HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SETU KOTA TANGERANG SELATAN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh: Laila Romlah NIM: 1111101000022
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT EPIDEMIOLOGI Skripsi, Juli 2015 Laila Romlah, NIM: 1111101000022
Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
xvii + 91 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 2 lampiran
ABSTRAK Pendahuluan: Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk. Proporsi suspek TB paru di Puskesmas Setu menurun dari 1,4% dengan kasus BTA Positif 9,1% pada tahun 2013 menjadi 0,8% dengan kasus BTA Positif 8,2% pada tahun 2014. TB paru dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko seperti merokok, IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat merokok dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan. Metode: Studi kasus kontrol dengan menggunakan telaah dokumen TB.06 dan TB.01 serta wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Kasus adalah pasien yang menderita TB paru BTA positif di wilayah kerja di Puskesmas Setu dari tahun 2012 sampai 2015 dan kontrol adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien. Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:3, 45 kasus dan 135 kontrol. Hasil: Sebagian besar kasus adalah perokok (42,2%). Pernah merokok (OR 3,44 95% CI 1,37-8,66), IMT kurang (3,47 95% CI 1,59-7,56) dan tidak sekolah wajib 9 tahun (OR 2,05 95% CI 1,03-4,07) merupakan faktor risiko TB paru. Sedangkan usia mulai merokok, umur dan pekerjaan bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru. Simpulan: Pernah merokok, IMT kurang dan tidak sekolah wajib 9 tahun merupakan faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, Merokok Daftar bacaan: 44 (2002-2015)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY Epidemiology Undergraduate Thesis, July 2015 Laila Romlah, NIM: 1111101000022
Smoking Relationship With Disease incidence of Tuberculosis in Puskesmas Setu South Tangerang City
xvii + 91 pages, 7 tables, 4 charts, 2 attachments
ABSTRACT Introduction: The prevalence of pulmonary tuberculosis globally is still high at 289 per 100,000 population. Proportion of pulmonary TB suspects in Puskesmas Setu decreased from 1.4% to 9.1% of cases of smear positive in 2013 to 0.8% with 8.2% of cases of smear positive pulmonary TB in 2014. Pulmonary TB is caused by several risk factors such as smoking, BMI, age, gender, education level and the type of work. This study aims to look at the incidence of smoking with pulmonary TB disease in the Puskesmas Setu South Tangerang City. Methods: Case-control studies using TB.06 and TB.01 document review and interviews using a structured questionnaire. Cases were patients with smear-positive pulmonary TB in the region Setu working in health centers from 2012 to 2015 and the controls are the families of patients who live at home with the patient. Comparison of cases and controls was 1: 3, 45 cases and 135 controls. Results: Most of the cases were smokers (42.2%). Never smoked (OR 3.44 95% CI 1.37 to 8.66), BMI less (3.47 95% CI 1.59 to 7.56) and 9year compulsory school (OR 2.05 95% CI 1.03 to 4.07) is a risk factor for pulmonary tuberculosis. While age start smoking, age and occupation is protection against pulmonary TB incidence. Conclusion: Never smoked, BMI less and not compulsory nine-year school is a risk factor for pulmonary tuberculosis in Puskesmas Setu, South Tangerang City.
Keywords: Tuberculosis, Smoking Reading list: 44 (2002-2015)
iv
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi Nama
: Laila Romlah
Tempat, Tamggal Lahir
: Bogor, 1 Maret 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Pemuda No. 15 RT 03/07 Pengasinan Gunung Sindur Bogor 16340
Telp/Hp
: 08567265854
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Islam
Status
: Belum menikah
Email
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1998-1999
: TK Al Khoiriyah
1999-2005
: SDN Puspiptek
2005-2008
: SMP Latansa
2008-2011
: MAN Serpong
2011-sekarang
: S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi
viii
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Pengalaman Organisasi 2012
: Staf
Departemen
Kemahasiswaan
Badan
Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. 2013
: Staf
Departemen
Mahasiswa
Kemahasiswaan
Jurusan
Kesehatan
Badan
Masyarakat
Eksekutif Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.. 2012-2014 : Anggota Paduan Suara Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan 2013-2014 : Staf
Departemen
Pengembanagan
Sosial
Epidemiology
Student Association (ESA)
D. Pengalaman Kepanitiaan 2012
: Anggota Devisi Acara Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2012
: Anggota Devisi Acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
ix
2013
: Koordinator Acara Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2013
: Anggota Devisi Acara Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
2013
: Koordinator Acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2014
: Anggota Devisi Acara Seminar Profesi Peminatan Epidemiologi.
E. Pengalaman Penelitian 2013
: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di Kebon Kopi RT 03/07 Pengasinan Gunung Sindur Bogor Tahun 2013.
2013
: Pengorganisasian
dan
Pengembangan
Masyarakat
Terhadap
Masalah Banjir di Kampung Sumur BOR RT 004 RW 012 Kalideres Jakarta Barat. 2013
: Praktik Surveilans Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Suku Dinas Kesehatan Kota Jakarta Selatan Tahun 2013
2014
: Gambaran
Pengetahuan,
Sikap
dan
Perilaku
Ibu
Terkait
Kelengkapan dan Ketepatan Pemberian Imunisasi Dasar Pada Anak Usia 9-60 Bulan di Kelurahan Kedaung, Kecamatan Pamulang
x
Tahun 2013. 2014
: Gambaran Jarak Absolut dan Jangkauan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas dan Posyandu) Terhadap Gizi Buruk dan Gizi Kurang Berdasarkan Faktor Risiko Secara Spasial di Kelurahan Bakti Jaya, Muncul dan Keranggan, Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.
2014
: Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada Balita di Kelurahan Bakti Jaya, Muncul dan Keranggan, Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2014 (Pendekatan One Health).
2014
: Masalah
Kesehatan
Reproduksi
Perempuan
dan
Pencarian
Pengobatan Pada Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014. 2014
: Program Pengendalian Penyakit Campak di Dinas Kesehatan Kota Depok Tahun 2014 (Gambaran Pelaksanaan Surveilans Campak.
F. Pengalaman Kerja 2012
: Paduan Suara di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
2013
: Praktek Belajar Lapangan I di Kelurahan Buaran, Kota Tangerang Selatan
2013
: Praktek Belajar Lapangan II di Kelurahan Buaran, Kota Tangerang Selatan
xi
2014
: Praktek Orientasi Kerja Program DBD di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan
2013
: Master of Ceremony Sumpah Dokter, Sumpah Ners, Pelepasan
–
Wisuda dan Yudisium di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
2015
Kesehatan
Demikian Curriculum Vitae ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta, Juli 2015
Laila Romlah
xii
Dengan rasa syukur kepada Allah Yang Maha Esa, ku persembahkan tulisan sederhana ini: Untuk Almarhumah Ibuku tercinta Hj. Siti Umayah “Terima kasihku atas kasih sayang seorang ibu yang hebat sepertimu,,,” Untuk setiap tetes keringat dan letih Bapak yang tiada pernah terhitung untukku,,, Untuk setiap kasih sayang yang tulus kakak-kakak dan adikku untukku,,, Untuk setiap dukungan penuh yang “kamu” berikan di setiap hariku,,,
xiii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul Hubungan Merokok dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada: 1. Kedua orang tua dankeluarga yang telah memberikan dukungan penuh dan motivasi serta do’a yang tiada henti. 2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakulats dan Kedokteran Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Prodi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Hoirun Nisa M.Kes., Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah sabar dalam memberikan arahan serta bimbingannya. 5. Bapak dr. Yuli Prapancha Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang telah sabar dalam memberikan arahan serta bimbingannya.
xiv
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di salah satu Puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 7. Kepala Puskesmas Setu yang telah memberikan izin penelitian dan pengambilan data di wilayah kerja Puskesmas Setu. 8. Seluruh teman-teman peminatan Epidemiologi 2011 yang selalu memberikan semangat dan bantuannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat menyelesaikan skripsi yang lebih baik lagi. Semoga dengan disusunnya skripsi ini akan memberikan manfaat bagi banyak pihak, khususnya penulis serta pembaca.
Jakarta,
Juli 2015
Laila Romlah
xv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................................
i
ABSTRAK ....................................................................................................................
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ..............................................................................
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
vi
PERSEMBAHAN .........................................................................................................
xi
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
xii
DAFTAR ISI .................................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................
xvii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................................
xviii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................
5
C. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................
6
D. Tujuan Penelitian ..................................................................................................
7
E. Manfaat Penelitian ................................................................................................
8
F. Ruang Lingkup ......................................................................................................
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
10
A. Definisi TB ...........................................................................................................
10
B. Etiologi TB Paru ...................................................................................................
10
C. Cara Penularan TB Paru .......................................................................................
11
xvi
D. Gejala TB Paru .....................................................................................................
13
E. Epidemiologi TB Paru ..........................................................................................
13
F. Faktor Risiko TB Paru ..........................................................................................
16
G. Kerangka Teori .....................................................................................................
40
BAB
III
KERANGKA
KONSEP,
DEFINISI
OPERASIONAL
DAN
HIPOTESIS ..................................................................................................................
41
A. Kerangka Konsep .................................................................................................
41
B. Definisi Operasional .............................................................................................
45
C. Hipotesis ...............................................................................................................
47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................
48
A. Desain Penelitian ..................................................................................................
48
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................
48
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................
48
D. Metode dan Instrumen Penelitian Pengumpulan Data .........................................
53
F. Pengumpulan Data ................................................................................................
54
G. Pengolahan Data ...................................................................................................
55
H. Analisis Data ........................................................................................................
56
BAB V HASIL ..............................................................................................................
59
A. Gambaran Umum Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ...............................
59
B. Proporsi Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ................................................................................................
61
xvii
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ................................................................................................
63
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ........................................................................................
64
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................................
67
A. Keterbatasan Penelitian ........................................................................................
67
B. Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ...........................
68
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ...................................................................................................................
77
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ...................................................................................................................
82
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
84
A. Simpulan ...............................................................................................................
84
B. Saran .....................................................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
88
LAMPIRAN ..................................................................................................................
92
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa ..............................
28
Tabel 2 Definisi Operasional .........................................................................................
45
Tabel 3 Besar Sampel .....................................................................................................
51
Tabel 4 Pengkodean Data ...............................................................................................
55
Tabel 5 Distribusi Faktor Risiko Kejadian TB Paru Kasus dan Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan .............................................
61
Tabel 6 Merokok dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ............................................................................................
63
Tabel 7 Karakteristik dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ...................................................................................
65
xix
DAFTAR BAGAN Bagan 1 FaktoR Risiko Kerangka Teori Kejadian Penyakit TB Paru ...........................
16
Bagan 2 Kerangka Teori Kejadian Penyakit TB Paru ...................................................
40
Bagan 3 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................................
41
Bagan 4 Alur Pengambilan Sampel ...............................................................................
