbuntut panjang - dari kerusuhan tak kunjung padam hingga isu kudeta. Masa transisi menuju Indonesia baru menjungkir balikkan paradigma lan1a TNI: dari ing ngarsa sung tulada (mengendalikan sipil) menjadi tut wuri handayani (mempengaruhi secara tak langsung). Paradigma pembangunan juga bergeser dari state centered atau birocratic red tapes menuju society-led development atau popular based
84
development. lni jelas membuat gamang TN! yang selama puluhan tahun bergelimang kekuasaan dan basah kuyup privilese. Dalam situasi seperti ini, TN! melakukan reformasi internal dengan melakukan Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI sebagai respon gerakan reformasi yang menginginkan TN! menjadi tentara profesional. Reformasi Internal Pertama, TNI akan mengubah posisi dan metodenya untuk tidak selalu harus di depan dan mendominasi. Posisi yang mereka nikmati saat Orde Baru diserahkan kepada institusi fungsional yang lebih kompeten. Kedua, mengubah konsep mendudllki menjadi mempengaruhi. Artinya, posisi TN! yang
TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi. dan Reaktualisasi peran TN! dalam kehidupan bangsa, (Jakarta: Mabes TNI, 1999), hal. 22-25.
85
aktif kepada pembangunan bangsa, mendorong pengembangan demokrasi dan masyarakat madani, membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti seluasnya, berperan aktif dalam arti seluasnya, berperan aktif dalam tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dalam rangka mewujudkan perdamaian dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. 5 Untuk mewujudkan visi dan peran ABRI tersebut, harus dilakukan perubahan mendasar sebagai respon tuntutan reformasi. Rencana perubahan adalah; sikap dan pandangan politik ABRI tentang paradigma baru dan peran ABRI abad ke 21, Sikap dan pandangan ABRI tentang peran sospol ABRI, pemisahan Polri dari tubuh ABRI, penghapusan dewan sosial politik pusat (Wansospolsus) dan dewan sosial politik daerah (Wansospolda), perubahan Staf Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf Karyawan ABRI, Kambtibmas, dan Badan Pembinaan Kekaryaan (Babinkar), Penghapusan Sospoldam, Babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim, penghapusaan kekaryaan ABRI melalui pensiun alih status, pengurangan fraksi ABRI di DPR/DPRD I/II, ABRI tidak pernah lagi terlibat dalam politik, pemutusan hubungan dengan Golkar dan mengambil jarak yang sama clengan semua partai politik, komitmen clan konsistensi netralitas ABRI dalam Pemilu, perubahan paradigma hubungan
5
.Lihat Wiranto, Paradigma Barn ABRI, Kompas, 9 Maret 1999.
86
ABRI dan keluarga besar ABRI, revisi piranti lunak berbagai doktrin ABRI disesuaikan dengan era reformasi dan peran ABRI abad ke-21. 6 Reformasi hubungan sipil-militer dalan1 masa transisi demokrasi adalah mutlak dilakukan sebagai salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Samuel P. Hungtinton, bahwa salah satu problem serius yang dihadapi oleh negara-negara demokrasi baru adalah membatasi kekuasaan politik pihak militer, membuat militer tunduk pada pemerintahan sipil-demokratis dan menjadikan angkatan bersenjata sebagai suatu badan profesional yang mempunyai komitmen untuk melindungi keamanan negeri. Untuk itulah reposisi peran militer perlu dilaksanakan sesegera mungkin,.berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer pe:rlu di kembalikan ke bidang pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan
senjata.
Itulah
sebabnya,
prinsip
dan
praktek
demokrasi
mengharuskan militer menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pernerintah di bidang pertahanan, sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak Jain seperti pemerintah dan Jembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis. Mahfud MD menyatakan bahwa setelah Soeharto jatuh, militer seharusnya menjaga tiga pilar pendukung negara, yakni teritorial, rakyat dan pemerintah. 6
1999.
Lihat Wiranto, Komitmen ABRI menyelamatkan Bangsa dan Negara, Kompas JO Maret
87
Peranan militer yang hanya mengabdi pada pemerintah akan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Dengan kata lain, peranan militer hanya untuk menjaga pertahanan dan bukan pada peran politik 7• Untuk itu dalam menatap hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi, Mahfud MD
menginginkan adanya reposisi peran militer dan supremasi sipil
yang harus di terapkan. Ia mengatakan bahwa jika pada masa lalu posisi militer lebih banyak menjadi alat penguasa untuk mengintimidasi masyarakat sipil dan menghambat demokratisasi karena kolaborasinya dengan pemerintah otoriter, maka ha! itu perlu direposisi. Nanrnn reposisi peran militer dalam transisi demokrasi ini, harus dilakukan secara bertahap dalam mewujudkan militer sebagai tentara profesional. Menumtnya, kebiasaan mi liter merebut peluang sipi I untuk berkarya harus di hilangkan. Militer tidak lagi harus bermain politik, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan bangsa dalam menghadapi serangan musuh dari luar. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa reposisi militer bisa di lakukan manakala di militer
terdapat
. .
. .
pnns1p-pnns1p
profesionalisme
yang
baik.
8
Prinsip
profesionalisme adalah tidak membiarkan TNI selalu berada dalam jeratan politik, 9
atau proses politisasi alas TN! itu sendiri. Hal ini di sebabkan karena TN! selama
7
Lihat A. Malik Haramain, Gus dur, Militer, danpolitik ( Yogyakarta, LKIS, 2004), Hal. 87-
88.
