Hubungan Perilaku Higiene Individu Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru (Studi Di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya 2014) Dawi Adawiyah 1) Andik Setiyono 2) Sri Maywati 3) Mahasiswa bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi (
[email protected]) 1) Dosen Pembimbing bagian kesehatan lingkungan Fakultas Ilmu kesehatan Universitas Siliwangi (
[email protected]) 2) (
[email protected]) 3) ABSTRAK Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan Mycrobacterium tuberculosis, penyakit ini ditularkan melalui udara yaitu percikan bersin, ludah, dan batuk. Kesibukan masyarakat dengan pekerjaan sebagai buruh pembuatan batik dan pekerja mebeul menyebabkan sulitnya mengakses informasi kesehatan. Hal ini menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang TB paru sehingga sikap dan perilaku masyarakat masih rendah terhadap penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku higiene individu dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya. Desain penelitian menggunakan metode kasus kontrol dengan sampel 26 kasus dan 26 kontrol. Variabel bebas yang diteliti adalah kebiasaan menggunakan alat makan, kebiasaan menutup mulut saat batuk/bersin, kebiasaan membuang dahak, kebiasaan kontak dengan penderita dan kebiasaan membuka jendela rumah. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian TB paru dengan kebiasaan menggunakan alat makan bersama (P value = 0.000), kebiasaan kontak dengan penderita (P value = 0.000), dan kebiasaan membuka jendela (P value = 0.012). Tidak ada hubungan Kebiasaan membuang dahak dengan kejadian TB paru (P value = 1) dan kebiasaan menutup mulut saat batuk/bersin (P value = 0.610). Upaya untuk mengurangi kejadian Tb paru dan penularannya disarankan kepada Pelayanan kesehatan untuk meningkatkan upaya promosi kesehatan, Masyarakat diharapkan merubah kebiasaan berperilaku dalam mencegah penyakit TB paru. Kata Kunci : Perilaku, Hygiene , Tuberkulosis Paru Kepustakaan : 12 kepustakaan (2002 – 2012)
The Relationship Of Individual Hygiene Behavior On The Incidence Of Pulmonary Tuberculosis (Studies in Work Area Health Center Cigeureung Tasikmalaya 2014) Dawi Adawiyah 1) Andik Setiyono 2) Sri Maywati 3) Students of the Faculty of Health Sciences Environmental Health Specialisation Siliwangi University (
[email protected]) 1) Section Supervisor Environmental Health Faculty of Health Sciences University (
[email protected]) 2) (
[email protected]) 3) ABSTRACT Pulmonary TB is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis, the disease is transmitted through the air spark sneezing, saliva, and coughing. The people occupation as batik and furniture workers makes it difficult for them to access health information. This leads to a lack of knowledge about pulmonary tuberculosis so that the attitude, behavior, and the awareness of people are stilll low against the disease. This study aims to determine the relationship of individual hygiene behavior with pulmonary TB incidence in the Cigereung Work Area, Tasikmalaya Health Center, the study design that been used in this research was case control method using sample of 26 cases and 26 controls. The independent variables studied were the habit of using cutlery, the habit to cover the mouth when coughing/sneezing, the phlegm throwing habits, the custom contact with patient, and the habit to open the window.The results of the bivariate analysis showed that there is a relation between the incidence of pulmonary tuberculosis by using custom cutlery alternately (P value = 0.000), the custom contact with the patient habits (P value = 0.000), and the habit to open the window (P value = 0.012). There is no correlation between the phlegm throwing habit and pulmonary TB (P value = 1) and the habit to cover the mouth when coughing/sneezing (P value = 0.610). Efforts to reduce the incidence of pulmonary tuberculosis and its transmission advised to improve health promotion. Communities are expected to change the habit of behaving in preventing pulmonary TB disease. Keywords : Behavior, Hygiene, Pulmonary Tuberculosis Bibliography : 12 (2002 – 2012)
PENDAHULUAN Penyakit yang terjadi pada hakekatnya sebagai hasil interaksi antara tiga faktor, yaitu host, agent dan environment (Soemirat, 2010). Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri masuk dan terkumpul di dalam paruparu akan berkembang biak terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru, saluran pencernaan, tulang otak, ginjal, kelenjar getah bening, Organ tubuh yang paling sering terkena yaitu-paru-paru (Sinta, 2001). Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total pasien TB di dunia. Tuberkulosis
merupakan
kematian
nomor
tiga
setelah
penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi (Sri, 2012). Penularan penyakit TB paru juga tidak terlepas dari faktor sosial budaya, terutama berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan perilaku higiene masyarakat setempat (Yulfira, 2011). Rikha (2011) dalam penelitiannya bahwa kebiasaan menutup mulut saat batuk atau bersin, penggunaan alat makan bersamaan,kontak dengan penderita, dan membuang dahak sembarangan dinyatakan sebagai faktor risiko terhadap kejadian TB paru. Menurut Kepmenkes/No/364/Menkes/SK/V/2009 tentang pedoman penanggulangan TB nilai Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) mencapai 1%, Sasaran program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan
menyembuhkan
85%
dari
semua
pasien
tersebut
serta
mempertahankannya. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 (Seminar pengendalian TB paru, 2013).