52
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa tuberkulosis paru (TB paru) merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan (Kemenkes, 2011). Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Angka prevalensi TB paru pada tahun 2008 di negara-negara anggota Association of Southest Asian Nation (ASEAN) berkisar antara 27 sampai 680 per 100.000 penduduk. Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB paru 210 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2010). Global Report WHO tahun 2010 melaporkan total seluruh kasus TB paru tahun 2009 di Indonesia sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TB paru baru Basil Tahan Asam positif (BTA positif) (PPTI, 2012). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan bahwa proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61% di tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012). Angka kejadian TB paru menyumbang terhadap tingginya angka kematian di Indonesia. Berdasarkan laporan pusat data dan surveilans epidemiologi Indonesia diketahui bahwa setiap tahun terdapat 8 juta kasus
2
baru penderita TB paru dan angka kematian TB paru sekitar 3 juta orang setiap tahunnya. Sekitar 75% penderita TB paru adalah kelompok umur yang produktif (15-50 tahun). Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20%-30%. Jika penderita TB paru meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Kemenkes, 2010). Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan umur cenderung meningkat dimana umur terbanyak pada kelompok umur lebih dari 64 tahun (prevalensi=0,8%) (Riskesdas, 2013). Perbedaan hasil berdasarkan kelompok umur ini kemungkinan terjadi karena metode pengumpulan data dan sumber data. Data laporan pusat data dan surveilans epidemiologi Indonesia didapatkan dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia, sedangkan data Riskesdas 2013 didapatkan dari komunitas. Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan jenis kelamin sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi=0,4%) (Riskesdas, 2013). Berdasarkan tingkat pendidikan, kebanyakan penderita TB paru berpendidikan rendah dan sebagian besar tidak bekerja (Riskesdas, 2013). Proporsi kasus baru BTA positif menurut jenis kelamin di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2008 tidak banyak berubah, laki-laki berkisar 5759% dan perempuan 40-43% (Depkes, 2008). Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi umur responden TB paru diatas 45 tahun (69,8 %) lebih besar dari usia antara
3
15-45 tahun (37,7 %) baik pada kasus maupun kontrol, proporsi pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1% dan proporsi kelompok TB paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 %. Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol. Penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 berjumlah 1.411.765 jiwa, memiliki 25 Puskesmas yang seluruhnya telah melaksanakan Program TB paru Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang melayani dan menangani penderita TB. Pada tahun 2012 penderita TB paru ditemukan sebanyak 7.151 suspek TB, 1.889 pasien TB paru di obati, 841 kasus TB paru baru BTA positif dan 953 kasus TB paru BTA negatif rontgen positif. (Dinkes Tangsel, 2013). Puskesmas Setu merupakan salah satu Puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan melaporkan bahwa TB paru BTA Positif pada tahun 2012 adalah 17 kasus (Puskesmas Setu, 2012). Proporsi kasus suspect TB paru tahun 2013 adalah 1,4% dengan kasus BTA Positif sebanyak 9,1% (Puskesmas Setu, 2013). Sedangkan proporsi kasus suspect TB paru pada tahun 2014 mengalami penurunan kasus, yaitu sebanyak 0,8% dengan kasus BTA Positif sebanyak 8,2% (Puskesmas Setu, 2014). Target program penanggulangan TB paru di Dinas Kota Tangerang Selatan dalam penemuan kasus sebesar 1% dari jumlah penduduk dan 10%
4
akan menjadi TB paru BTA positif. Namun pada kenyataannya, penemuan kasus di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan mengalami penurunan dari 1,4% di tahun 2013 menjadi 0,8% di tahun 2014. Hal ini yang menyebabkan Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan mendapat rapot merah dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan di tahun 2014. TB paru merupakan penyakit dengan beberapa faktor risiko, salah satu faktor risikonya adalah merokok. Penelitian yang dilakukan di India (Kolappan, 2002) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak merokok. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia (Rusnoto, 2008) dengan desain yang sama melaporkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar bersiko terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Hasil penelitian lain yang dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005) dengan desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok memiliki risiko 1,99 kali lebih besar berisiko terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong (Leung, 2008) dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali lebih tinggi berisiko terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kuwait (Abal, 2004) dengan
desain
kohort
melaporkan
mempengaruhi konversi BTA TB paru.
bahwa
merokok
tidak
berisiko
5
Faktor lain yang mempengaruhi TB adalah Indeks Masa Tubuh (IMT) (Ruswanto, 2010). Penelitian yang dilakukan di Indonesia (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Berdasarkan pemaparan di atas, secara umum perokok ternyata lebih sering mengalami penyakit TB paru dan kebiasaan merokok memegang peran penting sebagai faktor risiko penyebab penyakit TB paru. Sampai saat ini di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan belum ada penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan TB paru. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan merokok dengan TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.
B. Rumusan Masalah Target program penanggulangan TB paru di Dinas Kota Tangerang Selatan dalam penemuan kasus sebesar 1% dari jumlah penduduk dan 10% akan menjadi TB paru BTA positif. Penemuan kasus di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan mengalami penurunan dari 1,4% di tahun 2013 menjadi 0,8% di tahun 2014. Hal ini yang menyebabkan Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan mendapat rapot merah dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan di tahun 2014. Salah satu risiko terjadinya penyakit TB adalah merokok. Beberapa penelitian menemukan bahwa rokok berisiko
6
menyebabkan TB. Namun, sampai saat ini belum adanya penelitian terkait hubungan antara merokok dengan penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Sehingga, perlu dilakukan penelitian secara khusus terkait hubungan antara merokok dengan penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana proporsi merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kasus dan kontrol di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan? 2. Bagaimana hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan? 3. Bagaimana hubungan karakteristik individu (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan?
7
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya hubungan merokok dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya proporsi merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kasus dan kontrol di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan. b. Diketahuinya hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan. c. Diketahuinya hubungan karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan IMT) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.
8
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan Program Pengendalian TB paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
2. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terutama dalam peningkatan edukasi dan promosi kesehatan pada masyarakat terkait faktor risiko kejadian penyakit TB.
3. Peneliti selanjutnya Sebagai bahan referensi terkait studi Epidemiologi mengenai faktor risiko kejadian penyakit TB paru.
4. Masyarakat Menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian penyakit TB paru khususnya pada penderita TB paru di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
9
F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi analitik dengan desain kasus kontrol untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan data dari Laporan penderita TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015. Analisis yang akan digunakan adalah analisis univariat dan bivariat. Penelitian ini juga mempertimbangkan beberapa variabel yang menjadi faktor risiko TB paru yaitu IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei tahun 2015.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi TB Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacteria Tuberkulosis) termasuk dalam family Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Mycobacteria Tuberkulosis masih keluarga besar genus Mycobacterium. Berdasarkan beberapa kompleks tersebut, Mycobacteria Tuberkulosis merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai (Kemenkes, 2011). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya, namun yang paling sering terkena adalah organ paru (90%) (Suarni, 2009). Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru (Depkes, 2002).
B. Etiologi TB Paru Penyebab TB paru adalah kuman Mycobacteria Tuberkulosis, yang berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu, disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
11
jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002). Apabila seseorang telah terinfeksi kuman TB paru, namun belum menjadi sakit maka tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit, diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes, 2008). Kuman ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif melalui batuk, bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of TB Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB paru selama satu tahun (Suarni, 2009).
C. Cara Penularan TB Paru Cara penularan TB paru melalui percikan dahak (droplet). Sumber penularan adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi, jika
12
droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB paru masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kuman TB paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes, 2011). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011). Risiko penularan setiap tahun Annual Risk of Tuberkulosis Infection (ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi, kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Kemenkes, 2011).
13
D. Gejala TB Paru Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan demam meriang lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2011). Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes, 2011).
E. Epidemiologi TB Paru TB paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Angka prevalensi TB paru pada tahun 2008 di negara-negara anggota ASEAN berkisar antara 27 sampai 680 per 100.000 penduduk. Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB paru 210 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2010). Global Report WHO tahun 2010 melaporkan total seluruh kasus TB tahun 2009 di Indonesia sebanyak 29.4731 kasus, dimana 16.9213 adalah kasus TB baru BTA positif (PPTI, 2012). Hasil survey prevalensi TB paru di
14
Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB paru BTA positif secara Nasional adalah 110 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Sedangkan, Kemenkes melaporkan bahwa proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61% di tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012). Epidemiologi penyakit TB paru adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium Tuberkulosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu, mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Achmadi, 2005). Pada penyakit TB paru, sumber infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan melalui droplet. Kerentanan penderita TB paru meliputi risiko memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk,
15
keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (Machfoedz, 2008). Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan
status
immunologik
serta
penyakit
yang
menyertainya.
Epidemiologi TB paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada penyakit ini, yaitu (Aditama, 2002): 1. Penyebaran atau penularan dari kuman TB. 2. Perkembangan dari kuman TB yang mampu menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman TB. 3. Perkembangan lanjut dari kuman TB sampai penderita sembuh atau meninggal karena penyakit ini.
16
F. Faktor Risiko TB Paru Faktor risiko kejadian TB paru, secara ringkas digambarkan pada bagan berikut: Bagan 1 Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru Transmisi Jumlah kasus TB BTA+ Faktor lingkungan: • Ventilasi • Kepadatan • Dalam ruangan Faktor Perilaku
Risiko menjadi TB bila dengan HIV: • 5-10% setiap tahun • > 30% lifetime
HIV (+)
SEMBUH
PAJANAN
INFEKSI
TB MATI
10% Konsentrasi kuman Lama kontak • Malnutrisi • Penyakit DM, Immuno-supresan
• Keterlambatan diagnosis dan pengobatan • Tatalaksana tak memadai • Kondisi kesehatan
Sumber: Kemenkes, 2011
Berdasarkan bagan di atas diketahui bahwa terdapat beberapa faktor risiko kejadian TB paru, diantaranya: 1. Jumlah Kasus TB BTA + Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
17
dahak. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2011). Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).
2. Faktor Lingkungan Ada beberapa faktor lingkungan yang berisiko terjadinya TB paru, di antaranya: a. Kepadatan Hunian Rumah Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah
18
dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis dalam Ruswanto, 2010). Secara
umum
penilaian
kepadatan
penghuni
dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9 m² per orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang (Lubis dalam Ruswanto, 2010). Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang tinggal pada rumah dengan kepadatan hunian < 9m2/org berisiko 5,983 kali lebih besar untuk menderita TB dibandingkan dengan orang yang tinggal pada rumah dengan tingkat kepadatan hunian > 9m2/org. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Rumah etnis Timor (Naben, 2013) melaporkan bahwa orang yang tinggal pada rumah dengan kepadatan hunian <9m2/org berisiko 9,2 kali lebih besar untuk menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tinggal pada rumah dengan tingkat kepadatan hunian > 9m2/org.
19
b. Pencahayaan Alami Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca. Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman TB. Jendela luasnya sekurang-kurangnya 15%-20%. Fungsi jendela disini selain sebagai ventilasi, juga
sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan
masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca (Machfoedz, 2008). Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari. Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul (Adnani, 2006) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa penduduk yang tinggal pada rumah dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko TB paru 9 kali lebih tinggi menderita TB paru dibandingkan dengan penduduk yang tinggal pada rumah dengan pencahayaan memenuhi syarat kesehatan baik pada kasus maupun kontrol.
20
c. Ventilasi Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan
dan
menyehatkan
manusia
(Lubis,
2002).
Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu ventilasi alam (jendela, pintu dan lubang angina) dan ventilasi buatan kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner)) (Machfoedz, 2008). Rumah yang cukup sehat sebaiknya harus mempunyai jalan masuk yang cukup. Jendela luasnya sekurangkurangnya 15%-20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain (Machfoedz, 2008).
d. Suhu Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20ºC -30ºC dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 30 ºC (Ruswanto, 2010). Mycobacterium Tuberkulosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 250C-400C, akan tetapi bakteri
21
ini tumbuh secara optimal pada suhu 310C-370C (Kurniasari, 2012; Ruswanto, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008) melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu ruang tidur tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,6 lebih besar menderita sakit TB paru daripada seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu ruang tidur memenuhi syarat
e. Jenis lantai Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya dan dapat menjadi media penular kuman TB. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen, atau keramik (Asih, 1995). Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul (Adnani, 2006) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan berisiko 3-4 kali lebih besar menderita TB paru dibanding pada
22
penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya memenuhi syarat kesehatan baik pada kasus maupun kontrol.
f. Kelembaban Pengukuran menggunakan
tingkat hygrometer.
kelembaban Menurut
udara
dalam
indikator
rumah
pengawasan
perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Asih, 1995). Kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan mendukung kehidupan kuman TB. Apabila kelembaban tinggi dalam suatu rumah, maka kuman TB dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik sehingga menjadi mata rantai penularan TB paru (Naben, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008) dengan melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban udara tidak memenuhi syarat berisiko 4,2 kali lebih besar menderita TB paru daripada seseorang yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban udara memenuhi syarat.
23
3. Faktor Perilaku Sebelum membahas faktor perilaku, maka akan dibahas karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi individu: a. Umur Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada kejadian TB paru. Risiko untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang umur tua. Infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi TB paru biasanya mengenai umur dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok kasus paling banyak terdapat pada kelompok umur 11-55 tahun (71,1%). Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB paru, yaitu: 1) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita.
24
2) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,
perkembangan
fisik-mental
dan
momen
kehamilan pada perempuan. 3) Puncak sedang pada umur lanjut.
b. Jenis Kelamin Laki-laki lebih umum terkena, kecuali pada perempuan dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Risiko TB paru terutama menyerang lakilaki. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010). Distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%) (Riskesdas, 2013). Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol.
25
c. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang
diantaranya
mengenai
rumah
yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010). Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1%.
d. Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu
paparan
partikel
debu
di
daerah
terpapar
akan
mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan
kronis
udara
yang
tercemar
dapat
meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan
26
dan umumnya TB paru (Ruswanto, 2010). Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak bekerja yaitu sebesar 11,7%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi kelompok TB paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 % lebih besar dari pada kelompok bukan TB paru.
Setelah mengetahui karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi individu, berikut adalah faktor perilaku yang menjadi faktor risiko TB paru: a. Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB aktif). Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes, 2011).
27
b. Status Gizi Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB, tentu saja hal ini masih tergantung variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman TB pada paru. Seperti diketahui kuman TB merupakan kuman yang suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit TB (Ruswanto, 2010). Salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena TB paru. Cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa, 2001). IMT mencerminkan tinggi badan, berat badan dan status gizi seseorang. Kategori IMT pada orang dewasa adalah sebagai berikut:
28
Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa Kategori Keterangan Underweight <18,5 kg/m2 Normal 18,5-24,9 kg/m2 Overweight 25-29,9 kg/m2 Obesitas >30kg/m2
Sumber : (IOM dan NRC, 2009)
Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:
IMT
Berat Badan (Kg) = ------------------------------------------------------Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007). Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT
29
kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang sama melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki status gizi baik.
c. Status Imunisasi BCG Status imunisasi BCG mempengaruhi kejadian TB. Tujuan atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat, seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008). Hal ini dikarenakan bayi atau anak masih rentan terinfeksi Mycobacterium Tuberkulosis penyebab penyakit TB, akibat adanya kontak dengan penderita TB yang ada di sekitarnya, seperti: orang tua, keluarga, pengasuh, dan lain sebagainya (Setiarini, 2008). Berdasarkan yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi penderita TB paru tertinggi terdapat pada orang yang tidak diimunisasi yaitu sebesar 69,6%.
30
d. Merokok Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rokok adalah gulungan tembakau kira-kira sebesar kelingking yang dibungkus daun nipah atau kertas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan yang Mengadung Zat Adiktif berupa produk tembakau mendefiniskan rokok salah satu produk tembakau yang dibakar, dihisap, dan dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu, atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana rustica, Nicotiana tabacum, dan spesies lainnya (Kemenkes, 2012). Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah nikotin, tar, karbon monoksida (CO), timah hitam dan lain-lain (Kemenkes, 2012). Berikut penjelasannya (Kemenkes, 2012): 1) Nikotin Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Nikotin bersifat sangat adiktif dan beracun, tidak berwarna. Nikotin yang dihirup dari asap rokok masuk ke paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah kemudian masuk ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10 detik. Nikotin merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia
31
yang mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti adrenalin, dopamine dan insulin sehingga membuat sensasi yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini hanya berlangsung seketika. Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang mematikan. Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia sekitar 60 mg. Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok. Hal ini dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah.
32
2) Tar Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Sejenis cairan berwarna coklat tua atau hitam yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru sehingga dapat membuat warna gigi dan kuku seorang perokok menjadi coklat, begitu juga di paru-paru. Tar yang ada dalam asap rokok menyebabkan kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Tar dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi B-
33
limposit
membawa
imunoglobulin.
Secara
kepada ringkas
menurunnya tar
dapat
produksi
menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paruparu.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008).
3) Karbon Monoksida (CO) Karbon Monoksida adalah suatu zat beracun yang sifatnya tidak berwarna dan tidak berbau. Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3%-6% dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan).
34
Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana. Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru) (Kemenkes, 2012).
4) Timah Hitam Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu batang rokok yang diisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari.
Perokok dapat dibagi menjadi beberapa golongan tergantung pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Berikut adalah golongan atau klasifikasi perokok yaitu (Kemenkes, 2012): 1) Tidak merokok 2) Merokok ringan (tidak setiap hari) 3) Merokok sedang (merokok setiap hari dalam jangka kecil) 4) Merokok berat (merokok lebih dari satu bungkus tiap hari)
35
5) Berhenti merokok/pernah merokok.
Berikut adalah jenis perokok yaitu (Kemenkes, 2012): 1) Perokok ringan (1-10 batang perhari) 2) Perokok sedang (11-20 batang perhari) 3) Perokok berat (lebih dari 20 batang perhari)
Rokok dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (CDC, 2013): 1) Rokok Kretek Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya.
2) Rokok Putih Rokok putih adalah jenis rokok yang diartikan sebagai rokok tanpa campuran cengkeh seperti pada rokok kretek. Rokok putih memiliki filter di ujung batang rokok. Rokok putih atau seringkali disebut dengan rokok mild merupakan salah satu dari produk olahan tembakau. Rokok ini memiliki kandungan tar dan nikotin yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok kretek dan rokok pada umumnya.
36
3) Rokok Linting atau Cerutu Rokok
linting
atau
cerutu
dalah
gulungan
utuh
daun tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan, yang mirip dengan rokok, salah satu ujungnya dibakar dan asapnya dihisap oleh mulut melalui ujung lainnya. Rokok ini dianggap kurang berbahaya oleh masyarakat oleh karena bentuknya kecil dan memiliki rasa yang menarik untuk anak-anak. Tetapi, cerutu ini memiliki bahaya yang sama seperti rokok. Cerutu ini dapat menimbulkan gangguan pernafasan bahkan kanker.
Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C untuk ujung rokok yang dibakar dan 300C utnuk ujung rokok yang terselip diantara bibir perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus masuk ke dalam
rongga
mulut
merupakan
rangsangan
panas
yang
menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya rongga mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri (Kemenkes, 2012).
37
Janson menyebutkan bahwa pajanan asap rokok dapat berisiko mengakibatkan penurunan aktivitas mukosiliar epitel, penurunan bersihan partikel asing oleh epital, dan abnormalitas permeabilitas vaskular, dapat meningkatkan risiko seseorang terinfeksi TB (PPTI, 2004). Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) menunjukkan bahwa pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama pajanan asap sekunder atau secondhand smoke (asap yang dikeluarkan dari mulut perokok). Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan umur muda. Kematian anak-anak akibat TB paru pada 1 dari 5 orang terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok orang tua di dekat anaknya. Kematian dan kekambuhan TB berhubungan dengan jumlah serta lama merokok pada penderita TB sehingga program berhenti merokok perlu ditekankan pada penderita TB (PPTI, 2004). Beberapa penelitian menemukan bahwa rokok berisiko TB paru. Penelitian yang dilakukan di India (Kolappan, 2002) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak merokok, orang yang merokok > 20 batang per hari 3,68 kali lebih besar berisiko terkena TB paru
38
dibanding orang yang tidak merokok dan perokok dengan > 20 tahun 3,23 kali lebih besar berisiko terkena TB paru dibanding orang yang tidak merokok. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan di India (Gambhir, 2010) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok memiliki risiko 3,53 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok dan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005) dengan desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok memiliki risiko 1,99 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok dan orang yang merokok lebih dari 15 bungkus/tahun memiliki risiko tertinggi sebesar 1,90 kali. Penelitian yang dilakukan di Hongkong (Leung, 2008) dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali lebih tinggi terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kuwait (Abal, 2004) dengan desain Kohort melaporkan bahwa merokok tidak berisiko mempengaruhi konversi BTA TB paru.
39
Penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol diperoleh hasil bahwa perokok yang memiliki durasi merokok > 10 tahun memiliki risiko 2,96 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok, orang-orang yang merokok > 10 batang/hari memiliki risiko 3,98 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan orang-orang yang merokok > 3 hari/minggu memiliki risiko 2,68 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan non perokok.
40
G. Kerangka Teori Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat digambarkan dalam bentuk gambar kerangka teori faktor risiko kejadian penyakit TB paru. Kerangka teori dimodifikasi dari Pedoman Pengendalian TB Paru tahun 2011: Bagan 2 Kerangka Teori Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru Transmisi Jumlah kasus TB BTA+ Faktor lingkungan: • Kepadatan hunian • Pencahayaan alami • Ventilasi • Suhu • Jenis lantai • Kelembaban
Faktor Perilaku • Penyakit HIV • Status gizi • Imunisasi BCG • Rokok
Karakteristik Individu • Umur • Jenis kelamin • Tingkat pendidikan • Jenis pekerjaan • Status merokok • Usia mulai merokok • Jumlah rokok • Lama rokok • Jenis rokok
Imunitas Tubuh • SEMBUH PAJANAN (Kuman TB)
INFEKSI
TB MATI
10%
( Konsentrasi kuman Lama kontak
• Malnutrisi
• Keterlambatan diagnosis dan pengobatan • Tatalaksana tak memadai • Kondisi kesehatan
Sumber: (Asih, 1995; Notoatmodjo, 2007; Eisner, 2008; Setiarini, 2008; Mahfoedz, 2008; Rusnoto, 2010; Ruswanto, 2010; Kemenkes, 2011; Kemenkes, 2012)
41
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep Berikut ini adalah kerangka konsep dalam penelitian ini: Bagan 3 Kerangka Konsep Penelitian 1. Merokok a. Status merokok b. Usia mulai merokok c. Jumlah rokok yang dihisap d. Lama merokok e. Jenis rokok
1. 2. 3. 4. 5.
Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru
IMT Umur Jenis kelamin Tingkat pendidikan Jenis pekerjaan
Kerangka konsep atau kerangka pikir merupakan bagian dari kerangka teori yang akan diteliti untuk mendeskripsikan secara jelas variabel yang diteliti (variabel dependen) dan variabel faktornya (variabel independen) (Kemenkes, 2012). Konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung sehingga harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel (Notoatmodjo, 2010).
