IMPLEMENTASI PENGISIAN INFORMED CONSENT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SOEKARDJO KOTA TASIKMALAYA 1
Fajar Yunita Sari 2 Lilik Hidayanti dan Rian Arie Gustaman Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Peminatan Administrasi Kebijakan Kesehatan 1 Universitas Siliwangi (
[email protected]) Dosen Pembimbing Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (AKK) 2 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi ABSTRAK Latar belakang: Informed consent merupakan salah satu laporan penting yang wajib terisi lengkap dalam dokumen rekam medis pasien. Kelengkapan Informed consent merupakan sarana untuk memperoleh legitimasi (pengesahan) atas tindakan medis yang akan dilakukan yang berakibat terciptanya suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasien.Tindakan medis tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medis mutlak diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pengisian informed consent berdasarkan 4(empat) faktor yaitu komunikasi, sumber daya, sikap/disposisi dan struktur birokrasi. Metode penelitian: Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini adalah informan utama dokter bedah sebanyak satu orang dan informan triangulasi yang terdiri dari satu perawat poliklinik bedah umum, dua Kepala ruangan bedah dan enam orang keluarga pasien yang diambil dengan purposive sampling menggunakan cara indepth interview serta observasi. Hasil: Dari segi komunikasi proses penyampaian informasi medis kepada pasien sudah dilakukan oleh dokter namun secara transmisi, kejelasan dan konsistensi informasi yang diberikan belum optimal. Sehingga keluarga pasien masih bertanya kembali tentang pentingnya tindakan medis tersebut dilaksanakan. Secara sumber daya manusia di RSUD Kota Tasikmalaya sudah cukup memadai. Pelaksanaan informed consent sudah ditunjang dengan adanya SOP dan formulir informed consent itu sendiri. Dokter selaku pelaksana informed consent memiliki sikap dan komitmen yang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan dokter yang secara aktif mencari sendiri formulir informed consent yang belum lengkap. Pola hubungan yang terbentuk antara dokter dengan pasien RSUD dr. Soekardjo yaitu pola hubungan orientasi diri yang netral, dimana dokter mengutamakan kesembuhan individu atau pasiennya tanpa melibatkan emosi yang mendalam. Pola hubungan antara dokter dengan perawat di RSUD dr. Soekardjo adalah pola hubungan khusus dan prestasi, dimana mereka saling berinteraksi dengan menggunakan norma dan kriteria khusus dan dipengaruhi tingkat prestasi yang telah dicapai. Pola hubungan dokter dengan pihak manajerial adalah pola hubungan yang spesifik dimana dua individu berhubungan dalam situasi yang terbatas sifatnya, sehingga apa yang menjadi kewajiban perorangan akan menjadi tanggung jawab perorangan pula. Simpulan: Implementasi pengisian informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya masih sangat memerlukan perhatian dan komitmen berbagai pihak agar terlaksana sesuai SOP dan peraturan yang telah ditetapkan, mengingat legalitas formulir tersebut bagi dokter dan petugas kesehatan lainnya. Kata kunci Kepustakaan
: implementasi, pengisian, informed consent : 26 (1996-2013)
ABSTRAK Background : Informed consent is one of the important reports that must be filled completely in the patient’s medical record documents. Completeness Informed consent is a means to obtain legitimacy (endorsement) of a medical procedure to be performed which resulted in the creation of a legal relationship between doctor and patient. Certain medical procedures are always followed by unpleasant consequences. Good or bad risk are patients who bear. On this basis, the patient's consent for any medical treatment is absolutely necessary, unless the patient is stated of emergency. This research aims to determine the implementation of filling informed consent based on four (4) factors, namely communication, resources, disposition and bureaucratic structures. Research method: This research is analytical observation that used qualitative approach.This research subjects were the primary informant surgeon only one man and informant triangulation consisting of a general surgery clinic nurse, two surgical room heads and six of patient’s families were taken by using purposive sampling, in-depth interview and observation method. Result : The results showed that in terms of the communication process of delivering medical information to patients had been performed by a doctor but in transmission, clarity and consistency of the information provided was not optimal. So that the patient's family asked again about the importance of medical measures were implemented. In human resources in dr. Soekardjo hospitals Tasikmalaya are sufficient. Implementation of informed consent had been supported by the SOP and informed consent form