Tahun 2012 Kota Tasikmalaya perkiraan BTA positif (baru) mencapai 691 (107/100.000), sedangkan target pencapaian adalah 588 (85 %). Angka kematian kasar mencapai 77,8 dan yang mengalami konversi 84,04 %. Dilihat dari data di atas bahwa penderita TB paru di Kota Tasikmalaya masih perlu penanggulangan dan upaya pencegahan penyakit. Dua puluh Puskesmas yang ada di Kota Tasikmalaya, Puskesmas Cigeureung merupakan wilayah kerja dengan kasus TB paru yang tinggi. Bulan Januari sampai bulan Desember 2013 mencapai 38 kasus dengan basil tahan asam (BTA) + (positif). (Laporan Monitoring dan evaluasi program P2 Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya). Hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan bagian TB Puskesmas Cigeureung menyatakan bahwa masih rendahnya pengetahuan, sikap dan perilaku higiene masyarakat terhadap kejadian TB paru. Observasi yang peneliti lakukan, kesibukan masyarakat dengan pekerjaannya sebagai buruh pembuatan batik dan pekerja mebel menyebabkan sulitnya mengakses informasi kesehatan. Hal ini menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang TB paru sehingga sikap dan perilaku masyarakat masih rendah terhadap penyakit tersebut. Cakupan pelayanan Puskesmas Cigeureung terdiri dari dua Kelurahan yaitu Kelurahan Sukamanah dan Nagarasari. Observasi awal yang dilakukan peneliti pada 10 orang hanya 50% mereka mengetahui tentang TB paru namun sikap dan perilakunya masih rendah. Dibuktikan pada survei awal hanya 30% masyarakat memiliki sikap yang baik, Pada perilaku higiene hanya 10% masyarakat melakukan sesuai anjuran. Misalnya mereka mengetahui bahwa jendela adalah media untuk sirkulasi udara, padahal dalam perilaku mereka tidak membuka jendela tersebut. Kondisi ini bila terus dibiarkan maka penyebaran dari bakteri Mycobacterium tuberculosis akan semakin banyak dan jumlah kasus akan semakin bertambah. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan Perilaku Higiene Individu dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya”.
