HUBUNGAN PEMBERIAN TROMBOLITIKDENGAN PENURUNAN ST ELEVASI PADA PASIEN INFARK MIOCARD AKUT DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN
Saifudin Zukhri*
ABSTRAC
Background: IMA with ST elevation (ST Elevation Myocardial Infarct) is part of a spectrum of acute coronary syndrome (ACS). Cardiac arrest (cardiac arrest) is responsible for 60% of the adult mortality rate of patients experiencing AMI. Management therapy is the most effective choice of thrombolytic therapy. This study aims to determine the relationship of thrombolytic administration with a decrease in ST elevation acute myocardial infarction. Results: For determine the relationship of thrombolytic administration with a decrease in ST elevation acute myocardial infarction patients. Conclusion: Design description of correlation using cross-sectional observational study approach. Total population 85 records medic purposive sampling technique sample of 50 respondents with 25 data to obtain the data as a thrombolytic and 25 controls who did not receive thrombolytic of medical record data inclusion and exclusion criteria. Bivariate analysis of the characteristics of respondents and used univariate chi square with correlation coefficient to determine the relationship contingency. Keywords : STEMI, thrombolytic, decrease in ST elevation.
*Dosen Keperawatan Stikes Muhammdiyah Klaten
A. Latar Belakang Sindrom koroner akut adalah kegawatan kardiovaskuler yang merupakan penyebab utama kematian. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit. Kematian yang terjadi sebelum pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan aritmia malignan (VT/VF). Banyak kejadian terjadi dalam 4 (empat) jam pertama setelah awal serangan. Kematian dirumah sakit lebih banyak berhubungan dengan penurunan curah jantung termasuk gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan pula dengan luasnya infark Miokard
oleh
karena
itu
membatasi
infark
akan
menurunkan
mortalitas,(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2008). IMA dengan ST elevasi (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum Sindrom Koroner Akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa ST elevasi dan IMA dengan ST-elevasi. IMA dengan ST elevasi (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. (Santoso M. Setiawan, 2005). Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama baik di negara maju maupun negara berkembang seperti di Indonesia. Henti Jantung (cardiac arrest) bertanggungjawab terhadap 60% dari angka kematian penderita dewasa yang mengalami penyakit jantung koroner. Di Eropa diperkirakan terdapat kasus multi jantung sekitar 700000 orang/tahun, untuk di Indonesia berdasarkan laporan hasil riset kesehatan dasar RISKESDAS Indonesia tahun 2007 yang diterbitkan oleh Departemen Kesehtan RI tahun 2008 di Jakarta bahwa Prevalensi Nasional penyakit jantung adalah 7,2% (Riskesdas Indonesia tahun 2007 hal. XIV). Propinsi Jawa Tengah 2011 menunjukkan bahwa kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak sebanyak 634.860 kasus (72,13 %), (dinas kesehatan kota Semarang, 2010). Proporsi angka kematian berdasarkan daerah perkotaan dalam kelompok umur 45 s/d 45 tahun penyakit jantung iskemik menduduki urutan ke tiga (8,7%) sebagai penyebab kematian urutan pertama adalah stroke (15,9%). Urutan ke dua adalah diabetes militus (14,7%). Untuk daerah pedesaan pada kelompok umur yang sama penyakit jantung iskemik merupakan urutan nomor empat (Riskesdas
Indonesia, 2008 hal. 283). Dilihat berdasarkan jumlah kasus keseluruhan penyakit jantung koroner di Kabupaten Klaten adalah 3,82 %. Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina (UA), ST Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI). IMA tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya. Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan reperfusi, berupa terapi trombolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI), yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam) dapat dilakukan terapi trombolitik bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas infark (ongoing chest pain), (Dinas kesehatan Kota Semarang, 2010). Penanganan IMA dengan tata laksana umum diberikan dengan suplemen oksigenasi yang cukup, nitrogliserin sublingual, morfin sebagai analgesik pilihan yang paling efektif untuk mengurangi nyeri dada dalam tata laksana STEMI dan aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindroma koroner akut. Konsep tromboemboli pada lesi stenotik (plak atero sklerotik) merupakan dasar pada mayoritas kejadian penyakit jantung koroner. Dalam rangka penanggulangan masalah lesi stenotik dan trombosis upaya dapat dibedakan sebagai usaha preventif (primer/sekunder). Maka manajemen terapi yang logis adalah melisiskan trombus dan mencegah berulangnya gangguan utama tersebut dimasa datang (Amstrong P. et al, 2003). Penanganan di Rumah Sakit Islam Klaten menggunakan trombolitik dilakukan sejak tahun 2010. Pada tahun 2011 penderita IMA sebanyak 53 kasus, sebanyak 35 kasus dengan trombolitik. Pada tahun 2012 sebanyak 72 kasus dan 50 kasus mendapatkan trombolitik. Sehingga didapatkan prosentase penanganan dengan trombolitik sebesar 68 %. Angka keberhasilan antara pasien yang diberikan trombolitik lebih efektif dari pada pasien yang berikan MONA. Dapat dilihat dari penurunan ST elevasi dan lama perawatan diruang ICCU. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi kewaspadaan perawat karena sebagai observer 24 jam dalam menangani kondisi pasien dalam kegawatan kardiovaskuler dan mampu mendeteksi segera kondisi pasien dan mencegah komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan fenomena penyakit jantung koroner yang semakin meningkat maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi pada pasien IMA (STEMI)
B. Metode Metode pelaksanaan penelitian ini dengan desain penelitian secara diskripsi
korelasi.