42
Variabel dependen yang akan diteliti adalah penyakit TB paru. Variabel independen yang akan diteliti adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, umur mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, IMT dan kepadatan hunian rumah. Ada beberapa variabel independen yang tidak diteliti. Adapun alasannya adalah sebagai berikut: 1. Status imunisasi BCG Tujuan atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat, seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008), namun subjek pada penelitian ini adalah responden yang berumur diatas 17 tahun dan variabel ini sulit untuk diteliti karena tidak adanya buku KMS.
2. Kelembaban Kelembaban adalah kelembaban udara dalam kamar responden yang dihitung dalam persentase kandungan jumlah air dalam ruangan dengan menggunakan alat hygrometer. Pengukuran biasanya dilakukan jam 09.00-12.00. Variabel ini tidak diteliti karena kelembaban ruangan harus diukur langsung, sedangkan penelitian ini bersifat retrosfektif pada saat responden terdiagnosis TB paru.
43
3. Ventilasi Ventilasi adalah ventilasi alami pada ruang tidur responden baik ventilasi tetap maupun variabel, yang dapat menciptakan suasana pertukaran udara sehingga ruangan menjadi menyenangkan dan menyehatkan dan diukur dengan mengukur perbandingan luas ventilasi dan luas lantai dengan menggunakan roll meter. Variabel ini tidak diteliti karena ventilasi rumah harus diukur langsung dan sulit dilakukan.
4. Pencahayaan alami Pencahayaan adalah pencahayaan alami rumah yang bersumber dari matahari pagi yang memungkinkan matahari masuk melalui lubang angin, jendela, genteng kaca, dan pintu kedalam rumah, yang diukur dengan menggunakan alat luxmeter pada pukul 09.00–12.00. Variabel ini tidak diteliti karena pencahayaan ruangan harus diukur langsung dan sulit dilakukan.
5. Suhu Suhu diukur menggunakan termometer ruangan dengan megukur secara langsung, sedangkan penelitian ini bersifat retrosfektif pada saat responden terdiagnosis TB paru.
44
6. Jenis lantai Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, namun pada penelitian ini tidak diteliti, karena masyarakat di di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan tidak ada lagi yang menggunakan lantai tanah.
7. Kepadatan penghuni rumah Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Dalam penelitian ini variabel kepadatan penghunian rumah tidak diteliti, karena keadaan rumah saat responden terdiagnosis TB paru dengan saat berbeda.
45
B. Definisi Operasional Tabel 2 Definisi Operasional No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur dan Alat Ukur
1.
Kasus Penyakit TB Paru
Penderita yang dinyatakan TB paru BTA Positif oleh Puskesmas dan tercatat di formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012, 2013, 2014 dan 2015 Pernah atau tidaknya responden menghisap rokok sebelum dan sampai terdiagnosis TB paru BTA positif. Usia responden mulai merokok
Telaah dokumen Formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01)
2.
Status merokok
3.
Usia mulai merokok
4.
Jumlah rokok yang dihisap
Banyaknya batang rokok yang dihasap dalam sehari
5.
Lama merokok
Lamanya responden merokok
6.
Jenis rokok
Jenis rokok yang dihasap responden setiap kali merokok
Hasil Ukur
1. Bukan penderita TB 2. Penderita TB paru BTA Positif
Skala
Ordinal
Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
1. Tidak merokok 2. Pernah merokok 3. Merokok
Ordinal
Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
1. > 20 tahun 2. 10-19 tahun
Ordinal
1. 1-12 batang 2. > 13 batang
Ordinal
1. 1-15 tahun 2. > 16 tahun
Ordinal
1. Rokok putih 2. Rokok kretek
Ordinal
46
7.
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Kondisi berat badan responden dibagi dengan tinggi badan, pada saat terdiagnosis TB paru BTA Positif.
Telaah dokumen Kartu pengobatan pasien TB (TB.01)
8.
Umur
Umur responden pada saat terdiagnosis TB paru BTA Positif.
9.
Jenis Kelamin
Pembagian jenis seksual yang ditentukan secara biologis dan anatomis yang dinyatakan dalam jenis kelamin laki-laki atau jenis kelamin perempuan.
10.
Tingkat pendidikan
11.
Pekerjaan
Tingkat pendidikan formal terakhir yang diselesaikan oleh responden saat terdiagnosis TB paru BTA Positif. Kegiatan responden yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga saat terdiagnosis TB paru BTA Positif.
Telaah dokumen Formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01) Telaah dokumen Formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01) Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
Wawancara terstruktur menggunakan kuesioner
1. Normal (18,524,9 kg/m2) 2. Kurang (< 18,5 kg/m2) 3. Lebih (> 25 kg/m2) 1. > 56 tahun 2. 17-55 tahun
Ordinal
1. Perempuan 2. Laki-laki
Nominal
1. Sekolah wajib 9 tahun 2. Tidak sekolah wajib 9 tahun
Ordinal
1. Bekerja 2. Tidak bekerja
Ordinal
Ordinal
47
C. Hipotesis Hasil penelitian yang akan diharapkan oleh peneliti adalah: 1. Karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) berisiko terhadap kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan. 2. Merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok) berisiko terhadap kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selat
48
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain kasus kontrol. Penelitian dengan disain studi kasus kontrol bertujuan untuk melihat proprorsi variabel merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kelompok kasus maupun kontrol serta melihat hubungan antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.
B. Lokasi Dan Waktu Dan Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan pada bulan April-Mei tahun 2015.
C. Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru BTA positif yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan dan tercatat di formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun
49
2012 sampai 2015. Adapun sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok kasus dan kontrol dimana kelompok kasus merupakan pasien yang menderita TB paru BTA positif dan berdomisili di wilayah kerja di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015, sedangkan kelompok kontrol adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien dan tidak menderita TB paru pada tahun dimana pasien telah terdiagnosa TB paru BTA positif. Selain itu, penentuan populasi penelitian yang dapat diteliti (eligible population) adalah responden telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus diantaranya adalah: 1. Kriteria inklusi untuk kasus a. Pasien yang menderita dan tercatat TB paru BTA positif di formulir daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan selama tahun 2012 sampai 2015. b. Pasien berusia > 17 tahun. c. Pasien berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
50
2. Kriteria eksklusi untuk kasus a. Pernah menderita suspect TB paru dan TB Paru BTA negatif b. Pasien meninggal.
3. Kriteria inklusi untuk kontrol a. Keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien dan tidak menderita TB paru jenis apapun pada tahun dimana pasien telah terdiagnosa TB paru BTA positif. b. Pasien berusia > 17 tahun. c. Pasien berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
4. Kriteria eksklusi untuk kontrol a. Pernah menderita suspect TB paru dan TB paru BTA negatif.
Untuk menghitung besar sampel dalam penelitian ini, rumus besar sampel yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan : n
= Jumlah sampel minimal
Z1-α/2
= Derajat kepercayaan (1,64)
51
Z1-β
= Kekuatan uji (0,84)
P
= Proporsi di populasi
P1
= Proporsi terpapar pada kelompok kasus
P2
= Proporsi terpapar pada kelompok kontrol
Dari persamaan di atas dan didasarkan pada peritungan P2 dari hasil penelitian sebelumnya, nilai P1-P2 yang ditentukan sendiri oleh penulis, dimana jumlah sampel setiap variabel dengan α = 0,05, maka dapat dihitung besar sampel minimal sebagai berikut :
No
Variabel
1.
Status merokok
2.
IMT
Tabel 3 Besar Sampel Peneliti
P2
P1-P2
n
Kollapan (2002)
0,63
10%
175,2
Rusnoto (2010)
0,642
10%
130,9
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, maka diperoleh besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 176 responden. Jumlah kelompok kasus TB paru BTA positif berdasarkan laporan Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015 sebesar 45 kasus, maka jumlah kelompok kontrol untuk penelitian ini sebesar 3 x 45 = 135 kontrol. Jumlah kontrol didapat berdasarkan perbandingan kasus dan kontrol 1 : 3. Kontrol diambil dari 3 anggota keluarga kasus. Apabila jumlah anggota keluarga kasus kurang dari 3 orang, maka tetangga terdekat yang diambil menjadi sampel dan apabila anggota keluarga kasus lebih dari 3 orang, maka yang
52
dijadikan kontrol adalah anggota keluarga kasus yang berada di rumah saat penelitian dan sesuai dengan kriteria inkusi kontrol. Bagan 4 Alur Pengambilan Sampel Puskesmas Setu
Kasus
Kontrol
Kriteria inklusi
Kriteria inklusi
(n= 45)
(n= 135)
Kriteria eksklusi Eligible population
Kriteriaeksklusi Eligible population (n=135)
(n= 45) Bersedia
Bersedia
Ya
Tidak
Ya
Tidak
(Respon Rate)
(Non Respon)
(Respon Rate)
(Non Respon)
100%
0%
100%
0%
53
D. Metode dan Instrumen Pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni telaah dokumen dan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner. Telaah dokumen didapatkan dari formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015 yang digunakan untuk memperoleh informasi untuk kasus terkait variabel kasus TB paru BTA positif yang terdiri dari nama, umur pertama kali terdiagnosis TB paru dan jenis kelamin. Telaah dokumen dari kartu pengobatan pasien TB (TB.01) digunakan untuk memperoleh informasi mengenai variabel IMT. Sedangkan informasi variabel IMT untuk kontrol di dapatkan dengan cara mengukur berat badan menggunakan timbangan dan tinggi badan menggunakan meteran. Metode wawancara terstruktur digunakan untuk memperoleh informasi mengenai tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok.
54
E. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Semua variabel independen tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok diketahui dengan melakukan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner.
2. Data Sekunder Data sekunder yang digunakan dalam peneitian ini adalah data pendukung seperti data jumlah penderita TB paru BTA positif, hasil pemeriksaan laboratorium pasien nama dan alamat tempat tinggal, umur pertama kali terdiagnosis TB, jenis kelamin dan IMT yang didapatkan dari formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015.
55
F. Pengolahan Data Kuesioner atau lembar hasil wawancara yang telah diisi dikumpulkan kemudian diperiksa kelengkapannya, dimasukkan dan diolah dengan sistem komputerisasi menggunakan SPSS versi 16 dan Microsoft Excel 2010 dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Data (Editing) Memeriksa kelengkapan data baik yang telah dikumpulkan melalui daftar pertanyaan pada kuisioner maupun data yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eklusi pada kelompok kasus dan kontrol saat penelitian berlangsung.
2. Pemberian Kode (Coding) Pengkodean
data
yaitu
memeriksa
kuesioner
dengan
mengklasifikasi data dan memberi kode untuk masing-masing pertanyaan sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Tabel 4 Pengkodean Data No
Variabel
Kode
1.
Identitas responden
IR
2.
Riwayat TB
A
3.
IMT
B
4.
Merokok
C
Pengkodean data dilakukan untuk memudahkan kegiatan pengolahan data selanjutnya.
56
3. Pemasukan Data (Data Entry) Pemasukan data yaitu memasukan data dengan bantuan komputer dengan aplikasi tertentu untuk kemudian dianalisis.
