HUBUNGAN PENATALAKSANAAN PERAWATAN LUKA DENGAN KEJADIAN INFEKSI POST SECTIO CAESAREA DI RUANG I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA
SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program S1 Keperawatan
Oleh : DHIAN KURNIATI NIM : 11SP277007
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2015
HUBUNGAN PENATALAKSANAAN PERAWATAN LUKA DENGAN KEJADIAN INFEKSI POST SECTIO CAESAREA DI RUANG I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 1 dr. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA 2
3
Dhian Kurniati Jajuk Kusumawaty Lilis Lismayanti
4
INTISARI Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. Keberhasilan pengendalian infeksi pada tindakan perawatan luka post operasi maupun tindakan invasif lainnya bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada. Tetapi ditentukan oleh kesempurnaan petugas dalam melaksanakan perawatan klien secara benar. Berdasarkan studi pendahuluan telah dilakukan di Ruang I RSUD Rumah Sakit Umum Daerah dr. Sukardjo Kota Tasikmalaya, dimana Ruang I merupakan ruangan khusus pasien post operasi yang salah satunya adalah post operasi section caesarea. Hasil wawancara dengan perawat ruangan selama ini seringkali ditemukan pasien post operasi section caesarea dengan luka terinfeksi. Hasil observasi terhadap kegiatan perawatan luka post operasi sectio caesarea belum sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan SOP. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui untuk mengetahui hubungan penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian yang bersifat analitik kuantitatif dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional, yaitu pengambilan data yang dikumpulkan pada suatu waktu sama untuk lebih mempersingkat waktu. Popolasi dalam penelitian ini adalah semua bidan Di Ruang I Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total populasi yaitu seluruh populasi dijadikan sampel penelitian sebanyak 13 bidan pelaksana. Hasil penelitian menunjukan bahwa penatalaksanaan perawatan luka post sectio caesarea frekuensi tertinggi yaitu kategori cukup yaitu sebanyak 8 orang (61,5%), kejadian infeksi post sectio caesarea frekuensi tertinggi yaitu kategori tidak infeksi yaitu 2 sebanyak 10 orang (76,9%). Hasil analisis chi square (χ ) diketahui adanya hubungan yang signifikan antara penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya karena 2 2 nilai α > ρ value (0,05 > 0,018) dan nilai chi square (χ ) hitung > chi square (χ ) tabel (8,071 > 5,991). Saran agar meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan meningkatkan efektivitas dalam penatalaksanaan luka post sectio caesarea serta memperbaiki SPO agar lebih baik lagi dalam pelaksanaan perawatan luka post sectio caesarea agar dapat meminimalisir kejadian infeksi post sectio caesarea serta agar dapat memberi penkes tentang sectio caesarea dan perawatannya kepada ibu-ibu yang ingin melakukan sectio caesarea. Kata Kunci Kepustakaan Keterangan
: : :
Post Sectio Caesarea, Perawatan Luka, Infeksi 31 Referensi (2005-2013) 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa S1 Keperawatan, 3 Nama Pembimbing I, 4 Nama Pembimbing II
v
RELATIONSHIP MANAGEMENT CARE WOUND WITH INFECTION POST SECTIO CAESAREA IN ROOM I REGIONAL GENERAL HOSPITAL dr. SOEKARDJO 1 TASIKMALAYA 2
3
Dhian Kurniati Jajuk Kusumawaty Lilis Lismayanti
4
ABSTRACT Sectio Caesarea is a way of delivery of a fetus by making an incision in the wall of the uterus through the front wall of the abdomen. The success of the infection control measures postoperative wound care and other invasive measures are not determined by the sophistication of existing equipment. But perfection is determined by the officer in implementing client care properly. Based on preliminary studies have been conducted in Room I Regional General Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya, where I is a special room space postoperative patients, one of which is post surgery section caesarea. Results of the room during the interview with the nurse is often found caesarea section postoperative patients with infected wounds. Results of the observation of postoperative wound care activities sectio caesarea not been fully implemented by SOP. The purpose of this study was to determine to determine the relationship of wound care management with the incidence of infection post sectio caesarea In Regional General Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya. This type of research, including the type of quantitative analytic research using cross sectional approach, the retrieval of data collected at the same time to further shorten the time. Popolasi in this study were all midwives in Room I Regional General Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya. The samples in this study using the technique of the total population that is the entire population sampled were 13 midwives implementing research. The results showed that the wound care management post sectio caesarea highest frequency that category quite as many as 8 people (61,5%), the incidence of infection post sectio caesarea highest frequency category is not an infection that as many as 10 people (76,9%). Results of analysis chi square (χ2) known significant relationship between the management of wound care with the incidence of infection post sectio caesarea In Regional General Hospital dr. Soekardjo Tasikmalaya because the value of α> ρ value (0.05> 0.000) and the value of chi-square (χ2) count> chi-square (χ2) table (24.097> 5.991). Suggestions for improving the quality of nursing services and increase effectiveness in wound management and improved post sectio caesarea standar operasional prosedur so much better in the implementation of post sectio caesarea wound care in order to minimize the incidence of infection post sectio caesarea and in order to give penkes of sectio caesarea and maintenance to the mother mothers who want to do sectio caesarea. Keywords : Bibliography : Description :
Post Sectio Caesarea, wound care, infection 31 reference (2005-2013) 1.Title, 2. Student Name, 3. Name of Supervisor I, 4. Name of Supervisor II
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan berbagai teknik operasi obstetrik mempunyai sejarah yang panjang dan mengesankan. Bentuk-bentuk tindakan operasi telah dikembangkan oleh berbagai ahli obstetrik, sehingga mencapai apa yang diketahui saat ini. Tujuannya untuk mencapai tingkat keselamatan ibu dan anaknya untuk dapat menatap masa depan yang lebih baik. Diketahuai bahwa persalinan sebagaian besar berlangsung dengan aman dan secara alami/spontan dengan kekuatan sendiri. Namun sebagaian kecil memerlukan pertolongan orang lain yang mengkhususkan diri dengan berbagai teknik dan berbagai peralatan yang diciptakannya, menuju tercapainya Ibu dan bayi sehat (Manuaba, 2012). Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan dapat melahirkan bayi yang sempurna dan sehat. Proses persalinan dapat dilakukan melalui jalan lahir (vagina atau persalinan pervaginam) dan persalinan melalui sayatan pada dinding perut dan dinding rahim (persalinan perabdominam) atau di kenal dengan bedah sesar atau sectio caesarea (Progestian, 2010). Sectio Caesarea merupakan prosedur operatif, yang dilakukan di bawah anesthesia sehingga janin, plasenta dan ketuban dilahirkan melalui insisi dinding abdomen dan uterus. Prosedur ini biasanya dilakukan setelah viabilitas tercapai (mis, usia kehamilan lebih dari 24 minggu). Operasi yang paling sering dilakukan adalah sectio caesarea segmen bawah uterus. Biasanya dilakukan insisi garis bikini pada bagian uterus yang kurang aktif dan dengan sedikit otot agar penyembuhan lebih baik (Frase, 2009).
1
2
Firman Alloh SWT dalam penggalan Surat Al-Maidah ayat 32 mengatakan :
…
……
Artinya “……Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya………”QS Al-Maidah Ayat 32. Dalam ayat ini, Alloh SWT memuji setiap orang yang memelihara kehidupan manusia, termasuk didalamnya orang yang menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian dengan melakukan pembedahan section caesarea. Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut; sectio caesarea juga dapat didefinisikan sebagi suatu histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Sectio Caesarea jauh lebih aman berkat kemajuan dalam antibiotik, transfuse darah, anestesi dan teknik operasi yang lebih sempurna. Karena itu, saat ini timbul cenderungan untuk melakukan opersi tersebut tanpa dasar indikasi yang cukup kuat (Sofian, 2012). Menurut Word Health Organitation (WHO) dalam Gibbons (2010) menyatakan standar rata-rata sectio caesarea disebuah negara adalah sekitar 5-15% per 1000 kelahiran di dunia, rumah sakit pemerintah rata-rata 11%, sementara di rumah sakit swasta bisa lebih dari 30%. Tahun 2010 dilaporkan di dunia ini wanita melahirkan dengan sectio caesarea meningkat empat kali dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya, dilihat dari angka kejadian sectio caesarea dilaporkan di Amerika serikat persalinan sectio caesarea sebanyak 35% dari seluruh persalinan, Australia 35%, Skotlandia 43%, dan Prancis 28% (Arianto, dkk, 2010).
