JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011
Hubungan Sindroma Down dengan Umur Ibu, Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, dan Faktor Lingkungan The Relationship Between Down Syndrome and Maternal Age, Maternal Scholling, Family Income, and Environmental Factor Charina Situmorang Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
ABSTRACT Background. Maternal age is the main known risk factor of Down syndrome. Recently some researchers have suggested that there may be certain environmental factors that increase the risk of the condition. This study aimed to estimate the association of Down syndrome and maternal age while controlling for maternal education, family income and environmental factors. Methods. This study was analytic-observational using case control approach. It was conducted at a special school for children with disability in Surakarta. A sample of 20 mothers of children with Down Syndrome and 40 mothers of normal children, was selected by fixed-disease sampling. The relationship between maternal age and the risk of Down syndrome while controlling for maternal education, family income, and environmental factor, was analyzed using multiple logistic logistic regression. Odds ratio was used to measure the association of variables. Results. Mean maternal age (year) at birth of Down syndrome children (37.82) was higher than that of normal children (28.60), and it was statistically significant. After controlling for maternal education, family income and living environmental factor, mothers aged 35 years or older had 12 times as many risk of Down syndrome as those aged less than 35 years, and it was statistically significant (OR= 12.10; 95%CI 2.96 to 49.22). Evidence from this study did not support the relationship between maternal education, family income, and the risk of Down syndrome. Living in an unhealthy environment increases the risk of Down syndrome 2.5 times as many than living in a healthy environment, although this relationship was not statistically significant with the available sample size of 60 subjects (OR= 2.34; 95%CI 0.44 to 15.28). Conclusion. There is a very strong relationship between maternal age at birth and the risk of delivering children with Down syndrome, even after controlling for some potential confounding factors. Environmental factor seems to play a role in the incidence of this condition, but further studies are needed with larger sample size. Key words: Down syndrome, maternal age, maternal education, family income, environmental factor
PENDAHULUAN Sindroma Down merupakan suatu cacat pada anak yang paling sering terjadi di dunia, disebabkan karena kelainan kromosom. Diperkirakan insidensinya 1.01.2 per 1000 kelahiran hidup (Soetjiningsih, 1995). Kothare et al. (2002) melaporkan angka kejadian sindroma Down sekitar 1 dari 650-1000 kelahiran hidup. Kurang lebih 4.000 anak dilahirkan dengan sindroma Down setiap tahunnya di Amerika, atau sekitar 1 dari 800-1000 kelahiran hidup (Idris, 2006; Nicolaidis, 1998). Sindroma Down merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Di In-
96
donesia prevalensi sindroma Down lebih dari 300 ribu jiwa. Meskipun orangtua dari segala usia mempunyai kemungkinan untuk mendapat anak yang menderita sindroma Down, tetapi kemungkinannya lebih besar untuk ibu yang usianya di atas 35 tahun (Idris, 2006). Sindroma Down merupakan bentuk kelainan kongenital yang ditandai dengan berlebihnya jumlah kromosom nomor 21 yang seharusnya dua buah menjadi tiga buah sehingga jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom. (Soetjiningsih, 1995; Idris, 2006).
CHARINA SITUMORANG/ SINDROMA DOWN, UMUR IBU, PENDIDIKAN IBU,