TUJUAN PENELITIAN Mengetahui hubungan perilaku higiene individu dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya Tahun 2014. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol, Penelitian jenis ini dilakukan apabila menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor-faktor risiko tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung yang terdaftar sebagai penderita tuberkulosis paru dengan jumlah 38 kasus dari bulan Januari sampai Desember 2013. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling, kasus adalah responden yang telah terdaftar sebagai pasien TB paru di Puskesmas Cigeureung sebanyak 26 kasus, sedangkan kontrol adalah responden yang bukan penderita TB yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok kasus. Jumlah sampel secara keseluruhan sebanyak 52 responden. Hasil pengumpulan data melalui wawancara dan observasi dengan responden menggunakan lembar kuesioner. Analisis data menggunakan uji Uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kebiasaan Menggunakan Alat Makan Bersama Tanpa Dicuci Tabel 1 Distribusi Frekuensi KebiasaanMenggunakan Alat Makan Bersama Tanpa Dicuci di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kebiasaan menggunakan Kategori Responden Total alat makan bersama Kasus Kontrol f % f % n % Berisiko 23 76.7 7 23.3 30 100,0 Tidak Berisiko 3 13.6 19 86.4 22 100,0 Jumlah 26 50,0 26 50,0 52 100,0 Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa jumlah kebiasaan berisiko pada kasus sebanyak 23 orang (76.7%) dan tidak berisiko pada kasus
sebanyak 3 orang (13.6%). Pada kelompok kontrol kebiasaan berisiko sebanyak 7 orang (23.3%) dan tidak berisiko sebanyak 19 orang (86.4%). Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square didapatkan hasil P < 0,05 (P value= 0.000) yang berarti ada hubungan antara kebiasaan menggunakan alat makan bersama terhadap kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung. Berdasarkan uji statistik diperoleh bahwa nilai OR= 20.810
ini berarti responden yang melakukan kebiasaan
menggunakan alat makan bersama memiliki risiko 20.810 kali tertular penyakit
TB
paru
dibandingkan
dengan
responden
yang
tidak
menggunakan alat makan bersama. Mycobacterium tuberculosis dapat tahan hidup di udara kering maupun dalam keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es. lni dapat terjadi apabila bakteri berada dalam sifat dormant (tidur). Pada sifat dormant ini bakteri tuberkulosis suatu saat dimana keadaan kemungkinkan untuk dia berkembang, bakteri ini dapat bangkit kembali (Hiswani, 2004). Kebiasaan penggunaan barang atau alat secara bersamaan. Semua barang yang digunakan penderita TB harus terpisah dan tidak boleh digunakan oleh orang lain baik itu teman bahkan anak, istri dan keluarga. Perlu dingat dan diperhatikan bahwa mereka yang sudah mengalami terkena penyakit infeksi TB paru dan menjadi penderita kemudian diobati dan sembuh kemungkinan bisa terserang infeksi kembali jika tidak melalukan pencegahan TB paru dan menjaga kesehatan tubuh. Kebiasaan menggunakan alat makan bersama merupakan faktor risiko karena sifat dormant dari bakteri TB yang dapat hidup kembali pada seseorang dengan sistem imum yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Rukmini (2010) bahwa perilaku menggunakan alat makan/minum (gelas, sendok, garpu dan piring) menunjukkan baik, karena 80.1% diantaranya menggunakan alat makan secara terpisah. Perilaku buruk mencapai 19.9%. pada penelitian ini tidak
sampai menganalisis hubungan kebiasaan menggunakan alat makan bersama terhadap kejadian TB paru. b. Kebiasaan Menutup Mulut Saat Batuk /Bersin Tabel.2 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Menutup Mulut Saat Batuk/Bersin di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kebiasaan menutup mulut saat Kategori Responden Total batuk /bersin Kasus Kasus f % f % n % Berisiko 23 47.9 25 52.1 26 100,0 Tidak Berisiko 3 75.0 1 25.0 26 100,0 Jumlah 26 50,0 26 50,0 52 100,0 Berdasarkan Tabel 4.11 diketahui bahwa jumlah responden yang menjadi subyek penelitian sebanyak 52 orang dengan kebiasaan berisiko pada kasus sebanyak 23 orang (47.9%) dan tidak berisiko pada kasus sebanyak 3 orang (75%). Pada kelompok kontrol kebiasaan berisiko sebanyak 25 orang (52.1%) dan tidak berisiko sebanyak 1 orang (25.0%). Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square didapatkan hasil P > 0,05 (P value= 0.610) yang berarti