3
Hasil data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010, angka ibu melahirkan dengan sectio caesarea periode lima tahun terakhir di Indonesia sebesar 15,3% dengan rentang tertinggi 27,2% di DKI Jakarta dan terendah 5,5% di Sulawesi Tenggara. Hasil Riskesdas Tahun 2013 menunjukkan kelahiran dengan bedah sectio caesarea di Indonesia sebesar 9,8% dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) (Kemenkes, 2013). Peningkatan angka sectio caesarea tersebut dapat berkaitan dengan perubahan teknologi dan sosial serta permintaan ibu untuk sectio caesarea. Sejumlah wanita yang pernah mengalami kesulitan melahirkan menjelaskan bahwa mereka mengetahui ada sesuatu yang salah, dan percaya bahwa mereka tidak didengarkan. Mereka kemudian meminta sectio caesarea untuk kelahiran berikutnya. Permintaan ini berasal dari pengalaman buruk sebelumnya, yang diekspresikan seperti mimpi buruk oleh beberapa wanita. Ada banyak bukti yang mendukung fakta bahwa hanya sedikit sekali ibu secara aktual meminta sectio caesarea pada saat tidak ada indikasi medis (Frase, 2009). Seorang wanita yang telah menjalani operasi pasti akan memiliki cacat dan parut pada rahim, yang dapat membahayakan kehamilan dan persalinan berikutnya walaupun bahaya tersebut relatif kecil, adanya penyembuhan luka yang terlalu lama, terjadinya infeksi luka. Perluasan indikasi sectio caesarea dan kemajuan dalam terknik operasi dan anestesi serta obat-obat antibiotik menyebabkan bertambahnya angka kejadian sectio caesarea dari periode ke periode (Sofian, 2012).
4
Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi jaringan yang rusak. Pada ibu yang baru melahirkan, banyak komponen fisik normal pada masa postnatal membutuhkan penyembuhan dengan berbagai tingkat. Pada umumnya, masa nifas cenderung berkaitan dengan proses pengembalian tubuh ibu ke kondisi sebelum hamil, dan banyak proses diantaranya yang berkenaan dengan proses involusi uterus, disertai dengan penyembuhan pada tempat plasenta (luka yang luas) termasuk iskemia dan autolysis (Boyle,2009). Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami dimana luka dibiarkan terbuka, luka terisi jaringan granulasi yang menyebabkan proses penyembuhan disertai pengerutan atau meninggalkan parut yang kurang baik dan memerlukan waktu cukup lama. Proses penyembuhan primer didapat bila luka bersih, tidak terinfeksi dan dijahit dengan baik, sehingga parut yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil (Sjamsuhidayat & Jong, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Puspitasari (2011) bahwa faktor paling dominan yang mempengaruhi penyembuhan luka post operasi sectio caesarea di RS PKU Muhammadiyah Gombong adalah personal hygiene kemudian disusul oleh status gizi (konsumsi) dan yang terakhir adalah penyakit DM (Diabetes Mellitus). Faktor paling dominan yang mempengaruhi penyembuhan luka post operasi sectio caesarea di RS PKU Muhammadiyah Gombong adalah personal hygiene. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses penyembuhan luka post operasi berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari oksigen, nutrisi, umur, penyakit sistematik, sedangkan untuk faktor eksternal berupa peralatan, kelompok yang merawat dan lingkungan (Morison, 2010).
5
Hasil penelitian Devi dan Wijayanti (2013) menunjukan Perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap di RSUD Batang sebagian besar responden (64,7%) menyatakan kurang patuh terhadap SOP perawatan luka post operasi. Perawat harus mampu meningkatkkan kemapuan dan lebih memahami konsep tentang perawatan luka post operasi agar sesuai dengan SOP yang ada di rumah sakit agar tidak terjadi infeksi. Tindakan perawatan luka post operasi akan berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan seperti mencuci tangan dahulu, begitu pula dengan alat-alat yang akan digunakan harus disterilkan dulu sebelum digunakan pada klien. Karena, keberhasilan pengendalian infeksi pada tindakan perawatan luka post operasi maupun tindakan invasif lainnya bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada. Tetapi ditentukan oleh kesempurnaan petugas dalam melaksanakan perawatan klien secara benar (Lubis, 2010). Artinya, pengendalian infeksi pada dalam mematuhi prosedur perawatan luka sesuai dengan standar yang ada. Infeksi masa nifas sering terjadi pada ibu yang melakukan section caesarea. Komplikasi pada section caesarea lebih tinggi dari pada melahirkan pervaginam atau persalinan normal. Proporsional angka infeksi pada masa nifas section caesarea adalah Infeksi jalan lahir 25-55%, Infeksi saluran kencing 30-60%, Infeksi pada mamae 5-10% dan Infeksi campuran 2-5% dari kasus infeksi (Mochtar, 2010). Angka kematian pada operasi sectio caesarea adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar di banding persalinan pervaginam. Malahan untuk kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Bensons & Pernolls, 2009).
6
Berdasarkan data yang didapat dari rekam medis Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya jumlah pasien post operasi section caesarea tiap tahunnya mengalami kenaikan pada tahun 2012 berjumlah 249 orang, tahun 2013 berjumlah 313 orang dan pada tahun 2014 berjumlah 750 orang. Kejadian infeksi luka operasi section caesarea pada tahun 2012 sebanyak 20 orang, tahun 2013 sebanyak 30 orang dan pada tahu 2014 sebanyak 45 orang yang artinya terjadi peningkatan kejadian infeksi post section caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya terjadi pada luka operasi sectio caesarea. Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan luka yang dibuat oleh Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Sukardjo Kota Tasikmlaya bertujuan agar dalam perawatan luka kotor tidak terjadi infeksi maupun tempat masuknya segala mikroorganisme. Adapun SOP ini telah di terbitkan dengan Nomor Dokumen 440.01.038/KPWT/2013 dengan tahun terbit 2013. Berdasarkan kebijakan dari pihak rumah sakit SOP tersebut dapat dievaluasi kapan saja tergantung situasi dan kondisi. SOP yang digunakan sebagai acuan penelitian adalah SOP terbaru yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya (Profil RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, 2014). Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya telah menerapkan teknik perawatan paliatif yaitu teknik perawatan yang bersifat aktif dan menyeluruh dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi khususnya dalam perawatan luka seperti post operasi sectio cesarea dan berbagai penyakit luka lainnya dengan mengeluarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan luka yang merupakan tindakan perawatan,
7
mengganti balutan, membersihkan luka pada luka kotor dengan tujuan mempercepat penyembuhan
luka, mencegah
perluasan
infeksi dan
memberikan rasa nyaman (RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, 2013). Hasil penelitian Wardani (2010) pelaksanan perawatan luka tidak sesuai prosedur ada 60% dari 20 responden, pengendalian infeksi sesuai prosedur ada 70%. Pelaksanaan perawatan luka terhadap pengendalian infeksi hasil dari analisis menandakan Ho tidak diterima berarti ada hubungan antara pelaksanaan perawatan luka dengan pengendalian infeksi. Pelaksanaan perawatan luka terhadap kondisi luka. ini menandakan Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara pelaksanaan perawatan luka dengan keadaan luka. Berdasarkan studi pendahuluan telah dilakukan di Ruang 1 RSUD Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Sukardjo Kota Tasikmalaya tanggal 10 Maret 2015, dimana Ruang I merupakan ruangan khusus pasien post operasi yang salah satunya adalah post operasi section caesarea. Hasil wawancara dengan perawat ruangan selama ini seringkali ditemukan pasien post operasi section caesarea dengan luka terinfeksi. Hasil observasi terhadap kegiatan perawatan luka post operasi sectio caesarea belum sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan SOP, misalnya belum menggunakan sarung tangan steril untuk tiap satu pasien, belum menggunakan pinset untuk satu pasien, dan tidak menggunakan masker padahal dari segi kecukupan peralatan tersedia sesuai kebutuhan. Tindakan perawatan luka juga kegiatan desinfeksi luka tidak dilakukan dengan cara mengusap satu arah. Disamping itu dan tidak ada penghargaan maupun sanksi terkait ketaatan perawat dalam melakukan tindakan keperwatan yang sesuai SOP.
8
Berdasarkan fenomena tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”Hubungan Penatalaksanaan Perawatan Luka Dengan Kejadian Infeksi Post Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”Adakah hubungan penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea
Di Rumah
Sakit
Umum
Daerah
Dr.