Sindroma Down disebabkan oleh kesalahan dalam pembelahan sel yang disebut “nondisjunction”. Nondisjunction terjadi menyebabkan embrio memiliki tiga salinan kromosom 21, bukan dua salinan normal. Sebelum atau sewaktu konsepsi, sepasang kromosom 21 pada sperma atau ovum gagal membelah. Ketika embrio berkembang, kromosom ekstra tersebut direplikasi di dalam setiap sel tubuh. Jenis Down syndrome ini yang meliputi 95% kasus, disebut Trisomy 21 (NDSS, 2011). Sindroma Down pertama kali dideskripsikan dan dipublikasikan oleh John Langdon Down pada 1866. Tetapi sebelumnya Esquirol pada tahun 1838 dan Seguin pada tahun 1846 telah melaporkan seorang anak yang mempunyai tanda-tanda mirip dengan sindroma Down (Soetjiningsih, 1995). Penderita kelainan jumlah kromosom ini pada umumnya memiliki karakteristik fisik yang khas. Beberapa ciri fisik penyandang kelainan ini di antaranya, bagian belakang kepala rata, mata sipit, alis mata miring (slanting of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil, otot lunak, persendian longgar , dan tangan kaki yang mungil (Soetjiningsih, 1995; Speirs, 1992; Suryo, 2003). Sindroma Down memberikan masalah serius bagi penderita. Anak dengan sindroma Down memiliki kesulitan belajar, retardasi mental, penampilan muka yang khas, dan tonus otot buruk (hipotonia) sewaktu bayi. Individu dengan sindroma Down juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kelainan jantung, masalah pencernaan misalnya refluks gastroesofagus, celiac disease, dan tuna rungu. Beberapa individu dengan sindroma Down menunjukkan aktivitas kelenjar tiroid rendah (hipotiroidisme) – organ di bagian bawah leher yang memproduksi hormon tiroid (NIH, 2011). Kausa sindroma Down “nondisjunction” dewasa ini belum diketahui, tetapi riset menunjukkan kejadian “nondisjunction” meningkat dengan meningkatnya usia ibu (Beiguelman, 1996; Kothare et al., 2002; Crane, 2006; Girirajan, 2009). Statistik menunjukkan bahwa di antara kaum wanita berusia 20 tahun, hanya 1 dari 2.300 kelahiran yang menderita cacat ini. Pada wanita berusia 30 hingga 34 tahun, insidensi sindroma Down 1 dari 750 kelahiran. Sedangkan pada wanita berusia 39 tahun, insidensi itu naik secara drastis sampai 1 dari 280 kelahiran. Pada wanita berusia 40 sampai 44, insidensi 1 dari 13 kelahiran. Pada wanita berusia
lebih dari 45 tahun, insidensi sindroma Down 1 dari 65 kelahiran (Lidyana, 2004). Walaupun belum diketahui secara pasti pengaruh usia ibu terhadap kejadian sindroma Down, namun “non-disjunction” yang terjadi pada oosit ibu yang tua banyak dilaporkan (Kothare et al., 2002; Coad dan Melvyn, 2007; Girirajan, 2009). Tetapi, karena sebagian besar kelahiran terjadi pada wanita muda, maka 80% anak dengan Down syndrome lahir dari ibu dengan usia di bawah 35 tahun. Belum ada bukti definitif yang menyingkirkan hipotesis bahwa terdapat hubungan antara sindroma Down dan faktor lingkungan ataupun aktivitas ibu sebelum atau selama kehamilan (NDSS, 201; eMedtv, 2011). The Kennedy Krieger Institute, berbasis di Baltimore, AS, sedang melakukan penelitian untuk mengidentifikasi faktor genetik dan lingkungan yang berhubungan dengan sindroma Down dan kelainan jantung kongenital pada anak dengan sindroma Down (National Human Genome Institute, 2011). NHS Choices (2011) menyebutkan bahwa terdapat sejumlah bukti yang mengisyaratkan terdapat ‘clustering’ kasus sindroma Down. ‘Clustering’ dalam epidemiologi dimaksudkan tejadinya kasus dalam jumlah di atas rata-rata selama periode waktu pendek hingga sedang di suatu area geografis tertentu, misalnya di suatu kecamatan atau kelurahan di suatu kota. NHS Choices (2011) menambahkan, ‘clustering’ sindroma Down bisa terjadi secara kebetulan (chance), tetapi menurut sejumlah peneliti faktor lingkungan tertentu mungkin meningkatkan risiko sindorma Down. Faktor risiko tersebut meliputi: (1) Paparan agen infeksi, misalnya virus, selama kehamilan; (2) Penggunaan kontrasepsi; (3) Merokok selama kehamilan; (4) Paparan radiasi; (5) Paparan terhadap insektisida; (6) Tinggal di dekat tempat pembuangan sampah/ limbah. Dengan latar belakang tersebut penulis meneliti hubungan antara sindroma Down dan umur ibu, dengan mengontrol pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan faktor lingkungan. Pendidikan ibu dan pendapatan keluarga ikut diperhitungkan karena peneliti berargumen bahwa pendidikan ibu ataupun pendapatan keluarga rendah dapat menurunkan kualitas asupan makanan ibu selama kehamilan, sehingga mempengaruhi perkembangan janin. 97
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011
Tabel 3 menunjukkan, 73.30% sampel tinggal di lingkungan pemukiman yang kumuh.