itself. Doctor who carried out informed consent had a good attitude and commitment. It was shown by the doctor who were actively seeking their own informed consent form was not complete. The pattern of relationships formed between doctor and patient dr. Soekardjo was a pattern of self-orientation neutral relationship, where doctors put healing involved individuals or patients without deep emotion. The pattern of the relationship between doctor and nurse in dr. Soekardjo was a special relationship and achievement patterns, where they interacted with each other using specific criteria and norms and influenced the level of achievements. The pattern relationship of hospital managerial with the doctor was a specific pattern of relationship where two individuals associated in its restricted situation, so what is the obligation of the individual will be the responsibility of individuals as well. Conclusion : implementation of informed consent filling in dr. Soekardjo hospital still requires attention and comitment of various parties to the SOP and implemented in accordance with prescribes rules, considering the legality of the form for doctors and other healthworkers. Keywords Reference
: implementation, filling, informed consent : 26 (1996-2013)
PENDAHULUAN Izin pasien sangat diperlukan dalam prosedur tindakan medis karena tindakan medik hasilnya penuh ketidakpastian, tidak dapat diperhitungkan secara matematik, karena dipengaruhi faktor-faktor lain di luar kekuasaan dokter, seperti virulensi penyakit, daya tahan tubuh pasien, stadium penyakit, respon individual, faktor genetik, kualitas obat, kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasihat dokter, dll. Selain itu tindakan medik mengandung risiko, atau bahkan tindakan medik tertentu selalu diikuti oleh akibat yang tidak menyenangkan. Risiko baik maupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar itulah maka persetujuan pasien bagi setiap tindakan medik mutlak diperlukan, kecuali pasien dalam kondisi emergensi. Dalam Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 yang dimaksud dengan Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Setiap tindakan medis yang
mengandung
risiko
cukup
besar,
mengharuskan
adanya
persetujuan
tertulis
yang
ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya yang
disebut Informed consent. (SKB IDI No.319/P/BA./88) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya merupakan Rumah Sakit milik pemerintah kelas B Non Pendidikan yang ada di wilayah Kota Tasikmalaya. Berdasarkan survei awal diperoleh data bahwa tingkat ketidaklengkapan Informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya pada Triwulan II Tahun 2012 adalah sebesar 28,7%. Menurut Kepala Instalasi Rekam Medis RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, ketidaklengkapan Informed consent itu harus 0% yang berarti seluruh item pada formulir harus terisi. Persentase terbesar ketidaklengkapan Informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya terdapat pada tanda tangan dokter dengan persentase sebesar 97%. Informed consent merupakan salah satu laporan penting yang wajib terisi lengkap dalam dokumen rekam medis pasien. Kelengkapan Informed consent merupakan sarana untuk memperoleh legitimasi (pengesahan) atas tindakan medis yang akan dilakukan yang berakibat terciptanya suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasien. Upaya yang sangat mungkin dilakukan oleh dokter dan manajemen RS dalam usaha pencegahan tuntutan hukum dari pasien, antara lain dengan menyiapkan Legal defence dalam bentuk Informed consent. Kelengkapan pengisian formulir Informed consent merupakan salah satu parameter dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Mengingat penting dan legalitas formulir Informed consent maka dirasa perlu adanya penelitian tentang Implementasi Pengisian Informed consent di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan implementasi pengisian Informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dari segi komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini meliputi 3 (tiga) instrumen. Pada informan utama atau dokter digunakan instrumen pedoman wawancara dan pedoman observasi dengan pengumpulan data menggunakan cara indepth interview yang didukung dengan observasi langsung. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah dokter spesialis bedah sebagai informan utama sebanyak 1 (satu) orang dan Informan triangulasi yang terdiri dari perawat poliklinik bedah satu orang, Kepala ruangan Bedah 2 (dua) orang serta keluarga pasien bangsal bedah kelas III sebanyak 6 (enam) orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan kriteria pasien berikut menjalani tindakan medis berresiko tinggi, bersedia menjadi responden dan mampu berkomunikasi dengan baik. Pengolahan dan Validitas Data Data penelitian yang sudah diperoleh kemudian diolah dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (conclusion drawing). Pengukuran validitas data dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi sumber dan triangulasi metode