Soekardjo
Kota
Tasikmalaya. 2. Tujuan Khusus a.
Diketahuinya gambaran penatalaksanaan perawatan luka post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
b.
Diketahuinya gambaran kejadian infeksi post op sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
c.
Diketahuinya hubungan antara penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
9
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dapat memberikan tambahan khasanah pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu keperawatan terutama pada keperawatan luka post sectio caesarea. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Institusi Pendidikan Dapat digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan mutu pendidikan terutama masalah keperawatan dalam perawatan luka post sectio caesarea. b. Bagi RSUD Kota Tasikmalya Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengatur, mengelola, menarik pelanggan yang menggunakan jasa rumah sakit dan sebagai bahan evaluasi terhadap pelayanan keperawatan terutama pada perawatan luka post sectio caesarea. c. Bagi Ibu Sebagai tambahan pengetahuan dan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan kepada responden khususnya tentang perawatan luka post sectio caesarea. d. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi atau sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya
10
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang hampir sama pernah dilakukan oleh Widya (2011) dengan judul Perilaku Ibu Post Sectio Caesarea Terhadap Perawatan Luka Sectio Caesarea di RSU Mitra Sejati Medan Metode Penelitian ini bersifat deskriptif dengan besar sampel sebanyak 35 orang. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Maret 2011. Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner pengetahuan, sikap, dan tindakan yang masing-masing berisi 10 pertanyaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu post sectio caesarea berpengetahuan cukup yaitu sebanyak 24 orang (68,8%) dan sebagian berpengetahuan baik sebanyak 11 orang (31,4%) dan tidak ada ibu yang berpengetahuan kurang. Berdasarkan sikap, ibu post sectio caesarea seluruhnya memiliki sikap yang positif yaitu sebanyak 35 orang (100%). Berdasarkan tindakan, ibu post sectio caesarea seluruhnya melakukan tindakan perawatan luka dengan baik yaitu sebanyak 35 orang (100%). Persamaan dengan penelitian yang peneliti buat adalah objek penelitian
yang
meneliti
tentang
luka
post
sectio
caesarea,
dan
perbedaannya pada judul, waktu dan lokasi penelitian populasi dan tekhnik pengambilan sampel.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar 1. Sectio Caesarea a. Definisi Sectio caesarea merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding abdomen dan dinding rahim (Benson & Pernoll 2008). Bedah Caesar adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomy) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Oxorn, 2010). b. Indikasi Indikasi dilakukannya Sectio caesarea merupakan disproporsi sefalopelvik, gawat janin, plasenta previa, riwayat sectio caesarea sebelumnya, kelainan letak, eklampsi dan hipertensi (Mansjoer dkk, 2009). Persalinan dengan sectio caesarea dianggap sebagai salah satu cara untuk mewujudkan well born baby dan well health mother, tidak hanya bayi yang lahir hidup tapi harapan agar tumbuh kembangnya berkelanjutan dan tidak ada komplikasi yang dialami ibu (Sutrimo 2012). c. Komplikasi Persalinan dengan sectio caesarea dapat menyebabkan resiko pada bayi maupun pada ibu (Sutrimo 2012). Komplikasi pada saat operasi section caesarea dilakukan meliputi dampak pada ibu antara lain infeksi puerperal, perdarahan, luka pada vesika urinaria, 11
12
embolisme paru-paru dan rupture uteri, sedangkan dampak pada bayi yaitu kematian perinatal. Angka mortalitas bayi dengan ibu yang melahirkan dengan proses sectio caesarea berkisar antara 4-7 % (Sarwono dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010). Komplikasi akibat persalinan sectio caesarea yang bisa terjadi pada bayi adalah bayi menjadi kurang aktif dan lebih banyak tidur akibat dari efek anestesi, sehingga akan mempengaruhi pemberian ASI. Bayi yang dilahirkan melalui sectio caesarea sering mengalami gangguan pernafasan karena kelahiran yang terlalu cepat. Bayi tidak beradaptasi pada saat proses transisi dari dunia dalam rahim menjadi di luar rahim yang dapat menyebabkan takipneu pada bayi (Bobak, 2009). Komplikasi post sectio caesarea juga terjadi pada ibu. Komplikasi yang timbul setelah dilakukannya sectio caesarea pada ibu seperti nyeri pada daerah insisi, potensi terjadinya thrombosis, potensi terjadinya penurunan kemampuan fungsional, penurunan elastisitas otot perut dan otot dasar panggul, perdarahan, luka kandung kemih, infeksi, bengkak pada ektremitas bawah, dan gangguan laktasi (Winkjosastro 2011). 2. Luka a. Pengertian Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan banyak hal atau berbagai faktor. Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 2010). Luka adalah gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 2007).
13
b. Jenis-jenis luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukan derajat luka. Derajat luka menurut Taylor (2007), sebagai berikut : 1) Berdasarkan derajat kontaminasi a) Luka bersih Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. b) Luka bersih terkontaminasi Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%. c) Luka terkontaminasi Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
14
d) Luka kotor Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti
cairan
purulen.
Luka
ini
bisa
sebagai
akibat
pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama. 2) Berdasarkan Penyebab a) Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul. b) Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam (seng dan kaca), dimana bentuk luka teratur. c) Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. d) Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan
15
otot,
tusukan
paku
dan
benda-benda
tajam
lainnya.
Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar. e) Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. f)
Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
c. Penyembuhan Luka 1) Pengertian Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat
dari
pengembalian
kontinitas
dan
fungsi
anatomi.
Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur, fungsi dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari kelima sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 2007).
16
2) Proses penyembuhan luka Menurut
Kozier
(2010)
proses
penyembuhan
alami
meliputi: a) Fase inflamasi atau lag Phase Berlangsung pada hari ke-5. Akibat luka terjadi pendarahan. Ikut keluar trombosit dan sel-sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dingding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamlin yang meninggikan permeabilitas kapiler, terjadi aksudasi cairan edema. Dengan demikian timbul tandatanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman. Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal. Inflamasi terjadi akibat dari reaksi tubuh terhadap invasi mikroorganisme patogen atau terhadap trauma karena luka. Pada bagian yang mengalami peradangan akan muncul tanda-tanda seperti rubor atau kemerahan, tumor atau pembengkakan, dolor atau nyeri, kalor atau panas dan functio laesa atau hilangnya fungsi.
17
b) Fase proliferasi atau fibroblast Berlangsung dari hari ke-6 sampai dengan 3 minggu. Terjadi
proses
proliferasi
dan
pembentukan
fibroblast
(menghubungkan sel-sel) yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarid dan serat kolangen yang
terdiri dari asam-asam
amino glisin, prolin
dan
hidroksiprolin. Mukopolisekarid mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan mempertautkan tepi luka. Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan
dihancurkan,
dengan
demikian
luka
mengkerut/mengecil. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru; membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi. Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah, tidak dapat naik pembentukan orignan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka : penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih. c) Fase remondeling atau fase resorpsi Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal.
18
Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblashingga struktur luka menjadi utuh. Penyembuhan luka sebagai suatu proses yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari penyembuhan kontinuitas dan fungsi anatomi. Penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normal strukturnya, fungsinya dan penampilan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka di tentukan oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound Healing Society). Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi (Black & Jacob’s , 2007). Jahitan biasanya diangkat pada saat sudah terlihat adanya hasil yang mendekati tepi luka. Pengangkatan jahitan itu tergantung usia, status nutrisi dan lokasi luka. Jahitan biasa diangkat pada hari ke 6-7 proses operasi untuk menghindari terbentuknya bekas jahitan walaupun pembentukan kollagen sampai jahitan menyatu berakhir hari ke-21 (Taylor, 2007). Suatu luka yang bersih bila dilakukan persiapan dan pembedahan yang baik serta perawatan pasca operasi yang baik pula maka luka akan tetap bersih. Pemberian antibiotik peroral yang adekuat mampu mencegah terjadinya infeksi sehingga meski tanpa cairan anti septik proses penyembuhan luka tetap dapat terjadi (Oetomo, 2008).
19
d. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka Faktor yang mempercepat penyembuhan
luka menurut
(Kozier, 2010) : 1) Pertimbangan perkembangan Anak dan orang dewasa lebih cepat penyembuhan luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 2010). 2) Nutrisi Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn) Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat (Taylor, 2007). 3) Infeksi Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri.
