FAKTOR RISIKO KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2012- 2014
Laporan Skripsi
Disusun Oleh : KARLINA SULISTIANI 1110101000002
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HDAYATULLAH JAKARTA 2014
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI Skripsi, Juli 2014 Karlina Sulistiani, NIM 111010100002 FAKTOR RISIKO KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2012- 2014 (xiv, 165 Halaman, 15 Tabel, 73 Gambar, 5 Lampiran) ABSTRAK Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa neonatal. Di Kota Tangerang Selatan kasus BBLR meningkat selama selama 4 tahun terakhir yaitu pada tahun 2010 sebanyak 185 orang, tahun 2011 sebanyak 204 orang, tahun 2012 sebanyak 168 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 255 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012-2014. Penelitian ini menggunakan desain case control unmatched, sampel penelitian adalah ibu yang melakukan kunjungan ANC (Ante Natal Care) dan melahirkan pada bulan Januari 2012-April 2014 ditolong oleh tenaga kesehatan. Sampel dalam penelitian ini berjumlan 285 dengan perbandingan kasus kontrol 1:2. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Analisis menggunakan uji OR. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tinggi badan ibu <145cm berisiko 6,337 kali, umur kehamilan <37minggu berisiko 143,5 kali, KEK berisiko 8,179 kali dan anemia berisiko 3,989 kali menyebabkan BBLR. Adanya kejadian BBLR (95 kasus) sebagian besar adalah pada ibu yang berumur antara 20-35 tahun (91,6%), memiliki tinggi badan ≥145cm (93,7%), mengalami penambahan berat badan ≥10kg (60%), melahirkan pada usia kehamilan ≥37minggu (56,8%), tidak mengalami KEK (81,1 %), tidak menderita anemia (67,4%), melahirkan bayi tunggal (82,1%), tingkat pendidikan tinggi (60%), ibu rumah tangga (93,7%), tidak mengalami komplikasi kehamilan (87,4%) dan tidak adanya penyakit pada saat hamil (93,7%). Tinggi badan, umur kehamilan, KEK, anemia berisiko terhadap BBLR sehingga perlunya mengadakan penyuluhan kepada ibu hamil mengenai risiko BBLR dan dampak yang ditimbulkan akibat BBLR dan pemantauan status gizi ibu sebelum dan selama hamil perlu dilakukan lebih intensif sehingga insidensi BBLR di Kota Tangerang Selatan dapat diturunkan. Kata kunci : BBLR, Ibu hamil, Faktor Risiko Daftar Bacaan: 63 (2000-2014) iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM DEPARTMENT OF EPIDEMIOLOGY UNDERGRADUATED THESIS, July 2014 Karlina Sulistiani, NIM 111010100002 RISK FACTORS OF LOW BIRTH WEIGHT (LBW) IN HEALTH CENTER OF SOUTH TANGERANG CITY AT 2012- 2014. (xiv, 165 Pages, 15 Tables, 73 Figure, 5 Attachments)
ABSTRACT Infant Mortality Rate (IMR) is the indicator to determine the health status of children. Low Birth Weight (LBW) is one of risk factors that contribute to infant mortality in the neonatal period. In South Tangerang City, LBW cases have increased in the last 4 years. The number of LBW cases were 185 (2010), 204 (2011), 168 (2012) and 255 (2013). This study aims to determine the risk factors of LBW in Health Center of South Tangerang City during 2012-2014 period. This study used unmatched case-control design, the sample were mothers doing antenatal care visit and having delivery with health personnel between January 2012-April 2014. The sample size of this study was 285 with case-control comparison of 1: 2. Technique sampling was purposive sampling. Analysis used the OR test. The results showed that incidence of LBW is influenced by maternal height <145 cm (OR: 6.337), gestational age <37 weeks (OR: 143.5), deficiency of energy (OR:8.179) and anemia (OR: 3.989). The cases of LBW (95 cases) most delivery with mothers between 20-35 years (91.6%), height ≥ 145 cm (93.7%), weight gain ≥ 10 kg (60%), gave birth at ≥ 37 weeks' gestation (56.8%), haven’t deficiency of energy (81.1%), haven’t anemia (67.4%), delivery with single baby (82.1%), higher education level (60% ), housewives (93.7%), haven’t experience pregnancy complications (87.4%) haven’t disease (93.7%). Counseling to pregnant women about the risk and the impact of LBW and monitoring the nutritional status of the mother before and during pregnancy needs to be strengthened and enforced in effort to reduce incidence of LBW in South Tangerang City. . Key Words: Low Birth Weight, Pregnancy Mother, Risk Reading List: 63 (2000-2014)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
v
vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Identitas Pribadi Nama
: Karlina Sulistiani
Tempat, Tanggal Lahir
: Pandeglang, 11 Oktober 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
:Ds.Pangkalan
RT
01/02,
Kecamatan
Sobang, Kabupaten Pandeglang, Banten, 42281 No. telp
: 087773242757
Email
:
[email protected]
B. Riwayat Pendidikan 1. 1997 - 2003
: SD Negeri Pangkalan 3, Pandeglang
2. 2003 - 2006
: SMP Negeri 2 Panimbang, Pandeglang
3. 2006 - 2010
: SMA Daar El Qolam, Tangerang
4. 2010 – sekarang
: S1-Peminatan Epidemiologi,
Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jakarta, Juli 2014
Karlina Sulistiani
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya laporan skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul “Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014”. Laporan Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan laporan skripsi ini banyak kekurangannya. Namun berkat bimbingan ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM, Ph.D dan ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes serta dorongan dari berbagai pihak maka hambatan itu sedikit banyak dapat diatasi. Penulis berharap semoga laporan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi siapa saja yang memerlukannya. Akhir kata pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak, Ibu dan nenek tercinta yang tak hentinya selalu memberikan kasih sayang, semangat dan mendoakan penulis di setiap waktunya. 2. Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
3. Ir.Febriyanti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta . 4. Para Dosen Kesehatan Masayarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 5. Para Dosen Peminatan Epidemiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, nasihat dan motivasinya. 6. Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Puskesmas Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan. 7. dr.Toni Wandra Ph.D yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis. 8. dr.Sholah Imari M.Sc yang telah meluangkan waktu sibuknya dalam memberikan ilmunya kepada penulis. 9. Anton Wibawa S.K.M, M.K.M yang telah memberikan arahan, bimbingannya serta nasihat-nasihatnya. 10. Ridwan Fauzi Muhsin S.HI yang selalu memberikan motivasi, nasihat dan selalu meluangkan waktunya kepada penulis dalam setiap proses penelitian ini. 11. Semua staf Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang senantiasa bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi.
ix
12. Semua Bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan yang telah membantu peneliti dalam mengumpulkan data penelitian. 13. Teman-teman epidemiologi tercinta, Tri Bayu, Kartika, Rizka, Siti Malati,
Ana,
Najah,
Mayli,
Harun,
Zata,
Wiwid,
Fajriatin,
Sofwatunnida, Nur Lutfiyah dan Putri yang selalu memberikan semangat, motivasi dan meluangkan waktunya untuk berdiskusi. 14. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya. Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga laporan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan berharap ada kritik atau saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan skripsi ini.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... iii PERNYATAAN PERSETUJUAN....................................................................... v RIWAYAT HIDUP PENULIS .......................................................................... vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 6 1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 8 1.4.1 Tujuan Umum......................................................................... 8 1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 8 1.5 Manfaat Penelitian................................................................................ 10 1.5.1 Mahasiswa ............................................................................ 10 1.5.2 Institusi Pendidikan............................................................... 10 1.5.3 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ............................. 10 1.5.4 Masyarakat ........................................................................... 10 1.6 Ruang Lingkup ..................................................................................... 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 12 2.1 Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) .................................... 12 2.2 Klasifikasi BBLR ................................................................................. 13 2.3 Masalah – Masalah pada BBLR .......................................................... 15 2.4 Gambaran Klinis Bayi Dengan BBLR ................................................ 17 2.5 Tata Laksana Bayi BBLR Saat Lahir .................................................. 18 2.6 Faktor Risiko Kejadian BBLR ............................................................ 20 2.7 Kerangka Teori ..................................................................................... 59 BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS .... 61 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 61 3.2 Definisi Operasional............................................................................. 63 3.3 Hipotesis ............................................................................................... 67 BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 69 4.1 Desain Penelitian .................................................................................. 69 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 70 4.3 Populasi dan Sampel ............................................................................ 70 4.3.1Populasi ................................................................................. 70 4.3.2Sampel Kasus ........................................................................ 70 4.3.3Sampel kontrol....................................................................... 71 4.4 Cara Pengambilan Sampel ................................................................... 71 4.5 Perhitungan Besar Sampel Penelitian ................................................. 71 4.6 Pengumpulan Data ............................................................................... 73 xi
4.7 Pengolahan Data ................................................................................... 73 4.8 Analisis Data......................................................................................... 74 BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 76 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................... 76 5.2 Gambaran Berat Badan Bayi ............................................................... 78 5.3 Analisis Faktor Risiko Kejadian BBLR .............................................. 80 BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 93 6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 93 6.2 Gambaran Berat Badan Bayi ............................................................... 93 6.3 Analisis Faktor Risiko Kejadian BBLR .............................................. 95 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 123 7.1Simpulan ................................................................................................ 123 7.2Saran ...................................................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 127
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Definisi Operasional Penelitian ............................................................. 63 Tabel 2 Perhitungan Besar Sampel..................................................................... 72 Tabel 3 Distribusi Berat Badan Bayi .................................................................. 63 Tabel 4 Distribusi BBLR ................................................................................... 92 Tabel 5 Risiko Umur Ibu Terhadap BBLR ......................................................... 95 Tabel 6 Risiko Tinggi Badan Ibu Terhadap BBLR ............................................ 96 Tabel 7 Risiko Penambahan Berat Badan Ibu Terhadap BBLR .......................... 97 Tabel 8 Risiko Umur Kehamilan Ibu Terhadap BBLR ....................................... 98 Tabel 9 Risiko Kek Ibu Terhadap BBLR ......................................................... 100 Tabel 10 Risiko Anemia Ibu Terhadap BBLR .................................................. 101 Tabel 11 Risiko Kehamilan Ganda Terhadap BBLR ........................................ 102 Tabel 12 Risiko Tingkat Pendidikan Ibu Terhadap BBLR ................................ 103 Tabel 13 Risiko Status Bekerja Ibu Terhadap BBLR ........................................ 104 Tabel 14 Risiko Komplikasi Kehamilan Ibu Terhadap BBLR .......................... 105 Tabel 15 Risiko Penyakit Ibu Terhadap BBLR................................................. 106
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Teori Kejadian BBLR ....................................................... 60 Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 62 Gambar 3 Rancangan Penelitian Kasus Kontrol ................................................. 69 Gambar 4 Wilayah Kota Tangerang Selatan ....................................................... 90
xiv
DAFTAR ISTILAH
AKB
Angka Kematian Bayi
ANC
Antenatal Care
BBLR
Bayi Berat Lahir Rendah
BBLN
Bayi Berat Lahir Normal
BBLASR
Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah
BBLSR
Bayi Berat Lahir Sangat Rendah
BMK
Besar Masa Kehamilan
FAS
Fetal Alcoholic Syndrome
IMD
Inisiasi Menyusui Dini
IUGR
Intrauterine Growth Retardation
HPHT
Hari Pertama Haid Terakhir
LILA
Lingkar Lengan Atas
KB
Kurang Bulan
KEK
Kekurangan Energi Kronik
KMK
Kecil Masa Kehamilan
MDGs
Milenium Development Goals
NCB KMK
Neonatus Cukup Bulan-Kecil Untuk Masa Kehamilan
NKB KMK
Neonatus Kurang Bulan-Kecil Masa Kehamilan
NKB SMK
Neonatus Kurang Bulan-Sesuai Masa Kehamilan
PIH
Pregnancy Induced Hypertension
SMK
Sesuai Masa Kehamilan
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4
Form Pelacakan Kasus BBLR Kartu Ibu Surat Permohonna Izin Penelitian Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Surat Pemberian Iizn Penelitian Dinas Kesehatan Kota Tangernag Selatan
xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak. Selain itu, angka kematian bayi juga merupakan cerminan dari status kesehatan masyarakat. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita adalah masalah yang terjadi pada bayi baru lahir/neonatal (umur 0-28 hari). Masalah neonatal ini meliputi asfiksia (kesulitan bernafas saat lahir), Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan infeksi (Depkes, 2011). Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini merupakan kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup dalam 7 hari setelah kelahiran, sedangkan kematian neonatal lanjut merupakan kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup lebih dari 7 hari sampai kurang 29 hari. Angka kematian neonatal adalah jumlah kematian neonatal per 1.000 kelahiran hidup. BBLR merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa neonatal (Raharni dkk, 2010). Menurut UNICEF dan WHO (2004), penurunan kejadian BBLR merupakan salah satu kontribusi penting dalam Millennium Development Goal (MDGs) untuk menurunkan kematian bayi. Pencapaian tujuan dari MDGs dicapai dengan memastikan
kesehatan
anak
pada
awal
kehidupannya. Oleh karena itu, BBLR merupakan masalah kesehatan yang
1
perlu mendapatkan perhatian mengingat BBLR merupakan salah satu indikator untuk menilai kemajuan dari tujuan MDGs ini. BBLR didefinisikan sebagai bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500gr dengan tidak memandang masa kehamilan (WHO, 2011). BBLR memberikan kontribusi sebesar 60-80% dari semua kematian neonatal. Prevalensi global BBLR adalah 15,5%, yang berjumlah sekitar 20 juta BBLR lahir setiap tahun dan 96,5% dari mereka berasal dari negara berkembang. Ada variasi yang signifikan dari prevalensi BBLR di beberapa negara, dengan insiden tertinggi di Asia Tengah (27,1%) dan terendah di Eropa (6,4%). BBLR dapat disebabkan karena kelahiran prematur (kelahiran sebelum 37 minggu umur kehamilan) (WHO, 2013). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukan bahwa kejadian BBLR di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 10,2% sedangkan Banten sendiri memiliki prevalensi BBLR sebesar 10,1%, angka ini hampir
mendekati prevalensi
BBLR secara nasional. Jika
dibandingkan dengan provinsi lain, Banten memiliki proporsi BBLR yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi BBLR di Yogyakarta sebesar 9,9% dan DKI Jakarta sebesar 9,5%. Sedangkan kasus BBLR tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah sebesar 18,2% dan terendah di Sumatra Utara sebesar 7,5%. Berdasarkan laporan dari Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan selama 4 tahun, angka kematian neonatal di Kota Tangerang Selatan tahun 2010 sebesar 2,25/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR
2
sebanyak 25 kasus kematian neonatus dan tahun 2011 sebesar 1,26/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR sebanyak 8 kasus kematian neonatus. Pada tahun 2012 sebesar 0,85/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR sebanyak 9 kasus kematian neonatus dan pada tahun 2013 kematian bayi sebesar 0,54/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR sebanyak 4 kasus kematian neonatus. Sedangkan jumlah kasus BBLR pada tahun 2010 sebanyak 185 orang, tahun 2011 sebanyak 204 orang,
tahun 2012
sebanyak 168 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 255 orang. Walaupun adanya penurunan jumlah kematian neonatus yang diakibatkan oleh BBLR, namun kejadian BBLR mengalami peningkatan setiap tahunnya. Disamping adanya peningkatan kejadian BBLR dari tahun ke tahun, pada tahun 2012 terdapat penambahan sistim dalam pencatatan dan pelaporan kasus BBLR di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2012 dan sampai saat ini terdapat pelacakan BBLR sehingga jika ditemukan kasus di wilayah kerja puskesmas, maka akan langsung dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Bayi dengan berat <2.500gr mempunyai risiko 20 kali untuk mengalami kematian jika dibandingkan dengan bayi dengan berat badan normal (WHO, 2004). BBLR menyebabkan berbagai masalah kesehatan, salah satunya masalah kesehatan jangka panjang. BBLR memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami keterbelakangan pada awal pertumbuhan, mudah terkena penyakit menular, dan mengalami kematian selama masa bayi dan masa anak-anak (WHO, 2011).
3
Faktor risiko kejadian BBLR di Indonesia yaitu ibu hamil yang berumur <20 atau >35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik yang berat, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, merokok, konsumsi obat-obatan terlarang, konsumsi alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi selama dalam kandungan (Depkes RI, 2009). Sedangkan menurut WHO (2004), faktor risiko kejadian BBLR yaitu status gizi, status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan, pekerjaan berat, umur kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya, alkohol, merokok, obat-obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi badan dan tinggal di daerah ketinggian. Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) di Kabupaten Sumenep (Jawa Timur) menemukan bahwa variabel yang berhubungan dengan BBLR adalah kadar Hb ibu, LILA (Lingkar Lengan Atas) ibu, penambahan berat badan selama kehamilan dan pendidikan ibu. Penelitian yang dilakukan Trihardiani (2011) di Kabupaten Singkawang (Kalimantan Barat) menemukan bahwa indeks masa tubuh ibu, anemia kehamillan, LILA, penambahan berat badan ibu pada masa kehamilan, berhubungan dengan BBLR. Variabel yang berhubungan dengan kejadian BBLR menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurfilaila (2012) di Aceh yaitu umur ibu. Penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2002) di Bogor
4
menunjukan bahwa umur kehamilan berhubungan dengan BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Nurrohmah (2002) di Magelang (Jawa Tengah) menunjukan bahwa faktor umur ibu, status gizi ibu, anemia, riwayat penyakit dan pendidikan berhubungan dengan kejadian BBLR. Berbagai penelitian yang dikemukakan diatas menyebutkan bahwa faktor anemia, LILA, penambahan berat badan, pendidikan, umur ibu, umur kehamilan, riwayat penyakit memiliki hubungan dengan kejadian BBLR dan lokasi penelitian tersebut banyak dilakukan di rumah sakit atau hospital based. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR dengan lokasi penelitian berdasarkan komunitas. Selain itu, dengan meningkatnya kasus BBLR di Kota Tangerang Selatan dari tahun ke tahun menjadi alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Dengan mengetahui faktor-faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR, maka dapat dilakukan kegiatan intervensi yang tepat sasaran yaitu pada kelompok-kelompok yang berisiko tinggi. Pada akhirnya program tersebut dapat mengurangi insiden BBLR dan angka kematian neonatus di Kota Tangerang Selatan. 1.2
Rumusan Masalah BBLR merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani secara serius karena BBLR berkontribusi terhadap kematian neonatus dan kematian neonatus merupakan indikator yang menentukan derajat kesehatan masyarakat suatu bangsa. BBLR memiliki risiko 20 kali untuk
5
mengalami kematian dibandingkan dengan bayi normal. Selain itu, BBLR juga memiliki risiko untuk mengalami keterbelakangan pada masa awal pertumbuhan, mudah terserang penyakit menular dan mengalami kematian selama masa bayi dan anak-anak. Banyak faktor risiko kejadian BBLR diantaranya yaitu umur ibu, pendidikan, pekerjaan, umur kehamilan, status gizi ibu, tinggi badan, penyakit
yang diderita
ibu, anemia,
komplikasi kehamilan dan
penambahan berat badan ibu. Walaupun adanya penurunan jumlah kematian yang disebabkan oleh BBLR, namun kasus BBLR mengalami peningkatan setiap tahunnya di Kota Tangerang Selatan. Maka berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah, yaitu apakah faktor-faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. 1.3
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah umur ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 2. Apakah tingkat pendidikan ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
6
3. Apakah status ibu bekerja berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 4. Apakah Kekurangan Energi Kronik (KEK) berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 5. Apakah penambahan berat badan ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 6. Apakah tinggi badan ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 7. Apakah anemia berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 8. Apakah umur kehamilan berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 9. Apakah penyakit ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 10. Apakah komplikasi kehamilan berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
7
11. Apakah kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 sampai dengan 2014.
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Mengetahui umur ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 2. Mengetahui tinggi badan ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 3. Mengetahui penambahan berat badan ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 4. Mengetahui umur kehamilan ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
8
5. Mengetahui risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 6. Mengetahui risiko anemia terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 7. Mengetahui risiko kehamilan ganda terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 8. Mengetahui tingkat pendidikan ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 9. Mengetahui status bekerja ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 10. Mengetahui risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014. 11. Mengetahui risiko penyakit ibu terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
9
1.5
Manfaat Penelitian 1.5.1
Mahasiswa Penelitian ini dapat dijadikan wacana pembelajaran mahasiswa untuk menambah dan memperluas khasanah keilmuan serta sebagai sarana dalam mengaplikasikan keilmuan tentang faktor risiko kejadian BBLR.