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Komunikasi Dalam Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran pasal 45 ayat 3 disebutkan bahwa batasan minimal informasi yang harus diberikan meliputi: 1) diagnosis dan tata cara tindakan medis, 2) tujuan tindakan medis yang dilakukan, 3) alternatif tindakan lain dan resikonya, 4) resiko dan komplikasinya yang mungkin terjadi, 5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Permenkes No 290/MenKes/Per/III/2008 Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta. Bagaimana cara dokter memberikan informasi kepada pasien sama pentingnya dengan informasi apa yang akan anda berikan kepada pasien. Pasien tidak dapat memberikan persetujuan yang sah kecuali mereka telah diberitahu sebelumnya. Hasil wawancara dengan informan utama diperoleh informasi bahwa dokter menyampaikan langsung informasi medis terkait resiko dan prognosis di poliklinik. Kepala ruangan RSUD dr. Soekardjo pun menyatakan hal yang sama. Namun ketika dikonfirmasi dengan pihak keluarga pasien, informasi yang disampaikan dokter hanya terkait bagian tubuh yang akan dilakukan tindakan medis dan hal tersebut disampaikan oleh perawat. “....dijelaskan dulu diagnosisnya, kalau rencana terapi itu biasanya kalau di bagian obat kan terapeutik, kita menjelaskan dulu apa resiko-resiko tindakan, yang pertama..terus masalah prognosis..yang paling utama..” Proses komunikasi dokter dengan pasien tentang informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya belum terlaksana secara optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan dokter yang tidak sesuai dengan pernyataan keluarga pasien. Menurut George Edwards III (dalam Rochyati, 2012) ada tiga hal dalam komunikasi yang perlu mendapatkan perhatian: 1) Transmisi Komunikasi yang baik dan efektif akan mendorong pasien maupun keluarganya untuk berbicara secara jujur dan terbuka mengenai kondisi dan keluhannya. Keterangan yang benar dan lengkap akan membantu dokter dalam menegakkan diagnosis dan tindakan-tindakan penyembuhannya. Banyak opini yang berkembang bahwa berkomunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter sehingga dokter tidak dapat memberikan pelayanan yang maksimal. Apalagi jika dokter-dokter tersebut adalah dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintahan dengan jumlah pasien yang banyak dan jam kerja yang terbatas. Menurut Kurts (dalam Manual Komunikasi, 2006) dengan kemampuan mengerti harapan, kepentingan, kecemasan dan kebutuhan pasien maka patient centered communication style tidak akan memerlukan waktu lebih lama daripada komunikasi berdasarkan kepentigan dokter untuk menegakkan diagnosis (doctor centered communication style). Seperti yang disampaikan oleh keluarga pasien bahwa mereka ingin mendapat jalan keluar yang terbaik atas kondisi keluarga mereka.
P4 : “Iya, bertanya jalan keluarnya gimana, yang terbaiknya gimana, kita sebagai keluarga kan kalau terus-terusan begini ya gimana”
2) Kejelasan Informasi yang akan dikomunikasikan haruslah informasi yang tepat, akurat, dan lengkap. Sehingga memerlukan kejelasan tujuan dan cara dalam proses menyampaikannya. Komunikasi
antara
dokter
dengan
pasien/keluarganya
merupakan
komunikasi
interpersonal/komunikasi dua arah yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka. Diharapkan dengan adanya komunikasi interpersonal tersebut kendala-kendala yang muncul dalam proses pengobatan pasien dapat segera diatasi melalui feedback yang diberikan pasien/keluarganya. Namun seringkali pasien ataupun keluarga tidak memberikan umpan balik terhadap proses komunikasi tersebut. Sesi anamnesis dalam dunia kesehatan merupakan salah satu sesi paling penting. Dimana pada sesi tersebut para petugas kesehatan akan memperolah informasi-informasi kesehatan tentang kondisi pasien. alangkah baik jika seorang dokter ataupun petugas kesehatan yang lain dapat memanfaatkan sesi anamnesis ini dengan sebaik mungkin dengan menjadi pendengar yang baik. Anamnesis pasien poliklinik bedah umum di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dilakukan oleh perawat di poliklinik tersebut sebelum pasien diperiksa oleh dokter. Hal tersebut senada dengan jawaban yang disampaikan oleh perawat ketika diberikan pertanyaan tentang proses penyampaian informasi medis: “... Kita-kita juga yang melakukan anamnesa sebelum dengan dokter. Tanggal, kunjungan, poli yang dituju, anamnesa, pemeriksaan, pemeriksaan penunjang. Anjuran terus diagnosa sama dokter, tindakan dan terapi juga. Kita anamnesa, pemeriksaan penunjangnya apa, biar efisien waktu, kalau semua sama dokter kan lama. Anamnesa jadi tahu keluhannya, kita sudah tahu tapi ditegakkan lagi sama dokter.”