Dengan
adanya
infeksi
maka
fase-fase
dalam
penyembuhan luka akan terhambat. 4) Sirkulasi dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar
20
lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik pada perokok. 5) Keadaan luka Keadaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat. Misalnya luka kotor akan lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih. 6) Obat Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin an anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama. 7) Mobilisasi Mobilisasi pasca operasi ditujukan untuk mempercepat penyembuhan luka, memperbaiki sirkulasi, mencegah statis vena, menunjang fungsi pernafasan optimal, meningkatkan fungsi pencernaan,
mengurangi
komplikasi
pasca
bedah,
21
mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang e. Pengkajian luka Menurut (Kozier, 2010), pengkajian luka meliputi : 1) Lokasi Lokasi luka dapat mempengaruhi penyembuhan luka, dimana tidak semua lokasi tubuh mendapatkan peredaran darah yang sama. Ditinjau dari prinsip fisiologis, pada bagian tubuh yang memiliki pembuluh darah yang banyak akan mendapatkan aliran darah yang banyak. Hal ini akan mendukung penyembuhan luka lebih cepat dibandingkan dari bagian tubuh yang lebih sedikit mendapat aliran darah. 2) Ukuran luka Diukur panjang, lebar dan diameternya bila bentuk luka bulat dengan sentimeter, gambarkan bentuk luka tersebut dengan lembar transparan
yang
telah
dicatat berpola
kotak-kotak
berukuran sentimeter. 3) Kedalaman luka Kedalaman luka dapat diukur dengan kapas lidi steril yang sudah dilembabkan dengan normal saline, masukan dengan hatihati kedalam luka dengan posisi tegak lurus (90o) hingga kedasar luka. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Ukur dengan sentimeter.
22
4) Gowa atau terowongan Gowa dan terowongan dapat diketahui dengan melakukan palpas jaringan disekeliling pinggir luka, dimana akan teraba tenderness/perlukan. Masukan saline melalui mulut lubang ke dasar luka/ujung terowongan. Beri tanda pada lidi sejajar dengan permukaan kulit disekitar luka. Beri tekanan /palpasi dengan hatihati dan kaji saluran yang abnormal tersebut.Jangan pernah menggunakan
kekuatan
menggunakan
kapas
lidi.
dorongan Ukur
yang lokasi
berlebilan dan
bila
kedalaman
lubang/penetrasi. Untuk penentuan lokasi ditetepkan dengan pola arah jarum jam dengan pusat pada tengah luka dan jam 12 sesuai garis anatomis sumbu tubuh manusia. Misalnya lokasi mulut lubang terdapat pada posisi jam 8 dengan kedalaman 5 cm atau dapat dibuatkan gambar jam dengan tanda pada posisi jam 8. 5) Warna dasar luka Warna
dasar
luka
sangat
penting
dikaji
karena
berhububungan dengan penentuan terapi topikal dan jenis balutan luka. Ada beberapa macam warna dasar luka yang membutuhkan perlakuan spesifik terhadap masing-masing sesuai warna dasar tersebut. a) Nekrotik Biasanya warna dasar hitam, tampak kering dan keras disebut keropeng. Kering tidak berarti jaringan dibawahnya tidak terinfeksi atau tidak ada sksudat, ini tidak dapat dipastikan tanpa dilakukan palpasi terlebih dahulu. Dengan
23
melakukan palpasi dapat dirasakan ada tenderness atau tidak dibawah jaringan keropang tersebut dan disekitar luka teraba panas dan tampak tanda radang disekelilingnya yang perlu diperhatikan. Dan juga tidak terlepas dari keluhan penderita apakah merasa nyeri berdenyut dibawah jaringan nekroit tersebut. Untuk luka seperti ini membutuhkan suasana yang lembab sehingga nekrotik yang kering tersebut dapat lepas dengan sendirinya. Jenis balutan yang baik adalah hidrogel. Diatasnya diletakan kasa dan balutan transparan. b) Sloughy Warna dasar luka ini tampak kekuningan, sangat eksudatif atau tampak berair/basah. Sloughy ini harus diangkat dari permukaan luka karena jaringan ini juga sedang mengalami nekrotik, dengan demikian pada dasar luka akan tumbuh jaringan granulasi bentuk proses penyembuhan. Untuk luka seperti ini dtuhkan hydrogen untuk melepas jaringan nekroit. Gunakan hydrofiber untuk menyerap eksudat yang berlebihan sehingga tercipta lingkungan yang konduksif. (moist/lembab) untuk proses panyembuhan luka. Bila luka mudah berdarah lebih baik digunakan calcium alginate. Hydrofiber
yang
mengandung
calcium
alginato
dapat
menghentikan pendarahan dengan segera. c) Granulasi Warna dasar luka ini adalah merah. Perlu diketahui bahwa ini merupakan pertumbuhan jaringan yang baik, namun tidak dapat dibiarkan tanpa pambalut. Tetap harus diberi
24
pelindung sebagai pengganti kulit utuk mencegah kontaminasi dari dunia luar dan menciptakan kondisi lingkungan luka yang baru untuk pertumbuhan sel granulasi tersebut. Biasanya luka ini sangat mudah berdarah. Boleh diberikan balutan hydrogen dan apabila eksudat banyak dapat digunakan hydrofiber yang mengandung calcium alginate labih efektif. d) Epitelisasi Warna dasarnya adalah pink, kadang-kadang sebagian luka ini masih dalam proses granulas. Untuk itu perlu pemilihan balutan yang dapat mendukung mutasi sel yaitu douderm tipis (extra thin). Balutan ini berbentuk wafer/padat, tidak berbentuk seruk, namun cukup lunak dan nyaman diletakan diatas permukaan luka dan tidak menimbulkan trauma terhadap luka. f.
Tipe Penyembuhan Luka Menurut Smeltzer dan Bare (2012) proses penyembuhan luka akan melalui beberapa intensi penyembuhan, antara lain : 1) Penyembuhan melalui intensi pertama (Primary Intention) Luka terjadi dengan pengrusakan jaringan yang minimum, dibuat secara aseptik, penutupan terjadi dengan baik, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal. 2) Penyembuhan melalui intensi kedua (Granulasi) Pada luka terjadi pembentukan pus atau tepi luka tidak saling merapat, proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama.
25
3) Penyembuhan melalui intensi ketiga (Suture Sekunder) Terjadi pada luka yang dalam yang belum dijahit atau terlepas dan kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan disambungkan sehingga akan membentuk jaringan parut yang lebih dalam dan luas. 3. Infeksi Luka Operasi (ILO) Section Caesarea a. Pengertian Infeksi luka pada umumnya ditandai dengan tanda-tanda klasik meliputi kemerahan (rubor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), peningkatan suhu (kalor) pada jaringan luka dan demam. Pada akhirnya, luka akan terisi oleh jaringan nekrotik, neutrofil, bakteri dan cairan plasma yang secara bersama-sama akan membentuk nanah (pus) (Fry, 2009). Pedoman CDC (Center for Disease Control and Prevention) dalam mencegah terjadinya infeksi luka operasi, yang dipublikasikan pada tahun 1999, merinci tentang kriteria untuk mendefinisikan ILO. Seperti tercantum pada Gambar 1, ILO dibedakan menjadi 3, berdasarkan dalamnya infeksi berpenetrasi pada luka, yaitu insisi dangkal (superficial), insisi dalam dan organ/rongga. Luka yang mengalami infeksi dalam 30 hari setelah operasi harus diklasifikasikan sebagai ILO. Namun jika tindakan operasi menyangkut pemasangan implan atau prostesis, maka jangka waktu (window periode) terjadinya infeksi menjadi lebih panjang, yaitu 1 tahun (Mangram dkk, 2009).
26
b. Klasifikasi Luka Risiko terjadinya infeksi bervariasi, tergantung pada lokasi dilakukannya
operasi.