1.5.2
Institusi Pendidikan Selain dapat menambah khasanah keilmuan Program Studi Kesehatan Masyarakat, khususnya dalam Peminatan Epidemiologi, hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan penelitian sejenis dan berkelanjutan mengenai faktor risiko kejadian BBLR. 1.5.3
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi dalam pengambilan kebijakan untuk mengurangi morbiditas maupun mortalitas bayi akibat BBLR.
1.5.4
Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terutama ibu hamil, tentang faktor risiko kejadian BBLR. Sehingga kejadian BBLR dapat dihindari atau setidak-tidaknya
dapat
dikurangi.
Dengan
upaya
tersebut
diharapkan ibu hamil mempunyai kewaspadaan dini terhadap
10
kejadian BBLR dengan melakukan kunjungan ANC (Antenatal Care) secara rutin. 1.6
Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik yang bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di Tangerang Selatan Tahun 2012 sampai dengan 2014. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2014. Desain penelitian yang digunakan adalah studi case control unmathced. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode Purposive Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder. Sampel pada penelitian ini adalah bayi berat lahir rendah (BBLR) dan bayi berat lahir normal (BBLN) yang lahir pada bulan Januari 2012-April 2014.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat penting dan paling sering di gunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan saat lahir kurang dari 2500gr. BBLR dibedakan dalam dua kategori, yaitu bayi berat lahir rendah karena premature (umur kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan tetapi berat badan kurang untuk umurnya (Depkes RI, 2003). Definisi BBLR menurut World Health Organization (WHO) yaitu berat badan saat lahir <2.500gr (5,5 pon). Berdasarkan pengamatan epidemiologi, bayi dengan berat <2.500gr mempunyai risiko 20 kali untuk mengalami kematian dibandingkan dengan bayi yang berat badanya normal. BBLR lebih banyak terjadi di negara berkembang jika dibandingkan dengan negara-negara maju (WHO, 2004). Menurut Manuaba (2010) istilah prematuritas telah diganti dengan BBLR karena terdapat dua bentuk penyebab kelahiran bayi dengan berat badan lahir <2.500gr, yaitu karena umur kehamilan <37 minggu, berat badan lebih rendah dari semestinya sekalipun umur cukup atau karena kombinasi keduanya. Pilliteri (1986) menyebutkan BBLR merupakan
12
neonatus atau bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat lahirnya <2.500gr. BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang <2500gr tanpa memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Penyebab BBLR sangat kompleks. BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan, bayi kecil untuk masa kehamilan atau kombinasi keduanya. Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu. Sebagian bayi kurang bulan belum siap hidup di luar kandungan dan mendapatkan kesulitan untuk mulai bernafas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuhnya agar tetap hangat (Depkes RI, 2009). Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak tumbuh dengan baik dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3 kelompok bayi yang termasuk KMK yaitu KMK lebih bulan, KMK cukup bulan, KMK kurang bulan. Bayi KMK cukup bulan kebanyakan mampu bernafas dan menghisap dengan baik. Sedangkan bayi KMK kurang bulan kadang kemampuan bernafas dan menghisap lemah (Depkes RI, 2009). 2.2
Klasifikasi BBLR BBLR dapat digolongkan menjadi (Maryunani, 2013): a. Firmansjah (1998) dalam Maryunani (2013) menyebutkan bahwa ada beberapa istilah bayi prematur atau bayi lahir rendah yang harus diketahui
karena
berhubungan
dengan
prognosis
dan
penatalaksanaanya. Menurut Firmansjah neonatus dengan berat badan
13
lahir rendah adalah bayi yang kurang dari 2.500gr. Dalam hal ini disebutkan juga oleh firmansjah bahwa Neonatus yang termasuk dalam BBLR mungkin termasuk salah satu dari beberapa keadaan, yaitu : 1) NKB SMK (neonatus kurang bulan-sesuai masa kehamilan) adalah bayi prematur dengan berat badan lahir yang sesuai dengan masa kehamilan 2) NKB KMK (neonatus kurang bulan-kecil masa kehamilan) adalah bayi prematur dengan berat badan lahir kurang dari normal menurut umur kehamilan. 3) NCB KMK (neonatus cukup bulan-kecil untuk masa kehamilan) adalah bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir kurang dari normal. b. Selain itu sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran, BBLR dibagi lagi menurut berat badan lahir, yaitu : 1) Bayi yang berat lahirnya kurang dari 2500gr, disebut bayi berat lahir rendah (BBLR) 2) Bayi dengan berat lahir sangat rendah (BBLSR) atau very low birth weight (VLBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir antara 1500gr. 3) Bayi berat lahir
amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi
dengan berat lahir kurang dari 1000gr. c. Menurut persentil, BBLR dibagi sebagai berikut:
14
1) BBLR (berat badan lahir rendah) yaitu bayi dengan berat badan lahir absolut <2500gr tanpa memandang umur kehamilan. 2) KMK (kecil masa kehamilan) yaitu berat badan <10 persentil dari berat badan berdasarkan umur gestasi. 3) BMK (besar masa kehamilan) yaitu berat badan lahir >90 persentil dari berat badan berdasarkan umur gestasi. 2.3
Permasalahan pada BBLR Bayi dengan BBLR lebih mudah mengalami kematian atau mengalami masalah kesehatan yang serius. Berat bayi dan masa kehamilan menggambarkan risiko, semakin kecil berat bayi dan semakin muda masa kehamilan maka semakin besar risikonya. Masalah-masalah BBLR antara lain (Depkes RI,2009): a. Asfiksia BBLR bisa kurang, cukup atau lebih bulan, semuanya berdampak pada proses adaptasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami asfiksia lahir. BBLR membutuhkan kecepatan dan keterampilan dalam tindakan resusitasi. b. Gangguan Pernapasan Gangguang napas yang sering terjadi pada BBLR kurang bulan adalah penyakit membran hialin, sedangkan pada BBLR lebih bulan adalah aspirasi mekonium. BBLR yang mengalami gangguan napas harus segera dirujuk ke fasilitas rujukan yang lebih tinggi.
15
c. Hipotermi Hipotermi terjadi karena hanya sedikitnya lemak tubuh dan sistem pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum matang. Metode kanguru dengan kontak kulit ibu dengan kulit bayi membantu bayi BBLR agar tetap hangat. d. Hipoglikemi Hipoglikemi terjadi karena hanya sedikitnya simpanan energi pada bayi baru lahir dengan BBLR. Bayi dengan BBLR membutuhkan ASI sesegara mungkin setelah lahir dan minum sangat sering (setiap 2 jam) pada minggu pertama. e. Masalah Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Masalah pada bayi BBLR yaitu ukuran tubuh bayi yang kecil, kurang energi, lemah, lambung kecil dan tidak dapat menghisap, sehingga menyebabkan bayi dengan BBLR membutuhkan bantuan dalam mendapatkan ASI . Pemberian ASI dilakukan dalam jumlah yang lebih sedikit tapi sering. BBLR dengan kehamilan ≥35 minggu dan berat badan lahir ≥2000gr umumnya bisa langsung menetek. f. Infeksi Karena sistem kekebalan tubuh BBLR belum matang. Keluarga dan tenaga kesehatan yang merawat BBLR harus melakukan tindakan pencegahan infeksi antara lain dengan mencuci tangan dengan baik.
16
g. Ikterus (kadar bilirubin yang tinggi) Ikterus terjadi karena fungsi hati belum matang. Bayi dengan BBLR menjadi kuning lebih awal dan lebih lama dari pada bayi yang cukup beratnya. h. Masalah Pendarahan Masalah pendarahan berhubungan dengan belum matangnya sistem pembekuan darah saat lahir. Pemberian injeksi vitamin K1 dengan dosis 1 mg intramuskular segera sesudah lahir (dalam 6 minggu pertama). Untuk semua bayi baru lahir dapat mencegah kejadian pendarahan ini. Injeksi ini dilakukan di paha kiri. 2.4
Gambaran Klinis BBLR Bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mempunyai lemak dibawah kulit yang sangat sedikit, karena beratnya kurang dari 2500gr. a. Tanda-tanda bayi kurang bulan yaitu : 1) Kulit tipis dan mengkilap 2) Tulang rawan telinga sangat lunak, karena belum terbentuk dengan sempurna. 3) Lanugo (rambut halus/lembut) masih banyak ditemukan terutama pada punggung. 4) Jaringan payudara belum terlihat, puting masih berupa titik. 5) Pada bayi perempuan labia mayora belum menutupi labia minora 6) Pada bayi laki-laki skrotum belum banyak lipatan, testis kadang belum turun
17
7) Rajah telapak kaki kurang dari 1/3 bagian atau belum terbentuk 8) Kadang disertai dengan pernapasan tidak teratur 9) Aktifitas dan tangisanya lemah 10) Refleks menghisap dan menelan tidak efektif/lemah b. Tanda-tanda bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK) yaitu : 1) Umur bayi dapat cukup, kurang atau lebih bulan tetapi beratnya kurang dari 2500gr. 2) Gerakanya cukup aktif dan tangisanya cukup kuat 3) Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis 4) Bila kurang bulan jaringan payudara kecil dan puting kecil. Bila cukup bulan payudara dan puting sesuai masa kehamilan. 5) Bayi perempuan bila cukup bulan, labia mayora menutupi labia minora. 6) Bayi laki-laki, testis mungkin telah turun 7) Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian 8) Menghisap cukup kuat 2.5
Tata Laksana BBLR Saat Lahir Seperti bayi baru lahir lainya, bayi dengan BBLR perlu mendapat perhatian dan tatalaksana yang baik pada saat lahir, yaitu harus mendapat “Pelayanan Neonatal Esensial” (Depkes RI, 2009). a. Tatalaksana bayi pada saat lahir yaitu : 1) Persalinan yang bersih dan aman 2) Stabilisasi suhu
18
3) Inisiasi pernapasan spontan 4) Pemberian ASI dini (Inisiasi Menyusui Dini/IMD) dan ASI Eksklusif 5) Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi b. Tatalaksana saat lahir mencakup 1) Penilaian BBLR saat lahir dengan menggunakan parameter yaitu bernapas spontan atau menangis dan air ketuban (keruh atau tidak). 2) Asuhan bayi baru lahir c. Asuhan bayi baru lahir yaitu: 1) BBLR yang menangis termasuk ke dalam kriteria bayi lahir tanpa asfiksia. Bayi tersebut dalam keadaan bernapas baik dan warna air ketuban jernih. Untuk BBLR yang lahir menangis atau bernapas spontan ini dilakukan asuhan BBLR tanpa asfiksia sebagai berikut: a) Bersihkan lender secukupnya kalau perlu b) Keringkan dengan kain yang kering dan hangat c) Segera berikan pada ibu untuk kontak kulit ibu dengan kulit bayi d) Segera memberikan ASI dini dengan membelai e) Memandikan bayi dilakukan setelah 24 jam, atau lebih dari 24 jam jika bayi hipotermi <36,5c, suhu lingkungan dingin, ada penyulit yang lain. f) Profilaksis suntikan vitamin K1 1mg dosis tunggal, IM pada paha kiri anterolateral
19
g) Salep mata antibiotic h) Perawatan tali pusat : kering, bersih, tidak dibubuhi apapun dan terbuka i) Bila berat lahir ≥2000gr dan tanpa masalah atau penyulit, dapat diberikan vaksinasi Hepatitis B pertama pada paha kanan 2) BBLR yang tidak bernapas spontan dimasukan ke dalam kategori lahir dengan asfiksia dan harus segera dilakukan lagkah awal resusitasi dan tahapan resusitasi berikutnya diperlukan : a) Diputuskan berdasarkan penilaian keadaan bayi baru lahir, yaitu
bila
air
ketuban
bercampur
mekonium
(letak
kepala/gawat janin) dan bayi tidak menangis atau tidak bernapas spontan atau bernapas mengap-mengap. b) Langkah awal resusitasi yaitu jaga bayi dalam keadaan hangat, atur posisi kepala bayi sedikit tengadah, isap lendir dimulut kemudian hidung, keringkan sambil dilakukan rangsang taktil, reposisi kepala, nilai keadaan bayi dengan melihat parameter yaitu usaha napas bila setelah dilakukan penilaian, bayi tidak menangis atau tidak bernapas spontan dan teratur. 2.6
Faktor Risiko Kejadian BBLR Menurut WHO (2004), bayi dengan berat badan rendah saat lahir adalah salah satu hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37 minggu kehamilan ) atau pembatasan pertumbuhan janin (intrauterine). Berat lahir rendah sangat erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin dan
20
neonatal, menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan penyakit kronis. Banyak faktor yang mempengaruhi durasi kehamilan dan pertumbuhan janin yang akan berpengaruh pada berat lahir bayi. Faktorfaktor tersebut berhubungan untuk bayi, ibu atau lingkungan fisik dan memainkan peran penting dalam menentukan berat lahir bayi dan perkembangan kesehatanya. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Untuk umur kehamilan yang sama, berat badan anak perempuan lebih kurang dari pada anak laki-laki, bayi sulung lebih ringan dari bayi berikutnya (riwayat BBLR), dan kehamilan ganda. b. Berat lahir dipengaruhi oleh pertumbuhan janin ibu sendiri dan diet selama masa kelahiran dengan kehamilan c. Wanita muda memiliki bayi yang lebih kecil, nutrisi ibu hamil, gaya hidup (misalnya, alkohol, merokok atau penyalahgunaan obat) dan eksposur lainnya (misalnya, malaria, HIV atau sifilis), atau komplikasi seperti
hipertensi
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan janin serta durasi kehamilan d. Ibu dengan kondisi sosial-ekonomi rendah sering memiliki bayi berat lahir rendah. Berat lahir rendah terutama terjadi disebabkan oleh status gizi ibu yang buruk dan status kesehatan selama jangka waktu yang panjang, termasuk selama kehamilan, tingginya prevalensi infeksi spesifik dan non - spesifik, atau dari kehamilan komplikasi didukung oleh kemiskinan. secara jasmani menuntut kerja selama kehamilan juga berkontribusi untuk pertumbuhan janin yang buruk.
21
Penyebab BBLR umumnya tidak hanya satu, sehingga kadang sulit untuk dilakukan tindakan pencegahan. Faktor risiko kejadian BBLR diantaranya ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun atau lenih dari 35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, perokok, pengguna obat terlarang, alkohol,anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi selama dalam kandungan (Depkes RI, 2009). Menurut Manuaba
(2010), faktor risiko kejadian BBLR yaitu
terdiri dari faktor ibu berupa KEK (Kekurangan Energi Kronik), usia ibu <20 dan >35 tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah dan pekerjaan yang terlalu berat. Kemudian faktor kehamilan berupa hamil dengan hidramnion, hamil ganda, pendarahan antepartum, komplikasi kehamilan: preeklamsi/eklamsi dan KPD (Ketuban Pecah Dini) dan faktor janin yang terdiri dari cacat bawaan dan infeksi dalam rahim. Faktor risiko kejadian BBLR menurut WHO (2004), Depkes (2009) dan Manuaba (2010) antara lain: 1. Faktor ibu a. KEK (Kekurangan Energi Kronik) Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil yaitu Kekurangan Energi Kronik (KEK). KEK berdampak negatif terhadap ibu hamil
22
dan janin yang dikandung berupa peningkatan kematian ibu, sedangkan bayi berisiko mengalami BBLR, kematian dan gangguan tumbuh kembang. Kematian bayi merupakan indikator status kesehatan masyarakat yang penting berhubungan dengan anak sebagai investasi bangsa. Ibu hamil yang KEK sebaiknya mendapatkan makanan tambahan dan peyuluhan yang berkualitas (Festy, 2009). KEK disebabkan oleh kekurangan energi dalam jangka waktu yang cukup lama. KEK
pada wanita di negara berkembang
merupakan hasil kumulatif dari keadaan kurang gizi sejak masa janin, bayi dan anak-anak serta berlanjut hingga dewasa. Secara spesifik, penyebab KEK pada ibu hamil adalah akibat dari ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran
energi.
Yang
sering
terjadi
adalah
adanya
ketidaktersediaan pangan secara musiman atau secara kronis di tingkat rumah tangga, distribusi didalam rumah tangga yang tidak proporsional dan beratnya beban kerja ibu hamil (Albugis, 2008). Energi yang tersembunyi dalam protein ditaksir sebanyak 5180Kkal, dan lemak 36.337Kkal. Agar energi ini bisa ditabung masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak 26.224Kkal, yang digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Dengan demikian jumlah total energi yang harus tersedia selama kehamilan adalah
23
74.537Kkal, dibulatkan menjadi 80.000Kkal. Untuk memperoleh besaran energi per hari, hasil penjumlahan ini kemudian dibagi dengan angka 250 (perkiraan lamanya kehamilan dalam hari) sehingga diperoleh angka 300Kkal (Marie, 2002). Mekanisme terjadinya BBLR akibat Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil yaitu diawali dengan ibu hamil yang menderita KEK yang menyebabkan volume darah dalam tubuh ibu menurun dan cardiac output ibu hamil tidak cukup, sehingga meyebabkan adanya
penurunan aliran darah
ke
plasenta.
Menurunya aliran darah ke plasenta menyebabkan dua hal yaitu berkurangnya transfer zat-zat makanan dari ibu ke plasenta yang dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dan pertumbuhan plasenta lebih kecil yang menyebabkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) (Soetjiningsih, 1995 dalam Kemar 2008). Kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan sangat dipengaruhi oleh keadaan gizi ibu selama hamil. KEK pada ibu hamil perlu diwaspadai
kemungkinan
ibu
melahirkan
bayi
BBLR,
pertumbuhan dan perkembangan otak janin terhambat sehingga mempengaruhi kecerdasan anak dikemudian hari dan kemungkinan premature (Depkes, 2001 dalam Mulyaningrum, 2009). LILA merupakan indikator status gisi ibu hamil. LILA diasumsikan ukuran yang tidak terpengaruh dengan berat badan ibu dan bayi dalam kandungan. Di Indonesia batas ambang LILA
24
normal adalah 23,5cm. Ibu hamil dengan ukuran LILA kurang 23,5cm berisiko menderita Kekurangan Energi Kronik (KEK) yang dapat menyebabkan prematuritas dan risiko Berat Badan Bayi Rendah (Festy, 2009). Pengukuran Lingkar Lengan Bagian Atas (LILA) ibu pada saat hamil sangat penting. Tujuan dilakukan pengukuran LILA untuk mengetahui secara dini status gizi ibu hamil, apabila ukuran LILA <23,5cm maka kemungkinan ibu hamil untuk melahirkan bayi dengan BBLR lebih besar. Sedangkan apabila ukuran LILA >23,5cm maka ibu akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Hal ini disebabkan setiap ibu hamil memerlukan tambahan kalori dan nutrisi sehari-hari karena selama kehamilannya mereka harus memasok energi untuk pertumbuhan dan perkembangan janinnya (Puji, 2009). b. Umur ibu <20 dan >35 tahun Menurut Depkes (2001) dalam Mulyaningrum (2009) pada ibu hamil dengan umur >20 tahun, rahim dan panggul sering kali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil pada umur itu mungkin mengalami persalinan lama/macet, atau gangguan lainya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Sedangkan pada umur >35 tahun, kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu hamil pada
25
umur itu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak cacat, persalinan lama dan pendarahan. Kehamilan pada masa remaja (umur >20 tahun) menimbulkan tantangan bagi remaja
itu
sendiri dan bagi janin yang
dikandungnya yang berhubungan dengan meningkatnya risiko terhadap komplikasi kehamilan dan luaran perinatal yang buruk seperti preeklamsi, berat lahir janin rendah dan prematuritas. Kehamilan pada umur remaja berdampak pada pertumbuhan yang kurang optimal karena kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh kembang remaja sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri, (Simbolon & Aini, 2013). Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil, terutama bagi ibu hamil di umur remaja yaitu Kurang Energi Kronik (KEK), anemia tablet Fe, pertambahan berat badan kurang selama hamil, dan tinggi badan berisiko. Status gizi ibu hamil berpengaruh terhadap berat badan lahir bayi yang ternyata sangat erat hubungannya dengan tingkat kesehatan bayi selanjutnya dan angka kematian bayi. Kehamilan di umur remaja memperburuk pemenuhan kebutuhan energi, karena remaja sendiri juga membutuhkan energi untuk pertumbuhannya yang masih terus berjalan dan harus bersaing dengan pertumbuhan janin. (Simbolon & Aini, 2013). Meski kehamilan dibawah umur sangat berisiko tetapi kehamilan >35 tahun juga tidak dianjurkan dan sangat berbahaya.