3) Konsistensi Konsistensi prosedur penyampaian informasi akan sangat mempengaruhi proses penyampaian informasi. Informed consent merupakan sebuah pernyataan atau bentuk persetujuan tertulis pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan memiliki kekuatan hukum. Sehingga prosedur pelaksanaannya harus diatur sedemikian rupa dengan penuh konsistensi. Prosedur yang dilaksanakan saat ini di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya belum sesuai dengan SOP No 22/CM/2010 tentang Informed Consent dimana beberapa prosedur belum terlaksana sesuai SOP, seperti: a) Prosedur penyampaian informasi medis meliputi tata cara tindakan medis, resiko, komplikasi dan prognosis; b) Penanggungjawab, dokter dan perawat tidak membubuhkan tandatangan setelah pasien memberikan persetujuan tindakan medis. Hal tersebut senada dengan pernyataan informan utama sebagai berikut “...Ya...biasanya pas waktu mau tindakan kalau disini, misalnya besok pas mau operasi..di ruangan.. atau pas mau dioperasi baru tanda tangan formulir persetujuan operasi..tanda tangannya cuma sama perawat saja. Kalau pas di poli ya di poli.. kalau di emergency ya di
emergency.. kalau di ruangan ya di ruangan. Saya tandatangan kalau saya lihat ada yang belum ditandatangan..Kalau misalnya nggak dimintai tandatangan.. ya kelewat..” Dalam Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008 pasal 4 ayat 3 disebutkan bahwa „sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi
tersebut
kepada
keluarga
terdekat
dengan
didampingi
oleh
seorang
perawat/paramedik lainnya sebagai saksi‟. Proses penyampaian informasi medis di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya tidak melibatkan paramedik yang lain sebagai saksi. Terkadang informasi medis itu sendiri disampaikan oleh perawat jika kondisi pasien tidak terlalu berresiko, seperti yang disampaikan oleh Kepala Ruangan 1 berikut ini “...Kalau bedah umum dan berresiko, dokter sudah punya dugaan-dugaan, dijelaskan ke pasien. Beritahukan ke keluarganya langsung oleh dokter. Kalau tidak terlalu berresiko diberitahukan oleh perawat” Dalam SOP Informed consent dengan No 22/CM/2010 disebutkan pada poin 4.3 bahwa penjelasan
diberikan
sejelas-jelasnya
sehingga
pasien
atau
keluarga
pasien
atau
penanggungjawabnya mengerti atas apa yang dijelaskan oleh dokter. Berdasarkan SOP tersebut, informasi medis harus disampaikan oleh dokter sendiri bukan perawat. Perawat hanya sebagai saksi dalam informed consent tersebut. Seperti yang tertuang dalam SOP Informed consent poin 4.9 yang menyatakan bahwa perawat sebagai saksi harus membubuhkan tanda tangannya pada formulir informed consent. Penyampaian informasi medis di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dapat dilakukan di beberapa tempat dan waktu tergantung kondisi pasien. Informasi medis dapat disampaikan di poliklinik, ruang operasi maupun IGD jika kondisi pasien memungkinkan untuk menerima informasi. Penandatanganan formulir informed consent dapat juga dilakukan ketika pasien masih di poliklinik ataupun menjelang operasi.