Sebagai contoh,
tindakan
invasif
yang
menembus daerah tubuh yang mengandung banyak koloni bakteri, seperti usus, akan lebih rentan untuk mengalami infeksi. Menurut klasifikasi luka yang dimodifikasi, luka operasi section caesarea diklasifikasikan Mitt (2010) sebagai berikut: 1) Kelas I jika ketuban tidak pecah atau persalinan tidak memanjang 2) Kelas II jika didapatkan pecah ketuban kurang dari 2 jam 3) Kelas III jika pecah ketuban lebih dari 2 jam 4) Kelas IV jika didapatkan cairan ketuban yang purulen c. Faktor Risiko Infeksi Luka Operasi (ILO) Section Caesarea Berbagai
faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
infeksi
beragam. Yang paling sering dikutip dalam literatur termasuk berat badan ibu yang ekstrim (kurus atau obesitas), partus lama atau ketuban pecah dini, pemeriksaan panggul berulang, durasi operasi yang lama, insisi kulit vertikal, kategori operasi, prosedur multipel, manual plasenta, ibu usia muda, kondisi ibu preoperatif, kehilangan darah yang terkait dengan prosedur operasi, dan tidak diberikannya antibiotik profilaksis. Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor ini untuk
menentukan
pasien-pasien
yang
berisiko
tinggi
dan
membutuhkan langkah-langkah pencegahan yang spesifik (Kaplan dkk, 2008). Analisa
mengenai
efek
gabungan
dari
faktor
intrinsik
(endogen) dan faktor ekstrinsik (eksogen) sangat diperlukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ILO. Faktor intrinsik adalah faktor
27
yang berhubungan dengan pasien, sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor yang berhubungan dengan manajemen dan perawatan. Meskipun faktor intrinsik tidak dapat diubah, faktor ini dapat diidentifikasi dan dikelola. Sejumlah faktor potensial, seperti status gizi, merokok, penggunaan antibiotik dan teknik intra operatif yang tepat dapat ditingkatkan guna diperolehnya hasil operasi yang positif (Pear, 2013). Faktor risiko obstetri yang terkait untuk terjadinya ILO adalah lamanya waktu selaput ketuban pecah sebelum operasi section caesarea. Ketika selaput ketuban pecah, cairan amnion tidak lagi steril dan dapat berperan sebagai media pertumbuhan bakteri yang berkontak dengan uterus dan kulit yang diinsisi. Penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara pecahnya selaput ketuban yang berkepanjangan dengan peningkatan risiko terjadinya ILO (Johnson dkk, 2006). Terjadinya ILO terkait dengan faktor yang berhubungan dengan operasi yang dapat berisiko infeksi. Centers for Disease Control
and
Prevention’s
(CDC)
mengembangkan
National
Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) Risk Index yang secara internasional telah diakui untuk menilai faktor risiko terjadinya ILO (Pear, 2013). Faktor risiko terjadinya ILO diberi rentang nilai dari nol sampai tiga poin untuk ada atau tidak adanya 3 variabel Johnson dkk (2006) berikut : 1) 1 poin jika pasien menjalani operasi yang diklasifikasikan sebagai luka terkontaminasi atau luka kotor.
28
2) 1 poin jika status fisik pasien berdasarkan penilaian ASA (American Society of Anesthesiologists) preoperatif adalah kelas III, IV, atau V. Lihat Tabel 1 untuk deskripsi dari ASA Skor. 3) 1 poin jika lama operasi melebihi persentil ke-75 berdasarkan waktu operasi yang ditentukan dari database NNIS (T point). Lihat Tabel 2 untuk lama operasi dalam jam yang mewakili persentil ke75 untuk beberapa prosedur bedah yang umum dilakukan. ASA skor mencerminkan status kesehatan pasien sebelum operasi. Klasifikasi luka mencerminkan tingkat kontaminasi luka. Durasi operasi mencerminkan aspek teknis operasi. Semakin tinggi nilai NNIS Risk Index, maka semakin tinggi pula kemungkinan untuk terjadinya ILO (Johnson dkk, 2006). Tabel 2.1. Status Fisik ASA Kelas Status Fisik I Pasien normal yang sehat diluar kelainan yang akan dioperasi II Pasien dengan penyakit sistemik ringan III Pasien dengan penyakit sistemik berat yang tidak mengancam jiwa IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam jiwa V Pasien sekarat yang diperkirakan tidak bertahan hidup dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi E Kasus-kasus emergensi diberi tambahan huruf E di belakang angka (Sumber : Johnson dkk, 2006)
Tabel 2.2. T Point Beberapa Prosedur Operasi Operasi Coronary artery bypass graft Operasi kantong empedu, pankreas Kraniotomi Operasi kepala dan leher Operasi kolon Operasi joint prosthesis Operasi vascular
T Point (jam) 5 hati,
atau
4 4 4 3 3 3
29
Operasi Abdominal atau vaginal hysterectomy Ventricular shunt Herniorrhaphy Appendectomy Amputasi anggota gerak Cesarean section
T Point (jam) 2 2 2 1 1 1
(Sumber : Pear, 2013)
Faktor risiko lain yang diduga berperan dalam terjadinya ILO adalah setiap benda asing yang ada di daerah tubuh yang dioperasi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Secara umum, penggunaan benang monofilamen menurunkan risiko terjadinya infeksi
dibandingkan
subkutikuler
penggunaan
menggunakan
benang
benang
jenis
yang
dapat
lain.
Jahitan
diserap
juga
menurunkan risiko infeksi (Johnson dkk, 2006). Faktor-faktor resiko infeksi luka operasi section caesarea adalah : 1) Diabetes Mellitus Hasil yang buruk pasca operasi pada pasien dengan DM diyakini terkait dengan komplikasi yang sudah ada akibat adanya hiperglikemia kronis, yang meliputi penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah dan autonomik neuropati perifer. Sangat penting untuk melakukan evaluasi preoperatif pada semua pasien yang akan menjalani operasi agar tidak terjadi kasus DM yang tidak terdiagnosis dan/atau DM yang tidak terkontrol. Pasien yang akan menjalani operasi harus dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa (GDP) dan juga sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar Hemoglobin A1c (HbA1c) untuk mengevaluasi apakah pasien memiliki penyakit DM sebelumnya. Jika hasil dari salah satu atau
30
kedua tes ini menunjukkan adanya diabetes yang tidak terkontrol (GDP > 110 mg/dL atau HbA1c ≥ 7% ), maka kadar glukosa pasien harus dikontrol terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi (Dronge dkk, 2006). 2) Hiperglikemia perioperatif Perlu diketahui pula bahwa sebagian besar pasien yang menjalani operasi mayor mengalami keadaan hiperglikemia pada saat perioperatif. Tidak seperti DM, beberapa ilmuwan masih mempertanyakan apakah hiperglikemia perioperatif merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya efek samping yang merugikan pasca operasi. Perioperatif hiperglikemia pada pasien non diabetes baru-baru ini diketahui sebagai faktor risiko potensial untuk hasil yang merugikan post operasi besar (Hedblad, 2010). Para peneliti beranggapan bahwa sewaktu terjadinya peningkatan kadar glukosa serum perioperatif menunjukkan bahwa ini merupakan faktor risiko terjadinya infeksi pasca operasi atau pertanda dari suatu proses infeksi. Para penulis mengamati bahwa periode awal pasca operasi, dimana pasien berada pada fase stres fisiologis terbesar, merupakan waktu dengan risiko tertinggi untuk terjadinya ILO. Periode waktu ini juga merupakan periode dimana kadar glukosa serum mencapai kadar tertinggi, baik pada pasien diabetes maupun pada pasien non-diabetes. Mereka menyimpulkan bahwa tingkat terjadinya infeksi nosokomial akan lebih tinggi ketika hiperglikemia ditemukan pada dua hari pertama pasca operasi, terlepas dari diabetes yang sudah ada sebelumnya (Pear, 2013).
31
Ada dua mekanisme utama yang menempatkan pasien pada keadaan hiperglikemia akut perioperatif yang berakibat meningkatnya risiko terjadinya ILO. Mekanisme pertama adalah menurunnya
sirkulasi di
pembuluh
darah,
yang
berakibat
berkurangnya perfusi jaringan dan terganggunya fungsi sel. Mekanisme kedua adalah menurunnya aktivitas dari imunitas seluler dalam fungsi kemotaksis, fagositosis dan membunuh pada sel polimorfonuklear serta monosit/makrofag yang telah terbukti terjadi pada
kondisi hiperglikemia
akut.