'. Lilia/, Pegang 1eguh Profesionalisme, Suara Pembaruan, 5 Oktober 2000. 9
'
lihat Presiden :Politisasi TN! Jangan Diteruskan, Kon1pas, 6 Oktober 2000.
88
ini hanya menjadi pengabdi kekuasaan, dan bukan pengabdi negara dan masyarakat. 10 Profesionalisme itulah menurut Mahfud MD sebagai jalan untnk menciptakan keseimbangan peran yang proporsional. Menurut Huntington, Militer yang profesional itu mempunyai tiga ciri menonjol. Pertama, ciri utamanya adalah keahlian, dimana militer memiliki keahlian dan ketrampilan secara spesifik. Hal ini diperlukan untuk keahlian yang mendalam untuk mengorganisir, merencanakan dan mengarahkan aktivitasnya. Kedua, adanya tanggung jawab sosial yang khusus. Ketaatan seorang mi!iter semata-mata bnkan pada komandan, tetapi harus punya tanggung jawab pada negara. Dengan kata Jain hubungan kontrol dalam struktur hubungan militer profesional juga diletakkan antara perwira dan komandan secara timbal balik terutama berkait utk integritas nasional. Ketiga, militer profesional memiliki korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Selain itu Mahfud MD juga menyetujui supremasi sipil, ha! ini tercermin dari pemikirannya dalam menciptakan supremasi sipil . Baginya supremasi sipil adalah suatu keharusan dalam sistem politik pemerintahan yang demokratis. tetapi pemikiran Mahfud MD mengenai supremasi sipil ini berbeda dengan supremasi yang diterapkan di negara-negara Barat yang menganikan supremasi sipil yaitu militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipii (civilian supremacy upon the military) yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum atau dengan
'°.Lilia/ Presiden: TN! Bukan Abdi Kekuasaan, Republika, 6 Ok1ober 2000.
89
wacana yang sedang berkembang mengartikan supremasi sipil sebagai dominasi sipil atas militer. Menurut Mahfud MD, Indonesia tidak mengenal dominasi sipil atas militer. Oleh karena itu hubungan sipil-militer di Indonesia, tidak bisa di samakan dengan hubungan sipil-miiter di negara-negara barat yang sistem demokrasinya telah terkonsolidasi dengan baik. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa meskipun saya sepakat dan tidak ada masalah dengan prinsip supremasi sipil, namun prinsip ini tidak bisa di terapkan di negara kita secara persis dan mutlak seperti di negara-negara barat yang sistem demokrasinya telah kuat dan tumbuh dengan baik. Ia mengemukakan, sejak semula kita bemiat mengabdikan kepentingan bangsa secara keseluruhan termasuk militer. Bagaimanapun, TNI adalah entitas yang tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan kita. Walaupun ada tuntutan dari dalam dan luar negeri agar pemerintah mengambil tindakan-tindakan terhadap TNI, saya tetap menolak, karena TNI adalah bagian tak terpisahkan dari kita. 11 Suatu negara tidak memiliki kewibawaan apapun jika diketahui memiliki kualitas mi liter yang lemah, terutama dimata internasional. Untuk itulah pemikiran hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi yang di tawarkan Mahfud MD adalah pola supremsi sipil. Tetapi pola supremas1 sipil sipil ini mempunyai arti keseimbangan peran antara sipil dan militer.
11
April 2000.
.
Lilia! statemen Abdurrahman Wahid "Akan Ditolak, Desakan terhadap TNJ" kompas, 22
90
Setelah menduduki meajadi presiden, maka keinginan Mahfud MD untuk melakukan reposisi peran militer dan supremasi sipil benar-benar mendapatkan peluang yang cukup terbuka, sebab dengan menjadi Menhan, Mahfud MD merealisasikan pemikirannya dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan kearah reposisi militer dan supremasi sipil. Kebijakan itu antara lain pemisahan kementerian Politik dan keamanan 12, Sebagai seorang sipil yang ditempatkan dalarn Menhan 13 .pengangkatan panglima TNI dari non-angkatan darat 14 , realisasi pemisahan TNI dan Polri 15 . Dan yang paling krusial adalah penghapusan Badan 12
.Di masa Orde Baru kedua jabatan itu digabung dan dipisah tanpa pola dan dikendalikan Jangsung dari dan untuk kepentingan kekuasaan Presiden Soeharto. Penggabungan jabatan Menhakam/Pangab mulai dilakukan dalam kabinet Pembangunan (KP) II (1973-1978) ditangan jenderal M. Pangabean. Penggabungan ini dilanjutkan dalam KP Ill di tangan jenderal M. Jusuf. Pada KP IV Presiden Soeharto melakukan pemisahan, Menhakankam dijabat jenderal S. Poniman dan Pangab dijabat Jenderal LB. Moerdani. Pemisahan ini masih berlanjut pada KP V dimana menhankam dijabat LB. Moerdani dan Pangab dijabat oleh Try Soetrisno. Pada KP VI, jabatan tersebut digabung kembali dibawah Edy Sudrajat, bahkan ia juga merangkap KSAD. Namun tidak begitu lama berlangsun, jabatan itu dipisah kembali dengan Menhankam di tangan Jenderal Edy Sudrajat, Pangab dijabat Jenderal Feisal Tanjung dan KSAD dijabat Jenderal R. Harlono. Pada KP Vil jabatan tersebut
disatukan ke1nbali n1enjadi menhankam?Pangabditangan Jenderal \\'iranto dan dipertankan hingga masa Presiden BJ. Habibie. Lihat Republika 11Februari1999 dan lihat pula Kompas, 17 Maret 1998. 13
.Ben Anderson pengamat politik militer Indonesia menyatakan bahwa penempatan orang sipil dalam jabatan Menhan adalah perubahan yang sangat menggembirakandan merupakan jaminan bahwa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid akan :nenghapus jejak-jejak politik mi liter yang
111endon1inasi sela1na hampir sctengah abad pe1nerintahan Indonesia. Lihat Ko1npas 29 Oktober 1999. " Selama Orde barn, jabatan Panglima TN! hanya pernah di pegang oleh Laksamana TN!, inipun karena hubungan dekat dia dengan Presiden Soeharto ketika sama-sama tugas dalam pembebasan lrian Baral. Menurut pengamat politik dari UPI lndria Samego, pengangkatan Laksamana TN! Widodo AS bukan semata-mata bukan karena hubungan dekat mereka, melainkan karena pemerataan sesama anggota TN! yang selama ini didominasi angkatan darat. . 15
•
Realisasi pe1nisahan ini dhvujudkan dengan Ketetapan MPR/Vl/2000 teniang Pe1nisahan
TNI dari Polri. Pasal I dari TAP tersebut berbunyii" Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negarn Republik Indonesia secara kelembagaan terpisah sesuai peran dan fungsinya masing-masing". Pasal 2 dari TAP tersebut berusaha memperkuat dan mempertegas peran TN! dan Polri. Ayat I berbunyi" TN! adolah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara". Ayat 2 berbunyi " Kepolisian Negara RI adalah ala: negara yang berperan dalam n'emelihara ktamanan.