B. Sumber Daya Tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak. Pada prinsipnya persetujuan diberikan oleh pasien yang bersangkutan yang berkompeten. Ditinjau dari segi usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
Hasil wawancara dengan dokter dan informan lainnya dapat diketahui bahwa seluruh komponen sumber daya yang terkait dengan pengisian Informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya telah terpenuhi namun belum diberdayakan secara maksimal. Komponen sumber daya meliputi: 1. Yang memberikan informasi Dokter yang merawat pasien adalah orang yang bertanggung jawab langsung dalam proses pengisian informed consent. Dokter wajib menyampaikan secara langsung informasi medis terkait tindakan medis/operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Dalam Permenkes No 290/Menkes/PER/III/2008 pasal 10 ayat 1 disebutkan bahwa penjelasan dalam pasal 9 diberikan oleh dokter/dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter/dokter gigi dari tim yang merawatnya. Dengan demikian setiap dokter yang merawat pasien wajib menyampaikan secara langsung kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada saat operasi berlangsung. Dokter bedah bertanggung jawab secara langsung pada setiap tindakan medis/operasi yang akan dilakukan. Jumlah dokter bedah umum di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya sebanyak 4 (empat) orang dengan rotasi jadwal praktik setiap 1 (satu) minggu sekali. Perbandingan jumlah pasien dengan jumlah dokter bedah yang tidak seimbang menjadi salah satu faktor dokter tidak melaksanakan prosedur informed consent secara baik. Berdasarkan hasil wawancara kepada informan utama dan beberapa keluarga pasien diketahui bahwa dokter tidak menyampaikan resiko-resiko yang akan terjadi dan alternatif tindakan ketika operasi berlangsung. Keluarga pasien menyatakan bahwa dokter hanya memberitahukan indikasi-indikasi medis yang muncul dan bagian tubuh mana yang akan dioperasi. 2. Yang menerima informasi Pada prinsipnya persetujuan diberikan oleh pasien sendiri yang berkompeten. Dalam Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran seseorang dianggap kompeten untuk memberikan persetujuan, apabila: a. Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa istilah yang terlalu teknis. b. Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan. c.
Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.
Pasien yang belum kompeten dapat memberikan persetujuan dengan diwakilkan oleh: a. Keluarga terdekat antara lain : suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung, saudarasaudara kandung. b. Bila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada yang mengantar pasien. c. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya maka dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan, penjelasan diberikan langsung kepada pasien (termasuk anak-anak) pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar. (UU No 29 Tahun 2004 Pasal 45 ayat 1 butir 3) 3. Dasar hukum Informed consent
Indonesia merupakan Negara Hukum dimana setiap tindakan atau prosedur yang memiliki kekuatan hukum terdapat dasar hukum pelaksanaannya. Informed consent merupakan salah satu prosedur atau tindakan yang terkait dengan kekuatan hukum. Ketentuan perundangan yang terkait dan menjadi dasar dalam pelaksanaan Informed consent antara lain: a. Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan b. Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran c. Permenkes No 290/Menkes/Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan medis d. Permenkes No 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang penyelenggaaraan praktik kedokteran e. KODERSI f. KODEKI g. Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran- KKI Tahun 2006 h. SK. PB. IDI No 319/PB/A4/88 Peraturan-peraturan tersebut menjadi acuan dalam pelaksanan prosedur tindakan medis di setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam praktiknya setiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki kewenangan untuk mengembangkan prosedur pelaksanaan tindakan medis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam SOP masing-masing rumah sakit. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa, informan yang merupakan dokter baru belum mengetahui SOP terkait dengan prosedur pengisian Informed consent di RSUD Kota Tasikmalaya. Informan meyakini bahwa SOP tersebut pasti ada, hanya saja informan belum memperoleh informasi terkait SOP pengisian informed consent. Hal tersebut senada dengan jawaban Kepala ruangan dan perawat poliklinik yang mengatakan bahwa SOP tersebut ada. Namun untuk di ruang rawat hanya ada SOP terkait tindakan di ruang rawat, kalau tindakan terkait operasi ada di dokter yang melaksanakan operasi tersebut. SOP terkait informed consent di RSUD Kota Tasikmalaya ada dua. Yang pertama SOP penyampaian informasi medis diterbitkan pada tanggal 01 Desember 2010 dengan No 22/CM/2010. Yang kedua SOP pengisian formulir informed consent (CM 12). Berdasarkan hasil pengamatan prosedur yang tertuang dalam kedua SOP tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan informed consent. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa prosedur yang belum terlaksana antara lain: a. Informasi medis yang disampaikan hanya sebatas diagnosis penyakit dan jenis tindakan yang akan dilakukan b. Informasi tersebut tidak seluruhnya disampaikan oleh dokter akan tetapi oleh perawat c.