Analisis
data
yang
digunakan
crossectional
yaitu
membandingkan perbedaan antara subyek. Jenis penelitian ini mempelajari dinamika hubungan atau korelasi yang dapat diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi. Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian pemberian trombolitik dan penurunan ST elevasi. Pasien infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) yang pernah dirawat di RS Islam Klaten. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 85 data rekam medik yang mendapatkan trombolitik dan tidak mendapatkan trombolitik. Penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive data rekam medik dari seluruh pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) yang dirawat di Rumah Sakit Islam Klaten sebanyak 50 dengan perbandingan 25 responden yang mendapatkan trombolitik dan 25 responden sebagai kontrol yang tidak mendapat trombolitik. Kriteria inklusi : pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) yang pernah dirawat di Rumah Sakit Islam Klaten yang mendapatkan terapi trombolitik <30 menit sampai dengasn 6 jam setelah serangan, pasien infark miokard akut ST elevasi (STEMI) dengan gambaran ST elevasi, pasien yang lama rawat lebih dari 3 hari. Kriteria eksklusi : pasien STEMI yang datang dengan penyakit komplikasi, pasien dengan gangguan hemodinamik, pasien meninggal dunia.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Pemberian trombolitik Tabel 1 distribusi frekwensi pemberian trombolitik di RS Islam Klaten (n:50) Pemberian trombolitik
f
%
Diberikan
25
50
Tidak diberikan
25
50
Total
50
100
Pada tabel didapatkan data pasien AMI yang mendapatkan trombolitik sebanyak 25 responden sedang pasien AMI yang tidak diberikan trombolitik sebanyak 25 responden. b. Penurunan ST elevasi Tabel 2distribusi frekwensi penurunan ST elevasi di RS Islam Klaten (n:50) Penurunan ST elevasi
f
%
Turun
26
58
Tidak Turun
24
Total
50
100
Pada tabel didapatkan data pasien terjadi penurunan ST elevasi sebanyak 26 responden (58%) sedangkan yang tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 24 responden (42%). Tabel 3 Distribusi frekwensi pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi di RS Islam Klaten (n:50) Penurunan ST elevasi Pemberian trombolitik turun
tidak turun
f
%
f
%
Diberikan
18
36
7
14
Tidak diberikan
8
16
17
34
Total
26
52
24
48
Berdasarkan tabel diatas disimpulkan bahwa responden yang diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 18 responden(36%), sedangkan yang diberikan trombolitik namun tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 7 responden(14%). Responden yang tidak diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 8 responden(16%) sedangkan responden yang tidak diberikan trombolitik tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 17 responden(34%).
c. Analisis Bivariat Tabel 4 hubungan pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi di RS Islam Klaten (n:50) Penurunan ST elevasi Pemberian trombolitik turun
tidak turun
f
%
f
%
Diberikan
18
36
7
14
Tidak diberikan
8
16
17
34
Total
26
52
24
48
P value
0,005
Berdasarkan tabel diatas disimpulkan bahwa responden yang diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 18 responden(36%), sedangkan yang diberikan trombolitik namun tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 7 responden(14%). Responden yang tidak diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 8 responden(16%) sedangkan responden yang tidak diberikan trombolitik tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 17 responden(34%). Disimpulkan bahwa antara pemberian trombolitik dan penurunan ST elevasi dari hasil uji Chi Square ditunjukkan pada nilai pearson Chi Square nilai Significancy-nya adalah P value 0,005 artinya interpretasi menurut Sugiyono (1999) dapat dikatakan terdapat hubungan antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi karena faktor peluang <5% maka hasil tersebut bermakna. Tabel 5 hasil analisa koefisiensi kontingensi pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi di RS Islam klaten (n:50)
Penurunan ST elevasi
Pemberian trombolitik
r
0,400
p
<0,001
n
50
Hasil analisis selanjutnya dengan uji korelasi koefisiensi kontingensi didapat nilai r = 0,400, p = <0,001 n = 50 yang berarti ada hubungan sedang antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi.