91
Koordinasi
Pemantapan Stabilitas Nasional
(Bakorstanas)
dan
Lembaga
16
Penelitian Khusus .penghapusan peran sospol TNI, Mutasi Perwira Tinggi TNI Aktif dan Non-aktif.
C. Masa Depan Hubungan Sipil-Militer Di Indonesia Dalam negara demokrasi, pola supremasi sipil dalam hubungan sipilmiliter
merupakan
conditio
sine
qua
non,
clemikian
halnya
dengan
profesionalisme militer itu sendiri. Premis ini telah diterima secara luas oleh dunia internasional dan menandai terjadinya perubahan sistem politik di negaranegara demokrasi baru seperti di belahan Afrika Selatan, Asia, Amerika Latin, dan bahkan di bekas negara komunis Eropa Timur yang baru keluar dari cengkraman rezim otoriter. Pola supremasi sipil dan profesionalisme militer telal1 menjadi fakta dari pertumbuhan negara-negara di dunia ke arah pembentukan sistem pemerintahan demokrasi. Fakta global itu dapat menjadi pelajaran berharga bagi upaya rekonstmksi pola hubungan sipil-militer yang benar-benar kondusif bagi demokratisasi di Indonesia. Proses transisi demokrasi pasca kejatuhan rezim otoriter Orde Barn memang telah membuka ruang lebar bagi pembongkaran wacana hubungan sipil dan militer, Selain itu pemerintahan sipil juga telah berhasil mengurangi peran istimewa dan politik militer, terutama sejak keberhasilan keempat UUD 1945 16
• Kebijakan ini dikeluarkan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 38/2000 tentang penghapusan Bakorstanas dan Litsus yang selama Orde Baru menjadi alat intimidasi negara.
92
dalam sidang Tahunan 2002 yang mengakhiri keterwakillan TNI/Polri di DPR /MPR 2004. keberadaan militer pada masa transisi demokrasi masih menjadi kekuatan penting dalam pentas politik nasional, Namun demikian, sebagaimana yang telah kami terangkan bahwa keberadaan militer dala:m masa transisi masih menjadi kekuatan politik utama dalam pentas politik nasional. Realitas politik Indonesia belum lepas dari masa transisi yang rapuh, dan demokrasi belum terkonsolidasi. Penataan peran TNI dalan1 sistem politik pasca-Orba belum terselesaikan dengan baik dan supremasi sipil (civilian supremacy) belum menjadi prinsip yang mengakar dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi Indonesia masih merupakan struggling democracy meski tidak dikatakan frail atau failing democracy. Demokrasi kita baru sebatas performance democracy, tan pa ada kebiasaan (habit), norma (norms), nilai (values), dan kelembagaan demokrasi yang kuat. Pengaruh TNI dalam proses politik Indonesia belum sepenuhnya proporsional, cenderung menguat. Resistensi yang kuat dari militer alas usu! restrukturisasi
komando
teritorial,
misalnya, menunjukkan tidak adanya
perubahan signifikan dalam cara pandang militer terhadap peran pertahanan TNI maupun modernisasi pertah&nan. Belum masuknya Mabes TNI di bawah Departemen Pertahanan dan Panglima TN! di bawah Menteri Pertahanan menjadi contoh lain. Mandeknya proses pengadilan terhadap personel TN! yang diduga terlibat berbagai pelanggaran HAM menunjukkan masih besarnya pengaruh politik TN!. Artinya, TN! masih memiliki derajat otonorni politik yang tinggi.