Proses penandatanganan tidak dilakukan dengan dokter yang bertanggungjawab hanya dengan perawat sebagai saksi.
4. Formulir Informed consent RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya menerapkan dua formulir informed consent. Yang pertama adalah formulir Persetujuan Tindakan Medis dan formulir CM 12. Formulir Persetujuan Tindakan Medis digunakan untuk informed consent operasi dan tindakan medis
invasive lainnya. Sedangkan formulir CM 12 digunakan sebagai general consent untuk tindakantindakan medis yang ringan dan tidak terlalu berresiko seperti pemeriksaan dan medikasi. Berdasarkan hasil wawancara, informan utama menyatakan tidak mengalami kesulitan dalam pengisian formulir informed consent. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh informan triangulasi yang lain, mereka menyatakan bahwa tidak ada kesulitan dalam mengisi formulir karena memang formulirnya sederhana dan simple. Namun dalam laporan ketidaklengkapan formulir informed consent Triwulan II tahun 2013 ditemukan angka yang cukup tinggi pada masing-masing indikator ketidaklengkapan. Nilai rata-rata ketidaklengkapan pada Triwulan II tahun 2013 sebesar 28,7%. Angka tersebut merupakan angka yang tinggi karena batas normal ketidaklengkapan informed consent adalah 0%. Dilihat dari desain formulirnya, tidak ada kendala yang memungkinkan dalam mengisi formulir informed consent. Semua aspek desain formulir sudah tercakup dengan baik didalamnya meliputi aspek heading, introduction, body, instruction, dan close.
C. Disposisi Disposisi adalah sikap dan komitmen pelaksana dalam menjalankan kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Mengingat penting dan legalitas formulir informed consent, maka perlu bagi seorang dokter dan petugas kesehatan lainnya untuk memiliki pengetahuan yang baik dan keyakinan yang positif dalam melaksanakan informed consent dengan baik dan sesuai prosedur. Informed consent merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap dokter secara tertulis apabila terjadi gugatan berkaitan dengan malapraktik. Dilihat dari segi disposisi pelaksana informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya sudah memiliki sikap dan komitmen yang baik tentang informed consent itu sendiri. Namun masih perlu ditingkatkan kembali komitmen dari para pelaksananya agar prosedur informed consent dapat berjalan sesuai dasar hukum yang telah dibuat. Bedasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa baik informan utama maupun triangulasi, memahami bahwa informed consent itu penting dan memiliki kekuatan hukum. Seperti pernyataan informan utama berikut ketika diberikan pertanyaan „Apakah informed consent itu penting?‟ “Penting. Ya kalau belum tanda tangan diingatkan sama perawat. Kadang sama saya suka dilihat karena ada konsekuensi hukum. Jadi ya memang harus ada yang mengingatkan untuk mengisinya.” Sebagai bentuk komitmen/tanggapan dokter pada proses informed consent, dalam pernyataannya disebutkan bahwa dokter tidak segan untuk mencari sendiri berkas yang belum ditandatangani. Namun pernyataan dokter tersebut tidak dapat divalidasi dengan pernyataan dari pihak perawat di Instalasi Bedah Sentral (IBS) karena terkendala perijinan. “.... Jadi harus kita sendiri yang aktif mencari yang belum ditandatangan.”