tidak ada hubungan antara
kebiasaan menutup mulut saat batuk/bersin dengan kejadian TB paru di Wilayah kerja Puskesmas Cigeureung. Pada penelitian ini tidak ada yang membedakan kebiasaan kelompok kasus dan kontrol karena 52.1% berperilaku berisiko terhadap kejadian tuberkulosis paru Penelitian yang dilakukan Rikha Nurul Pertiwi (2012) diketahui bahwa proporsi responden yang mempunyai kebiasaan tidak menutup mulut saat batuk pada kelompok kasus yaitu 56.7%, kebiasaan yang menutup mulut saat batuk yaitu 43.3%. Responden yang mempunyai kebiasaan tidak menutup mulut saat batuk/bersin cenderung lebih banyak daripada yang mempunyai kebiasaan menutup mulut saat batuk/bersin. Hasil penelitian ini bahwa sebelumnya ada riwayat kontak dengan penyakit TB dengan BTA positif, hal ini sangat menular. Responden pada saat batuk/bersin dapat mengeluarkan bakteri-bakteri ke udara dalam
bentuk droplet yang sangat kecil dan mengering dengan cepat. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan di udara selama beberapa jam, droplet yang mengandung bakteri dapat terhirup oleh anggota keluarga lain. Bakteri yang sudah terhirup akan menetap dan berkembang biak dalam paru. c. Kebiasaan Membuang Dahak Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membuang Dahak di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Responden Total Kebiasaan membuang dahak Kasus Kontrol f % f % n % Berisiko 25 50 25 50 26 100,0 Tidak Berisiko 1 50 1 50 26 100,0 Jumlah 26 50,0 26 50,0 52 100,0 Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa jumlah responden dengan kebiasaan berisiko pada kasus sebanyak 25 orang (50%) dan tidak berisiko pada kasus sebanyak 1 orang (25%). Pada kelompok kontrol kebiasaan berisiko sebanyak 25 orang (50%) dan tidak berisiko sebanyak 1 orang (50%). Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square didapatkan hasil P > 0,05 (P value= 1) yang berarti tidak ada hubungan antara kebiasaan membuang dahak terhadap kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung. Kebiasaan membuang dahak yang dilakukan responden sebelum mengetahui dirinya sakit biasanya membuang dimana saja, di jalan,di parit ataupun di kolam ikan. Kasus ataupun kontrol hampir tidak memiliki perbedaan kebiasaan dalam membuang dahaknya, sedangkan pada kelompok kasus setelah mengetahui kondisi dirinya sakit kebiasaan berubah dalam membuang dahak yaitu ke toilet rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Rikha Nurul Pertiwi (2012) pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro didapatkan hasil bahwa membuang dahak disembarang tempat sekitar 86.7% pada kelompok kasus cenderung lebih banyak, sedangkan membuang dahak di tempat khusus sekitar 13.3%. Penelitian yang sama
dilakukan Tri Wahyu (2008) di Magetan, Jawa Timur yang hasilnya adalah kebiasaan membuang dahak disembarang tempat merupakan faktor risiko TB paru dengan nilai OR 3.8. Bakteri TB paru bersifat aerob dan lambat tumbuh, Suhu optimum pertumbuhannya 37-38 ˚C. Bakteri TB paru cepat mati pada paparan sinar matahari langsung tapi dapat bertahan beberapa jam pada tempat yang gelap dan lembab serta dapat bertahan hidup 8-10 hari pada sputum kering yang melekat pada debu. Sumber infeksi yang terpenting adalah dahak penderita TB Paru positif. Penularan terjadi melalui percikan dahak (droplet infection) saat penderita batuk, berbicara atau meludah. Bakteri TB Paru dari percikan tersebut melayang di udara, jika terhirup oleh orang lain akan masuk ke dalam sistem respirasi dan selanjutnya bakteri TB akan menyebar dari bagian paru-paru ke bagian tubuh lainnya, melalui peredaran darah, sistem saluran limpa, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke organ lainnya. (Suryo, 2010) d. Kebiasaan Kontak Dengan Penderita TB Paru Tabel 4 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Kontak dengan Penderita TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Responden Total Kebiasaan kontak dengan Kasus Kontrol penderita TB paru f % f % n % Berisiko 23 82.1 5 17.9 28 100,0 Tidak Berisiko 3 12.5 21 87.5 24 100,0 Jumlah 26 50,0 26 50,0 52 100,0 Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jumlah responden dengan kebiasaan berisiko pada kasus sebanyak 23 orang (82.1%) dan tidak berisiko pada kasus sebanyak 3 orang (12.5%). Pada kelompok kontrol kebiasaan berisiko sebanyak 5 orang (17.9%) dan tidak berisiko sebanyak 21 orang (87.5%). Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square didapatkan hasil P < 0,05 (P value= 0.000) yang berarti ada hubungan antara kebiasaan kontak dengan penderita dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung. Berdasarkan uji statistik diperoleh
bahwa nilai OR= 32.200 ini berarti responden yang melakukan kebiasaan kontak dengan penderita memiliki risiko 32.200 kali tertular penyakit TB paru dibandaingkan dengan responden yang tidak mengalami kontak dengan penderita TB paru. Penelitian yang dilakukan Rikha Nurul Pertiwi (2012) mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro bahwa hubungan kontak dengan penderita TB paru merupakan sebagai faktor risiko dengan menunjukkan nilai P < 0.05 (0.001) dan nilai OR >1. Penelitian lainnya yang dilakukan Slamet Rahardjo (2003) dalam Ruswanto (2010) bahwa kontak dengan penderita TB paru beresiko penularan terhadap kejadian TB paru sebesar 10.18 kali. Penderita tuberkulosis merupakan sumber utama penularan Bacillus tuberculosis.
Orang-orang
yang
kontak
dengan
penderita
secara
mikroskopis sputumnya positif mikobakteri Bacillus tuberculosis dan 2025
%
nya
telah
terinfeksi.
Penyebaran
dapat
dicegah
dengan
mempertahankan pengendalian udara yang cukup atau penyinaran ultraviolet, atau meminta penderita menutup hidung dan mulutnya bila batuk atau memakai masker sampai pulasan sputumnya dikonversi menjadi negatif dengan pengobatan. (Fitriatun, 2002) Analisis pada riwayat kontak dengan penderita TB paru serumah, tetangga ataupun di tempat Kerja yaitu penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang terdapat dalam paru-paru penderita, persebaran bakteri yang terdapat dalam paruparu penderita, persebaran bakteri tersebut di udara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB paru yang mengandung banyak sekali bakteri dapat dilihat dari mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat menular (Nurul, 2012)
e. Kebiasaan Membuka Jendela Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kebiasaan Membuka jendela di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Responden Total Kebiasaan Membuka Kasus Kontrol Jendela f % f % n % Berisiko 16 72.7 6 27.3 22 100,0 Tidak Berisiko
10 33.3 20 66.7 30 100,0 Jumlah 26 50,0 26 50,0 52 100,0 Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa jumlah responden dengan kebiasaan berisiko pada kasus sebanyak 16 orang (72.7%) dan tidak berisiko pada kasus sebanyak 10 orang (33.3%). Pada kelompok kontrol kebiasaan berisiko sebanyak 6 orang (27.3%) dan tidak berisiko sebanyak 20 orang (66.7%). Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square didapatkan hasil P < 0,05 (P value= 0.012) yang berarti ada hubungan antara kebiasaan membuka jendela terhadap kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung. Berdasarkan uji statistik diperoleh bahwa nilai OR= 5.333 ini berarti responden yang tidak melakukan kebiasaan menutup jendela memiliki risiko 5.333 kali tertular penyakit TB paru dibandingkan dengan individu yang biasa membuka jendela rumah. Penelitian yang dilakukan Rukmini (2010) menunjukkan bahwa kebiasaan membuka jendela yang dilakukan respondenya 77.1% dan yang menutup jendela rumahnya 22.9%, selain itu pada penelitian ini hanya melihat pengaruh kebiasaan membuka jendela rumah dengan kejadian TB paru. Jendela dibuka pada siang hari agar cahaya matahari dapat masuk dan udara dapat berputar sehingga akan memperkecil resiko penularan penyakit infeksi. Upaya memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ke timur. Luas jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10-20% dari luas lantai. Luas jendela melebihi 20% dapat menimbulkan kesilauan dan panas, sedangkan sebaliknya kalau terlalu kecil dapat menimbulkan suasana gelap dan pengap.