93
Aturan main dalam bentuk perundang-undangan belum :sempurna. Karena itu, belum menjamin kelangsungan demokrasi. Hingga kini, Indonesia belum memiliki UU yang mengatur militernya sendiri. RUU TNI, yang ironisnya diprakarsai TN!, hingga kini belum dibahas DPR. Bahkan, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang menata kewenangan pemerintah dan TNI, sepertinya tidak berdampak apa pun terhadap politik keseharian. Kesimpangsiuran dalam proses pembelian peralatan tempur (military procurement) menjadi contoh untuk hal pertahanan. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono meskipun secara formal (di atas kertas) banyak dicapai kemajuan dalam pengurangan peran politik TNI, secara nyata (de facto) peran politik dalam arti peran i:eritorial sebagaimana dibahas sejak akhir tahun 1950-an, masih berjalan di Indonesia. Lebih lanjut juwono mengemukakan bahwa selama enam tahun reformasi politik di Indonesia, ketiga presiden sipil (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekanoputri) selalu mengangkat Menko Polkam dan Mendagri dari kalangan yang berlatar belakang TN! AD. Pertanda bahwa ketiga pemimpin sipil (dan partai-partai yang dipimpinnya) masih "belum yakin" bahwa seorang yang sama sekali bukan berlatar belakang militer patut dipercaya untuk bcrtanggung jawab mengurus polkam, khususnya di Departemen Dalam Negeri Sementara itu, Peneliti Studi Pertahanan dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Edy Prasetyono menyatakan bahwa keterlibatan militer dalam po!itik, ticlak bisa diukur clari keterlibatan secara institusional.
94
Meski secara institusional militer telah meninggalkan peran sosial politiknya, namun secara riil peran sosial politik itu bisa saja tetap dipegang. Pengerahan atau latihan-latihan militer di wilayah permukiman tanpa melalui prosedur yang bisa dilihat sebagai tindakan politik. Sedangkan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ikrar Nusa Bhakti juga menyatakan bahwa peran sosial politik TNI/Polri akan tetap ada meski MPR telah memutuskan mengakhiri kedudukan TNI dari parlemen. Menurut Ikrar, sampai saat ini belum ada satu Ketetapan (Tap) MPR pun yang mengatur secara tegas hubungan TNI/Polri dengan politik. Tap MPR No VH/MPR/ 2000 hanya menyatakan bahwa TN! tidak ikut dalam politik sehari-har.i. Akan tetapi, di situ tidak diatur apakal1 seorang Panglima TNI/Panglima Kodam/Komandan Kodim boleh memberikan pernyataan politik atau tidak. TN! sebagai alat pertahanan negara, kata Ikrar, semestinya tunduk pada pemerintahan ''ipil dan menjalankan tugas sesuai tugas yang diberikan pemerintalrnn sipil sehingga tidak layak melontarkan pernyataan-pernyataan politik. Lebih lanjut Mahfud MD mengatakan, berkaitan dengan doktrin Sapta Marga yang seolah-olah menempatkan TN! sebagai satu-satunya institusi yang mampu menjaga konstitusi, ideologi negara, dan mempertahankan integrasi nasional. Selain tidak ada aturan yang tegas yang melarang seorang pejabat militer mengeluarkan pernyataan politik, kata Mahfud MD, kedudukan Panglima TN! sampai saat ini masih berada langsung di bawah Presiden, bukan di bawah Menteri Pertahanan. Akibatnya, Fanglima TN! mempunym kedudukan yang
95
sejajar dengan menteri-menteri lain sehingga masih memiliki peran tmtuk ikut dalam pembuatan keputusan-keputusan politik. Soal-soal itu belum lagi menyangkut kebijakan pertahanan dan keamanan yang seharusnya menjadi otoritas sipil. Peninjauan terhadap keberadaan komando wilayah militer, penggelaran pasukan, anggaran, sampai kebijakan pertahanan negara merupakan wilayah politik yang mesti diputuskan oleh otoritas sipil. Melihat realitas diatas, dalam membangun masa depan hubungan sipilmiliter di Indonesia diperlukan beberapa faktor, Pertama, adanya kesepakatan konseptual tentang supremasi sipil dalam pola hubungan sipil-militer di kalangan para militer, politisi sipil, dan masyarakat sipil. Bagaimana menciptakan regulasi agar militer t1mduk pada regulasi sipil dan bagaimana menciptakan pola hubungan sipil-militer yang berorientasi pada demokrasi. Pada umumnya kelompok sipil cendenmg memakai prinsip ini sebagai civilian supremacy upon the military atau militer merupakan subordinasi dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Sedangkan kalangan militer enggan menerima prinsip tersebut, mereka Jebih sepakat dengan supremasi hukum dalam kehiduan politik yang demokratis. Di kalangan militer memahami bahwa supremasi sipil atas militer yang sifatnya subordinatif dianggap produk dernokrasi liberal yang tidak sesuai untuk dikernbangkan sebagai model pengernbangan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu dalam praktik hubungan sipil-militer mereka menghendaki hubungan yang bersifat equal relationship (hubungan yang setara), tidak ada yang dikuasai dan menguasai. Apa yang
96
ditawarkan militer mengenai supremasi hukum tentu belum sepenuhnya menjamin berlakunya prinsip-prinsip supremasi sipil di Indonesia. Seharusnya supremasi sipil kita pahami sebagai pemerintahan sipil yang memiliki legitimasi lewat pemilihan umum sebagai representasi dari kedaulatan rakyat, sedangkan militer adalah instrumen negara yang merupakan bagian dari lembaga eksekutif, yang sepennhnya ada dalam pengendalian pemerintahan sipil.