Kedua
gangguan
pertahanan host alami ini meningkatkan risiko terjadinya infeksi jaringan pada pasien bedah dengan atau tanpa diabetes (Geerlings dkk, 2009). Mengontrol
hiperglikemia
perioperatif
membutuhkan
koordinasi terpadu oleh bagian anestesi, bedah, keperawatan dan farmasi. Bagian anestesi harus siap untuk memeriksa GDS pasien preoperatif dan menerapkan terapi insulin sedini mungkin bila diindikasikan. Dokter bedah harus bersiap untuk melanjutkan kontrol glukosa darah sampai minimal 48 jam pasca operasi. Staf perawat harus memantau, mengkalibrasi dan harus mengontrol agar normoglikemia tetap bertahan selama pasien menjalani rawat inap. Perawat juga perlu memberikan edukasi kepada pasien mengenai cara mengontrol kadar glukosa ketika pasien akan dipulangkan, terutama pada pasien yang baru saja diketahui mengalami hiperglikemia preoperatif. Pengobatan penting untuk pasien diabetes selama fase perawatan, dengan peran serta apoteker di lini depan dalam upaya ini (Pear, 2013).
32
3) Kegemukan Obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana indeks massa tubuh seseorang lebih dari atau sama dengan 30 kg/m2. Telah dilaporkan tingkat terjadinya infeksi pasca operasi section caesarea lebih besar kemungkinannya pada wanita dengan obesitas. Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya ILO yang terbukti sulit untuk ditekan (Johnson dkk, 2006). Seringkali tidak ada cukup waktu sebelum operasi untuk secara signifikan menurunkan tingkat obesitas pasien. Namun, evaluasi mengenai adanya diabetes dan pengontrolan kadar glukosa serum, akan meminimalkan risiko terjadinya ILO pada pasien dengan obesitas. Selain itu, operasi besar sering dipandang sebagai peristiwa yang mengubah hidup dan mungkin dapat memotivasi pasien agar menerapkan pola makan dan gaya hidup positif lainnya. Edukasi secara perorangan dan pengaturan diet dari ahli gizi, serta dukungan dari komunitas yang berusaha untuk menurunkan berat badan juga menunjukkan efek positif jangka panjang (Blissmer, 2006). 4) Malnutrisi Malnutrisi telah lama diidentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial, termasuk ILO, pada pasien yang menjalani operasi. Pasien yang kekurangan gizi diketahui memiliki respon imun yang lebih rendah terhadap infeksi. Pengukuran level albumin serum paling umum digunakan sebagai penanda untuk mengidentifikasi status gizi seseorang, dengan kisaran normal 3,4 - 5,4 g/dL (Pear, 2013).
33
Ketika pasien didiagnosis dengan malnutrisi, penting untuk mengidentifikasi etiologi dari keadaan ini. Pada umumnya pasien tua dengan kekurangan energi-protein disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain kemiskinan dan mobilitas yang terbatas, isolasi sosial dan depresi, kondisi gigi geligi yang buruk, anoreksia, serta penurunan kognitif dan status fungsional. Intervensi yang mungkin dilakukan mencakup diskusi terhadap keluarga, konsultasi dengan ahli gigi, konseling diet dan pelayanan sosial. Tergantung pada tingkat urgensi operasi, penundaan pembedahan sampai status gizi pasien membaik mungkin dapat dilakukan. Puasa preoperatif dan postoperatif harus dilakukan seminimal mungkin pada kelompok pasien ini (Kagansky dkk, 2010). 5) Merokok Tak disangka, malnutrisi dan merokok menunjukkan bukti adanya
interaksi.
Merokok
dikaitkan
dengan
terhambatnya
penyembuhan luka dan penurunan sirkulasi ke kulit akibat obstruksi mikrovaskuler oleh agregasi platelet dan menurunnya fungsi
hemoglobin.
Selain
itu,
merokok
telah
diketahui
menurunkan sistem imun dan sistem respirasi. Merokok sebagai faktor risiko pada host banyak dilaporkan dengan pendapat yang saling bertentangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena beberapa
studi
yang
mengevaluasi
faktor
ini
hanya
mempertimbangkan kondisi merokok saat ini yang meningkatkan risiko terjadiya ILO. Beberapa pasien berhenti merokok segera sebelum operasi, yang mungkin dilakukan dalam beberapa hari
34
atau minggu sebelum operasi, dan kemudian menganggap diri mereka sebagai bukan perokok di saat operasi. Hasil yang bertentangan ini mungkin dikarenakan belum adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok perokok dan bukan perokok (Pear, 2013). Merokok yang mungkin menjadi salah satu faktor risiko yang sudah ada sebelumnya pada pasien, dapat diintervensi dengan penggunaan penghenti merokok yang saat ini tersedia seperti patch nikotin atau bupropion hidroklotida. Setidaknya satu bulan
sebelum
menghentikan memperbaiki
operasi,
penggunaan status
gizi
pasien
harus
tembakau. dan
status
didorong
Pasien fisik
untuk
juga
harus
dengan
cara
mengkonsumsi seperti vitamin A, B, C, D, E dan K dan suplemen zinc, magnesium, kuprum dan besi (Pear, 2013). 6) Infeksi yang Telah ada di Lokasi Tubuh yang Jauh dari Lokasi Operasi Menurut Pear (2013) tak jarang, pasien memiliki infeksi pada gigi, saluran kemih atau jaringan longgar pada kulit pada saat dilakukan operasi. Masalah utama yang menjadi perhatian tentang adanya infeksi yang sudah ada sebelumnya adalah infeksi tersebut mungkin dapat: a) menjadi sumber penyebaran infeksi secara hematogen, menyebabkan infeksi lambat pada kasus-kasus operasi prostesis persendian atau katup jantung b) menjadi lokasi yang kontagius untuk terjadinya transfer bakteri
35
Infeksi yang jauh dari luka operasi dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan terjadinya ILO menjadi 3 - 5 kali lipat. Setiap infeksi yang jauh dari lokasi operasi harus diidentifikasi dan diterapi sebelum operasi. Tidak jarang dilakukan ekstraksi gigi multipel preoperatif dalam rangka mengeleminasi infeksi rongga mulut.
Beberapa
kasus
bedah
tertentu,
terutama
yang
berhubungan dengan pemasangan implan, operasi mungkin ditunda sampai infeksi telah teratasi (Leape dkk, 2009). 7) Kolonisasi Mikroorganisme Sumber infeksi utama pada sebagian besar kejadian ILO adalah mikroorganisme endogen yang ada pada pasien itu sendiri. Semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan virus sampai dengan 3 juta kuman per sentimeter persegi kulit. Namun, tidak semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan virus dalam jumlah berimbang. Pasien dengan riwayat DM, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang mengharuskan penggunaan steroid jangka panjang, atau penyakit kronis lainnya yang mengharuskan pasien untuk dilakukan rawat inap dan/atau penggunaan antibiotik berulang cenderung akan mengalami kolonisasi bakteri yang lebih berat, terutama dengan bakteri yang resisten terhadap antibiotik seperti methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA). Setiap luka operasi akan terkontaminasi dengan bakteri selama operasi, tetapi hanya sebagian kecil yang akan mengalami infeksi. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasien memiliki pertahanan dalam mengendalikan dan mengeleminasi organisme penyebab infeksi (Fry, 2009).