Dukungan dan respon pemerintah yang baik terhadap pelaksanaan informed consent ini antara
lain
dibuatnya
peraturan
perundang-undangan
yang
digunakan
sebagai
pedoman
pelaksanaan informed consent. Pemerintah juga menerapkan sistem punishment atau hukuman dalam bentuk hukuman pidana, perdata dan pendisiplinan oleh Majelils Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) berupa teguran hingga pencabutan Surat Tanda Registrasi. Seorang dokter yang melakukan tindakan kepada pasien tanpa ada persetujuan dapat dikategorikan sebagai penyerangan (assault).
D. Struktur Birokrasi Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Pola hubungan antar pelaksana akan mempengaruhi implementasi kebijakan. Begitu pula dengan pelaksanaan informed consent di sebuah fasilitas pelayanan kesehatan akan sangat terpengaruh dengan pola hubungan dokter dengan perawat, dokter dengan pasien, dan dokter dengan pihak manajerial rumah sakit. Pola hubungan yang terbentuk di lingkungan RSUD dr. Soekardjo masih berorientasi pada diri sendiri belum berorientasi pada kelompok. Sehingga kebutuhan-kebutuhan pasien selaku konsumen belum terpenuhi. Pola hubungan yang terbentuk antara dokter dengan perawat di RSUD dr. Soekardjo adalah pola hubungan khusus dan prestasi. Dimana mereka saling berinteraksi dengan menggunakan norma dan kriteria khusus dan dipengaruhi tingkat prestasi yang telah dicapai setiap individu. Kesenjangan hubungan yang terbentuk antara dokter dan perawat seolah-olah menempatkan perawat dalam kondisi sebagai orang yang hanya bertugas merawat dan menjadi asisten dokter. Perawat tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, hanya dokter yang memiliki peran untuk mengambil keputusan terkait kondisi pasien. Pola hubungan yang terbentuk antara dokter dengan pasien RSUD dr. Soekardjo yaitu pola hubungan orientasi diri yang netral. Dimana dokter mengutamakan kesembuhan individu atau pasiennya tanpa melibatkan emosi yang mendalam atau intim. Sebuah hubungan yang baik akan ditandai dengan pola komunikasi yang baik pula. Dalam Manual Komunikasi (KKI, 2006) disebutkan bahwa komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai dokter. Komunikasi yang baik dan dalam kedudukan yang setara akan memudahkan dokter dalam menggali informasi terkait kesehatan pasien. Sehingga pasien akan mau berbicara secara jujur dan terbuka mengenai keluhan dan sakit yang dirasakan. Hal ini akan memudahkan dokter untuk menentukan diagnosis dan pengobatan bagi pasien tersebut. Komunikasi efektif akan sangat berpengaruh pada emosi pasien maupun keluarga dalam mengambil keputusan tindakan medis selanjutnya. Pola hubungan dokter dengan pihak manajerial adalah pola hubungan yang spesifik dimana dua individu berhubungan dalam situasi yang terbatas sifatnya. Sehingga apa yang menjadi kewajiban perorangan akan menjadi tanggung jawab perorangan pula.
Berdasarkan hasil wawancara dapat kita ketahui bahwa masih diperlukan kerjasama yang baik dari berbagai pihak untuk dapat mencapai pelaksanaan informed consent yang baik dan sesuai pedoman. Seperti pernyataan informan utama berikut yang menyatakan bahwa diperlukan tim atau bagian khusus yang menangani permasalahan informed consent. “Harus ada bagian khusus yang menangani itu. Kelengkapan administrasi, dan harus segera diingatkan, kalau hanya mengandalkan dokter perawat kan banyak yang dikerjakan..terlewat..terbengkalai. Misalnya ada tim yang mengkaji kelengkapan termasuk IC. Selama ini kan SOPnya kan tidak ada.” Faktanya di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya sudah ada bagian atau unit khusus yang menangani ketidaklengkapan formulir. Unit Rekam Medis merupakan Unit yang berperan langsung dalam kegiatan tesebut. Mengingat kepentingan formulir informed consent itu sediri, pihak Unit Rekam Medis selalu membuat laporan ketidaklengkapan tersendiri setiap tahunnya. Jika dilihat dari sisi kebutuhan, laporan-laporan ketidaklengkapan itu hanya untuk memenuhi kewajiban rumah sakit setiap bulannya tanpa diikuti disposisi dan tindak lanjut ke bagian pelaksana seperti dokter dan perawat.