4. Pembersihan Data (Data Cleaning) Pembersihan data yaitu membersihkan data dari kesalahan memasukkan data. Data-data yang tidak lengkap karena salah memasukkan data akan dilengkapi. Data-data yang aneh, janggal atau ekstrim akan dikeluarkan karena dikhawatirkan akan memberikan hasil yang tidak valid. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. Setelah dicek kembali untuk memastikan data tersebut telah bersih dari kesalahan, maka data tersebut siap untuk ditelaah lebih lanjut.
G. Analisis Data Setelah dilakukan editing, coding, entry dan cleaning, data yang diperoleh masing-masing dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 16 dan Microsoft Excel 2010. Adapun analisa data yang dilakukan antara lain:
57
1. Analisis univariat Analisis univariat dilakukan untuk melihat proporsi semua variabel yaitu status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok, IMT, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Hasil analisis univariat berupa distribusi frekuensi dari setiap variabel. Selanjutnya, hasil analisis univariat ditampilkan dalam bentuk Tabel.
2. Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat nilai Odds Rasio (OR) pada masing-masing variabel dengan kejadian TB paru. Uji OR merupakan salah satu uji yang digunakan untuk melihat besar risiko variabel independen. Variabel tersebut diantaranya adalah status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok, IMT, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan jenis pekerjaan. Selain itu analisis bivarat bertujuan untuk melihat hubungan antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel. Nilai OR merupakan perbandingan antara risiko yang dialami oleh mereka yang terpapar dengan mereka yang tidak terpapar. Nilai OR dimulai dari nol (0) sampai tak terhingga. Nilai OR sama dengan satu
58
(OR=1) berarti tidak ada hubungan. Nilai OR lebih kecil dari 1 berarti faktor tersebut bersifat protektif (OR< 1). Sedangkan jika OR lebih dari 1 (> 1) berarti bahwa faktor tersebut merupakan faktor risiko (Meehan, 2003). Rumus dari OR adalah:
Keterangan : OR
: Odds ratio risiko terhadap kejadian TB Paru BTA positif
a/b
: Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang tidak terpapar.
c/d
: Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kontrol yang tidak terpapar.
Jika dalam penelitian ini dihasilkan nilai OR dengan rentang CI (confident interval) yang tidak mencakup nilai 1,00 maka bisa dinyatakan signifikan pada α 10%. Namun jika nilai lower limit dan upper limit (nilai CI) mencakup 1,00 maka hasil penelitian dinyatakan tidak signifikan secara statistik pada nilai alpha 0,01 (Meehan, 2003).
59
BAB V HASIL
A. Gambaran Umum Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
UPT Puskesmas Setu merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan tingkat pertama dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Wilayah kerja UPT Puskesmas Setu meliputi dua kelurahan yaitu Kelurahan Setu dan Kelurahan Muncul dan terletak di wilayah Kelurahan Setu yang mempunyai luas wilayah kurang lebih 3.189,35 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut (Puskesmas Setu, 2013): Utara
: Kecamatan Serpong dan Puskesmas Serpong
Barat
: Kecamatan Cisauk dan Puskesmas Keranggan
Selatan
: Gunung Sindur Kabupaten Bogor
Timur
: Kelurahan Babakan dan Puskesmas Bhakti Jaya
Puskesmas Setu memiliki 1 buah Ambulans dan 1 Puskesmas pembantu yang terletak di Kelurahan Muncul. Adapun tujuannya untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pengobatan. Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan memiliki 14 Posyandu dan 6 Posbindu. Masingmasing Posyandu dan Posbindu dipegang oleh + 5 kader, sehingga jumlah
60
kader yang dimiliki Puskesmas Setu sebanyak + 102 kader (Puskesmas Setu, 2013). Sumber daya kesehatan yang dimiliki Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan yaitu 2 tenaga struktural, 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 10 bidan, 4 perawat, 1 perawat gigi, 1 pelaksana gizi, 1 analis kesehatan, 1 asisten apoteker, 3 administrasi, 1 supir, 4 petugas keamanan dan 2 petugas kebersihan (Puskesmas Setu, 2013). Program pengendalian TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan merupakan bagian dari penyakit menular. Jumlah sumber daya manusia di Program Pengendalian TB paru ada sebanyak 3 orang penanggung jawab program yaitu 1 orang dokter, 1 orang perawat dan 1 orang laboran (Puskesmas
Setu,
2013).
Adapun
dalam
penyelenggaraan
Program
Pengendalian TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan berpedoman pada Permenkes, dimana Permenkes terbaru tentang pedoman nasional pengendalian tuberkulosis adalah Permenkes Nomor 364 Tahun 2009.
61
B. Proporsi Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
Distribusi faktor risiko kejadian TB paru pada kasus dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel 5 Distribusi Faktor Risiko Kejadian TB Paru Kasus dan Kontrol di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel Status Merokok Tidak merokok Pernah merokok Merokok Jumlah Usia Mulai Merokok > 20 tahun 10-19 tahun Jumlah Jumlah Rokok yang dihisap 1-12 batang > 13 batang Jumlah Lama Merokok 1-15 tahun > 16 tahun Jumlah Jenis Rokok Putih Kretek Jumlah IMT Normal Kurang Kegemukan Jumlah
Kasus n %
Kontrol n %
12 14 19 45
26,7 31,1 42,2 100,0
59 20 56 135
43,7 14,8 41,5 100,0
9 24 33
27,3 72,7 100,0
16 60 76
21,1 78,9 100,0
28 5 33
84,8 15,2 100,0
63 13 76
82,9 17,1 100,0
20 13 33
60, 6 39,4 100,0
37 39 76
48,7 51,3 100,0
16 17 33
48,5 51,5 100,0
46 30 76
60,5 39,5 100,0
23 19 3 45
51,1 42,2 6,7 100,0
84 20 31 135
62,2 14,8 23,0 100,0
62
7.
8.
9.
10.
Umur > 56 tahun 17-55 tahun Jumlah Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Jumlah Pendidikan Terakhir Sekolah wajib 9 tahun Tidak sekolah wajib 9 tahun Jumlah Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Jumlah
6 39 45
13,3 86,7 100,0
14 121 135
10,4 89,6 100,0
26 19 45
57,8 42,2 100,0
78 57 135
57,8 42,2 100,0
23 22 45
51,1 48,9 100,0
92 43 135
68,2 31,8 100,0
21 24 45
46,7 53,3 100,0
53 82 135
40,0 60,0 100,0
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar dari kasus adalah perokok (42,2%) dengan usia mulai merokok 10-19 tahun (72,7%), rata-rata batang rokok yang dihisap 1-12 batang per hari (84,8%), lama merokok 1-15 tahun (60,6%) dan jenis rokok yang hisap kretek (51,5%). Sedangkan sebagian besar dari kontrol adalah bukan perokok. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa karakteristik sebagian besar kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%), umur pertama kali didiagnosis TB paru 17-55 tahun (86,7%), berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh pendidikan 9 tahun (51,1%) dan tidak bekerja (53,3%). Sedangkan karakteristik sebagian besar kontrol adalah IMT normal saat terdiagnosis TB paru (62,2%), umur saat penelitian 17-
63
55 tahun (89,6%), berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh pendidikan 9 tahun (68,2%) dan tidak bekerja (60%).
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
Setelah mengetahui distribusi variabel merokok, selanjutnya dilakukan analisis bivariat. Hasil analisis bivariat yang menggambarkan risiko masingmasing variabel terhadap kejadian TB akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 6 Merokok dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan No 1.
Variabel Status Merokok Tidak merokok Pernah merokok Merokok 2. Usia Mulai Merokok > 20 tahun 10-19 tahun 3. Jumlah Rokok yang dihisap 1-12 batang/hari > 13 batang/hari 4. Lama Merokok 1-15 tahun > 16 tahun 5. Jenis Rokok Putih Kretek + : Jumlah kasus dan kontrol
n+
Odd Ratio (OR)
(95% CI)
12/59 14/20 19/56
1,00 3,44 1,69
Reference 1,37-8,66 0,742-3,35
9/16 24/60
1,00 0,71
Reference 0,28-1,83
28/63 5/13
1,00 1,16
Reference 0,38-3,55
20/37 13/39
1,00 0,69
Reference 0,30-1,57
16/46 17/30
1,00 1,63
Reference 0,72-3,71
64
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara pernah merokok dengan kejadian TB paru dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa responden yang menghisap rokok rata-rata > 13 batang/hari bersiko untuk terjadinya TB paru 1,16 kali lebih besar dibanding responden yang menghisap rokok rata-rata 1-12 batang/hari, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Begitu pula dengan jenis rokok, responden yang menghisap rokok kretek bersiko untuk terjadinya TB paru 1,63 kali lebih besar dibanding responden yang menghisap rokok putih, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sedangkan usia mulai merokok dan lama merokok bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru.
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
Setelah mengetahui distribusi karakteristik selanjutnya dilakukan analisis bivariat. Hasil analisis bivariat yang menggambarkan risiko masingmasing variabel terhadap kejadian TB akan dijelaskan sebagai berikut:
65
Tabel 7 Karakteristik dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan No
Variabel
IMT Normal Kurang Kegemukan 2. Umur > 56 tahun 17-55 tahun 3. Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki 4. Pendidikan Terakhir Sekolah wajib 9 tahun Tidak sekolah wajib 9 tahun 5. Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja + : Jumlah kasus dan kontrol
n+
Odd Ratio OR
(95% CI)
23/84 19/20 3/31
1,00 3,47 2,83
Reference 1,59-7,56 0,79-10,09
6/14 39/121
1,00 0,75
Reference 0,27-2,09
26/78 19/57
1,00 1,00
Reference 0,51-1,98
23/92 22/43
1,00 2,05
Reference 1,03-4,07
21/53 24/82
1,00 0,75
Reference 0,38-1,48
1.
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara IMT kurang dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar dibanding responden dengan IMT normal. Responden dengan IMT kegemukan bersiko untuk terjadinya TB paru 2,83 kali lebih besar dibanding responden dengan IMT normal, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara tidak sekolah wajib 9 tahun dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 2,05 kali lebih besar dibanding responden sekolah wajib 9 tahun. Pada
66
jenis kelamin menunjukkan tidak ada hubungan dengan kejadian TB paru. Sedangkan umur dan pekerjaan bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru.
67
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol yang memiliki potensi terjadinya recall bias. Variabel yang memiliki potensi terjadinya recall bias adalah IMT. IMT diukur dengan membandingkan berat badan dan tinggi badan. Pada pengukuran berat badan dan tinggi badan, beberapa responden tidak melakukan pengukuran karena kondisi kesehatan yang kurang baik, sehingga angka berat badan dan tinggi badan didapatkan berdasarkan pengakuan dari responden tanpa didukung oleh ketersediaan data sekunder hasil pemeriksaan di masa lalu. Namun diupayakan ada tambahan informasi dari orang terdekat responden seperti anak kandung, suami/istri, atau saudara kandung untuk memastikan berat badan dan tinggi badan responden. Variabel lain yang memiliki potensi terjadinya recall bias adalah status merokok. Status merokok didapatkan berdasarkan pengakuan dari responden saat diwawancarai. Beberapa responden lupa apakah pernah merokok atau tidak. Sehingga, ada tambahan informasi dari orang terdekat responden seperti anak kandung, suami/istri, atau saudara kandung mengenai status merokok.