D. Pembahasan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. Dasar teoritis menyatakan bahwa penurunan ST elevasi pada pasien IMA sangat menentukan status kesehatan pasien. Dalam penanganan IMA diharapkan untuk segera melisiskan plak yang ada dalam pembuluh darah jantung karena jantung sebagai organ vital yang membutuhkan oksigenasi sendiri untuk memenuhi kebutuhan jantung yang kemudian untuk menjalankan sirkulasi darah ke seluruh tubuh. Pada kasus IMA disarankan untuk segera membuka plak tersebut dengan memberikan trombolitik. Terapi trombolitik adalah terapi klinis yang ditujukan untuk reperfusi jaringan miokard dengan memperbaiki aliran darah pada pembuluh darah yang tersumbat.Bekuan darah yang terdapat dalam darah mengganggu aliran darah ke organ tubuh yang dialiri oleh pembuluh darah.Terapi trombolitik digunakan untuk melisiskan plak yang akan mengancam kehidupan jika tidak segera diatasi. ST elevasi
pada gambaran elektrokardigrafi menunjukan adanya thrombus
komplet/oklusif. Trombus tersebut disebabkan oleh terlepasnya plak yang mempengaruhi terjadinya agresi trombosit dan thrombosis sehingga pada akhirnya menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Pemberian trombolitik dapat mencegah kematian karena nekrosis jantung. Sebagai petugas kesehatan yang mengetahui dampak besar akan kelangsungan hidup pasien harus dapat memberikan pelayanan yang bermutu sehingga dapat menyembuhkan dengan baik dan memuaskan. Seperti penelitian sebelumnya bahwa streptokinase dapat menurunkan angka kematian dan reperfusi fraksi ejeksi yang lebih baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ST elevasi ada yang bisa dikendalikan maupun ada yang tidak bisa dikendalikan . Zeiher,1993 mengatakan bahwa semua bentuk penyakit kardiovaskuler meningkatkan frekwensi berhubungan dengan usia, menunjukkan bahwa usia lanjut mengubah fungsi vaskuler. Studi relaksasi endothelium dependent oleh asetilkolin menurun karena
ketuaan. Jika dilihat dari hasil penelitian karakteristik responden bahwa rerata umur 58 tahun.dikarenakan umur semakin tua sehingga fungsi fisiologis jantung menurun sehingga dengan usia kisaran usia tersebut dapat mempengaruhi proses pemberian trombolitik dan mempengaruhi hasil penurunan ST elevasi. Berdasarkan
distribusi
frekwensi
pemberian
trombolitik
dengan
penurunan ST elevasi bahwa responden yang diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 18 responden (36%), sedangkan yang diberikan trombolitik namun tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 7 responden(14%). Responden yang tidak diberikan trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 8 responden (16%) sedangkan responden yang tidak diberikan trombolitik dan tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 17 responden (34%). Berdasarkan hasil uji chi square ditunjukkan pada nilai pearson chi square nilai significancy-nya adalah p value 0,005 artinya interpretasi menurut Sugiyono (1999) dapat dikatakan ada hubungan antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi karena factor peluang <5% maka hasil tersebut bermakna. Hasil analisis selanjutnya dengan uji korelasi koefisiensi kontingensi didapat nilai r = 0,400, p = <0,001 n = 50 yang berarti ada hubungan sedang antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. E. Keterbatasan penelitian 1. Dalam pengambilan data di RS Islam Klaten peneliti menemui sedikit kendala belum adanya data komputerisasi tentang data rekam medis pasien IMA, hal ini menyebabkan peneliti harus menyeleksi semua status pasien IMA dan memeriksa kelengkapan datanya karena subyek yang diteliti adalah pasien IMA yang masuk rumah sakit karena serangan. Hal ini tentunya akan menghambat dari efisiensi waktu dan tenaga. 2. Penggunaan data sekunder pada penelitian ini juga menyebabkan variabel faktor resiko terjadinya IMA tidak dapat diteliti yaitu aktivitas,diet,gaya hidup,stress.hal ini juga akan berpengaruh pada derajat atau hubungan antara dua variabel.faktor resiko tersebut tidak dapat diteliti karena belum adanya data hasil pemeriksaan spesifik terhadap indikator variabel terkait.