SIMPULAN 1. Implementasi pengisian informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dari segi komunikasi belum berjalan secara optimal. Proses transmisi, kejelasan dan konsistensi informasi medis oleh dokter kepada pasien belum terlaksana dengan baik. 2. Implementasi pengisian informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dari segi sumber daya baik manusia, formulir, serta Standar Operasional Prosedur (SOP) sudah ada dan mencukupi namun belum diberdayakan secara maksimal. 3. Implementasi pengisian informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dari segi disposisi baik secara sikap maupun komitmen sudah baik. Dokter memiliki sikap dan komitmen yang positif terhadap pelaksanaan informed consent. 4. Implementasi pengisian informed consent di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dari segi struktur birokrasi belum berjalan secara optimal. . Pola hubungan yang terbentuk masih berorientasi pada diri sendiri belum berorientasi pada kelompok. Sehingga kebutuhan-kebutuhan pasien selaku konsumen belum terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA [1] Anonim. Sangapan Sinambela Korban Malpraktek di Rumah Sakit Besar Di Medan. http: //hariansib.info/wartasib/suara-pembaca/sangapan-sinambela-korban-malpraktek-di rumah-sakitbesar-di-medan/. 2012.Diakses 25 Desember 2012 [2] Anonim. Kasus Prita Sebagai Tanda Tidak Adanya Perlindungan Negara Kepada Rakyat Kecil. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/kasus-prita-sebagai-tanda-tidak-adanya-perlindungannegara-kepada-rakyat-kecil/ 2010. Diakses: 28 Maret 2013. [3] Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan dan Praktik). Jakarta: Rieneka Cipta.1998. [4] Aw, Suranto. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011. Hal: 14-23 [5] Cynthia, R dkk. Teori-teori Komunikasi Pada Tahap Awal. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._KURIKULUM_DAN_TEK._PENDIDIKAN/197611152001122-
RICHE_CYNTHIA_JOHAN/Teori_Komunikasi/TEORITEORI_KOMUNIKASI_PADATAHAP_AWAL.pdf. Diakses 22 Maret 2013 [6] Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : IDI.2006. [7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [8] Kode Etik Rumah Sakit Indonesia. 2000. [9] Konsil Kedokteran Indonesia. Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.2006. [10] Konsil Kedokteran Indonesia.Manual Komunikasi. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.2006. [11] Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011. [12] Mulyono, Model Implementasi Kebijakan George Edward III. http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/28/model-implementasi-kebijakan-george-edward-iii/. 2009. Diakses 20 Maret 2013 [13] Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 290/Menkes/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran [14] Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran dan Kedokteran Gigi. [15] Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. [16] Purwanto, Erwan A. Implementasi Kebijakan Publik (Konsep dan Aplikasinya di Indonesia). Yogyakarta: Gava Media.2012.Hal: 18-93. [17] Rochyati. Pendekatan Teori-teori Implementasi Kebijakan Publik. http://rochyati-w-tfisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-69584-Umum-PENDEKATAN%20DAN%20 TEORI%20%E2%80%93%20TEORI%20IMPLEMENTASI%20%20%20%20KEBIJAKAN%20PUBLIK. html. 2012. Diakses: 3 April 2013. [18] Sarwono, Solita. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2007.Hal:20-21. [19] Sudarma, Momon.Sosiologi Untuk Kesehatan. http://books.google.co.id/books/Pola-hubungandokter-dan-perawat. 2008. Diakses : 14 Maret 2013. [20] Sudra, Rano I. Informed Concent. http://ranocenter.net/. 2007. Diakses : 5 Januari 2013. [21] Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. 2009. Hal: 205277. [22] Surat Edaran Dirjen Yanmed No.YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter, dan Rumah Sakit [23] Surat Keputusan PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 [24] Undang-undang RI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [25] Undang-undang RI No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran [26] Undang-Undang RI No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.