68
Kelemahan lain pada penelitian ini berada pada kelompok kontrol. Kelompok kontrol dalam penelitian ini ialah keluarga pasien dengan persyaratan tinggal serumah dengan pasien, dimana pada saat penelitian dilakukan dinyatakan bahwa kelompok kontrol bukanlah sebagai penderita TB paru berdasarkan pengakuan dan tidak dilakukan pemeriksaan melalui laboratorium.
B. Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacteria Tuberkulosis). Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit, diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes, 2008). Kuman ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif melalui batuk, bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Seseorang dinyatakan menderita TB paru apabila sudah melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis sebanyak 3 kali pemeriksaan (SPS) di laboratorium (Kemenkes, 2013). Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kasus adalah perokok (42,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa proporsi merokok pada kelompok TB paru sebesar 54,7%. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain
69
kasus kontrol yang menemukan bahwa sebagian besar dari penderita TB paru memiliki kebiasaan merokok (63%). Merokok merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit TB paru. Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah nikotin, tar, CO, timah hitam dan lain-lain, yang semuanya merupakan zat kimia berbahaya bagi kesehatan (Kemenkes, 2012). Nikotin bersifat sangat adiktif dan beracun. Nikotin yang dihirup dari asap rokok masuk ke paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah kemudian masuk ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10 detik. Nikotin merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia yang mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti adrenalin, dopamine dan insulin sehingga membuat sensasi yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini hanya berlangsung seketika, sehingga membuat orang yang menghisapnya menjadi kecanduan. (Kemenkes, 2012). Secara
farmakologi,
nikotin
adalah
racun
yang
mematikan.
Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia sekitar 60 mg. Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok.
Hal ini
dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-
70
paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Kemenkes, 2012). Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan sudah memiliki program penyuluhan yang dilaksakan rutin setiap bulannya di Posbindu. Posbindu adalah adalah pos pembinaan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dan menjadi sarana pelayanan kesehatan dasar yang penting untuk meningkatkan kesehatan para lansia (Kemenkes, 2013). Pelayanan kesehatan yang ada di Posbindu salah satunya adalah penyuluhan. Penyuluhan disini bisa diberikan dengan beberapa cara, bisa dengan penyuluhan langsung melalui oral maupun penyuluhan dengan menggunakan media seperti poster ataupun leaflet. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa usia mulai merokok sebagian besar kasus adalah 10-19 tahun (72,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol
71
yang melaporkan bahwa usia mulai merokok kasus TB paling banyak ditemukan pada usia 15-20 tahun. Usia 10-19 tahun merupakan masa remaja, masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial baru, dikatakan sebagai masa sulit bagi individu karena pada masa ini seseorang dituntut untuk melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk bisa mandiri. Pada masa remaja, ada sesuatu yang lain yang sama pentingnya dengan kedewasaan, yakni solidaritas kelompok dan melakukan apa yang dilakukan oleh kelompok. Apabila dalam suatu kelompok remaja telah melakukan kegiatan merokok maka individu remaja merasa harus melakukannya juga. Individu remaja tersebut mulai merokok karena individu dalam kelompok remaja tersebut tidak ingin dianggap sebagai orang asing, bukan karena individu tersebut menyukai rokok (Elizabeth, 1999). Pemberian edukasi mengenai rokok sedini mungkin sangat diperlukan bagi remaja. Pengetahuan tersebut bisa didapatkan melalui keluarga, karena keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seseorang dalam mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Selanjutnya seorang anak mulai bersekolah dimana
ia
akan
memperoleh
pendidikan
secara
formal
dari
guru/pengajar/pendidik. Oleh karena itu, sekolah merupakan lembaga yang sangat penting didalam pembentukan kepribadian anak dan menentukan mutu
72
anak tersebut dikemudian hari. Pengetahuan yang cukup akan mendorong seseorang untuk memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (Ruswanto, 2010). Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan sudah memiliki program usaha kesehatan sekolah (UKS) pada setiap sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas. UKS ini merupakan salah satu upaya preventif yang diberikan Puskesmas melalui sekolah. Salah satu kegiatan di UKS adalah konseling remaja. Pada kegiatan konseling remaja, setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan konseling dari petugas kesehatan, sehingga mendapatkan informasi mengenai kesehatan, salah satunya adalah rokok. Dengan demikian, diharapkan selalu ada kerja sama yang baik antara sekolah dengan Puskesmas, agar setiap anak mendapatkan edukasi sedini mungkin. Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata batang rokok yang dihisap kasus 1-12 batang perharinya (84,8%). Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan hasil Riskesdas (2013), rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari per orang di Indonesia adalah 12 batang (setara satu bungkus). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa batang rokok yang dihisap paling banyak sekitar 1-10 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto (Sarwani, 2012)
73
dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa rata-rata batang rokok yang dihisap 10-20 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol. Salah satu zat kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok adalah timah hitam. Setiap satu batang rokok yang dihisap diperhitungkan mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya kadar timah hitam dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari. Hal ini dapat merusak tubuh apabila dikonsumsi terus menerus. Terpaparnya timah hitam dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal (Kemenkes, 2012). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian kasus memiliki durasi merokok 1-15 tahun (60,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa lamanya merokok paling banyak > 10 tahun baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto (Sarwani, 2012) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa lamanya merokok paling banyak > 20 tahun baik pada kasus maupun kontrol. Setelah merokok bertahun-tahun, perokok mungkin mengalami dampak buruk yang ditimbulkan dari asap rokok, misalnya keluhan perih di
74
mata, sesak napas dan batuk. Semakin lama durasi merokok seseorang, semakin semakin besar kemungkinan terserang penyakit. Kebiasaan merokok dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobin E yang spesifik. Kadar antibodi terhadap bahan ini ternyata empat sampai lima kali lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok (Aditama, 1997). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus menghisap merokok kretek (51,5%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa jenis rokok yang dihisap paling banyak adalah rokok putih/filter baik pada kasus maupun kontrol. Rokok kretek merupakan jenis rokok yang paling berbahaya. Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya, sehingga memberikan efek kecanduan yang lebih besar dibanding jenis rokok lainnya (CDC, 2013). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%). Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di NTB
75
(Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa 63% dari kasus memiliki IMT kurang. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa proporsi status gizi (IMT) kurang pada kelompok TB paru 64,2 % lebih besar dari kelompok bukan TB paru. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus pertama kali didiagnosa TB paru pada umur 17-55 tahun (86,7%). Umur pertama kali didiagnosa menjadi penting untuk mengetahui kapan biasanya penyakit mulai timbul. Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan Kemenkes (2011), dimana diperkirakan 75% penderita TB adalah kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011). Konsistensi hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa umur pertama kali didiagnosis TB paru paling banyak responden terdapat pada kelompok umur produktif antara umur 11-55 tahun (71,1%). Kelompok umur tersebut merupakan umur dimana seseorang produktif dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila seseorang sakit akibat TB paru, hal tersebut akan berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20%-30%. Jika Penderita TB paru meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Kemenkes, 2010).
76
Tidak merokok merupakan bagian dari perilaku hidup dan sehat (PHBS). Apabila PHBS diterapkan, baik untuk diri sendiri, keluarga maupun lingkungan, maka kuman TB tidak berkembang dan hidup di lingkungan rumah. Kuman TB akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat untuk menerepkan PHBS. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, baik dari kasus maupun kontrol. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas (2013), distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%) (Riskesdas, 2013). Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol. Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena perempuan lebih banyak memiliki kesempatan untuk berobat ke Puskesmas. Karena berdasarkan hasil observasi, kebanyakan kasus merupakan ibu rumah. Sehingga kasus yang terlaporkan di Puskesmas paling banyak adalah perempuan. Laki-laki lebih umum terkena TB paru, kecuali pada perempuan dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang
77
menurunkan resistensi. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok, berada di luar rumah dan faktor pekerjaan sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010). Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden baik pada kelompok kasus maupun kontrol telah menempuh pendidikan 9 tahun dan status tidak bekerja. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas (2013), proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Pada hasil penelitian ini juga terlihat adanya perbedaan antara variabel pendidikan terakhir dan pekerjaan responden. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar kasus adalah berjenis kelamin perempuan dan menjadi ibu rumah tangga.
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C untuk ujung rokok yang dibakar dan 300C utnuk ujung
78
rokok yang terselip diantara bibir perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus masuk ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya rongga mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri. Bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok diantaranya adalah nikotin, tar dan gas CO. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah (Kemenkes, 2012). Tar dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak (hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi Blimposit membawa kepada menurunnya produksi imunoglobulin. Secara
79
ringkas tar dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008). Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan). Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana. Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru) (Kemenkes, 2012). Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) menunjukkan bahwa pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama pajanan asap sekunder atau secondhand smoke (asap yang dikeluarkan dari mulut perokok). Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan umur muda. Kematian anak-anak akibat TB paru pada 1 dari 5 orang terutama
80
berhubungan dengan kebiasaan merokok orang tua di dekat anaknya. Kematian dan kekambuhan TB berhubungan dengan jumlah serta lama merokok pada penderita TB sehingga program berhenti merokok perlu ditekankan pada penderita TB (PPTI, 2004). Pada penelitian ini diketahui bahwa pernah merokok merupakan salah faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada kasus dibandingkan pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini bisa terjadi karena status merokok seseorang diperngaruhi juga oleh lamanya dia merokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa pada kategori pernah merokok paling banyak responden memiliki lama merokok lebih dari 15 tahun (52%), sedangkan pada kategori merokok paling banyak responden memiliki lama merokok antara 1-15 tahun (86,4%). Pada penelitian ini juga diketahui bahwa kebanyakan responden yang merokok adalah lakilaki (85,5%), sehingga kasus merupakan perokok pasif. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India (Kolappan, 2002) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru
81
dibanding orang yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005) dengan desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok memiliki risiko 1,99 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong (Leung, 2008) dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali lebih tinggi terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Merokok sangat membahayakan bagi kesehatan, khususnya sebagai faktor risiko penyakit TB paru. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
Pada penelitian ini diketahui bahwa IMT kurang merupakan salah satu faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara
82
variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT > 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terkena TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki status gizi baik. Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat untuk menjaga status gizi. Karena, status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan kalori dan protein serta
83
kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena TB paru (Supariasa, 2001). Pendidikan terakhir juga menjadi faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Pendidikan terakhir yang berisiko adalah yang tidak sekolah wajib 9 tahun dengan besar risiko 2,05 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik. Tingkat
pendidikan
seseorang
akan
mempengaruhi
terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010).
84
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan hubungan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan status merokok sebagian besar dari kasus adalah perokok (42,2%) dengan usia mulai merokok 10-19 tahun (72,7%), rata-rata batang rokok yang dihisap 1-12 batang per hari (84,8%), lama merokok 1-15 tahun (60,6%) dan jenis rokok yang hisap kretek (51,5%). Sedangkan sebagian besar dari kontrol adalah bukan perokok. 2. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan karakteristik sebagian besar kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%), umur pertama kali didiagnosis TB paru 17-55 tahun (86,7%), berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh pendidikan 9 tahun (51,1%) dan tidak bekerja (53,3%). Sedangkan karakteristik sebagian besar kontrol adalah IMT normal saat terdiagnosis TB paru (62,2%), umur saat penelitian 17-
85
55 tahun (89,6%),
berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh
pendidikan 9 tahun (68,2%) dan tidak bekerja (60%). 3. Ada hubungan yang signifikan antara pernah merokok dengan kejadian TB paru dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. 4. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. 5. Usia mulai merokok, lama merokok, umur dan pekerjaan bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru. 6. Ada hubungan yang signifikan antara IMT kurang dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. 7. Ada hubungan yang signifikan antara dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 2,05 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol.