Kedua, Kuatnya lemahnya lembaga- lembaga sipil clan pemerintahan sipil. Keberadaan partai politik pada masa transisi demokrasi selama ini masih berupa "kerumunan
orang
yang
dipimpin
tokoh"
yang
organisasinya
sangat
memprihatinkan. Bukan organisasi yang rapi, dengan sumber dana yang mandiri, dengan program kerja yang layak laksana. Partai politik tc:rlalu tergantung pada dana dari kaum pengusaha yang memberi sumbangan "di. bawah, di atas, dan ba.1.kan sekalian dengan mejanya". Karena kekuatan nyata pai1ai politik masih sangat lemah. Rebntan jabatan di partai, rebutan kedudukan di pemerintah, rebutan komisi di parlemen, £ebutan rezeki di badan usaha milik negara, rebutan "fulus halus" dari perusahaan swasta- semua ini membuat partai politik Iemah berhadapan dengan militer. Demikian juga kelembagaan aparat pemerintah sipil pada tingkat provinsi, kabupaten/kotamadya, sampai ke tingkat desa. Terlebih-Iebih di daerah terpencil di pelosok Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kehadiran militer di belakang layar "pemerintahan sipil" Indonesia masih berjalan, sesuai derajat kuat atau Iemahnya kelembagaan sipil yang ada. Konsolidasi intern organisasi partai
97
politik adalah reformasi yang sesungguhnya harus dilaksanakan apabila menginginkan terwujudnya supremasi sipil di Indonesia. Alangkah baiknya, bila semua partai politik besar di Indonesia bersungguh-sungguh dalam melaksanakan konsolidasi intern yang amat menentukan demokrasi kita. Ketiga, komitmen dan kompetensi politisi sipil dalam penataan kembali peran politik TN!. Selan1a masa transisi demokrasi, para politisi kurang mengambil inisiatif dan menggunakan otoritasnya untuk melakukan reformasi di tubuh militer, terutama menyangkut hubungan sipil-militer. Dan sebaliknya para politisi malah seringkali mengambil posisi modern! dan mengedepaukan kepentingan politik oportunis. Fakta menunjukkan bahwa praktek-praktek politik elit Indonesia masih berkisar dalam rangka mencari kekuasaan dan pundi-pundi ekonomi dengan segala cara untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. para politisi masih melihat militer sebagai kekuatan politik yang cukup penting, untuk itu, mereka masih main-mata dengan para militer untuk menjalankan agenda politiknya. Militer sering menjadi rebutan pengaruh dianta!"a para politisi sipil, siapa yang dekat dengan militer, maka ia akan kuat. Maka tidak heran apabila netralitas militer pasca Orde Baru masih cenderung goyah akibat rayuan politisi sipil demi pengaruh kekuatan politiknya. menjelang pemilihan Presiden tahun 1999, Habibie dan Abdurrahman wahid masih melirik Wiranto panglima TNI
pada waktu sebagai wakil Presiden, begitu juga pada putaran pertama pemilu presiden 2004, Panglima TNI Endriartono Sutarto sempat "dilirik" atau "dilamar" beberapa calon presiden sipil untuk menjadi calon wakil presiden.
98
Sedangkan keterbatasan pengetahuan politisi sipil mengenai pertahan dan keamanan, dan keengganan militer untuk di tata kalangan sipil, akhirnya terpaksa melibatkan militer untuk merumuskan secara bersama-sama konsep hubungan sipil-militer di Indonesia. tidak perlu mendefinisikan sendiri
Padahal dalam
transisi demokrasi seharusnya militer tidak di perkenankan mendefinisikan posisi dan perannya dalam kancah kehidupan bernegara. Selain agar militer tidak terjebak dalam spektrum kepentingan politik yang sempit, ha! itu juga penting untuk mendekatkan militer dengan cita-cita demokrasi bangsa. Adalah otoritas pemerintahan sipil sebagai pemilik kedaulatan negara untuk mendefinisikan posisi dan peran militer. Pemerintahan sipil, berwemmg menentukan dan sekaligus mengontrol peran dan fungsi militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu dimasa transisi demokrasi keberadaan politisi sipil juga terpecah-pecah, tidak kompak dan saling serang. Kalangan politisi sipil seharusnya meminimalisir perpecahan dan melakukan konsolidasi untuk membangun komitmen dan kesepakatan bersama mengenai repoaiai militer sehingga tercipta supremasi sipil dan mencegal1 terbukanya pintu bagi intervensi militer ke dalam politik, baik melalui kudeta maupun intervensi prerogatif dan kekuasaan. Keempat, Profesionalisme TNI. Para petinggi militer dituntut untuk
berkonsentrasi pada tugas utamanya, yaitu pertahanan (1;ksternal) negara dan sejauh mungkin meminimalisasi intervensinya ke dalam politik kenegaraan.
99
Militer harus mulai percaya pada kemampuan politisi sipil menjalankan kekuasaan negara, dan memberikan jaminan atas berlaugsungnya kekuasaan secara reguler. Keempat, Konsolidasi agenda politik antar kekuatan masyarakat sipil.