F. Penutup 1. Kesimpulan a. Angka kejadian pasien ST elevasi (STEMI) yang mengalami penurunan ST elevasi sebanyak
36% yang mendapat trombolitik sedangkan 14%
meskipun mendapatkan trombolitik tidak terjadi penurunan ST elevasi. Responden yang tidak mendapat trombolitik mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 16% sedangkan yang tidak diberi trombolitik tidak mengalami penurunan ST elevasi sebanyak 34%. b. Jumlah pasien yang mendapatkan trombolitik sebesar
50% dari 50
responden. c. Analisis chi square didapatkan nilai sigfinicancy p value 0.005 yang diartikan ada hubungan
pemberian trombolitik dengan penurunan ST
elevasi, hasil analisis selanjutnya dengan uji korelasi koefisiensi kontingensi didapat nilai r = 0,400, p = <0,001 n = 50 yang berarti ada hubungan sedang antara pemberian trombolitik dengan penurunan ST elevasi. 2. Saran 1)
Bagi Profesi Keperawatan Menganjurkan tenaga kesehatan menjadi edukator kesehatan yaitu meningkatkan peran pendidik kesehatan dalam kasus STEMI.
2)
Bagi Rumah Sakit Membuat kebijakan finansial dalam penanganan kasus IMA agar dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, penelitian ini menjadikan bahan pertimbangan untuk lebih memperhatikan kualitas pelayanan penanganan IMA pada khususnya dan rumah sakit pada umumnya.
3)
Bagi Peneliti Lain Menganjurkan peneliti selanjutnya melakukan penelitian dengan jumlah responden lebih banyak sehingga didapatkan hasil yang lebih baik, dan apabila dilakukan penelitian lanjutan disarankan langsung kepada pasien sehingga akan didapatkan hasil data yang lebih akurat.
Daftar Pustaka Amerikan Heart Association. update 2004. Handbook of Emergency cardiovascular care for healthcare providers. Amstrong P. Wagner G, Shaun Goodman, Frans Van de Werf, Christopher G et al. 2003. For the ASSENT-3 (Assesment of the Safety an Efficacy of a New Thrombolytic) Investigators ST Segmen Resolution in ASSENT-2: Insight into the Role of Three Different treatment Strategies for Acute Myocardial Infarction. Eur Heart J. 24 (16) : 1515-22. Antono, Eko. 2007. Streptokinase pada Infark Miokard Akut di RSJHK Jakarta [Thesis]. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cannon CP dan Braun Wald E . 2008. Unstable Angina and non ST-elevation Myocardial Infarction. Dalam: Libby P, Bonow RO, Mann DL Ziper DP, Braunwald E Heart Discase : a textbook of cardiovascular medicine, Edisi ke 8. Saunders Elsevier, Bab 53 :1319-51. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI 2008. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010. Up date Juli 2010, Cited 2012 Januari 27. Available from http: /dinkes-kota semarang.go.id./ KelanaKusuma Dharma. 2011. MetodologiPenelitianKeperawatan.CetakanPertama 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2008. Buku Panduan ACLS. Pratanu S. 1997. Dasar-dasar pengobatan aritmia. Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IV. Surabaya 28 Juni 1997. Pratanu S. 2006. Elektrokardiografi Normal. Dalam: Kursus Elektrokardiografi. Edisi ke 3. 35-8. Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) & Prof. Dr. dr. Sofyan Ismael, Sp.A (K). 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-4. Prof. Dr. Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi ke-4. Robin SL, Cotran RS, GC 2007. Kumar V Buku ajar Patologi Robbins, Jakarta: E. Santoso M. Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 147.6-9.
Sudoyo Aw. Setyohadi B. Alwi I dkk . 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jilid II edisi V. Jakarta: Interna publishing Sugiri. 1994. Penggunaan Trombolisis pada penderita Infark Miokard Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia. 28(3). Task Force on acute heart failure of the ESC. 2005. ESC Guideline Executive Summary of the guide lines on the diagnosis and treatment of acute heart failure, European Heart Journal, 384