B. Saran 1. Bagi Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan a. Melakukan persamaan definisi kasus yang dipakai, baik dari pemegang program maupun dokter yang mendiagnosis, agar kasus yang terlaporkan mencapai target yang telah ditetapkan Dinas Kesehatan
Kota
Tangerang
Selatan,
serta
bersama-sama
86
mendiskusikan permasalahan yang ditemukan agar dapat mencari pemecahan masalahnya. b. Meningkatkan promosi aktif ke masyarakat dengan melaksanakan sosialisasi dan pembinaan ke masyarakat tentang penyakit TB Paru khususnya kepada kader kesehatan. c. Pengadaan metode KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) seperti poster dan leaflet tentang penyakit TB Paru dalam memberikan pengetahuan pada masyarakat minimal di Posbindu di tiap RW.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Memberikan informasi terkait faktor risiko yang mempengaruhi TB paru, melalui pemberian leaflet atau poster di setiap fasilitas pelayanan kesehatan wilayah kerja Puskesmas Setu.
3. Bagi Peneliti selanjutnya a. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan terhadap variabel merokok sebagai risiko kejadian TB paru khususnya pada perempuan. b. Penelitian faktor risiko kejadian TB paru dengan desain studi cohort, khususnya pada variabel status merokok, durasi merokok dan jenis kelamin.
87
4. Bagi Masyarakat a. Bagi masyarakat apabila mengalami gejala TB dan kontak serumah dengan pasien TB harus melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis di Laboraurium. b. Diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok. c. Diharapkan bagi masyarakat agar melaksanakan PHBS dengan tidak merokok.
88
DAFTAR PUSTAKA
Abal, A.T, et al. 2004. Effect of cigarette smoking on sputum smear conversion in adults with active pulmonary Tuberkulosis. NCBI, PubMed, US National Library of Medicine National Institutes of Health. Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Aditama , T.Y., 2002. Tuberkulosis Diagnosis , Terapi, dan Masalahnya. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia: 131. Adnani, Hariza. 2006. Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2003 – 2006. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta. Ariyothai, Niorn, et al. 2004. Cigarette Smoking and Its Relation to Pulmonary Tuberkulosis in Adults. Vol 35 No. 1 March 2004, Srinakarinwirot University, Bangkok, Thailand. Asih, Yasmin. 1995. Kader Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Boon, S den, et al. 2005. Association Between Smoking and Tuberkulosis Infection: A Population Survey In A High Tuberkulosis Incidence Area. Centre for TB Research and Education, Department of Paediatrics and Child Health, Stellenbosch University, Tygerberg, Cape Town, South Africa . CDC.
2013. Diakses tanggal 15 Februari 2015 di http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/fact_sheets/tobacco_industry /hookahs/index.htm.
Depkes. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta: Depkes RI. Depkes. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan kedua, 2008. Jakarta: Depkes RI. Dinkes Tangsel. 2013. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 Eisner M. 2008. Biology and Mechanisms for Tobacco-attributable Respiratory Diseases, including TB, Bacterial Pnemonia and other Respiratory Diseases. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Volume 12.
89
Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Gambhir, Harvir S, et al. 2010. Tobacco Smoking-Associated Risk For Tuberkulosis: A Case-Control Study. Oxford Journals, Medicine and Health, International Health Volume 2, Issue 3. IOM dan National Research Council (NRC). 2009. Implementing Guidelines on Weight Gain Pregnancy. Kemenkes. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/Sk/V/2009. Kemenkes. 2010. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Profil Kesehatan Indonesia 2009. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Tuberkulosis.
Kemenkes. 2012. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di lndonesia Tahun 2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Kemenkes. 2012. Peraturan pemerintah No 109 tahun 2012 tentang Pengamaan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau bagi Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes. 2013. Pos Pembinaan Terpadu. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ketut, Ni Lisa. S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB Tahun 2013. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kolappan, C dan P G Gopi. 2002. Tobacco Smoking and Pulmonary Tuberkulosis. Epidemiology Unit, Tuberkulosis Research Centre, Mayor V R Ramanathan Road, Chetput, Chennai 600 031, Tamil Nadu, India. Kurniasari, Ryana Ayu Setia, Suhartono, Kusyogo Cahyo. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri.Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 11, No. 2, Oktober 2012. Leung, Chi C, et al. 2008. Smoking and Tuberkulosis among the Elderly in Hong Kong. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Vol. 170, No. 9.
90
Lubis, P. 2002. Perumahan Sehat, Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat, Medan: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan. Machfoedz Ircham. 2008. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai Penyakit, Bagian Dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat, Sanitasi Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta. Meehan, Kathleen. 2003. Investigasi Dan Pengendalian Wabah Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Naben, Alice Ximenis, Suhartono dan Nurjazuli. Kebiasaan Tinggal di Rumah etnis Timor Sebagai Faktor Risiko Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 12, No.1, April 2013. Notoatmodjo, Soedidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soedidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). 2004. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol. 8 - Maret 2012. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). 2012. TB di Indonesia Peringkat ke-4. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 dari http://www.ppti.info/2012/09/tbc-di-indonesia-peringkat-ke-5.html. Puskesmas Setu. 2012. Profil Tahunan Puskesmas Setu Tahun 2012. Puskesmas Setu. 2013. Profil Tahunan Puskesmas Setu Tahun 2013. Puskesmas Setu. 2014. Laporan TB Tahun 2014. Puskesmas Setu. 2015. Laporan Bulanan Tahun 2015. Riskesdas. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Kementerian Kesehatan. Rusnoto. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati). Jurnal Epidemiologi, Universitas Diponogoro, Semarang. Ruswanto, Bambang. 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau dari Faktor Lingkungan dalam dan Luar Rumah di Kabupaten Pekalongan. Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
91
Sarwani, Dwi dan Sri Nurlela. 2012. Merokok dan Tuberkulosis Paru. Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto Setiarini. 2008. Penggunaan Vaksin BCG Untuk Pencegahan Tuberkulosis. Suarni, Helda. 2009. Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit TB BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Bulan Oktober Tahun 2008- April Tahun 2009. Universitas Indonesia. Supariasa, Bakri Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi, Jakarta: EGC.
92
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SETU TAHUN 2012 SAMPAI 2015
INFORMED CONSENT Assalamu’alaikum Wr. Wb. Kami, mahasiswa semester 8 Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian terkait hubungan merokok dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru di puskesmas setu tahun 2013 dan 2014. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui hubungan antara merokok dengan kejadian penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Setu tahun 2013 dan 2014. Dalam
penelitian
ini,
Bapak/Ibu
terpilih
sebagai
responden/partisipan
berdasarkan laporan Puskesmas. Bapak/Ibu diharapkan dapat memberikan informasi terkait status merokok, umur mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok, IMT, umur terdiagnosis TB, jenis kelamin dan jenis pekerjaan,. Adapun beberapa pertanyaan dalam kuesioner ini bersifat sangat pribadi dan sensitif sehingga mungkin dapat mengganggu kenyamanan dan privasi Bapak/Ibu. Namun, Bapak/Ibu tidak perlu khawatir untuk berpartisipasi dalam penelitian ini karena kami menjamin kerahasiaan semua informasi yang Bapak/Ibu berikan. Penelitian ini kemudian diharapkan dapat bermanfaat untuk bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terutama dalam peningkatan edukasi dan promosi kesehatan kepada masyarakat terkait faktor risiko kejadian penyakit Tuberkulosis Paru. Oleh karena itu, partisipasi Bapak/Ibu sangat diharapkan. Namun, Bapak/Ibu
93
tetap memiliki kebebasan untuk menyetujui ataupun menolak berpartisipasi dalam penelitian ini.
Partisipasi dan kejujuran Bapak/Ibu dalam menjawab kuesioner penelitian sangat kami hargai dan harapkan. Apabila terdapat keluhan maka Bapak/Ibu dapat menghubungi nomor telepon kami.
Contact Person: Laila Romlah (08567265854)
Dengan ini saya bersedia menjadi partisipan penelitian dan bersedia mengisi lembar kuesioner yang telah disediakan dibawah ini dengan sadar tanpa paksaan.
Tangerang Selatan, April 2015
Enumerator,
( .......................................)
Partisipan,
( .......................................)
94
BACALAH PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER IR. IDENTITAS RESPONDEN Identitas responden diperlukan untuk menghindari pemberian kuesioner pada orang yang sama dan untuk mengkonfirmasi ketika ada pertanyaan yang belum dijawab atau ada jawaban responden yang kurang jelas. IR1
Tanggal pengisian kuesioner
IR2
Nama
IR3
No. Telepon
IR4
Jenis kelamin
1. Laki-laki
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
2. Perempuan IR5
Tanggal Lahir
Tanggal_______Bulan_______Tahun_______
IR6
Umur
_______Tahun
IR7
Alamat
No. RT. RW. Kelurahan.
IR8
Pendidikan terakhir
1. Belum pernah sekolah 5. Tamat SMP 2. Tidak lulus SD
6. Tamat D-1/D-2/D3
3. Tamat SD
7.Tamat S1/S2/S3
4. Tamat SMA IR9
Jenis pekerjaan
1. Tidak bekerja
6. Wiraswasta
2. Tuna susila
7. Pegawai swasta
3. Buruh
8. Pegawai negeri
4. Petani
9. Pelajar
5. Pedagang
10. Tidak berlaku
A. TUBERKULOSIS PARU (TB PARU) A1
Apakah Bapak/Ibu pernah didiagnosis TB 1. Ya Paru oleh dokter?
A2
Diumur berapa Bapak/Ibu didiagnosis TB Paru oleh dokter?
A2
2. Tidak
_______Tahun
Apakah Bapak/Ibu pernah batuk berdahak 1. Ya selama dua minggu atau lebih?
2. Tidak (Lanjut ke pertanyaan A4)
95
A3
Apakah batuk berdahak tersebut disertai 1. Darah/ Dahak bercampur darah gejala:
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
2. Batuk darah 3. Nyeri dada 4. Sesak napas 5. Badan lemah 6. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik 7. Nafsu makan menurun 8. Berat badan menurun/ sulit bertambah 9. Rasa kurang enak badan 10. Demam meriang yg berulang lebih dari sebulan
A4
Berapa lama Bapak/Ibu mengalami gejala 1. Kurang dari 2 minggu tesebut?
A5
2. 2 minggu lebih
Sebelum Bapak/Ibu terdiagnosis TB Paru 1. Pemeriksaan dahak oleh dokter, hasil pemeriksaan apa saja yang 2. Pemeriksaan foto dada (Rontgen) pernah Bapak/Ibu lakukan?
A6
Apa hasil yang didapatkan dari pemeriksaan 1. Pemeriksaan dahak menunjukkan TB tersebut?