26
Mengingat mulai umur ini sering muncul penyakit seperti hipertensi, tumor jinak peranakan, atau penyakit degeneratif pada persendian tulang belakang dan panggul. Menurut
Sitorus
(1999)
dalam
Setianingrum
(2005)
menyatakan bahwa Kesulitan lain kehamilan >35 tahun ini yakni bila ibu ternyata mengidap penyakit seperti diatas yang ditakutkan bayi lahir dengan membawa kelainan. Dalam proses persalinan sendiri, kehamilan di umur lebih ini akan menghadapi kesulitan akibat lemahnya kontraksi rahim serta sering timbul kelainan pada tulang panggul tengah. Mengingat bahwa faktor umur memegang peranan penting terhadap derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu hamil serta bayi, maka sebaiknya merencanakan kehamilan pada umur antara 20-35 tahun. Selain itu semakin muda dan semakin tua umur seorang ibu yang sedang hamil, akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi yang diperlukan. Umur yang muda perlu tambahan gizi yang banyak
karena
selain digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan dirinya sendiri juga harus berbagi dengan janin yang dikandungnya. Sedangkan umur yang tua perlu energi yang besar juga karena fungsi organ yang semakin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal maka memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung kehamilan yang sedang berlangsung (Kristyanasari, 2010, dalam Muazizah, 2011).
27
Umur ibu erat kaitannya dengan berat bayi lahir. Kehamilan pada umur >20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi, 2-4 kali lebih tinggi di bandingkan dengan kehamilan pada wanita yang cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi kehamilannya secara sempurna dan sering terjadi komplikasi (Nurfilaila, 2012). Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun, dibawah atau diatas umur tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan persalinannya (Depkes RI, 2003). Menurut Surtiati (2003), ibu yang berumur <20 dan >35 tahun memiliki risiko 3,18 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-35 tahun. c. Penyakit Kesehatan dan pertumbuhan janin dipengaruhi oleh kesehatan ibu. Bila ibu mempuyai penyakit yang berlangsung lama atau merugikan kehamilanya, maka kesehatan dan kehidupan janin pun terancam. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kehamilan yaitu penyakit Jantung, anemia berat, TBC, Malaria, HIV dan infeksi. Ibu dengan keadaan tersebut harus diperiksa dan mendapat pengobatan secara teratur oleh dokter (KEMENKES RI, 2011).
28
Penyakit dalam kehamilan terdiri dari adanya riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, penyakit hati, penyakit ginjal dan toksemia, adanya penyakit infeksi seperti malaria kongenital, penyakit kelamin, kandung kemih, malaria kongenital serta infeksi vagina dan rubella. Selain itu, adanya ketidak seimbangan hormonal pada ibu hamil. Disamping dapat menyebabkan keguguran setelah kandungan besar, ketidakseimbangan hormonal juga dapat menyebabkan kelahiran prematur dan BBLR. Dengan melakukan penggantian hormon dapat mencegah kelahiran prematur dan BBLR yang diakibatkan ketidakseimbangan hormonal (Maryunani, 2013). Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang bersifat sementara. Pada penderita asma, penyempitan saluran pernapasan merupakan respons terhadap rangsangan, yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga (Junaidi, 2010). Wanita yang hamil bernapas untuk dua orang, karena itu penting untuk mengendalikan asmanya. Kesulitan bernapas yang dialami wanita hamil mempengaruhi sang janin karena adanya
29
kompromi terhadap suplai oksigen. Jika asmanya terkendali, wanita penderita asma tidak akan mengalami komplikasi selama kehamilan dan bisa melahirkan sebagaimana wanita yang nonasmatik. Namun, asma yang tak terkendali selama kehamilan bisa mengakibatkan masalah kehamilan dan komplikasi pada sang janin seperti kelahiran prematur, bayi yang lahir kurang berat badan lahir rendah (BBLR), perubahan tekanan darah “maternal” (seperti eklampsia) (Chaitow, 2005). Serangan yang akut membahayakan janin dalam kandungan ibu hamil, karena berkurangnya pasokan oksigen yang diterima. Cara mencegah terjadinya serangan selama kehamilan dan proses melahirkan dengan strategi tiga jalur pertahanan terhadap asma yaitu aturlah lingkungan hidup penderita asma (kendalikan pemicu asma di lingkungan sekitarnya), aturlah kesejahteraan saluran pernapasanya agar saluran napas tersebut kurang sensitive, sehingga
lebih
kecil
kemungkinanya
bereaksi
dengan
menimbulkan gejala asma dan aturlah serangan asma (kenali gejala datangnya
serangan
secara
dini
dan
bertindak
untuk
menghentikanya sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar) (Chaitow, 2005). Oleh sebab itu mengontrol asma selama kehamilan sangat penting untuk mencegah keadaan yang tidak dimungkinkan baik pada ibu maupun pada janinya. Pada umumnya semua obat asma
30
dapat diminum selama kehamilan kecuali komponen adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. Bila terjadi serangan harus segera ditanggulangi secara agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta2, oksigen dan kortikosteroid sistemik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004). Penyakit batu saluran kemih (batu ginjal) adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Pada batu yang masih berukuran kecil dapat tidak memberikan gejala. Namun, pada batu yang berukuran lebih besar, maka dapat memberikan keluhan seperti nyeri kolik (nyeri yang disebabkan karena usaha untuk mengeluarkan batu, namun tersangkut di saluran kemih), hematuria (ada darah di urin), nyeri saat berkemih, terutama saat batu bergerak, buang air kecil sedikit, yang disebabkan tersumbatnya saluran kemih oleh batu, mual dan muntah (Gopar, 2009). Batu
saluran
kemih
dalam
kehamilan
tidaklah
biasa.
Frekuensinya sangat sedikit 0,03-0,07%. Walaupun demikian perlu juga diperhatikan karena urotiasis ini dapat mendorong timbulnya infeksi saluran kemih, atau menimbulkan keluhan pada penderita
31
berupa nyeri mendadak, kadang-kadang berupa kolik, dan hematuria. Diagnosis lebih tepat dengan melakukan pemeriksaan intravenous pielografi; akan tetapi janin harus dilindungi dari efek penyinaran. Bila diketahui adanya urolitiasis dalam kehamilan, terapi pertama adalah analgetika untuk menghilangkan sakitnya, diberi cairan banyak agar batu dapat ke bawah, karena hampir 80% batu akan dapat turun ke bawah, serta antibiotika (Wiknyosastro, 2007). Saat hamil, terkadang ibu hamil tidak berselera makan, mual dan muntah (emesis gravidarium) akibat pengaruh hormone chorionic gonadotropin. Karena perut sering tidak terisi, maka sakit maag akan muncul. Penyakit maag yang diderita sebelumnya dapat memperburuk masa mengidam ibu hamil, yaitu mual dan muntah berlebih (hiperemesis gravidarum) pada ibu hamil rentan sakit maag. Biasanya, keluhan pada daerah sekitar lambung baik itu mual, muntah (emesis gravidarum), heart burn (rasa panas di ulu hati,
bahkan sampai mual dan muntah
yang berlebihan
(hiperemesis gravidarium) (Bambang, 2011). Berdasarkan penelitian, obat yang dijual bebas untuk mengatasi keluhan maag relatif aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil, tetapi sesuai dosis. Karena tidak ditemukan efek teratogenik, malformasi (kecacatan) pada bayi. Namun sebelum itu terlebih dahulu berkonsultasi ke dokter agar lebih tepat jenis obat dan dosis sesuai
32
dengan kebutuhan. Berikut ada 2 cara untuk mengatasi gejala saluran pencernaan, antara lain farmakologis yaitu dengan menggunakan obat (vitamin B6, B12, anti histaine, antasida, H2 reseptor antagonist dan proton pump inhibitor) dan non farmakologis yaitu tanpa menggunakan obat seperti jahe (bentuk permen, sirup, atau kapsul), akupuntur atau dengan cara mengoleskan minyak kayu putih pada tubuh juga dapat mengurangi gas berlebih pada tubuh (Bambang, 2011). d. Jarak kehamilan Jarak kehamilan ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan. Seorang ibu yang jarak kehamilannya dikatakan berisiko apabila hamil dalam jangka kurang dari dua tahun, dan hal ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan berat badan yang rendah. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh pada fungsi plesenta terhadap janin (Depkes RI, 2003). Jarak kehamilan yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Ibu hamil dalam kondisi tubuh kurang sehat inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian ibu dan bayi yang dilahirkan serta risiko terganggunya sistem
33
reproduksi. Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya sehingga berpengaruh terhadap berat badan lahir. Ibu hamil yang jarak kehamilanya kurang dari dua tahun, kesehatan fisik dan kondisi rahimnya masih butuh istirahat yang cukup (Trihardiani, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Nurfilalila (2011) menemukan bahwa adanya hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian BBLR. Hubungan ini disebabkan karena jarak kehamilan berpengaruh terhadap proses petumbuhan janin dalam rahim, sehingga bila jarak kehamilan seseorang sangat dekat atau dalam jangka kurang dari dua tahun, maka mungkinkan terjadinya BBLR. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara jarak kehamilan dengan berat badan lahir. Hal ini dikarenakan sebagian besar subyek pada penelitian ini, yaitu sebesar 90,8% memiliki jarak kelahiran lebih dari sama dengan dua tahun. e. Pekerjaan Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh semua umur. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan untuk mendapatkan nafkah atau pencaharian masyarakat yang sibuk
34
dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari yang akan memiliki waktu yang lebih untuk memperoleh informasi (Depkes RI, 2001). Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011) mengemukakan bahwa wanita bekerja yang sedang hamil membutuhkan perlindungan khusus. Perlindungan khusus ini diperlukan karena beberapa alasan. Pertama, pada fase perkembangan embrio lebih rentan terhadap agen toksik dibandingkan dengan ibu yang terpapar. Kedua, pada beberapa jenis pekerjaan dirasa kurang sesuai dikerjakan oleh seorang wanita. Ketiga, kehamilan mungkin menurunkan kapasitas kemampuan menangani permasalahan kerja. Keempat, wanita cenderung kurang memperhatikan dirinya dibandingkan dengan pria. Substansi bahaya di tempat kerja dapat masuk pada pekerja melalui tiga cara yaitu pernafasan, kontak melalui kulit dan melalui pencernaan. Wanita pekerja yang sedang hamil harus lebih berhatihati mengenai bahaya pada kesehatan reproduksi. Beberapa bahan kimia dapat beredar di dalam darah ibu, melalui plasenta dan menjangkau perkembangan janin. Agen berbahaya lainya yaitu agen biologi seperti bakteri, virus, cacing yang dapat mempengaruhi secara keseluruhan pada kesehatan wanita dan mengurangi transport makanan ke janin sehingga menyebabkan bayi dengan berat lahir rendah (Sujoso, 2011).
35
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartikainen dalam Sujoso (2011) terhadap kelompok wanita pekerja yang hamil, terpapar dan tidak terpapar kebisingan. Batas paparan yang diterima 78db. Tidak ada
perbedaan
dalam
kelompok.
Namun
hasil
penelitian
menyimpulkan bahwa bila wanita yang sedang hamil menerima paparan kebisisngan 90db atau lebih, akan mengakibatkan bayi yang dilahirkan mempunyai berat badan lahir rendah. Selain itu, paparan radiasi bagi ibu hamil di tempat kerja dapat mengakibatkan mutasi genetik dan kelainan kongenital serta radiasi ionisasi, misalnya sinar x dan sinar gamma dapat menyebabkan gangguan kesuburan, kelahiran cacat, bayi berat badan lahir rendah dan gangguang perkembangan mental. Beban fisiologis pada pekerja juga dapat mengakibatkan gangguan kehamilan. Menurut Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011) pekerjaan yang paling berisiko terpajan faktor fisiologis untuk wanita hamil adalah industri tekstil. Sumber bahaya fisiologis yang sering ditemukan adalah jam kerja panjang, shift kerja yang pengaturanya tidak ergonomis, jam kerja seminggu yang melebihi 35 jam, waktu memutuskan cuti kerja sampai dengan menjelang minggu ke 32, posisi kerja berdiri terlalu lama, membawa beban yang berat. Sedangkan yang berkaitan dengan sumber masalah psikis yang dialami pekerja wanita dalam kondisi hamil adalah tuntutan pekerjaan, pengawasan pekerjaan, pengerahan tenaga fisik.
36
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009) menunjukan bahwa rata-rata berat lahir bayi berdasarkan jenis pekerjaan dengan aktivitas fisik berat pada kelompok ibu bekerja lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi ibu tidak bekerja dengan aktivitas berat. Seorang wanita yang bekerja apabila mengalami stres terutama pada saat hamil secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku wanita tersebut terhadap kehamilannya,
misalnya
dalam
melakukan
perawatan
kehamilannya.Wanita hamil yang berada dalam keadaan stres akan mempengaruhi perilakunya dalam hal pemenuhan intake nutrisi untuk diri dan janin yang dikandungnya. Nafsu makan yang kurang menyebabkan intake nutrisi juga berkurang, sehingga terjadi gangguan pada sirkulasi darah dari ibu ke janin melalui plasenta. Hal ini akan dapat mempengaruhi berat lahir bayi yang akan dilahirkan. Pekerjaan terkait pada status sosial ekonomi dan aktifitas fisik ibu hamil. Dengan keterbatasan status sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap keterbatasan dalam mendapatkan pelayanan antenatal yang adekuat, pemenuhan gizi, sementara itu ibu hamil yang bekerja cenderung cepat lelah sebab aktifitas fisiknya meningkat karena memiliki pekerjaan/kegiatan diluar rumah (Depkes RI, 2003).
37
Menurut penelitian Alisyahbana (1990) dalam Surtiati (2003), menyatakan bahwa ibu yang bekerja memiliki risiko melahirkan BBLR sebesar 1,58 kali bila dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu juga berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi. Pada ibu yang berasal dari strata sosial ekonomi rendah banyak terlibat dengan pekerjaan fisik yang lebih berat. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Trihardiani
(2011)
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil ibu (11,2%) yang bekerja. Masyarakat cenderung memiliki persepsi bahwa suami merupakan tulang punggung keluarga yang berkewajiban mencari nafkah dengan bekerja diluar rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status pekerjaan tidak memiliki hubungan terhadap berat badan lahir. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar (88,8%) subyek tidak bekerja, dan juga ada kemungkinan dikarenakan sebagian besar ibu yang bekerja memiliki pekerjaan yang tidak membahayakan kesehatan janin, selain itu ibu yang bekerja mempunyai pendidikan tinggi sehingga mereka dapat mengurangi faktor risiko dari pekerjaan mereka dengan melakukan pencegahan secara dini. f. Pendidikan Rendah Tingkat pendidikan ibu mengambarkan pengetahuan kesehatan. Seseorang
yang
memiliki
pendidikan
tinggi
mempunyai
38
kemungkinan pengetahuan tentang kesehatan juga tinggi, karena makin mudah memperoleh informasi yang didapatkan tentang kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.
Sebaliknya
pendidikan
yang
kurang
menghambat
perkembangan seseorang terhadap nilai nilai yang baru di kenal (Notoadmojo,2007). Tingkat
pendidikan
merupakan
faktor
yang
mendasari
pengambilan keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima dan mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan janinnya. Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan dan gizi selama masa kehamilan (Simarmata,2010). Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi pula pengetahuan kesehatan. Pendidikan yang tinggi memudahkan seseorang menerima informasi lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan rendah. Pengetahuan kesehatan yang tinggi menunjang perilaku hidup sehat dalam pemenuhan gizi ibu selama kehamilan. (Festy, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009) menunjukaan bahwa ibu yang berpendidikan rendah memiliki rata-rata berat lahir
39
bayi lebih rendah dari pada ibu yang berpendidikan tinggi, dalam hal ini pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap pengetahuan ibu yang berkaitan dengan perawatan selama hamil, melahirkan dan perawatan setelah melahirkan. Tinggi-rendahnya taraf pendidikan seseorang akan mendukung dan memberi peluang terhadap daya serap ilmu pengetahuan dan keinginan serta kemauan untuk mengetahui setiap hal yang berkaitan dengan kehamilan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Atriyanto (2006), menunjukan bahwa ibu hamil yang memiliki pendidikan rendah (tidak tamat SLTA kebawah) memiliki risiko melahirkan BBLR sebesar 1,84 kali lebih besar dibandngkan dengan ibu hamil yang berpendidikan tinggi (tamat SLTA keatas). g. Merokok Perilaku merokok berhubungan dengan berkurangnya berat badan bayi yang dilahirkan dan dengan insiden perasalinan preterm. (Ladewig, et all, 2005). Selain berisikomengalami penyakit kardiovaskuler, penyakit paru obstruktif dan kanker paru, wanita yang merokok selama kehamilan juga merisikokan janinya mengalami penurunan perfusi uteroplasenta
dan penurunan
oksigenasi. Bayi yang lahir dari wanita yang merokok lebih dari ½ pak perhari cenderung lebih kurus dari pada bayi yang lahir dari wanita bukan perokok. Pada beberapa kasus efek merokok pada
40
bayi secara signifikan mempengaruhi berat lahir dan mengancam kesehatan janin (Wheeler. 2004). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rasyid, dkk, (2012) menunjukkan bahwa keterpaparan asap rokok selama hamil memberi pengaruh terhadap kejadian BBLR dengan besar risiko 4,2 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar. Nikotin pada rokok menimbulkan kontriksi pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke janin melalui tali pusat janin akan berkurang sehingga mengurangi kemampuan distribusi zat makanan yang diperlukan oleh janin. Sedangkan karbon monooksida akan mengikat hemoglobin dalam darah, akibatnya akan mengurangi kerja hemoglobin yang mestinya mengikat oksigen untuk disalurkan ke seluruh tubuh sehingga akan mengganggu distribusi zat makanan serta oksigen ke janin. h. Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol telah dihubungkan dengan deficit neurologist pada bayi baru lahir dan dengan berat bayi lahir rendah. Peminum berat bisa mengakibatkan terjadinya sindrom janin alkohol. (Ladewig, et all, 2005). Sindrom alkohol janin (Fetal Alcoholic Syndrome [FAS]) merupakan suatu sindrom mengenai gambaran wajah yang abnormal, pertumbuhan kerdil, masalah perilaku dan kecacatan intelektual dengan berbagai tingkat keparahan merupakan akibat
41
dari konsumsi alkohol berlebihan selama masa hamil dan merupakan penyebab retardasi mental kongenital. Ketika anak FAS beranjak dewasa biasanya mereka memiliki masalah dengan daya ingat, pemikiran dan penilaian yang abstrak, serta kontrol impuls. Jumlah minuman yang dikonsumsi selama periode organogenesis dan sensitivitas genetik juga dapat berperan. Wanita hamil yang mengkonsumsi alkohol satu gelas atau lebih perhari berisiko mengalami aborsi spontan sampai dua kali lipat dan setiap dua gelas alkohol yang dikonsumsi di kehamilan tahap lanjut akan membuat berat lahir berkurang sebesar 160gr (Wheeler, 2004). i. Konsumsi Obat-obatan Terlarang Ibu hamil dianjurkan untuk tidak menggunakan obat-obatan yang tidak diresepkan oleh dokter selama hamil (Maryunani, 2013). Penggunaan obat-obat sebelum hamil atau selama hamil terutama golongan obat teratogenik merupakan risiko untuk terjadi gangguan pertumbuhan janin ataupun kelainan kongenital, dengan demikian kejadian BBLR lebih besar dari pada ibu hamil yang tidak mempergunakan obat-obatan (Trihardiani, 2011). Ibu sebaiknya menghindari penggunaan obat-obatan baik yang diresepkan dan yang dijula bebas ketika hamil. Jika suatu saat timbul kebutuhan untuk pengobatan, ibu seharusnya memastikan pemberi asuhan mengetahui bahwa dirinya sedang hamil. Ibu harus juga menghindari konsumsi heroin, crack, mariyuana dan obat yang
42
dijual bebas serta obat jalanan selama kehamilan (Ladewig et all, 2005). j. Status Ekonomi rendah Keadaan sosial, ekonomi dan demografi merupakan tolak ukur kualitas rumah tangga. Karena keadaan tersebut erat kaitannya dengan ketahanan pangan, keadaan gizi, pendidikan dan kesehatan rumah tangga. Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan tolak ukur yang sering digunakan dalam berbagai penelitian untuk menemukan hubungannya dengan banyak masalah kesehatan dan gizi (Subarkah, 2003). k. Penambahan berat badan <10kg Peningkatan berat badan dalam kehamilan terjadi karena adanya pertumbuhan janin dan perubahan beberapa tempat dari tubuh ibu. Sebagai respon terhadap pertumbuhan janin dan plasenta yang cepat serta kebutuhan-kebutuhan yang semakin meningkat, wanita hamil mengalami perubahan metabolik. Sebagian besar pertambahan berat badan selama hamil dihubungkan dengan uterus dan isinya, payudara, berubahnya volume darah serta cairan ekstrasel ekstravaskuler. Penambahan berat badan yang lebih kecil adalah akibat perubahan metabolik yang menyebabkan bertambahnya air dalam sel dan penumpukan lemak dan protein baru. Lemak bawah kulit pada umumnya tertimbun dibagian perut serta bagian depan
43
dan belakang paha terutama pada trimester pertama dan kedua (Puspitasari, dkk, 2011). Pertambahan berat badan ibu merupakan pencerminan dari status gizi ibu hamil. Bertambahnya berat badan ibu sangat berarti sekali bagi kesehatan ibu dan janin. Pada ibu yang menderita kekurangan energi dan protein (status gizi kurang) maka akan menyebabkan ukuran plasenta lebih kecil dan suplai nutrisi dari ibu ke janin berkurang, sehingga terjadi reterdasi perkembangan janin intra utera dan bayi dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Samsudin dan Arjatmo Tjokronegoro, 1986 dalam Setianingrum, 2005). Bila berat badan ibu sebelum hamil normal, maka perlu ditambah minimal 10kg pada masa kehamilanya. Sedangkan bila berat badan kurang sebelum hamil, perlu ditambah hingga mendekati 15kg (Maryunani, 2013). Menurut WHO penambahan berat badan ibu hamil yang normal yaitu ≥10kg sampai dengan <15kg.