Kejatuhan Soeharto tidak bisa lain harus dijadikan alat pe:mbenaran bagi peran hegemonik militer dalam dan berbagai bidang kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, militer harus menjadikan dirinya sebagai tentara profesional yang tidak bem1ain politik atau berusaha membangun pengaruh politik di kalangan politisi sipil. Untuk itu, masyarakat sipil harus mulai melakukan peran strategisnya dengan berpartisipasi secara aktif dalam proses kontrol terhadap peran militer maupun politisi sipil itu sendiri. Ini penting agar para politisi sipil dan militer tidak keluar dari garis mandat yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka. Perin dicatat bahwa pemberian mandat oleh rakyat kepada politisi sipil tidak berarti penyerahan seluruh kedaulatan kepada mereka. Hal itu bersifat relatif. Dengan demikian sangat dimungkinkan bagi masyarakat sipil untuk mengungkapkan kritik dan aspirasi-aspirasinya melalui saluran nonpolitik. Meski demikian harus ditegaskan pula bahwa pemanfaatan dan sekaligus penguatan saluran politik akan lebih mempercepat proses pelembagaan demokrasi. Di samping itu masyarakat sipil juga harus lrnat, solid, tidak terpecah-pecah dan tidak mudah terprovokasi. Di antara elemen masyarakat sipil sudah seharusnya dibangun iklim dialog dan kerja sama kualitatif untuk pembebasan bersama dari kungkungan situasi yang terns memburuk. Dengan begitu masyarakat sipil dapat
100
mengatasi vulnerabilitas intemalnya yang potensial menjebaknya ke dalam konflik-konflik horizontal sebagaimana fenomena konflik sosial dan kerusuhankerusuhan dewasa ini. Menurut Mahfud MD kebijakan dasar yang digariskan oleh TN! meliputi empat ha!, yaitu ( 1) Redefinisi jati diri TN! yang menegaskan bahwa TN! adalah tentara rakyat, pejuang, dan tentara nasional; (2) Reposisi TNI di dalam supra dan infra struktur politik dengan menghilangkan konsepsi Dwifungsi TNI. (3) Reaktualisasi peran TNI dengan empat paradigma, yaitu: pertama, posisi TNI tidak harus di depan; kedua, TNl tidak menduduki tetapi akan mempengaruhi dalam arti tidak dengan intervensi; ketiga, tidak akan mempengaruhi secara tidak langsung agar komponen-komponen lainnya dari bangsa ini menjadi independen; keempat, TNl akan melakukan political and role sharing dengan komponenkomponen masyarakat lainnya. (4) Pembenahan hukum dan penegakan HAM. Berdasarkan konsep pembaharuan peran itulah, menurut Mahfud MD adanya sejumlah langkah konkrit yang telah mulai dilakukan o!eh TN! maupun pemerintah. Langkah-langkah itu misalnya adalah: (a) Validasi organisasi yang meliputi perubahan nama ABRI menjadi TNI: (b) Pemisahan POLRI dari TNI; (c) Penghapusan Dewan Sospol di pusat maupun di daerah; (d) Validasi jabatan Kasospol menjadi Kaster (Kaster ini pun sedang dikaji untuk dilikuidasi); (e) Likuidasi staf kekaryaan dan staf kamtibmas serta Badan Pembinaan Kekaryaan; (f) Penghapusan Sospol Kodam/Korem/Kodim serta Pembina Kekaryaan Kodam;
(g) Penghapusan kekaryaan ABRI melalui penarikan prajurit yang bekerja di
101
instansi sipil dengan pilihan pensiU11 dari militer jika masih ingin bekerja di instansi sipil pengurangan (untuk pada akhirnya penghapusan) kursi TNI/POLRI di DPR/MPR; (h) Likuidasi Bakorstanas. Selain itu menurut Mahfud MD telah ada ketetapan MPR No. VI dan No. VII tahun 2000 yang disusul dengan Undang-undang Pertahanan dan Undangundang Polri se1ia berbagai RUU yang akan dijadikan landasan untuk meletakkan TN! dalam posisinya di tengah kehidupan bernegara.
17
"- Moh. Mahfud MD, Setahun Bersma Gus Dur; Kenangan Menjadi Menteri di Saa/ Sulit, (Jakarta, LP3ES, 2003), cet. I, hal. 41-42.
BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan Sebagaimana yang diterangkan diawal tulisan ini, fenomena dominasi militer dalam hubungan sipil-militer telah menghambat demokratisasi dan profesionalisme TN! sebagai alat pertahanan negara. Karena itu, munculnya berbagai wacana tentang hubungan sipil-militer pasca jatuhnya soeharto yang menempatkan kondisi bangsa Indonesia memasuki masa transisi demokrasi. Dalam masa transisi ini, penentuan format hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi merupakan salah satu persoalan yang mendasar dalam membangun sistem politik yang demokratis, melalui percikan-percikan pemikiran Mahfud MD mengenai hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi. Ada beberapa catatan penting yang bisa dijadikan kesimpulan akhir dari hasil studi ini antara lain.
Pertama, militer pada masa orde baru merupakan kekuatan politik penopang kekuasaan soeharto, pada masa ini hubungan sipil-militer menganut pola supremasi militer. Selain melakukan fungsi pertahanan, militer juga teriibat dalam kegiatan politik praktis , sosial dan bisnis. Banyak alasan yang menyebabkan mi liter terlibat aktif dalam kegiatan tersebut, diantaranya alasan historis, obsesi pada stabilitas nasional dan kepentingan insti.tusi mereka.