SUBJEK DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi kasus kontrol. Penelitian dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) C Surakarta dan lingkungan tempat tinggal ibu dan anak yang terpilih sebagai subjek penelitian. Dengan teknik “fixed disease sampling” (Murti, 2006), sampel terdiri atas 20 orang ibu dengan anak sindroma Down dan 40 orang ibu dengan anak normal dipilih untuk penelitian ini. Variabel terikat yang diteliti adalah kejadian anak dengan sindroma Down. Variabel bebas adalah umur ibu pada saat melahirkan (tahun), riwayat pendidikan ibu padaa saat melahirkan, pendapatan keluarga per bulan pada saat melahirkan, dan lingkungan rumah. Hubungan antara risiko melahirkan anak dengan sindroma Down dan umur ibu, dengan mengontrol pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan rumah, dianalisis dengan model regresi logistik ganda, dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows. HASIL-HASIL A. Karakteristik Sampel Penelitian Tabel 1 menunjukkan rata-rata usia ibu 31.71 tahun, dan pendapatan keluarga Rp 1,626,700 per bulan. Tabel 1. Karakteristik sampel menurut umur ibu dan pendapatan keluarga per bulan Variabel n Mean SD Min. Maks. Usia Ibu (tahun) 60 31. 71 7.80 18.32 46.75 Pendapatan 60 1,626,700 2,316,000 100,000 15,000,000 Keluarga (rupiah)
Tabel 2 menunjukkan, tingkat pendidikan ibu paling banyak adalah SD dan SMA, masing-masing 18 orang (30%). Tabel 2. Karakteristik sampel menurut pendidikan ibu Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA D3/PT Total
98
n 2 18 10 18 12 60
% 3.30 30.00 16.70 30.00 20.00 100.00
Tabel 3. Distribusi sampel menurut lingkungan rumah Lingkungan - Sehat - Kumuh Total
n 16 44 60
% 26.70 73.30 100.00
B. Hasil Analisis Bivariat Tabel 4 menunjukkan, rata-rata usia ibu yang melahirkan anak sindroma Down, (7.82 tahun) lebih tua bila dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak normal (28.60 tahun), dan perbedaan itu secara statistik signifikan (p<0.001). Tabel 4. Hasil uji t tentang perbedaan mean usia ibu antara anak normal dan anak dengan sindroma Down Kelompok Normal Sindroma Down
n 40 20
Mean 28.60 37.82
SD 6.71 5.94
t 5.22
p < 0.001
C. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda Tabel 5 menunjukkan terdapat hubungan antara umur ibu dan risiko melahirkan anak dengan sindroma Down, dan hubungan itu secara statistik signifikan. Usia ibu >35 tahun meningkatkan risiko untuk melahirkan anak dengan sindroma Down 12 kali lebih besar daripada usia ibu <35 tahun (OR= 12.10; CI95% 2.90 hingga 49.22). Hubungan itu telah mengontrol pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan lingkungan rumah. Bukti dari penelitian ini tidak mendukung hipotesis bahwa terdapat hubungan antara kejadian sindroma Down dan pendidikan ibu (OR=1.01; CI95% 0.24 hingga 4.95) maupun pendapatan keluargga (OR= 1.02; CI95% 0.22 hingga 5.90). Tetapi hasil penelitian ini menujukkan terdapat hubungan yang positif antara lingkungan tempat tinggal kumuh dan risiko melahirkan anak dengan sindroma Down. Ibu yang tinggal di lingkungan pemukiman kumuh memiliki risiko untuk melahirkan anak dengan sindroma Down 2.5 kali lebih besar daripada tinggal di lingkungan yang sehat, meskipun hubungan tersebut secara statsitik tidak signifikan dengan sampel sebesar 60 subjek (OR= 2.34; CI95% 0.44 hingga 15.28). Hubungan
CHARINA SITUMORANG/ SINDROMA DOWN, UMUR IBU, PENDIDIKAN IBU,
Tabel 5. Hasil analisis regresi logistik ganda tentang hubungan antara sindroma Down dan umur ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, serta lingkungan perumahan Variabel independen Usia < 35 tahun 35 tahun Pendidikan Tinggi Rendah Pendapatan Rp 800.000 < Rp 800.000 Lingkungan Sehat Kumuh N observasi 60 -2log likelihood 58.9 2 Nagelkerke R 35% p< 0.001
CI 95% Batas Batas Bawah Atas
OR
p
1.0 0 12.10
<0.001
2.96
49.22
1.0 0 1.0 1
0.972
0.24
4.9 5
1.0 0 1.0 2
0.965
0.22
5.9 0
1.0 0 2.3 4
0.381
0.44
15.28
tersebut telah memperhitungkan pengaruh umur ibu, pendidikan ibu, dan pendapatan keluarga. PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan sejak bulan September sampai Oktober 2010 di SLB C Surakarta dan di lingkungan rumah subjek penelitian. Sampel yang diteliti terdiri atas 20 ibu dengan anak sindroma Down sebagai kelompok kasus dan 40 ibu dengan anak normal sebagai kelompok kontrol. Berdasarkan karakteristik sampel penelitian menurut usia ibu (Tabel 1), dapat dilihat bahwa ratarata usia ibu dalam penelitian ini adalah 31.71 tahun. Hal ini sesuai dengan distribusi pada populasi di Indonesia bahwa persentase terbesar (25.73%) penduduk wanita berada pada kelompok umur 3039 tahun (BPS, 2006). Karakteristik sampel penelitian berdasarkan pendapatan keluarga (Tabel 1) didapatkan rata-rata pendapatan keluarga dalam penelitian ini adalah Rp 1.6 juta. Menurut data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2007, maka rata-rata pendapatan keluarga dalam penelitian ini berada di atas garis kemiskinan (LPEM FE UI, 2007). Distribusi ini pun sesuai dengan gambaran populasi Indonesia bahwa sebanyak 83.4% penduduk Indonesia tidak berada di bawah garis kemiskinan/