Defisiensi
mikronutrien
selama
kehamilan
serta
penambahan berat badan yang tidak memadai memiliki dampak terhadap neonatal dan bayi yaitu berupa kelahiran prematur, berat lahir rendah (BBLR) dan kelahiran cacat (WHO, 2014). Sedangkan untuk kehamilan kembar penambahan berat badan ibu antara 1823kg selama kehamilanya (Gopar, 2009).
44
Berat badan ibu hamil harus memadai, bertambah sesuai dengan umur kehamilan. Berat badan rendah sebelum hamil, serta pertambahan berat badan yang tidak adekuat merupakan penilaian langsung yang dapat digunakan untuk memperkirakan laju pertumbuhan janin. Pertambahan berat badan
yang sesuai
menggambarkan terpenuhinya kebutuhan ibu dan janin yang dapat mendukung pertumbuhan janin dalam rahim. Pertambahan berat badan ibu yang tidak sesuai akan memungkinkan terjadinya keguguran, kelahiran prematur, BBLR, dan perdarahan setelah persalinan. Sebagian besar BBLR terjadi pada ibu yang mengalami kenaikan berat badan selama hamilnya <10kg (Trihardiani, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2003), Ibu yang mengalami penambahan berat badan <10kg memiliki risiko 3,34 kali lebih besar untuk mengalami bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mengalami penambahan ≥10kg pada saat kehamilanya. Hasil penelitian dilakukan oleh Festy (2010) di Kabupaten Sumenep menyatakan bahwa penambahan berat badan ibu berisiko 8,264 kali menyebabkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) di RSUD Ulin Banjarmasin juga menyatakan bahwa penambahan berat badan ibu berisiko 7,1 kali menyebabkan BBLR.
45
l. Tinggi badan Tinggi badan ibu hamil yang berisiko BBLR adalah kurang dari sama
dengan
145cm.
Hasil
penelitian
Budiman,
(2011),
menunjukkan bahwa makin tinggi badan ibu hamil maka makin besar juga berat bayi yang dilahirkan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kate dkk dalam Budiman (2011) bahwa ibu yang memiliki postur pendek memiliki risiko melahirkan bayi dengan berat lahir lebih rendah karena diperkirakan postur pendek mencerminkan keadaan status gizi yang kurang baik di masa lampau. Sebuah studi dari India melaporkan tingginya insiden bayi BBLR pada ibu dengan tinggi badan <145cm dari pada ibu dengan tinggi badan >145cm. Ibu yang memiliki tinggi badan <145cm berisiko 1,32 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan >145cm. Beberapa penelitian lain telah melaporkan bahwa ibu bertubuh pendek memiliki risiko lebih besar untuk memperoleh hasil kehamilan yang merugikan. Penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa tinggi ibu memiliki dampak terhadap ukuran bayi baru lahir (berat lahir dan panjang lahir). Pengerdilan (stunting) merupakan konsekuensi dari asupan nutrisi jangka panjang yang buruk dan merupakan indikator utama dalam menurunkan pertumbuhan pada anak-anak. Pengerdilan juga telah dikaitkan dengan kelangsungan siklus gizi dengan menyebabkan
46
berat badan lahir rendah di antara keturunan dari ibu yang terhambat (Bisai, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011) juga menyebutkan bahwa tidak adanya hubungan antara tinggi badan dengan kejadian BBLR. Hal ini dikarenakan sebagian besar subyek (98,2%) memiliki tinggi badan lebih dari 145cm. Proverawati (2009) dalam Simbolon & Aini (2013) menjelaskan bahwa tinggi badan ibu hamil terlalu pendek dan kurang dari 145cm merupakan salah satu golongan risiko tinggi. Perbaikan tinggi badan perempuan berupa intervensi gizi dan kesehatan perempuan di negara-negara maju terbukti memberi pengaruh yang signifikan pada penurunan angka kejadian BBLR. Tingginya risiko ibu pendek melahirkan bayi BBLR, menunjukkan perlunya intervensi gizi dan kesehatan yang segera dilakukan bagi para perempuan Indonesia yang dimulai dari perbaikan status gizi sejak dini sebagai upaya penurunan angka kejadian BBLR. m. Riwayat Kelahiran Prematur dan BBLR Penyebab kelahiran prematur dan BBLR yang telah diketahui dapat diperbaiki dengan perawatan pralahir yang sempurna, pengurangan faktor risiko lainya serta pembatasan kegiatan dapat membantu mencegah hal tersebut terulang kembali. Bila penyebab
47
kelahiran prematur dan BBLR tidak dapat dicegah atau diperbaiki maka kelaahiran prematur dan BBLR dapat ditunda. Pengunduran waktu sejenak dapat bermanfaat, dimana setiap hari tambahan nutrisi bayi yang berada dalam uterus akan meningkatkan kesempatan untuk selamat (Maryunani, 2013). n. Anemia Kehamilan Sebagian besar penyebab anemia pada ibu hamil adalah kekurangan
zat
besi
yang
diperlukan
untuk
pembentukan
hemoglobin. Anemia gizi besi terjadi karena tidak cukupnya zat gizi besi yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel darah merah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang yang akan menurunkan metabolisme jaringan sehingga pertumbuhan janin akan terhambat, dan berakibat berat badan lahir bayi rendah (Trihardiani, 2011). Bondevik (2001) dalam Simbolon dan Aini (2013) menjelaskan bahwa anemia pada ibu hamil dapat menganggu pertumbuhan janin dalam kandungan, sehingga ibu hamil dengan anemia bisa melahirkan bayi prematur dan BBLR. Kekurangan zat besi dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin baik sel tubuh maupun otak. Secara fisiologis, penurunan kadar hemoglobin selama kehamilan terjadi karena ketidakseimbangan
48
jumlah sel darah merah dan plasma darah. Ketidakseimbangan ini akan terlihat
dalam
bentuk penurunan
kadar
hemoglobin.
Peningkatan jumlah eritrosit juga menyebabkan peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan sekaligus untuk pertumbuhan janin. Anemia pada ibu hamil mengakibatkan gangguan nutrisi dan oksigenasi utero plasenta, sehingga ibu hamil yang mengalami anemia akan berdampak pada gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan BBLR. Kadar Hb ibu hamil normal adalah 11gr/dl , kadar Hb ini tergantung pada asupan nutrisi ibu selama hamil. Hb <11gr/dl berisiko menderita anemia zat besi yang dapat berakibat pada terjadinya kelahiran dengan berat badan lahir rendah. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan kekurangan suplai oksigen ke jaringan sehingga mengganggu pertumbuhan janin. Untuk itu ibu hamil yang menderita anemia perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Petugas kesehatan hendaknya memeriksa Hb sedini mungkin (Festy, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Aristyawati (2011) menyatakan bahwa kejadian BBLR 3,57 kali lebih besar pada ibu hamil yang menderita anemia dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak menderita anemia. Selain itu, penelitian lainya dilakukan oleh Trihardiani (2011), menyatakan bahwa faktor penyebab anemia
49
pada ibu hamil diantaranya kurang gizi, penyakit kronis (infeksi dan non infeksi), kemiskinan, keterbelakangan, dan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah. Selain itu faktor ketidaktahuan ibu terhadap kebiasaan konsumsi bahan makanan/minuman tertentu yang dapat menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh, yaitu antara lain ibu tidak mengetahui bahwa tablet besi tidak boleh dikonsumsi
dengan
teh
(karena
mengandung
fitat)
dapat
menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh. Anemia terjadi apabila kadar hemoglobin dalam darah lebih rendah dari pada nilai normal. Kadar hemoglobin dapat dijadikan sebagai indikator tentang keadaan gizi pada umumnya. Batas Hb normal untuk wanita hamil adalah 11gr% atau lebih. Penelitian yang dilakukan oleh Puji (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb ibu dengan kejadian BBLR. Hal ini disebabkan karena apabila ibu hamil mengalami anemia maka pasokan O2 untuk jaringan menurun dan pengangkutan CO2 dari jaringan menjadi terhambat sehingga dapat menghambat pertumbuhan jaringan baik pada janin maupun pada plasenta sehingga dapat mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, partus premature, partus lama dan lain-lain.
50
2. Faktor kehamilan a. Komplikasi kehamilan Kehamilan ganda yaitu kehamilan dimana jumlah janin yang dikandung lebih dari satu (Maryunani, 2013). Laju morbiditas dan mortalitas meningkat secara signifikan pada kehamilan dengan janin ganda. Laju
mortalitas perinatal lebih tinggi dan adanya
peningkatan risiko persalinan preterm dengan masalah yang berhubungan dengan prematuritas. Kehamilan ganda meningkatkan insidensi IUGR, kelainan kongenital dan presentasi abnormal. Bagi ibu kehamilan ganda dapat menyebabkan peningkatan rasa ketidaknyamanan fisik selama kehamilan, seperti pernapasan pendek, sakit punggung, edema kaki juga terjadi peningkatan insidensi PIH (Pregnancy Induced Hypertension), anemia serta plasenta previa (Ladewig et all, 2013). Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan ganda dapat memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap bayi dan ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi kehamilan ganda harus dilakukan pengawasan hamil yang lebih intensif. Kebutuhan untuk pertumbuhan hamil ganda lebih besar sehingga apabila terjadi difisiensi nutrisi seperti anemia hamil dapat mengganggu pertumbuhan janin dalam rahim (Lubis, 2011). Kehamilan ganda (multifetus) adalah kehamilan yang terdiri dari dua janin atau lebih. Kehamilan ganda dapat menghasilkan
51
anak ganda dua, ganda tiga (triplet) ganda empat (quadruplet), ganda lima (quintriplet), dan ganda enam (sextuplet). Pertumbuhan janin ganda dan tunggal menunjukkan perbedaan yang cukup berarti. Berat badan satu janin ganda rata-rata lebih ringan 1000gr dari janin tunggal. Berat badan bayi ganda dua dan tiga yang baru lahir kurang dari 2500gr dan ganda lima kurang dari 1000gr. Berat badan janin dari kehamilan ganda tidak sama. Umumnya, terjadi perbedaan antara 50-1000gr. Selain itu, terjadi pembagian sirkulasi darah yang tidak sama. Akibatnya. pertumbuhan kedua janinnya pun berbeda (Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI RSCM, 2014 ). Berat badan janin pada kehamilan kembar lebih ringan dari pada janin pada kehamilan tunggal pada umur kehamilan yang sama. Sampai kehamilan 30 minggu kenaikan berat badan janin kembar sama dengan janin kehamilan tunggal. Setelah itu, kenaikan berat badan lebih kecil, karena regangan yang berlebihan menyebabkan peredaran darah plasenta mengurang. Berat badan satu janin pada kehamilan kembar rata-rata 1000gr lebih ringan dari pada janin kehamilan tunggal. Berat badan bayi yang baru lahir umumnya pada kehamilan kembar <2500gr (Wulandari, 2011). Pengaruh kehamilan ganda pada janin yaitu mortalitas janin naik sampai empat kali dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Mortalitas
keseluruhan
bervariasi
antara
9-14%.
Meskipun
52
malpresentasi dan anomaly kongenital mempunyai peranan, sebab kematian terbesar adalah prematuritas. Berat lahir merupakan faktor penting, agaknya 2000gr merupakan titik kritis. Sementara berat masing-masing anak lebih kecil dari rata-rata, berat totalnya lebih besar dari bayi tunggal. Salah satu anak dapat lebih berat 50-1000gr dari lainya. Separoh kasus anaknya mempunyai berat badan cukup bulan. Seperdelapan kehamilan kedua bayinya dibawah 1500gr. Tiga perdelapan sisanya antara 1500-2500gr (Oxorn & Forte, 2010). b. Komplikasi Kehamilan Komplikasi
kehamilan
seperti
pendarahan,
pre
eklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini. Perdarahan dibedakan dalam dua kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum kehamilan 28 minggu seringkali berhubungan dengan aborsi atau kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat disebabkan karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma, atau penyakit saluran kelamin bagian bawah (Depkes RI, 2000 dalam Parhusip, 2010). Pre-eklampsia/eklampsia yaitu kondisi ibu hamil dengan tekanan darah meningkat keadaan ini sangat mengancam jiwa ibu dan bayi yang dikandung (Maryunani, 2013). Per-eklamsi adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria
53
yang timbul karena kehamilan yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janinnya. Penyakit ini pada umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan dan dapat terjadi pada waktu antepartum, intrapartum, dan pasca persalinan (Prawirohardjo, 1999 dalam Parhusip, 2010). Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140mmHg atau lebih dan tekanan diastolik naik dengan 15mmHg atau lebih atau menjadi 90mmHg maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Manuaba, 2008). Hipertensi bisa didapati sebelum kehamilan (1-5%) dan menetap semasa kehamilan atau dapat terjadi pada saat kehamilan. Karena sistemik vascular resisted yang menurun pada awal kehamilan, maka hipertensi ini sering tidak didapati hingga pertengahan kedua kehamilan. Keadaan ini disebut dengan pregnancy-induced atau gestational hypertension atau toxemia. Bila disertai dengan proteinuria, edema kaki, iritabilitas SSP, peningkatan enzim hati, gangguan koagulasi, maka sindroma hipertensi ini disebut preeklamsi. Jika disertai konvulsi maka disebut eklamsi. Preeklamsi meningkatkan
resiko
pada
ibu
(kira-kira
1-2% perubahan
54
perdarahan SSP, konvulsi atau penyakit sistemik berat lainnya) dan retardasi perkembangan janin (10-15%) (Bahri, 2004). Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi serius pada trimester kedua-ketiga dengan gejala klinis seperti edema, hipertensi, proteinuria, kejang sampai koma. Dengan terjadinya hipertensi, maka terjadi spasme pembuluh darah, sehingga terjadi gangguan fungsi plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan terganggu, pasokan nutrisi dan O2 akan tergangu sehingga janin akan mengalami pertumbuhan janin yang terganggu dan bayi akan lahir dengan berat bayi lahir rendah (Wijayarini, 2002 dalam Kurniawati, 2010). Terapi non farmakologi bisa dilakukan untuk menangani hipertensi, walaupun tidak memberikan dampak yang berarti. Meskipun bed rest yang ketat dapat menurunkan tekanan darah, tetapi umumnya keadaan ini tidak direkomendasikan. Membatasi aktifitas fisik dan mengurangi stress selalu dianjurkan. Membatasi masukan garam tidak dianjurkan, kecuali pada penderita yang jelas diketahui sebelumnya mempunyai hipertensi sensitive terhadap garam (salt-sensitive hypertension), karena wanita hamil dengan hipertensi mempunyai volume plasma yang lebih rendah dibanding wanita
dengan
normotensi.
Jika
diperlukan
pengobatan
farmakologik, methyldopa dapat menjadi pilihan. Sebaliknya penggunaan antihipertensi tidak selalu menunjukkan peningkatan
55
survival pada janin dan menghasilkan anak dengan mental dan perkembangan fisik yang normal. Penggunaan obat-obat anti hipertensi lain akan mempunyai hasil yang sama, tetapi belum diteliti dengan sempurna. Termasuk terapi awal dengan beta bloker β1 selektif atau diuretic. Calcium channel blocker terbukti telah efektif dan penggunaan ACE inhibitor tidak boleh digunakan dan keamanan penggunaan angiotensin II blocking agent belum diketahui (Anwar, 2004). Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat badan ½kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal tetapi bila kenaikan 1kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan (Manuaba, 2008). Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi dalam kehamilan, dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa bentuk protein lolos dalam urine. Normal terdapat sejumlah protein dalam urine, tetapi tidak melebihi 0,3gr dalam 24 jam. Proteinuria menunjukkan komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut sehingga memerlukan perhatian dan penanganan segera (Manuaba, 2008).
56
Ketuban pecah dini adalah kondisi dimana air ketuban keluar sebelum waktunya dan biasanya faktor penyebab paling sering adalah terjadinya benturan pada kandungan (Maryunani, 2013). c. Umur kehamilan Umur kehamilan ibu umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari. Umur kehamilan ibu adalah batas waktu ibu mengandung, yang dihitung mulai dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Umur kehamilan normal adalah 40 minggu atau 280 hari seperti kebiasaan orang awam 9 bulan 10 hari. Disebut matur atau cukup bulan adalah rentang 37-42 minggu, bila <37 minggu disebut prematur atau kurang bulan, bila >42 minggu disebut post-matur atau serotinus. Hubungan antara umur kehamilan dengan berat bayi lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intrauterine. Menurut hubungan berat lahir/umur kehamilan maka berat bayi lahir dikelompokkan menjadi Sesuai Masa Kehamilan (SMK), Kecil Masa Kehamilan (KMK) dan Besar Masa Kehamilan (BMK) (Ahmad, 2012). Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan disesuaikan dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Masa kehamilan ibu dibagi dalam tiga tahapan atau trismester. Trismester pertama, saat kehamilan mencapai umur 1-3 bulan, adalah masa penyesuaian tubuh ibu terhadap awal kehamilanya. Karena pada
57
tiga bulan pertama ini pertumbuhan janin masih lambat, penambahan kebutuhan zat-zat gizinyapun masih relative kecil. Pada tahap ini ibu hamil memasuki masa untuk menyimpan zat gizi sebanyak-banyaknya dari makanan yang disantap setiap hari untuk cadangan persediaan pada trismester berikutnya (Albugis, 2008). Memasuki trismester kedua, saat kehamilan berumur 4-6 bulan, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan sebelumnya. Kecepatan pertumbuhan itu mencapai 10gr per hari. Tubuh ibu juga mengalami perubahan dan adaptasi, misalnya pembesaran payudara dan mulai berfungsinya rahim serta plasenta. Untuk itu, peningkatan kualitas gizi sangat penting karena pada tahap ini ibu mulai menyimpan lemak dan zat gizi lainya untuk cadangan sebagai bahan pembentuk ASI saat menyusui nanti (Albugis, 2008). Sedangkan pada tahap terakhir atau trismester ketiga, ketika umur kehamilan mencapai 7-9 bulan, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pesatnya pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari cadangan energi yang disimpan ibu selama tahap sebelumnya (Albugis, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2003), ibu yang melahirkan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk mengalami BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan ≥37 minggu.