Kedua, pada masa transisi demokrasi Pasca jatuhnya Soeharto sebagai simboi kekuatan Orde Baru, keberadaan militer masih mempunyai daya tawar
103
yang tinggi. Meski militer menghadapi problem legitimasi dihadapan masyarakat dan supremasi sipil mulai ditegakkan, tetapi militer tetap masih power full yang sulit dikontrol oleh institusi-institusi demokrasi dan masyarakat sipil secara umum. Ketidakpercayaan publik pada militer yang terus menguat dimasa-masa transisi belum bisa dijadikan modal yang kuat untuk mengubah militer pretorian menjadi militer profosional, dan sekaligus membawa militer dari arena sosial-ekonomi, politik kearena pertahanan. Di sisi lain, Reformasi internal yang dilakukan institusi militer dengan melakukan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran militer sebagai respon alas tuntutan dan desakan masyarakat. Perubahan itu masih bersifat normatif dan belum tampak sebagai upaya institusi militer untuk menerapkan dan menjadikan militer sebagai tentara profesional. Ketiga, belum adanya titik temu mengenai konsep hubungan sipilmiliter dikalangan masyarakat sipil, politisi dan militer rnembuat hubungan sipil-militer yang berorientasi pada supremasi sipil masih sulit ditegakkan. Selain itu, hal ini juga dikarenakan sikap dan perilaku yang tidak konsisten politisi sipil terhadap upaya perubahan hubungan sipil-militer yang menganut pola supremasi sipil. Para politisi sipil masih menilai militer menjadi kekuatan politik yang strategis, sehingga nantinya upaya kompromi dan dukungan militer masih sangat dibutuhkan untuk kepentingan sendiri maupun partai politik yang bersifat pragmatis. Keempal, Mahfud MD pada awalnya merupakan sosok intelektual dan tokoh masyarakat yang aktif memperkuat civil society dar. menegakkan
104
demokratisasi. Namun pasca kejatuhan Soeharto, sikap Mahfud MD cukup moderat dalam terhadap upaya penegakan supremasi sipil dalam pola hubugan sipil militer. Hal ini terlihat dari peranannya dalam menjabat Menhan bahwa peran militer di Indonesia harus dikurangi, namun secara bertahap agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Sebab, militer masih menjadi kekuatan utama politik di Indonesia.
Tentu sikap tersebut menimbulkan pertanyaan
dikalangan masyarakat sipil yang berkeinginan untuk mengembalikan militer menjadi tentara profesial, menginggat Mahfud MD yang selama ini di kenal sebagai pembela tegaknya masyarakat sipil justru seolah-olah membela mi liter dari segala tuntutan dari dalam dan luar negeri. Apabila kita melihat latar belakang pemikiran politik Mahfud MD, maka sikap Mahfud MD yang moderat bisa kita pahami, mengingat pemikiran politik Mahfud MD banyak dipengaruhi aliran Sunni. Sebagaimana dalam sejarah politik Islam, Sunni merupakan aliran yang muncul belakangan dan mencoba mencari sintesis dan formula baru atas pemikiran politik yang berkembang saat itu. Dan Sunni adalah paham yang relatif berwatak inklusif, moderat, demokratis, tasamuh dan tawazun. Ini tercermin dari sikap Sunni dalam menyikapi berbagai persoalan agama, sosial-politik yang berkembang saat itu.
Kelima, mengenai hubungan sipil-militer dalam transisi demokrasi, Mahfud MD menginginkan adanya reposisi peran militer dan supremasi sipil harus di terapkan. Menurutnya, reposisi peran mi liter dalam transisi demokrasi ini, harus dilakukan secara be11ahap dalam mewujudkan militer sebagai tentara profesional. Mengingat masih menjadi salah satu kekuatan utama
105
dalam pentas politik di Indonesia dan menghindari gejolak sosial. Selain itu Mahfud MD juga menyetujui supremasi sipil, tetapi supremasi sipil baginya bukanlah dominasi sipil atas militer. Menurutnya Indonesia tidak mengenal dominasi sipil atas militer. Oleh karena itu hubungan sipil-militer di Indonesia, tidak bisa di samakan dengan hubungan sipil-miiter di negaranegara barat yang sistem demokrasinya telah terkonsolidasi dengan baik. Ia mengatakan meskipun saya sepakat dan tidak ada masalah dengan prinsip supremasi sipil, namun prinsip ini tidak bisa di terapkan di negara kita secara persis dan mutlak seperti di negara-negara barat yang sistem demokrasinya telah kuat dan tumbuh dengan baik. Untuk itulah konsep hubungan sipilmiliter dalam transisi demokrasi yang di tawarkan Mahfud MD adalah pola supremsi sipil. Tetapi pola supremasi sipil ini mempunyai arti keseimbangan peran antara sipil dan militer. Konsep ini takjauh berbeda dengan makna pola kesetaraan dalam pengertian studi militer pada umumnya.
Keenam, ketika menjadi Menhan, gagasan Mahfud MD mengenai reposisi peran militer dan supremasi sipil mulai di terapkan dalam kebijakankebijakan pemerintahannya, kebijakan-kebijakan tersebut memang menandai adanya upaya reposisi militer dan menegakkan supremasi sipil. Namun dalam kenyataannya semangat berpolitik dari militer belum hilang.
B. Saran-saran Demi menjaga profesionalitas militer dan untuk mengawal proses demokrasi maka sudah saatnya militer kembali ke barak, sebagai alat
106
pertahanan negara. Oleh karena itu keterlibatan militer yang terlampau jauh dalam politik tak boleh terulangi, demi tegaknya civil siciety yang pluralis, berkeadaban, dan demokratis.