36
Staphylococcus aureus tercatat ditemukan pada 30% populasi sehat, dan terutama methicillin-resisten Staphylococcus aureus (MRSA), merupakan predisposisi pasien berisiko lebih tinggi mengalami ILO (Fry, 2009). Adanya sumber bakteri endogen yang mungkin bertanggung jawab dalam menimbulkan kemungkinan terjadinya infeksi 10 kali lipat pada satu dari tiga luka operasi (Pear, 2013). Bagaimanapun intervensi yang dilakukan, kulit pasien tidak akan pernah steril, namun banyak cara dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah bakteri tersebut. Pasien harus berendam atau mandi dengan larutan antiseptik seperti chlorhexidine setidaknya satu kali sebelum dilakukan operasi. Rambut di daerah tubuh yang akan
dioperasi harus
dibiarkan
kecuali diperlukan
karena
mengganggu prosedur operasi. Jika rambut harus dihilangkan, maka pengasuh harus melakukannya dengan gunting segera sebelum operasi. Strategi tambahan yang digunakan untuk mengurangi migrasi bakteri ke daerah insisi termasuk penggunaan perekat yang mengandung antiseptik atau yang berbahan dasar cyanoacrylate yang digunakan pada kulit untuk melumpuhkan flora normal kulit, termasuk yang tertanam di folikel rambut (Mangram dkk, 2009). 8) Hipotermia perioperatif Penurunan suhu tubuh di bawah 36ºC atau 96,8ºF, merupakan salah satu faktor risiko yang paling umum untuk terjadinya ILO (Scott & Buckland, 2006). Setiap satu dari dua pasien bedah tercatat memiliki suhu tubuh di bawah 36ºC, dan satu dari tiga pasien bedah memiliki suhu tubuh inti di bawah 35ºC
37
atau 95ºF selama interval perioperatif. Ketika suhu tubuh 1,5°C di bawah normal, dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan risiko ILO, penurunan tekanan oksigen dalam jaringan, disfungsi jantung, koagulopati, perubahan metabolisme obat, pemulihan normotermia yang lambat dan peningkatan mortalitas. Hilangnya panas tubuh adalah hasil dari kombinasi banyak faktor dan sering terjadi pada saat perioperatif. Faktor risiko pasien yang terkait meliputi kakeksia atau kesehatan umum yang buruk, jenis kelamin perempuan, usia ekstrim, jenis anestesi, dan lama operasi (Pear, 2013). Faktor yang turut berkontribusi dalam terjadinya hipotermia antara lain puasa preoperatif, suhu yang rendah di ruang operasi, penggunaan solusio dingin pada kulit, meja operasi yang dingin, dan cairan IV yang dingin. Anestesi umum menyebabkan terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi redistribusi cepat darah hangat dari pusat tubuh menuju ke daerah ekstremitas yang dingin, penurunan metabolisme yang memproduksi panas dan hilangnya respon menggigil. Operasi mayor seperti bedah thorax atau abdominal juga terjadi kehilangan panas tubuh inti yang besar (Pear, 2013). Cara terbaik untuk mengatasi hipotermia adalah dengan mencegah terjadinya kehilangan panas. Strategi noninvasif yang terbukti secara efektif dapat mengatasi hipotermia antara lain dengan menggunakan cairan IV yang dihangatkan, selimut penghangat, lampu termal, matras air berpenghangat, sistem penghangat udara dan bantalan konduksi termal (Pear, 2013).
38
d. Pencegahan Infeksi Luka Operasi section caesarea Beberapa
langkah
yang
terkait
dalam
menurunkan
kemungkinan terjadinya ILO berdasarkan pedoman dari National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) (2012) antara lain: 1) Insisi dinding abdomen Section caesarea harus dilakukan dengan menggunakan sayatan perut melintang karena cara ini menimbulkan nyeri pasca operasi yang lebih minimal dan efek kosmetik yang lebih baik dibandingkan dengan insisi garis tengah. Insisi melintang menurut Joel Cohen (insisi lurus, 3 cm di atas simfisis pubis, lapis demi lapis jaringan berikutnya dibuka dan diperluas dengan gunting, bukan pisau) merupakan pilihan karena terkait dengan waktu operasi yang lebih pendek dan mengurangi morbiditas demam pasca operasi (NICE, 2012). 2) Instrumen untuk insisi kulit Penggunaan pisau bedah yang berbeda untuk menginsisi kulit dan jaringan yang lebih dalam tidak dianjurkan karena terbukti tidak menurunkan kemungkinan terjadinya ILO (NICE, 2012). 3) Penutupan dinding perut Penutupan dinding perut pada insisi garis tengah dilakukan dengan cara jahitan kontinu menggunakan benang yang lambat diserap karena dengan cara ini insidensi terjadinya hernia insisional dan wound dehiscence lebih rendah dibandingkan dengan cara penutupan berlapis (NICE, 2012).
39
4) Penutupan jaringan subkutan Penutupan jaringan subkutan tidak rutin dilakukan, kecuali pada wanita yang memiliki tebal lemak subkutan lebih dari 2 cm, karena penutupan jaringan subkutan tidak menurunkan insidensi terjadinya ILO (NICE, 2012). 5) Penggunaan drain superficial Penggunaan drain superficial tidak boleh digunakan pada operasi section caesarea. Penggunaan drain superficial terbukti tidak menurunkan kemungkinan terjadinya ILO (NICE, 2012). 6) Pemberian antibiotik Berikan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan insisi kulit pada operasi section caesarea. Hal ini akan lebih menurunkan risiko terjadinya infeksi maternal pasca operasi jika dibandingkan bila antibiotik profilaksis diberikan setelah insisi kulit, dan terbukti tidak menimbulkan adanya efek pada bayi (NICE, 2012). Pemberian antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk diberikan pada semua operasi yang melibatkan organ berongga. Pemberian
antibiotik
profilaksis
diketahui
merupakan
faktor
protektif yang paling signifikan dalam menurunkan kejadian ILO pasca operasi section caesarea. Antibiotik harus diberikan sebelum operasi, idealnya dalam waktu 30 menit dari induksi anestesi. Konsentrasi antibiotik yang adekuat dalam serum dan jaringan akan menurunkan risiko berkembangnya bakteri selama periode post operatif. Namun, pemberian antibiotic profilaksis tidak akan mencegah kontaminasi yang terjadi selama operasi karena teknik operasi yang buruk (Johnson dkk, 2006).
40
Dalam
praktiknya,
ditemukan
variasi
yang
beragam
mengenai cara pemberian antibiotik profilaksis. Classen dkk membuktikan bahwa waktu diberikannya antibiotik profilaksis sangat penting dalam mencegah ILO pasca operasi. Antibiotik profilaksis preoperatif sering tidak diberikan pada waktu yang optimal sehingga konsentrasi obat selama periode operasi tidak menimbulkan hasil yang efektif. Pedoman yang dipublikasikan dalam Surgical Infection Prevention Guideline mengusulkan antibiotik
profilaksis
harus
diberikan
60
menit
sebelum
dilakukannya insisi dan dihentikan dalam waktu 24 jam setelah operasi (Heethal dkk, 2010). Redisinfeksi
kulit
di
sekitar
daerah
insisi
sebelum
penutupan kulit telah dilaporkan dapat mengurangi kejadian ILO pasca operasi. Telah dilaporkan pula bahwa irigasi dengan larutan antibiotik pada daerah insisi aman untuk dilakukan, tidak menunjukkan adanya efek samping, dan merupakan metode yang efektif dalam menurunkan morbiditas infeksi dan ILO pasca bedah section caesarea (Kaplan dkk, 2008). 7) Perawatan luka Perawatan luka pada operasi section caesarea NICE (2012) meliputi dressing luka 24 jam setelah operasi, monitoring adanya demam, nilai tanda-tanda infeksi pada luka (seperti rasa sakit yang meningkat, kemerahan atau keluarnya discharge) dan tanda-tanda luka yang tidak menutup (dehiscence), beritahukan pada pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar, nyaman, dan berbahan
41
katun agar mudah menyerap keringat, bersihkan luka secara lembut dan keringkan luka setiap hari dan jika diperlukan, rencanakan untuk melepas jahitan Risiko infeksi berlanjut bahkan setelah pasien keluar dari rumah sakit. Tenaga medis harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai cara merawat luka bekas operasi, bagaimana mengenali tanda-tanda terjadinya ILO dan pentingnya melaporkan gejala tersebut ke dokter bedah mereka sebagai penyedia perawatan primer (Pear, 2013). e. Prognosis Dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi, pasien dengan ILO Perencevich dkk (2010) cenderung dirawat 7 hari lebih lama, 60% lebih mungkin untuk dirawat di ICU, 5 kali lebih mungkin untuk dirawat kembali dalam waktu 30 hari setelah dipulangkan dan 2 kali lebih mungkin untuk meninggal. 4. Standar Oprasional Prosedur (SOP) a. Pengertian Suatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry dan Potter, 2013). b. Tujuan Tujuan dibuatnya SOP antara lain (RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, 2013) :
42
1) Petugas atau pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas, pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja. 2) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi 3) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait. 4) Melindungi
organisasi/unit
kerja
dan
petugas/pegawai
dari
malpraktek atau kesalahan administrasi lainnya. 5) Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi. c. Fungsi SOP Fungsi SOP antara lain (RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, 2013) : 1) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja. 2) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan. 3) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak. 4) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja. d. Kapan SOP diperlukan 1) SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan 2) SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik atau tidak 3) Uji SOP sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.
