HUBUNGAN PERAN PENDAMPING DENGAN KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT ITP
NINDYA DEWINTA
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan Perempuan dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT ITP adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagaian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Februari 2015
Nindya Dewinta NIM I34110137
ABSTRAK
NINDYA DEWINTA. Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan Perempuan dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT ITP. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Gunungsari merupakan salah satu program CSR PT ITP. Program yang telah mendapat pendampingan selama 5 tahun ini memiliki 30 peserta dan seluruh pesertanya adalah perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, menganalisis hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, dan menganalisis hubungan karakteristik perempuan dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian kuantitatif menggunakan instrumen kuesioner dan didukung data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberdayaan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP telah mencapai tahap partisipasi. Kemudian, pendampingan dalam program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi perempuan. Sementara itu, ciri perempuan yang memiliki keberdayaan tinggi adalah perempuan yang berusia kurang dari 41 tahun, tingkat pendidikan tinggi, tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan tinggi, dan tingkat perilaku keinovatifan tinggi. Kata kunci: pendampingan, CSR, pemberdayaan perempuan
ABSTRACT
NINDYA DEWINTA. The Relation of Facilitator Role with Woman’s Empowerment in Corporate Social Responsibility (CSR) Program PT ITP. Supervised by TITIK SUMARTI Domestic Wasted management program in Desa Gunungsari is one of PT ITP’s CSR Program. The program which has facilitated during 5 years has 30 participants and all of them are women. Purposes of this study are analyzing the women’s empowerment in domestic waste management program of CSR PT ITP, analyzing the relationship between facilitator role with women’s empowerment in domestic waste management program of CSR PT ITP, and analyzing the relationship between women characteristic with women’s empowerment. The method in this research is quantitative research use questioner and supported by qualitative data use depth interview. The result show women’s empowerment has reached participation stage. Than the facilitator role in this program can increase welfare and participation woman. In addition, woman characteristic that classified in high woman’s empowerment is woman with less than 41 years old, high education level, high participation in organization, and high innovation of behavior. Keywords: facilitating, CSR, empowerment of women
HUBUNGAN PERAN PENDAMPING DENGAN KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT ITP
NINDYA DEWINTA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi
: Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan Perempuan dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT ITP. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini mengangkat tema pengembangan masyarakat di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Titik Sumarti MC MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang tua tercinta Ibu Dedeh Dahlia dan Bapak Rahmat serta adik tercinta Vania Virgiani yang selalu memberikan penguatan, doa, dan motivasi kepada penulis. Selain itu, terimakasih kepada PT Indocement khususnya departemen CSR, Ibu Virgowati dan warga RW 04 Desa Gunungsari. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 48, khususnya Siska Ermalia, Adella Adiningtyas, Putri Eksanika, Tiara Aprillia, Citra Dhyani, Tiffany Diahnisa, Resturezky Rachmanya, Sifna Audia Q, Elsa Yuliana, Mega Silviana, Fikra Sufi H, Sheilla N, dan Sita Putri. Kemudian Miranti Rahmatika, Yudhistira Chandra Bayu, teman-teman akselerasi SKPM 48, Sanggar Juara, dan tim Majalah Komunitas FEMA. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Februari 2015
Nindya Dewinta
viii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian 2 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Penelitian Hipotesis Definisi Operasional 3 PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pengambilan Responden dan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data 4 PROFIL DESA GUNUNGSARI Kondisi Geografis Kondisi Ekonomi 5 PROFIL PT INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup Profil Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Profil Pendampingan Program Pengelolaan Sampah CSR PT ITP 6 KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP Tingkat Kesejahteraan Perempuan Tingkat Akses Perempuan Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Tingkat Partisipasi Perempuan Tingkat Kontrol Perempuan Ikhtisar 7 PERAN PENDAMPING DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP Peran pendamping
viii x xii xiii 1 2 3 3 4 11 12 12 15 15 15 16 16 17 18 19 20 23 26
32 34 35 36 37 38
39
ix
Analisis Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Keberdayaan Perempuan dalam Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Ikhtisar 8 KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP Karakteristik Perempuan Analisis Hubungan Karakteristik Perempuan dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan dalam Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Ikhtisar 9 PENUTUP Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
46 51
52 55 73 74 74 75 77 91
x
DAFTAR TABEL
1 Luas wilayah dan persentase alokasi penggunaan lahan di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2010 2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2010 3 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat pendampingan 4 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat pendampingan 5 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis dan tingkat pendampingan 6 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi dan tingkat pendampingan 7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat pendampingan 8 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan usia 9 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat 10 keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan 11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat perilaku keinovatifan 12 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan usia 13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat pendidikan 14 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan 15 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses pada pelatihan dan pendampingan dan tingkat perilaku keinovatifan 16 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan usia 17 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan tingkat pendidikan 18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan 19 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan tingkat perilaku keinovatifan 20 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan umur 21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan tingkat pendidikan
17 18 47 48 49 49 51 56 57 57 59 59 60 61 62 63 64 64 66 66 67
xi
22 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan tingkat organisasi kemasyarakatan 23 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan tingkat perilaku keinovatifan 24 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan usia 25 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat pendidikan 26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan 27 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat perilaku keinovatifan
68 69 70 71 71 72
xii
DAFTAR GAMBAR
1 Piramida keberdayaan perempuan 2 Kerangka analisis peran pendamping dalam program CSR dan keberdayaan perempuan 3 Struktur organisasi CSR PT ITP Citeureup 4 Struktur kepengurusan UPPKS Pelita Hati 5 Persentase tingkat kesejahteraan perempuan peserta 6 Persentase tingkat akses perempuan peserta 7 Persentase tingkat kesadaran kritis perempuan peserta 8 Persentase tingkat partisipasi perempuan peserta 9 Persentase tingkat kontrol perempuan peserta 10 Persentase peran pendamping sebagai fasilitator 11 Persentase peran pendamping sebagai broker 12 Persentase peran pendamping sebagai mediator 13 Persentase peran pendamping sebagai pembela 14 Persentase peran pendamping sebagai pelindung 15 Persentase tingkat pendampingan 16 Persentase usia perempuan peserta 17 Persentase tingkat pendidikan peserta 18 Persentase tingkat keterlibatan perempuan peserta 19 Persentase tingkat perilaku keinovatifan perempuan peserta
9 11 23 26 32 34 35 36 37 40 42 43 44 45 46 52 53 54 55
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7
Denah lokasi penelitian Jadwal kegiatan penelitian Daftar nama responden penelitian Kuesioner penelitian Pedoman wawancara informan Hasil uji statistik rank spearman Dokumentasi penelitian
78 78 79 80 86 88 90
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sampai saat ini meskipun seluruh masyarakat dianggap sama di mata hukum, tetapi masih ada masyarakat yang dianggap “nomor 2”. Kelompok dari masyarakat ini sering disebut masyarakat rentan (vulnerable groups). Kelompok tersebut terdiri atas pengungsi, pekerja migran, perempuan, anak, dan masyarakat adat (Muktiono 2009). Perempuan sebagai salah satu bagian dari kelompok rentan sering kali mengalami diskriminasi akibat hegemoni budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan masih banyak terjadi dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut data ILO (International Labour Organization) tahun 2013 jumlah laki-laki yang bekerja di Indonesia masih jauh lebih banyak dibandingkan perempuan, masing-masing sebesar 62 persen dan 38 persen. Rendahnya partisipasi perempuan ini juga dipengaruhi rasio lapangan pekerjaan lakilaki memang lebih tinggi sebesar 80 persen dibandingkan perempuan yang hanya 50 persen di bulan Februari 2013. Upaya memberdayakan perempuan sudah dilakukan sejak tahun 1995 dalam konvensi wanita sedunia yang diselenggarakan di Beijing, Cina. Konvensi ini menghasilkan Beijing Platform for Action (BPFA) yang bertujuan mempercepat kemajuan kaum perempuan. Terdapat 12 bidang sasaran strategis yang menjadi perhatian, diantaranya: 1) perempuan dan kemiskinan, 2) pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, 3) perempuan dan kesehatan, 4) kekerasan terhadap perempuan, 5) perempuan dan konflik bersenjata, 6) perempuan dan ekonomi, 7) perempuan dalam kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan, 8) mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, 9) hak asasi perempuan, 10) perempuan dan media massa, 11) perempuan dan lingkungan, dan 12) anak-anak perempuan. Keterlibatan swasta untuk melakukan pemberdayaan yang dikhususkan untuk perempuan masih sangat sedikit. Padahal menurut Endres (2011), kegiatan pemberdayaan perempuan tidak hanya bermanfaat bagi perempuan itu sendiri, tapi juga bagi perusahaan. Manfaat tersebut adalah peningkatan keuntungan. Peran swasta dalam pemberdayaan dapat dilakukukan melalui Corporate Social Responsibility (CSR). CSR didefinisikan Wibisono (2007) sebagai tanggung jawab sosial perusahaan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pelaksanaan CSR di Indonesia telah dikuatkan dengan adanya UU No. 40 Tahun 2007 tentang kewajiban perusahaan untuk melaksanakan program CSR. Program CSR yang paling banyak dilakukan adalah pemberdayaan. Pemberdayaan ini dapat dilakukan melalui pendampingan yang menurut Suharto (2005) ditujukkan untuk membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri.
2
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (PT ITP) merupakan salah satu perusahaan semen di Indonesia yang telah menjalankan program CSR. Program CSR PT ITP menurut Indocement (2012) telah mengacu pada 8 tujuan Millenium Development Goals (MDG’s). Program tersebut terbagi ke dalam 5 pilar, yaitu: bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang ekonomi (pembinaan UMKM), bidang sosial dan budaya, dan bidang keamanan lingkungan. Selain itu terdapat Sustainable Development Program (SDP), salah satunya adalah program pengelolaan sampah rumah tangga. Program pengelolaan sampah rumah tangga tersebut memiliki 4 tujuan, diantaranya meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat, mengoptimumkan pengelolaan sampah menjadi produk yang bermanfaat, memberi penghasilan tambahan bagi masyarakat, dan membantu pemerintah mewujudkan lingkungan bersih dan sehat. Program tersebut dilaksanakan di RW 04 Desa Gunungsari, sebagai lokasi percontohan bagi tempat-tempat lain. Desa Gunungsari dipilih karena terdapat persoalan kesehatan, seperti penyakit demam berdarah yang disebabkan pengelolaan sampah yang belum baik (Prasodjo 2012). Selain itu, di desa ini masih terdapat 795 keluarga miskin seperti catatan laporan kaur kesra desa yang dikutip oleh Prasodjo (2012). Oleh karena itu, program pengelolaan sampah rumah tangga ini diharapkan dapat memberi penghasilan tambahan kepada para pesertanya. Peserta program yang telah mendapat pendampingan selama 5 tahun ini adalah 30 orang dan seluruhnya merupakan perempuan. Para perempuan ini bertugas mengontrol setiap rumah di RT tempat tinggal mereka agar selalu melakukan pemilahan sampah. Selanjutnya, sampah seperti buku dan gelas air mineral disimpan di bank sampah untuk dijual kepada pengepul. Sementara itu, plastik yang masih dapat digunakan didaur ulang menjadi kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan tersebut kemudian dibantu pemasarannya melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Oleh karena itu, menarik untuk melihat hubungan peran pendamping dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP dan keberdayaan perempuan di Desa Gunungsari.
Masalah Penelitian Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari? 2. Bagaimana hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari? 3. Bagaimana hubungan karakteristik perempuan dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari?
3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari. 2. Menganalisis hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari. 3. Menganalisis hubungan karakteristik perempuan dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya mengenai peran pendamping dalam CSR dan keberdayaan perempuaan. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan dari penelitian ini. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam bidang Pengembangan Masyarakat. 2. Bagi instansi terkait Penelitian ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam membuat perencanaan program CSR terutama yang terkait dengan peran pendamping dan keberdayaan perempuan.
PENDEKATAN TEORETIS
Tinjauan Pustaka Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility menurut Rakhmat (2013) adalah suatu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada seluruh stakeholdernya dengan mengintegrasikan 3 pilar yang disebut triple bottom line (profit, people, planet). Pada pengelolaannya praktik CSR sangat dipengaruhi oleh konsep GCG (Good Corporate Governance). Faktor pendorong internal dari perusahaan berupa GCG didefinisikan sebagai bentuk tata kelola perusahaan yang baik yang memiliki agenda jauh di masa datang dan isu CSR merupakan salah satu praktik dari konsep GCG. Penerapan GCG menurut Rakhmat (2013) meliputi 5 prinsip, yaitu: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, fairness, dan independensi. Prinsip transparansi berarti perusahaan harus menyediakan informasi yang mudah diakses terkait seluruh aktivitasnya kepada stakeholder. Prinsip yang kedua akuntabilitas yaitu perusahaan harus mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya secara wajar dan transparan. Kemudian responsibilitas yaitu bentuk tanggung jawab perusahaan atas dampak aktivitasnya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Prinsip keempat fairness yaitu perusahaan harus memperhatikan kepentingan stakeholder yang berasaskan kewajaran dan kesetaraan. Terakhir adalah independensi yaitu pengelolaan perusahaan harus bebas dari intervensi dari pihak manapun. Selain faktor internal, pelaksanaan CSR juga dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari luar pengelola kegiatan CSR. Faktor pendorong ini muncul dari pemerintah yang memiliki peran menurut Mulkhan dan Pratama (2011) melalui mandating, facilitating, partnering, dan endorsing. Mandating adalah peran pemerintah dalam mengeluarkan UU tentang perusahaan, melalui peran ini pemerintah dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja CSR perusahaan. Peran facilitating yaitu, pemerintah memberikan panduan untuk pelaksanaan program tanggung jawab perusahaan. Ketiga yaitu partnering, pemerintah ikut terlibat dalam proses kerjasama multy stakeholder dengan menjadi fasilitator dialog antar stakeholder. Terakhir adalah peran endorsing, pemerintah dapat memotivasi perusahaan dengan memberikan reward terhadap pelaksanaan program CSR. Peran Pendamping Peran dari seorang pendamping menurut Soesilowati et al. (2011) sangat mempengaruhi efektivitas dari pelaksanaan CSR. Keterlibatan pendamping sebagai aktor yang melembaga dalam suatu jaringan menyebabkan proses pemberdayaan berjalan efektif. Hasilnya adalah peningkatan pendapatan subyek serta memberi multiplier effect bagi masyarakat dan pemerintah daerahnya.
5
Proses pemberdayaan memerlukan pendamping yang berperan memfasilitasi pengambilan keputusan dan meningkatkan inisiatif masyarakat agar lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya. Selain itu, berusaha menciptakan rakyat dan institusinya sebagai kekuatan dasar dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Pendampingan menurut Putra et al. (2012) menggunakan metode PAR (Participatory Action Reserch), karena masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam menyalurkan ide tidak hanya sebagai penerima ide. Kegiatan pendampingan dilakukan melalui pemetaan potensi desa, sosialisasi kegiatan pemberdayaan, pelatihan, pemetaan dan pendampingan pemasaran produk, dan konsultasi. Hasil yang diharapkan dari pendampingan ini yaitu keberlanjutan program, perubahan relasi sosial, partisipasi aktif, adanya inovasi baru, peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan terbangunnya organisasi masyarakat sehingga terjadi kelompok swadaya. Pendampingan sosial menurut Suharto (2005) merupakan salah satu strategi yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan. Prinsipnya adalah membantu orang lain agar mampu membantu dirinya sendiri, seperti prinsip pekerja sosial. Pekerja sosial diwujudkan perannya sebagai pendamping bukan pemecah masalah secara langsung, mereka hadir dan terlibat membantu memecahkan persoalan atau yang disebut Payne (1986) yang dikutip oleh Suharto (2005) “making the best of client’s resources”. Pendampingan sosial diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pendamping untuk mengatasi masalah secara bersama-sama dan mengahadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain: merancang program perbaikan sosial dan ekonomi, memecahkan masalah sosial, membuka akses bagi kebutuhan, dan lainnya. Tugas dari pendampingan sosial menurut Suharto (2005) terdiri atas fasilitasi atau pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting). Selain itu, pendamping memiliki 5 peran menurut Jorgensen dan Hernandez (1994) dikutip Suharto (2005), yaitu fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Peran pendamping pertama adalah fasilitator. Definisi fasilitator menurut Parsons, Jorgenzen, dan Hernandez (1994: 188) dikutip Suharto (2005) yaitu “the traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action.” Definisi tersebut didasari visi pekerjaan sosial yang menyatakan perubahan terjadi pada dasarnya karena adanya usaha masyarakat sendiri. Peranan pekerjaan sosial sebagai fasilitator adalah memfasilitasi atau memungkinkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Tugas fasilitator diantaranya mendefinisikan siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan, mendefinisikan tujuan keterlibatan, mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan, memfasilitasi menemunakan kesamaan dan perbedaan, memfasilitasi pendidikan dengan membangun pengetahuan dan keterampilan, memberikan contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah bersama dengan mendorong kegiatan kolektif.
6
Selain itu, tugas fasilitator yaitu mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan, memfasilitasi penetapan tujuan, merancang solusi-solusi alternatif. Kemudian tugas lainnya, antara lain mendorong pelaksanaan tugas, memelihara relasi sistem, dan memecahkan konflik. Kedua, peran pendamping sebagai broker. Broker dalam pengertian umum berperan untuk memaksimalkan keuntungan transaksi bagi klien. Namun dalam konteks pekerjaan sosial memaksimalkan keuntungan dalam pelayanan sosial (Suharto 2005). Pada intinya peranan sebagai broker adalah menghubungkan masyarakat dengan barang dan pelayanan serta mengontrol kualitas barang dan pelayanan tersebut. Peranannya secara spesifik yaitu mampu mengidentifikasi dan melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat, mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber secara konsisten, dan mampu mengevaluasi efektivitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Terdapat 3 kata kunci dalam peran ini, yaitu menghubungkan (linking), barang dan pelayanan (goods and service), dan pengontrolan kualitas (quality control). Selanjutnya, peran pendamping ketiga adalah mediator. Mediator sangat penting terutama pada saat ada perbedaan mencolok antara masyarakat dengan pihak lain yang mengarah kepada konflik. Pendamping menurut Lee dan Swenson dikutip Suharto (2005) digambarkan sebagai jembatan antara masyarakat dengan sistem lingkungan yang menghambatnya. Kegiatan mediator antara lain kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, dan berbagai resolusi konflik. Pada proses mediasi, tujuan akhir diarahkan kepada win-win solution. Teknik dan keterampilan yang dapat digunakan oleh mediator menurut Compton dan Galaway (1989: 511) dikutip Suharto (2005), yaitu mencari persamaan nilai dari pihak yang berkonflik, membantu setiap pihak mengakui legitimasi kepentingan pihak lain, membantu pihak yang bertikai mengidentifikasi kepentingan bersama, hindari situasi yang mengarah pada kondisi menang dan kalah, berupaya melokalisir konflik ke dalam isu, waktu, dan tempat yang spesifik, membagi konflik kedalam beberapa isu, membantu pihak yang bertikai mengakui manfaat melanjutkan hubungan daripada terus berkonflik, memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain, dan gunakan prosedur persuasi. Keempat, peran pendamping sebagai pembela. Peran ini seringkali harus berhadapan dengan sistem politik dalam menjamin kebutuhan yang diperlukan masyarakat (Suharto 2005). Ketika pelayanan dan sumber kebutuhan sulit dijangkau masyarakat, pekerja sosial harus memainkan peran sebagai advokat (pembela). Peran pembela dapat dibagi 2 menurut Parson, Jorgensen dan Hernandez dikutip Suharto (2005), yaitu advokasi kasus dan advokasi kausal. Advokasi kasus yaitu ketika pendamping melakukan pembelaan atas nama individu, sedangkan advokasi kausal objeknya adalah sekelompok orang. Peran pembela menurut Rothblatt (1978) dikutip Suharto (2005) memiliki beberapa model, diantaranya perwakilan luas dengan mewakili semua pelaku yang memiliki kepentingan dalam pembuatan keputusan, keadilan dengan memperjuangkan sebuah sistem kesetaraan, pendukungan dengan mendukung partisipasi secara luas, dan kepekaan dengan mendorong para pembuat keputusan untuk mempertimbangkan dan peka terhadap minat dan posisi orang lain.
7
Peran pendamping yang terakhir adalah pelindung. Pendamping didukung kekuatan hukum untuk melakukan perlindungan terhadap orang-orang lemah atau rentan. Sebagai pelindung menurut Suharto (2005), pendamping bekerja berdasarkan kepentingan korban, calon korban, atau yang berisiko. Kemampuan seorang pelindung menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan pengawasan sosial. Tugastugas pelindung, antara lain menentukan siapa klien yang paling utama, menjamin semua tindakan sesuai dengan proses perlindungan, dan berkomunikasi dengan semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggung jawab etis, legal, dan rasional praktik pendamping. Pemberdayaan Pemberdayaan sebagai alternatif paradigma pembangunan menurut Waskita (2005) melihat pembangunan sebagai sesuatu yang integral, multidimensional, dan dialektis yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, setiap masyarakat harus menemukan sendiri strategi pembangunannya. Konsep penyadaran yang menjadi inti pemberdayaan dapat dilihat dari unsur-unsur, sebagai berikut: pembangunan yang berorientasi kebutuhan, pembangunan yang bersifat endogenous, pembangunan yang mengandalkan kemampuan sendiri, pembangunan secara ekologis baik, dan bersandar pada transformasi lokal. Pembangunan yang berorientasi kebutuhan adalah pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat baik yang bersifat materi maupun nonmateri. Kedua pembangunan yang bersifat endogenous adalah pembangunan yang berdasar dari nilai-nilai dan pandangan masyarakat. Ketiga pembangunan mengandalkan kemampuan sendiri yaitu masyarakat yang mengandalkan kekuatan dan sumberdayanya sendiri. Keempat pembangunan harus baik secara ekologis artinya pemanfaatan sumberdaya harus penuh kesadaran dan rasional akan potensi ekosistem lokal dan memikirkan generasi mendatang. Terakhir pembangunan perlu bersandar pada transformasi sosial guna mewujudkan swakelola dan partisipasi dalam pembuatan keputusan oleh semua stakeholder (Waskita 2005). Tujuan dari pemberdayaan menurut Soesilowati (2011) adalah meningkatkan kemampuan berusaha, baik dari aspek motivasi, teknologi, manajemen, permodalan, dan pemasaran serta memiliki posisi tawar di masyarakat. Selain itu, terdapat 3 buah strategi pemberdayaan yang merujuk Friedmann dikutip Soesilowati (2011) yaitu strategi fasilitasi, reedukasi, dan kekuasaan. Menurut Soesilowati (2011) harapan dari proses pemberdayaan pada akhirnya adalah keberlanjutan. Hal tersebut dapat dicapai melalui beberapa proses, pertama konvergensi dimana antar anggota melakukan reposisi melalui penggalangan sumberdaya, sehingga sektor kerakyatan dapat terlepas dari posisi marjinal dan terjadi pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya sinergi antar pelaku pembangunan dan sibernetik, suatu sistem yang dapat mengatur dirinya sendiri, sehingga memungkinakan kelompok masyarakat berswadaya.