2. Pemeriksaan dahak menunjukkan bukan TB 3. Pemeriksaan foto dada (Rontgen) menunjukkan TB 4. Pemeriksaan foto dada (Rontgen) menunjukkan bukan TB
A5
Apakah Bapak/Ibu pernah mendapat obat 1. Tidak anti TB (OAT)
A
2. Ya
Apakah ada penderita lain (suspect atau BTA 1. Ada (+) di rumah Bapak/Ibu?
2. Tidak Ada
B. INDEKS MASSA TUBUH B1
Berat Badan saat Bapak/Ibu terdiagnosis TB oleh dokter
B2
_______
Tinggi Badan saat Bapak/Ibu terdiagnosis TB oleh dokter
_______
C. STATUS MEROKOK C1
Sebelum Bapak/Ibu terdiagnosis TB oleh
1. Ya
96
dokter , apakah Bapak/Ibu merokok ? C2
Berapa umur Bapak/Ibu mulai merokok setiap hari?
C3
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
_______Tahun
Berapa umur Bapak/Ibu ketika pertama kali merokok?
C4
2. Tidak
_______Tahun
Berapa rata-rata berapa batang rokok/ cerutu/ cangklong (buah) yg Bapak/Ibu hisap setiap _______Batang harinya?
C5
Apa jenis rokok yang biasa Bapak/Ibu hisap?
1. Rokok kretek 2. Rokok putih 3. Rokok linting 4. Cerutu/ cangklong
C6
Dimanakah Bapak/Ibu biasanya merokok?
1. Di dalam ruangan 2. Di luar ruangan 3. Di dalam ruangan dan di luar ruangan
C7
Apakah Bapak/Ibu biasa merokok di dalam 1. Ya, setiap hari rumah ketika bersama ART lain?
2. Ya, kadang-kadang 3. Tidak pernah sama sekali
C8
C9
Berapa umur Bapak/Ibu ketika berhenti/ tidak merokok sama sekali?
_______Tahun
Adakah ART lain yang merokok?
1. Ada a. Suami/Istri b. Anak c. Orangtua d. Saudara 2. Tidak ada
C9
Apakah Bapak/Ibu terpapar asap rokok?
1. Ya, setiap hari 2. Ya, kadang-kadang 3. Tidak pernah sama sekali
Terima kasih atas partisipasinya Wassalammualaikum wr. wb.
97
OUTPUT SPSS 1. Jenis Kelamin Jenis Kelamin Responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus Jenis Kelamin Responden
Laki-Laki
Count % within Jenis Kelamin Responden
Perempuan
Responden Total
57
76
25.0%
75.0%
100.0%
26
78
104
25.0%
75.0%
100.0%
45
135
180
25.0%
75.0%
100.0%
Count % within Jenis Kelamin Responden
Total
19
Count % within Jenis Kelamin
Kontrol
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.000a
1
1.000
.000
1
1.000
.000
1
1.000
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.000c 180
1
1.000
Point Probability
1.000
.571
1.000
.571
1.000
.571
1.000
.571
.138
98
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin Responden (Laki-Laki /
1.000
.505
1.980
1.000
.599
1.669
1.000
.843
1.186
Perempuan) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
180
2. Umur umur kasus Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
18-55
39
21.7
86.7
86.7
>= 56
6
3.3
13.3
100.0
Total
45
25.0
100.0
135
75.0
180
100.0
System
Total
umur control Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
18-55
121
67.2
89.6
89.6
>= 56
14
7.8
10.4
100.0
Total
135
75.0
100.0
45
25.0
180
100.0
System
99
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
.300a
1
.584
.075
1
.784
.290
1
.590
Fisher's Exact Test .298c
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
.585
.785
.380
.785
.380
.589
.380
.785
.380
180
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for umur kontrol (18-55 / >= 56) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
Lower
Upper
.752
.271
2.090
.812
.394
1.674
1.080
.800
1.458
180
Point Probability
.177
100
3. Pendidikan pendidikan responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus pendidikan responden
tidak sekolah wajib 9 tahun
Count % within pendidikan responden
sekolah wajib 9 tahun
Count % within pendidikan responden
Total
Count % within pendidikan responden
Kontrol
Total
22
43
65
33.8%
66.2%
100.0%
23
92
115
20.0%
80.0%
100.0%
45
135
180
25.0%
75.0%
100.0%
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
4.246a
1
.039
3.540
1
.060
4.147
1
.042
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
4.223c 180
1
.040
Point Probability
.049
.031
.049
.031
.049
.031
.049
.031
.018
101
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for pendidikan responden (tidak sekolah wajib
2.047
1.029
4.070
1.692
1.027
2.788
.827
.679
1.006
9 tahun / sekolah wajib 9 tahun) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
180
4. Pekerjaan Pekerjaan Responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus Pekerjaan Responden
Tidak Bekerja
Count % within Pekerjaan Responden
Bekerja
Count % within Pekerjaan Responden
Total
Count % within Pekerjaan Responden
Kontrol
Total
24
81
105
22.9%
77.1%
100.0%
21
53
74
28.4%
71.6%
100.0%
45
134
179
25.1%
74.9%
100.0%
102
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
.703a
1
.402
.440
1
.507
.698
1
.403
Fisher's Exact Test .699c
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
.403
.484
.253
.484
.253
.484
.253
.484
.253
179
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Pekerjaan Responden (Tidak Bekerja /
.748
.379
1.477
.805
.486
1.334
1.077
.902
1.286
Bekerja) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
179
Point Probability
.097
103
5. IMT IMT saat terdiagnosis TB * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus IMT saat terdiagnosis TB
Kurang
Count % within IMT saat terdiagnosis TB
Normal
TB Kegemukan
20
39
48.7%
51.3%
100.0%
23
84
107
21.5%
78.5%
100.0%
3
31
34
8.8%
91.2%
100.0%
45
135
180
25.0%
75.0%
100.0%
Count % within IMT saat terdiagnosis TB
Total
Count % within IMT saat terdiagnosis TB
Total
19
Count % within IMT saat terdiagnosis
Kontrol
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
10.337a
1
.001
9.051
1
.003
9.800
1
.002
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
10.266c 146
1
.001
Point Probability
.002
.002
.003
.002
.002
.002
.002
.002
.001
104
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for IMT saat terdiagnosis TB (Kurang /
3.470
1.592
7.562
2.266
1.396
3.679
.653
.474
.901
Normal) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
146
Chi-Square Testsd
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
2.755a
1
.097
Continuity Correctionb
1.977
1
.160
Likelihood Ratio
3.126
1
.077
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
2.735
N of Valid Cases
c
1
.098
.129
.075
.129
.075
.129
.075
.129
.075
141
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value Odds Ratio for IMT saat terdiagnosis TB (Normal / 3) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
Lower
Upper
2.829
.793
10.092
2.436
.779
7.614
.861
.745
.994
141
Point Probability
.053
105
6. Status Merokok Status merokok responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus Status merokok responden
Merokok
Count % within Status merokok responden
Pernah Merokok
Count % within Status merokok responden
Tidak pernah merokok
Count % within Status merokok responden
Total
Count % within Status merokok responden
Kontrol
Total
19
56
75
25.3%
74.7%
100.0%
14
20
34
41.2%
58.8%
100.0%
12
59
71
16.9%
83.1%
100.0%
45
135
180
25.0%
75.0%
100.0%
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1.550a
1
.213
1.087
1
.297
1.563
1
.211
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.540c 146
1
.215
Point Probability
.231
.149
.231
.149
.231
.149
.231
.149
.075
106
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Status merokok responden (Merokok / Tidak
1.668
.742
3.750
1.499
.786
2.859
.899
.759
1.063
pernah merokok) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
146
Chi-Square Testsd
Value
Df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
7.272a
1
.007
Continuity Correctionb
6.027
1
.014
Likelihood Ratio
6.955
1
.008
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
7.203
c
105
1
.007
Point Probability
.009
.008
.014
.008
.014
.008
.009
.008
.006
107
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Status merokok responden (Pernah Merokok /
3.442
1.368
8.661
2.436
1.267
4.684
.708
.524
.956
Tidak pernah merokok) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
105
7. Umur Mulai Merokok Kategori umur mulai merokok * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus Kategori umur mulai merokok
10-19
Count % within Kategori umur mulai merokok
>= 20
Count % within Kategori umur mulai merokok
Total
Count % within Kategori umur mulai merokok
Kontrol
Total
24
60
84
28.6%
71.4%
100.0%
9
16
25
36.0%
64.0%
100.0%
33
76
109
30.3%
69.7%
100.0%
108
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Df
.504a
1
.478
.213
1
.644
.493
1
.483
Fisher's Exact Test .499c
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
.480
.620
.317
.620
.317
.470
.317
.620
.317
109
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Kategori umur mulai merokok (10-19 / >= 20) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
Lower
Upper
.711
.277
1.828
.794
.426
1.479
1.116
.808
1.543
109
Point Probability
.149
109
8. Jumlah Rokok yang dihisap kategori batang rokok * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus kategori batang rokok
1-12
Count % within kategori batang rokok
>=13
Total
63
91
30.8%
69.2%
100.0%
5
13
18
27.8%
72.2%
100.0%
33
76
109
30.3%
69.7%
100.0%
Count % within kategori batang rokok
Total
28
Count % within kategori batang rokok
Kontrol
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.064a
1
.801
.000
1
1.000
.065
1
.799
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.063c 109
1
.802
Point Probability
1.000
.521
1.000
.521
1.000
.521
1.000
.521
.217
110
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value Odds Ratio for kategori batang rokok (1-12 / >=13) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
Lower
Upper
1.156
.376
3.554
1.108
.495
2.480
.959
.698
1.317
109
9. Lama Merokok Kategori lama merokok * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus Kategori lama merokok
>= 16
Count % within Kategori lama merokok
1-15
Count % within Kategori lama merokok
Total
Count % within Kategori lama merokok
Kontrol
Total
13
37
50
26.0%
74.0%
100.0%
20
39
59
33.9%
66.1%
100.0%
33
76
109
30.3%
69.7%
100.0%
111
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
.800a
1
.371
.469
1
.493
.805
1
.370
Fisher's Exact Test .792c
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
.373
.409
.247
.409
.247
.409
.247
.409
.247
109
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value Odds Ratio for Kategori lama merokok (>= 16 / 1-15) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
Lower
Upper
.685
.299
1.572
.767
.426
1.381
1.119
.876
1.431
109
Point Probability
.112
112
10. Jenis Rokok Jenis rokok yg dihisap * Kasus atau Kontrol Crosstabulation Kasus atau Kontrol Kasus Jenis rokok yg dihisap
Kretek
Count % within Jenis rokok yg dihisap
Putih
Total
30
47
36.2%
63.8%
100.0%
16
46
62
25.8%
74.2%
100.0%
33
76
109
30.3%
69.7%
100.0%
Count % within Jenis rokok yg dihisap
Total
17
Count % within Jenis rokok yg dihisap
Kontrol
Chi-Square Testsd
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
1.360a
1
.243
.914
1
.339
1.353
1
.245
Fisher's Exact Test 1.348c
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1
.246
.294
.170
.294
.170
.294
.170
.294
.170
109
Risk Estimate 90% Confidence Interval Value Odds Ratio for Jenis rokok yg dihisap (Kretek / Putih) For cohort Kasus atau Kontrol = Kasus For cohort Kasus atau Kontrol = Kontrol N of Valid Cases
Lower
Upper
1.629
.715
3.711
1.402
.794
2.473
.860
.663
1.116
109
Point Probability
.085