58
3. Faktor janin a. Cacat bawaan Cacat bawaan yaitu keadaan janin yang cacat sebagai akibat pertumbuhan janin didalam kandungan tidak sempurna (Depkes, 2009). 2.7
Kerangka Teori Terdapat sejumlah faktor risiko terhadap kejadian BBLR. Namun demikian, beberapa faktor risiko tersebut dapat dikendalikan sebagian maupun sepenuhnya serta meningkatkan kesempatan bagi ibu untuk melahirkan bayi dengan berat lahir normal. Menurut Depkes RI (2009), faktor risiko kejadian BBLR diantaranya ibu hamil yang berumur <20 dan >35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, perokok, pengguna obat terlarang, alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi selama dalam kandungan. Menurut WHO (2004), faktor risiko kejadian BBLR yaitu status gizi, status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan, pekerjaan berat, umur kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya, alkohol, merokok, obat-obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi badan dan tinggal di daerah ketinggian. Sedangkan menurut Manuaba (2010), faktor risiko kejadian BBLR yaitu terdiri dari faktor ibu berupa KEK
59
(Kekurangan Energi Kronik), usia ibu <20 dan >35 tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun seperti hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah dan pekerjaan yang terlalu berat. Kemudian faktor kehamilan berupa hamil dengan hidramnion, hamil ganda, pendarahan antepartum, komplikasi kehamilan: preeklamsi/eklamsi dan KPD (Ketuban Pecah Dini) dan faktor janin yang terdiri dari cacat bawaan dan infeksi dalam rahim. Berdasarkan uraian diatas, maka disusun kerangka teori sebagai berikut: Faktor Kehamilan - Umur kehamilan - Komplikasi kehamilan - Kehamilan ganda
Faktor Ibu -
Umur ibu Jarak Kehamilan KEK (Kekurangan Energi Kronik) Penambahan Berat Badan Anemia Merokok Konsumsi Alkohol Konsumsi Obat-Obatan terlarang Tinggi Badan Status bekerja Pendidikan Status ekonomi Riwayat Kelahiran BBLR Penyakit Ibu
BBLR
Faktor Janin - Cacat bawaan
Gambar 1 Kerangka Teori Penelitian
60
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
3.1
Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian dirumuskan berdasarkan kerangka teori yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara jelas mengenai jalannya penelitian dan untuk mengarahkan peneliti dalam mencari data yang dibutuhkan. Menurut Notoatmodjo (2010) kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang diukur/diteliti. Tidak semua faktor risiko yang terdapat dalam kerangka teori dijadikan sebagai variabel penelitian karena bergantung pada ketersediaan variabel yang ada dalam sumber data sekunder sehingga variabel dependen yang bisa diteliti adalah kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan Bayi Berat Lahir Normal (BBLN) dan variabel independen adalah status bekerja ibu, umur ibu, KEK, pendidikan, penyakit ibu, anemia, kehamilan ganda, umur kehamilan, tinggi badan, penambahan berat badan dan komplikasi kehamilan. Variabel seperti konsumsi obat-obatan terlarang, merokok, konsumsi alkohol dan status ekonomi tidak diteliti oleh peneliti karena variabel tersebut tidak tersedia dalam data sekunder. Sedangkan cacat bawaaan juga tidak diteliti dikarenakan cacat bawaan (kelainan kongenital) merupakan salah satu kriterian eksklusi baik pada kelompok
61
kasus maupun pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena cacat bawaan dimungkinkan dapat
menjadi faktor
perancu
penelitian.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:
Faktor Ibu -
Umur ibu KEK (Kekurangan Energi Kronik) Penambahan Berat Badan Anemia Tinggi Badan Status bekerja Pendidikan Penyakit Ibu BBLR
Faktor Kehamilan - Umur kehamilan - Komplikasi kehamilan - Kehamilan ganda
Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian
62
3.2
Definisi Operasional Definisi operasional pada penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 1 Definisi Operasional Penelitian
No
Variabel
Defenisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
1
BBLR
Berat badan bayi saat dilahirkan < 2500gr
Timbangan bayi (hasil data diperoleh dari kartu ibu)
Penimbangan berat badan bayi oleh petugas puskesmas
0. Kasus : <2500gr 1. Kontrol : ≥2500gr (Depkes RI, 2003 dan WHO, 2004)
Ordinal
2
Umur Ibu
Umur pada saat melahirkan yang tercantum dalam rekam medis puskesmas
Kartu ibu
Wawancara oleh petugas kesehatan
0. Berisiko (<20 dan >35 tahun) 1. Tidak berisiko (20-35 tahun) (Depkes RI, 2003)
Ordinal
63
3
4
5
Status Bekerja Ibu
KEK
Komplikasi Kehamilan
0.Berisiko (bekerja)
Bekerja merupakan Kartu ibu suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang.
Wawancara oleh petugas kesehatan
KEK pada ibu hamil yang dilihat melalui pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) <23,5cm, diukur oleh tenaga kesehatan dan tercantum dalam rekam medis puskesmas.
Pengukuran LILA oleh petugas puskesmas
0. Ya (KEK) 1. Tidak (tidak KEK)
Pengukuran tekanan darah oleh petugas puskesmas
0.Ya (mengalami Komplikasi kehamilan )
Pita LILA ( hasil data diperoleh dari kartu ibu)
Adalah komplikasi Tensimeter (hasil yang terjadi selama data diperoleh dari kehamilan berupa kartu ibu) hipertensi dalam kehamilan (HDK).
Ordinal
1.Tidak berisiko (tidak bekerja) (Surtiati, 2003) Ordinal
(Festy, 2009)
Ordinal
1.Tidak (tidak mengalami komplikasi kehamilan ) (Depkes RI, 2000)
6
Anemia
Kadar Hb ibu hamil yang kurang
Alat pengukur Hb dengan metode
Pengukuran kadar Hb oleh
0. Ya (anemia) 1. Tidak (tidak anemia)
Ordinal
64
dari 11gr
8
9
10
Penyakit Ibu
Pendidikan Ibu
Umur Kehamilan
Penyakit yang diderita ibu hamil yang bersifat kronis seperti asma, magh dan batu ginjal.
cyanmethemoglobin yakni,pipet Hb, jarum, tabung reaksi, larutan drabskin, spektrofotometer (hasil data diperoleh dari kartu ibu) Tes laboratorium (hasil data diperoleh dari kartu ibu)
Pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani ibu sampai saat persalinan terakhir.
Kartu ibu
Penentuan umur kehamilan yang ditentukan berdasarkan hari pertama mens terakhir (HPMT)
Kalkulator kehamilan (hasil data diperoleh dari kartu ibu)
petugas puskesmas
(Festy, 2009)
Melihat hasil tes laboratorium kemudian memindahkanya ke kartu ibu yang dilakukan oleh petugas puskesmas
0. Ya (Memiliki penyakit) 1.Tidak (tidak memiliki penyakit)
Wawancara oleh petugas puskesmas
0. Berisiko( rendah) 1. Tidak berisiko (tinggi)
Ordinal
(Maryunani, 2013)
Ordinal
(Simarmata,2010) Menggunakan metode neagele yang dilakukan oleh petugas puskesmas
0. Berisiko (partus prematurus yaitu 28-37 minggu) 1. Tidak berisiko (partus matures yaitu >37 minggu) (Ahmad, 2012)
Ordinal
65
hingga waktu partus yang dinyatakan dalam minggu. 11
Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan ibu pada saat kehamilan
Microtoise yang (hasil data diperoleh dari kartu ibu)
Pengukuran tinggi badan oleh petugas kesehatan
0. Berisiko (<145cm) 1. Tidak berisiko (>145cm)
Ordinal
12
Kehamilan Ganda
Kehamilan dimana jumlah janin yang dikandung lebih dari satu.
Ultrasonografi (hasil data diperoleh dari kartu ibu)
Tes USG yang dilakukan oleh petugas puskesmas
0. Ya (kehamilan ganda) 1. Tidak (kehamilan tunggal) (Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI RSCM, 2014)
Ordinal
13
Penambahan Berat Badan Ibu
Penambahan berat badan ibu pada akhir kehamilan dikurang berat badan ibu sebelum kehamilan.
Timbangan injak (hasil diperoleh dari kartu ibu)
Penimbangan berat badan ibu yang dilakuka oleh petugas puskesmas
0. Berisiko (<10 kg) 1. Tidak berisiko (≥10kg) (WHO, 2014)
Ordinal
66
3.3
Hipotesis 1. Umur ibu <20 dan >35 tahun berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014 2. Tinggi badan ibu <145cm berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014 3. Penambahan berat badan ibu <10kg berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014 4. Umur kehamilan <37 minggu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 5. Kekurangan Energi Kronik (KEK) ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 6. Anemia pada ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 7. Kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 8. Tingkat pendidikan ibu yang rendah berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
67
9. Status ibu yang bekerja berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 10. Adanya komplikasi kehamilan pada ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014? 11. Adanya penyakit pada ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
68
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi analitik dengan rancangan penelitian case control unmatched. Studi kasus kontrol adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya (Murti, 1997). Dalam penelitian ini, dibagi menjadi dua kelompok meliputi kelompok kasus adalah BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) dan kelompok kontrol adalah BBLN (Bayi Berat Lahir Normal). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui besar risiko dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
Faktor risiko (-) Retrospektif
Efek (+)/ kasus
Retrospektif
Efek (-)/ kontrol
Faktor risiko (+)
Faktor risiko (-)
Faktor risiko (-) Gambar 3 Rancangan Penelitian Kasus Kontrol
69
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di seluruh Puskesmas Kota Tangerang Selatan pada bulan April-Mei tahun 2014.
4.3
Populasi dan Sampel 4.3.1
Populasi Populasi penelitian adalah seluruh bayi yang dilahirkan pada bulan Januari 2012 sampai dengan April 2014 dan berdomisili di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten. Sampel kasus adalah BBLR dan sampel kontrol adalah BBLN.
4.3.2
Sampel Kasus a. Kriteria Inklusi Kasus 1) Bayi berat lahir rendah yang dilahirkan pada bulan Januari 2012 sampai dengan April 2014 2) Berdomisili di Tangerang Selatan 3) Ibu yang melakukan kunjungan ANC 4) Proses kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan di puskesmas b. Kriteria Eksklusi kasus 1) Ibu mengalami abortus 2) Bayi mengalami kematian
70
4.3.3
Sampel kontrol a. Kriteria inklusi kontrol 1) Bayi berat lahir normal yang dilahirkan pada bulan Januari 2012 sampai dengan April 2014 2) Berdomisili di Tangerang Selatan 3) Ibu yang melakukan kunjungan ANC 4) Proses kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan di Puskesmas b. Kriteria eksklusi Kontrol 1) Ibu mengalami abortus 2) Bayi mengalami kematian
4.4
Cara Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010).
4.5
Perhitungan Besar Sampel Penelitian Besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus : Rumus besar sampel 1= 2=
Zα 2PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2 ² P1 − P2
71
Keterangan : Zα
= Deviat baku alpha
Zβ
= Deviat baku beta
P₂
= Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q₂
= 1- P₂
P1
= Proporsi pada kelompok yang lainya (judgement peneliti)
Q1
= 1-P1
P1-P2 = Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna P
= Proporsi total
Q
= 1-P Besar sampel dalam penelitian ini berdasarkan uji hipotesis two
tail, dengan tingkat kemaknaan (Z1-α) 5% dan kekuatan (Z1-β) sebesar 20%, berdasarkan proporsi pemaparan pada kelompok
kontrol dari
penelitian terdahulu sebagai berikut : Tabel 2 Perhitungan Besar Sampel No
Variabel
P1
P2
OR
n
Sumber
1
KEK
54,7
13,4
6,307
89,11
Festy (2009)
2
Umur
0,652
0,304
4,28
19,21
Sistriani (2008)
3
Penyakit
0,608
0,347
2,91
44,42
Sistriani (2008)
4
Anemia
51,6
11
3,366
12,32
Festy (2009)
Jumlah sampel yang diambil adalah dari variabel status KEK (Kekuragan Energi Kronis) yaitu 89,11 sehingga jumlah sampel berjumlah 95 orang.
72
Penelitian ini menggunakan perbandingan kasus dan kontrol 1:2, maka jumlah sampel secara keseluruhan yaitu 285 sampel. 4.6
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan secara sekunder yaitu diambil dari kartu ibu dan form pelacakan kasus BBLR yang ada di Puskesmas. Data yang diperoleh adalah identitas ibu (umur, pendidikan dan pekerjaan) dan catatan kesehatan ibu hamil (umur kehamilan, status gizi ibu, penambahan berat badan, riwayat penyakit,, anemia, tinggi badan, kehamilan ganda dan komplikasi kehamilan).
4.7
Pengolahan Data Pengolahan data pada penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut : a. Editing, yaitu mengkaji dan meneliti data yang telah terkumpul. b. Coding, yaitu memberikan kode pada data untuk memudahkan dalam memasukkan data ke program komputer. c. Entry, yaitu memasukkan data dalam program komputer untuk dilakukan analisis lanjut. d. Cleaning data, yaitu melihat kembali data yang telah dimasukkan atau sudah dibersihkan dari kesalahan, baik dalam pengkodean atau pada entry data. e. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan disusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca dengan mudah.
73
4.8
Analisis Data a. Analisis Univariat Analisis Univariat dimaksudkan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi setiap variabel penelitian. Data hasil analisis univariat disajikan dalam tabel dan grafik. b. Analisis Bivariat Analisis bivariat dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian. Untuk melihat besar risiko variabel independen terhadap kejadian
variabel
dependen,
dilakukan
uji
statistik
dengan
menggunakan uji Odds Rasio (OR). Odds ratio (OR) merupakan ukuran relatif studi kasus kontrol yang menunjukkan berapa banyak kemungkinan paparan (odds exposure) antara kelompok kasus (case) dibandingkan dengan kelompok kontrol (non case). Kriteria odds ratio, yaitu (Paul, 2012): 1) Nilai OR=1, bukan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit. 2) Nilai OR >1, merupakan faktor risiko terjadinya penyakit. 3) Nilai OR <1, merupakan faktor protektif terjadinya penyakit.
Rumus dari Odds Ratio adalah: =
/ = /
74
Keterangan: OR : Odds ratio risiko terhadap kejadian BBLR / : Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang tak terpapar /
: Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kontrol yang tak terpapar
Adapun
signifikansi
nilai
OR
dalam
interpretasi
CI
(Confidence Interval) 95% terhadap nilai OR yaitu jika pada CI 95% rentan nilai lower dan upper limit tidak terdapat nilai disimpulkan nilai OR bermakna.
1 maka
Sedangkan jika CI 95% dan OR
terdapat nilai 1, maka disimpulkan bahwa nilai OR tidak bermakna (Susant, 2007).
75
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008, tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan salah satunya untuk meningkatkan pelayanan dalam bidang kesehatan. Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106’38 –106’47’ Bujur Timur dan 06’13’30– 06’22’30’ Lintang Selatan dan secara administratif terdiri dari 7 kecamatan, 49 kelurahan dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19Km² atau 14.719Ha. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan yaitu sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Dinas
Kesehatan
Kota
Tangerang
Selatan memiliki
25
Puskesmas terdiri dari 18 puskesmas perawatan dan 7 puskesmas non perawatan. 25 puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Pamulang, Benda Baru, Pondok Benda, Serpong 2, Bakti Jaya, Rawa Buntu, Paku Alam,
76
Pondok Kacang Timur, Pondok Pucung, Pondok Ranji, Pondok Betung, Rengas, Pisangan, Pondok Jagung, Jurang Mangu, Serpong, Situ Gintung, Kranggan, Setu, Ciputat Timur, Ciputat, Kampung Sawah, Pondok Aren, Jombang dan Parigi. Peta wilayah Kota Tangerang Selatan tahun 2013 yaitu sebagai berikut : Gambar 4 Wilayah Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Sumber : Profil Kota Tangsel dan Letak Puskesmas Tahun 2011
77
Kecamatan dengan wilayah paling besar adalah Pondok Aren dengan luas 2.988Ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota Tangerang Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil adalah Setu dengan luas 1.480Ha atau 10,06%. 5.2
Gambaran Berat Badan Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Gambaran berat badan bayi yang diliahirkan di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 3 Distribusi Berat Badan Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan pada Bulan Januari 2012- April 2014 Berat Badan Bayi
Jumlah
Persentase (%)
< 1000gr (BBLASR)
2
0,7
1000-1500gr (BBLSR)
2
0,7
1500-2500gr (BBLR)
91
31,92
2500-4000gr (Normal)
188
65,96
>4000gr (Lebih)
2
0,7
Total
285
100
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa distribusi berat badan bayi paling banyak pada bayi dengan berat badan normal antara 2500-4000gr sebesar 65,96% dan kemudian diikuti dengan BBLR dengan berat badan antara 1500-2500gr sebesar 31,92%.
78
Tabel 4 Distribusi BBLR Berdasarkan Karakteristik Ibu di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Karakteristik Ibu Umur Ibu <20 dan >35 tahun 20–35 tahun Tinggi Badan Ibu <145cm ≥145cm Penambahan Berat Badan <10kg ≥10kg Usia Kehamilan <37 minggu ≥37 minggu KEK Ya Tidak Anemia Ya Tidak Kehamilan Ganda Ya Tidak Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Status Ibu Bekerja Karyawan Guru Wiraswasta IRT Komplikasi Kehamilan Hipertensi Tidak Hipertensi Penyakit Ibu Batu Ginjal Asma Magh Tidak
BBLR n
%
8 87
8.4 91,6
6 89
6,3 93,7
38 57
40 60
41 54
43,2 56,8
18 77
18,9 81,1
31 64
32,6 67,4
17 78
17,9 82,1
38 57
40 60
3 1 2 89
18,8 33,3 22,2 34,6
12 83
12,6 87,4
1 4 1 89
1,05 4,2 1,05 93,7
79
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa distribusi BBLR berdasarkan karakteristik ibu berupa umur paling banyak adalah antara umur 20-35 tahun (91,6%), berdasarkan tinggi badan paling banyak ibu memiliki tinggi badan ≥145cm (93,7%), sebagian besar ibu memiliki penambahan berat badan ≥10kg (60%), paling banyak ibu melahirkan pada usia kehamilan ≥37 minggu (56,8%), lebih banyak ibu yang tidak mengalami KEK dibandingkan yang mengalami (81,1%), ibu yang tidak menderita anemia lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang menderita anemia (67,4%), banyak ibu yang melahirkan bayi tunggal dibandingkan dengan bayi kembar (82,1%), sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan tinggi (60%), status bekerja ibu paling banyak sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja (93,7%), lebih banyak ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan dan penyakit pada saat hamil dengan perbandingan masing-masing 87,4% ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan dan 93,7% ibu yang tidak menderita penyakit pada saat kehamilanya. 5.3
Analisis Faktor Risiko Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 –2014 Karakteristik ibu dalam penelitian ini yaitu umur, tinggi badan, penambahan berat badan, anemia, KEK (Kekurangan Energi Kronik), penyakit, komplikasi kehamilan, umur kehamilan, pendidikan, status bekerja dan kehamilan ganda yang akan dijelaskan berikut ini:
80
5.3.1
Analisis Risiko Umur Ibu <20 & >35 tahun terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014 Risiko umur ibu <20 & >35 tahun terhadap kejadian BBLR di Tangerang Selatan tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 5 Risiko Umur Ibu <20 & >35 tahun terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Umur
Berat Badan Bayi
Total
Berisiko
Kasus n % 8 8.4
Kontrol n % 8 4,2
Tidak berisiko
87
91,6
182
95,8
269
94,4
Jumlah
95
100
190
100
285
100
n 16
% 5,6
Odd Ratio (95% CI) 2,092 (0,760-5,759)
Tabel 5 menunjukan bahwa distribusi BBLR berdasarkan umur ibu yang berisiko (<20 dan >35 tahun) lebih banyak pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 8,4% pada kelompok kasus dan 4,2% pada kelompok kontrol. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 2,092 (95% CI = 0,760-5,759). Nilai OR yang diperoleh tidak bermakna, dengan demikian umur ibu <20 dan >35 tahun bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa umur ibu <20 dan >35 tahun tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014. 81
5.3.2
Analisis Risiko Tinggi Badan Ibu <145cm terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014 Risiko tinggi badan ibu <145cm terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 6 Risiko Tinggi Badan Ibu <145cm terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Tinggi badan
Berat Badan Bayi Kasus
Total
Kontrol
n
%
n
%
n
%
Berisiko
6
6,3
2
1,1
8
2,8
Tidak berisiko
89
93,7
188
98,9
277
97,2
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio (95% CI)
6,337 (1,254-32,023)
Tabel 6 memperlihatkan bahwa tinggi badan ibu yang berisiko (<145cm) lebih besar pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan perbandingan masing-masing sebesar 6,3% pada kelompok kasus dan 1,1% pada kelompok kontrol. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 6,337 (95% CI =1,254-32,023). Nilai OR yang diperoleh bermakna, dengan demikian tinggi badan ibu <145cm merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa tinggi badan ibu <145cm mempunyai risiko 6,337 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan ≥145cm di
82
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014. 5.3.3
Analisis Risiko Penambahan Berat Badan Ibu <10kg dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014 Risiko penambahan berat badan ibu <10kg terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 7 Risiko Penambahan Berat Badan Ibu <10kg terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Penambahan Berat Badan Ibu
Berat Badan Bayi
Total
Berisiko
Kasus n % 38 40
Kontrol n % 77 40,5
n 115
% 40,4
Tidak berisiko
57
60
113
59,5
170
59,6
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio (95% CI) 0,978 (0,592-1,617)
Tabel 7 menunjukan bahwa penambahan berat badan ibu yang berisiko (<10kg) lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus dengan perbandingan 40,5% pada kelompok kontrol dan 40% pada kelompok kasus. Walaupun penambahan berat badan ibu yang berisiko lebih tinggi pada kelompok kontrol tetapi selisih antara kedua kelompok memiliki nilai yang sangat kecil yaitu 0,5%. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 0,978 (95% CI =0,592-1,617). Nilai OR yang diperoleh merupakan faktor
83
protektif tetapi tidak bermakna, dengan demikian penambahan berat badan ibu <10kg bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hasil tersebut menunjukan bahwa penambahan berat badan ibu <10kg tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini disebabkan karena sebagian besar ibu baik pada kelompok kasus maupun pada kelompok kontrol mengalami penambahan berat badan ≥10kg. 5.3.4
Analisis Risiko Umur Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014 Risiko umur kehamilan terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 8 Risiko Umur Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Umur Kehamilan Berisiko
Berat Badan Bayi Kasus n % 41 43,2
n
Kontrol % 1 0,5
Total n 42
% 14,7
Tidak berisiko 54
56,8
189
99,5
243
85,3
Jumlah
100
190
100
285
100
95
Odd Ratio (95% CI) 143, 500 (19,292-1067, 397)
Tabel 8 memperlihatkan bahwa umur kehamilan yang berisiko (<37 minggu) menunjukan perbedaan yang sangat tinggi antara kelompok kasus dan kelompok kontrol yaitu pada kelompok
84
kasus sebesar 43,2%, sedangkan pada kelompok hanya sebesar 0,5%. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 143,5 (95% CI =19,292-1067,397). Nilai OR yang diperoleh bermakna, dengan demikian umur kehamilan <37 minggu merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa umur kehamilan <37 minggu mempunyai risiko 143,5 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan ≥37 minggu di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. 5.3.5
Analisis Risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014 Risiko KEK pada ibu terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 9 Risiko KEK pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 KEK
Berat Badan Bayi
Total
ya
Kasus n % 15 15,78
Kontrol n % 4 2,10
Tidak
80
84,21
186
97,89
266
93,33
Jumlah
95
100
190
100
285
100
n 19
% 6,66
Odd Ratio (95% CI) 8,719 (2,806-27,089)
85
Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada kelompok kasus, ibu yang mengalami KEK sebesar 15,78%, sedangkan pada kelompok kontrol hanya sebesar 2,1%. Hal ini menunjukan distribusi BBLR berdasarkan ibu yang mengalami KEK lebih tinggi pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 8,719 (95% CI = 2,806-27,089). Nilai OR yang diperoleh tersebut bermakna, dengan demikian KEK merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa ibu yang mengalami KEK mempunyai risiko 8,719 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami KEK di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
86
5.3.6
Analisis Risiko Anemia pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014 Risiko anemia pada ibu terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 10 Risiko Anemia pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Anemia
Berat Badan Bayi
Total
Odd Ratio (95% CI)
Ya
Kasus Kontrol n % n % 31 32,6 21 11,1
Tidak
64
67,4
169 88,9 233 81,8
Jumlah
95
100
190
Tabel
10
100
memperlihatkan
n 52 285 bahwa
% 18,2
3,898 (2,088-7,277)
100 distribusi
BBLR
berdasarkan ibu yang mengalami anemia, kelompok kasus memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 32,6% pada kelompok kasus dan 11,1% pada kelompok kontrol. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 3,989 (95% CI = 2,088-7,277). Nilai OR yang diperoleh tersebut bermakna, dengan demikian anemia pada ibu merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa anemia pada ibu mempunyai risiko 3,989 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. 87
5.3.7
Analisis Risiko Kehamilan Ganda (kembar) terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 Risiko kehamilan ganda terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 11 Risiko Kehamilan Ganda terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Kehamilan Ganda
Berat Badan Bayi
ya
Kasus n % 17 17,9
Tidak Jumlah
78 95
82,1 100
Total
Kontrol n % 0 0 190 190
100 100
n 17
% 6
268 285
94 100
Berdasarkan tabel 11 memperlihatkan bahwa semua ibu yang melahirkan bayi kembar hanya terdapat pada kelompok kasus, sehingga tidak dapat dianalisis risiko kehamilan ganda (kembar) terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012-April 2014.