8
Selain pendekatan yang berbasis masyarakat, menurut Soesilowati (2011) pemberdayaan juga dapat melalui pendekatan institusional. Asumsinya program pemberdayaan akan lebih efektif jika pelaksanaannya melibatkan institusi yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini karena institusi dianggap memiliki daya kohesivitas yang tinggi dan menjadi tumpuan masyarakat. Satu pendekatan lagi dalam pemberdayaan yaitu PRA (Participatory Rural Appraisal) (Soesilowati 2011). Suatu pendekatan yang dapat mempelajari kondisi masyarakat, melalui analisis, perencanaan, dan tindakan. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat untuk dapat meningkatkan pengetahuan tentang realitas kehidupan mereka, membuat rencana, dan sekaligus tindakan untuk mengatasi masalah yang mereka rasakan. Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dapat tercapai melalui dialog. Prosesnya harus secara kontinyu agar tercapai penyadaran, saling pengertian, dan persamaan persepsi. Program pemberdayaan menurut Sartika (2011) akan berhasil bila kebijakannya memenuhi 4 komponen yaitu konsep, prosedur, proses, hasil, dan manfaat. Pertama program pemberdayaan harus memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas. Kedua harus ada prosedur pelaksanaan yang terdiri atas peraturan, manajemen, dan pedoman untuk menjalankan program. Ketiga adanya mekanisme prosedur akan memudahkan pelaksanaan kegiatan. Kemudian pengukuran keberhasilan dapat dilihat dengan membandingkan antara tujuan dengan hasil serta kesesuaian harapan. Terakhir program pemberdayaan harus memiliki manfaat baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa kendala dalam pelaksanaan program pemberdayaan juga seringkali ditemui di lapangan. Kendala tersebut menurut Sartika (2011) diantaranya struktur organisasi pelaksana yang kurang jelas, masyarakat seringkali belum menyadari pentingnya berorganisasi, ketidakjelasan pedoman pelaksanaan dan struktur organisasi menyebabkan ketidaksinambungan program, keterbatasan dana, dan belum terintegrasinya pihak-pihak yang melakukan pemberdayaan. Keberdayaan Perempuan Perempuan menurut Muktiono (2009) merupakan salah satu kelompok masyarakat rentan (vulnerable groups). Salah satu pendekatan dalam pembangunan yang telah melihat semua kerja perempuan baik kerja produktif, reproduktif, privat maupun publik adalah pemberdayaan perempuan atau dikenal juga dengan pendekatan GAD (Gender and Development). Pendekatan ini mengarah pada pendekatan struktural yang menekankan konstruksi sosial gender. Pelaksanaannya menurut Handayani dan Sugiarti (2005) memerlukan dukungan sosio-budaya masyarakat dalam politik nasional untuk menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki. Terbitnya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG (Pengarusutamaan Gender) dan berbagai aturan lain yang mendorong pemberdayaan perempuan merupakan salah satu bagian dari upaya struktural (Hubeis 2010). Stereotipe peran serta sifat laki-laki dan perempuan yang sejak dulu disosilisasikan dan menjadi pembelajaran sosial, pada akhirnya menjadi pendorong untuk melakukan pemberdayaan perempuan.
9
Perempuan selalu diasumsikan sebagai manusia lemah dan emosional, sedangkan laki-laki sebagai sosok yang gagah perakasa dan pelindung (Hubeis 2010). Akibatnya perempuan sejak kecil tersosialisasi untuk tersubordinasi dari laki-laki. Budaya inilah yang perlu diubah jangan sampai terus mensosialisasikan perempuan sebagai pihak yang tidak berdaya. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat dilakukan dengan mengembangkan potensi yang dimiliki perempuan untuk memecahkan masalah maupun pemenuhan kebutuhan. Pemberdayaan perempuan menurut Windiani (2011) adalah upaya memampukan, memandirikan masyarakat, dan menghilangkan diskriminasi. Upaya ini dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran teradap potensi yang dimilikinya. Sara Longwe dikutip oleh Handayani dan Sugiarti (2005) seperti ditunjukkan oleh gambar 1 melihat keberdayaan perempuan melalui 5 hal, yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol. Lima dimensi tersebut merupakan hubungan yang sinergis, saling melengkapi, dan memiliki hubungan yang hierarkis. Pada pendekatan ini tingkat kesetaraan berbanding lurus dengan tingkat keberdayaan.
Kontrol Partisipasi Kontrol Kesadaran Kritis asi Akses Kesejahteraan n
Sumber: Longwe dikutip Handayani dan Sugiarti (2005) Gambar 1 Piramida keberdayaan perempuan Dimensi kesejahteraan dalam pendekatan Longwe dikutip Handayani dan Sugiarti (2005) diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan, dan kesehatan. Selain itu, menurut Fanariotu dan Skuras (2002) kesejahteraan juga dapat dinilai dari segi lingkungan melalui pengetahuan, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan (Waskito dan Harsono 2012). Kesenjangan gender pada tingkat ini diukur perbedaan kesejahteraan laki-laki dan perempuan, misalnya dalam tingkat penghasilan, kematian, atau gizi. Keberdayaan tidak dapat terjadi di tingkat kesejahteraan, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya (Handayani dan Sugiarti 2005). Upaya untuk memperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses pemberdayaan dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi.
10
Selain itu, menurut Handayani dan Sugiarti (2005) dimensi akses melihat perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan. Akses berarti kesempatan. Rendahnya akses terhadap sumberdaya mengakibatkan produktivitas yang juga rendah. Perempuan di banyak komunitas diberikan tanggung jawab terhadap pekerjaan domestik, sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk meningkatkan kemampuan diri. Pembangunan tidak cukup hanya perataan akses, karena kurangnya akses disebabkan dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesenjangan gender akibat diskriminasi sistemik harus diatasi melalui penyadaran (Handayani dan Sugiarti 2005). Selanjutnya, kesadaran kritis menurut Handayani dan Sugiarti (2005) adalah upaya untuk “melawan” subordinasi perempuan. Kesenjangan gender di tingkat ini disebabkan anggapan posisi sosial ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Keberdayaan di tingkat ini berarti melakukan penolakan pada pandangan tersebut. Dimensi partisipasi yaitu keterlibatan perempuan secara aktif mulai dari formulasi proyek, implementasi dan monitoring, sampai evaluasi (Handayani dan Sugiarti 2005). Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil keberdayaan. Partisipasi dibedakan menjadi partisipasi kuantitatif (jumlah laki-laki dan perempuan yang terlibat) dan kualitatif (peranan laki-laki dan perempuan dalam mengambil keputusan). Terakhir adalah dimensi kontrol, artinya perempuan harus punya kuasa untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa menjadi prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera. Karakteristik Perempuan Pada program pemberdayaan selalu ada obyek atau kelompok sasaran yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan tersebut (Mardikanto 2010). Definisinya adalah masyarakat yang utamanya masyarakat yang termarjinalkan. Mardikanto (2010) menyebut kelompok sasaran sebagai penerima manfaat. Karakteristik penerima manfaat menurut Mardikanto (2010) terdiri atas karakteristik pribadi meliputi usia. Kedua, status sosial ekonomi meliputi tingkat pendidikan dan keterlibatannya dalam organisasi kemasyarakatan. Selanjutnya, perilaku keinovatifan terdiri atas innovator, early adaptor, early majority, late majority, dan laggards. Karakteristik status sosial ekonomi memandang penting pendidikan sebagai variabel utama memperbaiki mutu hidup (Mardikanto 2010). Terakhir pengorganisasian merupakan upaya yang selalu dilakukan dalam setiap program pemberdayaan, guna meningkatkan partisipasi, efisiensi pelayanan, dan kekuatan bersama untuk menaikkan posisi tawar. Selain itu, penting bagi fasilitator mengetahui tingkat perilaku keinovatifan penerima manfaat, karena sangat menentukan kecepatan tujuan pemberdayaan (Mardikanto 2010). Pada hubungan ini, kelompok innovator dan early adapator dalam proses pemberdayaan tidak bisa dijadikan panutan, karena kondisi sosial ekonomi, dan keberanian menghadapi resikonya berada di atas rata-rata. Oleh karena itu, kelompok early majority menjadi panutan, karena memiliki status sosial ekonomi yang tidak banyak berbeda dengan sebagain besar masyarakat lain.
11
Kerangka Penelitian Keberhasilan pemberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP dapat diidentifikasi melalui beragam metode, salah satunya dengan teknik Longwe. Teknik analisis Longwe dikutip Handayani dan Sugiarti (2005) melihat keberdayaan perempuan dalam 5 dimensi, yaitu tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi, dan tingkat kontrol. Kelimanya berhubungan sinergis, saling menguatkan, dan memiliki hubungan hierarkis. Keberdayaan perempuan berhubungan dengan beragam faktor. Gambar 2 menunjukkan terdapat 2 faktor yang berhubungan dengan keberdayaan perempuan, yaitu pendampingan dan karakteristik perempuan. Pendampingan merupakan faktor yang tidak dapat lepas dari proses pemberdayaan masyarakat, karena menurut Suharto (2005) pendampingan sosial merupakan strategi yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan. Prinsipnya yaitu membantu orang lain agar mampu membantu dirinya sendiri. Tingkat pendampingan tersebut dapat dilihat melalui peran pendamping yang mencakup fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Selanjutnya, karakteristik perempuan menurut Mardikanto (2010) mencakup karakteristik pribadi, status sosial ekonomi, dan tingkat perilaku keinovatifan. Karakteristik pribadi dilihat dari usia, sedangkan status sosial ekonomi dilihat dari tingkat pendidikan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan. Tingkat Pendampingan (X2): 1. Tinggi 2. Sedang 3. Rendah Karakteristik Perempuan (X1): 1. Usia (X1.1) 2. Tingkat pendidikan (X1.2) 3. Tingkat Keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan (X1.3) 4. Tingkat Perilaku Keinovatifan (X1.4)
Keberdayaan Perempuan (Y): 1. Tingkat kesejahteraan (Y1) 2. Tingkat akses (Y2) 3. Tingkat kesadaran kritis (Y3) 4. Tingkat partisipasi (Y4) 5. Tingkat kontrol (Y5)
Keterangan: : Berhubungan Gambar 2
Kerangka analisis hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan dalam program CSR ITP
12
Hipotesis Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara tingkat pendampingan dengan keberdayaan perempuan (tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi, dan tingkat kontrol). 2. Terdapat hubungan antara karakteristik perempuan (usia, tingkat pendidikan, tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, dan tingkat perilaku keinovatifan) dengan keberdayaan perempuan (tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi, dan tingkat kontrol). Definisi Operasional Keberdayaan Perempuan Keberdayaan perempuan menurut Windiani (2011) adalah keadaan dimana perempuan telah mampu, mandiri, dan tidak terdiskriminasikan. Beberapa variabelnya antara lain: a. Tingkat kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar melalui pendapatan dan kesehatan lingkungan melalui kesadaran lingkungan. Pendapatan diperoleh dari hasil kerja nafkah, kerja sosial, kerja serabutan, arisan, dan lainnya. Penggolongan ini dilakukan dengan skala ordinal sesuai dengan hasil di lapangan, dengan kategori rendah untuk kurang dari rata-rata sebesar Rp927 067 dan kategori tinggi untuk di atas rata-rata atau sama dengan pendapatan. Namun, jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor menurut Keputusan Gubernur Jawa Barat (2013) sebesar Rp2 242 240, pendapatan para peserta masih banyak yang berada di bawah rata-rata. Sementara itu, kesadaran lingkungan diukur dari pengetahuan, sikap, dan praktik pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pengukuran tingkat kesejahteraan dibedakan dalam 2 kategori dalam skala ordinal yaitu: rendah jika skor pertanyaan 1-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-4. b. Tingkat akses adalah peluang untuk memperoleh manfaat atas sumberdaya. Tingkat akses melihat frekuensi perempuan dalam memperoleh pendampingan dan pelatihan. Variabel ini diukur melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 yakni: rendah jika skor pertanyaan 0-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-5. c. Tingkat kesadaran kritis adalah kesadaran adanya subordinasi pada perempuan bukanlah suatu pengaturan alamiah, tetapi hasil diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Hal ini berarti perempuan menyadari adanya ketidakadilan yang menganggap bahwa posisi sosial dan ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Selain itu, menyadari pembagian kerja gender tradisional bukan bagian dari tatanan abadi.
13
d.
e.
Tingkat kesadaran kritis diukur melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori terdiri atas: rendah jika skor pertanyaan 0-1 dan tinggi jika skor pertanyaan 2-3. Tingkat partisipasi adalah keterlibatan perempuan secara aktif mulai dari penetapan kebutuhan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Tingkat partisipasi diukur melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori yaitu: rendah jika skor pertanyaan 1-4 dan tinggi jika skor pertanyaan 58. Tingkat kontrol, yaitu kuasa untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Tingkat kontrol dinilai melalui kuasa yang dimiliki peserta atas penetapan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan mengikuti penentuan pembangunan di desa melalui program Bilikom. Tingkat kontrol dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori, terdiri atas: rendah jika skor pertanyaan 0-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-5.
Tingkat Pendampingan Tingkat pendampingan menurut Suharto (2005) didefinisikan sebagai interaksi antara kelompok miskin dengan pendamping untuk mengatasi masalah dan berbagai tantangan bersama. Tingkat pendampingan dilihat dari peran pendamping yang meliputi fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Kelima variabel tersebut diukur dengan menggunakan skala ordinal yang dikategorikan berdasarkan rataan skor, yaitu rendah jika skor pertanyaan 5-7 dan tinggi jika skor pertanyaan 810. a. Fasilitator adalah peran memfasilitasi masyarakat agar mampu melakukan perubahan. Peran sebagai fasilitator antara lain: mendefinisikan siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan, memfasilitasi pendidikan dengan membangun pengetahuan dan keterampilan, mendorong kegiatan kolektif, mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan, merancang solusi-solusi alternatif. Peran sebagai fasilitator dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori yaitu: rendah jika skor pertanyaan 0-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-5. b. Broker, yaitu peran menghubungkan masyarakat dengan barang dan pelayanan yang dibutuhkan serta mengontrol kualitasnya. Peran pendamping sebagai broker, terdiri atas menghubungkan masyarakat dengan barang yang dibutuhkan, menghubungkan masyarakat dengan pelayanan yang dibutuhkan, mengontrol barang dan pelayanan tersebut. Peran sebagai broker dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori yakni: rendah jika skor pertanyaan 0-1 dan tinggi jika skor pertanyaan 2-3. c. Mediator adalah peran menjembatani masyarakat. Kegiatan yang dilakukan yaitu memfasilitasi komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan dan komunikasi yang persuasif. Peran mediator dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori terdiri atas: rendah jika skor pertanyaan 1 dan tinggi jika skor pertanyaan 2.
14
d. Pembela adalah peran yang terkait dengan kegiatan politik. Peran ini terbagi menjadi dua yaitu advokasi kasus dan advokasi kausal. Peran pembela memiliki beberapa model yaitu membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan perusahaan dan masyarakat mendukung partispasi masyarakat, dan mendorong pembuat keputusan untuk mempertimbangkan minat masyarakat. Peran pembela dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori antara lain: rendah jika skor pertanyaan 0-1 dan tinggi jika skor pertanyaan 2-3. e. Pelindung, yaitu peran yang bekerja berdasarkan kepentingan korban, calon korban, atau yang berisiko. Tugas-tugas pelindung antara lain menentukan masyarakat yang paling utama dan berkomunikasi dengan masyarakat yang terpengaruhi. Peran pelindung dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori antara lain: rendah jika skor pertanyaan 1 dan tinggi jika skor 2. Karakteristik Perempuan Karakteristik perempuan adalah ciri-ciri personal yang melekat yang membedakan dengan perempuan lain. Beberapa variabelnya, antara lain: a. Usia adalah lamanya seseorang hidup di dunia yang diukur dalam satuan tahun. Pengelompokan usia berdasarkan Teori Havirghurst yang dikutip oleh Mugniesyah (2006b) seluruh usia peserta berada pada masa usia pertengahan. Pada penelitian ini usia dinilai melalui skala ordinal dan masa usia pertengahan dikelompokkan kembali menjadi 2 kategori, yaitu: usia <41 tahun: usia pertengahan muda (skor 1) dan usia ≥41 tahun: usia pertengahan tua (skor 2). b. Tingkat pendidikan, yaitu jenis pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti. Tingkat pendidikan dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori, yakni: rendah (tamat SD sampai tamat SMP) skor 1 dan tinggi (tamat SMA sampai Perguruan Tinggi) skor 2. c. Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, yaitu keaktifan mengikuti organisasi masyarakat serta status dalam organisasi tersebut seperti ketua, bendahara/ sekretaris/ kepala bidang atau seksi, dan anggota. Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dinilai dengan skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu: rendah (tidak terlibat dalam organisasi) skor 1 dan tinggi (terlibat dalam organisasi) skor 2. d. Perilaku keinovatifan adalah penentu kecepatan penerimaan program. Perilaku keinvotifan dilihat dari pola hubungan (kosmopolit atau lokalit) dan waktu mengadopsi inovasi (Mugniesyah 2006a). Tingkat perilaku keinovatifan dihitung menggunakan skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu: rendah jika skor pertanyaan 1-2 dan tinggi jika skor 3.
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian Penelitian tentang hubungan peran pendamping dalam program CSR PT ITP dan keberdayaan perempuan ini merupakan penelitian kuantitatif melalui metode sensus yang didukung oleh data kualitatif. Metode sensus merupakan penelitian yang menggunakan seluruh populasi untuk mendapatkan data informasi. Selain itu, penelitian kuantitatif merupakan penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang diperoleh dari responden, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam dengan informan (Singarimbun dan Efendi 1989). Lokasi dan Waktu Program pengelolaan sampah rumah tangga terdapat di 2 desa binaan CSR PT ITP, yaitu Desa Puspanegara dan Desa Gunungsari. Namun, pengelolaan sampah yang dilakukan di Desa Puspanegara hanya melibatkan laki-laki, sedangkan di Desa Gunungsari khususnya RW 04 seluruh pesertanya adalah perempuan. Selain itu, RW 04 Desa Gunungsari telah mendapatkan pendampingan selama 5 tahun. Oleh, karena itu, RW 04 Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dipilih secara purposive (sengaja) sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut (Lampiran 1). Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Juni 2014. Penelitian di lapangan dilakukan selama 8 minggu, yaitu pada bulan OktoberNovember 2014. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi (Lampiran 2). Teknik Pengambilan Responden dan Informan Populasi sampling dalam penelitian ini ialah seluruh perempuan yang sudah berkeluarga di RW 04 Desa Gunungsari. Sementara itu, Populasi sasaran adalah seluruh perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 Desa Gunungsari sebanyak 30 orang. Ketiga puluh peserta program tersebut diambil sebagai responden (Lampiran 3). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode sensus. Sementara itu, Informan dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dengan program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di RW 04 Desa Gunungsari, yaitu aparat Desa Gunungsari, pendamping CSR PT ITP, dan ketua kader RW 04 atau UPPKS.
16
Teknik Pengumpulan Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden yaitu perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di RW 04 Desa Gunungsari. Pengumpulan data primer didukung dengan kuesioner yang dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden serta ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian (Lampiran 4). Pengumpulan data penelitian ini juga menggunakan observasi (pengamatan langsung) yang dilakukan oleh peneliti di RW 04 Desa Gunungsari. Selain itu dilakukan wawancara mendalam dengan aparat Desa Gunungsari, pendamping CSR PT ITP, dan ketua kader RW 04 atau UPPKS sebagai pihak yang terkait dengan program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen pihak-pihak terkait dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, yaitu buku, jurnal penelitian, skripsi, dan internet (Lampiran 5). Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuesioner yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Setelah seluruh data terkumpul, dilakukan pengkodean data. Setelah itu, dilakukan perhitungan persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel tabulasi silang menggunakan Microsoft Excel 2013. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah secara statistik dengan mengunakan software SPSS (Statistical Program for Social Sciences) for Windows versi 16.0. Beberapa variabel disajikan dalam bentuk diagram lingkaran (pie chart), yaitu tingkat kesejahteraan perempuan, tingkat akses perempuan, tingkat kesadaran kritis perempuan, tingkat partisipasi perempuan, tingkat kontrol perempuan, tingkat pendampingan (peran fasilitator), tingkat pendampingan (peran broker), tingkat pendampingan (peran moderator), tingkat pendampingan (peran pembela), tingkat pendampingan (peran pelindung), usia perempuan peserta, tingkat pendidikan perempuan peserta, tingkat keterlibatan perempuan peserta dalam organisasi kemasyarakatan, dan tingkat perilaku keinovatifan perempuan peserta. Uji korelasi dilakukan antara tingkat pendampingan CSR PT ITP dengan variabel keberdayaan perempuan peserta dan antara variabel karakteristik perempuan peserta dengan variabel keberdayaan perempuan peserta dengan menggunakan uji korelasi rank spearman untuk mengukur korelasi variabel berskala ordinal-ordinal. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara digunakan sebagai data pendukung hasil penelitian kuantitatif (Lampiran 6). Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
PROFIL DESA GUNUNGSARI Pada bab ini dipaparkan mengenai profil Desa Gunungsari yang akan dibagi menjadi beberapa sub bab. Sub bab tersebut diantaranya kondisi geografis dan ekonomi. Karakteristik Geografis Penelitian ini dilakukan di Desa Gunungsari. Desa Gunungsari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Batas desa sebelah utara adalah Desa Citeureup dan sebelah timur Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, sebelah selatan Desa Tajur dan sebelah barat Desa Tarikolot. Desa yang berjarak sekitar 9 km dari ibu kota Kabupaten Bogor ini terdiri atas 3 dusun, 6 RW, dan 35 RT. Desa ini memiliki luas wilayah 373.67 Ha. Tabel 1 menunjukkan sebagian besar (69.8%) penggunaan lahan di Desa Gunungsari digunakan untuk pemukiman penduduk. Hal ini mengindikasikan besarnya potensi persoalan sampah yang dihasilkan di desa yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi yaitu 320 per km2. Penduduk asli Desa Gunungsari menurut Prasodjo (2012) sebagian besar menempati 2 kampung, yaitu Kampung Tonggoh dan Kampung Nyang Kolot. Sementara itu, pendatang dari luar desa menempati Perumahan Indogreen dan Perumahan Bumi Citeurep Asri. Saat ini jumlah penduduk Desa Gunungsari telah melebihi 10.000 orang, sehingga persoalan sampah di desa ini menjadi semakin mengkhawatirkan. Hal tersebut merupakan salah satu alasan pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga dilakukan di Desa Gunungsari. Selain itu, permasalahan sampah di daerah ini menyebabkan gangguan kesehatan, seperti penyakit demam berdarah (Prasodjo 2012). Tabel 1
Luas wilayah dan persentase alokasi penggunaan lahan di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2010
Penggunaan Pemukiman Sawah Pekarangan Perkebunan Taman Pemakaman Kantor Desa Prasarana Umum Lainnya Jumlah
Lahan (Ha) 260.7 50.0 30.0 10.0 4.6 1.0 0.3 17.1 373.7
Sumber: Data Monografi Desa Gunungsari
Persentase (%) 69.8 13.4 8.0 2.7 1.2 0.2 0.1 4.6 100.0
18
Kondisi Ekonomi Aktivitas ekonomi terkait dengan aktivitas mencari nafkah. Tabel 2 menunjukkan sebagian besar (45%) warga merupakan karyawan perusahaan, sedangkan sebanyak 38.5 persen merupakan buruh pabrik. Hal ini menunjukkan sektor industri menjadi tumpuan hidup warga Desa Gunungsari. Wilayah ini menurut Prasodjo (2012) dikenal sebagai kawasan industri, karena sejak dulu penduduk asli sebagian besar bekerja sebagai pengrajin perkakas dari bahan plat dan seng, seperti kompor, dandang, oven, dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu, industriindustri rumahan tersebut gulung tikar dan sebagian warga beralih ke industri tambang dan garmen. Desa ini dikelilingi 2 pabrik semen besar yaitu PT ITP dan PT Holcim serta pabrik garmen yaitu PT Wacoal dan PT Riki Putra Gramindo. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang aparat Desa Gunungsari sebagai berikut: “…Dulu warga desa ini kebanyakan pengrajin kompor minyak, dandang, oven, dan lainnya, tapi semenjak ada konversi minyak tanah ke gas, sebagian besar dari pengrajin ini bankrut. Akhirnya pengrajin itu pindah kerja jadi buruh di pabrikpabrik…”-Bapak DD (aparat Desa Gunungsari).