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi/pergantian udara dalam rumah serta
mengurangi
kelembaban.
Keringat
manusia
juga
dikenal
mempengaruhi kelembaban, semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi, karena uap air baik dari pernafasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruang tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibanding kelembaban diluar ruangan. Hal tersebut dapat dipahami, karena pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah, berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah. Kecepatan aliran udara penting untuk mempercepat pembersih udara ruangan. Kecepatan udara dikatakan sedang jika gerak udara 5-20 cm per detik atau pertukaran udara bersih antara 25-30 mf (cubic feet per minute) untuk setiap yang berada didalam ruangan (Arfiansyah, 2011). Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-sugiyarton7053-3-babii.pdf, diunduh pada tanggal 22 Mei 2014) KESIMPULAN a. Ada hubungan kebiasaan menggunakan alat makan bersama, kebiasaan kontak dengan penderita, kebiasaan membuka jendela terhadap kejadian Tuberkulosis paru. b. Tidak ada hubungan kebiasaan membuang dahak dan kebiasaan menutup mulut saat batuk/bersin terhadap kejadian Tuberkulosis paru. SARAN a. Bagi Puskesmas Cigeureung Meningkatkan upaya preventif dan promotif kepada masyarakat, karena diantaranya masih kurangnya pengetahuan, sehingga perilaku
masyarakat masih berisiko. Jumlah petugas yang kurang menyebabkan masyarakat kurang mengakses informasi kesehatan tuberkulosis paru. b. Bagi Masyarakat 1. Setiap orang wajib melaporkan secepatnya kepada petugas kesehatan jika anggota keluarga atau tetangga memiliki ciri-ciri terhadap penyakit TB paru, sehingga petugas akan cepat mengobati penderita. 2. Masyarakat harus menggunakan alat makan secara terpisah, membuang dahak pada tempatnya, membuka jendela rumah setiap pagi, menutup mulut saat batuk/bersin dan menjaga berkomunikasi dengan penderita TB paru c. Bagi Peneliti Lain Bagi peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian dengan mengetahui keberadaan bakteri di alat makan penderita dan mengetahui keberadaan bakteri di udara, sehingga penelitian selanjutnya dengan tema yang sama memiliki referensi yang jelas mengenai keberadaan bakteri DAFTAR PUSTAKA Fitriatun, 2002. Kondisi Rumah Sebagai Faktor Risiko Tuberkulosis Paru pada Balita yang Berkunjung di BP4 Semarang Tahun 2002. Program Pasca Sarjana. Universitas Dipenegoro Semarang Hiswani. 2004. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. e-USU Repository Http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-sugiyarton-7053-3babii.pdf diunduh pada Tanggal 22 Mei 2014 Laporan Monitoring Dan Evaluasi Program P2 Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya 2013 Media, Yulfira (2011) Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Tentang Penyakit Tuberkulosis (Tb) Paru Di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat. Litbang Kesehatan Nurul, Rikha (2011) hubungan antara karakteristik inividu, praktik higiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis paru di
kecamatan semarang utara. Pada Mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat (UNDIP) Rukmini (2010) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB paru dewasa di Indonesia, badan litkesbang kementrian kesehatan RI, Surabaya Ruswanto, Bambang (2010) Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Pada Mahasiswa pasca sarjana kesehatan masyarakat (UNDIP) Soemirat, juli (2010) Epidemiologi Lingkungan. Gadjah mada university press . Yogyakarta Sri, Deni Wahyuni (2012) Hubungan Kondisi Fisik Rumah Dan Karakteristik Individu Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif Di Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan. Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan (UMJ) Suryo, Joko (2010) Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernapasan. Bentang Pustaka. Yogyakarta.