DAFTAR PUST AKA Aly Rum, Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter; Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung di Panggung Politik Indonesia 1970-1974 (Jakarta, Kompas 2004). Anwar Dewi Fortuna dkk. Gus Dur versus Mi/iter; Studi Tentang Hubungan SipilMiliter di Era Transisi (Jakarta, Gramedia beke1ja sarna Dengan P2P-LIPI, 2002). Britton Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, (Jakarta, LP3ES, 1996). Burhan, A.S. Demokrasi dan Demiliterisasi; Wacana dan Pergulatan di Pesantren (Jakarta, P3M 2001). Crouch Harold, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta, Dharma Aksara Perkasa 1986). Desch Michael C. Politisi Vs Jenderal; Kontrol Sipil Di Tengah Arus Yang Bergeser, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
--------,Ancaman Lingkungan dan Misi Militer" dalam Larry Diamond dan March F. Plattner, Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demola·asi, Jakarta, Rajawali Press. Diamond LaiTy dan Marc F. Plattner. (ed), Hubungan Sipil··Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. Dwipiyana AAGN Ari, Masyarakat Pasca Militer; Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesian, (IRE Press Yogyakarta 2002). Eko Sutoro, "Demiliterisasi dan Demokratisasi ", dalam Ari Sujito dan Sutoro Eko (editor), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisas,i (Yogyakarta; IRE Press, 2002). Fattah Abdoel, Demiliterisasi Tentara; Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Yogjakarta, Lkis, 2005). Feith Herbert, Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2001 ).
108
Haramain A. Malik, Gus dur, Militer, dan Politik ( Yogyakarta, LKIS, 2004). --------,dan M.F. Nurhuda, Mengawal Transisi: Rejleksi atas Pemantauan Pemilu '99, (JAMPPI-PB PMII dan UNDP, Jakarta, 2000). Hardito Bagus A., "Faktor Militer dalam taransisi demokrasi di Indonesia", disunting oleh Rizal Sukrna dan J. Kristiadi, dalarn Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia, CSIS, Jakarta, 1999. Haris Syarnsuddin," Konjlik Eli! Sipil dan Dilema Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru", dalarn MarutoMD & Anwari WMK , Reforrnasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, (Jakarta: LP3ES, 2002). Hornby AS. Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current Engglish, Oxford University Press, 1974. Hungtignton Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, Grafiti Pers, Jakarta, 1997.
Prajurit dan Negara; Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (Jakarta Grasindo, 2003). lrawan FX .Barnbang, (ed.), Supremasi Sipil? Agenda Polilik Militer Gus Dur, (Penerbit Elst Reba, Yogyakarta, 2000). Manan Munafrizal, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde Baru, (IRE Press Yogyakarta, 2005). MD Moh. Mahfud, Setahun Bersama Gus Dur; Kenangan lvfenjadi Menteri Di Saal Sulit, (Jakarta LP3ES, 2003). Muhairnin Jahja A., Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Gajah Mada University Press, Yogyakmta, 1971). Nadj E. Shobirin,(Editor), Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan 1ntegrasi Nasional : Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru, (Jakarta,: LP3ES, 2003). O'Donnel Guillermo dkk, Transisi Menuju Demokrasi; Rangkaian Kemungkinan atau Ketidakpastian, LP3ES, Jakarta, 1993.
--------,7h111sisi Menuju Demokrasi: Tirifauan Berbagai Perspektif, LP3ES, Jakarta, 1993.
109
Palmuter Almost, Militer dan Politik, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2000). Parera Frans M,dan T. Jaoeb Koerkerits (Penyunting), Gusdur lvfenjawab Perubahan Zaman, Kompas, Jakarta. Said Salim, Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 200 I. Soemardjan Selo, Kisah Perjuangan Reformasi, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999). Stepan Alfred C., Militer Dan Demokratisasinya; Pengalaman Brazil dan Negara Lain, (Jakarta: Grafitti, 1996). Suhartono, Hubungan Sipil-Militer Tinjauan Historiografi 1945-1998, Pola dan Perspektif, Makalah Seminar Nasional Mencai·i Format Baru Hubungan 'Sipil-Militer Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, 24-25 Mei 1999. Sujito Ari dan Sutoro Eko (editor), Demiliterisasi, Demokratisasi dan Desentralisasi (IRE Press Yogyakarta; 2002).
--------, Refleksi dan Aksi untuk Rakyat, IRE Press, 2004. Sundhausen Ulf, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRJ, (Jakarta LP3ES, 1988). Suryohadiorojo Sayyidiman, Hubungan Sipil-Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, Makala11 Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jurusan Ilmu Politik, FISIP TJI, 24-25 Mei 1999. Suryohadiprojo Sayidiman, Kepemimpinan ABRJ; Perjuangannya, (Jakarta lntermasa, 1996).
Dalam
Sejarah
dan
Sutoro Eko dkk, Ma:,yarakat Pasca },ifiliter; Tantangan dan Peluang Demiliterisasi di Indonesia, (Y ogyakaiia IRE, 200 I). TNI Tean1 Mabes, TNJ Abad XX!: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi peran TNJ dalam kehidupan bangsa, Jakarta: Mabes TN!, 1999. Wadong Maulana Hassan, Islam dan TN!-Polri Dalam Reformasi Jdeologi Politik, (Jakarta, PT. Grasindo 2000).
110
Wiratama Rahadi T., "Reformasi Politik Indonesia : Transisi Berkepanjangan ", dalam E. Shobirin Nadj, (Editor), Supremasi Sipil, Pelembagaan Politik dan Integrasi Nasional : Studi Transisi Politik Pasca Orde Baru (Jakarta,: LP3ES, 2003). Yudhoyono Susilo Bambang, Pengaruh Jnternasional da/am Hubungan Sipil-Militer, Makalah Seminar Nasional Mencari Format Barn Hubungan Sipil-Militer Jurusan Ilmu Politik, FISIP UI, 24-25 Mei 1999. Yulianto Arif, Hubungan Sipil-Militer Pasca Orba, (Jakruia: Raja Grafindo Persada, 2002).