Tabel 2
Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2010
Mata Pencaharian Petani Pengusaha kecil/ menengah Pengrajin industri rumah tangga PNS/ TNI/ Polri Karyawan swasta Buruh pabrik Lain-lain Jumlah
Jumlah (orang) 223 47 400 56 2087 1787 41 4 641
Persentase (%) 4.8 1.0 8.6 1.2 45.0 38.5 0.9 100.0
Sumber: Data Monografi Desa Gunungsari Banyaknya warga Desa Gunungsari yang menjadi karyawan industri khususnya PT ITP, membuat desa ini lebih diperhatikan oleh CSR PT ITP. Menurut keterangan seorang aparat desa, sebagian besar karyawan PT ITP di desa ini adalah pendatang yang berasal dari Jawa Tengah, Sumatra, dan lain-lain. Para pendatang ini kemudian tinggal di komplek khusus karyawan PT ITP bernama Perumahan Indogreen. Perumahan ini mencakup satu RW yaitu RW 04. Hal inilah yang menjadi alasan lain, Desa Gunungsari khususnya RW 04 menjadi tempat dilaksanakannya program CSR PT ITP.
PROFIL PT INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk dan Corporate Social Rescponsibility (CSR) PT Indocement di Citeureup. Selain itu, dibahas juga 2 program besar CSR yaitu program 5 pilar dan Sustainable Development Program (SDP). Kemudian dibahas juga profil program pengelolaan sampah rumah tangga dan pendampingan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT Indocement di Desa Gunungsari. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk1 PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (PT ITP) merupakan salah satu produsen semen di Indonesia yang saat ini memiliki 12 pabrik di Citeureup, Palimanan, dan Tarjun. Wilayah Citeureup memiliki 9 pabrik dan merupakan salah satu kompleks pabrik semen terbesar di dunia. Palimanan memiliki 2 pabrik dan 1 buah di Tarjun. Perusahaan pengelola tambang agregat dan trass ini merupakan gabungan dari 6 perusahaan semen. Pada tahun 1973 perusahaan semen ini masih menggunakan nama PT Distinct Indonesia Cement Enterprise (DICE) dan baru pada tahun 1985 berubah menjadi PT Indocement Tunggal Prakarsa. Kemudian sejak tahun 2001 sebagian besar saham perseroan ini dimiliki oleh perusahaan semen Jerman bernama Heidelberg Cement Group. Visi PT ITP adalah “pemain utama dalam bisnis semen dan beton siap-pakai, pemimpin pasar di Jawa, pemain kunci di luar Jawa, memasok agregat dan pasir untuk bisnis beton siap-pakai secara mandiri”. Misinya antara lain “berkecimpung dalam bisnis penyediaan semen dan bahan bangunan berkualitas dengan harga kompetitif dan tetap memperhatikan pembangunan berkelanjutan”. Selain itu, moto perusahaan ini adalah “turut membangun kehidupan bermutu”. Struktur organisasi PT ITP yang paling atas adalah dewan komisaris. Kemudian turun kepada komite kompensasi dan komite audit, direksi, internal audit services dan corporate secretary, dan barulah wewenang diberikan kepada general manager (GM) operation di Citeureup, Palimanan, dan Tarjun. Saat ini PT ITP telah memberikan pemahaman lebih besar pada konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut menekankan pada triple bottom line, yaitu pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan pelestarian lingkungan. Praktik dari konsep tersebut diantaranya, upaya menghasilkan produk, jasa, pesan, serta manfaat bagi seluruh stakeholder dengan cara lebih baik dengan biaya tepat guna. Selain itu, PT ITP juga berupaya menciptakan lingkungan kerja yang memotivasi karyawannya untuk memiliki prestasi tinggi. Catatan gambaran umum ini berdasarkan halaman website PT Indocement (2014) berjudul “Sekilas Indocement” 1
20
Perusahaan ini dalam Indocement (2014) juga telah banyak menerima penghargaan, diantaranya Indonesia’s Most Admired Companies (IMAC) Award pada tahun 2008 dengan predikat “The Best Performance Company Image”. Kemudian masih di tahun yang sama mendapat predikat sebagai “Seven Best Managed Companies in Indonesia” oleh majalah Finance Asia, Hongkong. Selain itu masih di tahun 2008, memenangkan 3 penghargaan di “Indonesia CSR Award”, yaitu penghargaan emas dalam kategori sosial dan lingkungan, dan masih banyak lagi prestasi-presatasi yang telah dicapai. Selain itu PT ITP telah memiliki beberapa sertifikat, seperti ISO-9001, ISO-14001, OHSAS-18001, dan Standar Nasional Indonesia. CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup2 Sejarah CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup Sejak PT ITP di Citeureup berdiri pada tahun 1974 sampai tahun 1990 belum ada pembinaan lingkungan, hanya ada bantuan seperti donasi atau chartity. Bentuknya adalah bantuan untuk perayaan hari kemerdekaan yang dilaksankan oleh HR-GAD. Baru pada tahun 1990 diadakan pembinaan masyarakat bersama keamanan dengan dibentuknya Bina Lingkungan (BILIK) di bawah sub security department. Pembinaan yang bertujuan mengamankan lingkungan ini berlangsung pada tahun 1990-2001. Memasuki tahun 2002, kesadaran tanggung jawab sosial PT ITP semakin berkembang. Pada tahun tersebut BILIK berubah menjadi sub departemen Communnity Development Organization (CDO). Saat itu mulailah dilakukan program pengembangan masyarakat. Kemudian pada tahun 2006-2008 CDO bahkan menjadi sub departemen terpisah dari SSCD. Terakhir, departemen yang mengurusi tanggung jawab sosial ini berubah menjadi departemen Corporate Social Responsibility (CSR) pada tahun 2009. Perusahaan ini telah memiliki komitmen untuk turut serta dalam pembangunan berkelanjutan. Salah satu wujudnya adalah pelaksanaan CSR melalui pembinaan 12 desa binaan di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Kebijakan Departemen Corporate Social Responsibility (CSR) PT ITP berlandaskan 3 hal. Pertama, filosofi perusahaan adalah “sebagai sebuah perusahaan yang berorientasi lingkungan, Indocement mempunyai tanggung jawab moral dan sosial (CSR) sesuai kemampuan perusahaan dalam mendukung kualitas kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat merasakan manfaatnya dari kehadiran perusahaan di lingkungannya”. Misinya “menjalankan seluruh kegiatan usaha dengan tetap memperhatikan kesejahteraan komunitas dan dengan menerapkan konsep ramah lingkungan dengan tetap memperhatikan pengembangan perusahaan yang berkelanjutan”.
Catatan gambaran umum CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (2012) berjudul “Pengenalan Corporate Social Responsibility PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk 2
21
Selain itu, visi Departemen CSR PT ITP adalah “menjalin hubungan saling mendukung antara perusahan dan masyarakat, khususnya masyarakat dimana unit operasional perusahaan berdiri melalui keterlibatan yang intens dalam peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat dan secara khusus masyarakat lokal, menjadi masyarakat yang mandiri sehingga dapat tercipta hubungan yang harmonis”. Departemen CSR PT ITP memiliki sarana komunikasi antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah desa yaitu Bina Lingkungan Komunikasi (Bilikom). Tujuan dari Bilikom adalah menjaring aspirasi masyarakat, membahas perencanaan program, mengetahui permasalah, dan mengetahui keberhasilan program. Selain itu program Departemen CSR PT ITP terdiri atas dua program besar yaitu program 5 pilar dan Sustainable Development Program (SDP). Program Departemen CSR- Program Community Development (5 Pilar) Program lima pilar departemen CSR berkaitan dengan Millenium Develompment Goal’s (MDG’s) yang terdiri atas pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosbudagor, dan kemanan. Kegiatan bidang pendidikan yang telah dijalankan adalah bantuan pembangunan sekolah, program beasiswa, bantuan sarana pendidikan, pendidikan keterampilan praktis untuk usaha kecil, dan perpustakaan mandiri. Selain itu ada juga kegiatan pendidikan operator truk dan alat berat untuk meningkatkan kualitas SDM di desa binaan. Program ini bersifat on the job training yang telah menghasilkan 49 lulusan sampai tahun 2011. Selain itu, terdapat 7 kegiatan di bidang kesehatan, diantaranya puskesmas keliling dan penyuluhan kesehatan, pemberian makanan tambahan (PMT), operasi katarak, khitanan masal, pembangunan sarana air bersih (SAB), pembangunan sarana MCK, dan kampanye HIV/ AIDS dan narkoba. Selanjutnya kegiatan bidang ekonomi terdiri atas, pemberian modal kerja bergulir, pemberdayaan tenaga kerja, pemberdayaan UMKM, dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). PKBL merupakan program pengembangan UMKM dengan bantuan kredit mikro serta membuat keterhubungan antar UMKM desa binaan untuk membantu pemasarannya. Keempat adalah kegiatan di bidang sosbudagor yang terdiri atas pembangunan sarana dan prasarana umum, pembinaan olahraga, pembangunan sarana ibadah, program rumah tidak layak huni (Rutilahu). Terakhir adalah kegiatan di bidang kemanan, yang telah menjalankan 3 program. Program tersebut, diantaranya program pembinaan SDM kemanan lingkungan, program pembangunan pos keamanan lingkungan, dan program bantuan seragam dan kelengkapan SDM keamanan lingkungan. Program Departemen CSR- Sustainable Development Program Sustainable Development Program (SDP) terdiri atas 6 program, yaitu Pusat Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat (P3M), Biogas, Flora Energy Crops, Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, Bengkel Motor Terpadu (BMT), dan rumah seni dan budaya (RSB). Program P3M memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat di bidang pertanian, perikanan darat, dan peternakan.
22
Program ini berada di atas lahan eks-tambang dan bekerjasama dengan institusi pendidikan serta dinas terkait. Selain itu, fasilitas yang ada di sana, diantaranya demplot pertanian dan perikanan, greenhouse, gudang dan peralatan, biogas, dan sarana pelatihan. Program kedua adalah pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas. Program ini sebagai alternatif energi bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kemudian, flora energy crops adalah program yang memanfaatkan tanah marjinal bekas tambang dengan menanami tanaman yang dapat menjadi energi alternatif untuk produksi semen. Beberapa tanaman tersebut diantaranya jarak pagar, trambesi, dan rumput gajah. Selain itu, program ini bertujuan meningkatkan kesuburan tanah, memperluas area resapan air, dan menyerap CO2. Program lainnya adalah pengelolaan sampah rumah tangga produktif. Program ini fokus pada pengelolaan sampah untuk meningkatkan nilai ekonominya. Produk yang dihasilkan adalah kompos organik, pupuk cair, dan RDF. Khusus untuk RDF dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif untuk produksi semen. Selain itu, di RW 04 Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup terdapat pengeloaan sampah anorganik oleh perempuan melalui bank sampah dan produk kerajinan daur ulang. Program kelima adalah BMT. Program ini merupakan pelatihan yang bersifat on the job training untuk meningkatkan kemampuan masyarakat di bidang perbengkelan. Harapannya masyarakat yang mengikuti pelatihan ini dapat diserap sebagai tenaga kerja bengkel atau dapat mendirikan usaha bengkel sendiri. Terakhir adalah program RSB. RSB dilakukan sebagai wujud komitmen PT ITP untuk melestarikan budaya setempat. Kegiatan yang telah dilakukan di RSB ini, diantaranya program budaya lokal, program budaya pop, drama, dangdut, program senam kesehatan, program minat baca masyarakat, partisipasi HUT PT ITP, dan lainnya. Struktur Organisasi Departemen CSR PT ITP Citeureup Departemen CSR PT ITP Citeureup dipimpin oleh seorang kepala departemen yang bertugas mengkoordinasikan semua kegiatan CSR di 12 desa binaan. Tugas kepala departemen ini dibantu oleh seorang petugas komunikasi CSR. Selain itu, gambar 3 menunjukkan terdapat 2 divisi dalam departemen CSR yaitu divisi perencanaan dan pengontrolan CSR serta divisi implementasi CSR. Tugas dari divisi perencanaan dan pengontrolan adalah membuat perencanaan program CSR serta melakukan pengontrolan secara berkala. Pada divisi ini terdapat 4 peran yang terdiri atas perencana CSR (kepala divisi), petugas perencana CSR (pembuat perencanaan), inspektur pengembangan masyarakat (petugas kontrol) dan sekretaris (pencatat administratif). Sementara itu, tugas dari divisi implementasi CSR adalah menjalankan program yang telah direncanakan oleh divisi perencanaan dan pengontrolan CSR. Terdapat 2 peran di divisi ini, yaitu petugas senior CSR yang terdiri atas 3 orang, masing-masing orang menjadi penanggung jawab CSR di 4 desa binaan. Selain itu, koordinator desa yang terdiri atas 10 orang berperan sebagai pendamping masyarakat dan bertanggung jawab untuk beberapa desa. Kemudian satelit adalah seorang pendamping program dari masyarakat desa itu sendiri.
23
Kepala Departemen CSR Citeureup Petugas Komunikasi CSR
Perencanaan & Pengontrolan CSR - Perencana CSR - Petugas Perencana CSR - Inspektur Junior Pengembangan Masyarakat - Sekretaris
-
Implementasi CSR Petugas Senior CSR Koordinator Desa 1. Desa Hambalang 2. Desa Puspanegara 3. Desa Pasirmukti 4. Desa Tajur 5. Desa Lulut 6. Desa Nambo 7. Desa Bantarjati 8. Desa Gunungsari 9. Desa Tarikolot 10. Desa Leuwikolot 11. Desa Gunung Putri 12. Desa Citeureup Satelit
Gambar 3
Struktur organisasi CSR PT ITP Citeureup
Profil Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Latar Belakang Program Salah satu program dari SDP yang dilakukan oleh pendamping CSR PT ITP Citeureup adalah pengelolaan sampah rumah tangga. Program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari ini dilakukan oleh warga RW 04 dan Unit Pelayanan Kebersihan (UPK). Program yang telah berjalan selama 5 tahun ini merupakan inisiasi pendamping CSR PT ITP. Daerah RW 04 Desa Gunungsari dipilih karena kebanyakan warganya masih karyawan PT ITP dan partisipasi serta antusiasme masyarakat khususnya perempuan juga tinggi. Setelah didiskusikan dengan istri ketua RW 04 yang dibantu oleh istri-istri RT yang berjumlah 9 orang, mereka sangat tertarik terhadap program tersebut. Tujuan dari program antara lain meningkatkan kesadaran warga terhadap lingkungan dan mengelola sampah menjadi produk yang bermanfaat. Kemudian memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat yang terlibat langsung dalam pengelolaan sampah tersebut dan membantu menjalankan program pemerintah untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat.
24
Tujuan tersebut, terkait dengan kondisi lingkungan RW 04 yang awalnya kotor dan berantakan. Akhirnya, pada tahun 2009 pendamping CSR PT ITP melakukan kegiatan untuk memperbaiki lingkungan di RW 04 Desa Gunungsari. Sasaran Program Sasaran program adalah rumah tangga di wilayah RW 04 Desa Gunungsari. Namun yang menjadi peserta program pengelolaan sampah di wilayah ini seluruhnya adalah perempuan. Hal ini karena, para laki-laki di RW 04 sibuk bekerja, sedangkan perempuan lebih banyak memiliki waktu di rumah dan memiliki antusiasme tinggi terhadap program ini. Penjaringan peserta dilakukan oleh satelit atau pendamping masyarakat. Akhirnya, dari hasil penjaringan tersebut didapatkan 30 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 9 RT. Deskripsi Program Pada awal program, tahun 2009 pendamping CSR PT ITP memberikan penyuluhan tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Pada penyuluhan tersebut dijelaskan bahaya dan manfaat sampah. Ternyata sampah dapat didaur ulang menjadi barang yang lebih bernilai. Setelah itu, pendamping CSR PT ITP memberi bantuan berupa tong sampah organik dan anorganik untuk wilayah RW 04. Mereka mengedukasi masyarakat agar peduli terhadap lingkungan serta mulai membiasakan masyarakat untuk memisahkan sampah organik dan anorganik. Setelah itu, pendamping lebih fokus kepada perempuan untuk mengikuti program pengelolaan sampah. Pendamping mengajak para perempuan di RW 04 terutama para kader untuk melihat pengelolaan sampah yang sudah baik di daerah Jakarta. Mereka yang ikut belajar bagaimana pengelolaan sampah dapat membuat lingkungan lebih bersih dan sehat. Selanjutnya, mereka juga belajar bahwa pemanfaatan sampah dapat menambah penghasilan. Selain itu, para kader dan peserta lain yang ikut mendapat pelatihan membuat kerajinan tangan dari sampah plastik. Hasil dari kegiatan itu, peserta mendapat pengetahuan tentang manfaat dari pengelolaan sampah yang baik, seperti bank sampah dan mendapat keterampilan membuat kerajinan tangan, seperti dompet dan tas dari sampah plastik. Para peserta beserta pendamping berusaha mengembangkan pembuatan kerajinan tangan dari sampah plastik dengan mengajarkan perempuan-perempuan lain di RW 04 yang tidak mengikuti pelatihan. Hingga ada 30 orang peserta, mereka akhirnya tidak hanya membuat kerajinan, tapi juga membuat bank sampah di masingmasing wilayahnya. Sebanyak 30 orang perempuan bertugas mengelola sampah untuk masing-masing RT tempat mereka tinggal. Bank sampah kemudian mulai memberikan hasil dari penjualan setelah selama 1 sampai 2 minggu mengumpulkan sampah. Selain itu, produk kerajinan dari limbah juga banyak dibeli pada saat pameran yang difasilitasi oleh pendamping CSR PT ITP ataupun hasil usaha menjual sendiri.
25
Pada tahun 2009, dibentuklah kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) sebagai wadah untuk memasarkan produk kerajinan daur ulang sampah. Selain itu, CSR PT ITP membantu memasarkan produk tersebut dengan mengajak ke pameran-pameran. Saat ini mereka banyak yang sudah bisa memasarkan sendiri produknya selain difasilitasi PT ITP dan kelompok UPPKS. Beberapa manfaat telah terasa dari program pengelolaan sampah ini. Pertama persoalan sampah teratasi dengan adanya pengelolaan sampah rumah tangga. Bahkan lingkungan lebih tertata rapi sejak ada program ini. Kemudian dari segi ekonomi, sampah tersebut dapat menambah penghasilan masyarakat dari hasil bank sampah dan produk kerajinan daur ulang sampah. Selain itu dari segi sosial, para ibu yang telah terampil itu telah sering mengajarkan cara mendaur ulang di sekolah-sekolah sekitar Kecamatan Citereup, bahkan sampai di kota-kota lain. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan, sebagai berikut: “…Banyak manfaat yang telah dirasakan dari program ini, mulai dari lingkungan rapi, ada pemasukan tambahan untuk ibu-ibu, sampai ada beberapa ibu-ibu yang sudah bisa mengajarkan keterampilannya kepada orang lain…”- Bapak U (Pendamping CSR PT ITP).
Profil Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Pelita Hati, Desa Gunungsari UPPKS Pelita Hati merupakan wadah yang sengaja dibentuk untuk memasarkan produk kerajinan daur ulang yang dibuat oleh perempuan RW 04, Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup. Kelompok ini terbentuk sejak tahun 2009, dengan 20 anggota yang semuanya adalah perempuan. Dua puluh anggota tersebut juga merupakan pengurus Dasawisma yang menangani program bank sampah. Masingmasing kelompok Dasawisma di delapan RT mengirimkan minimal 2 sampai 3 orang anggotanya untuk menjadi pengurus kelompok UPPKS. Sejak tahun 2009 kelompok ini telah banyak menjalankan program. Beberapa program tersebut, diantaranya pembuatan minuman Buah Bunga Belimbing (BBB), pembuatan kripik ubi pedas, dan pembuatan batik khas Bogor. Program batik ini telah dilaksanakan sejak bulan September 2013 dan merupakan program paling baru. Tujuan utama dari kelompok ini adalah memberdayakan perempuan di Desa Gunungsari untuk membantu meningkatkan pendapatan keluarganya. Kelompok ini dipimpin oleh Ketua Kader RW 04 Desa Gunungsari. Beliau juga penggerak program bank sampah dan daur ulang sampah untuk dibuat kerajinan tangan. Struktur kepengurusan terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan 5 seksi yang membawahi bidang produksi, kemitraan, usaha, dan pemasaran.
26
Gambar 4
Struktur kepengurusan UPPKS Pelita Hati
Profil Pendampingan Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Pendamping CSR atau Community Development Officier (CDO) memiliki tugas untuk membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (Suharto 2010). Selain itu, pendampingan dilihat dari peran pendamping yang meliputi fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Setelah ini, pendampingan yang telah dijalankan oleh pendamping CSR dalam program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari dijabarkan dalam beberapa sub-sub bab. Informasi mengenai pendampingan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pendamping CSR, ketua kader RW 04 dan aparat Desa Gunungsari. Fasilitator Pendampingan yang dilakukan dalam suatu program pemberdayaan dapat dilihat melalui peran pendamping sebagai fasilitator. Peran fasilitator seperti telah didefinisikan oleh Parson, Jorgensen, dan Hernandez (1994) dikutip Suharto (2005) yaitu memfasilitasi masyarakat agar mampu melakukan perubahan. Dari 12 kegiatan fasilitator, pendamping CSR PT ITP telah melaksanakan 6 kegiatan. Kegiatan fasilitator yang pertama yaitu mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan. Kegiatan ini terkait penetapan kriteria atau syarat siapa saja yang akan dilibatkan dalam program. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga, pendamping CSR telah menentukan batasan orang yang akan mengikuti pelatihan daur ulang. Mereka adalah perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk mengikuti kegiatan dan yang memiliki banyak waktu luang. Pembatasan tersebut dilakukan agar program ini tidak mengganggu aktivitas para peserta. Hal ini dijelaskan oleh seorang informan sebagai berikut: “…CDO dari Indocement pernah pesen, peserta yang ikut program ini harus yang benar-benar mau dan punya waktu luang. Makanya kebanyakan yang ikut kegiatan ini biasanya ibu-ibu rumah tangga dan yang sudah tidak punya anak kecil yang harus selalu ditemenin…”- Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
27
Memfasilitasi pendidikan merupakan salah satu kegiatan dari peran pendamping sebagai fasilitator. Pada program ini, pendamping memfasilitasi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan berupa penyuluhan dan pelatihan dari ahli. Penyuluhan adalah aktivitas pertama yang dilakukan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga. Penyuluhan tersebut bertujuan untuk mengedukasi masyarakat terkait pengelolaan sampah. Setelah itu, pendamping mengedukasi peserta terkait pemanfaatan sampah agar mempunyai nilai tambah. Pendamping mengajak para peserta untuk mengikuti pelatihan di salah satu kawasan di Jakarta yang telah mengelola sampah di daerahnya dengan baik. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Ketua Kader RW 04 sekaligus Ketua UPPKS, sebagai berikut: “…Awalnya diadakan penyuluhan oleh pendamping CSR Indocement tentang pengelolaan sampah. Pada penyuluhan itu masyarakat diajarakan tentang bagaimana pengelolaan sampah yang baik. Sampah harus dipilah kemudian setelah itu bisa dimanfaatkan untuk kompos dan sampah plastiknya bisa dibuat kerajinan tangan. Setelah itu ibu-ibu diajak ke Mampang, Jakarta untuk melihat pengelolaan sampah rumah tangga di sana sambil sekalian pelatihan membuat tas, dompet, tempat pensil, dan lain-lain dari sampah plastik…”- Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
Kegiatan ketiga dari fasilitator adalah mendorong kegiatan kolektif. Pada program ini, pendamping selalu mengutamakan pelaksanaan program secara berkelompok. Kelompok dibagi berdasarkan RT, setiap RT bertanggung jawab untuk mengelola bank sampah dan kegiatan membuat kerajinan daur ulang sampah. Pada pengeloaan bank sampah, tiap orang memiliki tugasnya masing-masing, seperti mengumpulkan sampah, pencatatan, dan bendahara. Selain itu, pada pembuatan kerajinan dari limbah plastik, masing-masing orang juga telah mempunyai spesialisasinya. Pembagian tugas tersebut antara lain menganyam dan menjahit. Seperti yang diceritakan sebagai berikut: “…Kegiatan ini selalu dilakukan perkelompok, kelompoknya ini per-RT. Pada program bank sampah, setiap RT ada ibu-ibu yang punya tugas ngumpulin sampah dari rumah ke rumah. Nanti ada yang nyatet dan ada yang nyimpen uang hasil penjualan sampahnya. Kegiatan membuat kerajinan juga dilakukan berkelompok, meskipun ada beberapa orang yang memang udah bisa ngerjain semua prosesnya sendiri. Namun, banyak juga yang bagi-bagi tugas untuk membuat satu produk, contohnya ada ibu yang punya tugas ngumpulin, ngebersihin, dan ngegunting sampahnya. Ada juga yang nganyam dan ada juga yang jahit…” Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
Kegiatan fasilitator selanjutnya adalah mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan. Pada kegaitan ini pendamping bersama-sama masyarakat berdikusi tentang masalah yang ada di lingkungan RW 04. Meskipun seringkali masyarakat meminta bantuan, tetapi pendamping terlebih dahulu berdiskusi dan mengidentifikasi masalah bersama. Sesuai pernyataan berikut:
28
“…Jika ada warga yang meminta bantuan, pasti pendamping CSR survei dan ngobrol dulu dengan yang ngajuin bantuan itu. Mereka memastikan dulu, permintaan warga sesuai dengan kebutuhan atau masalah yang ada atau tidak...”- Bapak DD (Aparat Desa Gunungsari).