88
5.3.8
Analisis Risiko Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 - 2014 Risiko tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 12 Risiko Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Pendidikan
Berat Badan Bayi
Total
Berisiko
Kasus n % 38 40
Kontrol n % 84 44,2
n 122
% 42,8
Tidak berisiko
57
60
106
55,8
163
57,2
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio (95% CI) 0,841 (0,510-1,388)
Tabel 12 memperlihatkan bahwa pendidikan ibu yang berisiko pada kelompok kasus sebesar 40%, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 44,2%. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan ibu yang berisiko lebih banyak pada kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 0,841 (95% CI = 0,510-1,388). Nilai OR yang diperoleh tersebut merupakan faktor protektif tetapi tidak bermakna, dengan demikian tingkat pendidikan ibu bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pendidikan pada ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. 89
5.3.9
Analisis Risiko Status Ibu Bekerja terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 Risiko status ibu bekerja terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 13 Risiko Status Ibu Bekerja terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Status Bekerja
Berat Badan Bayi
Total
Bekerja
Kasus n % 6 6,3
Kontrol n % 22 11,6
n 28
% 9,8
Tidak Bekerja
89
93,7
168
88,4
257
90,2
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio (95% CI) 0,515 (0,201-1,316)
Tabel 13 memperlihatkan bahwa kelompok kontrol memiliki jumlah ibu yang bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kasus yaitu 11,6% pada kelompok kontrol dan 6,3% pada kelompok kasus. Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 0,515 (95% CI = 0,201-1,316). Nilai OR yang diperoleh tersebut merupakan faktor protektif tetapi tidak bermakna, dengan demikian status ibu yang bekerja bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa status ibu yang bekerja tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
90
5.3.10 Analisis Risiko Komplikasi Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 Risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian BBLR di Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 14 Risiko Komplikasi Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014 Komplikasi Kehamilan
Berat Badan Bayi
Hipertensi
n 12
Kasus % 12,6
Tidak hipertensi
83
87,4
190
Jumlah
95
100
190
Total
Kontrol n % 0 0
n 12
% 4,2
100
273
95,8
100
285
100
Berdasarkan tabel 14 memperlihatkan bahwa semua ibu yang mengalami komplikasi kehamilan berupa hipertensi hanya terdapat pada kelompok kasus, sehingga tidak dapat dianalisis risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012April 2014.
91
5.3.11 Analisis Risiko Penyakit pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 Risiko penyakit pada ibu terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 15 Risiko Penyakit pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012-April 2014 Penyakit
Berat Badan Bayi
Ya
Kasus n % 6 6,3
Tidak
89
93,7
190
Jumlah
95
100
190
n 0
Total
Kontrol % 0
n 6
% 2,1
100
279
97,9
100
285
100
Berdasarkan tabel 15 memperlihatkan bahwa semua ibu yang menderita penyakit pada masa kehamilan hanya terdapat pada kelompok kasus, sehingga tidak dapat dianalisis risiko penyakit ibu pada masa kehamilan terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012-April 2014.
92
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yaitu: a. Terdapat kasus BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan yang tidak dijadikan sampel karena data variabel penelitian tidak lengkap sehingga dapat mempengaruhi jumlah sampel penelitian. b. Pada variabel komplikasi kehamilan, peneliti hanya dapat mengukur hipertensi sebagai satu-satunya komplikasi pada kehamilan, sehingga komplikasi lain pada kehamilan seperti ketuban pecah dini, pendarahan dan lainya tidak dapat diukur karena tidak terdapat dalam sumber data sekunder.
6.2
Gambaran Berat Badan Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa distribusi berat badan bayi paling banyak pada bayi dengan berat badan normal antara 2500-4000gr sebesar 65,96%, kemudian diikuti BBLR dengan berat antara 1500-2500gr sebesar 31,92%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cendikia di RS Sukanto Jakarta Timur pada tahun 2010 yang menunjukan bahwa distribusi kasus BBLR paling banyak pada berat antara 1500-2500gr sebesar 41,8%.
93
Pada dasarnya Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan saat lahir kurang dari 2500gr. BBLR dibedakan dalam dua kategori, yaitu bayi berat lahir rendah karena premature (umur kandungan <37 minggu) atau bayi berat lahir rendah karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan tetapi berat badan kurang untuk umurnya (Depkes RI, 2003). Berdasarkan laporan dari Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan selama 3 tahun, Jumlah kasus BBLR di Tangerang Selatan tahun 2012 sebanyak 168 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 255 orang. Namun dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti hanya mendapatkan 31 kasus pada tahun 2012, 38 kasus pada tahun 2013 dan 26 kasus pada tahun 2014. Hal ini disebabkan karena ketidaklengkapan data yang terdapat dalam laporan Puskesmas Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa distribusi BBLR berdasarkan karakteristik ibu berupa umur paling banyak adalah antara umur 20-35 tahun (91,6%), berdasarkan tinggi badan paling banyak ibu memiliki tinggi badan ≥145cm (93,7%), sebagian besar ibu memiliki penambahan berat badan ≥10kg (60%), paling banyak ibu melahirkan pada usia kehamilan ≥37 minggu (56,8%), lebih banyak ibu yang tidak mengalami KEK dibandingkan yang mengalami KEK (81,1%), ibu yang tidak menderita anemia lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang menderita anemia (67,4%), banyak ibu yang melahirkan bayi tunggal dibandingkan dengan bayi kembar (82,1%), sebagian besar ibu memiliki
94
tingkat pendidikan tinggi (60%), status bekerja ibu paling banyak sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja (93,7%), lebih banyak ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan dan penyakit pada saat hamil dengan perbandingan masing-masing 87,4% ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan dan 93,7% ibu yang tidak menderita penyakit pada saat kehamilanya. Menurut Depkes RI (2009), faktor risiko kejadian BBLR diantaranya ibu hamil yang berumur <20 dan >35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, perokok, pengguna obat terlarang, alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi selama dalam kandungan.
Sedangkan menurut WHO (2004), faktor
risiko kejadian BBLR yaitu status gizi, status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan, pekerjaan berat, umur kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya, alkohol, merokok, obat-obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi badan dan tinggal di daerah ketinggian. 6.3
Risiko Umur Ibu <20 dan >35 tahun terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai OR sebesar 2,092 (95% CI = 0,760-5,759). Pada CI 95% antara lower dan upper limit terdapat
95
nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat disimpulkan bahwa umur ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan karena pada penelitian ini distribusi BBLR berdasarkan umur baik pada kelompok kasus maupun kontrol sama-sama lebih banyak pada ibu dengan kelompok umur antara 20–35 tahun. Ini menunjukan bahwa walaupun umur ibu tidak berisiko namun tetap melahirkan bayi BBLR (91,6%). Walaupun secara statistik hasil penelitian ini menunjukan bahwa umur ibu <20 dan >35 tahun tidak berisiko terhadap kejadian BBLR, namun dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa kejadian BBLR paling banyak ditemukan pada ibu yang berumur <20 dan >35 tahun (8,4%) dibandingkan dengan bayi berat lahir normal (4,2%). Sehingga ibu yang melahirkan pada umur berisiko tersebut harus tetap dihindari karena mengingat umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35 tahun (Depkes, 2001). Dan walaupun terdapat ibu yang berumur <20 tahun dan >35 tahun namun pemenuhan gizi ibu cukup sehingga penambahan berat badan sesuai dengan masa kehamilanya. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa penambahan berat badan pada ibu yang berumur <20 dan >35 tahun lebih banyak mengalami penambahan berat badan >10kg yaitu sebesar 56,25%. Hal ini disebabkan karena kehamilan pada umur remaja (<20 tahun) berdampak pada pertumbuhan yang kurang optimal karena
96
kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh kembang remaja sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri, (Simbolon & Aini, 2013). Selain itu, ibu yang melahirkan pada umur >35 tahun tidak dianjurkan dan sangat berbahaya. Mengingat mulai umur ini sering muncul penyakit seperti hipertensi, tumor jinak peranakan, atau penyakit degeneratif pada persendian tulang belakang dan panggul (Setianingrum, 2005). Ibu yang berumur >35 tahun perlu energi yang besar karena fungsi organ yang semakin melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal maka memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung kehamilan yang sedang berlangsung (Kristyanasari, 2010, dalam Muazizah, 2011). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhadi (2006) di BP RSUD Kraton Pekalongan yang menunjukan bahwa umur ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian lain yang menunjukan bahwa umur ibu berisiko terhadap kejadian BBLR. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cendikia (2010) menunjukan bahwa umur ibu berisiko 2,838 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dan penelitian yang dilakukan oleh Alya (2013) juga menunjukan bahwa umur ibu berisiko 6,163 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-35 tahun. Dengan demikian, sosialisasi mengenai umur yang dianjurkan untuk melakukan kehamilan dan persalinan perlu digalakan. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan melakukan
97
penyuluhan secara intensif kepada pasangan usia subur (PUS) oleh petugas kesehatan agar proses kehamilan dan persalinan dapat direncanakan sehingga kehamilan dan persalinan ibu yang berumur <20 dan >35 tahun dapat dihindari. Selain itu, mempertahankan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil khususnya ibu yang berumur <20 dan >35 tahun agar status gizi pada ibu hamil baik. 6.4
Risiko Tinggi Badan Ibu <145cm terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai OR sebesar 6,337 (95% CI =1,254-32,023). Pada CI 95% antara lower dan upper limit tidak terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat disimpulkan bahwa tinggi badan ibu <145cm mempunyai risiko 6,337 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan ≥145cm di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan hasil penelitian ditemukan tinggi badan ibu <145cm lebih banyak pada ibu yang melahirkan bayi BBLR (6,3%) dibandingkan dengan bayi lahir normal (1,1%). Tinggi badan ibu <145cm dikatakan berisiko karena tinggi badan ibu memiliki pengaruh terhadap ukuran bayi baru lahir (berat lahir dan panjang lahir). Pengerdilan (stunting) merupakan konsekuensi dari asupan nutrisi jangka panjang yang buruk dan merupakan indikator utama dalam menurunkan pertumbuhan pada anak-anak. Pengerdilan
98
juga
telah dikaitkan dengan kelangsungan
siklus gizi dengan
menyebabkan berat badan lahir rendah di antara keturunan dari ibu yang terhambat (Bisai, 2003). Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa ibu yang memiliki tinggi badan normal (>145cm) mengalami penambahan berat badan normal (>10kg) yaitu sebesar 59,20%. Hal ini menunjukan bahwa tinggi badan ibu berhubungan dengan penambahan berat badan atau status gizi ibu selama hamil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bisai (2003) di India yang melaporkan tingginya insiden bayi BBLR pada ibu dengan tinggi badan <145cm dari pada ibu dengan tinggi badan ≥145cm. Ibu yang memiliki tinggi badan <145cm berisiko 1,32 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan >145cm. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) yang menyatakan bahwa tinggi badan ibu <145cm tidak berisiko terhadap kejadian BBLR. Untuk mencegah risiko yang ditimbulan akibat tinggi badan ibu <145cm, maka perlu dilakukanya perbaikan gizi dan kesehatan pada ibuibu. Perbaikan tinggi badan perempuan berupa intervensi gizi dan kesehatan perempuan yang dimulai dari perbaikan status gizi sejak dini sebagai upaya penurunan angka kejadian BBLR.
99
6.5
Risiko Penambahan Berat Badan Ibu <10kg terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai OR sebesar 0,978 (95% CI =0,592-1,617). Pada CI 95% antara lower dan upper limit terdapat nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat disimpulkan bahwa penambahan berat badan ibu <10kg tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Walaupun secara statistik penambahan berat badan ibu <10kg tidak berisiko terhadap kejadian BBLR, namun penambahan berat badan ibu selama masa kehamilan harus tetap diperhatikan mengingat hasil penelitian ini menunjukan bahwa ibu yang berisiko terhadap penambahan berat badan dan melahirkan BBLR sebesar 40%. Selain itu, hal ini juga dimungkinkan terjadi karena penambahan berat badan ibu paling banyak yaitu ≥10kg baik pada bayi lahir rendah (60%) dan pada bayi lahir normal (40,5%). Penambahan berat badan dalam kehamilan terjadi karena adanya pertumbuhan janin dan perubahan beberapa tempat dari tubuh ibu. Sebagai respon terhadap pertumbuhan janin dan plasenta yang cepat serta kebutuhan-kebutuhan yang semakin meningkat, wanita hamil mengalami perubahan metabolik. Sebagian besar penambahan berat badan selama hamil dihubungkan dengan uterus dan isinya, payudara, berubahnya
100
volume darah serta cairan ekstrasel ekstravaskuler (Puspitasari, dkk, 2011). Namun penambahan berat badan ibu harus sesuai dengan umur kehamilanya karena pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan disesuaikan dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar ibu yang mengalami penambahan berat badan normal (≥10kg) melakukan persalinan pada umur kehamilan ≥37
minggu
yaitu
sebesar 85,88%. Hal ini
dimungkinkan karena pada umur kehamilan ≥37 minggu atau pada trismester terakhir pertumbuhan janin berkembang pesat sehingga ibu memerlukan asupan nutrisi yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada umur kehamilan ≥37 minggu janin menyerap nutrisi lebih banyak dibandingkan umur kehamilan <37 minggu (Albugis, 2008).. Berat badan ibu hamil harus memadai, bertambah sesuai dengan umur kehamilannya. Pada trismester pertama, pertumbuhan janin masih lambat, penambahan kebutuhan zat-zat gizinyapun masih relative kecil. Memasuki trismester kedua, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan sebelumnya. Sedangkan pada tahap terakhir atau trismester ketiga, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pesatnya pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari cadangan energi yang disimpan ibu selama tahap sebelumnya (Albugis, 2008).
101
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Festy (2010) di Kabupaten Sumenep yang menyatakan bahwa penambahan berat badan ibu berisiko 8,264 kali menyebabkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) di RSUD Ulin Banjarmasin juga menyatakan bahwa penambahan berat badan ibu berisiko 7,1 kali menyebabkan BBLR. Dalam penelitianya Festy (2010) dan Darmayanti, dkk (2010) menetapkan penambahan berat badan ibu yang berisiko yaitu <9kg. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dimungkinkan karena adanya perbedaan jumlah sampel yang diambil dan lokasi penelitian dilaksanakan serta penetapan “cut of point” dari penambahan berat badan ibu selama kehamilan, sehingga akan berpengaruh terhadap jumlah faktor karakteristik ibu khususnya penambahan berta badan ibu. Dengan demikian, pemantauan status gizi ibu sebelum dan selama hamil perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya BBLR karena status gizi
ibu
merupakan faktor
yang sangat
berpengaruh terhadap
penambahan berat badan ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan kunjungan rumah terhadap ibu hamil yang tidak rutin ke pelayanan kesehatan, serta memberikan motivasi dan konseling kepada ibu agar menjalani kehamilan yang sehat dengan memakan makanan yang bergizi sehingga akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal.
102
6.6
Risiko Umur Kehamilan<37 minggu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Hasil penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 143,5 (95% CI =19,292-1067,397). Pada CI 95% antara lower dan upper limit tidak terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat disimpulkan bahwa umur kehamilan <37 minggu mempunyai risiko 143,5 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan ≥37 minggu di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan terjadi karena umur kehamilan yang berisiko sangat tinggi pada ibu yang melahirkan bayi BBLR (43,2 %) dibandingkan dengan bayi lahir normal (0,5 %). Tingginya risiko umur kehamilan terhadap BBLR pada penelitian ini disebabkan karena secara biologis berat badan bayi semakin bertambah
sesuai
dengan
umur
kehamilan.