43
e. Keuntungan adanya SOP 1) SOP yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsisten 2) Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu apa yang harus dicapai dalam setiap pekerjaan 3) SOP juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bisa digunakan untuk mengukur kinerja pegawai. f. Standar Oprasional Prosedur (SOP) Perawatan Luka RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya (2013) 1) Pengertian Standar Oprasional Prosedur (SOP) perawatan luka adalah langkah-langkah prosedur tindakan keperawatan membersihkan luka agar tidak terjadi terinfeksi. 2) Tujuan a) Mempercepat penyembuhan luka b) Mencegah terjadi infeksi c) Memberikan rasa nyaman pada klien 3) Kebijakan Dilakukan pada : a) Pasien yang mempunyai luka b) Perawatan luka dilakukan setiap hari 4) Prosedur a) Persiapan alat (1) Set rawat luka
44
(2) Perlak (3) Korentang (4) H2O2 3%, BWC atau betadine kompres 1:5 (5) Bengkok (+ larutan desinfektan) (6) Gunting verban dan plester (7) APD (masker, handcoon) (8) Kantong plastik kuning (9) Kassa steril (10) Plaster/verban b) Tahap pra interaksi (1) Verifikasi program terapi (2) Siapkan alat (3) Jaga privacy klien : bila perlu tutup pintu dan jendela/korden c) Tahap orientasi (1) Memberikan salam (2) Klarifikasi kontrak waktu (3) Jelaskan tujuan dan prosedur (4) Beri kesempatan klien untuk bertanya (5) Tanyakan persetujuan dan kesiapan klien (6) Persiapan alat dekat klien d) Tahap kerja (1) Cuci tangan (2) Atur posisi sesuai kebutuhan (3) Beri perlak di bawah daerah luka dekatkan bengkok (4) Pake handscoon (5) Buka balutan dengan pinset
45
(6) Pinset taruh di bengkok (7) Balutan kotor masukan ke plastic kuning (8) Tekan daerah sekitar luka, untuk mengeluarkan kotoran atau excudat (9) Nekrotomi bila ada jaringanyang mati (10) Kompres luka dengan kassa steril BWC atau betadin kompres 2-3 lembar (mengambil kassa dengan kompres dengan 2 pinset) (11) Tutup dengan kasa steril yang kering, kemudian dibalut atau plester (12) Cuci tangan e) Tahap terminasi (1) Ucapkan terima kasih atas kerjasama dengan klien (2) Evaluasi respon klien (3) Simpulkan hasil kegiatan (4) Pemberian pesan (5) Kontrak waktu kegiatan selanjutnya (6) Atur posisi klean senyaman mungkin (7) Bereskan alat-alat dan kembalikan pada tempatnya f) Dokumentasi (1) Nama klien (2) Tanggal dan waktu (3) Jenis tindakan (4) Respon klien (5) Nama petugas
46
g) Sikap (1) Teliti (2) Hati-hati (3) Empati (4) Peduli (5) Sabar (6) Sopan (RSUD dr. Soekarjo, 2011)
B. Landasan Teori Sectio Caesarea (SC) merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding abdomen dan dinding rahim (Benson & Pernoll 2008). Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan banyak hal atau berbagai faktor. Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kulit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 2010). Infeksi luka pada umumnya ditandai dengan tanda-tanda klasik meliputi kemerahan (rubor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), peningkatan suhu (kalor) pada jaringan luka dan demam. Pada akhirnya, luka akan terisi oleh jaringan nekrotik, neutrofil, bakteri dan cairan plasma yang secara bersama-sama akan membentuk nanah (pus) (Fry, 2009). Standar Oprasional Prosedur (SOP) perawatan luka adalah langkahlangkah prosedur tindakan keperawatan membersihkan luka agar tidak terinfeksi. Suatu standar/pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (Perry dan Potter, 2013).
47
C. Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Notoatmodjo, 2010). Adapun kerangka konsep dari penelitian yang berjudul ” Hubungan Penatalaksanaan Perawatan Luka Dengan Kejadian Infeksi Post Sectio Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya” dapat di gambarkan sebagai berikut :ini : Penatalaksanaan Perawatan Luka Sectio Caesarea
Sectio caesarea
Infeksi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi post section caesarea : 1) Diabetes Mellitus 2) Hiperglikemia perioperatif 3) Kegemukan 4) Malnutrisi 5) Merokok 6) Infeksi yang Telah ada di Lokasi Tubuh yang Jauh dari Lokasi Operasi 7) Kolonisasi Mikroorganisme 8) Hipotermia perioperatif
Gambar 2.1 Kerangka Konsep (Oxorn (2010) dan Pear (2013)) Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Kerangka
konsep
di
atas
menggambarkan
penatalaksanaan
perawatan luka berhubungan dengan infeksi post section caesarea. Dimana penatalaksanaan perawatan luka yang sesuai dengan SPO akan membuat
48
luka tidak terkena infeksi. Faktor resiko terjadinya infeksi luka post operasi dipengaruni oleh diabetes mellitus, hiperglikemia perioperatif, kegemukan, malnutrisi, merokok, infeksi yang telah ada di lokasi tubuh yang jauh dari lokasi operasi, kolonisasi mikroorganisme dan hipotermia perioperatif.
D. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari penelitian, patokan duga atau dahlil sementara yang sebenarnya akan di buktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo,2012). Hipotesis pada penelitian ini adalah Ha : Terdapat hubungan antara penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Ho : Tidak terdapat hubungan antara penatalaksanaan perawatan luka dengan kejadian infeksi post sectio caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran Surat Al-Maidah Ayat 32 Arikunto, (2010), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka Cipta. Jakarta Benson, P & Pernoll. (2009). Buku saku Obsetry Gynecology William. Jakarta EGC. Boyle, Maureen. (2009). Pemilihan Luka. Jakarta: ECG. Devi dan Wijayanti (2013), Hubungan Motivasi Dengan Kepatuhan Perawat Pelaksana Dalam Melaksanakan Perawatan Luka Post Operasi Sesuai Dengan SOP DI RSUD Batang. Naskah Publikasi Skripsi Program Studi Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan Dinkes
Jabar, (2013). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat www.dinkesjabar.go.id, [diakses pada tanggal 30 Maret 2015]
2012,
Fraser, Diane M. Cooper, Margaret A. (2009). Buku Ajar Bidan Myles. Ed 14. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Gibbons, L . et all. (2010). The Global Numbers and Costs of Additionally Needed and Unne cessary Caesarean Sections Performed per Year: Overase as a Barter to Universal Coverage. World Health Report. Johnson A, Young D, Reilly J.(2006) Caesarean section surgical site infection surveillance. Journal of Hospital Infection Kemenkes RI, (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Kozier, et al. 2004. Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice, 7 edition. Pearson Prentice Hall. New Jearsy. Lubis, Z. (2010).Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya Terhadap Bayi Yang Di Lahirkan. tersedia dalam: http://pustaka.ictsleman.net/ [diakses 15 maret 2015] Mansjoer Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculaplus. Jakarta. Manuaba, Ida Bagus Gede. (2012). Kapita Selekta Penatalaksnaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC. Mochtar, R. (2010). Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo,S, (2010). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta Jakarta. Oxorn, Harry, Et Al. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta; Yayasan Essentia Medica (Yem). Pear SM. (2013) Patient Risk Factors and Best Practices for Surgical Site Infection Prevention. Managing Infection Control Potter & Perry (2013), Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, Dan Praktik. Jakarta: EGC. Price & Wilson, (2012). Patologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi ke delapan, Jakarta: EGC Profil RSUD Dr Soekardjo Kota Tasikmalaya, 2014 Progestian, Prima. 2010. Proses Melahirkan / Persalinan pada Manusia. Tersedia Dalam http://dr.prima.com [Diakses 15 Maret 2015]. Puspitasari (2011), Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC) di RS PKU Muhammadiyah Gombong. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 7, No. 1, Februari 2011 dalam http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id/ [diakses 15 maret 2015]. Ridwan Akdon, (2007) Rumus dan Data Dalam Aplikasi Statistik. Alpabeta : Bandung. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC Smeltzer and bare, (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi ke delapan, Vol 8, Jakarta: EGC Sofian A. (2012). Rustam Mochtar Sonopsis Obstreti. Jilid 2, Edisi 3, EGC : Jakarta. Standar Oprasional Prosedur (SOP) Perawatan Luka Kotor RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya (2011) Sutrimo,A.2012. Pengaruh GIM terhadap kecemasan pasien pre operasi SC di RSUD Banyumas. Skripsi. Purwokerto : Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman. Taylor, et al. 2007. Fundamentals of Nursing : The art and Science of Nursing Care. JB Lippincott Company : Philadelphia. Wardani
(2010), Hubungan Pelaksanaan Perawatan Luka Terhadap Pengendalian Infeksi Luka Pasca Operasi Di Irna Flamboyan Rumah Sakit Gambiran Kediri. tersedia dalam http://pubdos.stikesstrada.ac.id/ [diakses 17 maret 2015].