Kegiatan terakhir fasilitator adalah merancang solusi alternatif. Hal ini merupakan kelanjutan dari identifikasi masalah yang akan diselesaikan. Setelah mengidentifikasi masalah bersama masyarakat, pendamping CSR memberikan solusi alternatif yang juga didiskusikan bersama. Hal ini sesuai dengan penjelasan seorang informan sebagai berikut: “…Keluhan-keluhan yang disampaikan masyarakat didiskusikan dan dicari jalan keluarnya bersama. Kemudian jika sesuai dan disetujui oleh perusahaan biasanya langsung direalisasikan oleh pendamping CSR...”- Bapak DD (Aparat Desa Gunungsari).
Broker Peran broker menurut Suharto (2005) secara umum adalah memaksimalkan keuntungan klien dari sebuah transasksi. Peran broker dalam pendampingan adalah memaksimalkan keuntungan masyarakat dalam pelayanan sosial. Kegiatan broker adalah menghubungkan masyarakat dengan barang dan pelayanan yang dibutuhkan serta mengontrol kualitasnya. Menurut hasil wawancara mendalam, pendamping CSR dalam program pengelolaan sampah rumah tangga selalu berusaha untuk menghubungkan masyarakat dengan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan. Seperti pada awal kegiatan, peserta kegiatan dihubungkan dengan pelayanan berupa penyuluhan tentang pengelolaan sampah. Setelah itu perusahaan memberikan bantuan barang berupa tong sampah organik dan anorganik untuk membiasakan masyarakat memilah sampah. Selain itu, masyarakat juga dihubungkan dengan ahli untuk pelatihan membuat kerajinan daur ulang sampah dari sampah plastik. Kegiatan terakhir broker adalah pengontrolan. Pendamping CSR PT ITP secara rutin mengontrol kualitas bantuan barang yang diberikannya. Mereka juga selalu mendampingi dan mengawasi pelayanan berupa pelatihan yang mereka selenggarakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang informan sebagai berikut: “…Ketika kita membutuhkan barang maupun jasa (pelatihan), pihak CSR selalu berusaha memenuhi permintaan itu. Nantinya mereka juga akan mengadakan kunjungan rutin melihat kondisi barang tersebut masih layak atau tidak. Selain itu, ketika ada pelatihan mereka juga selalu menemani dari awal kegiatan sampai beres...”-Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
Mediator Peran mediator dalam Suharto (2005) sangat dibutuhkan terutama saat terdapat perbedaan mencolok dan mengarah pada konflik. Terdapat 9 teknik dan keterampilan yang dapat digunakan dalam peran mediator menurut Compton dan Galaway (1989) dalam Suharto (2005).
29
Namun, pada program ini tidak ditemukan konflik yang berarti, peran mediator sebagai pendamai dan resolusi konflik tidak ada. Kegiatan mediator yang telah dilakukan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini, yaitu memfasilitasi komunikasi antara perusahaan dengan masyarakat. Komunikasi ini biasanya terjadi ketika ada acara-acara tertentu, seperti peresmian kegiatan, pameran yang dilaksanakan di mall-mall, ulangtahun departemen CSR, dan lain-lain. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan sebagai berikut: “…Iya kita suka ketemu orang Indocement selain pendamping CSR, terutama saat ada acara seperti pameran karya daur ulang kita. Biasanya disitu kita bisa ngobrol dan diskusi dengan petinggi-petinggi Indocement...”- Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
Kegiatan lain mediator yaitu berkomunikasi menggunakan prosedur-prosedur persuasi. Persuasi berarti tidak memaksa dan lebih bersifat mengajak. Hasil wawancara dengan informan, pendamping CSR tidak pernah memaksa agar semua masyarakat mengikuti kegiatan. Mereka mengajak, namun jika masyarakat tidak antusias atau secara eksplisit menolak, pendamping CSR tidak akan memaksakan. Seperti dinyatakan oleh informan berikut ini: “…Tugas pendamping CSR mendorong dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam program. Namun, jika masyarakat tidak mau ya pendamping CSR tidak boleh memaksa. Bahkan kami lebih senang jika pengajuan program berasal dari masyarakat, karena biasanya program yang datang dari bawah akan lebih berkelanjutan...”-Bapak U (Pendamping CSR).
Pembela Peran keempat pendamping adalah sebagai pembela. Pendamping dalam Suharto (2005) bertugas menjamin kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Pada saat pelayanan dan sumber-sumber yang dibutuhkan masyarakat sulit dijangkau, maka peran dari pendamping adalah melakukan advokasi (pembelaan). Kegiatan pembela yang telah dilakukan oleh pendamping CSR PT ITP adalah melakukan pewakilan luas, yaitu pendamping membuat keputusan yang mewakili semua kepentingan. Baik itu kepentingan masyarakat maupun perusahaan. Pendamping membuat program ini berdasarkan hasil diskusi dan kesepakatan dengan para peserta. Selain itu, setiap bantuan yang dibutuhkan masyarakat diberikan berdasarakan persetujuan perusahaan. Begitu juga dengan pelaksanaan kegiatan departemen CSR sudah berdasarkan pertimbangan kepentingan dan kemampuan perusahaan. Hal ini seperti pernyataan seorang informan berikut: “…Tidak semua permintaan masyarakat dapat direalisasikan. Biasanya dilihat juga apakah perusahaan sanggup untuk memenuhinya atau sesuai tidak dengan kepentingan perusahaan. Jika budget dan kepentingan kurang sesuai biasanya tidak bisa direalisasikan…”-Ibu N (Pendamping CSR)
30
Kegiatan lain yang telah dilakukan adalah pendukungan. Pendukungan berarti mendukung partisipasi secara luas. Pendukungan dalam program ini melalui pemberian semangat dan motivasi serta pemberian intensif bagi masyarakat yang telah aktif dalam setiap kegiatan. Seperti penuturan seorang informan berikut: “…CDO Indocement selalu memberikan apresiasi bagi masyarakat yang ikut dalam kegiatan. Masyarakat yang ikut partisipasi pasti akan diberi dukungan dan motivasi oleh para pendamping. Selain itu, setiap ada pelatihan dan pameran, masyarakat yang ikut hampir pasti mendapatkan uang…”-Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
Kegiatan pembela yang terakhir adalah mendorong pembuat keputusan untuk mempertimbangkan minat masyarakat. Pembuat keputusan dalam hal ini adalah Kepala Departemen CSR PT ITP Citeureup. Pendamping CSR bertugas mendorong agar program yang dilaksanakan sesuai dengan minat masyarakat, tapi keputusan akhir ada di tangan Kepala Departemen CSR PT ITP. Hal ini seperti yang diutarakan oleh pendamping CSR sebagai berikut: “…Meskipun keputusan akhir program ditentukan oleh manajer, tapi tugas kita tetap menyampaikan aspirasi masyarakat. Selain itu kita juga selalu mengupayakan program yang berjalan seusai dengan minat dan kebutuhan masyarakat...”-Bapak U (Pendamping CSR).
Pelindung Peran pendamping sebagai pelindung dalam Suharto (2005) yaitu bertindak sesuai kepentingan korban, calon korban, dan populasi yang beresiko. Peran ini mencakup penerapan berbagai ketentuan yang menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan pengawasan sosial. Kegiatan pelindung yang telah dilakukan dalam salah satu Sustainable Development Program ini yaitu menentukan masyarakat yang paling utama mengikuti kegiatan. Masyarakat yang paling utama adalah masyarakat yang berada di sekitar wilayah operasi pabrik PT ITP. Desa Gunungsari merupakan salah satu desa yang lokasinya dekat dengan pabrik, bahkan desa ini juga dilewati oleh belt conveyor3. Selain itu, RW 04 merupakan sebuah perumahan yang banyak ditinggali oleh karyawan PT ITP, sehingga wilayah tersebut menjadi prioritas utama. Selain itu, peserta kegiatan semuanya perempuan karena merekalah yang sangat antusias mengikuti kegiatan ini. Seperti yang dijelaskan oleh seorang informan berikut ini:
3
Belt conveyor adalah jalur pengangkut material semen yang berasal dari tempat eksploitasi PT ITP. Bentuknya seperti jalur kereta gantung. Pada saat beroperasi benda tersebut akan mengeluarkan suara yang cukup bising.
31
“…Sasaran tersebut dipilih karena beberapa hal. Pertama Desa Gunungsari merupakan desa yang jaraknya dekat dengan pabrik. Kedua RW 04 atau komplek Indogreen itu kebanyakan penghuninya adalah karyawan Indocement, sehingga dijadikan prioritas utama. Sedangkan alasan terakhir adalah ibu-ibu di sana itu sangat proaktif dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan CSR PT ITP. Harapannya kesuksesan pengelolaan sampah di sini dapat dijadikan contoh untuk beberapa desa binaan lain…”-Bapak U (Pendamping CSR).
Kemudian, kegiatan pelindung yang juga telah dilakukan pendamping CSR adalah melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang terpengaruh (peserta kegiatan). Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu informan berikut: “…Pendamping sering ngobrol dan diskusi dengan ibu-ibu yang ikut kegiatan pengelolaan sampah ini. Biasanya diskusi ini dilakukan sekalian CDO mantau kegiatan…”-Ibu V (Ketua Kader RW 04/ Ketua UPPKS).
KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP Keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 ditinjau melalui kerangka analisis Longwe. Kerangka analisis tersebut terdiri atas 5 tingkatan kesetaraan, yaitu: kesejahteraan, partisipasi, kesadaran kritis, akses, dan kontrol (Handayani, Sugiarti 2005). Lima tingkatan tersebut saling berhubungan, menguatkan, dan berhubungan hierarkhis. Setiap tahapan tersebut harus dilewati untuk mencapai keberdayaan. Tingkat Kesejahteraan Perempuan Kesejahteraan para perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di RW 04 Desa Gunungsari, dilihat melalui pendapatan dan kesadaran lingkungan. Pendapatan dihitung dari total pemasukan uang yang didapat perempuan dari hasil kerja nafkah, sosial, pengelolaan sampah, dan sumber lain. Selanjutnya, kesadaran lingkungan diukur melalui tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan yang telah dilakukan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Hal ini sesuai dengan tujuan program pengelolaan sampah rumah tangga, yaitu untuk meningkatakan kesadaran lingkungan, mengoptimumkan pengelolaan sampah menjadi produk yang bermanfaat, dan memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat, dan menciptakan lingkungan bersih dan sehat.
Gambar 5
Persentase tingkat kesejahteraan perempuan peserta
Gambar 5 menunjukkan mayoritas (77%) perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Para perempuan ini sangat antusias terhadap kegiatan lingkungan. Mereka rutin melakukan berbagai bentuk pelestarian lingkungan seperti memilah sampah, mendaur ulang, kerja bakti untuk kebersihan lingkungan, dan menanam pohon. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan salah satu peserta yang mengatakan: “…Hampir semua ibu-ibu di sini antusias mengikuti kegiatan-kegiatan terkait lingkungan. Ketika ada program pengelolaan sampah, para kader dan ibu-ibu lain
33
memisahkan sampah organik dan anorganik di masing-masing tempat sampah yang telah disediakan. Kemudian sampah anorganik dikumpulkan ke bank sampah dan dijual pada pengepul. Sampah plastik yang bisa digunakan untuk kerajinan tangan, dibuat tas, dompet, dan lain-lain. Tidak hanya itu, ketika ada bantuan berupa bibit tanaman dari CSR, semua ibu-ibu dibantu bapak-bapak ikut kerja bakti untuk menanam pohon…”-F (44 tahun), warga RT 04.
Selain itu, mereka juga memiliki pendapatan di atas rata-rata (Rp927 067), meskipun lebih banyak didapatkan selain dari program pengelolaan sampah rumah tangga. Namun, jika dibandingkan dengan UMR Bogor (Rp2 242 240) pendapatan para peserta masih banyak yang jauh di bawah rata-rata. Pendapatan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga ini yang terendah sebesar Rp27 000, sedangkan yang tertinggi sebesar Rp6 075 000. Namun, mereka yang mendapatkan hasil dari daur ulang sampah hanya 6 orang. Jumlahnya pun tidak terlalu besar. Pendapatan dari hasil daur ulang sampah per bulannya hanya berkisar antara Rp15 000 sampai Rp100 000. Peserta mengatakan pendapatan dari hasil penjualan daur ulang sampah tidak terlalu banyak atau bahkan tidak menghasilkan sama sekali, karena penghasilan dari bank sampah dan penjualan kerajinan tangan masuk ke kas RT. Uang tersebut digunakan mereka untuk membeli inventaris RT seperti kompor, piring, gelas, dan alat-alat lain. Seperti halnya yang dikatakan oleh seorang responden, sebagai berikut: “…Uang dari hasil bank sampah dan penjualan kerajinan tangan jarang masuk kantong pribadi, biasanya uang tersebut masuk ke kas RT untuk membeli piring, kompor, dan lain-lain. Peralatan itu nantinya digunakan untuk acara RT, bisa juga untuk warga yang mau selametan, tapi ga punya perlengkapannya bisa pakai kompor dan piring RT...”-EG, warga RT 04.
Meskipun kebanyakan warga antusias untuk melakukan pelestarian lingkungan, namun masih ada (23%) peserta yang memiliki kesejahteraan rendah. Mereka memiliki pendapatan dan kesadaran lingkungan rendah. Mereka sudah jarang melakukan daur ulang bahkan memilah sampah organik dengan anorganik. Hal ini disebabkan petugas sampah dari Unit Pelayanan Kebersihan (UPK) Desa Gunungsari yang juga merupakan bantuan dari CSR, tidak mengangkut sampah dengan benar. Sampah yang telah dipilah oleh warga, ketika diangkut dengan truk dicampurkan lagi antara yang organik dengan yang anorganik. Hal inilah yang membuat semangat para peserta turun. Seperti yang diutarakan oleh seorang responden, sebagai berikut: “…Sebetulnya walaupun warga kadang malas mendaur ulang sampah, tapi mereka tetap melakukan pemilahan sampah sebelum dibuang. Namun, sejak petugas UPK mencampurkan sampah yang telah dipilah di truk, saya dan warga yang lain jadi males untuk memisahkan sampah lagi. Kita jadi ngerasa percuma udah milahmilah…”- H (44 tahun), warga RT 08.
34
Tingkat Akses Perempuan Tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga dinilai dari frekuensi pendampingan dan pelatihan yang didapatkan. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, kesempatan untuk mendapat pendampingan dan pelatihan lebih banyak dimiliki oleh kader. Hal ini karena, mereka menjadi sasaran utama untuk mengajarkan hasil pendampingan dan pelatihan yang telah didapatkan kepada peserta lain. Penyelenggaraan pelatihan lebih banyak dilakukan pada awal kegiatan. Mereka mendapat pelatihan dari ahli yang difasilitasi pelaksanaannya oleh CSR. Pihak CSR menyiapkan ahli, tempat, transport, dan konsumsi untuk para pesertanya. Bahkan salah satu peserta mengatakan setiap diadakan pelatihan selalu diberikan uang. Uang tersebut sebagai bentuk dukungan kepada mereka yang sudah mengikuti pelatihan. Setelah para peserta program lingkungan CSR ini mendapat pelatihan, mereka harus dapat mengembangkannya sendiri. Namun, pihak CSR tidak melepas mereka begitu saja, mereka akan tetap mendapat pendampingan rutin. Pendampingan tersebut berupa monitoring.
Gambar 6
Persentase tingkat akses perempuan peserta
Gambar 6 menunjukkan sebagian besar (60%) peserta memiliki tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan rendah. Artinya frekuensi pelatihan dan pendampingan yang diikuti adalah 1-2 kali dalam setahun. Para peserta terutama kader sebenarnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat pendampingan dan pelatihan. Namun, waktu dari pendampingan dan pelatihan sering berbenturan dengan kegiatan lain, sehingga mereka tidak mengikuti pelatihan dan pendampingan tersebut. Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah satu peserta, sebagai berikut: “…Sebenernya pelatihan dari CSR Indocement itu diperuntukkan untuk semua peserta. Saya sendiri waktu itu udah diajak sama Bu RW, tapi kebetulan saat itu saya ada keperluan lain. Jadi saya ga ikut pelatihan…”- LEJK (44 tahun), warga RW 06.
35
Selain itu, tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan rendah juga dipengaruhi adalah keaktifan dalam organisasi masyarakat. Seorang warga bahkan mengatakan pendampingan dan pelatihan tersebut lebih diperuntukkan bagi kaderkader. Hal ini diungkapkan oleh satu responden, sebagai berikut: “…Saya cuma ikut pelatihan sekali ke Mampang, terus saya udah ga pernah lagi ketemu pihak CSR. Saya ngerasa kegiatan itu lebih diutamakan untuk kader-kader, karena setiap ada pendamping dari CSR yang mau mantau yang dikasih tau hanya kadernya aja. Saya yang bukan kader jarang dikasih tau…”- LEJK (44 tahun), warga RT 06.
Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Kesadaran kritis merupakan tahap ketiga dari proses pemberdayaan perempuan. Pada tahap ini, perempuan dinilai dari kesadaran bahwa peran gender merupakan hasil budaya yang bisa diubah. Selain itu, perempuan menyadari bahwa pembagian kerja harus lebih adil antara laki-laki dan perempuan. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari, kesadaran kritis kurang menjadi perhatian. Aspek ini baru dilihat pada saat akan mengukur tingkat keberdayaan perempuan. Para peserta dinilai sikap terhadap isu ketimpangan gender dalam sosial dan ekonomi. Isu sosial terkait dengan pembagian kerja dan dominasi kepemimpinan laki-laki, sedangkan isu ekonomi terkait pembedaan pendapatan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu pekerjaan yang sama.
Gambar 7
Persentase tingkat kesadaran kritis perempuan peserta
Gambar 7 menunjukkan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga mayoritas (70%) memiliki tingkat kesadaran kritis tinggi. Artinya sebaigan besar peserta tidak menyetujui adanya diskriminasi yang dialami perempuan. Mereka telah menyadari bahwa pembagian peran gender bukanlah sesuatu yang alami, sehingga dapat diubah menjadi lebih adil.
36
Ketidakadilan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini sebenarnya bukan antara perempuan dan laki-laki, tapi antara peserta kader dan nonkader. Menurut peserta yang bukan kader, program ini lebih banyak diperuntukkan untuk para kader. Para kader lebih banyak memiliki kesempatan dibandingkan dengan yang bukan kader. Selain itu, para peserta non-kader ini jarang terlibat diskusi dengan pendamping, sehingga kebanyakan dari mereka hanya ikut pada saat pelaksanaan. Hal ini seperti yang dikatakan salah satu responden, sebagai berikut: “…Menurut saya, program ini lebih banyak diperuntukkan untuk kader. Meskipun saya peserta program pengelolaan, tapi saya jarang didampingi sama CSR. Waktu itu pernah ketemu orang CSR saat ada pelatihan aja, tapi setelah itu jarang, karena saya juga setiap diajak rapat di pendopo jarang ikut. Saya sih mikirnya kalo ada rapat untuk ngerencanain kegiatan itu tugasnya kader, saya ikut pelaksanaannya aja…”-Ibu SSL (38 tahun), warga RT 01.
Tingkat Partisipasi Perempuan Paritisipasi peserta dalam program dilihat dari keikutsertaannya dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Hal ini juga dapat menjadi indikator bagaimana keterlibatan perempuan dalam mengikuti setiap tahapan tersebut. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga ini pihak CSR selalu berdiskusi dengan para peserta dalam setiap tahapan program. Mereka melalui ketua kader RW 04 sekaligus ketua UPPKS selalu mengundang peserta untuk hadir ke Rumah Seni dan Budaya (RSB) atau pendopo untuk berdiskusi.
Gambar 8
Persentase tingkat partisipasi perempuan peserta
Gambar 8 menunjukkan mayoritas (53%) perempuan peserta memiliki tingkat partisipasi tinggi. Mereka kebanyakan mengikuti tahap perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga. Umumnya mereka yang mengikuti perencanaan dan implementasi adalah kader-kader RT.
37
Sementara itu, sebagian peserta mengikuti seluruh tahap program yaitu perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Mereka yang mengikuti seluruh tahapan adalah kader-kader RT dan RW. Hal ini karena mereka lebih sering mengikuti program pengelolaan sampah. Mereka tidak hanya aktif dalam kegiatan bank sampah dan daur ulang, tapi mereka juga aktif mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh CSR PT ITP. Selain itu, masih ada (47%) perempuan peserta yang memiliki tingkat partisipasi rendah. Mereka hanya mengikuti implementasi program. Kebanyakan dari mereka adalah peserta yang tidak terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Mereka memiliki pandangan bahwa yang harus mengikuti seluruh tahapan program adalah kader. Para peserta yang bukan kader hanya menunggu berita dari kader untuk pelaksanaan kegiatan. Hal ini seperti yang diungkapkan seorang responden, sebagai berikut: “…Saya sih ga pernah ikut rapat ngerencanain kegiatan itu. Saya hanya ikut pelaksanaannya aja. Biasanya yang wajib ikut rapat itu kader, nanti kader-kader itu yang akan memberi informasi terkait pelaksanaan program…”-SS (44 tahun), warga RT 05.
Tingkat Kontrol Perempuan Kontrol merupakan tahapan tertinggi dari proses pemberdayaan perempuan. Ketika sudah mencapai tahap ini perempuan dapat dikatakan sudah berdaya. Tahapan ini dapat terwujud ketika tidak ada pihak-pihak yang mendominasi. Kontrol pada program lingkungan CSR ini dinilai dari kuasa untuk menentukan kebutuhan kegiatan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan forum Bilikom. Pada pengambilan keputusan, lingkupnya tidak hanya ada program, melainkan kekuasaan perempuan dalam menentukan arah pembangunan desa melalui forum Bilikom. Forum Bilikom merupakan kegiatan diskusi antara pemerintah desa, CSR PT ITP, dan warga yang dilakukan sebanyak 4x dalam setahun. Hal yang dibicarakan adalah bantuan CSR perencanaan kegiatan apa yang dapat memenuhi kebutuhan desa serta diakhir nanti akan ada evaluasi.
Gambar 9
Persentase tingkat kontrol perempuan peserta
38
Gambar 9 menunjukkan sebagian besar (90%) perempuan peserta masuk kategori tingkat kontrol terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan bantuan program, dan pengambilan keputusan pembangunan desa rendah. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 Desa Gunungsari, kegiatan lebih banyak diikuti oleh kader. Mereka yang bukan kader, lebih sedikit memiliki suara untuk menentukan kebutuhan, pemanfaatan bantuan program, dan pengambilan keputusan dalam forum Bilikom. Hal ini karena mereka tidak hadir mengikuti setiap tahapan program. Tingkat kontrol tinggi hanya dimiliki oleh 10 persen peserta program. Hal ini karena, kontrol juga dipengaruhi oleh jabatan dalam organisasi yang diikuti. Menurut para peserta yang juga seorang kader, mereka memiliki suara untuk mengusulkan kebutuhan program dan pemanfaatan bantuan, tapi untuk mengambil keputusan dalam forum itu dimiliki oleh ketua kader RW 04. Meskipun mereka memiliki kontrol untuk keputusan tersebut, tetapi sebenarnya yang memiliki kontrol penuh untuk memberi bantuan dan pendanaan dimiliki oleh pendamping CSR. Hal ini seperti yang diungkapan seorang responden, sebagai berikut: “…Walaupun saya ikut rapat dan punya suara untuk usul, tapi keputusannya pada akhirnya ditentukan oleh Ibu RW (ketua kader RW). Keputusan itu nantinya akan diajukan kepada pendamping CSR. Ujung-ujungnya tetep mereka yang punya kuasa penuh untuk kasih bantuan apa engga…”-Ibu SW (47 tahun), warga RT 03.