Umur
kehamilan
mempengaruhi kejadian BBLR karena semakin pendek masa kehamilan semakin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat tubuhnya sehingga akan turut mempengaruhi berat badan bayi. Sehingga dapat dikatakan bahwa umur kehamilan mempengaruhi kejadian BBLR (Manuaba, 2010). Pada umumnya bayi kurang bulan disebabkan karena tidak mampunya uterus menahan janin, gangguan selama kehamilan, lepasnya plasenta lebih cepat dari waktunya atau rangsangan yang memudahkan terjadinya kontraksi uterus sebelum cukup bulan. Bayi lahir kurang bulan
103
mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. Semakin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin kurang sempurna dan prognosisnya semakin kurang baik. Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit atau komplikasi akibat kurang matangnya organ karena masa gestasi yang kurang (prematur) (Simarmata, 2010). Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan disesuaikan dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Pada trismester pertama pertumbuhan janin masih lambat sehingga penambahan kebutuhan zatzat gizinya pun masih relative kecil. Memasuki trismester kedua, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan sebelumnya. Kecepatan pertumbuhan itu mencapai 10gr per hari. Sedangkan pada tahap terakhir atau trismester ketiga, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pesatnya pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari cadangan energi yang disimpan ibu selama tahap sebelumnya (Albugis, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti, dkk (2010) yang menyatakan bahwa umur kehamilan <37 minggu berisiko 12,7 (95% CI = 5,5 -31,5) kali melahirkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Sutan, et all (2014) di Kuala Lumpur, Malaysia yang menyatakan bahwa umur kehamilan <37 minggu berisiko 2,41 (1,79-3,26) kali menyebabkan BBLR. Penelitian yang dilakukan
104
oleh Merzalia (2010) di Provinsi Bangka Belitung juga menunjukan tinggi risiko umur kehamilan terhadap BBLR yaitu umur kehamilan <37 minggu berisiko 137, 360 (18,78-1004,684) kali menyebabkan BBLR. Dengan tingginya risiko usia kehamilan <37 minggu terhadap kejadian BBLR, sehingga disarankan kepada ibu untuk melahirkan anak pada usia kehamilan ≥37 minggu yaitu dengan menjaga pola hidup dan pola makan selama kehamilan dan kepada petugas kesehatan yang memeriksakan kehamilan supaya dapat menekankan pada setiap ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya secara teratur dan sesuai jadual pemeriksaan sehingga bila ada kelainan akan segera terdeteksi dan akan segera mendapatkan pertolongan. 6.7
Risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 8,719 (95% CI = 2,806-27,089). Pada CI 95% antara lower dan upper limit tidak terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat disimpulkan bahwa kejadian KEK mempunyai risiko 8,719 kali melahirkan bayi BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ibu yang megalami KEK lebih banyak pada bayi BBLR (15,78%) dibandingkan dengan bayi lahir normal (2,1%). Tingginya kejadian KEK pada ibu yang melahirkan bayi lahir rendah disebabkan karena KEK merupakan kekurangan energi dalam
105
jangka waktu yang cukup lama. KEK pada wanita di negara berkembang merupakan hasil kumulatif dari keadaan kurang gizi sejak masa janin, bayi dan anak-anak serta berlanjut hingga dewasa. Secara spesifik, penyebab KEK pada ibu hamil adalah akibat dari ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi (Albugis, 2008). Hal ini didukung dengan hasil penelitian ini yang menunjukan bahwa sebagian besar ibu yang tidak mengalami KEK pada saat kehamilanya mengalami penambahan berat badan yang normal (≥10 kg) yaitu sebesar 91,76%. Mekanisme terjadinya BBLR akibat Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil yaitu diawali dengan ibu hamil yang menderita KEK yang menyebabkan volume darah dalam tubuh ibu menurun dan cardiac output ibu hamil tidak cukup, sehingga meyebabkan adanya penurunan aliran darah ke plasenta. Menurunya aliran darah ke plasenta menyebabkan dua hal yaitu berkurangnya transfer zat-zat makanan dari ibu ke plasenta yang dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dan pertumbuhan plasenta lebih kecil yang menyebabkan bayi BBLR (Kemar, 2008). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Festy (2010) yang menunjukan bahwa KEK berisiko 6,307 kali menyebabkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nurhadi (2006) menunjukan bahwa KEK berisiko 42,55 kali menyebabkan BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Merzaila (2011) juga menunjukan
106
bahwa KEK berisiko 7,018 kali menyebabkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami KEK. Dengan demikian, diharapkan bagi bidan maupun tenaga kesehatan lain lebih meningkatkan pelayanan kesehatan baik berupa pemeriksaan kehamilan dan penyuluhan tentang gizi sehingga KEK dapat diatasi sejak dini. Selain itu, kepada Institusi Kesehatan dan Dinas Kesehatan diharapkan dapat meningkatkan program perbaikan gizi salah satunya dengan memberikan susu hamil ataupun makanan tambahan lainnya pada ibu hamil yang mengalami KEK. 6.8
Risiko Anemia pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai OR sebesar 3,989 (95% CI = 2,088-7,277). Pada CI 95% antara lower dan upper limit tidak terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat disimpulkan bahwa anemia
mempunyai risiko 3,989 kali melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ibu yang mengalami anemia lebih banyak pada bayi BBLR (32,6%) dibandingkan dengan bayi lahir normal (11,1%). Tingginya kejadian anemia pada ibu yang melahirkan bayi BBLR disebabkan karena pasokan O2 pada ibu hamil yang mengalami anemia untuk jaringan menurun dan pengangkutan CO2 dari jaringan menjadi
107
terhambat sehingga dapat menghambat pertumbuhan jaringan baik pada janin maupun pada plasenta sehingga dapat mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, partus premature, partus lama dan lain-lain (Puji, 2007). Selai itu, Bondevik (2001) dalam Simbolon dan Aini (2013) menjelaskan bahwa secara fisiologis, penurunan kadar hemoglobin selama kehamilan terjadi karena ketidakseimbangan jumlah sel darah merah dan plasma darah. Ketidakseimbangan ini akan terlihat dalam bentuk penurunan kadar hemoglobin. Peningkatan jumlah eritrosit juga menyebabkan peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan sekaligus untuk pertumbuhan janin.
Anemia pada ibu hamil
mengakibatkan gangguan nutrisi dan oksigenasi utero plasenta, sehingga ibu hamil yang mengalami anemia akan berdampak pada gangguan pertumbuhan
hasil
konsepsi,
sering
terjadi
immaturitas,
prematuritas,cacat bawaan, atau janin lahir dengan BBLR. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Festy (2010) yang menunjukan bahwa anemia berisiko 3,366 kali menyeybabkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Mumbare (2011) di India juga menunjukan bahwa anemia berisiko 3,36 kali menyebabkan BBLR.
Penelitian yang dilakukan oleh Merzaila
(2011) juga menunjukan bahwa ibu yang mengalami anemia berisiko 4, 397 kali menyebabkan BBLR dibandingkan ibu yang tidak mengalami anemia.
108
Untuk memperbaiki keadaan anemia karena kekurangan zat besi, ibu akan diberikan suplemen zat besi. Petugas kesehatan perlu menjelaskan kepada ibu bahwa ia dapat membantu dirinya sediri dengan mengikuti praktik penyusunan makanan berikut ini yaitu secara teratur memakan daging, unggas dan ikan yang merupakan sumber zat besi yang baik, mengkonsumsi roti dan sereal yang diperkuat dengan kandungan zat besi, penyerapan zat besi meningkat jika vitamin C dikonsumsi bersama makanan. Sumber yang baik dari vitamin C termasuk buah jeruk, sroberi, tomat, belewah, brokoli, lada dan kentang, memilih sayuran yang banyak mengandung zat besi seperti bayam, brokoli, dandelion hijau, dan sayuran berdaun hijau lainya dan gunakan panci dan wajan besi untuk memasak (Ladewig, W Patricia et all, 2005). Berdasarkan laporan bulanan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan cakupan pemberian Fe dan pemeriksaan Hb pada wanita hamil sudah mencapai target, tetapi kasus anemia pada ibu hamil pada penelitian ini cukup banyak yaitu sebesar 32,6%. Selain itu, tablet Fe yang diberikan oleh petugas kesehatan puskesmas tidak diminum oleh ibu hamil sehingga perlu dilakukanya suplementasi tablet zat besi pada ibu hamil didepan petugas kesehatan, serta penyuluhan/konsultasi tentang pengenalan anemia dan cara pencegahannya. Kemudian, keluarga juga harus ikut memberikan dukunganya bagi ibu yang sedang hamil yaitu dengan melakukan pengawasan terhadap ibu hamil dalam suplemetasi zat besi dengan membentuk PMO (Pengawas Minum Obat) seperti keluarga
109
ibu hamil, kader atau petugas puskesmas. Hal ini dilakukan karena cakupan pemberian Fe dan pemeriksaan Hb pada ibu hamil sudah 6.9
Risiko Kehamilan Ganda (kembar) dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian ini, ibu yang melahirkan bayi kembar hanya terdapat pada kelompok kasus sebesar 17,9 %. Sedangkan pada kelompok kontrol, semua ibu melahirkan dengan jumlah janin tunggal. Hal ini menunjukan bahwa ibu yang melahirkan bayi kembar berpengaruh terhadap kejadian BBLR karena hasil penelitian ini menunjukan semua ibu yang melahirkan bayi kembar memiliki berat lahir rendah. Walaupun secara statistik hasil penelitian ini tidak dapat dianalisis, namun secara biologis kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian BBLR. Pada kehamilan ganda berat badan satu janin ganda rata-rata lebih ringan 1000 gram dari janin tunggal. Berat badan janin dari kehamilan ganda tidak sama. Umumnya, terjadi perbedaan antara 50 sampai 1000 gram. Selain itu, terjadi pembagian sirkulasi darah yang tidak sama. Akibatnya. pertumbuhan kedua janinnya pun berbeda (Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI RSCM, 2014 ). Berat lahir merupakan faktor penting pada kehamilan ganda, agaknya 2000 gr merupakan titik kritis. Sementara berat masing-masing anak lebih kecil dari rata-rata, berat totalnya lebih besar dari bayi tunggal. Salah satu anak dapat lebih berat 50 sampai 1000 gr dari lainya.
110
Separoh kasus anaknya mempunyai berat badan cukup bulan. Seperdelapan kehamilan kedua bayinya dibawah 1500gr. Tiga perdelapan sisanya antara 1500 sampai 2500 gr (Oxorn & Forte, 2010). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dian Alya di Banda Aceh pada tahun 2013 yang menyebutkan bahwa kehamila ganda berisiko 3,028 kali lebih besar menyebabkan BBLR dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Namun hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Merzalia (2011) yang menyatakan bahwa kehamilan ganda tidak dapat dianalisis dikarenakan semua ibu yang mengalami kehamilan ganda melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Dengan demikian, ibu yang mengalami kehamilan kembar harus memperhatikan pola makan pada saat hamil agar nutrisi dari ibu ke kedua janin dapat tersalurkan dengan cukup. Selain itu, ibu juga harus rutin melakukan kunjungan antenatal agar setiap risiko diketahui secara dini sehingga dapat dilakukan tindakan secara cepat. 6.10
Risiko Tingkat Pendidikan Rendah terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai OR sebesar 0,841 (95% CI = 0,510-1,388). Pada CI 95% antara lower dan upper limit terdapat nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat disimpulkan pendidikan rendah tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
111
Hal ini dimungkinkan terjadi karena 60% ibu yang melahirkan bayi BBLR memiliki tingkat pendidikan tinggi. Selain itu, pengetahuan ibu tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikanya karena dengan kemajuan teknologi banyak media yang memberikan informasi tentang kehamilan dan persalinan. Kunjungan ANC
(Antenatal Care) juga dimungkinkan memberikan pengaruh
terhadap pengetahuan ibu, dimana ibu bisa menerima informasi mengenai faktor risiko BBLR dan ibu dapat mendeteksi sedini mungkin faktor risiko dalam kehamilanya serta dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap setiap risiko yang dapat terjadi. Pendidikan yang tinggi memudahkan seseorang menerima informasi lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan rendah. Pengetahuan kesehatan yang tinggi menunjang perilaku hidup sehat dalam pemenuhan gizi ibu selama kehamilan. (Festy, 2009). Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan dan gizi selama masa kehamilan (Simarmata,2010). Tingkat
pendidikan
merupakan
faktor
yang
mendasari
pengambilan keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima dan mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa pelayanan kesehatan selama hamil dapat mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan janinnya. Pendidikan juga sangat erat kaitannya
112
dengan tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan dan gizi selama masa kehamilan (Simarmata, 2010). Walaupun adanya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian yang lainya tentang risiko pendidikan terhadap BBLR, namun petugas kesehatan puskesmas maupun Dinas Kesehatan harus terus berupaya dalam memberikan konseling atau penyuluhan terhadap ibu hamil. Misalnya dengan memberikan penyuluhan mengenai faktor risiko BBLR dan dampak bagi ibu bayi yang megalami BBLR setiap kali ibu melakukan kunjungan ANC. Selain itu, membuat kelas ibu hamil yang dibina oleh bidan desa. Dimana dalam kelas ibu hamil tersebut petugas kesehatan dapat secara efektif memberikan informasi mengenai kesehatan ibu hamil dan dalam kelas tersebut ibu hamil dapat berkonsultasi mengenai masalah kehamilanya. 6.11
Risiko Status Ibu Bekerja terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012April 2014 Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai OR sebesar 0,515 (95% CI = 0,201-1,316). Pada CI 95% antara lower dan upper limit terdapat nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat disimpulkan bahwa pekerjaan ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan terjadi karena sebagian besar sampel dalam penelitian ini tidak bekerja baik pada ibu yang melahirkan bayi lahir rendah (93,7 %) maupun pada bayi lahir normal (88,4 %).
113
Selain itu, hal ini juga dimungkinkan terjadi karena sebagian besar ibu yang bekerja memiliki pekerjaan yang tidak membahayakan kesehatan janin, kemudian ibu yang bekerja mempunyai pendidikan tinggi sehingga mereka dapat mengurangi faktor risiko dari pekerjaan mereka dengan melakukan pencegahan secara dini. Hal ini sudah sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa sebagian besar ibu yang bekerja mempunyai pendidikan yang tinggi yaitu sebesar 69,81%. Menurut Yuliva, dkk (2009) menjelaskan bahwa rata-rata berat lahir bayi berdasarkan jenis pekerjaan dengan aktivitas fisik berat pada kelompok ibu bekerja lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi ibu tidak bekerja dengan aktivitas berat. Wanita hamil yang berada dalam keadaan stres akan mempengaruhi perilakunya dalam hal pemenuhan intake nutrisi untuk diri dan janin yang dikandungnya. Nafsu makan yang kurang menyebabkan intake nutrisi juga berkurang, sehingga terjadi gangguan pada sirkulasi darah dari ibu ke janin melalui plasenta. Hal ini akan dapat mempengaruhi berat lahir bayi yang akan dilahirkan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Festy (2010) dan Rizvi, et all (2007) yang menunjukan bahwa pekerjaan ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR. Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti (2008) yang menunjukan bahwa pekerjaan berisiko 3,47 kali menyebabkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
114
Walaupun hasil penelitian ini menunjukan bahwa pekerjaan tidak berisiko terhadap kejadian BBLR, namun ibu hamil yang bekerja harus tetap berhati-hati dan menjaga aktivitas fisik dan pola makanya agar janin yang dikandungnya tumbuh sehat. 6.12
Risiko Komplikasi Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012April 2014 Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa
ibu
yang
mengalami komplikasi kehamilan berupa hipertensi hanya terdapat pada pada kelompok kasus yaitu sebesar 12,6 %. Sedangkan pada kelompok kontrol, tidak terdapat ibu yang mengalami
hipertensi pada saat
kehamilanya. Walaupun secara statistik, hasil ini tidak dapat dianalisis namun secara biologis hipertensi dapat menyebabkan retardasi perkembangan janin yang berujung pada berat lahir rendah. Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi serius pada trimester kedua-ketiga dengan gejala klinis seperti edema, hipertensi, proteinuria, kejang sampai koma. Dengan terjadinya hipertensi, maka terjadi spasme pembuluh darah, sehingga terjadi gangguan fungsi plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan terganggu, pasokan nutrisi dan O2 akan tergangu sehingga janin akan mengalami pertumbuhan janin yang terganggu dan bayi akan lahir dengan berat bayi lahir rendah (Wijayarini, 2002 dalam Kurniawati, 2010).
115
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mm Hg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mm Hg atau lebih dan tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mm Hg maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Manuaba, 2008). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mumbare, et all (2011) di India menyebutkan bahwa hipertensi dalam kehamilan memiliki risiko terhadap kejadian BBLR sebesar 3,32 (CI 95% 1,55-7,10). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Coutinho, et all (2009) yang dilakukan di Brazil juga menyatakan bahwa hipertensi berisiko 2,58 (CI 95% 2,34-2,86) kali lebih besar menyebabkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami hipertensi. Terapi non farmakologi bisa dilakukan untuk menangani hipertensi, walaupun tidak memberikan dampak yang berarti. Meskipun bed rest yang ketat dapat menurunkan tekanan darah, tetapi umumnya keadaan ini tidak direkomendasikan. Membatasi aktifitas fisik dan mengurangi stress selalu dianjurkan. Membatasi masukan garam tidak dianjurkan, kecuali pada penderita yang jelas diketahui sebelumnya mempunyai
hipertensi
sensitive
terhadap
garam
(salt-sensitive
hypertension), karena wanita hamil dengan hipertensi mempunyai volume plasma yang lebih rendah dibanding wanita dengan normotensi. Jika diperlukan pengobatan farmakologik, methyldopa dapat menjadi
116
pilihan. Sebaliknya penggunaan antihipertensi tidak selalu menunjukkan peningkatan survival pada janin dan menghasilkan anak dengan mental dan perkembangan fisik yang normal. Penggunaan obat-obat anti hipertensi lain akan mempunyai hasil yang sama, tetapi belum diteliti dengan sempurna. Termasuk terapi awal dengan beta bloker β1 selektif atau diuretic. Calcium channel blocker terbukti telah efektif dan penggunaan ACE inhibitor tidak boleh digunakan dan keamanan penggunaan angiotensin II blocking agent belum diketahui (Anwar, 2004). Selain langkah-langkah diatas, bagi petugas kesehatan diharapkan melakukan deteksi dini faktor risiko Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK), sehingga dapat memberikan pendidikan kesehatan yang sifatnya promotive, preventive dan curative kepada ibu hamil dan melahirkan serta dapat mengantisipasi adanya kegawatdaruratan pada ibu maupun bayi dan segera melakukan rujukan dalam rangka membantu menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Selain itu, ibu hamil maupun keluarga harus dapat mengenali tanda bahaya kehamilan sehingga dapat menerapkan langkah-langkah promotive dan preventive dengan petunjuk dari petugas kesehatan untuk mencegah terjadinya komplikasi kehamilan dan mengurangi risiko kelahiran BBLR.
117
6.13
Risiko Penyakit Ibu dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014 Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang menderita penyakit pada saat kehamilanya hanya terdapat pada kelompok kasus yaitu berupa batu ginjal, asma, dan magh. Sedangkan pada kelompok kontrol, semua ibu tidak menderita penyakit pada saat kehamilanya. Walaupun secara statistik penyakit ibu tidak dapat dianalisis, namun secara biologis ketiga penyakit tersebut berisiko menyebabkan BBLR. Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang bersifat sementara. Wanita yang hamil bernapas untuk dua orang, karena itu penting untuk mengendalikan asmanya. Kesulitan bernapas yang dialami wanita hamil mempengaruhi sang janin karena adanya kompromi terhadap suplai oksigen. Jika asmanya terkendali, wanita penderita asma tidak akan mengalami komplikasi selama kehamilan dan bisa melahirkan sebagaimana wanita yang non-asmatik. Namun, asma yang tak terkendali selama
kehamilan bisa mengakibatkan masalah kehamilan dan
komplikasi pada sang janin seperti kelahiran prematur, bayi yang lahir kurang berat badan lahir rendah (BBLR), perubahan tekanan darah “maternal” (seperti eklampsia) (Chaitow, 2005). Serangan yang akut membahayakan janin dalam kandungan ibu hamil, karena berkurangnya pasokan oksigen yang diterima. Karena itu
118
sangat penting untuk mencegah terjadinya serangan selama kehamilan dan proses melahirkan. Caranya tak lain dengan strategi tiga jalur pertahanan terhadap asma yaitu aturlah lingkungan hidup penderita asma (kendalikan
pemicu
asma
di
lingkungan
sekitarnya),
aturlah
kesejahteraan saluran pernapasanya agar saluran napas tersebut kurang sensitive, sehingga lebih kecil kemungkinanya bereaksi dengan menimbulkan gejala asma dan aturlah serangan asma (kenali gejala datangnya serangan secara dini dan bertindak untuk menghentikanya sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar) (Chaitow, 2005). Oleh sebab itu mengontrol asma selama kehamilan sangat penting untuk mencegah keadaan yang tidak dimungkinkan baik pada ibu maupun pada janinya. Pada umumnya semua obat asma dapat diminum selama kehamilan kecuali komponen adrenergik, bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. Bila terjadi serangan harus segera ditanggulangi
secara agresif yaitu pemberian
inhalasi agonis beta-2, oksigen dan kortikosteroid sistemik. Pemilihan obat pada penderita hamil dianjurkan yaitu obat inhalasi dan memakai obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang sudah terdokumentasi dan terbukti aman. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004).