tergolong masyarakat menengah ke atas (Wibowo, 2010). Karakteristik sampel penelitian menurut tingkat pendidikan ibu (Tabel 2) didapatkan bahwa paling banyak adalah SD dan SMA dengan persentase masing-masing 30%. Hasil ini sedikit berbeda dengan gambaran populasi Indonesia bahwa sebagian besar penduduk wanita berada pada tingkat pendidikan SD yaitu 39.92%, sedangkan penduduk dengan tingkat pendidikan SMA hanya 16.26% (BPS, 2006). Karakteristik sampel penelitian berdasarkan lingkungan (Tabel 3) didapatkan bahwa sebagian besar sampel penelitian tinggal di lingkungan kumuh sejumlah 44 orang (73.3%). Hasil ini berbeda dengan gambaran populasi di Indonesia. Data yang diperoleh tahun 2005 menunjukkan bahwa berdasar kepemilikan permukiman tercatat persentase total penghuni permukiman kumuh hanya 15% (Center for Housing and Settlement Studies, 2010). Sebagian besar karakteristik sampel pada penelitian ini hampir mendekati gambaran populasi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa hasil pada penelitian ini bisa digunakan pada populasi di Indonesia. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan kejadian anak sindroma Down dari ibu usia tua dengan ibu usia muda. Hasil uji t tentang perbedaan mean usia ibu menunjukkan (Tabel 4), rata-rata usia ibu yang melahirkan anak sindroma Down, yaitu 37.8 tahun, lebih tua bila dibandingkan dengan rata-rata usia ibu yang melahirkan anak normal yaitu 28.6 tahun. Perbedaan usia ibu tersebut secara statistik signifikan. Investigasi lebih lanjut dengan analisis multivariat (Tabel 5) menghubungkan kejadian sindroa Down dengan umur ibu, dengan mengontrol pengaruh pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan lingkungan pemukiman. Hasil analisis multivariat tersebut menunjukkan, ibu usia tua (?35 tahun) terbukti berisiko untuk melahirkan anak sindroma Down 12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu usia muda (<35 tahun). Keselebihan penelitian ini adalah penggunaan analisis regresi logistik ganda sebagai teknik analisis data untuk mengontrol variabel perancu (confounding factor) secara statistik. Model analisis regresi logistik dapat mencegah terjadinya bias dalam penelitian. 99
JURNAL KEDOKTERAN INDONESIA, VOL. 2/NO. 1/JANUARI/2011
Data laporan penelitian ini menunjukkan hasil yang sesuai dan konsisten dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di beberapa negara, yaitu terdapat hubungan antara usia ibu dan kejadian anak sindroma Down. Hubungan itu dapat dijelaskan dalam uraian patogenesis berikut. Pada ibu usia tua, ovum yang dikeluarkan pada saat ovulasi merupakan hasil dari oosit yang cenderung telah berada dalam siklus meiosis yang terhenti cukup lama (Girirajan, 2009). Fase meiosis yang terhenti lama pada ovum memudahkan terjadinya akumulasi berbagai efek toksik sebagai dampak dari lingkungan, juga terjadi degradasi dari mesin meiosis yang menyebabkan kesalahan meiosis I dan meiosis II (Girirajan, 2009). Pengamatan pada pembuahan in vitro membuktikan bahwa gelendong meiosis manusia bersifat tidak stabil dan juga sangat peka terhadap pengaruh eksternal. Struktur meiosis yang disebut spindles menjadi semakin rapuh seiring dengan meningkatnya usia ibu yang bersangkutan (Coad dan Melvyn, 2007). Faradz (2004) juga mengungkapkan hal yang sama mengenai penuaan sel telur wanita, bahwa ada pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik (lingkungan) dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi non disjunction disebabkan oleh faktor-faktor: terputusnya benangbenang spindel atau komponen-komponennya, atau kegagalan dalam pemisahan nukleolus. Hal ini memudahkan terjadinya nondisjungsi pada ovum selama pembelahan fase meiosis sehingga menghasilkan zigot dengan jumlah kromosom abnormal dalam hal ini kromosom 21 berjumlah 3 buah (sindroma Down). Penelitian ini menyimpulkan terdapat hubungan yang kuat dan secara statistik signifikan antara usia ibu dan risiko untuk melahirkan anak dengan sindroma Down, setelah mengontrol pengaruh faktor perancu potensial seperti pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan tampaknya memiliki peran terhadap terjadinya sindroma Down, tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel lebih besar untuk mengkonfirmasi dugaan ini.