Selanjutnya, keikutsertaan dalam Bilikom hanya dilakukan oleh sebagian kecil peserta perempuan. Mereka yang dapat mengikuti dan mengambil keputusan di Bilikom adalah ketua kader RW 04, Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dan guru yang mewakili sekolahnya. Ikhtisar Keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari sudah sampai pada tahap partisipasi. Pada tingkat kesejahteraan, kesadaran kritis, dan partisipasi perempuan peserta mayoritas masuk kategori tinggi. Namun, di tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan peserta didominasi oleh kategori rendah. Hal ini karena peserta program memiliki kesempatan untuk mendapat pendampingan dan pelatihan, tapi mereka seringkali tidak menghadiri kegiatan tersebut, karena kegiatannya berbenturan dengan kegiatan lain. Sementara itu, pada tahap kontrol didominasi kategori rendah. Hal ini karena kontrol terhadap penentuan kebutuhan dan pemanfaatan bantuan program ada pada ketua kader RW 04. Selain itu, pada forum Bilikom tidak diikuti oleh seluruh peserta program pengelolaan sampah rumah tangga. Mereka yang mengikuti forum Bilikom hanyalah ketua kader RW 04, BPD dan seorang guru yang mewakili sekolahnya.
PERAN PENDAMPING DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP
Peran Pendamping Peran pendamping merupakan faktor eksternal dari program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari yang berhubungan dengan tingkat keberdayaan perempuan penerima manfaat. Peran pendamping ini dapat digunakan untuk melihat tingkat pendampingan. Tingkat pendampingan dinilai melalui 5 peran pendamping, yaitu fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Fasilitator Peran fasiltator seperti yang telah didefinisikan oleh Parson, Jorgensen, dan Hernandez (1994) dikutip Suharto (2005) yaitu peran memfasilitasi masyarakat agar mampu melakukan perubahan. Terdapat 12 tugas yang seharusnya dilakukan oleh para pendamping. Namun, menurut hasil wawancara dengan pihak pendamping CSR PT ITP, mereka telah memenuhi 6 peran. Kegiatan pertama yang harus dilakukan sebagai fasilitator adalah mendefinisikan siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan program. Hal tersebut terkait dengan penetapan kriteria orang yang akan dilibatkan dalam program. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 Desa Gunungsari, seluruh peserta merupakan perempuan. Pada awalnya peserta tidak hanya dikhususkan untuk perempuan, namun melihat tingkat antusiasme tinggi dari perempuan akhirnya program ini diperuntukkan untuk perempuan yang berada di wilayah RW 04 Desa Gunungsari. Kriteria lain adalah perempuan yang terlibat adalah mereka yang memiliki banyak waktu luang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan seorang responden sebagai berikut: “…Kegiatan ini pada awalnya tidak dikhususkan untuk ibu-ibu. Namun, karena bapak-bapak sibuk dan ibu-ibu lebih semangat, akhirnya kegiatan ini hanya diikuti oleh ibu-ibu saja. Nah ibu-ibu yang ikut kegiatan juga punya syarat salah satunya adalah yang punya waktu luang. Biasanya mereka itu yang sudah tidak punya tanggungan mengurus anak kecil…”-Ibu Y (40 tahun), warga RT 01.
Selain itu, fasilitator perlu memfasilitasi pendidikan dengan memberi pengetahuan dan keterampilan. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga, peserta difasilitasi pengetahuan melalui penyuluhan. Kemudian, mereka juga diberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mendaur ulang sampah. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang responden sebagai berikut:
40
“…Sebelum kegiatan ini berjalan, pendamping dari CSR PT ITP mengumpulkan kami di pendopo untuk diberikan penyuluhan terkait sampah. Di sana dikasih tahu segala hal tentang sampah. Mulai dari bahayanya, cara mengelolanya, sampai manfaat dari sampah. Setelah itu, kami diajak ke Mampang untuk melihat gimana warga di sana mengelola sampah di lingkungannya. Di sana, kami juga dapet pelatihan untuk membuat kerajinan dari limbah plastik…”-ER (32 tahun), warga RT 09.
Kegiatan fasilitator ketiga yang telah dilakukan pendamping CSR adalah mendorong peserta untuk melakukan kegiatan kelompok. Pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga selalu dilakukan secara berkelompok. Hal ini ditekankan oleh pendamping agar kerja warga dapat lebih efisien dan juga dapat meningkatkan kekompakkan antar warga. Ketika mereka berkelompok, pengajuan bantuan akan lebih mudah dilakukan. Kelompok ini dibagi berdasarkan wilayah RT. Setiap RT terdiri atas beberapa orang yang bertugas mengumpulkan sampah plastik untuk disimpan di bank sampah dan untuk dibuat kerajinan. Dua hal tersebut juga dilakukan berkelompok karena ada pembagian tugas untuk masing-masing peserta kegaitan. Peran lainnya adalah mengidentifikasi masalah dan merancang solusinya. Menurut keterangan para peserta, pendamping seringkali mengajak warga berdiskusi untuk menceritakan apa kendala dan manfaat dari program lingkungan ini. Hal ini dilakukan agar program dapat berkelanjutan. Setelah diskusi, pendamping biasanya memberikan solusi untuk membantu memecahkan permasalah tersebut. Namun, pihak pendamping lebih menekankan pemecahan solusi menggunakan sumberdaya yang dimiliki oleh peserta sendiri. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan rasa memiliki peserta terhadap kegiatan tersebut.
Gambar 10
Persentase tingkat pendampingan (fasilitator) pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
dalam
program
Gambar 10 menunjukkan sebagian besar (87%) peserta mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran fasilitator masuk dalam kategori tinggi. Artinya para peserta setuju pendamping dari CSR PT ITP telah melaksanakan seluruh aktivitas yang telah dijelaskan sebelumnya.
41
Namun, sebagian (13%) peserta lain mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran fasilitator masuk dalam kategori rendah. Menurut mereka pendamping tidak banyak berinteraksi dengan peserta. Pendamping hanya berdiskusi dengan sebagian peserta, seperti para kader. Hal ini sesuai pernyataan warga sebagai berikut: “…Kalo yang saya tahu, pendamping itu jarang diskusi sama warga. Paling diskusi sama kader-kader aja. Soalnya saya sendiri belum pernah diskusi soal kendalakendala kegiatan ini sama pendamping…”-Ibu YK (48 tahun), warga RT 04.
Broker Peran sebagai broker memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan dan pelayanan sosial. Pekerjaan utamanya adalah menghubungkan masyarakat dengan barang dan pelayanan serta mengontrol kualitas barang dan pelayan tersebut (Suharto 2005). Pada program pengelolaan sampah rumah tangga, pendamping CSR telah menyediakan kebutuhan-kebutuhan peserta dalam program. Kebutuhan berupa barang tersebut salah satunya tong sampah. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga ini, tahap pertama yang dilakukan adalah memisahkan sampah antara organik dan anorganik. Oleh karena itu, pihak CSR menyediakan tong-tong sampah untuk seluruh warga RW 04. Pada pembagiannya, setiap 2 rumah diberi 1 tong sampah. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang responden sebagai berikut: “…Waktu awal kegaitan pengolaan sampah ini, CSR ngasih banyak sekali tong sampah. Tong sampah ini akhirnya dibagi-bagi per-RT. Akhirnya kebagian setiap 2 rumah 1 tong sampah…”-Ibu SCN (50 tahun), warga RT 07.
Selain itu, peserta juga mendapat pelayanan yang baik selama pendampingan dan pelatihan. Perempuan peserta kegiatan selalu mendapat konsumsi, uang transport, dan lainnya selama pelatihan. Mereka juga selalu mendapat pelatihan dari orang yang memang ahli dibidang tersebut. Selain memberi barang dan pelayanan, pendamping CSR juga rutin melakukan monitoring terhadap kondisi barang dan pelayanan yang mereka berikan. Hal ini diungkapkan oleh seorang responden yang mengatakan bahwa: “…CSR Indocement selalu hadir untuk monitoring selama pelatihan, biarin dari pagi sampai sore mereka akan tetap mendampingi kami. Selain itu, mereka juga melakukan kontrol rutin untuk mengecek fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh mereka…”-Ibu SW (47 tahun), warga RT 03.
42
Gambar 11
Persentase tingkat pendampingan (broker) dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
Gambar 11 menunjukkan responden sebagian besar (93%) mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran broker masuk dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan uraian sebelumnya yang mengatakan pendamping telah melaksanakan 3 tugasnya sebagai broker. Namun, masih ada (7%) peserta yang tidak setuju dengan hal itu. Hal ini disebabkan mereka jarang bertemu dengan pihak pendamping CSR, sehingga merasa tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran broker masih rendah. Hal ini seperti yang diukapkan seorang responden sebagai berikut: “…CSR Indocement waktu itu hanya memberi bantuan tong sampah aja selebihnya saya diajari kegiatan pengelolaan sampahnya dari kader RT. Setelah memberi tong itu, sepertinya saya ga pernah liat CSR dateng lagi untuk memeriksa kondisi barang yang telah diberikan itu. Itu yang saya lihat di lingkungan RT saya, tapi saya kurang tahu mungkin aja orang CSR monitoringnya dengan ibu-ibu di pendopo. Soalnya saya sendiri jarang hadir kalo ada pertemuan di sana…”Ibu V (38 tahun), warga RT 01.
Mediator Peran pendamping sebagai mediator sangat dibutuhkan ketika ada perbedaan yang mengarah pada konflik. Namun, dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini tidak terdapat konflik. Sehingga, peran sebagai mediator yang telah dilakukan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini adalah pihak CSR PT ITP memfasilitasi komunikasi antara perusahaan dan peserta. Hal tersebut sering dilakukan pendamping pada saat ada acara tertentu, seperti peresmian program dan pameran kerajinan dari hasil daur ulang sampah yang dibuat oleh peserta. Pada acara tersebut, biasanya pihak perusahaan selain CSR berkomunikasi dan menanyakan keluhan-keluhan para peserta tentang kegiatan ini. Hal ini sesuai dengan penuturan seorang responden, berikut:
43
“…Setiap ada event pameran atau peresmian kegiatan biasanya tidak hanya pihak CSR yang datang, tapi bos-bos utamanya juga hadir. Biasanya saat momen itu, kita ditanya tentang keluhan-keluhan kita dari program ini. Mereka juga yang biasanya ngeborong hasil karya kita…”-Ibu EG (46 tahun), warga RT 04.
Adanya komunikasi antara manajer-manajer PT ITP dengan para peserta diharapkan akan menghasilkan kebijakan perusahaan yang lebih berpihak kepada masyarakat. Selain itu, kegiatan mediator adalah berkomunikasi dengan menggunakan cara persuasif. Pendamping CSR menurut peserta tidak pernah memaksa untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang telah dirancang departemen CSR. Mereka lebih sering menggunakan cara-cara halus untuk membujuk masyarakat. Ketika peserta tidak terlihat antusias pendamping pun tidak akan memaksakan kepentingannya.
Gambar 12
Persentase tingkat pendampingan (mediator) pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
dalam
program
Gambar 12 menunjukkan sebagian besar (90%) peserta mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran moderator masuk dalam kategori tinggi. Hanya 10 persen peserta yang tidak setuju. Hal ini karena, peserta tidak pernah dijembatani komunikasinya dengan perusahaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang warga yang mengatakan sebagai berikut: “…Saya belum pernah komunikasi dengan selain orang CSR Indocement. Kebetulan setiap ada pameran saya belum pernah ikut, jadi hanya kenal sama pendamping CSR aja…”-Ibu SP (45 tahun), warga RT 06.
Pembela Kegiatan pembela dalam program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 diantaranya adalah melakukan perwakilan luas. Pada kegiatan ini pendamping CSR dituntut untuk membuat keputusan yang mewakili kepentingan peserta dan perusahaan. Menurut keterangan peserta program, pihak pendamping selalu berusaha mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
44
Namun, pendamping tidak dapat langsung memutuskan sendiri, karena mereka juga harus mempertimbangkan kepentingan perusahaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu responden sebagai berikut: “..Pihak CSR selalu tanya kita butuh apa dari kegiatan ini, tapi kita juga sadar kalo kebutuhan kita ga bisa semuanya dipenuhi sama mereka. Hal ini karena mereka juga harus memikirkan kemampuan dan kepentingan perusahaan…”-Ibu NJ (47 tahun), warga RT 02.
Selain itu, sebagai pembela pendamping harus mendukung partisipasi peserta. Hal ini dilakukan pendamping dengan cara memberi semangat, motivasi dan sering juga dengan memberi reward. Pemberian reward berupa uang ini dilakukan pendamping biasanya pada saat pelatihan dan pameran-pameran yang dilaksanakan di luar lingkungan RW 04. Hal ini dikatakan oleh seorang responden sebagai berikut: “…Pihak CSR sangat mengapresiasi kalo kita mau ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan mereka. Bukan hanya secara lisan, tapi sering juga dikasih uang setiap datang pelatihan dan jaga stand saat ada pameran-pameran di luar…”-Ibu TS (44 tahun), warga RT 03.
Gambar 13
Persentase tingkat pendampingan (pembela) pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
dalam
program
Gambar 13 menunjukkan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga sebagian besar (87%) mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran pembela masuk kategori tinggi. Hal ini berarti para pendamping telah melaksanakan seluruh tugasnya dalam peran sebagai pembela. Namun, masih ada (13%) peserta yang mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran pembela rendah. Hal ini karena, mereka merasa pendamping membuat kegiatan yang kurang sesuai dengan minat masyarakat dan hanya mementingkan kepentingan perusahaan. Hal ini dikatakan oleh seorang responden berikut: “…Kalo menurut saya sih kegiatannya ga selalu sesuai minat masyarakat. Kaya yang ini, kan ga semua orang mau bikin kerajinan daur ulang plastik. Makanya saya sekarang udah kurang aktif…”-Ibu R (42 tahun), warga RT 06.
45
Pelindung Peran pelindung pendamping CSR PT ITP dilakukan melalui 2 kegiatan. Pertama, pendamping menentukan masyarakat yang paling utama untuk mengikuti program. Seringkali, pendamping mengutamakan peserta kader dahulu yang mengikuti kegiatan. Harapannya kader-kader ini akan mengajarkan kepada para peserta non kader. Hal ini sesuai pernyataan seorang responden sebagai berikut: “…Biasanya yang diutamain untuk ikut kegiatan terutama pelatihan adalah kader RT atau RW. Nantinya kader-kader itu akan mengajarkan lagi keterampilan yang diperolehnya kepada warga lain…”-Ibu SCN (50 tahun), warga RT 07.
Selain itu, pendamping juga bertugas untuk berkomunikasi dengan seluruh masyarakat yang terpengaruh kegiatan. Hal ini dilakukan pendamping CSR dengan mengumpulkan warga di RSB dibantu oleh Ibu Ketua RW 04 dan kader-kader RT.
Gambar 14
Persentase tingkat pendampingan (pelindung) pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
dalam
program
Gambar 14 menunjukkan peserta mayoritas (83%) mengatakan tingkat pendampingan yang dilihat melalui peran pelindung masuk kategori rendah. Hal ini karena, sebagian peserta terutama yang bukan kader jarang berkomunikasi dengan para pendamping. Seperti yang dikatakan oleh responden, sebagai berikut: “…Saya jarang ketemu dan ngobrol bareng CSR, karena saya juga jarang ikut kalo ada acara di pendopo. Ya yang lebih banyak ketemu hanya kader-kader aja….”-Ibu SSL, warga RT 01.
Tingkat Pendampingan Tingkat pendampingan dalam kegiatan CSR PT ITP telah dipaparkan sebelumnya melalui masing-masing peran pendamping (fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung). Hasilnya menunjukkan bahwa sebenarnya pendamping telah melakukan kelima peran tersebut. Namun, pada peran pelindung sebagian besar (83%) peserta belum merasakan peran tersebut. Pada sub bab ini, dipaparkan tingkat pendampingan yang dilihat dari akumulasi seluruh peran.
46
Gambar 15
Persentase tingkat pendampingan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
Gambar 15 menunjukkan sebagian besar (90%) peserta mengatakan tingkat pendampingan yang dilakukan oleh CSR PT ITP masuk kategori tinggi. Namun, masih ada sebesar 10 persen masyarakat yang mengatakan tingkat pendampingan masih rendah. Hal ini berarti peserta belum merasakan manfaat dari pendampingan. Seperti yang dikatakan oleh seorang responden berikut ini: “…Kalo saya sih jarang ketemu dan jarang dibantu pendamping dalam program ini yang lebih banyak membantu saya ya bu kader…”-Ibu V (46 tahun), warga RT 01.
Analisis Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Keberdayaan Perempuan dalam Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Pendampingan menurut Suharto (2005) merupakan salah satu strategi yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan. Tingkat pendampingan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga dapat dinilai melalui peran pendamping yang terdiri atas fasilitator, broker, moderator, pembela dan pelindung. Sementara itu, keberdayaan perempuan dinilai melalui tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi, dan tingkat kontrol. Penelitian ini menghubungkan tingkat pendampingan dengan keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Variabel tingkat pendampingan dan keberdayaan perempuan dihubungkan dengan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Seluruh data yang dihubungkan merupakan data dengan skala ordinal. Pengujian hubungan antar variabel didukung oleh program SPSS 16.00. Adapun ketentuan hipotesis diterima apabila nilai signifikansi (sig-2 tailed) lebih kecil dari α (0.10), sebaliknya jika nilai yang didapatkan lebih besar dari α (0.10), maka hubungan antara 2 variable tersebut tidak signifikan.
47
Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Tingkat Kesejahteraan Perempuan Tingkat pendampingan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP dilihat melalui peran pendamping yang terdiri atas fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Selanjutnya tingkat pendampingan dihubungkan dengan tahapan pertama pada keberdayaan perempuan. Tahapan pertama tersebut adalah tingkat kesejahteraan yang dinilai berdasarkan tingkat kesadaran lingkungan dan pendapatan. Kedua variabel tersebut dihubungkan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 3
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat pendampingan
Tingkat Kesejahteraan
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 2 1 3
Tingkat pendampingan Tinggi Jumlah % 66.7 5 33.3 22 100.0 27
18.5 81.5 100.0
Tabel 3 menunjukkan terdapat kecenderungan hubungan antara tingkat pendampingan dengan tingkat kesejahteraan. Selain itu, dari hasil uji korelasi rank spearman didapatkan nilai α sebesar 0.065 yang berarti terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Hal ini karena nilai α lebih kecil dari nilai signifikansi 0.10. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman menghasilkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.342. Nilai tersebut menunjukkan hubungan kedua variabel linier positif dan cukup kuat. Hal ini ini berarti semakin tinggi tingkat pendampingan, maka kemungkinan besar semakin tinggi tingkat kesejahteraan perempuan peserta. Peserta dengan tingkat pendampingan tinggi mayoritas (81.5%) juga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Hal ini karena, menurut para peserta pendampingan yang dilakukan oleh pendamping CSR PT ITP telah baik. Pendamping seringkali menjadi teman diskusi peserta terkait dengan program pengelolaan sampah rumah tangga. Selain itu, pendamping juga selalu mengusahakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan peserta yang terkait dengan program. Hal ini menurut peserta sangat membantu mereka untuk mencapai tujuan program. Hubungan peran pendamping dengan tingkat kesejahteraan, seperti yang diungkapkan oleh seorang responden, sebagai berikut: “…Awal kegiatan ini kita ga langsung disuruh ngelola sampah sendiri. Pendamping memfasilitasi kita dengan memberi penyuluhan tentang pengelolaan sampah terus kita juga diajak untuk melihat pengelolaan sampah di daerah Mampang dan di sana diajari juga cara daur ulang sampah. Kegiatan-kegiatan itu yang membuat kita lebih semangat dalam program pengelolaan sampah. Hasilnya sekarang sudah dapat saya rasakan, lingkungan lebih bersih dan rapi. Selain itu saya juga lumayan dapet penghasilan tambahan dari jual hasil daur ulang sampah plastik. Anak-anak sekolah sering datang minta ajarin, sekali ngajari saya bisa dapet 25ribu…”-Ibu DH (44 tahun), warga RT 06.
48
Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Tingkat Akses Perempuan Peran pendamping selanjutnya dihubungkan dengan tingkat akses perempuan pada pendampingan dan pelatihan. Kedua variabel tersebut dihubungkan dengan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tingkat pendampingan dilihat melalui salah satu peran pendamping yaitu fasilitator. Peran pendamping sebagai fasilitator dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP salah satunya adalah memfasilitasi pendidikan melalui pemberian pengetahuan dan pelatihan. Pada program ini pemberian pengetahuan dilakukan melalui penyuluhan, sedangkan pemberian keterampilan melalui pelatihan. Tabel 4
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat pendampingan
Tingkat Akses
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 3 0 3
Tingkat pendampingan Tinggi Jumlah % 100.0 15 0.0 12 100.0 27
55.5 44.4 100.0
Tabel 4 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan hubungan antara variabel tingkat pendampingan dengan tingkat akses perempuan. Baik tingkat pendampingan rendah maupun tinggi mayoritas (100% dan 55.5%) memiliki tingkat akses rendah. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman menghasilkan nilai α sebesar 0.146 yang berarti tidak terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel tersebut. Hal ini karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10. Tabel 4 menunjukkan mayoritas (55.5%) peserta yang memiliki tingkat pendampingan tinggi memiliki tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan rendah. Meskipun mereka berpendapat peran pendamping telah baik, namun karena mereka bukan kader, mereka tidak mendapatkan akses terhadap pendampingan dan pelatihan tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang respondesn sebagai berikut: “...Pendampingan CSR itu punya peran besar dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini, saya sendiri merasa mendapat manfaat pengetahuan dan keterampilan lebih terkait sampah setelah ada program ini. Namun karena saya bukan kader, saya tidak mendapat pelatihan yang diadakan di Mampang itu. Selain itu, pendampingan juga lebih banyak ditunjukkan untuk kader. Saya sendiri mendapat manfaat pengetahuan dan keterampilan itu dari bu kader…”-Ibu V (46 tahun), warga RT 01.
Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Kesadaran kritis merupakan tahapan ketiga dari keberdayaan perempuan. Perempuan yang memiliki kesadaran kritis, telah menyadari bahwa peran gender bukanlah suatu yang alami. Peran gender dapat diubah dan dikonstruksi agar lebih setara. Selanjutnya, tingkat pendampingan dihubungkan dengan tingkat kesadaran kritis menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman.
49
Tabel 5 Tingkat Kesadaran Kritis Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis dan tingkat pendampingan Rendah Jumlah
% 0 3 3
Tingkat pendampingan Tinggi Jumlah % 0.0 7 100.0 20 100.0 27
26.0 74.0 100.0
Tabel 5 tidak menunjukkan kecenderungan hubungan antara tingkat pendampingan dengan tingkat kesadaran kritis. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari, baik tingkat pendampingan rendah maupun tinggi didominasi (100% dan 74.4%) oleh tingkat kesadaran kritis tinggi. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman menunjukkan nilai α sebesar 0.331. Nilai tersebut berarti tidak terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel tersebut, karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10. Hasil tersebut berarti ada faktor lain, selain tingkat pendampingan yang mempengaruhi tingkat kesadaran kritis perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Pada kenyataannya, ketidakadilan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari ini, bukan antara laki-laki dan perempuan. Melainkan antara sesama perempuan peserta. Ketidakadilan ini menurut penuturan peserta adalah pembedaan antara perempuan kader dan non-kader. Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Tingkat Partisipasi Perempuan Salah satu tugas dari pendamping adalah pendukungan. Pendukungan berarti mendukung partisipasi dari masyarakat. Tugas tersebut merupakan salah satu peran pendamping sebagai pembela. Pada penelitian ini tingkat pendampingan dihubungkan dengan tingkat partisipasi peserta menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 6 Tingkat Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi dan tingkat pendampingan Rendah Jumlah
% 3 0 3
Tingkat pendampingan Tinggi Jumlah % 100.0 11 0.0 16 100.0 27
40.7 59.3 100.0
Tabel 6 menunjukkan kecenderungan semakin tinggi tingkat pendampingan, maka semakin tinggi tingkat partisipasi. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman menghasilkan nilai α sebesar 0.053 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel. Hal ini karena nilai α lebih kecil dari nilai signifikansi 0.10. Selain itu, didapatkan nilai korelasi koefisien sebesar 0.356 yang menunjukkan hubungan kedua variabel linier positif dan cukup kuat. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendampingan, maka kemungkinan besar semakin tinggi tingkat partisipasi perempuan.