119
Penyakit batu saluran kemih (batu ginjal) adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Pada batu yang masih berukuran kecil dapat tidak memberikan gejala. Bahkan terkadang batu keluar sendiri saat buang air kecil yang sering terlihat sebagai kencing berpasir. Namun, pada batu yang berukuran lebih besar, maka dapat memberikan keluhan seperti nyeri kolik (nyeri yang disebabkan karena usaha untuk mengeluarkan batu, namun tersangkut di saluran kemih), hematuria (ada darah di urin), nyeri saat berkemih, terutama saat batu bergerak, buang air kecil sedikit, yang disebabkan tersumbatnya saluran kemih oleh batu, mual dan muntah (Gopar, 2009). Bagi penderita batu saluran kemih, diagnosis lebih tepat dengan melakukan pemeriksaan intravenous pielografi; akan tetapi janin harus dilindungi dari efek penyinaran. Dewasa ini dapat pula dengan USG dan MRI. Bila diketahui adanya urolitiasis dalam kehamilan, terapi pertama adalah analgetika untuk menghilangkan sakitnya, diberi cairan banyak agar batu dapat ke bawah, karena hampir 80% batu akan dapat turun ke bawah, serta antibiotika. Pada penderita yang membutuhkan tindakan operasi, sebaiknya operasi dilakukan setelah trimester pertama atatu setelah post partum. Pada batu buli-buli, bila batu tersebut diperkirakan menghalangi jalannya persalinan, kehamilan diakhiri dengan SC, dan
120
batu diangkat post partum dengan seksio alta atau lipotripsi (Wiknyosastro, 2007). Saat hamil, terkadang ibu hamil tidak berselera makan, mual dan muntah (emesis gravidarium) akibat pengaruh hormone chorionic gonadotropin. Karena perut sering tidak terisi, maka sakit maag akan muncul. Penyakit maag yang diderita sebelumnya dapat memperburuk masa mengidam ibu hamil, yaitu mual dan muntah berlebih (hiperemesis gravidarum) Pada ibu hamil rentan sakit maag. Bahkan, yang tadinya tidak menderita maag bisa saja terkena maag saat hamil. Salah satu penyakit saluran pencernaan ini dialami berkisar 60-80% ibu hamil. Biasanya, keluhan pada daerah sekitar lambung baik itu mual, muntah (emesis gravidarum), heart burn (rasa panas di ulu hati, bahkan sampai mual dan muntah yang berlebihan ( hiperemesis gravidarium) (Bambang, 2011). Berdasarkan penelitian, obat yang dijual bebas untuk mengatasi keluhan maag relatif aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil, tetapi sesuai dosis. Karena tidak ditemukan efek teratogenik, malformasi (kecacatan) pada bayi. Namun sebelum itu terlebih dahulu berkonsultasi ke dokter agar lebih tepat jenis obat dan dosis sesuai dengan kebutuhan. Berikut ada 2 cara untuk mengatasi gejala saluran pencernaan, antara lain farmakologis yaitu dengan menggunakan obat (vitamin B6, B12, anti histaine, antasida, H2 reseptor antagonist dan proton pump inhibitor) dan non farmakologis yaitu tanpa menggunakan obat seperti jahe (bentuk
121
permen, sirup, atau kapsul), akupuntur atau dengan cara mengoleskan minyak kayu putih pada tubuh juga dapat mengurangi gas berlebih pada tubuh (Bambang, 2011).
122
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut ; a. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa distribusi BBLR berdasarkan karakteristik ibu yaitu umur paling banyak adalah kelompok umur 20-35 tahun (91,6 %), tinggi badan ≥145cm (93,7 %), penambahan berat badan ≥10kg (60%), usia kehamilan ≥37 minggu (56,8%), tidak mengalami KEK (81,1 %), ibu yang tidak menderita anemia lebih (67,4%), bayi tunggal (82,1 %), tingkat pendidikan tinggi (60%), status bekerja ibu sebagai ibu rumah tangga (93,7%), tidak mengalami komplikasi kehamilan (87,4 %) dan tidak adanya penyakit pada saat hamil (93,7 %). b. Variabel yang tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014 yaitu umur ibu, pendidikan, status bekerja dan penambahan berat badan ibu. c. Variabel kehamilan ganda, penyakit penyerta pada ibu dan komplikasi kehamilan hanya terdapat pada kelompok kasus sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut.
123
d. Tinggi badan ibu <145cm berisiko 6,3 kali terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:1,254-32,023 e. Umur kehamilan <37 minggu berisiko 143,5 kali terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:19,292-1067, 397. f. Kekurangan Energi Kronik berisiko 8,7 kali terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:2,806-27,089. g. Anemia berisiko 3,9 kali terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:2,088-7,277. 7.1 Saran 7.1.1
Bagi Dinas Kesehatan dan Petugas Puskesmas a. Melakukan kegiatan suplementasi Fe pada ibu hamil didepan petugas kesehatan dan melakukan pengawasan terhadap ibu hamil dalam suplemetasi zat besi. b. Memberikan penyuluhan kepada ibu hamil mengenai risiko BBLR dan dampak yang ditimbulkan akibat BBLR dan penyuluhan secara intensif kepada pasangan umur subur (PUS) harus digalakan oleh petugas kesehatan agar proses kehamilan
124
dan persalinan dapat direncanakan sehingga faktor risiko pada ibu hamil dapat dicegah. c. Pemantauan status gizi ibu sebelum dan selama hamil perlu dilakukan lebih intensif untuk mencegah terjadinya BBLR Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan kunjungan rumah terhadap ibu hamil yang tidak rutin ke pelayanan kesehatan, serta memberikan motivasi dan konseling. 7.1.2
Bagi Masyarakat a. Ibu hamil maupun keluarga harus dapat mengenali tanda bahaya kehamilan sehingga dapat menerapkan langkah-langkah promotive dan preventive dengan petunjuk dari petugas kesehatan untuk mencegah terjadinya komplikasi kehamilan dan mengurangi risiko kelahiran BBLR. b. Disarankan bagi ibu hamil agar menjalani kehamilan yang sehat sehingga akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir normal yaitu dengan menjaga pola makan dan aktivitas fisik serta rajin melakukan kunjungan ANC (Ante Natal Care). c. Disarankan bagi ibu hamil agar meminum suplemen zat besi yang telah diberikan oleh puskesmas dan bagi keluarga agar berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap ibu hamil dalam meminum suplemen zat besi.
125
7.1.3
Bagi Peneliti Lain a. Bagi peneliti lain agar melakukan penelitian yang sama dengan variabel yang lebih bervariasi dan mencakup data dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik bersalin dan praktek bidan swasta, sehingga dapat dieproleh gambaran secara keseluruhan dimana hasil penelitian dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk penyusunan rencana (intervensi) strategis bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
126
DAFTAR PUSTAKA
Albugis, Djamilah. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas Jembatan Serong Kecamatan Pancoran Mas Depok Jawa Barat. Depok: Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Anwar, Bahri. 2004. Wanita Kehamilan dan Penyakit Jantung. Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Atriyanto, Primades. 2006. Pengaruh Kualitas Pelayanan Anternatal (Berdasarkan Frekuensi Pelayanan, Jadwal Pelayanan, dan Konseling) Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia: Analisis Data SDKI 2002-2003. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan . 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Bambang. 2011. Solusi Penyakit Maagh Tanpa Mengobati. Diakses pada tanggal 4 juli 2014 dari http://skp.unair.ac.id/repository/GuruIndonesia/SolusiPenyakitMaag_bam bang_10186.pdf Bisai, Samiran. 2003. Maternal Height As An Independent Risk Factor For Neonatal Size Among Adolescent Bengalees In Kolkata, India. Ethiophian Journal Of Health Science. 2010; 20(3): 153–158. Budiman. 2011. Korelasi Antara Berat Badan Ibu Hamil dengan Berat Lahir Bayi di RSUP dr. Kariadi. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro. CDC. 2011. Maternal Health Indicators. Diakses pada tanggal 27 Desember 2013 dari Http://Www.Cdc.Gov/Pednss/What_Is/Pnss_Health_Indicators.Htm Chaitow, Leon. 2005. Asma and Hay Fever. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara. Danusantoso, Halim, 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. 2014. Kehamilan Ganda (Lebih dari Satu Janin Atau Multifetus). Depkes RI. 2003. Program Penanggulangan Gizi pada Wanita Umur Subur (WUS), Direktorat Gizi Masyarakat & Binkesmas. Jakarta : Departemen kesehatan Republik Indonesia
127
Depkes RI. 2003. Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan Sistem Pelayanan Kesehatan Berkaitan di Indonesia. Jakarta: Departemen kesehatan Republik Indonesia Depkes RI, 2009. Kumpulan Buku Acuan Kesehatan Bayi Baru Lahir. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2010. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2011. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2012. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2013. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan Festy, Pipit. 2010. Analisis Faktor Risiko pada Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di Kabupaten Sumenep. Surabaya: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Gopar, Adul. 2009. Kehamilan kembar. Di akses Pada Tanggal 11 April 2014 dari http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/kehamilan-kembar.pdf Haws, S Paulette. 2007. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Huwae, Irene Ratridewi, Putri, Awliyana Risla, Fitri, Loeki Enggar. 2012. Hubungan Antara Infeksi Malaria pada Ibu Hamil dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah dan Kejadian Malaria Kongenital di Rumah Sakit Umum Daerah Lewoleba Lembata. Malang: Universitas Brawijaya. Junaidi, Iskandar. 2010. Penyakit Paru dan Saluran Napas. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Popular. Kemar, Ratna Prihastuti. 2008. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil Trisemster III dengan Kejadian BBLR. Universitas Muhammadiyah Semarang. Kramer. 1987. Determinants Of Low Birth Weight: Methodological Assessment And Meta-Analysis. WHO: 1987;65(5):663-737. Ladewig, W Patricia, Et All. 2005. Asuhan Keperawatan Ibu - Bayi Baru Lahir. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Lubis, RM. 2011. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kelahiran Prematur. Diakses pada tanggal 4 Maret 2014 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25255/4/Chapter%20II.pf
128
Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC Manuaba, dkk. 2008. Buku ajar Patologi obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta : EGC Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta: Trans Info Media. Muazizah. 2011. Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Berat Bayi Lahir di RS Permata Bunda Kabupaten Grobogan. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang. Murti, Bisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nurfilaila. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya BBBLR Periode Januari Sampai Desember 2012 Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin. Jurnal Karya Tulis Ilmiah: STIKKes Ubudiyah Banda Aceh. Oxorn H & Forte R William. 2010. Ilmu kebidanan: patologi & fisiologi persalinan. Yogyakarta : yayasan essential medika (YEM). Paul. 2012. Modul 5: Calculating Measures of Association. Parhusip, Deliana.2010. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Mencegah dan Mengatasi Komplikasi Kehamilan Oleh Bidan Desa. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Pelletier, Tiffany.2008. Long Term Effects of Low-Birth Weight. The Maternal Substance Abuse And Child Development Project, Emory University School Of Medicine, Department Of Psychiatry And Behavioral Sciences. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Pedoman Diagnosis Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
dan
Pilliteri, Adele. 2002. Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pramono & Muzakiroh. 2011. Pola Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah dan Faktor yang Mempengaruhinya di Indonesia Tahun 2010. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 14, No. 3, Juli, 2011. Profil Kesehatan Indonesia. 2008. Jakarta : Departemen Kesehatan Epublik Indonesia
129
Puji, Widiyastuti. 2009. Faktor-Faktor Risiko Ibu Hamil yang Berhubungan dengan Kejadian BBLR Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Ampel I Boyolali Tahun 2008. Skirpsi. Universitas Negeri Semarang. Puspitasari, Cinde, Dkk. 2011. Hubungan Antara Kenaikan Berangt Badan Selama Kehamilan dengan Berat Bayi Baru Lahir Di Wilayah Kerja Puskesmas Rawalo Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2010. Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 2 No. 1 Edisi Juni 2011. Rasyid, S Puspita, Dkk. 2012. Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo. Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia. Volume 2 No. 2; Hal. 135. Roeshadi, Haryono. 2004. Gangguan dan Penyulit dalam Masa Kehamilan. Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Unversitas Sumatera Utara. Santoso, G.,2004, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta, Penerbit : Prestasi Pustaka. Setianingrum, Susiana Iud Winanti. 2005. Hubungan Antara Kenaikan Berat Badan, Lingkar Lengan Atas, dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Trimester III dengan Berat Bayi Lahir di Puskesmas Ampel I Boyolali. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. Sinatra, M.T, Dkk. 2009. Perbedaan Prevalensi Anemia Defisiensi Besi pada Perempuan Hamil di Daerah Pantai dan Pegunungan di Wilayah Semarang. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Volum 33, No 2. April 2009. Simbolon, Demsa dan Aini, Nur. 2013. Kehamilan Umur Remaja Prakondisi Dampak Status Gizi Terhadap Berat Lahir Bayi di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Subarkah & Yudarini. 2003. Hubungan Kondisi Sosial, Ekonomi dan Demografi Rumah Tangga dengan Berat Lahir (Studi di Indramayu, Jawa Barat (2001-2003). Tesis. Universitas Indonesia. Sujoso, Dewi Prahastuti & Anita. 2011. Tempat Kerja dan Bahaya Reproduksi. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. Supriyono. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia Gizi Besi Pada Tenaga Kerja Wanita di PT HM Sampoerna. Di akses pada tanggal 4 Maret 2014 dari Http://Gizi.Depkes.Go.Id/WpContent/Uploads/2012/07/Hasil_-Supriyononakerwan.Pdf Suriani, S. Oster. 2007. Hubungan Kualitas Pelayanan Antenatal Terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Indonesia (Analisis Data Sekunder 130
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesi). Tesis. Fakultas Kesehatan Masyrakat Universitas Indonesia. Surtiati, eti. 2003. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Badan Lahir Rendah dalam Konteks Perawatan Maternitas di Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia Kota Bogor. Tesis. Depok: Universitas Indonesia. Susant. 2007. Confidence Intervals of Odds Ratio and Relative Risk. Diakses pada tanggal 12 April 2014 dari http://www.biostat.umn.edu/~susant/Fall10ph6414/Lesson14_complete.pd f Trihardiani, ismi. 2011. Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Timur Dan Utara Kota Singkawang. Semarang: Program Sarjana Pendidikan Kedokteran Universitas Diponegoro. Yuliva, dkk. 2009. Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Berat Lahir Bayi di RSUP dr. M. Djamil Padang. Berita Kedokteran Masyarakat : Vol. 25, No. 2, Juni 2009 Wheeler, Linda. 2004. Asuhan Prenatal dan Pascapartum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. WHO.2013. Care Of The Preterm And/Or Low-Birth-Weight Newborn. Diakses pada tanggal 19 Desember 2013 dari Http://Www.Who.Int/Maternal_Child_Adolescent/Topics/Newborn/Care_ Of_Preterm/En/ WHO.2011. Guidelines On Optimal Feeding Of Low Birth Weight Infants In LowAnd-Middle Income Countries. WHO. 2004. Low Birth Weight. WHO. 2007. Indoor Air Pollution From Solid Fuels And Risk Of Low Birth Weight And Stillbirth. Wiknyosastro, Hanifah. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono. Wulandari, Ika Ratna. 2011. Hubungan Antara Berat Badan Ibu Hamil dengan Berat Badan Bayi yang dilahirkan di Wilayah Puskesmas Brangsong I Kendal. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang.
131
OUTPUT SPSS 1. Umur Ibu Umur Ibu * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 Umur Ibu
0
1
Count
8
8
16
8.4%
4.2%
5.6%
87
182
269
91.6%
95.8%
94.4%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
% within BB Bayi 1
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
2.119a
1
.145
Continuity Correction
1.399
1
.237
Likelihood Ratio
2.004
1
.157
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
.174
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
2.112
b
1
.120
.146
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.33. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for kat_umur (0/ 1)
2.092
.760
5.759
For cohort BB Bayi = 0
1.546
.919
2.599
For cohort BB Bayi= 1
.739
.450
1.215
N of Valid Cases
285
132
2. Tinggi Badan Ibu Tinggi badan* BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 kat_tb
0
Count
2
8
6.3%
1.1%
2.8%
89
188
277
93.7%
98.9%
97.2%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
Total
6
% within BB Bayi 1
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
6.431a
1
.011
Continuity Correctionb
4.646
1
.031
Likelihood Ratio
5.989
1
.014
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.018
Linear-by-Linear Association
6.408
N of Valid Casesb
1
.018
.011
285
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.67. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kat_tb (.00 /
Lower
Upper
6.337
1.254
32.023
For cohort BB Bayi = .00
2.334
1.511
3.607
For cohort BB Bayi = 1.00
.368
.111
1.227
N of Valid Cases
285
1.00)
133
3. Penambahann Berat Badan Ibu kat_bb_tambah * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 kat_bb_tambah
0
Count % within BB Bayi
1
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
1
Total
38
77
115
40.0%
40.5%
40.4%
57
113
170
60.0%
59.5%
59.6%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.007a
1
.932
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.007
1
.932
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.007
b
1
.518
.932
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38.33. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for
Lower
Upper
.978
.592
1.617
For cohort BB Bayi = .00
.986
.705
1.378
For cohort BB Bayi = 1.00
1.007
.852
1.190
kat_bb_tambah (.00 / 1.00)
N of Valid Cases
285
134
4. Usia Kehamilan kat_usia_hamil * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 kat_usia_hamil
0
Count % within BB Bayi
1
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
1
Total
41
1
42
43.2%
.5%
14.7%
54
189
243
56.8%
99.5%
85.3%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
91.607a
1
.000
Continuity Correctionb
88.246
1
.000
Likelihood Ratio
95.925
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
91.286
b
1
.000
.000
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kat_usia_hamil
Lower
Upper
143.500
19.292
1067.397
For cohort VAR00001 = .00
4.393
3.456
5.584
For cohort VAR00001 = 1.00
.031
.004
.213
N of Valid Cases
285
(.00 / 1.00)
135
5. Anemia pada Ibu anemia * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 anemia
0
Count % within BB Bayi
1
21
52
32.6%
11.1%
18.2%
64
169
233
67.4%
88.9%
81.8%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB Bayi
Total
31
Count % within BB Bayi
Total
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
19.771a
1
.000
Continuity Correction
18.351
1
.000
Likelihood Ratio
18.720
1
.000
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association
19.701
N of Valid Casesb
1
.000
.000
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.33. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for anemia (.00 /
Lower
Upper
3.898
2.088
7.277
For cohort bb bayi = .00
2.170
1.598
2.947
For cohort bb bayi= 1.00
.557
.396
.782
N of Valid Cases
285
1.00)
136
6. Pendidikan Ibu kat_didik_bru * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 kat_didik_bru
0
Count % within BB Bayi
1
Total
84
122
40.0%
44.2%
42.8%
57
106
163
60.0%
55.8%
57.2%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB Bayi
Total
38
Count % within BB Bayi
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.459a
1
.498
Continuity Correctionb
.303
1
.582
Likelihood Ratio
.460
1
.498
Fisher's Exact Test
.527
Linear-by-Linear Association
.457
N of Valid Casesb
285
1
.292
.499
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 40.67. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kat_didik_bru (.00 / 1.00) For cohort BB Bayi= .00 For cohort BB Bayi = 1.00 N of Valid Cases
Lower
Upper
.841
.510
1.388
.891
.636
1.247
1.059
.899
1.248
285
137
7. Penyakit Ibu selama Kehamilan Penyakit * BB Bayi Crosstab BB Bayi 0 penyakit
0
Count
0
6
6.3%
.0%
2.1%
89
190
279
93.7%
100.0%
97.9%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
Total
6
% within BB Bayi 1
1
8. Kehamilan Ganda kat_janin * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 kat_janin
0
Count % within BB Bayi
1
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
1
Total
17
0
17
17.9%
.0%
6.0%
78
190
268
82.1%
100.0%
94.0%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
138
9. Hipertensi Hipertensi*BB Bayi Crosstab BB bayi 0 VAR00004
0
1
Count % within BB bayi
1
12
0
12
12.6%
.0%
4.2%
83
190
273
87.4%
100.0%
95.8%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB bayi
Total
Count % within BB bayi
Total
10. Pekerjan Pekerjaan * BB Bayi Crosstabulation BB Bayi 0 VAR00003
0
1
Count % within BB Bayi
1
6
22
28
6.3%
11.6%
9.8%
89
168
257
93.7%
88.4%
90.2%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count % within BB Bayi
Total
Count % within BB Bayi
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1.980a
1
.159
Continuity Correction
1.431
1
.232
Likelihood Ratio
2.121
1
.145
Pearson Chi-Square b
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.206 1.973
1
.114
.160
285
139
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.33. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for pekerjaan (.00 /
Lower
Upper
.515
.201
1.316
For cohort BB Bayi = .00
.619
.299
1.283
For cohort BB Bayi= 1.00
1.202
.971
1.487
1.00)
N of Valid Cases
285
11. KEK KEK * BBLR Crosstabulation kat_bblr 0 KEK
Count %
tidak KEK
4
19
78.9%
21.1%
100.0%
80
186
266
30.1%
69.9%
100.0%
95
190
285
33.3%
66.7%
100.0%
Count %
Total
15
Count %
Total
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
19.060a
1
.000
Continuity Correctionb
16.924
1
.000
Likelihood Ratio
17.938
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Casesb
.000 18.993
1
.000
.000
285
140
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.33. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for KEK
8.719
2.806
27.089
For cohort kat_BB Bayi = .00
2.625
1.953
3.528
For cohort kat_BB Bayi= 1.00
.301
.126
.722
N of Valid Cases
285
141
142
143
144
145
146
147
148