100
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (BPS) (2006). Ketenagakerjaan. http://www.kpwkm.gov.my/ malayindo/cms/ pr%28umkk%29/pdf_statistik/ KETENAGAKERJAAN.pdf. Diakses 7 Desember 2010. Beiguelman B, Henrique K, da Silva LM (1996). Maternal age and Down syndrome in Southern Brazil. Brazilian Journal of Genetics, 19 (4): 637640 Center for Housing and Settlement Studies (2010). Pengelolaan lingkungan permukiman kumuh menuju habitat kota hijau lestari. http://geo. ugm.ac.id/perkim/seminar%20nasional.php. Diakses 7 Desember 2010. Coad J, Melvyn D (2007). Anatomi dan fisiologi untuk bidan. Jakarta: EGC. Hal: 67-89, 103121, 122-153, 154-170, 217-245 Crane E, Joan KM (2006). Changes in maternal age in England and Wales-implication for Down syndrome. Down Syndrome Research and Practice 10(1): 41-43 eMedtv (2011). Causes of Down syndrome. http://down-syndrome. emedtv.com/down-syndrome/causes-of-downsyndrome.html. Diakses Desember 2011. Faradz SMH (2004). Retardasi mental pendekatan seluler dan molekuler. http://eprints.undip. ac.id/299/1/Sultana_M._H._Faradz.pdf (diakses 27 Maret 2010) Girirajan S (2009). Parental-age effects in Down syndrome. Journal of Genetics, 88 (1): 9-14 Idris R, Beatrice A, Hadi H (2006). Penderita sindrom Down berdasarkan analisis kromosom di Laboratorium Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Antara Tahun 1992-1994. Profesi Medika. 6(1):35-45 Kothare S, Neera S, Usha D (2002). Maternal age and chromosomal profile in 160 Down syndrome cases-experience of a tertiary genetic centre from India. IJHG 2(1): 49-53 Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM
CHARINA SITUMORANG/ SINDROMA DOWN, UMUR IBU, PENDIDIKAN IBU,
FE UI). 2007. Angka kemiskinan pasca pemilu. h t t p : / / w w w. l p e m . o r g / i n d e x . p h p ? mn=1&sb=1&id=4 (diakses 7 Desember 2010)
Nicolaidis P, Petersen MB (1998). Origin and mechanisms of non-disjunction in human autosomal trisomies. Hum Reprod 13(2): 313-9
Lidyana V (2004). Melahirkan di atas usia 30 Tahun. Jakarta: Restu Agung. hal: 16-21
Soetjiningsih (1995). Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC. hal: 211-221
Murti B (2006). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan kualitatif di bidang kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. hal: 68-69
Speirs, Al (1992). Paediatrics for nurses. London: Pitman Medical. hal: 139-141
National Human Genome Rsearch Institute (2011). Learning about Down syndrome. http://www. genome.gov/19517824. Diakses Desember 2011.
Wibowo H (2010). Kemiskinan dan tempat tinggal. http://hendrowibowo.niriah.com/2010/ 04/07/ kemiskinan-dan-tempat-tinggal/. Diakses 7 Desember 2010.
Suryo (2003). Genetika manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
NDSS (2011). What causes down syndrome? National Down Syndrome Society. http://ndss. org/index.php?option=com_content&view= article&id=60&Itemid=77. Diakses Oktober 2011.
101