50
Pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, pendamping sering memberi apresiasi terhadap peserta yang sering mengikuti kegiatan tersebut. Apresiasi tersebut berupa ucapan terimakasih maupun intensif uang atau makanan yang diberikan setiap adanya kegiatan. Setiap pertemuan yang diselenggarakan oleh CSR PT ITP, mereka seringkali menyiapkan konsumsi untuk para peserta yang hadir. Selain itu, ketika ada pelatihan, mereka yang datang akan mendapat uang setiap kedatangannya. Pada saat ada pameran juga pasti akan mendapat uang dari pihak CSR. Hal ini salah satu yang membuat partisipasi warga tinggi selain memang kegiatannya membawa banyak manfaat. Hal ini seperti yang diungkapkan seorang responden, sebagai berikut: “…Pendamping itu selalu ngedukung partisipasi kita dalam kegiatan. Dukungannya itu, kita selalu diucapin terimakasih karena telah hadir dalam pertemuan kegiatan. Pertemuan itu biasanya sudah dpersiapkan semua sama CSR. Selalu ada konsumsi minimal kue yang dibawa mereka. Beda lagi kalo ada pelatihan, setiap datang, kita akan dapet amplop. Terus kalo kita mau untuk ikut pameran dan kita seharian jaga stand, pasti akan dapet uang…”-Ibu TS (44 tahun), warga RT 02.
Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Tingkat Kontrol Perempuan Peran pendamping sebagai sebagai broker diantarnya adalah menghubungkan peserta dengan barang dan pelayanan kepada masyarakat. Peran tersebut dihubungkan dengan tingkat kontrol perempuan terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan. Kedua varibel tersebut dihubungkan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga, peran pendamping seringkali memberi bantuan berupa barang-barang yang diperlukan para peserta. Barang tersebut diberikan kepada para peserta dan penggunannya ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Mereka diberikan kuasa untuk memanfaatkan sendiri bantuan tersebut. Pada peserta yang memiliki kontrol terbesar adalah ketua kader, sebagai orang yang paling banyak mendapat peran pendamping CSR. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “…Orang yang nentuin kebutuhan dan pemanfaatan bantuannya itu biasanya Bu RW (Ketua kader RW), karena dia orang yang paling sering berhubungan dengan CSR…”-Ibu R (42 tahun), warga RT 06.
Tabel 7 Tingkat Kontrol Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat pendampingan Rendah Jumlah
% 3 0 3
Tingkat pendampingan Tinggi Jumlah % 100.0 24 0.0 3 100.0 27
89.9 11.1 100.0
51
Tabel 7 tidak menunjukkan kecenderungan hubungan antara variabel tingkat pendampingan dengan tingkat kontrol peran pendamping. Baik peran pendamping rendah maupun tinggi mayoritas (100% dan 89.9%) memiliki tingkat kontrol rendah. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman juga menujukkan hasil yang tidak berhubungan. Nilai α dari hubungan kedua variabel tersebut sebesar 0.559 yang menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan, karena nilai α lebih besar dari nilai signifikansi 0.10. Hal ini karena, kontrol tertinggi dimiliki oleh ketua kader RW, karena paling banyak menerima peran pendamping. Namun, penentu keputusan tertinggi ada pada pendamping CSR. Ikhtisar Tingkat pendampingan yang dinilai berdasarkan masing-masing variabel peran pendamping seluruhnya memiliki tingkat pendampingan tinggi, tapi pada tingkat pendampingan yang dinilai melalui peran pelindung masuk kategori rendah. Hal ini karena sebagian besar peserta terutama yang bukan kader jarang berkomunikasi dengan pendamping. Selan itu, tingkat pendampingan hanya berhubungan dengan tingkat kesejahteraan dan tingkat partipasi perempuan. Hal ini karena tingkat pendampingan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan program yang terkait dengan pendapatan dan kesadaran lingkungan. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendampingan, maka partisipasi perempuan peserta untuk mengikuti seluruh rangkaian program juga semakin tinggi. Namun, peserta yang memiliki tingkat pendampingan tinggi mayoritas adalah peserta kader. Sehingga dapat disimpulkan pendampingan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP ini bias kader.
KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP Karakteristik Perempuan Karakteristik perempuan merupakan faktor internal dari masing-masing peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Karakteristik perempuan dapat dilihat melalui 4 variabel yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan, tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, dan tingkat perilaku keinovatifan. Usia Usia perempuan peserta pada penelitian ini seluruhnya berada pada kategori masa usia menengah menurut teori Havighurst dalam Mugniesyah (2006b). Usia termuda adalah 32 tahun, sedangkan usia tertua adalah 50 tahun. Kemudian usia menengah ini dikelompokkan lagi menjadi 2 kategori, yaitu <41 tahun yang digolongkan usia menengah muda dan ≥41 tahun yang digolongkan menjadi usia menengah tua.
Gambar 16
Persentase usia perempuan peserta
Gambar 16 menunjukkan bahwa peserta pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari, sebagian besar (73%) diikuti oleh perempuan yang berada pada usia menengah tua. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan pada usia menengah tua lebih banyak memiliki waktu luang untuk mengikuti program ini. Seperti yang diutarakan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “…Kebanyakan yang ikut program ini adalah ibu-ibu yang sudah tidak memiliki anak kecil ataupun cucu, jadi umurnya antara 40-45 tahun. Hal ini karena, pada usia tersebut mereka punya waktu luang lebih banyak untuk ikut kegiatan seperti ini…”-Ibu S (44 tahun), warga RT 04.
53
Sementara itu, sebanyak 27 persen perempuan peserta masuk kategori menengah muda. Mereka adalah perempuan yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan sebagai kader atau perempuan yang terampil membuat kerajinan dari limbah plastik. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP digolongkan dalam 4 kategori yaitu tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, dan tamat perguruan tinggi. Gambar 11 menunjukkan mayoritas (73%) peserta menamatkan pendidikan sampai SMA.
Gambar 17
Persentase tingkat pendidikan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP
Namun, gambar 17 juga menunjukkan masih ada sebanyak 3 persen dan 7 persen peserta yang hanya menamatkan pendidikan SD dan SMP. Hasil tersebut sesuai dengan yang diungkapkan salah seorang aparat desa bahwa ada kenaikan jenjang pendidikan dibandingkan dulu. Menurutnya saat ini masyarakat di Desa Gunungsari sudah banyak yang menamatkan pendidikan SMA, sehingga jumlah lulusan di bawah SMA persentasenya kecil. Kemudian tingkat pendidikan peserta dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu rendah dan tinggi. Tingkat pendidikan rendah untuk tamatan SD sampai SMP, sedangkan pendidikan tinggi untuk tamatan SMA sampai Perguruan Tinggi. Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan Variabel lain dalam status sosial dan ekonomi adalah keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan. Organisasi masyarakat yang ada di RW 04 untuk perempuan diantaranya kader Posyandu, kader lingkungan, dan UPPKS. Namun, meskipun sudah ada pemisahan pekerjaan, seringkali 1 orang mengerjakan 2 hal tersebut. Keterlibatan peserta dalam organisasi kemasyarakatan dibagi dalam 3 kategori, yaitu tidak terlibat organisasi, terlibat organisasi serta terlibat organisasi dan memiliki jabatan.
54
Gambar 18
Persentase tingkat keterlibatan perempuan peserta dalam organisasi kemasyarakatan
Gambar 18 menunjukkan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP mayoritas (50%) adalah perempuan yang terlibat dalam organisasi dan memiliki jabatan. Jabatan tersebut diantaranya adalah sebagai sekretaris, bendahara, dan kepala bidang. Sementara itu, perempuan peserta yang tidak terlibat dalam organisasi hanya sebanyak 20 persen. Hal ini karena para kader lebih diutamakan oleh pendamping CSR. Para kader ini nantinya diharapkan dapat membimbing peserta lain yang bukan kader. Hal ini seperti yang dikatakan oleh seorang responden, sebagai berikut: “…Kebanyakan yang mengikuti kegiatan daur ulang ini adalah kader-kader RT ataupun RW. Karena pada saat awal pelatihan diminta perwakilan dari setiap RT untuk ikut. Kemudian dipilihlah kader-kader tersebut. Setelah mereka ikut pelatihan mereka akan mengajari warga yang lain seperti saya…”.-Ibu V (46 tahun), warga RT 01.
Tingkat keterlibatan peserta dalam organsisasi kemasyarakatan ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu kategori rendah dan tinggi. Kategori rendah untuk yang tidak terlibat dalam organisasi, sedangkan kategori tinggi untuk yang terlibat organisasi. Tingkat Perilaku Keinovatifan Perilaku keinovatifan dilihat dari kekosmopolitan dan waktu mengikuti kegiatan. Perempuan peserta program CSR PT ITP di RW 04 kebanyakan adalah ibu rumah tangga yang aktif di organisasi kemasyarakatan sekitar wilayah tersebut. Perempuan peserta kegiatan yang memiliki tingkat kekosmpolitan tinggi biasanya adalah perempuan yang bekerja nafkah tetap. Mereka diantaranya berprofesi sebagai guru, anggota BPD dan penjual barang kredit.
55
Gambar 19
Persentase tingkat perilaku keinovatifan perempuan peserta
Gambar 19 menunjukkan perilaku keinovatifan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP didominasi (70%) oleh perempuan yang memiliki perilaku keinovatifan rendah. Hal ini karena, kebanyakan dari mereka lebih banyak beraktivitas di lingkungan sekitar RW 04. Pada kategori ini mereka tidak kosmopolit, tapi mengikuti kegiatan sejak awal. Selanjutnya, sebanyak 30 persen adalah perempuan yang kosmopolit dan ikut kegiatan sejak awal. Analisis Hubungan Karakteristik Perempuan dengan Tingkat Keberdayaan Perempuan dalam Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP Program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di RW 04 Desa Gunungsari Kecamatan Citeureup seluruh pesertanya adalah perempuan yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Karakteristik perempuan tersebut dapat berhubungan dengan tingkat keberdayaan perempuan. Karakteristik perempuan terdiri atas usia, tingkat pendidikan, tingkat keterlibatan dalam organsisasi kemasyarakatan, dan perilaku keinovatifan. Sementara itu, keberdayaan perempuan meliputi tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi, dan tingkat kontrol. Penelitian ini mencoba menghubungkan karakteristik perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP dengan keberdayaan perempuan. Masing-masing variabel dari karakteristik perempuan dan keberdayaan perempuan dilihat kecenderungan hubungan menggunakan tabel tabulasi silang dan didukung dengan uji korelasi rank spearman. Seluruh data yang dihubungkan merupakan data dengan skala ordinal. Pengujian hubungan antar variabel didukung oleh program SPSS 16.00. Adapun ketentuan hipotesis diterima apabila nilai signifikansi (sig-2 tailed) lebih kecil dari α (0.10), sebaliknya jika nilai yang didapatkan lebih besar dari α (0.10), maka hubungan antara 2 variable tersebut tidak signifikan.
56
Hubungan Usia dengan Tingkat Kesejahteraan Perempuan Responden dalam penelitian ini seluruhnya tergolong dalam masa usia menengah berdasarkan Teori Perkembangan Havighurst yang dikutip oleh Mugniesyah (2006b). Kemudian usia tersebut dibagi dalam 2 kategori, yaitu masa usia menengah muda (<41 tahun) dan masa usia menengah tua (≥41 tahun). Selanjutnya, tingkat kesejahteraan dilihat berdasarkan pendapatan dan kesadaran lingkungan peserta. Hal ini sesuai dengan tujuan program. Kedua variabel tersebut kemudian dihubungkan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 8
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan usia
Tingkat Kesejahteraan Rendah Tinggi Jumlah
Usia Muda Jumlah 3 5 8
Tua % 37.5 62.5 100.0
Jumlah 4 18 22
% 18.2 81.8 100.0
Tabel 8 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan bahwa semakin tua usia peserta, semakin tinggi tingkat kesejahteraan perempuan. Setelah diuji menggunakan uji rank spearman, didapatkan nilai α untuk hubungan antara usia dengan tingkat kesejahteraan perempuan sebesar 0.284. Hasil tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara 2 variabel tersebut, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Hal ini karena dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga tidak ditentukan oleh usia yang mereka miliki. Selain itu, peserta didominasi oleh perempuan berusia menegah tua, karena pada usia tersebut perempuan RW 04 lebih banyak memiliki waktu luang dan tidak harus mengurusi anak yang usia remaja atau dewasa. Pada usia baik menengah muda maupun menengah tua, mayoritas peserta memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Mereka memiliki pendapatan di atas rata-rata4 dan juga memiliki kesadaran lingkungan yang baik5. Oleh karena itu, dapat disimpulkan tingkat kesejahteraan pada perempuan peserta pengelolaan sampah rumah tangga tidak berhubungan dengan usia. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kesejateraan Perempuan Tingkat pendidikan merupakan salah satu variabel dari status sosial dan ekonomi. Tingkat pendidikan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga dibagi dalam 2 kategori. Kategori rendah untuk tamat SD dan SMP, sedangkan kategori tinggi untuk tamat SMA dan PT. Hubungan variabel tingkat pendidikan dengan tingkat kesejahteraan perempuan dilihat berdasarakan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman.
4
Rp927 067 (rata-rata penghasilan peserta ini masih jauh di bawah UMR Kabupaten Bogor, yaitu sebesar Rp2 242 240) 5 Memisahkan antara sampah organik dan organik, mengolah sampah anorganik menjadi kerajinan. Hasilnya lingkungan lebih rapi dan bersih, tidak ada lagi sampah yang berserakan.
57
Berdasarkan tabel 9, terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan peserta, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Data tabel 9 menunjukkan sebagian besar (81.5 %) perempuan peserta yang tingkat pendidikan tinggi juga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Hal ini karena, mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi lebih aktif dalam program, sehingga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Tabel 9
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat pendidikan
Tingkat Kesejahteraan
Tingkat Pendidikan Rendah Jumlah 2 1 3
Rendah Tinggi Jumlah
Tinggi % 66.7 33.3 100.0
Jumlah 5 22 27
% 18.5 81.5 100.0
Setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, didapatkan nilai α sebesar 0.065 untuk hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kesejahteraan perempuan. Hasil tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara 2 variabel tersebut, karena nilai α lebih kecil dari 0.10. Selain itu, didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.342. Nilai tersebut menunjukkan hubungan kedua variabel linier positif dan cukup kuat. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan, maka kemungkinan besar semakin tinggi tingkat kesejahteraan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Hasil tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa sebagian besar peserta yang memiliki penghasilan di atas ratarata dan memiliki tingkat kesadaran lingkungan tinggi merupakan peserta yang memiliki tingkat pendidikan SMA sampai perguruan tinggi. Hubungan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan dengan Tingkat Kesejahteraan Perempuan Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan merupakan salah satu variabel dari status sosial dan ekonomi. Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga dibagi dalam 2 kategori. Kategori tersebut yaitu rendah untuk yang tidak terlibat organisasi dan dan tinggi untuk yang terlibat organisasi kemasyarakatan. Tabel 10
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan
Tingkat Kesejahteraan Rendah Tinggi Jumlah
Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan Rendah Tinggi Jumlah % Jumlah % 3 50.0 4 16.7 3 50.0 20 83.3 6 100.0 24 100.0
58
Tabel 10 menunjukkan terdapat kecenderungan hubungan antara tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kesejahteraan. Mayoritas (83.3%) perempuan peserta yang memiliki tingkat keterlibatan organisasi tinggi, juga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Mereka yang yang mengikuti organisasi di lingkungan RW 04 sebagai kader, lebih aktif dalam program ini. Setelah diuji menggunakan uji rank spearman, didapatkan nilai α untuk hubungan antara tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kesejahteraan perempuan sebesar 0.090. Hasil tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara dua variabel tersebut. Hal ini karena nilai α lebih kecilr dari 0.10 yang menjadi nilai standar hubungan signifikansi. Selain itu, didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.315. Nilai tersebut menunjukkan hubungan kedua variabel linier positif dan cukup kuat. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat keterlibatan dalam organisasi, maka kemungkinan besar semakin tinggi tingkat kesejahteraan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Hal tersebut, karena mereka harus memberikan contoh yang baik bagi peserta lain yang bukan kader. Sebagai kader merekalah yang terlebih dahulu melakukan berbagai bentuk pelestarian lingkungan. Kegiatan tersebut pengelolaan sampah rumah tangga, memilahan sampah, menabung sampah di bank sampah, mendaur ulang sampah,dan menanam pohon di sekitar rumah dan wilayah RT. Selain itu, mereka juga mengajarkan daur ulang sampah plastik kepada para peserta lain untuk dijual hasilnya sebagai penghasilan tambahan. Oleh karena itu, tingkat kesejahteraan perempuan peserta yang terlibat dalam organisasi mayoritas masuk kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang responden, sebagai berikut: “…Saya ikut program pengelolaan sampah, karena ajakan dari Ibu Y (kader). Dialah yang mengajarkan saya untuk memisahkan sampah organik dengan anorganik. Setelah Bu Y ikut pelatihan kerajinan dari laimbah plastik, saya diajarin juga untuk bikin itu. Beliau sampai sekarang masih aktif melakukan daur ulang dan sudah dapat menghasilkan uang dari hasil daur ulang itu…”-Ibu V (46 tahun), warga RT 01.
Hubungan Tingkat Perilaku Keinovatifan dengan Tingkat Kesejahteraan Perempuan Perilaku keinovatifan merupakan salah satu variabel dari karakteristik perempuan yang dinilai berdasarkan tingkat kekosmopolitan dan tahun mengikuti program. Kemudian, tingkat perilaku keinovatifan dan tingkat kesejahteraan dihubungkan menggunakan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman.
59
Tabel 11
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat perilaku keinovatifan
Tingkat Kesejahteraan
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
Tingkat Perilaku Keinovatifan Tinggi % Jumlah % 6 28.6 1 15 71.4 8 21 100.0 9
11.1 88.9 100.0
Tabel 11 menunjukkan tidak terlihat kecenderungan hubungan antara tingkat perilaku keinovatifan dengan tingkat kesejahteraan. Pada tabel tersebut terlihat, baik peserta yang masuk kategori tingkat perilaku keinovatifan rendah, maupun tinggi sama-sama didominasi tingkat kesejahteraan tinggi. Setelah diuji menggunakan uji rank spearman, didapatkan nilai α untuk hubungan antara perilaku keinovatifan dengan tingkat kesejahteraan perempuan sebesar 0.317. Hasil tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara dua variabel tersebut, karena nilai α lebih besar dari 0.050 yang menjadi nilai standar hubungan signifikansi. Hal tersebut karena, program ini tidak ditentukan berdasarkan perilaku keinovatifan. Namun, lebih ditentukan atas keterlibatannya dalam organisasi kemasyarakatan. Ketika ia aktif berorganisasi di sekitar RW 04, maka ia akan lebih aktif dibanding yang tidak berorganisasi dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Hubungan Usia dengan Tingkat Akses Perempuan Tingkat akses perempuan merupakan tahapan kedua dari tingkat keberdayaan perempuan. Pada tahapan ini, dinilai kesempatan perempuan peserta untuk mendapatkan pendampingan dan pelatihan. Tingkat akses ini juga dilihat dari intensitas mereka mendapat pendampingan dan pelatihan tersebut. Selanjutnya, usia peserta program pengelolaan sampah rumah tangga dihubungkan dengan tingkat akses perempuan pada pendampingan dan pelatihan menggunakan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 12
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan usia
Tingkat Akses
Usia Muda Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
Tua % 4 4 8
Jumlah 50.0 50.0 100.0
% 14 8 22
63.6 36.4 100.0
Tabel 12 menunjukkan terdapat kecenderungan semakin tua usia peserta, maka semakin rendah tingkat akses perempuan pada pendampingan dan pelatihan. Perempuan peserta yang berusia menengah tua mayoritas (63.6%) memiliki tingkat akses rendah. Hal ini karena, mereka lebih memberi peluang pada yang peserta yang berusia menegah muda untuk mendapat pendampingan dan pelatihan. Seperti yang dikatakan oleh seorang responden, sebagai berikut:
60
“…Waktu itu saya diajak pelatihan bikin kerajinan dari limbah plastik ke Mampang, tapi saya ga ikut. Biarin ibu-ibu yang masih muda aja yang ikut…”-Ibu SCN (50 tahun), warga RT 07.
Namun, peserta yang berusia muda juga belum tentu memiliki akses tinggi pada pendampingan dan pelatihan. Jika perempuan peserta bukan seorang kader, maka akses mereka pada pendampingan dan pelatihan rendah. Kenyataan tersebut didukung oleh hasil uji korelasi rank spearman yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel usia dengan tingkat akses perempuan. Nilai α yang dihasilkan kedua variabel sebesar 0.517. Hal tersebut karena, baik usia menengah muda maupun tua memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat pendampingan dan pelatihan. Namun, mereka yang lebih sering mendapat pelatihan dan pendampingan adalah perempuan yang sering mengikuti rapat di RSB, seperti kader. Semakin sering ia rapat, maka semakin sering ia bertemu dengan pendamping CSR PT ITP, sehingga kesempatan untuk mendapat pendampingan dan pelatihan lebih besar. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Akses Perempuan Tingkat pendidikan dihubungkan dengan tingkat akses perempuan pada pelatihan dan pendampingan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Berdasarkan tabel 8, tidak terlihat kecenderungan hubungan antara kedua variabel tersebut. Baik peserta yang memiliki tingkat pendidikan rendah maupun tingkat pendidikan tinggi, sama-sama didominasi oleh tingkat akses rendah. Tabel 13
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat pendidikan
Tingkat Akses
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 3 0 3
Tingkat Pendidikan Tinggi Jumlah 100.0 0.0 100.0
% 15 12 27
55. 6 44.4 100.0
Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman juga menunjukkan hubungan kedua variabel tidak memiliki hubungan signifikan, karena nilai α yang diperoleh sebesar 0.146. Nilai tersebut melebihi nilai signifikansi sebesar 0.10. Hal ini karena, tingkat pendidikan tidak menjadi syarat untuk mendapat pendampingan dan pelatihan. Bahkan, tingkat pendidikan formal tidak diutamakan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini. Hal ini karena, dalam kegiatan pengelolaan sampah khususnya untuk membuat kerajinan tangan dari daur ulang limbah plastik, lebih dibutuhkan keterampilan seperti menganyam dan menjahit.
61
Hubungan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan dengan Tingkat Akses Perempuan Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dihubungkan dengan tingkat akses perempuan pada pendampingan dan pelatihan menggunakan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Berdasarkan tabel 14 terdapat kecenderungan semakin tinggi keterlibatan peserta dalam organisasi kemasyarakatan, maka semakin tinggi tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan. Tabel 14 Tingkat Akses Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan Rendah Tinggi Jumlah % Jumlah % 6 100.0 12 50.0 0 0.0 12 50.0 6 100.0 24 100.0
Tabel 14 menunjukkan perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga dengan keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan rendah mayoritas (100%) memiliki tingkat akses rendah. Hal ini karena, kesempatan mendapat pendampingan dan pelatihan lebih banyak dimiliki oleh peserta perempuan yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan. Mereka adalah kader yang aktif di tingkat RW maupun kader RT. Kesempatan tersebut lebih banyak diberikan pada kader, karena merekalah yang nantinya diharapkan akan merangkul warga lain yang bukan kader untuk mengikuti program ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “…Waktu itu pernah ada pelatihan ke Mampang untuk membuat kerjinan tangan dari daur ulang limbah plastik. Mereka yang ikut lebih diutamakan kader-kader RT atau RW. Soalnya mereka nanti yang akan ngajarin ke ibu-ibu lain, seperti saya yang diajari pengelolaan sampah anorganik oleh bu kader…”-Ibu SCN (50 tahun), warga RT 07.
Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman kedua variabel didapat nilai α sebesar 0.025. Nilai tersebut menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara variabel tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dan tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan, karena nilai α lebih kecil dari 0.050. Selain itu, didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.408 yang menunjukkan hubungan kedua variabel linier positif dan cukup kuat. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, maka kemungkinan semakin tinggi juga tingkat akses perempuan pada pelatihan dan pendampingan.
62
Hasil tersebut karena, meskipun peserta yang juga seorang kader memiliki akses yang sama untuk mendapat pendampingan dan pelatihan. Namun, seringkali waktu pendampingan dan pelatihan bersamaan dengan kegiatan lain yang dimiliki kader, sehingga mereka tidak mendapat pendampingan dan pelatihan tersebut. Oleh karena itu, sebagian peserta yang aktif sebagai kader memiliki tingkat akses rendah, karena frekuensi mendapat pendampingan dan pelatihannya kecil. Hubungan Tingkat Perilaku Keinovatifan dengan Tingkat Akses Perempuan Tingkat perilaku keinovatifan dihubungkan dengan tingkat akses perempuan pada pelatihan dan pendampingan menggunakan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 15 menunjukan terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat perilaku keinovatifan, maka semakin tinggi tingkat akses perempuan pada pelatihan dan pendampingan. Tabel 15
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat perilaku keinovatifan
Tingkat Akses
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 15 6 21
Tingkat Perilaku Keinovatifan Tinggi Jumlah % 71.4 3 28.6 6 100.0 9
33.3 66.7 100.0
Data pada tabel 15 menunjukkan sebagian besar (66.7%) peserta yang memiliki tingkat perilaku keinovatifan tinggi, juga memiliki tingkat akses tinggi. Hal ini karena, mereka yang memiliki tingkat perilaku keinovatifan tinggi sebagian besar adalah kader, sehingga mereka memiliki tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah seorang peserta, sebagai berikut: “…Walaupun saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar untuk jualan, tapi saya tetep ikut pelatihan dan sering ngobrol sama pihak CSR. Soalnya saya aktif sebagai kader di RW ini…”-Ibu NJ (47 tahun), warga RT 02.
Setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, didapat nilai α sebesar 0.053. Angka tersebut menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel karena nilai α lebih kecil dari 0.10. Selain itu, didapatkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.356 yang berarti hubungan kedua variabel linier positif dan cukup kuat. Artinya semakin tinggi tingkat perilaku keiovatifan peserta, maka kemungkinan besar semakin tinggi tingkat akses perempuan pada pendampingan dan pelatihan Hubungan Usia dengan Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Kesadaran kritis perempuan merupakan kesadaran bahwa peran gender bukanlah hal mutlak yang tidak dapat diubah. Pada penelitian ini kesadaran kritis perempuan dinilai berdasarkan persepsi mereka terhadap isu ketidakadilan peran antara perempuan dan laki-laki dalam dimensi sosial dan ekonomi.
63
Tabel 16 Tingkat Kesadaran Kritis Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan usia Usia Tua
Muda Jumlah
% 1 7 8
Jumlah 12.5 87.5 100.0
% 7 15 22
31.8 68.2 100.0
Tabel 16 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan hubungan antara usia dan tingkat kesadaran kritis perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Baik peserta yang berusia menengah muda, maupun peserta menengah tua mayoritas (75% dan 68.2%) memiliki tingkat kesadaran kritis tinggi. Setelah kedua variabel tersebut diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, didapatkan nilai α sebesar 0.415. Angka tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara variabel usia dengan kesadaran kritis, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Sebagian besar peserta yang berusia menengah muda dan peserta berusia menengah tua sepakat bahwa tidak boleh adalagi diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bidang. Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama baik dalam ranah privat maupun publik. Hal ini seperti yang diungkapkan seorang responden sebagai berikut: “…Sekarang sudah zaman emansipasi, perempuan bukan hanya punya tugas ngurusin rumah dan anak, tapi boleh juga ikut bantu keluarganya dengan bekerja sesuai kemampuannya. Selain itu, perempuan juga bisa jadi pemimpin kalo memang mampu…” Ibu SN (43 tahun), warga RT 09.
Pada kenyataannya, ketidakadilan pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di RW 04 Desa Gunungsari ini, bukan antara laki-laki dan perempuan, tapi antara sesama perempuan peserta. Ketidakadilan ini menurut penuturan seorang warga adalah perbedaan antara peserta kader dan non-kader. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Tingkat pendidikan yang dibedakan antara tamatan SD sampai SMP dan tamatan SMA sampai PT dihubungkan dengan tahap ketiga dari keberdayaan perempuan menggunakan tabel tabulasi silang dan didukung dengan uji korelasi rank spearman. Tabel 17 menunjukkan terdapat kecenderungan hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kesadaran kritis. Tabel 17 Tingkat Kesadaran Kritis Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan tingkat pendidikan Rendah Jumlah
% 0 3 3
Tingkat Pendidikan Tinggi Jumlah % 0.0 7 100.0 20 100.0 27
26.0 74.0 100.0
64
Mayoritas (100.0%) perempuan peserta dengan tingkat pendidikan rendah memiliki tingkat kesadaran kritis tinggi. Mereka menganggap peran gender bukan suatu kodrat. Menurut mereka, perempuan memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam ranah publik. Perempuan tidak melulu baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Setelah variabel tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran kritis dalam program pengelolaan sampah rumah tangga ini diuji menggunakan uji korelasi rank spearman, didapatkan nilai α sebesar 0.331. Nilai tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara variabel tingkat pendidikan dengan tingkat kesadaran kritis, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Hal ini karena, peserta dengan tingkat pendidikan tinggi juga masih ada (26%) yang memiliki tingkat kesadaran kritis rendah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang perempuan peserta lulusan perguruan tinggi sebagai berikut: “…Walaupun sekarang perempuan banyak yang bekerja, tapi tetep tugas utamanya itu ngurus anak dan suami. Jadi tetep pekerjaannya itu ga boleh mengganggu tugas utama perempuan, karena memang kodratnya perempuan itu mengurus rumah tangga…”…Ibu NJ (47 tahun), warga RT 02.
Hubungan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan dengan Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan merupakan variabel lain dari status sosial dan ekonomi yang dihubungkan dengan tahapan ketiga dari keberdayaan perempuan. Kedua variabel tersebut dihubungkan dengan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 18 Tingkat Kesadaran Kritis Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan Rendah Tinggi Jumlah % Jumlah % 2 33.3 7 29.2 4 66.7 17 70.8 6 100.0 24 100.0
Tabel 18 juga menunjukkan tidak terdapat kecenderungan hubungan antara tinggi keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kesadaran kritis perempuan. Baik peserta yang memiliki tingkat keterlibatan organisasi rendah maupun tinggi, didominasi (66.7% dan 70.8%) oleh tingkat kesadaran kritis tinggi. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman menunjukkan nilai α sebesar 0.679. Nilai tersebut bermakna kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan signifikan, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Oleh karena itu, tidak terdapat hubungan antara tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kesadaran kritis perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari.
65
Hal ini karena, sebanyak 29.2 persen perempuan yang memiliki tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan tinggi juga masih belum menyadari diskriminasi perempuan dalam bidang sosial dan ekonomi. Mereka masih menganggap hal itu wajar, karena kodrat perempuan statusnya lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang responden yang menjabat sebagai sekretaris UPPKS sebagai berikut: “…Saya sih ga terlalu mempermasalahkan kalo antara perempuan dan laki-laki sering dibedakan. Memang sudah kodratnya laki-laki itu statusnya lebih tinggi dibandingkan perempuan…”-Ibu U (44 tahun), warga RT 02.
Sementara itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ketidakadilan dalam program ini bukan antara laki-laki dan perempuan. Namun, antara peserta perempuan yang kader dan non-kader. Seorang peserta yang bukan kader mengatakan bahwa pendamping lebih mengutamakan para kader dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Peserta kader lebih banyak mendapat pendampingan dan pelatihan. Hal ini seperti penuturan seorang responden sebagai berikut: “…Program ini lebih banyak melibatkan kader. Peserta bukan kader kaya saya paling berapa orang. Kader-kader itu yang paling sering diajak diskusi atau pelatihan sama CSR. Kaya waktu pelatihan ke Mampang aja yang ikut paling banyak itu ya yang kader. Selain itu, kalo ada pameran ke Jakarta yang ikut juga kaderkader aja, saya sih paling nitip hasil kerajinan dari limbah plastik yang saya bikin buat dijual…”-Ibu LEJK (44 tahun), warga RT 06.
Hubungan Tingkat Perilaku Keinovatifan dengan Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan Hubungan tingkat perilaku keinovatifan dengan tingkat kesadaran kritis perempuan diuji menggunakan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Hasilnya pada tabel 19 tidak terdapat kecenderungan antara tingkat perilaku keinovatifan dengan tingkat kesadaran kritis. Baik peserta yang memiliki perilaku keinovatifan rendah maupun tinggi mayoritas (76.0% dan 77.8%) memiliki tingkat kesadaran kritis tinggi. Tabel 19 Tingkat Kesadaran Kritis Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis perempuan dan tingkat perilaku keinovatifan Rendah Jumlah
% 5 16 21
Tingkat Perilaku Keinovatifan Tinggi Jumlah % 24.0 2 76.0 7 100.0 9
22.2 77.8 100.0
Setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman didapat nilai α sebesar 0.928. Nilai tersebut bermakna kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan signifikan, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Oleh karena itu, tidak terdapat hubungan antara tingkat perilaku keinovatifan dengan tingkat kesadaran kritis perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari.
66
Hal ini karena, baik peserta yang memiliki perilaku keinovatifan rendah memiliki pandangan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan harus lebih setara. Perempuan yang memiliki potensi sama dengan laki-laki menurut mereka haruslah memiliki kesempatan yang sama juga, terutama dalam ranah produktif. Hal ini seperti penuturan seorang peserta sebagai berikut: “…Menurut saya perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk mencari nafkah. Buat apa cape-cape sekolah tinggi, punya ilmu, punya kemampuan tapi ujung-ujungnya hanya diam di rumah cuma ngurus anak sama suami. Tugas ngurus rumah tangga itu penting, tapi kalo perempuan itu berkemampuan tidak boleh jadi alasan untuk perempuan itu dilarang bekerja…”- Ibu SN (43 tahun), warga RT 01.
Hubungan Usia dengan Tingkat Partisipasi Perempuan Tingkat partisipasi perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP dilihat melalui keikutsertaannya dalam tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan. Tahapan tersebut diantaranya, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Selanjutnya, usia dengan tingkat partisipasi perempuan dihubungkan dengan tabel tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman. Tabel 20
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan usia
Tingkat Partisipasi
Muda Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
Usia Tua % 4 4 8
Jumlah 50.0 50.0 100.0
% 10 12 22
45.5 54.5 100.0
Tabel 20 menunjukkan terdapat kecenderungan semakin tua usia, maka semakin tinggi tingkat partisipasi perempuan peserta dalam program pengelolaan sampah rumah tangga. Peserta yang berusia menengah tua mayoritas (54.5%) memiliki tingkat partisipasi tinggi. Artinya, mereka terlibat aktif dalam seluruh tahapan dari program pengelolaan sampah rumah tangga. Namun, hasil uji korelasi rank spearman menghasilkan nilai α sebesar 0.833. Nilai tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara 2 variabel tersebut, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Hal ini karena, masih ada sebanyak 45.5 persen peserta berusia menengah tinggi dan 50 persen peserta berusia menengah rendah yang memiliki tingkat partisipasi rendah. Mereka kebanyakan hanya mengikuti perencanaan sampai implementasi atau bahkan hanya mengikuti tahap implementasi. Peserta yang biasanya seluruh tahapan adalah peserta yang aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan memiliki jabatan sebagai ketua/ sekretaris/ bendahara/ kepala bidang. Oleh karena itu, usia tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari.
67
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Partipasi Perempuan Tingkat pendidikan dihubungan dengan tingkat partisipasi perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Pada program pengelolaan sampah rumah tangga, mayoritas (90%) peserta memiliki tingkat pendidikan tinggi yaitu tamatan SMA sampai perguruan tinggi, sedangkan tingkat pendidikan rendah hanya sebesar 10 persen dari seluruh peserta program. Tabel 21
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan tingkat pendidikan
Tingkat Partisipasi
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 2 1 3
Tingkat Pendidikan Tinggi Jumlah % 66.7 12 33.3 15 100.0 27
44.4 55.6 100.0
Tabel 21 menunjukkan terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tingkat partisipasi perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga. Sebagian besar (55.6%) peserta dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki tingkat partisipasi tinggi. Mereka adalah peserta tamatan SMA sampai perguran tinggi yang aktif sebagai kader, sehingga mengikuti perencanaan, implementasi, dan evaluasai dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari. Namun, setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman didapat nilai α sebesar 0.481. Nilai tersebut berarti tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat partisipasi perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Hal ini karena, pendidikan formal tidak terlalu dipentingkan, tapi lebih dipentingkan keterampilan mendaur ulang sampah, terutama keterampilan membuat kerajinan dari limbah plastik. Selain itu, tidak semua peserta yang memiliki tingkat pendidikan tinggi aktif berpartisipasi dalam seluruh tahapan program. Hal ini karena, mereka merasa bukan kader, sehingga tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti seluruh tahapan program. Hal ini seperti penuturan seorang responden, tamatan SMA sebagai berikut: “…Saya males ikut rapat perencanaan sama evaluasi, karena itu kan tugasnya kader. Saya sih ikut waktu pelaksanaannya aja….”-Ibu V (46 tahun), warga RT 01.
Hubungan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan dengan Tingkat Partisipasi Perempuan Keterlibatan organisasi merupakan salah satu variabel dari status sosial dan ekonomi. Sebagian besar peserta program pengelolaan sampah rumah tangga aktif mengikuti organisasi, sebagai kader. Selanjutnya, tingkat keterlibatan organisasi kemasyarakatan dihubungkan dengan tingkat partisipasi perempuan. Kedua variabel dihubungkan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman.
68
Tabel 22 Tingkat Partisipasi Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan tingkat organisasi kemasyarakatan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan Rendah Tinggi Jumlah % Jumlah % 5 83.3 9 37.5 1 16.7 15 62.5 6 100.0 24 100.0
Tabel 22 menunjukkan terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat keterlibatan dalam organisasi, maka semakin tinggi tingkat partisipasi perempuan. Kemudian, hasil uji korelasi rank spearman didapatkan nilai α sebesar 0.046. Angka tersebut menunjukkan hubungan kedua variabel tersebut signifikan, karena nilai α lebih kecil dari 0.10. Selain itu didapat nilai koefisien korelasi sebesar 0.367. Hasil tersebut menunjukkan hubungan kedua variabel positif liner dan cukup kuat. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat keterlibatan dalam organisasi, maka kemungkinan besar semakin tinggi partisipasi perempuan. Hal ini karena, pada program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP perempuan yang lebih banyak berpartisipasi dalam setiap tahapan kegiatan adalah perempuan yang aktif dalam organisasi. Peran perempuan sebagai kader membuat mereka memiliki tanggung jawab lebih untuk mengikuti seluruh rangkaian kegiatan. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah satu responden, sebagai berikut: “…Biasanya yang wajib ikut rapat-rapat untuk perencanaan kegiatan itu kader. Setelah mereka rapat baru nanti dikasih tau ke ibu-ibu yang lain. Kalo warga biasa kaya saya sih tinggal ikut pelaksanaannya aja…”-Ibu R (42 tahun), warga RT 06.
Hubungan Tingkat Perilaku Keinovatifan dengan Partisipasi Perempuan Tingkat perilaku keinovatifan dilihat berdasarkan pola hubungan (kosmpolit atau lokalit) dengan kecepatan waktu untuk menerima dan melaksanakan kegiatan dihubungkan dengan partisipasi perempuan. Kedua variabel tersebut dihubungkan dengan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 23 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan tingkat perilaku keinovatifan Tingkat Partisipasi
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 10 11 21
Tingkat Perilaku Keinovatifan Tinggi Jumlah % 47.6 4 52.4 5 100.0 9
44.4 55.6 100.0
69
Tabel 23 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan hubungan perilaku keinovatifan dengan tingkat partisipasi perempuan. Baik peserta yang memiliki tingkat perilaku keinovatifan tinggi maupun tingkat perilaku keinovatifan rendah, sama-sama didominasi (52.4% dan 55.6%) oleh tingkat partisipasi tinggi.Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman menghasilkan nilai α sebesar 0.878 untuk hubungan kedua variabel tersebut. Hasil ini menunjukkan tidak terdapat hubungan siginifkan antara kedua variabel, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Peserta yang memiliki perilaku keinovatifan rendah mayoritas (52.4%) memiliki lebih banyak waktu di rumah, sehingga dapat mengikuti seluruh tahapan program dari perencanaan sampai evaluasi. Selain itu, peserta dengan tingkat perilaku keinovatifan tinggi juga mayoritas (55.6%) memiliki tingkat partisipasi tinggi. Alasannya, mereka yang memiliki tingkat perilaku keinovatifan tinggi juga aktif mengikuti organisasi (kader), sehingga mereka memiliki kewajiban lebih untuk mengikuti seluruh tahapan program. Selain itu, meskipun peserta yang memiliki tingkat perilaku keinovatifan tinggi sibuk dengan aktivitasnya di luar RW 04, tapi mereka merasa kegiatan ini bermanfaat, sehingga merekapun tetap mengusahan untuk hadir dalam seluruh tahapan program. Hal ini seperti pernyataan salah seorang responden sebagai berikut: “…Walaupun saya hampir setiap hari nganter-nganterin barang dan nagih-nagih kreditan. Saya selalu mengusahakan untuk ikut rapat dan kegiatan pengelolaan sampah ini. Soalnya saya ngerasa mendapat manfaat dari kegiatan ini seperti punya keterampilan baru membuat kerajinan dari limbah plastik, lingkungan jadi lebih bersih rapi karena ada pengelolaan sampah yang baik, dan yang paling penting saya ngerasa lebih dekat dekat dan kompak dengan ibu-ibu lain, karena lebih sering bertemu…”-Ibu TS (44 tahun), warga RT 02.
Hubungan Usia dengan Tingkat Kontrol Perempuan Kontrol menurut March et. al (1999) merupakan kekuasaan untuk memutuskan penggunaan sumberdaya serta siapa yang berhak untuk mengaksesnya. Pada penelitian ini tingkat kontrol dinilai terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak hanya terkait dengan program, tapi dalam skala lebih luas yaitu terhadap semua program CSR PT ITP di tingkat desa. Kontrol skala desa ini, dilakukan pada saat forum Bilikom (Bina Lingkungan Komunikasi) yang mempertemukan antara pihak CSR PT ITP, aparat Desa Gunungsari, dan masyarakat. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol perempuan dan usia Tingkat Kontrol Jumlah Rendah Tinggi Jumlah
Usia Tua
Muda % 5 3 8
Jumlah 62.5 37.5 100.0
% 22 0 22
100.0 0.0 100.0
70
Tabel 24 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan antara variabel usia dengan tingkat kontrol. Baik usia menengah muda maupun tua didominasi (62.5% dan 100%) dengan tingkat kontrol rendah. Namun, setelah diuji menggunkan uji korelasi rank spearman didapat nilai α sebesar 0.002. Hal ini berarti terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel, karena nilai α lebih kecil dari 0.10. Selain itu, didapat nilai koefisien korelasi sebesar -0.553 yang berarti hubungan kedua variabel negatif linier dan kuat. Dapat disimpulkan semakin muda usia peserta, maka semakin tinggi tingkat kontrol perempuan peserta terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan bantuan dalam program, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan desa. Peserta sebanyak 37.5 persen yang masuk kategori tingkat kontrol tinggi adalah peserta berusia menengah muda. Beberapa peserta tersebut selain masuk kategori usia menengah muda, mereka bekerja sebagai anggota Badan Pengawasan Desa (BPD) dan seorang guru sekolah di Desa Gunungsari, sehingga dapat menetukan pembangunan desa melalui forum Bilikom. Hal ini seperti penuturan seorang responden yang masuk kategori usia menengah muda, sebagai berikut: “…Saya bisa ikut Bilikom karena sekarang jadi anggota BPD, kalo saya bukan anggota BPD mungkin saya ga akan pernah ikutan Bilikom…”-Ibu SW (39 tahun), warga RT 05.
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Kontrol Perempuan Tingkat pendidikan dihubungkan dengan tingkat kontrol perempuan terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 25 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kontrol. Baik tingkat pendidikan rendah, maupun tingkat pendidikan tinggi didominiasi tingkat kontrol rendah (100% dan 88.9%). Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman terhadap 2 variabel tersebut menghasilkan nilai α sebesar 0.559 yang berarti tidak terdapat hubungan signifikan. Hal ini karena, peserta yang memiliki tingkat kontrol tinggi adalah mereka yang memiliki peran aktif serta posisi yang tinggi dalam organisasi kemasyarakatan, misalnya ketua kader RW. Oleh karena itu, peserta dengan tingkat pendidikan tinggi belum tentu memiliki memiliki tingkat kontrol tinggi, jika tidak memiliki posisi yang tinggi dalam organisasi. Oleh karena itu, tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Tabel 25
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol perempuan dan tingkat pendidikan
Tingkat Kontrol
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 3 0 3
Tingkat Pendidikan Tinggi Jumlah % 100.0 24 0.0 3 100.0 27
88.9 11.1 100.0
71
Hubungan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan dengan Tingkat Kontrol Perempuan Tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kontrol perempuan terhadap penentuan kebutuhan, pemanfaatan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan desa melalui forum bilikom dihubungkan melalui tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 26 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan antara tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kontrol perempuan. Selain itu, hasil uji korelasi rank spearman pada variabel tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dengan tingkat kontrol perempuan menghasilkan nilai α sebesar 0.379. Nilai tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel. Hal ini karena, tingkat kontrol tidak hanya dipengaruhi oleh keterlibatan dalam organisasi, tapi juga posisi peserta dalam organisasi tersebut. Tabel 26 Tingkat Kontrol Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol perempuan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Kemasyarakatan Rendah Tinggi Jumlah % Jumlah % 6 100.0 21 87.5 0 0.0 3 12.5 6 100.0 24 100.0
Peserta yang memiliki tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan tinggi mayoritas (87.5%) memiliki tingkat kontrol rendah. Hal tersebut, karena kontrol dimiliki oleh ketua kader RW 04. Pada prosesnya ketua kader mendiskusikan dengan peserta yang mengikuti rapat. Rapat tersebut biasanya hanya dihadiri oleh para kader. Setelah itu ketua kader mengambil keputusan. Tahap berikutnya, keputusan diajukan kepada pihak pendamping. Barulah pihak pendamping CSR yang menentukan keputusan akhirnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang responden, sebagai berikut: “…Biasanya kebutuhan dan pemanfaatan bantuan untuk kegiatan ini dibahas saat ada pertemuan di pendopo. Seluruh peserta diundang, tapi biasanya yang datang hanya kader-kadernya aja. Dalam pertemuan itu, semua peserta bisa memberikan usul. Kemudian keputusan diambil oleh bu RW dan diajukan kepada pendamping CSR. Nah pendamping CSR lah nanti yang punya kuasa untuk menentukan semuanya…”-Ibu F (44 tahun), warga RT 04.
Sementara itu, pengambilan keputusan di tingkat desa untuk kegiatan CSR dilakukan dengan menghadiri forum Bilikom. Pada forum itu, setiap yang hadir dapat mengajukan usul kegiatan yang sesuai dengan dua program CSR yaitu Program Lima Pilar dan Sustainable Develepment Program. Namun, tidak seluruh perempuan peserta program pengelolaan sampah rumah tangga pernah menghadiri forum tersebut. Hanya peserta yang juga bekerja di desa, Ketua Kader RW 04 sekaligus Ketua UPPKS, dan seorang guru yang pernah menghadiri forum tersebut.
72
Hubungan Tingkat Perilaku Keinovatifan dengan Tingkat Kontrol Perempuan Tingkat perilaku keinovatifan yang terdiri atas kekosmpolitan peserta dan waktu mengikuti kegiatan CSR PT ITP. Kemudian variabel tersebut dihubungkan dengan tingkat kontrol perempuan terhadap penenutan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan menggunakan tabel tabulasi silang dan uji korelasi rank spearman. Tabel 27 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol perempuan dan tingkat perilaku keinovatifan Tingkat Kontrol
Rendah Jumlah
Rendah Tinggi Jumlah
% 20 1 21
Tingkat Perilaku Keinovatifan Tinggi Jumlah % 95.2 7 4.8 2 100.0 9
77.8 22.2 100.0
Tabel 27 menunjukkan tidak terdapat kecenderungan antara tingkat perilaku keinovatifan dengan tingkat kontrol perempuan terhadap penetapan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan pengambilan keputusan. Selain itu, setelah diuji menggunakan uji korelasi rank spearman didapat nilai α sebesar 0.154. Nilai tersebut berarti tidak terdapat hubungan signifikan antara kedua variabel, karena nilai α lebih besar dari 0.10. Hal ini karena, tingkat kontrol lebih banyak dipengaruhi oleh posisinya di dalam organisasi masyarakat. Pada kegiatan pengeloalaan sampah rumah tangga CSR PT ITP yang memiliki kontrol paling besar diantara peserta adalah ketua kader RW 04, sedangkan keputusan akhir dimiliki oleh pendamping CSR. Ikhtisar Peserta program pengelolaan sampah rumah tangga mayoritas berada pada usia menengah tua (≥41 tahun), tingkat pendidikan tinggi (SMA sampai perguruan tinggi), tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan tinggi (kader), dan tingkat perilaku keinovatifan rendah. Variabel karakteristik perempuan yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan perempuan diantaranya adalah tingkat pendidikan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan. Hal ini karena, perempuan peserta dengan tingkat pendidikan tinggi dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan tinggi, aktif mengikuti program sehingga memiliki tingkat kesejahteraan tinggi. Pada tingkat akses, variable karakteristik yang berhubungan adalah tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dan tingkat perilaku keinovatifan. Hal ini karena, peserta yang memiliki tingkat perilaku keinovatifan tinggi didominasi oleh kader sehingga memiliki tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan yang juga tinggi. Sementara itu, karakteristik perempuan tidak memiliki hubungan dengan tingkat kesadaran kritis perempuan.
73
Selanjutnya, variabel karakteristik perempuan yang berhubungan dengan tingkat partisipasi perempuan adalah tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan. Pada program ini hanya kader yang mengikuti seluruh tahapan program, sementara peserta yang bukan kader hanya mengikuti pelaksanaan program. Terakhir, variabel karakteristik perempuan yang berhubungan dengan tingkat kontrol perempuan adalah keputusan pembangunan desa adalah usia. Semakin muda usia peserta, maka tingkat kontrol semakin tinggi. Hal ini, karena para peserta merupakan bekerja sebagai BPD dan guru yang mewakili sekolahnya untuk mengikuti Bilikom. Oleh karena itu, kesimpulan dari hasil analisis hubungan antara karaktersitik perempuan dengan keberdayaan perempuan, perempuan yang memiliki tingkat keberdayaan tinggi adalah yang berusia <41 tahun, memiliki tingkat pendidikan tinggi, tingkat keterlibatan dalam organisasi tinggi, dan tingkat perilaku keinovatifan tinggi.
PENUTUP
Simpulan Berdasarkan hasil deskripsi mengenai profil desa, profil PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, analisis tingkat keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, analisis hubungan karakteristik perempuan dengan tingkat keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, dan analisis hubungan tingkat pendampingan dengan tingkat keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Keberdayaan perempuan peserta program sudah mencapai tahap partisipasi dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kesejahteraan, tingkat kesadaran kritis tinggi, dan partisipasi. Namun, pada tahap kedua yaitu tingkat akses mayoritas masuk kategori rendah. 2. Pendampingan dalam program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan partisipasi perempuan peserta. 3. Karakteristik perempuan peserta yang memiliki keberdayaan tinggi dalam program ini adalah perempuan yang berusia <41 tahun, memiliki tingkat pendidikan tinggi, tingkat keterlibatan organisasi tinggi, dan tingkat perilaku keinovatifan tinggi. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya sebagai berikut: 1. Perlunya meningkatkan pendampingan pada peserta yang berusia ≥41 tahun, tingkat pendidikan rendah, tingkat keterlibatan dalam organisasi rendah, dan tingkat perilaku keinovatifan rendah. Hal ini, karena perempuan yang memiliki ciri-ciri tersebut masuk kategori keberdayaan rendah. 2. Perlunya meningkatkan pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam organisasi kemasyarakatan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
[ILO] International Labour Organization. 2013. Tren ketenagakerjaan dan sosial di Indonesia 2013. [Internet]. [diunduh tanggal 6 Mei 2014]. Tersedia pada: http://bit.ly/ILO-TrenKetenagakerjaandanSosialdiIndonesia2013. Anjani FG. 2014. Dinamika pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Endres R. 2011. Corporate social responsibility programs promoting women’s economic empowerment: a proposed analysis of effective practices. [Internet]. [diunduh 2014 April 8]. Tersedia pada: http://bit.ly/corporatesocialresponsibilityprogramspromotingwomeneconomic empowermentproposedanalysisofeffectivepractice. Fanariotu I, Skuras D. 2002. The contribution of scenic beauty indicators in estimating environmental welfare measures: a case study. J Social Indicators Research [Internet]. [diunduh 2015 Januari 15]; 65: 145-165. Tersedia pada: http://bit.ly/1yI2Jke. Handayani T, Sugiarti. 2005. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang (ID): UMM Press. Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Press. Indocement. [Tidak ada tahun]. Melangkah Bersama Masyarakat. Bogor (ID): Indocement. Indocement. 2012. Pengenalan Corporate Social Responsibility PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Bogor (ID): Indocement. Indocement. 2014. Sekilas Indocement. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 13]. Tersedia pada: http://www.indocement.co.id/aspx/content.aspx?id=68. March C, Smyth I, Mukhopadhyay M. 1999. A guide to Gender-Analysis Frameworks. London (UK): Oxfam. Mardikanto T. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta (ID): UNS Press. Mugniesyah SS. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah SS. 2006. Materi Bahan Ajar Pendidikan Orang Dewasa. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Muktiono. 2009. Penegakan hak atas demokrasi kelompok rentan dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dalam sudut pandang hak asasi manusia. J Konstitusi PPK Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. [Internet]. [diunduh 2014 April 7]; 2(1): 8-32. Tersedia pada: www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurnal/pdf/ejurnal _Jurnal%20Konstitusi%20UNIBRAW%20Vol%202%20no%201.pdf#.
76
Mulkhan U, Pratama MA. 2011. Peran pemerintah dalam kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan (sustainable development). J Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 27]; 2(1): 274-281. Tersedia pada: HTTP://PUBLIKASI.FISIP.UNILA.AC.ID/INDEX.PHP/ADMINISTRATIO/ ARTICLE/VIEW/99/101. Prasodjo NW. 2012. Profil Komunitas Desa Gunungsari. Bogor: Indocement. Putra YHS, Yuliana I, dan Rahayu YS. 2012. Pendampingan kemitraan pengelolaan limbah botol plastik menjadi produk bernilai ekonomis pada masyarakat Desa Girimoyo Karangploso Malang. [Internet]. [diunduh 2014 April 7]. Tersedia pada: http://www.journal.unipdu.ac.id/index.php/seminas/article/view/146/93. Rakhmat A. 2013. Good Corporate Governance (GCG) sebagai prinsip implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) (studi kasus pada community development center PT Telkom Malang). J Skripsi. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 12]: 1-13. Tersedia pada: http://www.jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/313/260. Sartika I. 2011 Juli. Evaluasi kebijakan pemberdayaan nelayan. J Ilmu Administrasi Negara. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 20]; 11 (02): 111-124.Tersedia pada: http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIANA/article/view/592/585. Singarimbun M, Effendi S. 1987. Metode Penelitian Survai. Yogyakarta (ID): LP3ES. Soesilowati E, Indriyanti DR, dan Widiyanto. 2011 Juni. Model corporate social responsibility dalam program pemberdayaan petani hortikultura. J Ekonomi Pembangunan. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 12]; 12 (01): 102-117. Tersedia pada: http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/1311. Suharto E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bogor (ID): Refika Aditama. Waskita D. 2005 September. Komunikasi pembangunan untuk pemberdayaan. J Organisasi dan Manajemen. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 20]; 01 (01): 3240. Tersedia pada: http://scholar.google.com/scholar?hl=en&q=Komunikasi+Pembangunan+untu k+Pemberdayaan&btn. Waskito J dan Harsono M. 2012. Green Consumer: deskripsi tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat Joglosemar terhadap kelestarian lingkungan. J Dinamika Manajemen. [Internet]. [diunduh 2104 Oktober 21]; 03 (01): 29-39. Tersedia pada: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jdm. Wibisono Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik (ID): Fascho. Windiani. 2011 Oktober. Pemberdayaan dan perlindungan pekerja perempuan borongan di rumah: sebuah alternatif pengentasan kemiskinan di perkotaan. J Sosiologi Islam. [Internet]. [diunduh 2014 Maret 12]; 01 (02): 21-30. Tersedia pada: http://jsi.uinsby.ac.id/index.php/jsi/article/view/10.
LAMPIRAN
78
Lampiran 1 Denah lokasi penelitian
Sumber: Anjani (2014) Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian
Kegiatan Penyusunan proposal penelitian Kolokium Perbaikan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skrpsi Perbaikan skripsi
Juni 1 2 3
4
September 1 2 3 4
Oktober 1 2 3 4
November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
79
Lampiran 3 Daftar nama responden penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama SN YM SSL V M Y U NJ RDA W TS SR W SW ATKS EG YK S AM F SW SS R J LEJK SP DH SCN H ER
RT 01 01 01 01 01 01 02 02 02 02 03 03 03 03 04 04 04 04 04 04 05 05 06 06 06 06 06 07 08 09
Usia 43 39 38 46 44 40 42 47 42 40 44 37 48 47 42 46 48 44 39 44 39 44 42 42 44 45 44 50 44 32
80
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
Nomor Responden Hari, Tanggal Survei Tanggal Entri Data KUESIONER Dengan hormat, Saya Nindya Dewinta, Mahasiswi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, akan melakukan penelitian mengenai “Peran Pendamping dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk dan Keberdayaan Perempuan”. Kuesioner ini merupakan instrumen dari penelitian saya yang digunakan untuk mengumpulkan data dari responden. Melalui kuesioner ini saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ibu/Saudari, besar harapan saya pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan jujur. Informasi yang diterima dari kuesioner ini bersifat RAHASIA dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian. Atas waktu yang disiapkan untuk pengisian kuesioner ini, saya mengucapkan terimakasih. DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 I. IDENTITAS DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN : _________________________ 1. Nama 2. Alamat : _________________________ 3. Nomor HP/ telepon : _________________________ Karakteristik Pribadi 4. Usia
: _____ tahun
Status Sosial Ekonomi 5. Apa pendidikan terakhir Anda? _____ 1. Tamat SD 2. Tamat SMP 3. Tamat SMA 4. Tamat Perguruan Tinggi 6. Apakah Anda mengikuti organisasi masyarakat? a. Ya b. Tidak
81
7. Organisasi apa yang Anda ikuti? ____________________ 8. Menjabat sebagai apa Anda dalam organisasi tersebut? a. Ketua b. Sekretaris/ bendahara/ kepala bidang atau seksi c. Anggota Perilaku Keinovatifan 9. Apakah Anda lebih sering bergaul/ berinteraksi dengan masyarakat di luar komunitas RW 04 Desa Gunungsari? a.Ya b. Tidak 10. Pada tahun berapa Anda mengikuti program pengelolaan sampah anorganik? __ 1. >2009 2. 2009 II. Keberdayaan Perempuan Tingkat Kesejahteraan 11. Berapa keseluruhan pendapatan yang Anda peroleh setiap bulannya? a. Kerja nafkah, sebagai______________Jumlah pendapatan_________ b. Kerja sosial, sebagai___________Jumlah pendapatan_____________ c. Kerja serabutan, sebagai___________Jumlah pendapatan__________ d. Arisan, jumlah pendapatan___________________________________ e. Kegiatan bank sampah, jumlah pendapatan______________________ f. Kegiatan daur ulang sampah, jumlah pendapatan_________________ g. Lainnya, sebagai______________Jumlah pendapatan_____________ Kesadaran Lingkungan 12. Apakah Anda mengetahui tentang pelestarian lingkungan? a.Ya b. Tidak 13. Apa saja bentuk pelestarian lingkungan? __________________________ ___________________________________________________________ 14. Apakah Anda setuju dengan pelestarian lingkungan? a.Ya b. Tidak 15. Apakah Anda melakukan pelestarian lingkungan? a.Ya b. Tidak 16. Kegiatan pelestarian lingkungan apa saja yang Anda lakukan? a. Membuang sampah pada tempatnya b. Memilah sampah organik dan anorganik c. Mendaur ulang sampah organik d. Mendaur ulang sampah anorganik e. Menanam pohon f. Merawat pohon g. Membersihkan lingkungan sekitar rumah
82
Tingkat Akses 17. Apakah Anda mendapat pendampingan dari CSR PT Indocement melalui program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 18. Berapa kali Anda mendapat pendampingan dalam setahun? _____ 1. 1-4 kali 2. 5-8 kali 3. 9-12 kali 19. Apakah Anda mendapat pelatihan dari CSR PT Indocement melalui program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 20. Berapa kali Anda mendapat pelatihan dalam setahun? _____ 1. 1-4 kali 2. 5-8 kali 3. 9-12 kali 21. Apa jenis pelatihannya? ________________ Tingkat Kesadaran Kritis 22. Apakah Anda merasa ada ketidakadilan atas anggapan bahwa posisi perempuan lebih rendah dalam ekonomi (upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki)? a. Ya b. Tidak 23. Berikan penjelasan Anda? _____________________________________ ___________________________________________________________ Apakah Anda merasa ada ketidakadilan atas anggapan bahwa posisi perempuan lebih rendah dalam sosial (perempuan tidak perlu menjadi pemimpin jika masih ada laki-laki)? a. Ya b. Tidak 24. Berikan penjelasan Anda? _____________________________________ ___________________________________________________________ Apakah anda merasa ada ketidakadilan atas anggapan perempuan bekerja di rumah (membersihkan rumah, mengurus anak, dan lainnya), sedangkan laki-laki bekerja mencari nafkah? a. Ya b. Tidak 25. Berikan penjelasan Anda? _____________________________________ ___________________________________________________________ Tingkat Partisipasi 26. Apakah Anda dilibatkan dalam proses perencanaan program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak
83
27. Apa bentuk keterlibatan Anda dalam proses perencanaan program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Mendengarkan b. Mengusulkan c. Bertanya d. Memutuskan 28. Apakah Anda dilibatkan dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? b. Tidak a. Ya 29. Apa bentuk keterlibatan Anda dalam pelaksanaan program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Menyumbang tenaga b. Menyumbang uang c. Meminjamkan sarana dan prasarana 30. Apakah Anda dilibatkan dalam proses evaluasi program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 31. Apa bentuk keterlibatan Anda dalam proses evaluasi program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Mendengarkan b. Bertanya c. Menceritakan d. Memutuskan Tingkat Kontrol 32. Apakah Anda dapat menentukan sendiri kebutuhan yang diperlukan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 33. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ Apakah Anda dapat menentukan sendiri pemanfaatan bantuan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 34. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ Apakah Anda pernah mengikuti Bilikom? a. Ya b. Tidak 35. Apa bentuk keterlibatan Anda dalam Bilikom? 1. Mendengarkan 2. Mengusulkan 3. Bertanya 4. Memutuskan
84
III. Tingkat pendampingan Fasilitator 36. Apakah pendamping CSR PT Indocement menentukan syarat/kriteria masyarakat yang akan dilibatkan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 37. Apa syarat/ kriterianya ? _________________________________ ___________________________________________________________ Apakah pendamping CSR PT Indocement memfasilitasi pendidikan Anda pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 38. Apa bentuk pendidikan yang difasilitasi? _______________ ___________________________________________________________ Apakah pendamping CSR PT Indocement mendorong kegiatan bersama/ kelompok pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 39. Apa bentuknya? __________________________________________ ___________________________________________________________ Apakah pendamping CSR PT Indocement membantu mencari/ mengenali permasalahan yang akan diselesaikan terkait program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 40. Apa masalahnya? __________________________________________ ___________________________________________________________ Apakah pendamping CSR PT Indocement membantu merancang solusi atas masalah terkait program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? a. Ya b. Tidak 41. Apa solusinya? ____________________________________________ ___________________________________________________________ Broker 42. Apakah pendamping CSR PT Indocement menghubungkan peserta dengan barang-barang yang diperlukan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 43. Sebutkan barang-barang tersebut? ________________________________ ___________________________________________________________ ___________________________________________________________ 44. Apakah pendamping CSR PT Indocement menghubungkan peserta dengan pelayanan (pelatihan) yang diperlukan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak
85
45. Sebutkan pelayanan tersebut? _____________________________ ___________________________________________________________ Apakah pendamping CSR PT Indocement melakukan pengontrolan terkait pemberian barang dan pelatihan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 46. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ Mediator 47. Apakah pendamping CSR PT Indocement mendorong komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 48. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ 49. Apakah pendamping CSR PT Indocement berkomunikasi dengan cara membujuk secara halus (perusasif) pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 50. Apa contohnya? ______________________________________ ___________________________________________________________ Pembela 51. Apakah pendamping CSR PT Indocement berperan membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan semua pihak (masyarakat dan perusahaan) pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 52. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ 53. Apakah pendamping CSR PT Indocement mendukung partisipasi/ keterlibatan masyarakat pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 54. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ 55. Apakah pendamping CSR PT Indocement mendorong pembuat keputusan untuk mempertimbangkan minat dan kepentingan masyarakat pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 56. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________
86
Pelindung 57. Apakah pendamping menentukan masyarakat yang harus mengikuti program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 58. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ Apakah pendamping berkomunikasi dengan masyarakat yang terpengaruh pada program pengelolaan sampah rumah tangga di Desa Gunungsari? 1. Ya 2. Tidak 59. Apa contohnya? ___________________________________________ ___________________________________________________________ Lampiran 5 Pedoman wawancara informan Informan: Pihak PT Indocement Tungal Prakarsa Tbk Hari/ Tanggal Wawancara Lokasi Wawancara Nama dan Umur Informan Jabatan
: : : :
1. Bagaimana sejarah PT Indocement Tungal Prakarsa Tbk mulai melaksanakan CSR? Kapan mulai mengimplementasikan CSR? 2. Program CSR apa saja yang telah dilakukan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk? Sejak kapan? Apa namanya? Apa bentuk programnya? Dimana dan siapa sasarannya? 3. Apakah ada pihak yang membantu/ bermitra dalam pelaksanaan CSR? Apa perannya? 4. Bagaimana sejarah Program CSR di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 5. Apa latar belakang membuat Program CSR di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 6. Apa dampak yang dirasakan setelah melaksanakan program CSR bagi perusahaan? Informan: Pihak Pendamping CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Hari/ Tanggal Wawancara Lokasi Wawancara Nama dan Umur Informan Jabatan
: : : :
1. Bagaimana proses pendampingan yang dilakukan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk dalam program CSR di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup?
87
2. Apakah masyarakat dilibatkan dalam setiap tahapan pelaksanaan program? 3. Apa kendala dalam pelaksanaan program CSR di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup ? 4. Apa keunggulan program CSR di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 5. Apa perubahan yang terjadi setelah adanya program CSR di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 6. Apa indikator keberhasilan program dan apakah sudah terlaksana? Informan: Ketua Kelompok UPPKS dan Ketua Kader RW 04 Desa Gunungsari 1. Bagaimana sejarah program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04 CSR PT ITP di Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 2. Siapa saja yang terlibat dalam program CSR PT ITP di Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 3. Bagaimana proses pendampingan yang dilakukan CSR PT ITP di Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 4. Perubahan apa yang terjadi setelah ada program pengelolaan sampah rumah tangga di RW 04? Informan: Aparat Desa Gunungsari 1. Program CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk apa saja yang ada di Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 2. Bagaimana keberhasilan program CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk yang ada di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 3. Apa peran pemerintah desa terhadap program CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk di RW 04 Desa Gunung Sari, Kecamatan Citeureup? 4. Bagaimana proses pendampingan yang dilakukan CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk?
88
Lampiran 6 Hasil uji statistik rank spearman TingkatKesejaht Usia Spearman's rho
Usia
Correlation Coefficient
1.000
.202
.
.284
30
30
Correlation Coefficient
.202
1.000
Sig. (2-tailed)
.284
.
30
30
Sig. (2-tailed) N TingkatKesejahteraan
eraan
N
TingkatPendidik TingkatAkses Spearman's rho
TingkatAkses
Correlation Coefficient
1.000
.272
.
.146
30
30
Correlation Coefficient
.272
1.000
Sig. (2-tailed)
.146
.
30
30
Sig. (2-tailed) N TingkatPendidikan
an
N
TingkatKeterlibat TingkatKesadara andalamOrganis nKritis Spearman's rho
TingkatKesadaranKritis
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
TingkatKeterlibatandalamOrg Correlation Coefficient anisasi
Sig. (2-tailed) N
asi
1.000
-.079
.
.679
30
30
-.079
1.000
.679
.
30
30
89
TingkatPartisipa TingkatPerilakuK si Spearman's rho
TingkatPartisipasi
Correlation Coefficient
einovatifan 1.000
.029
.
.878
30
30
.029
1.000
.878
.
30
30
Sig. (2-tailed) N TingkatPerilakuKeinovatifan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Usia Spearman's rho
Usia
Correlation Coefficient
1.000
-.553**
.
.002
30
30
-.553**
1.000
.002
.
30
30
Sig. (2-tailed) N TingkatKontrol
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
TingkatKontrol
N
TingkatPendamp ingan Spearman's rho
TingkatPendampingan
Correlation Coefficient
1.000
.272
.
.146
30
30
Correlation Coefficient
.272
1.000
Sig. (2-tailed)
.146
.
30
30
Sig. (2-tailed) N TingkatAkses
TingkatAkses
N
90
Lampiran 7 Dokumentasi
Sarana dan Prasarana Program
Sarana dan Prasarana Program
Peserta Program
Hasil Karya Program
Sarana dan Prasarana Program
Sarana dan Prasarana Program
Inventaris Hasil Pendapatan Program
Hasil Karya Program
91
RIWAYAT HIDUP
Nindya Dewinta dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 Desember 1993 adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Rahmat dan Dedeh Dahlia. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Gunung Jati tahun 1998-1999, SD Negeri Panaragan I tahun 1999-2005, SMP Negeri 4 Kota Bogor tahun 2005-2008, SMA Negeri 5 Kota Bogor 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN tulis. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti kegiatan di dalam dan luar kampus. Penulis aktif sebagai pengurus Komunitas Sanggar Juara sejak tahun 2012 sebagai anggota divisi taman baca, pada 2013 sebagai wakil presiden, dan pada tahun 2014 sebagai steering committe. Selain itu, penulis juga aktif sebagai anggota divisi advertising pada tahun 2013 di Majalah Komunitas FEMA dan pada tahun 2014 menjadi kepala divisi HRD. Penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan di dalam dan luar kampus. Panitia acara Himasiera Olah talenta divisi Hubungan Masyarakat pada tahun 2012, Sanggar Juara Festival tahun 2012 divisi Hubungan Masyarakat, 2013 sebagai wakil ketua pelaksana, dan 2014 sebagai anggota divisi Hubungan Masyarakat, I-STEP 2013 divisi dokumentasi, dan INDEX FEMA 2013. Selain itu penulis mendapatkan beasiswa PPA selama tahun 2012-2014.